Bab I-vi + Dapus Pkm Bengkayang 2.docx

  • Uploaded by: ASSA AYU
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I-vi + Dapus Pkm Bengkayang 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 11,731
  • Pages: 61
BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Penderita DM terus meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat kemakmuran dan berubahnya gaya hidup (PERKENI, 2015). Penelitian epidemiologi Shaw et al. (2010) mengestimasikan prevalensi penderita diabetes di dunia pada usia 20-79 tahun mencapai 6,4% pada tahun 2010 dan akan meningkat menjadi 7,7% pada tahun 2030. Indonesia juga terjadi kecenderungan peningkatan angka prevalensi penyandang DM. International Diabetes Federation (IDF) memprediksikan kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 7,0 juta pada tahun 2010 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Hal ini menempatkan Indonesia menjadi empat besar dunia penderita DM terbanyak setelah India, China dan Amerika Serikat (Wild et al., 2004; Shaw et al., 2010). Prevalensi DM di daerah urban Indonesia untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapat di provinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesar di provinsi Maluku Utara dan Kalimantan Barat yang mencapai 11,1% (Departemen Kesehatan RI, 2007). Diabetes Melitus merupakan penyakit kronik progresif dengan berbagai komplikasi akut dan kronik. Komplikasi yang dapat timbul diantaranya seperti penyakit jantung, ginjal, kebutaan bahkan kematian. Namun, pengelolaan yang baik, angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit ini dapat diturunkan. Tingginya jumlah penderita diabetes melitus antara lain disebabkan karena perubahan gaya hidup masyarakat, tingkat pengetahuan yang rendah, kesadaran untuk melakukan deteksi dini penyakit diabetes melitus yang kurang, minimnya aktivitas fisik dan pengaturan pola makan yang tidak tepat. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi masalah tersebut adalah memberikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan (edukasi) tentang pengelolaan penyakit DM secara mandiri. Edukasi ini mencakup perencanaan diet, kegiatan olahraga, pemakaian obat antihiperglikemia yang tepat, pemantauan kadar gula

1

secara rutin, dan meningkatnya motivasi penderita DM untuk kontrol secara teratur yang bertujuan mencegah komplikasi akit dan kronik, memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi angka kematian. Pusat kesehatan masyarakat adalah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bertindak ujung tombak pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Berbagai penyakit terutama penyakit tak menular dapat dicegah sedini mungkin dari faskes tingkat pertama melalui edukasi yang baik. Pemberian informasi di Poli rawat jalan saat pemeriksaan rutin ke puskesmas merupakan salah satu sarana yang tepat bagi peningkatan pengetahuan penderita DM tentang pengelolaan penyakit DM. Dengan kegiatan ini diharapkan akan tercipta penderita DM yang benar-benar memahami kesehatan dirinya, sehingga dapat menghilangkan gejala, mencegah timbulnya komplikasi, mengurangi komplikasi yang sudah ada, mengobati penyakit penyerta, memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi angka kematian (Soegondo, 1995) Berdasarkan hal tersebut maka penulis bermaksud meneliti mengenai “Efektivitas penyuluhan terhadap peningkatan pengetahuan penderita Diabetes Melitus”

1.2 Rumusan Masalah Apakah terdapat peningkatan pengetahuan penderita Diabetes Melitus mengenai penyakit Diabetes Melitus di Poli Rawat Jalan Puskesmas Bengkayang bulan November tahun 2018.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1

Tujuan Umum Mengetahui peningkatan pengetahuan penderita Diabete Melitus mengenai

penyakit Diabetes Melitus di Poli Rawat Jalan Puskesmas Bengkayang bulan November tahun 2018.

2

1.3.2

Tujuan Khusus 1. Mengetahui karakteristik penderita Diabetes Melitus yang datang periksa ke Poli Rawat Jalan Puskesmas Bengkayang bulan November tahun 2018 2. Mengetahui gambaran pengetahuan penderita Diabetes Melitus sebelum maupun sesudah dilakukan penyuluhan di Poli Rawat Jalan Puskesmas Bengkayang bulan November tahun 2018.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1

Bagi Petugas Kesehatan dan Puskesmas 1. Memperoleh gambaran pengetahuan penderita Diabetes Melitus sehingga dapat dievaluasi lanjut dan menemukan upaya-upaya baru dalam meningkatkan pengetahuan penderita Diabetes Melitus di wilayah kerja Puskesmas Bengkayang. 2. Memperoleh informasi mengenai metode yang efetktif dalam menyampaikan materi Diabetes Melitus 3. Membantu meningkatkan kualitas pelatihan dan penyuluhan terhadap masyarakat

1.4.2

Bagi Masyarakat 1. Memperoleh informasi mengenai penyakit Diabetes Melitus sehingga dapat menambah pengetahuan mengenai pengelolaan penyakit, mencegah, dan mengurangi komplikasi serta meningkatkan kualitas hidup bagi penderita DM 2. Meningkatkan motivasi masyarakat khususnya penderita DM untuk memeriksakan dirinya secara rutin ke Puskesmas Bengkayang.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.

2.1.2 Klasifikasi American Diabetes Association (ADA) dalam Standards of Medical Care in Diabetes (2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang disajikan dalam: 1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya destruksi sel β pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin. 2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin. 3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel β pankreas, kelainan genetik pada aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah transplantasi organ). 4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami selama masa kehamilan.

4

2.1.3 Patofisiologi 2.1.3.1 Diabetes Melitus Tipe 1 Pada DM tipe I (DM tergantung insulin (IDDM), sebelumnya disebut diabetes juvenilis), terdapat kekurangan insulin absolut sehingga pasien membutuhkan suplai insulin dari luar. Keadaan ini disebabkan oleh lesi pada sel beta pankreas karena mekanisme autoimun, yang pada keadaan tertentu dipicu oleh infeksi virus. DM tipe I terjadi lebih sering pada pembawa antigen HLA tertentu (HLA-DR3 dan HLA-DR4), hal ini terdapat disposisi genetik. Diabetes mellitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris: childhood-onsetdiabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat defek sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhan spankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa, namun lebih sering didapat pada anak-anak.

2.1.3.2 Diabetes Melitus Tipe 2 Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan

lebih berat daripada

yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. De Fronzo (2009) menyampaikan bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi organ lain yang berperan yang disebut sebagai the ominous octet (gambar 1).

5

Gambar 1. The Ominous Octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis hiperglikemia pada DM Tipe 2 (Ralph A, Defronzo dalam Perkeni, 2015)

Secara garis besar patogenesis DM Tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut: 1. Kegagalan sel beta pancreas

Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel

beta

sudah

sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor. 2. Liver

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi keadaan

glukosa

basal oleh liver (HGP=hepatic glucose

dalam production)

meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis. 3. Otot

Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.

6

4. Sel lemak

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion. 5. Usus

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kali diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (Glucagon like polypeptide-1)

dan

GIP

(Glucose

dependent

insulinotrophic

polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM Tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja mengahambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudia diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa-glukosidase adalah akarbosa. 6. Sel Alpha Pancreas

Sel α pancreas berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibandingkan individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambar reseptor glukagon meliputi GLP-1 gonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.

7

7. Ginjal

Ginjal memfiltrasi 163 gram glukosa dalam sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedangkan 10% sisanya akan diabsorpso melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikelurakan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya. 8. Otak

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obesitas

baik

yang

DM

maupun

non-DM

didapatkan

hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meingkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

2.1.3.3 Diabetes Tipe Lain Defisiensi insulin relatif juga dapat disebabkan oleh kelainan yang sangat jarang pada biosintesis insulin, reseptor insulin atau transmisi intrasel. Bahkan tanpa ada disposisi genetic, diabetes dapat terjadi pada perjalanan penyakit lain, seperti pancreatitis dengan kerusakan sel beta atau karena kerusakan toksik di sel beta. Diabetes mellitus ditingkatkan oleh peningkatan pelepasan hormone antagonis, diantaranya, somatotropin (pada akromegali), glukokortikoid (pada penyakit Cushing atau stress), epinefrin (pada stress), progestogen dan kariomamotropin (pada kehamilan), ACTH, hormone tiroid dan glucagon. Infeksi yang berat meningkatkan pelepasan beberapa hormone yang telah disebutkan di atas sehingga meningkatkan pelepasan beberapa hormone yang telah disebutkan diatas sehingga meningkatkan manifestasi diabetes mellitus. Somatostatinoma

8

dapat menyebabkan diabetes karena somatostatin yang diekskresikan akan menghambat pelepasan insulin. (Silabernagi,2002)

2.1.4 Diagnosis Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer (Perkeni, 2015) Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini: 

Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.



Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM

Hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

9

1. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) jika hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).dan glukosa plasma puasa <100 mgdL 2. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) jika hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah plasma 2 jam < 140mg/dL. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4% (Perkeni, 2015). Tabel 2. Kadar Tes Laboratorium Darah untuk diagnosis Diabetes dan Prediabetes

Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan menggunakan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti tabel 3 d bawah ini. Tabel 3. Kadar Glukosa darah sewakti dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dL)

10

2.1.5

Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup

penyanda diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi: 1. Jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi resiko komplikasi akut 2. Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati. 3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif (Perkeni, 2015).

2.1.5.a Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, yang meliputi: 1. Riwayat Penyakit  Usia dan karakteristik saat onset diabetes  Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan  Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda  Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan  Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan dan program latihan jasmani  Riwayat

komplikasi

akut

(ketoasidosis

diabetik,

hiperosmolar

hiperglikemia, dan hipoglikemia)  Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis serta kaki

11

 Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal, mata, saluran pencernaan, dll.)  Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah  Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain)  Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM  Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi  Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan. 2. Pemeriksaan Fisik  Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang  Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta anklebrachial index (ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri tepi  Pemeriksaan funduskopi  Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid  Pemeriksaan jantung  Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop  Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari  Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan pemeriksaan neurologis  Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain 3. Evaluasi Laboratoris  Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam setelah TTGP  Pemeriksaan kadar HbA1C 4. Penapisan Komplikasi Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang baru terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan:  Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)

12

 Tes fungsi hati  Tes fungsi ginjal: kreatinin serum dan estimasi GFR  Tes Urin rutin  Albumin urin kuantitaif  Rasio albumin-kreatinin sewaktu  Elektrokardiogram  Foto rontgen thoraks (bila ada indikasi TBC, penyakit jantung kongestif)  Pemeriksaan kaki secara komprehensif 2.1.5.b Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farnakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebaga terapi tunggal atau kombinasi. 1. Edukasi Tujuan promosi hidup sehat perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik, Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal yang dilaksanakan di pelayanan kesehatan primer dan materi edukasi tingkat lanjutan yang dilaksanakan di pelayanan kesehatan sekunder dan atau tersier. Adapun materi edukasi tingkat awal meliputi : 

materi tentang perjalanan penyakit DM,



makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan



penyulit DM dan resikonya



intervensi

farmakologis

dan

non-farmakologis

serta

target

pengobatannya 

interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik dan OHO atau insulin serat obat-obatan lain



cara pemantauan glukosa darah



mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia

13



pentingnya perawatan kaki



cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

Sedangkan materi edukasi tingkat lanjut meliputi: 

mengenal dan mencegah penyulit akut DM



pengetahuan mengenai penyulit menahun DM



penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain



rencana untuk kegiatan khusus (olahraga prestasi)



kondisi khusus yang dihadapi (hamil, puasa, sakit)



hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang DM



pemeliharaan perawatan kaki

2. Terapi Nutrisi Medis (TNM) TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara komprehensif.

Kunci

keberhasilannya

adalah

keterlibatan

secara

menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan lain, pasien dan keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang DM. Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri. Tabel 4. Komposisi Makanan yang dianjurkan Karbohidrat

 Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Terutama karbohidrat berserat tinggi  Pembatasan karbohidrat total <130g/hari tidak dianjurkan  Glukosa dalam bumbu diperbolehkan  Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi

14

 Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian  Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari Lemak

 Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi  Komposisi yang dianjurkan:  Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori  Lemak tidak jenuh ganda <10%  Selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal  Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans, seperti daging berlemak dan susu fullcream  Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200mg/dL

Protein

 Kebutuhan protein sebesar 10-20% total asupan energi  Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu renda lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.  Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi. Kecuali pada penderita DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2 g/kgBB per hari

Natrium

 Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk orang sehat yaitu <2300 mg per hari  Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu

15

dilakukan pengurangan natrium secara individu  Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit. Serat

 Penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat  Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari

Pemanis alternatif

 Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake/ADI)  Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.  pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari, seperti glukosa alkohol dna fruktosa  Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol  Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena dapat meningkatkan kadar LDL, kecuali fruktosa alami yang terkandung dalam buah dan sayuran  Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.

16

Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb:  Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.  Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi: Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.





BB Normal : BB ideal ± 10 %



Kurus : < BBI - 10 %



Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/ TB(m2)

Klasifikasi IMT* -

BB Kurang

< 18,5

-

BB Normal

18,5-22,9

-

BB Lebih

≥ 23,0

Dengan risiko 23,0-24,9 Obes I 25,0-29,9 Obes II > 30 *) WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and its Treatment.

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain : 1. Jenis Kelamin Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB. 2. Umur Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun. 3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan 17

Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan (pegawai kantor, guru, ibu rumah tangga), 30% dengan aktivitas sedang (pegawai industri ringan, mahasiswa, militer yang sedang tidak perang), 40% pada aktivitas berat (petani, buruh, atlet, militer dalam keadaan latihan) dan 50% dengan aktivitas sangat berat (tukang becak, tukang gali). 4. Stress metabolik Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress metabolik (sepsis, operasi, trauma). 5. Berat Badan Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat kegemukan.Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yangmengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan

penyakit

penyertanya (PERKENI, 2015).

3. Latihan Jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus

18

mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan jasmani. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari-hari bukan termasuk dalam latihan jasmani meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah, latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi angka 220 dengan usia pasien. Pada penderita DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melalukan resistence training (latihan beban) 2-3 kali per minggu sesuai petunjuk dokter. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Intensitas latihan jasmani pada penyandang DM yang relatif sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM yang disertai komplikasi intensitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan masing-masing individu. 4. Terapi Farmakologis Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat).Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. a. Obat Antihiperglikemia Oral Berdasarkan cara kerjanya, Obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan: 1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)  Sulfonilurea Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia

dan

peningkatan

berat

badan.

Hati-hati

19

menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan resiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal ginjal dan hati).  Glinid Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan di ekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. 2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin  Metformin Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Dosis metformin diuturunkan pada pasienn dengan gangguang fungsi ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73 m2) Metformin dikontraindikasikan pada beberapa keadaan seperti GFR <30 mL/menit/1,73 m2, gangguan hati berat, serta pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, PPOK gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping berupa gangguang saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.  Tiazolidindion Tiazolidindion

(pioglitazon)

merupakan

agonis

dari

PeroxisomeProliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot, sel lemak dan hati. Golongan ini mempunyai

efek

menurunkan

resistensi

insulin

dengan

meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion

20

meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas III-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. 3. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (Acarbose) Obat ini bekerja dengan memperlambat absorpsi glukosa diusus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambar glukosidase alfa tidak diberikan pada keadaan GFR <30 mL/menit/1,73 m2, gangguan hati berat, irritable bowel syndrome. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens 4. DPP-IV inhibitor Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran

pencernaan.

GLP-1

merupakan

perangsang

kuat

penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian,secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4(penghambat DPP-4), atau

memberikan

hormon

asli

atau

analognya

(analog

incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP4 inhibitor,mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan

21

glukagon. Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin. 5. Penghambar SGLT-2 (Sodium Glucose Co-Transporter 2) Obat golongan penghambar SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambar kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapaglifozin, Ipragliflozin. Tabel 5. Profil Obat Antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia

b. Obat Antihiperglikemik Suntik Termasuk antihiperglikemia suntik yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinas insulin dan agonis GLP-1. 1. Insulin Insulin diperlukan pada keadaan: 

HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik



Penurunan berat badan yang cepat



Hiperglikemia berat yang disertai ketosis 22



Krisis hiperglikemia



Gagal dengan kombinasi obat antihiperglikemia oral dosis optimal



Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)



Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan



Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat



Kontraindikasi dan atau alergi terhadap obat antihiperglikemi oral



Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan lama kerja insulin Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 6 jenis, yakni: 

Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)



Insulin kerja pendek (short acting insulin)



Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)



Insulin kerja panjang (long acting insulin)



Insulin kerja ultra panjang (ultra long acting insulin)



Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat dengan menengah (premixed insulin)

Efek samping terapi insulin 

Efek

samping

utama

terapi

insulin

adalah

terjadinya

hipoglikemia. 

Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin.

2. Agonis GLP-1 Pengobatan

dengan

dasar

peningkatan

GLP-1

merupakan

pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel beta sehingga terjadi peningkatan pelepasan insulin, menurunkan berat badan, menghambat penglepasan

23

glukagon dan menghambat nafsu makan. yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (liraglutide) telah beredar di Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam 3 ml. dosis awal 0,6 mg per hari yang dapat dinaikkan ke 1,2 mg setelah satu minggu untuk mendapatkan efek glikemik yang diharapakan.

Dosis

harian

lebih

dari

1,8

mg

tidak

direkomendasikan. Masa kerja liraglutide selama 24 jam dan diberikan sekali sehari secara subkutan. c. Terapi Kombinasi Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini. Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dnegan respons kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral. Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin

24

yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6-10 unit. Kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendalli meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan pemberiaan obat antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati.

d. Individualisasi Terapi Manajemen DM harus bersifat perseorangan. Pelayanan yang diberikan berbasis pada peroragan dimana kebutuhan obat, kemampuan dan keinginan pasien menjadi komponen penting dan utama dalam menentukan pilihan dalam upaya mencapai target terapi. Pertimbangan

25

tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain: usia penderita dan harapan hidupnya, lama menderita DM, riwayat hipoglikemia, penyakit penyerta,

adanya

komplikasi

kardiovaskuler,

serta

komponen

penunjang lain (ketersediaan obat dan kemampuan daya beli). Untuk usia lanjut, target terapai HbA1c antara 7,5-8,5%. e. Monitoring Pada praktek sehari-hari, hasil pengobatan DMT2 harus dipantau secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:  Pemeriksaan kadar glukosa darah Tujuan pemeriksaan glukosa darah adalah untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai, dan melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.  Pemeriksaan HbA1c Pemeriksaan hemoglobin terglikosilasi merupakan cara yang digunakan unutk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Unutk melihat hasil terapi dan rencana perubahan terapi, HbA1c diperiksa setiap 3 bulan, atau tiap bulan pada keadaan HbA1c yang sangat tinggi (>10%). Pada paien yang telah mencapay sasaran terapi disertai kendali glikemik yang stabil HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun. HbA1c tidak dapat dipergunakan sebagai alat untuk evaluasi pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, keadaan lain yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal.  Pemantauan Glukosa darah mandiri (PDGM) Pemantauan

kadar

glukosa

darah

dapat

dilakukan

dengan

menggunakan darah kapiler. Saat ini banyak didapatkan alat pengukur kadar glukosa darah dengan menggunakan reagen kering yang sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan standar yang dianjurkan. PGDM dianjurkan bagi

26

pasien dengan pengobatan suntik insulin beberapa kali perhari atau pada pengguna obat pemacu sekresi insulin. Waktu yang dianjurkan pemeriksaan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan, menjelang waktu tidur, dan diantara siklus tidur atau ketika mengalami gejala seperti hypoglicemic spells. 2.1.5.c Kriteria Pengendalian DM Kriteria pengendalian didasarkan pada hasil pemeriksaan kadar glukosa, kadar HbA1c dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah apabila kadar glukosa darah, kadar lipid,dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan serta status gizi maupun tekanan darah sesuai target yang ditentukan. Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 6. Sasaran pengendalian DM

2.1.6 Komplikasi Diabetes Melitus 2.1.6.a Komplikasi Akut 1. Krisis Hiperglikemia Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkaan kadar glukosa darah yang tinggi (300600 mg/dl) disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan anion gap. 27

Status hiperglikemia hiperosmolar (SHH) adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl) tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/ml), plasma keton(+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat 2. Hipoglikemia Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa < 70 mg/dl. Hipoglikemia adalah penurunan glukosa serum dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s triad: 

Terdapat gejala hipoglikemia



Kadar glukosa darah yang rendah



Gejala berkurang dengan pengobatan

Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala glukosa darah rendah tetapi kadar glukosa darah normal. Sebaliknya tidak semua pasien diabettes mengalami gejala hipoglikemia meskipun pada pemeriksaan kadar glukosa darahnya rendah. Penurunan kesadaran yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan akibat penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Pengawasan glukosa darah pasien harus dilakukan selama 24-72 jam terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan obat antihiperglikemia oral kerja panjang. Tabel 7. Tanda dan gejala Hipoglikemia pada orang dewasa

28

Hipoglikemia dapat diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya, yaitu: 

Hipoglikemia berat: pasien membutuhkan bantuan untuk pemberian karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya



Hipoglikemia simtomatik apabila GDS < 70 mg/dl disertau gejala hipoglikemia



Hipoglikemia asimtomatik apabila GDS < 70 mg/dl tanpa gejala hipoglikemia



Hipoglikemia relatif apabila GDS > 70 mg/dl dengan gejala hipoglikemia



Probable hipoglikemia apabila gejala hipoglikemia tanpa pemeriksaan GDS

Rekomendasi pengobatan hipoglikemia: Hipoglikemia ringan

- Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa - Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain yang berisi glukosa juga efektif menaikkan glukosa darah - Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon kenaikkan glukosa darah - Glukosa 15-20 gram (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah terapi pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar - Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelahh 15 menit pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15 menit setelah pengobatan hipoglikemia masih tetap ada, pengobatan dapat diulang kembali - Jika hasil pemeriksaan glukosad darah kadarnya sudah mencapai normal, pasien diminta untuk makan atau mengonsumsi snack untuk mencegah berulangnya hipoglikemia.

Hipoglikemia berat

- Jika terdapat gejala neuroglikopenia, terapi 29

parenteral diperlukan berupa pemberian dextrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa bisa diberikan dextrose 40% sebanyak 25cc) diikuti dengan infus D5% atau D10% - Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian i.v tersebut. Bila kadar glukosa dara belum mencapai target dapat diberikan ulang pemberian dextrose 20% - Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1-2 jam kalau masih terjadi hipoglikemia berulang pemberian dextrose 20% dapat diulang - Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia

2.1.6.b Komplikasi Kronins 1. Makroangiopati - Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner - Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer. Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat (claudicatio intermittent), namun sering juga tanpa gejala. Ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan yang dapat ditemukan pada penderita - Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik 2. Mikroangiopati - Retinopati diabetik. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi resiko atau memperlambat progresi retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati - Nefropati diabetik. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi resiko atau memperlambat progresi nefropati. Menurunkan asupan protein di bawah 0,8 gram/kgBB/hari pada penderita penyakit ginjal diabetik tidak direkomendasikan karena tidak memperbaiki resiko kardiovaskuler dan menurunkan GFR ginjal.

30

- Neuropati. Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan faktor penting yang beresiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki yang meningkatkan resiko amputasi. Gejala yang sering dirasakan berupa kaki terasa terbakar atau bergetar sendiri, dan terasa lebih sakit di malam hari. Setelah diagnosis DMT2 ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrinning untuk mendeteksi adanya polineuropati distal yang simetris dengan melakukan pemeriksaan neurologi sederhana (monofilamen 10 gram). Pemeriksaan ini kemudian diulang paling sedikit setiap tahun. Pada keadaan polineuropati distal perlu dilakukan perawatan kaki yang memadai untuk menurukan resiko terjadinya ulkus dan amputasi. Pemberian antidepresan trisiklik, gabapentin atau pregabalin dapat mengurangi rasa sakit. Semua penyanda Dm yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatn kaki. 2.2 Pengetahuan 2.2.1 Definisi Pengetahuan Menurut Notoatmojo (2007), pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi

setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Objek dalam pengetahuan adalah benda atau hal yang diselidiki oleh pengetahuan itu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra raba, rasa, penglihatan, pendengaran dan penciuman. Karena itu pengetahuan dimungkinkan didapat dari berbagai sumber dan pengalaman. Setiap indera berbeda pengaruhnya terhadap hasil belajar seseorang, dengan rincian sebagai berikut : - 1% materi diserap melalui indera pengecap - 2% materi diserap melalui indera peraba - 3% materi diserap melalui indera penghidu - 11% materi diserap melalui indera pendengar - 83% materi diserap melalui indera penglihat Semakin banyak indera yang digunakan untuk menerima sesuatu maka semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian/pengetahuan yang diperoleh (Maulana, 2009).

31

2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Menurut Mubarak (2007) ada 7 faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu: a. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain terhadap suatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada

akhirnya makin banyak pula

pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang

tingkat

pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan informasi dan nilai-nilai baru diperkenalkan. b. Pekerjaan Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung c. Umur Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek psikis dan psikologis (mental). Pertumbuhan fisik secara garis besar ada empat kategori

perubahan, yaitu perubahan ukuran, perubahan

proporsi, hilangnya ciri-ciri lama dan timbulnya ciri-ciri baru. Ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis dan mental taraf berfikir seseorang semakin matang dan dewasa. d. Minat Sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih dalam. e. Pengalaman Adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman yang baik seseorang akan berusaha untuk melupakan, namun jika pengalaman terhadap objek tersebut

menyenangkan maka secara psikologis akan

32

timbul kesan yang membekas dalam emosi sehingga menimbulkan sikap positif f. Kebudayaan Kebudayaan lingkungan sekitar, apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan. g. Informasi Kemudahan memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden (Notoatmojo, 2003). Menurut Arikunto (2006), kualitas pengetahuan pada masing-masing tingkat pengetahuan dapat dilakukan dengan skoring yaitu : 1. Tingkat pengetahuan baik bila skore atau nilai 76-100% 2. Tingkat pengetahuan cukup baik bila skore atau nilai 56-75% 3. Tingkat pengetahuan kurang baik bila skore atau nilai 40-55% 4. Tingkat pengetahuan tidak baik bila skore atau nilai <40% 2.2.3

Tingkatan Pengetahuan Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam

tingkat, yaitu : a. Tahu (Know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah didapat atau

dipelajari

sebelumnya.

Kata

menyebutkan,

mendefinisikan,

menguraikan dan sebagainya merupakan kata kerja untuk mengukur orang tahu terhadap apa yang dipelajari. b. Memahami (Comprehension), diartikan sebagai kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. c. Aplikasi (Application), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. 33

d. Analisis (Analysis), merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih memiliki kaitan satu sama lainnya. e. Sintesis

(Synthesis),

mengarah

kepada

suatu

kemampuan

untuk

menghubungkan bagian-bagian ke dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Sintesis dapat pula diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah ada. f. Evaluasi (Evaluation), berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2003).

2.3 Penyuluhan 2.3.1

Definisi Penyuluhan Penyuluhan adalah salah satu kegiatan penyampaian keinginan pemerintah

kepada masyarakat, agar masyarakat menjadi tahu dan mengerti antara kegiatan yang dilarang serta merugikan dengan kegiatan apa yang boleh dikerjakan dan bermanfaat (IWF, 2011). Pengertian penyuluhan kesehatan adalah upaya mengubah perilaku sasaran agar berperilaku sehat terutama

pada aspek kognitif (pengetahuan dan

pemahaman sasaran), sehingga pengetahuan sasaran penyuluhan sesuai dengan yang diharapkan oleh penyuluh kesehatan maka penyuluhan berikutnya akan dijalankan sesuai dengan program yang telah direncanakan (Maulana, 2009). 2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyuluhan Keberhasilan suatu penyuluhan kesehatan dapat dipengaruhi oleh faktor penyuluh, sasaran dan proses penyuluhan (Notoatmodjo, 2007). 1. Faktor penyuluh, misalnya kurang persiapan, kurang menguasai materi yang akan dijelaskan, penampilan kurang meyakinkan sasaran, bahasa yang digunakan kurang dapat dimengerti oleh sasaran, suara terlalu kecil dan kurang dapat didengar serta penyampaian materi penyuluhan terlalu monoton sehingga membosankan.

34

2. Faktor sasaran, misalnya tingkat pendidikan terlalu rendah sehingga sulit menerima pesan yang disampaikan, tingkat sosial ekonomi terlalu rendah sehingga tidak begitu memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan karena lebih memikirkan kebutuhan yang lebih mendesak, kepercayaan dan adat kebiasaan yang telah tertanam sehingga sulit untuk mengubahnya, kondisi lingkungan tempat tinggal sasaran yang tidak mungkin terjadi perubahan perilaku. 3. Faktor proses dalam penyuluhan, misalnya waktu penyuluhan tidak sesuai dengan waktu yang diinginkan sasaran, tempat penyuluhan dekat dengan keramaian sehingga menggangu proses penyuluhan yang dilakukan, jumlah sasaranpenyuluhan yang terlalu banyak, alat peraga yang kurang, metoda yang digunakan kurang tepat sehingga membosankan sasaran serta bahasa yang digunakan kurang dimengerti oleh sasaran. 2.3.3 Materi/pesan Penyuluhan Materi atau pesan yang disampaikan kepada sasaran hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan dari individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, sehingga materi yang disampaikan dapat dirasakan langsung manfaatnya. Materi yang disampaikan sebaiknya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, tidak terlalu sulit untuk dimengerti oleh sasaran, dalam penyampaian materi sebaiknya menggunakan metode dan media untuk mempermudah pemahaman dan untuk menarik perhatian sasaran (Maulana, 2009). 2.3.4 Metode Penyuluhan Menurut Notoatmodjo (2007), metode penyuluhan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tercapainya suatu hasil penyuluhan secara optimal. Metode yang dikemukakan antara lain : 1. Metode penyuluhan perorangan (individual) Dalam penyuluhan kesehatan metode ini digunakan untuk membina perilaku baru atau seseorang yang telah mulai tertarik pada suatu perubahan perilaku atau inovasi. Dasar digunakan pendekatan individual

35

ini karena setiap orang mempunyai masalah atau alasan yang berbeda-beda sehubungan dengan penerimaan atau perilaku baru tersebut. 2. Metode penyuluhan kelompok Dalam memilih metode penyuluhan kelompok harus mengingat besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal pada sasaran. Untuk kelompok yang besar, metodenya akan berbeda dengan kelompok kecil. Efektifitas suatumetode akan tergantung pula pada besarnya sasaran penyuluhan. Metode ini mencakup : a. Kelompok besar, yaitu apabila peserta penyuluhan lebih dari 15 orang. Metode yang baik untuk kelompok ini adalah ceramah dan seminar. 1) Ceramah Metode ini baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah. 2) Seminar Metode ini hanya cocok untuk sasaran kelompok besar dengan pendidikan menengah ke atas. Seminar adalah suatu penyajian dari seseorang atau beberapa orang tentang suatu topik yang dianggap penting dan dianggap hangat di masyarakat. b. Kelompok kecil, yaitu apabila peserta penyuluhan kurang dari 15 orang. Metode yang cocok untuk kelompok ini adalah diskusi kelompok, curah pendapat, memainkan peranan, dan permainan simulasi. 3. Metode penyuluhan massa Dalam metode ini penyampaian informasi ditujukan kepada masyarakat yang sifatnya massa atau public. Oleh karena sasaran bersifat umum dalam arti tidak membedakan golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status ekonomi, tingkat pendidikan dan sebagainya, maka pesan kesehatan yang akan disampaikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap oleh massa tersebut. 2.3.5 Alat Bantu dan Media Penyuluhan 1. Alat Bantu Penyuluhan (Peraga) Alat bantu penyuluhan adalah alat-alat yang digunakan oleh penyuluh dalam menyampaikan informasi. Alat bantu ini sering disebut alat peraga 36

karena berfungsi untuk membantu dan meragakan sesuatu dalam proses penyuluhan. Alat peraga ini disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang ada pada setiap manusia itu diterima atau ditangkap melalui panca indera. Pada garis besarnya ada 3 macam alat bantu penyuluhan yaitu : (Notoatmodjo, 2007) a. Alat bantu lihat Alat ini berguna dalam membantu menstimulasikan indera mata pada waktu ternyadinya penyuluhan. Alat ini ada 2 bentuk yaitu alat yang diproyeksikan misalnya slide, film dan alat yang tidak diproyeksikan misalnya dua dimensi, tiga dimensi, gambar peta, bagan, bola dunia, boneka dan lain-lain. b. Alat bantu dengar Alat ini berguna dalam membantu menstimulasi indera pendengar, pada waktu proses penyampaian bahan penyuluhan misalnya piringan hitam, radio, pita suara dan lain-lain. c. Alat bantu lihat-dengar Alat ini berguna dalam menstimulasi indera penglihatan dan pendengaran pada waktu proses penyuluhan, misalnya televisi, video cassette dan lain-lain.. 2.

Media Penyuluhan Yang dimaksud dengan media pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah alat bantu pendidikan Disebut media pendidikan karena alat-alat tersebut merupakan alat saluran ( channel ) untuk menyampaikan kesehatan karena alat-alat tersebut digunakan untuk mempermudah penerimaan pesan-pesan kesehatan bagi masyarakat. Berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran pesan-pesan kesehatan, media ini dibagi menjadi 3, yakni media cetak, media elektronik, dan media luar ruang (Ircham, 2007).

37

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Pre-eksperimen. Menurut Sugiyono (2010) bahwa “penelitian pre-ekperimen hasilnya merupakan variabel dependen bukan semata-mata dipengaruhi oleh variabel independen.” Hal ini dapat terjadi, karena tidak adanya variabel kontrol, dan sampel tidak dipilih secara random. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah one group pretest posttest design. Dalam desain ini, sebelum intervensi diberikan, terlebih dahulu sampel diberi pretest (tes awal) dan di akhir pembelajaran sampel diberi posttest (tes akhir). Desain ini digunakan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu ingin mengetahui peningkatan pengetahuan penderita DM mengenai penyakit Diabetes Melitus melalui metode penyuluhan perorangan. Berikut merupakan tabel desain penelitian one group pretest posttest design.

Tabel 3.1 Desain penelitian One Group Pretest-Posttest Design Pretest

Treatment

Posttest

O1

X

O2

Keterangan : O1

: tes awal (pretes) sebelum perlakuan diberikan

O2

: tes akhir (postes) setelah perlakuan diberikan

X

: perlakuan terhadap kelompok eksperimen yaitu dengan memberikan penyuluhan mengenai materi Penyakit DM

Intervensi dilakukan dalam bentuk penyuluhan menggunakan media slide presentasi dan lembar balik (leaflet).

38

Materi yang diberikan mengenai definisi DM, klasifikasi DM, penegakan diagnosa DM, penyebab DM, pengaturan pola makan, obat-obat DM, komplikasi DM dan target pengendalian DM.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di poli rawat jalan Puskesmas Bengkayang. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan selama 2 minggu, dari tanggal 13 November 2017 sampai dengan 4 Desember 2017.

3.3. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian adalah semua pasien DM yang datang memeriksakan dirinya ke poli rawat jalan Puskesmas Bengkayang. 2. Sampel Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah

pasien DM yang

memeriksakan dirinya ke poli rawat jalan serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 1. Kriteria Inklusi a. Penderita DM yang memeriksakan diri ke poli umum pada tanggal 13 November 2017 hingga 4 Desember 2017 b. Bersedia menjadi reponden c. Dapat berkomunikasi dengan baik d. Menjawab

seluruh

item

pertanyaan

pada

kuesinoer

tentang

pengetahuan mengenai penyakit DM dan Pola Makan DM pada pre test dan post test.

2. Kriteria Eksklusi a. Tidak bersedia dalam rangkaian penelitian 3.5. Pengumpulan Data 39

1. Sumber Data Pada penelitian ini peneliti menggunakan sumber data primer. Data primer ini didapatkan oleh peneliti melalui pengisian kuesioner. 2. Instrumen Penelitian Instrumen berupa kuesioner daftar pertanyaan yang akan dibagikan pada responden yaitu penderita DM di poli rawat jalan Puskesmas Bengkayang. Instrumen ini tidak dilakukan uji coba karena telah digunakan pada penelitian sebelumnya dengan lokasi penelitian di wilayah Indonesia. 3. Metode Pengambilan Data Pengambilan data karakteristik pasien DM terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, lama menderita DM dan faktor genetik/keturunan yang dilakukan satu kali. Kuesioner diberikan pada masing-masing penderita DM dan dikembalikan setelah diisi pada saat pre test atau sebelum dilaksanakan intervensi. Pengisian kuesioner diisi oleh penderita DM sendiri yang dipandu oleh peneliti sendiri yang membacakan satu per satu pertanyaan (bagi respon yang kesulitan). Hal ini dilakukan agar apabila ada pertanyaan yang kurang dapat dimengerti oleh responden dapat langsung ditanyakan pada saat itu juga. Pengambilan data penelitian mengenai pengetahuan penderita DM dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu sebelum dan sesudah intervensi. 4. Pelaksanaan Penelitian a. Pengambilan data awal (pre test) Pengambilan data awal (pre test) dilakukan selama 10 - 20 menit. Kuesioner yang terdiri dari pertanyaan pengetahuan dibagikan kepada penderita DM. Pengisian kuesioner dilakukan sendiri oleh penderita DM dan diawasi serta dibimbing oleh peneliti. Setelah selesai, kuesioner yang telah dijawab dikumpulkan. Selanjutnya peneliti melakukan pemeriksaan akan kelengkapan jawaban kuesioner setiap penderita yang sudah dikumpulkan. b. Pelaksanaan Intervensi/perlakuan Setelah pengambilan data awal (pre tes) selanjutnya dilakukan intervensi oleh peneliti. Intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini

40

adalah menggunakan metode yaitu ceramah, tanya jawab, dan curah pendapat secara perorangan antara penderita DM yang datang ke poli rawat jalan dengan peneliti. c. Pengambilan data akhir (post test) Pengambilan data akhir (post test) dilakukan setelah selesai intervensi. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner yang sama pada saat melakukan pre test untuk mengukur pengetahuan penderita DM. Waktu pelaksanaan post test sekitar ± 20 menit. Kuesioner dibagikan dan diisi sendiri oleh penderita DM pada hari itu juga yaitu sesaat setelah

dilakukannya

intervensi.

Bila

ada

pertanyaan

atau

ketidakjelasan dalam pengisian kuesioner, peneliti siap memberikan penjelasan.

3.6. Pengolahan Data Data yang telah terkumpul, diolah melalui tahapan sebagai berikut: a. Menyunting data (Editing) Melakukan pembersihan data yang telah terkumpul, untuk memeriksa kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi jawaban dari setiap pertanyaan dan pernyataan pada kuesioner dan kelengkapan dokumen yang dimiliki. b. Pemberian kode dan memberian skor data (Coding dan Scoring) Pada tahap ini dilakukan pemberian nilai dan mengubah jawaban berupa karakter huruf menjad angka, agar memudahkan pengolahan data. Dalam penelitian ini pertanyaan mengenai pengetahuan tentang penderita DM di scoring sesuai pilihan jawaban. c. Memasukan data (Entry) Memasukan data yang sudah di skor dan di kode ke komputer menggunakan software Microsoft Excel. d. Pembersihan Data (Cleaning) Langkah terakhir dari pengolahan data yaitu melakukan pengecekan kebenaran data yang sudah dimasukkan, untuk melihat kemungkinan terjadinya keselahan dalam memasukkan data.

41

3.7. Penyajian Data Data yang sudah diolah dengan menggunakan Microsoft Excel selanjutkan disajikan dengan menggunakan diagram lingkaran untuk menggambarkan karakteristik penderita DM dan diagram batang untuk menggambarkan hasil sebelum dan sesudah intervensi yang dilakukan untuk melihat peningkatan pengetahuan penderita DM.

3.8. Kerangka Konsep

Penyuluhan perorangan di Poli Umum Puskesmas Bengkayang

Sebelum :

Sesudah :

Pengetahuan Penderita DM mengenai Penyakit DM dan Pola Makan

Pengetahuan Penderita DM mengenai Penyakit DM dan Pola Makan Gambar 2.1 Kerangka Konsep

3.9. Hipotesis Terdapat peningkatan pengetahuan penderita DM mengenai penyakit DM dan Pola Makan DM sesudah intervensi melalui penyuluhan di Poli Umum Puskesmas Bengkayang bulan November tahun 2018.

42

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Puskesmas Bengkayang berada di Kecamatan Bengkayang terletak di pusat kota Bengkayang yang berada pada ketinggian ±65 meter di atas permukaan air laut dengan luas wilayah 16.704 KM2 . Terdiri dari 2 kelurahan, 4 desa, 9 dusun, 40 RW dan 64 RT, dengan 2 kelurahan berada pada jalur sutera dan 4 desa lainnya berada di pedalaman. Sebagian besar wilayah terdiri dari dataran tinggi dan hanya dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua dan bahkan jalan kaki. Adapun batas-batas wilayah kerja Puskesmas Bengkayang adalah : Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Lumar Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Mempawah Hulu Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Teriak Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sungai Betung Ada 4 (empat) Desa dan 2 (dua) Kelurahan di Kecamatan Bengkayang yaitu: 1.

Kelurahan Bumi Emas

2.

Kelurahan Sebalo

3.

Desa Bakti Mulya

4.

Desa Setia Budi

5.

Desa Bani Amas

6.

Desa Tirta Kencana

4.2 Data Demografiku Dari Luas wilayah Kecamatan Bengkayang 16.704 km2, perkembangan jumlah penduduk Kecamatan Bengkayang tahun 2016 dan 2017 tercatat sebagai berikut : pada tahun 2016 tercatat sebanyak 29.489 jiwa rincian laki-laki sebanyak 15.331 jiwa dan perempuan sebanyak 14.158 jiwa,pada tahun 2017 sebanyak 30.012 jiwa, rincian laki-laki sebanyak 15.344 jiwa dan perempuan sebanyak 14.668 jiwa,dengan kepadatan penduduk 180 Jiwa/Km2, 11.654 KK, dan rata-rata

43

2,58 Jiwa per rumah tangga,Angka beban tanggungan 60 per 100 penduduk produktif. Ratio Beban tanggungan digunakan untuk mengetahui beban tanggungan ekonomi suatu Negara. Tingginya ratio beban tanggungan merupakan faktor penghambat Pembangunan ekonomi suatu Negara karena sebagian besar pendapatan yang diperoleh oleh golongan yang produktif harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan golongan yang tidak produktif. Grafik 2.1 Luas Wilayah Per Desa/Kelurahan Kecamatan Bengkayang Tahun 2017

Luas Wilayah Kel.Bumi Emas

3% 26%

Desa Bani Amas

15% 18%

21% 17%

Kel.Sebalo Desa Setia Budi Desa Bakti Mulia

4.3 Hasil Penelitian Selama masa penelitian didapatkan 21 penderita DM yang memeriksakan dirinya ke poli umum puskesmas Bengkayang dari tanggal 1 November 2018 sampai dengan 4 Desember 2018. Dari penderita DM tersebut, hanya 38 penderita DM yang memenuhi kriteria inklusi dan menjadi sampel dalam penelitian ini. Data tersebut telah diolah dan disusun dalam bentuk diagram, tabel, dan narasi sebagai berikut.

4.3.1 Karakteristik Penderita DM Karakteristik penderita DM yang disajikan pada bagian ini meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, lama menderita DM, dan ada tidak faktor keturunan DM dalam keluarga. Umur penderita DM dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 3 yaitu < 45 tahun, 45-55 tahun, dan >55 tahun. Untuk tingkat pendidikan responden dikategorikan pendidikan rendah jika pendidikan

44

penderita DM ≤ SMP dan tingkat pendidikan tinggi jika pendidikan penderita DM > SMP. Pada distribusi responden berdasarkan pekerjaan dikategorikan menjadi pensiunan/tidak bekerja, PNS/TNI/Polri, Wiraswasta, IRT dan lain-lain. Lama menderita DM di kategorikan menjadi < 5 tahun dan ≥ 5 tahun. Sedangkan faktor keturunan dikategorikan ada atau tidak salah satu/kedua orang tua atau saudara yang menderita DM.

Umur < 45 tahun

45-55 tahun

>55 tahun

6%

41%

53%

Gambar 4.1 Diagram distribusi responden berdasarkan umur

Jenis kelamin Penderita DM Laki-laki

Perempuan

35%

65%

Gambar 4.2 Diagram distribusi responden berdasarkan jenis kelamin

45

Pendidikan Terakhir Rendah

Tinggi

24%

76%

Gambar 4.3 Diagram distribusi responden berdasarkan pendidikan terakhir

Pekerjaan Pensiunan/Tidak bekerja

PNS/TNI/POLRI

IRT

Lain-lain

12% 29%

12%

47%

Gambar 4.4 Diagram distribusi responden berdasarkan pekerjaan

46

Lama Menderita DM < 5 tahun

≥ 5 tahun

35%

65%

Gambar 4.5 Diagram distribusi responden berdasarkan lama menderita DM

Faktor Keturunan Ada

Tidak

35%

65%

Gambar 4.6 Diagram distribusi responden berdasarkan Faktor Keturunan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan penderita DM sebagian besar berjenis kelamin perempuan, dengan distribusi umur pada rentang umur 4555 tahun. Pada distrubusi tingkat pendidikan didapatkan sebagian besar penderita DM dengan pendidikan rendah atau < SMP, berdasarkan lama waktu menderita DM sebagian besar penderita DM <5 tahun. Sedangkan berdasarkan jenis pekerjaan sebagian besar adalah Ibu Rumah Tangga dan pekerjaan lain-lain (tani,

47

berkebun, berternak), dan berdasarkan ada tidaknya faktor keturunan dalam keluarga didapatkan 65% memiliki faktor keturunan DM dalam keluarga.

4.3.2. Hasil Gambaran Pengetahuan Penderita DM mengenai Pola Makan DM Sebelum dan Sesudah Intervensi Pertanyaan mengenai pengetahuan penderita DM pada penelitian ini terdiri dari 22 pertanyaan yang berkaitan dengan penyakit DM, pengaturan pola makan dan penanggulangan penyakit DM. Setiap pertanyaan mempunyai 3 pilihan jawaban dengan masing-masing jawaban bernilai 1, 2 atau 3 sesuai ketepatan jawaban. Sehingga skor terendah bernilai 22 dan skor tertinggi bernilai 66. Penggambilan skor pada penelitian dilakukan 2 (dua) kali yaitu sebelum dan sesudah intervensi untuk mengetahui seberapa besar informasi yang disampaikan dapat dipahami dan diingat oleh penderita DM. Hasil pengetahuan sebelum dan sesudah intervensi disajikan pada tabel dan diagram di bawah ini. Tabel 4.1 Distribusi Skor Pengetahuan Penderita DM sebelum dan sesudah intervensi penyuluhan Pola Makan DM pada Penderita DM di Wilayah Kerja Puskesmas Bengkayang bulan November tahun 2018. No. Responden Responden 1 Responden 2 Responden 3 Responden 4 Responden 5 Responden 6 Responden 7 Responden 8 Responden 9 Responden 10 Responden 11 Responden 12 Responden 13 Responden 14 Responden 15 Responden 16 Responden 17 Responden 18

Pre-test 39 43 44 36 28 41 48 43 26 34 46 43 36 43 48 43 32 42

Post-test 53 53 59 56 48 52 62 46 43 53 59 61 56 62 64 56 53 65 48

Responden 19 Responden 20 Responden 21 Responden 22 Responden 23 Responden 24 Responden 25 Responden 26 Responden 27 Responden 28 Responden 29 Responden 30 Responden 31 Responden 32 Responden 33 Responden 34 Responden 35 Responden 36 Responden 37 Responden 38

40 36 37 32 36 31 33 35 31 39 37 31 30 34 30 30 29 33 32 34

52 59 49 41 49 39 41 40 42 46 48 48 38 41 38 39 33 41 38 41

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pengetahuan penderita DM diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu baik apabila skor yang didapat dalam rentang 55-66, cukup baik jika 44-54, kurang baik jika 33-43, dan tidak baik jika kurang <33. Adapun distribusi gambaran distrbusinya, dalam bentuk diagram sebagai berikut.

49

Hasil Pengetahuan Pre-Test Baik

Cukup Baik

Kurang Baik

Tidak Baik

0% 18%

23%

59% Rerata pengetahuan pre-test = 36,44

Gambar 4.8 Diagram Hasil Pengetahuan Penderita DM Sebelum intervensi Penyuluhan mengenai Pola Makan DM (Pre-test)

Hasil Pengetahuan Post-Test Baik

Cukup Baik

Kurang Baik

Tidak Baik

0% 6%

47% 47%

Rerata pengetahuan post-test = 49,05

Pada gambar 4.7 terlihat bahwa keseluruhan responden mengalami peningkatan skor pengetahuan antara sebelum intervensi dan sesudah intervensi. Gambar 4.8 menunjukkan bahwa saat sebelum intervemsi sebagian besar responden memilik pengetahuan kurang baik yaitu sebesar 59% sedangkan gambar 4.9 yaitu setelah dilakukannya intervensi didapatkan bahwa 47% 50

responden memiliki pengetahuan baik dan 47% responden memiliki pengetahuan cukup baik. Demikian pula rata-rata perolehan skor seluruh responden, terjadi peningkatan antara sebelum dan sesudah intervensi yaitu dari 39,58 menjadi 55,1.

51

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain one group pretest posttest design dimana rancangan penelitian hanya menggunakan satu kelompok subjek yaitu penderita DM dengan melakukan pengukuran sebelum dan sesudah. Desain penelitian tersebut merupakan desain penelitian yang lemah, karena dalam penelitian tersebut tidak ada kelompok pembanding atau kelompok kontrol juga tidak adanya pengambilan sampel secara acak. Sehingga tidak dapat dilihat apakah perubahan hasil perlakuan memang murni akibat dari perlakuan tersebut atau dapat dikarenakan adanya faktor lainnya. Adapun faktor-faktor yang dapat memengaruhi pengetahuan, yaitu pendidikan, media informasi, sosial budaya dan ekonomi, lingkungan, pengalaman, dan usia. Di samping itu, waktu penelitian yang bersamaan dengan jam pelayanan poli umum puskesmas menjadikan penelitian ini memiliki jumlah sampel yang minimal. Disisi lain, keterbatasan juga diperoleh dari pihak peneiliti yang juga sebagai petugas kesehatan yang harus melayani penderita lain selain penderita DM di poli umum tersebut sehingga untuk mengingat efisiennya waktu hanya beberapa penderita DM yang dapat diambil sebagai sampel setiap harinya.

5.2 Pelaksanaan Intervensi Pelaksanaan intervensi dalam penelitian ini dilakukan secara perorangan pada penderita DM yang datang memeriksakan dirinya ke poli umum puskesmas Bengkayang dengan cetakan slide presentasi dan bantuan media leaflet sebagai pengingat bagi penderita DM di rumah. Peneliti memberikan pengetahuan mengenai penyakit DM dan Pola Makan DM dengan metode ceramah dan memberikan kesempatan kepada responden untuk bertanya atau menceritakan keluhan yang dialaminya.

52

5.3 Karakteristik Responden Penelitian 5.3.1 Usia Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa paling banyak penderita diabetes melitus berusia di atas 45 tahun yaitu sejumlah 16 orang (94% dari total responden). Hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dwi Puji S (2016) yang mendapatkan usia penderita DM paling banyak di atas 46 tahun yaitu sebanyak 34% dari total responden. Goldberg dan Coon dalam Rochman (2006) menyatakan bahwa umur erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan kadar glukosa darah, sehingga semakin meningkat usai maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi, proses meningkatnya usia setelah 30 tahun, mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Komponen tubuh yang dapat mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang menghasilkan insulin, sel-sel jaringan target yang menghasilkan glukosa, sistem saraf dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa dalam darah. Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan aspek fisik dan psikologis (mental), dimana aspek psikologis ini menjadikan taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa (Notoatmodjo, 2010). Teori lain yang juga mendukung adalah semakin tinggi umur maka semakin tinggi pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, sehingga semakin matang pola pikir seseorang dengan demikian akan mempengaruhi seseorang dalam bersikap, berperilaku dan bertindak (Dedeh, 2009).

5.3.2 Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa sebagian besar penderita DM yang berkunjung di Puskesmas Bengkayang berjenis kelamin perempuan yaitu sejumlah 11 responden (64%). Hasil ini sesuai penelitian di Amerika yang mengatakan jenis kelamin perempuan lebih beresiko terkena DM Tipe 2 daripada laki-laki. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan obesitas pada perempuan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Alhasil kenaikan angka kejadian DM juga lebih tinggi pada wanita yaitu 7,7% sedangkan laki-laki 5,6% dari nasional 6,9%.

53

Menurut Soegondo (2007), selain karena faktor hormonal dan jumlah lemak dalam tubuh serta tingkat trigliserida yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki, faktor aktivitas fisik wanita lebih rendah dibanding lakilaki. Sehingga hal ini memperkuat faktor resiko terjadi DM lebih besar pada wanita.

5.3.3 Pendidikan Pendidikan menurut Notoatmodjo (2005), merupakan suatu upaya seseorang untuk belajar dengan harapan dapat diaplikasikannya dalam bentuk tindak nyata. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri dan dapat meningkatkan kematangan intelektual seseorang. Kematangan intelektual ini berpengaruh pada wawasan dan cara berpikir seseorang, baik dalam tindakan yang dapat dilihat maupun dalam cara pengambilan keputusan serta pembuat kebijakan. Sebaliknya jika seseorang dengan tingkat pendidikan rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita DM termasuk dalam kategori pendidikan rendah sebanyak 76%. Penelitian CDC tahun 2008 didapatkan persentase tertinggi penderita diabetes adalah penderita dengan tingkat pendidikan dibawah sekolah menengah atas. Arsana (2009) dalam penelitiannya menjelaskan pendidikan mempengaruhi perilaku dalam pola makan serta faktor-faktor yang berhubungan dengan kepribadian responden seperti motivasi dan niat dalam diri responden, kembalinya responden ke pola makan awal karena merasa kondisi tubuhnya sudah baik sehingga kontrol dirinya berkurang dan belum mampu menerapkan proporsi zat gizi yang dikonsumsi sesuai dengan anjuran. Hal ini menjelaskan mengapa pada awal sebelum intervensi penyuluhan tingkat pengetahuan penderita DM rerata rendah.

5.3.4 Pekerjaan Dalam penelitian ini, jumlah responden sebagian besar adalah perempuan, sehingga pekerjaan terbanyak secara tidak langsung adalah Ibu Rumah Tangga. Tidak ada penelitian yang menunjukkan hubungan antara jenis pekerjaan dengan

54

resiko terjadinya DM, namun dapat diasumsikan bahwa penderita DM dengan jenis pekerjaan yang tidak banyak melibatkan aktivitas fisik, jam kerja yang padat dan gaya hidup sedentary memiliki pola makan yang tidak baik secara tidak langsung berkontribusi sebagai faktor resiko terjadinya penyakit DM. Pekerjaan juga dikaitkan dengan penghasilan atau tingkat ekonomi penderita DM. Tingkat ekonomi seseorang berbeda-beda tergantung jenis pekerjaan. Tingkat sosial ekonomi rendah berhubungan dengan rendahnya kualitas ekonomi, sehingga merupakan penyebab terjadinya kualitas hidup yang rendah pada masyarakat, sehingga pengetahuan dan manajemen dini pada masyarakat dalam mengatasi penyakit sangat buruk.

5.3.5 Lama Menderita DM Berdasarkan hasil penelitian ini, lama menderita DM sebagian besar < 5 tahun yaitu sejumlah 65%. Menurut Notoadmodjo (2003) faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah pengalaman. Pengalaman dalam penelitian ini adalah pengalaman atau lama pasien menderita diabetes melitus. Semakin lama pasien menderita DM mungkin semakin banyak pengetahuan yang didapatkan baik secara langsung oleh tenaga kesehatan atau secara tidak langsung dari pengalaman satu pasien ke pasien lainnya. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan secara statistik antara lamanya menderita DM dengan pengetahuan mengenai penyakit DM itu sendiri. Namun penelitian lain yang dilakukan oleh Nuniek dkk (2017) yang mencari hubungan lama menderita sakit DM dengan pengetahuan perawatan kaki ditemukan bahwa semakin lama seseorang menderita penyakit DM, pengetahuan tentang perawatan kaki non ulkus semakin bertambah. Hal ini dikarenakan pasien akan berusaha mencari sumber informasi sebanyak-banyaknya untuk mencegah terjadinya ulkus DM melalui perawatan kaki.

5.3.6 Faktor Keturunan Dalam penelitian ini orang yang memiliki resiko riwayat keluarga menderita DM lebih beresiko daripada orang yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita DM. Dari 17 total responden, 65% diantara menyatakan

55

memiliki riwayat keluarga menderita DM. Hal ini selaras dengan penelitianpenelitian sebelumnya yang menunjukkan terjadinya DM tipe-2 akan meningkat dua hingga enam kali lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami penyakit ini. Diabetes melitus timbul sebagai akibat interaksi genetik dan berbagai faktor eksternal lainnya. Penyakit ini dianggap berhubungan dengan agregasi familial. Penelitian di Jepang yang melibatkan 359 penderita DM tipe 2 dari 159 keluarga mengidentifikasi 2 loci potensial yaitu 7p dan 11p pada kromosom yang mungkin merupakan resiko genetik bagi DM tipe 2 pada masyarakat Jepang (Handayani, 2003).

5.4 Perbedaan Pengetahuan Antara Sebelum dan Sesudah Intervesi Penderita DM di Wilayah Puskesmas Bengkayang Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa nilai rata-rata setelah intervensi lebih tinggi dibanding sebelum intervensi, artinya terjadi peningkatan pengetahuan setelah dilakukan penyuluhan. Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian seperti penelitian Rahmawati dkk (2016) mengenai Pengaruh program Diabetes Self-Management Education (DMSE) terhadap manajemen diri pada penderita DM tipe 2 menunjukkan bahwa pemberian informasi berupa penyuluhan berpengaruh terhadap manajemen diri pasien DM Tipe 2. Penelitian serupa yang dilakukan di RSU Bahteramas mengenai pengaruh penyuluhan terhadap perubahan pengetahuan dan sikap penyandang DM didapatkan uji statistik nilai p 0,000 sehingga disimpulkan ada pengaruh signifikan antara pengetahuan subjek sebelum dan sesudah penyuluhan (Irma Rita, 2017) Penelitian ini menggunakan metode pembelajaran berupa penyuluhan perorangan atara peneliti dan responden dengan mengguanakan leaflet dan media slide presentasi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pulungan (2007) di Sumatera Utara untuk melihat pengaruh ceramah terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap dokter kecil dalam pemberantasan sarang nyamuk

demam

berdarah.

Efektivitas

penyuluhan

dalam

meningkatan

pengetahuan juga terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Sefrizon (2011) tentang pencegahan tuberkulosis, dimana metode pendidikan kesehatan tersebut

56

berhasil menigkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa dalam pencegahan tuberkulosis (p = 0,001). Leaflet dan media slide presentasi digunakan peneliti sebagai media tambahan dalam proses pembelajaran pada responden. Notoadmodjo (2007) mengemukakan bahwa pengetahuan diperoleh dari berbagai pengalaman. Setiap indera berbeda pengaruhnya terhadap hasil belajar seseorang yang mana indera penglihatan (83%) dan indera pendengaran (11%) merupakan urutan terbanyak dalam menyumbang proses penyerapan belajar seseorang, selebihnya diperoleh melalui indra pengecap (1%), peraba (2%) dan penghidu (3%). Penyuluhan kesehatan merupakan kegiatan pendidikan yang dilakukan untuk menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat dapat sadar dan memiliki pengetahuan dan mengerti bahkan mau dan dapat melaksanakan suatu anjuran kesehatan. Adanya peningkatan pengetahuan penderita DM sebelum dan sesudah penyuluhan dapat disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya karakteristik penderita DM yang mencakup umur dan pendidikan, adapun faktor lainnya yaitu faktor proses dalam pembelajaran. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori bahwa faktor eksternal atau faktor yang berasal dari luar individu seperti adanya pelatihan dapat berpengaruh pada meningkatnya pengetahuan penderita DM. Penderita DM dapat mengingat materi yang telah disampaikan oleh narasumber dan dalam pengetahuan ini berarti dapat mengingat kembali suatu informasi, materi atau bahan dari stimulus yang diterima (Notoatmodjo,2007). Leaflet merupakan bahan informasi dan pedoman penting bagi penderita DM, keluarga dan petugas kesehatan tentang penyakit DM dan pola makan penderita DM. Pengetahuan dan pemahamam yang baik mengenai penyakit DM dan pola makan DM merupakan modal dalam manajemen penyakit DM yang lebih baik sehingga angka morbiditas dan komplikasi akibat DM dapat dikurangi. Pengetahuan bukan hanya didapatkan dari pemberian informasi tetapi dari pengalaman, baik dari pengalaman sendiri maupun orang lain, lama menderita DM adalah pengalaman yang menjadi pengetahuan pada penderita secara subjektif, karena semakin lama seseorang menderita DM akan memicu untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai penyakit yang dialami. Selain

57

itu, dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan aspek fisik dan psikologis (mental), dimana aspek psikologis ini menjadikan taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa. Pengetahuan juga dapat diperoleh dari pendidikan seseorang, makin tinggi pendidikan seseorag maka makin mudah mereka menerima informasi baik dari petugas kesehatan maupun dari orang yang ada di sekitarnya. (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini mengarahkan pada tahap edukasi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sehingga adanya peningkatan pengetahuan pada penderita DM tersebut diharapkan mampu mempengaruhi sikap dan perilaku penderita DM dalam mengelola penyakit DM dan menerapkan Pola Makan DM sesuai anjuran.

58

BAB VI PENUTUP

6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa. a. Terdapat peningkatan pengetahuan penderita DM mengenai penyakit DM dan Pola Makan DM setelah setelah dilakukannya intervensi penyuluhan perorangan di Poli Umum Puskesmas Bengkayang. b. Kelompok usia responden terbanyak yaitu 45 – 55 tahun. c. Jenis kelamin responden terbanyak adalah perempuan d. Tingkat pendidikan responden terbanyak yaitu pendidikan rendah ≤ SMP. e. Lama menderita DM responden terbanyak yaitu kurang dari 5 tahun. f. Terdapat faktor keturunan atau riwayat keluarga menderita DM pada 65% responden.

6.2. Saran 6.2.1. Bagi Puskesmas Bengkayang 1. Bagi tenaga kesehatan di Puskesmas Bengkayang khususnya Poli Umum dapat memberikan edukasi yang tepat mengenai penyakit DM, pola makan dan pengelolaannya. 2. Diharapkan dapat melakukan edukasi dan evaluasi berkala untuk menillai pengetahuan penderita DM sehingga angka morbiditas akibat DM dapat dikurangi

6.2.2. Bagi Responden Bagi responden diharapkan dapat menerapkan pengetahuan yang telah disampaikan sehingga dapat mengelola penyakitnya dengan baik dengan demikian kualitas hidup penderita menjadi semakin baik.

59

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S., 2006, Prosedur Penelitian Sutau Pendekatan Praktik, Jakarta, Rineke Cipta Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Goldberg, AP.,et al., 2006, Diabetes Mellitus and Glucose Metabolisme in The Elderly, New York, International Ed McGraw Hill Ircham, Machfoedz, 2007, Pendidikan Kesehatan Bagiandari Promosi Kesehatan, Jogyakarta, Fitramaya Irma Rita, Sri W, Risma S., 2017, Pengaruh Penyuluhan Gizi terhadap Pengetahuan, Sikap Penyandang Diabetes Melitus di Poliklinik Interna RSU Bahteramas Sulawesi Tenggara, Jurnal Ilmu Gizi Indonesia 1:1 Maulana, Heri, d.j., 2009, Promosi Kesehatan, Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC Mubarak, Wahit Iqbal, dkk., 2007, Promosi Kesehetan Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar dalam Pendidikan, Yogjakarta, Graha Ilmu Nizmah F, Nuniek, dkk., 2017, Hubungan Lama Sakit Diabetes Melitus dengan Pengetahuan Perawatan Kaki pada Pasien Diabetes Melitus Non-Ulkus, Artikel Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang Notoatmodjo, S., 2003, Ilmu-Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-Prinsip Dasar) Cetakan ke 2, Jakarta. Rineke Cipta Notoatmodjo, S., 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta. Rineke Cipta Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), 2015, Konsesus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015, PERKENI, Indonesia Puji S, Dwi, 2016, Hubungan Jenis Kelamin dan Umur Penderita Diabetes Melitus dengan Penurunan Fungsi Kognitidi di Wilayah Kerja Puskesmas Pringapus Kecamatan Pringapus. Artikel Penelitian Prodi Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran Pulungan, Rumondang, 2008, Pengaruh Metode Penyuluhan Terhadap Peningkatan Pengetahuan Sikap Dokter Kecil Dalam Pemberantasan Sarang 60

Nyamuk Demam Berdarah (PSN-DBD) di Kecamatan Helvetia Tahun 2007, Tesis, Universitas Sumatera Utara Rahmawati, Teuku Tahlil, dan Syahrul, 2016, Pengaruh Program Diabetes Melitus Self-Education Terhadap Manajemen Diri pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2, Jurnal Ilmu Keperawatan 4:1 Sefrizon, 2011, Pengaruh Ceramah, Diskusi Kelompok dan Demonstrasi terhadap Pengetahuan dan Keterampilan Pencegahan Penularan Tuberkulosis Paru pada Siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Solok, Tesis, Fakutas Kedokteran UGM Shaw, J.E; R.A Sicree; P.Z. Zimeet, 2010, Diabetes Atlas: Global Estimates of the Prevalence of Diabetes for 2010 and 2030, Diabetes Reasearch and Clinical Practice, 87: 4-14 Silabernagi, Stefan. Florian Lang. Penyebab Diabetes Melitus. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. 2002. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Soegondo, S., 2007, Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini, dalam Soegondo S dkk (eds), Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu, Jakarta, FKUI Wild, Sarah; Gojka Roglic; Anders Green; Richard Sicree, 2004, Global Prevalence of Diabetes: Estimates for The Year 2000 and Projection for 2030, Diabetes Care, 27(5): 1047-1053

61

Related Documents

Dapus Bab 1.docx
May 2020 12
Dapus Bab 2 Dian.docx
June 2020 17
Dapus Bab 1.docx
May 2020 16
Bab 1-dapus Acs.docx
December 2019 10
Dapus
August 2019 36

More Documents from "Akhir Septian"