Bab I Pendahuluan Kti Irma (repaired).docx

  • Uploaded by: irma
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I Pendahuluan Kti Irma (repaired).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 11,441
  • Pages: 66
1

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Hipertensi atau Tekanan Darah Tinggi adalah kenaikan tekanan darah, dimana tekanan darah sistolik dan diastolik lebih dari 140/90 mmHg, yang menyebabkan kerusakan berbagai organ tubuh seperti jantung, otak, aorta, ginjal, pembuluh darah perifer dan retina, yang akibatnya dapat menyebabkan kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) pada gangguan kardiovaskuler dan stroke. Serta orang yang mengalami hipertensi memiliki tanda dan gejala umunya pusing, sakit kepala hebat, dan pandangan mata kabur (Corwin, 2009; Pikir S, 2015; WHO,2013).

Prevalensi Hipertensi di dunia, negara Indonesia menduduki peringkat ke5 besar selain Negara Amerika Serikat, Cina, India dan Rusia sebagai penyumbang penderita Hipertensi. Data dari Indonesia yang didapat dengan Hipertensi tertinggi disumbangkan oleh daerah Bangka Belitung dengan persentase 30,9 persen, Kalimantan Selatan 30,8 persen, Kalimantan Timur 29,6 persen dan 29,4 persen di daerah Jawa Barat, (Riskesdas, 2013). Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2017 sebanyak 154.343 kasus Hipertensi dan menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit tidak menular lainnya. Pada Kabupaten Hulu Sungai Tengah angka kasus Hipertensi merupakan yang tertinggi dari 10 penyakit tidak menular lainnya dengan jumlah 10.713 kasus pada tahun 2017 (Dinkes Provinsi Kalsel, 2017; Dinkes Kab.HST, 2017; Data Riskesdas, 2013). Dan data pada tahun 2017 mengalami

2

kenaikan dari tahun 2016 pada kasus Hipertensi di wilayah Puskesmas Kubur Jawa, sebanyak 133 kunjungan kasus. Dan pada bulan Juni 2018 didapatkan 243 kunjungan kasus dengan Hipertensi (Data Program PTM Puskesmas Kubur Jawa, 2017 & 2018).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi dapat dicegah dan diobati, dengan intervensi yang membantu mempertahankan tekanan darah tidak lebih dari 140/90 mmHg. Hal itu bisa dilakukan dengan terapi farmakologis dan nonfarmakologis. Terapi Farmakologis berupa terapi yang menggunakan obat-obatan anti Hipertensi misalnya diuretik, penyekat saluran kalsium, ACE inhibitor, B-bloker, a-bloker serta vasodilator (Pikir S, 2015). Sedangkan

terapi

nonfarmakologis

merupakan

terapi

yang

tidak

menggunakan obat-obatan, yaitu membatasi asupan garam, modifikasi diet/nutrisi, penurunan berat badan yang obesitas, berhenti merokok dan konsumsi alkohol, olahraga rutin dan teratur, manajemen stres dengan teknik relaksasi yang dapat membantu mengurangi denyut jantung dan TPR (Total Peripheral Resistance) dengan cara menghambat respon stress saraf simpatis (Corwin,2009; Nancy,2008 dalam Pikir S, 2015; La Ode, 2012).

Baik European Society of Hypertension (2009), American Heart Association (2011), National Institute for Health and Clinical Excellence (2011) dalam Pikir S (2015) menyarankan terapi kombinasi dalam penatalaksanaan antara terapi farmakologi dan nonfarmakologi untuk meningkatkan

efikasi

obat,

mengurangi

efek

samping,

sehingga

memproteksi terjadinya kerusakan organ lainnya. Pada terapi farmakologi dengan penggunaan jumlah obat yang banyak atau meningkat apabila

3

kompleksitas rejimen dosis meningkat, maka hal itu berefek juga pada beban biaya yang dikeluarkan, serta prediksi efek samping obat yang terjadi, yang menjadi penyebab diskontinuasi pengobatan. Pada situasi inilah peran terapi nonfarmakologi dibutuhkan sebagai penunjang dalam membantu tekanan darah bisa dikontrol atau stabil, terutama pada penderita Hipertensi (Sarafidis PA, 2008 ; Calhoun DA, 2008 dalam Pikir S, 2015). Pengobatan hipertensi umumnya membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu, faktor keamanan penggunaan obat jangka panjang menjadi perhatian utama (Armenia, 2007 dalam Nadila, 2014).

Dalam Coronary Artery Risk Development in Young Adults Study (CARDIA) dengan pemantauan lebih 15 tahun, didapatkan aktivitas fisik mereduksi 17% risiko hipertensi. Dalam studi Atherosclerosis Risk In Communities (ARIC), kuartil tertinggi aktivitas terutama bersepeda dan berjalan menurunkan 34% risiko terjadinya hipertensi dalam 6 tahun dibandingkan yang tidak aktif. Jadi, aktivitas fisik menurunkan risiko terjadinya hipertensi. Melakukan olahrga seperti jalan kaki dapat memberikan manfaat yang luar biasa bagi kesehatan jantung. Kegiatan jalan kaki akan meningkatkan kesehatan jantung dan membuat aliran darah menjadi lancar. Selain itu, jalan kaki dapat mengurangi tekanan darah tinggi, kelebihan berat badan, diabetes dan stress (Jenny Gichara, 2009 : 104; D.Manik, 2016 dalam Pikir S, 2015).

Pada tahun 2004, American College of Sport Medicine (ACSM) mengeluarkan pernyataan bahwa hipertensi bisa dicegah dan diturunkan dengan aktivitas fisik secara rutin. Penurunan tekanan darah terjadi akibat penurunan

tahanan

perifer

sitemik

yang

dihubungkan

dengan

4

peningkatan diameter pembuluh darah . Hal ini terjadi akibat adaptasi yang lama terhadap aktivitas fisik sehingga terjadi vasodilatasi (Thomas & Michael, 2008 dalam Pikir S, 2015).

Latihan berjalan kaki bersifat aerobik, dinamis dan berulang-ulang dari beberapa grup otot, menstimulasi sistem kardiovaskular dan pulmonal untuk mengirim oksigen ke otot yang sedang bekerja. Penurunan tekanan darah pada penderita Hipertensi setelah jalan kaki disebabkan karena terjadinya beberapa mekanisme dalam tubuh yaitu penurunan aktivitas sitem saraf simpatis, penurunan resistensi total perifer vaskular, penurunan curah jantung, meningkatnya sensitivitas barorefleks dan menurunnya volume plasma (American Thoracic Society, 2000; Lateur BJ, 1990 dalam Rahadiyanti, 2017).

Efek olahraga aerobik adalah kebugaran kardiorespiratori, karena olahraga tersebut mampu meningkatkan ambilan oksigen, meningkatkan kapasitas darah mengangkut oksigen dan denyut nadi menjadi ebih rendah saat istirahat maupun beraktivitas, serta meningkatkan jumlah kapiler, menurunkan jumlah lemak dalam darah dan meningkatkan enzim pembakar lemak (Siswantoyo, 2008; Anderson, 2002 dalam Dinata, 2015).

Olahraga di pagi hari merupakan bentuk olahraga yang lazim dilakukan dibandingkan olahraga pada malam hari. Beberapa ahli mengemukakan bahwa terdapat banyak kelemahan dalam berolahraga di malam hari. Kelemahannya berhubungan dengan jam biologis dimana pada malam hari merupakan waktu mulai beristirahatnya tubuh manusia. Pada pagi

5

hari, tekanan oksigen tinggi dan keasaman darah tinggi dan kemampuan hemoglobin mengikat oksigen meningkat, sedangkan pada malam hari kondisi tekanan oksigen rendah dan keasaman rendah sehingga menyebabkan kemampuan hemoglobin mengikat oksigen menurun. Serta udara pada pagi hari masih belum terpapar polusi dibandingkan siang hari dan malam hari (Ganong, 2003; Lakitan, 1997 dalam Dinata, 2015).

Penelitian pada meta analisis yang melibatkan 770 partisipan hipertensi diberikan latihan fisik (olahraga) dengan group kontrol dan group intervensi didapatkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik sebesar 6,9 / 4,9 mmHg pada grup intervensi dan 1/9/1,6 mmHg pada grup kontrol (Rajeev Gupta & Soneil Gupta, 2010 dalam Pikir S, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Fernando tahun 2012 menyatakan bahwa berolahraga secara teratur dapat menurunkan tekan dan darah sistolik sebesar 6-12 mmHg dan diastolik sebesar 3-7 mmHg pada penderita Hipertensi (Munawarah, 2017). Dan penelitian oleh Agustine J, 2014 didapatkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 9,0 mmHg dan diastolik 7,4 mmHg pada pasien Hipertensi yang diberi intervensi olahraga berjalan kaki selama 30 menit 3-5 kali perminggu (Rahadiyanti, 2017). Kelley, dkk (2000) menyatakan pada penelitiannya terdapat penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik 2-4% pada penderita Hipertensi yang melakukan latihan fisik (Khomaru, 2014). Sebaliknya penelitian oleh Fernando, 2012 yang kontra menyatakan latihan berintensitas sedang tidak terlalu berpengaruh dalam menurunkan tekanan darah pada Hipertensi (Surbakti, 2014).

6

Dari beberapa uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Latihan Jalan Kaki Terhadap Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Kubur Jawa”.

1.2.

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Pengaruh Latihan Jalan Kaki Terhadap Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Kubur Jawa”.

1.3.

Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum Dalam penelitian ini memiliki tujuan umumnya untuk mengetahui “Pengaruh Latihan Jalan Kaki Terhadap Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Kubur Jawa”. 1.3.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini yaitu a.

Mengidentifikasi

terhadap

karakterisktik

klien/responden

yang

darah

klien/responden

yang

menderita hipertensi. b.

Mengidentifikasi

tekanan

pada

menderita hipertensi sebelum dilakukan intervensi latihan jalan kaki. c.

Mengidentifikasi

tekanan

darah

pada

klien/responden

yang

menderita hipertensi sesudah dilakukan intervensi latihan jalan kaki. d.

Menganalisis

pengaruh

tekanan

darah

pada

klien/responden

penderita hipertensi yang diberi dan tidak diberi intervensi latihan jalan kaki.

7

1.4.

Manfaat Penelitian a. Bagi klien atau responden Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat serta masukan kepada klien/responden terutama yang menderita Hipertensi agar dapat mengontrol tekanan darahnya tidak hanya dengan terapi farmakologis

yaitu

obat-obatan tapi juga dengan terapi

non

farmakologis yaitu dengan melakukan latihan aerobik seperti jalan kaki dengan teratur dan rutin. b. Bagi Profesi Penelitian ini dilaksanakan dapat memberikan masukan yang bersifat membangun dan positif keperawatan

melalui

dalam usaha pengembangan profesi

informasi

yang

baru

tentang

intervensi

keperawatan dalam hal terapi nonfarmakologi yaitu salah satunya dengan pelaksanaan latihan aerobik seperti jalan kaki dengan teratur dan rutin. c. Bagi Pendidikan Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa menambah wawasan tentang keterkaitan berbagai cara penanganan tekanan darah pada klien Hipertensi

tentang

intervensi

keperawatan

dalam

hal

terapi

nonfarmakologi yaitu salah satunya dengan pelaksanaan latihan fisik seperti jalan kaki, yang dilakukan secara benar, teratur, rutin dan berkelanjutan. d. Bagi Institusi Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran atau informasi tentang tentang intervensi keperawatan dalam hal terapi nonfarmakologi yaitu salah satunya dengan pelaksanaan latihan fisik seperti jalan kaki, yang dilakukan secara benar, teratur, rutin dan

8

berkelanjutan pada terutama penderita Hipertensi. Dan diharapkan memberikan manfaat dalam bidang kesehatan tentunya dalam program Puskesmas dengan upaya preventif, promotif dan rehabilitatif pada pasien hipertensi dalam membantu mengoptimalkan terapi farmakologi yang sudah didapat dari layanan kesehatan dengan olahraga jalan kaki yang rutin, teratur, benar dilakukan, dan tentunya tidak membutuhkan biaya yang mahal dalam pelaksanaannya, juga mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan. Sehingga diharapkan kunjungan kasus akibat Hipertensi bisa dapat dikontrol dan tidak mengalami kenaikan.

1.5.

Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang terkait judul yang peneliti pilih yaitu : a. Penelitian yang dilakukan oleh Sabar Surbakti tahun 2014 dengan judul “ Pengaruh Latihan Jalan Kaki 30 Menit Terhadap Penurunan Tekanan darah Pada Pasien Penderita Hipertensi “ persamaan pada penelitian ini

pada variabel dependen yaitu tekanan darah dan

independen yaitu jalan kaki, pada penderita hipertensi. Sedangkan perbedaan dengan penelitian ini adalah sampel penelitian hanya 10 orang, dengan desain Eksperiment , one group pre-test dan post-test tidak ada kelompok kontrol, hanya 1 kelompok eksperimen yang diberikan intervensi dilakukan 3 kali dlm 1 minggu selama 6 minggu. Waktu dan tempat penelitian berbeda. b. Penelitian yang dilakukan oleh Khomarun tahun 2013 dengan judul “Pengaruh Aktivitas Fisik Jalan Pagi Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Lansia Dengan Hipertensi di Posyandu Lansia Desa Makam Haji”. Persamaan dengan penelitian pada variabel dependen

9

yaitu tekanan darah dan independen yaitu jalan kaki, pada lansia penderita hipertensi, dengan desain penelitian menggunakan QuasiEksperiment. Sedangkan perbedaan dengan penelitian ini adalah sampel penelitian hanya 15 orang, tidak ada kelompok kontrol hanya 1 kelompok eksperimen, karena menggunakan one group pre-test dan post-test design. Waktu dan tempat penelitian berbeda. c. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Munawarah 2017 dengan judul “Pengaruh Jalan Santai Terhadap Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi

Warga RW 005 Pisangan Ciputat”. Persamaan pada

penelitian ini

pada variabel dependen yaitu tekanan darah, pada

penderita hipertensi. Sedangkan perbedaan dengan penelitian ini adalah desain menggunakan Eksperiment dengan sampel penelitian hanya 15 orang, tidak ada kelompok kontrol hanya ada 1 kelompok eksperimen. Tempat dan waktu penelitian berbeda. Tanpa ada observasi langsung oleh peneliti terkait kegiatan intervensi yang dianjurkan.

10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Konsep Lansia

2.1.1. Definisi Lansia (Lanjut Usia) merupakan suatu fase atau tahapan dalam kehidupan yang pasti dialami oleh individu yang memperoleh umur yang panjang, yang meliputi berbagai aspek yaitu bilogis, psikologis dan sosial, Yang pada umumnya menghadapi perubahan pada bidang klinik, kesehatan jiwa, dan masalah pada bidang sosial ekonomi. Sehingga lansia dikelompokkan terhadap resiko tinggi dalam masalah fisik maupun mental (Tamher S, 2009 ; Efendy F, 2009 dalam Hanik 2014).

2.1.2. Klasifikasi Lansia Di Indonesia istilah untuk mengelompokkan usia, dengan kategori lanjut usia masih belum baku, ada yang menggunakan istilah lanjut ada yang memakai istilah lanjut usia. Berikut batasan lansia menurut beberapa para ahli : a.

Smith dan Smith menggolongkan usia lanjut menjadi 3 yaitu - Young old : usia 65-74 tahun - Middle old : usia 75-84 tahun - Old-old : usia lebih dari 85 tahun

b. Setyonogoro (1984) dalam Pikir S, (2015) menggolongkan bahwa yang disebut usia lanjut (geriatric age) adalah orang yang berusia di atas lebih dari 65 tahun. Yang terbagi atas: - 70-75 tahun disebut young old

11

- 75-85 tahun disebut middle age - > 80 tahun disebut very old Dalam Untari (2018) beberapa pendapat tentang klasifikasi lansia terdiri dari : a. Menurut WHO (2007), ada 4 tahapan lansia yaitu -

Usia pertengahan (middle age) = 45-59 tahun

-

Lanjut Usia (edderly) = 60-74 tahun

-

Lanjut usia tua = 75-90 tahun

-

Usia sangat tua = > 90 tahun

b. Menurut Jos Masdani lansia merupakan kelajutan dari usia dewasa dengan tahap : -

Fase iuventus = 25 – 40 tahun

-

Fase verilitas = 40 – 50 tahun

-

Fase presenium = 55-65 tahun

-

Fase senium = dari usia 65 tahun sampai tutup usia

c. Menurut Bee (1996), tahapan masa dewasa yaitu -

Dewasa muda = 18-25 tahun

-

Dewasa Awal = 25-40 tahun

-

Dewasa tengah = 40-65 tahun

-

Dewasa lanjut = 65-75 tahun

-

Dewasa sangat lanjut = > 75 tahun

2.1.3. Patofisiologi Hipertensi Pada Lansia Perubahan vaskuler dan neuro-humural dengan semakin meningkatnya umur sangat berperan pada terjadinya hipertensi pada lanjut usia, dan perubahan tekanan darah sistolik dan diastolik pada lansia merupakan konsekuensi relatif untuk terjadinya arterial stiffness (kekakuan arteri) dan

12

resistensi. Meningkatnya kekakuan pembuluh darah arteri (khususnya arteri besar), neurohormonal dan disregulasi autonom, disfungsi endotel, proses menuanya ginjal (menurunnya kemampuan untuk mengeluarkan sodium, rendahnya plasma rennin) dan resistensi insulin (Kithas , 2010 dalam Pikir S, 2015). Kekakuan pembuluh darah pada arteri adalah determinan yang sangat penting penyebab terjadinya hipertensi yang terisolasi pada lansia. Aorta dan cabang utamanya berfungsi seperti tabung elastik yang dapat mengalirkan darah dengan denyutannya dari jantung ke pembuluh dara perifer. Dengan bertambahnya umur ada jaringan viskoelastis yang hilang secara progresif pada sambungan pembuluh darah, meningkatnya penyakit arterosklerosis arterial, hipertropi dan sklerosis dari pembuluh darah dan otot arteri dan arteriol. Perubahan ini menyebabkan terjadinya hilangnya fungsi bantalan pembuluh darah dan kekakuan pada pembuluh darah arteri yang menyebabkan terjadinya pengembalian dini dari ref lected wave dari arteri perifer. Ref lected wave yang bergerak lebih dini ini menyebabkan terjadinya gelombang tekanan sistolik yang bersamaan dengan denyut jantung, yang menyebabkan meningkatkan tekanan sistolik dan penurunan tekanan diastolik, sehingga jarak tekanan nadi melebar dan menyebabkan terjadinya hipertensi (Hae-Young L, 2010; Nawrot T, et al, 2005 dalam Budi, 2015).

Mekanisme neurohormonal seperti sistem rennin-angiotensin-aldosterone (RAA) menurun dengan bertambahnya umur, creatnin clearance menurun pada lansia, sehingga menurunkan aktivitas dari pompa membrane sodium-pottasium-kalsium-adenosine-triphosphate

yang

menyebabkan

terjadinya kalsium dan sodium yang berlebih di intraseluler yang

13

mengakibatkan vasokonstriksi dan resistensi vaskuler. Meningkatnya sensitvitas terhadap garam dikarakteristikkan dengan meningkatnya tekanan darah pada saat overload dari sodium, sebagai hasil dari kemampuan ginjal yang terbatas untuk mengeksresikan kelebihan sodium (Nawrot T, et al, 2005 ; Nikolaos, 2012 dalam Pikir S, 2015). 2.1.4. Target Penurunan Tekanan Darah Pada Lansia Rekomendasi menurunkan tekanan darah pada hipertensi yang belum terkomplikasi adalah <140/90 mmHg (ACA/AHA, 2011). Pada usia lebih dari 80 tahun target penurunan tekanan darah pada hipertensi adalah <150/90 mmHg ( Guidiline NICE, 2011).

Sedangkan pada beberapa kondisi tertentu seperti usai decade 7 dan decade 8 yang menderita penyakit penyerta lainnya sepert diabetes mellitus, riwayat penyakit kardiovaskuler, gagal ginjal kronik derajat III-V adalah kurang dari sama dengan 130/80 mmHg. Sedangkan pada gagal jantung dan disfungsi LV asimptomatis targetnya adalah kurang dari sama dengan 120/80 mmHg (Arronow SW, et al, 2011, Chobanian AV,et al, 2007 dalam Pikir S, 2015 ; NICE, 2011).

2.2.

Konsep Tekanan Darah

2.2.1. Tekanan Darah Darah berfungsi sebagai pengangkut masal jarak jauh berbagai bahan antara sel dan lingkungan eksternal atau antara sel-sel itu sendiri. Darah sangat diperlukan untuk homeostatis tubuh. Darah terdiri dari cairan tubuh yang kompleks, yaitu plasma tempat unsur-unsur sel eritrorit, leukosit dan trombosit yang terbenam didalamnya. Darah membentuk sekitar 8% dari berat badan tubuh total dan memiliki volume rata-rata 5 liter pada wanita

14

dan 5,5 liter pada pria (Braunwald dkk, 2004 dalam Rahadiyanti, 2017).

Pembuluh darah mengangkut dan mendistribusikan darah yang dipompa oleh jantung untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan O2 dan nutrien, menyingkirkan zat-zat sisa dan menyampaikan sinyal hormon. Darah diangkut dari jantung ke berbagai jaringan melalui pembuluh darah arteri yang sangat elastis. Tekanan darah arteri rata- rata diatur sedemikian rupa agar penyampaian darah ke jaringan adekuat (Sherwood, 2010 dalam Rahadiyanti, 2017).

Menurut Braund (2005) Sherwood (2010) dalam Rahadiyanti (2017) menjelaskan bahwa laju aliran darah yang melintasi suatu pembuluh berbanding lurus dengan gradien tekanan dan berbanding terbalik dengan resistensi vaskuler. Apabila pembuluh darah memberikan suatu resistensi yang lebih besar terhadap aliran darah, maka jantung harus bekerja lebih keras untuk mempertahankan sirkulasi agar adekuat. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi resistensi terhadap aliran darah, yaitu : (1) kekentalan darah; panjang pembuluh darah; (3) jari-jari pembuluh. Tekanan darah merupakan hasil dari cardiac output dan resistensi perifer total. Cardiac output merupakan hasil dari volume sekuncup (stroke volume) dan denyut jantung. Stroke volume ditentukan oleh tiga hal yaitu kontraktilitas jantung, preload dan afterload (Sherwood, 2010 dalam Rahadiyanti, 2017).

Tekanan darah merupakan gaya yang ditimbulkan oleh darah terhadap dinding pembuluh, bergantung pada volume darah yang terkandung di dalam pembuluh darah dan daya regang dinding pembuluh darah

15

tersebut. Selama sistol ventrikel, volume sekuncup darah masuk arteriarteri dari ventrikel, sementara hanya sekitar sepertiga darah dari jumlah tersebut yang meninggalkan arteri untuk masuk ke arteriol-arteriol. Selama diastol, tidak ada darah yang masuk ke arteri-arteri, sementara darah terus meninggalkan mereka terdorong oleh daya regang pada arteri. Tekanan maksimum yang ditimbulkan di arteri sewaktu darah disemprotkan masuk ke dalam arteri selama sistol, atau tekanan sistolik, rata-rata adalah 120 mmHg. Tekanan minimum di dalam arteri sewaktu darah mengalir keluar pembuluh di hilir selama diastol, yakni tekanan diastolik, rata-rata 80 mmHg. Tekanan arteri tidak turun menjadi 0 mmHg karena timbul kontraksi jantung berikutnya dan mengisi kembali arteri sebelum semua darah keluar (Braund, 2005; Sherwood, 2010 dalam Rahadiyanti, 2017).

2.3.

Konsep Hipertensi

2.3.1.

Definisi Hipertensi atau Tekanan Darah Tinggi merupakan peningkatan pada tekanan persisten di pembuluh darah arteri, yang mana tekanan darah sistolik sama dengan atau lebih dari 140 mmHg serta tekanan darah diastolik sama dengan atau lebih dari 90 mmHg. (Corwin, 2009; Pikir S, 2015; WHO,2013).

Menurut JNC VI (1997) dalam La Ode (2012) menjelaskan hipertensi pada usia lanjut yaitu tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg yang didapatkan pada dua kali atau lebih pemeriksaan yang berbeda.

16

2.3.2. Faktor Yang Mempengaruhi Pada Nilai Tekanan Darah Menurut

Arhima

(2012)

Kaplan

(2010)

dalam

Pikir

S

(2015)

menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan atau mempengaruhi peningkatan tekanan darah yaitu a. Yang Tidak Dapat Dimodifikasi / Di ubah : -

Jenis Kelamin Hipertensi berkaitan dengan jenis kelamin laki-laki dan usia, namun pada usia tua, risiko hipertensi meningkat tajam pada perempuan dibandingkan laki-laki (Siyad AR, 2011; Jaddou, 2011 dalam Pikir S, 2015). Namun untuk menyimpulkan mortalitas vaskular secara keseluruhan untuk jenis kelamin kurang relevan ( Arhima, 2012 dalam Pikir S, 2015).

-

Usia / Umur Tekanan darah sistolik meningkat secara progresif sesuai usia, dan orang lanjut usia lebih berpotensi mengalami hipertensi, hal ini dikarenakan pada orang lanjut usia, terjadi pengerasan pada arteri dan kurang fleksibel (Sutters, 2011 dalam Pikir S, 2015).

-

Genetik / Riwayat Keluarga Pada orang yang mempunyai riwayat hipertensi kemungkinan besar memiliki risiko hipertensi sekitar 15-35 %.Hipertensi dapat terjadi akibat mutasi gen tunggal, diturunkan berdasarkan Hukum Mendel,

walaupun

jarang

tetapi

kondisi

ini

memberikan

pengetahuan penting regulasi tekanan darah (Sutters, 2011 dalam Pikir S, 2015). -

Ras Pada orang Amerika berkulit hitam cenderung lebih banyak memiliki tekanan darah tinggi dibandingkan orang Eropa yang

17

memiliki kulit lebih putih (Lylod-Jones dkk, 2009; Hertz dkk, 2005 dalam Pikir S, 2015). b. Yang Dapat Dimodifikasi -

Pendidikan/Pengetahuan Hipertensi berhubungan terbalik dengan tingkat edukasi, orang yang memiliki pengetahuan lebih tinggi termasuk hipertensi dan lebih mudah menerima gaya hidup sehat seperti diet sehat, olahraga, dan memelihara berat badan ideal (Jaddou, 2011 dalam Pikir S, 2015).

-

Kontrasepsi Oral Peningkatan kecil tekanan darah pada kebanyakan wanita yang menggunakan kontrasepsi oral. Kontrasepsi etrogen akan meningkatkan sekitar 3-6 / 2-5 mmHg, sekitar 5% wanita yang menggunakan kontrasepsi oral jangka panjang menunjukkan peningkatan tekanan darah di atas 140/90 mmHg. Dan sering terjadi juga pada usia wanita di atas 35 tahun, yang memakai kontrasepsi lebih dari 5 tahun (Sutters, 2011 dalam Pikir S, 2015)

-

Diet Garam (Natrium) Asupan garam dapat menyebabkan rigritas otot polos vascular, oleh karena itu asupan garam berlebihan dapat menyebabkan hipertensi.

The

2010

Dietary

Guidelines

for

Americans

merekomendasi konsumsi garam kurang dari 2300 mg /hari atau kurang dari 1500 mg pada penderita hipertensi, diabetes, penyakit ginjal kronik, atau pada usia 51 tahun ke atas atau orang kulit hitam (Siyad, 2011; Sutters, 2012; Ueshima, 2010 dalam Pikir S, 2015).

18

-

Obesitas/Kegemukan Obesitas terjadi pada 64% pada pasien hipertensi. Lemak badan memberi pengaruh pada kenaikan tekanan darah dan hipetensi, dan merupakan hasil kombinasi disfungsi pusat makan di otak, ketidakseimbangan asupan energy dan pengeluaran, dan variasi genetik (Halpern A, 2010; Lungu E, 2001; Sutter, 2012 dalam Pikir S, 2015).

-

Alkohol Konsumsi alkohol akan meningkatkan risiko hipertensi, namun mekanismenya belum jelas, mungkin akibat meningkatnya transport kalsium ke dalam sel otot polos dan melalui peningkatan ketokelamin plasma. Terjadinya hipertensi pada peminum alcohol berat akibat dari aktivasi simpatetik (Sliwa K, 2011 dalam Pikir S, 2015).

-

Rokok Rokok

menghasilkan nikotin

dan karbonmonoksida suatu

vasokintriktorpoten menyebabkan hipertensi, juga meningkatkan tekanan darah melewati peningkatan norepinefrin plasma dari saraf simpatetik, stress oksidatif dan efek vasopresor akut (Adrogue HJ, 2007; Kotche TA, 2008 dalam Pikir S, 2015). -

Konsumsi Kopi/Caffien Kopi dapat meningkatkan secara akut tekanan darah denga memblok reseptor vasodilatasi adenosine dan norepinefrin plasma (Kaplan, 2010 dalam Pikir S, 2015).

-

Latihan Fisik atau Olahraga Dalam studi Atherosclerosis Risk In Comunities (ARIC), kuartil tertinggi

aktivitas

(terutama

bersepeda

dan

berjalan)

19

menurunkan 34% risiko terjadinya hipertensi dalam 6 tahun dibandingkan yang tidak aktif. Jadi aktivitas fisik menurunkan risiko

terjadinya

hipertensi.

Mekanismenya

melibatkan

perubahan berat badan dan faktor lainnya (Sutters, 2012 dalam Pikir S, 2015). -

Stress Mental Stressor merupakan stimuli intrinsic dan ekstrinsik menyebabkan gangguan fisiologi dan psikologi, dan dapat membayakan kesehatan.

Akses

hipotalamus-hifofisis-adrenal

merupakan

mekanisme yang menghubungkan obesitas, hipertensi, dan stress. Stimulasi saraf simpatik (SSS) yang disebabkan stress meningkatkan frekuensi nadi dan curah jantung.(Cheung, 2012; Kaplan, 2015 dalam Pikir, S, 2015).

2.3.3. Klasifikasi Hipertensi Klasifikasi penyakit Hipertensi sangat diperlukan dalam menegakkan diagnosa, memberikan terapi farmakologi atau nonfarmakologi dan memberikan asuhan keperawatan, berikut klasifikasi hipertensi. Tabel 2.1. Klasifikasi Hipertensi menurut JNC VII 2.

BP Stage

3.

Systolic

4. BP Diastolic BP (mmHg)

(mmHg) < 120

7.

< 80

9. Pre Hypertension

120-139

10.

80 – 89

11.

12. Stage 1 Hypertension

140-159

13.

90 – 98

14.

15. Stage 2 Hypertension

>160

16.

> 100

5.

Normal

8.

6.

20

Sedangkan menurut Kaplan (2010) dalam Pikir S, 2015, La Ode (2012) mengklasifikasikan Hipertensi menjadi : a. Hipertensi Maligna Hipertensi ini sering mengacu pada Hipertensi yang disertai atau ditandai dengan perdarahan retina, adanya eksudat, ataupun pupil edema. b. Hipertensi Urgensi Hipertensi berat yang tekanan sistoliknya >180 mmHg atau tekanan diastolik diatas 120 mmHg, pada pasien yang tanpa gejala / asimptomatik serta tanpa bukti adanya kerusakan target organ. c. Hipertensi Primer Hipertensi ini terjadi akibat adanya peningkatan aktivita saraf simpatis dan dipengaruhi oleh genetik, peningkatan Na, dan kalsium intraseluler serta faktor gaya hidup yang kurang baik. d. Hipertensi Sekunder Penyebab dari hipertensi ini sudah jelas dan dapat diketahu dengan spesifik yaitu akibat dari penggunaan estrogen, penyakit ginjal, kolesterol yang abnormal, serta hipertensi yang berkaitan dengan kehamilan.

2.3.4. Etiologi Menurut Corwin (2009), Dalimartha (2008) dalam Hanik (2014), Long (1995), Reever d& Lockhart (2001); Yayasan Jantung Indonesia (2007) dalam La Ode (2012) menyebutkan beberapa penyebab terjadinya hipertensi yaitu a. Adanya riwayat hipertensi ada orang tua ayah, ibu atau keduanya.

21

b. Kelebihan dalam konsumsi natrium akan meningkatkan terjadinya resiko hipertensi. c. Penyakit kelenjar adrenal. d. Penyakit Ginjal. e. Toximea Gravidarum. f.

Peningkatan tekanan Intra Cranial.

g. Emosi yang terganggu atau stress. h. Asupan alkohol yang berlebihan. i.

Obesitas dan peningkatan berat badan.

j.

Kurangnya aktivitas fisik.

k. Dislipidemia. l.

Kekurangan Vitamin D.

m. Kontrasepsi oral seringkali meningkatkan tekanan darah diatas kisaran normal. n. Kurang gerak atau latihan ativitas fisik.

2.3.5. Patofisiologi Menurut Vikrant S( 2001) dalam Pikir S (2015) menjelaskan faktor-faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah, pada dasarnya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi rumus dasar yaitu tekanan darah = curah jantung x resitensi perifer. Tekanan darah dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sitem sirkulasi yang merupakan hasil dari pompa jantung atau sering disebut curah jantung (cardiac output) dan tekanan dari arteri perifer (resistensi perifer). Menurut Oparil (2003) dalam Pikir S (2015) menjelaskan faktor lainnya yang mengontrol tekanan darah yang berkontribusi secara potensial dalam terbentuknya hipertensi yaitu peningkatan aktivasi saraf simpatis

22

(tonus simpatis / variasi diurnal), produksi hormone berlebihanyang meretnsi natrium, vasokonstriktor, kurangnya asupan kalium dan kalsium, peningkatan sekresi rennin yang menyebabkan peningkatan produksi Angiotensin II (AII) dam aldesteron; defisiensi vasodilator seperti prostasklin, nitrit oxide (NO), dan peptide natriuretik, perubahan dalam sekpresi sistem kallikrien-kinin yang mempengaruhi tonus vascular dan penanganan garam oleh ginjal, abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk dalam gangguan dalam pembuluh darah ke ginjal, diabetes mellitus, retensi insulin, obesitas, peningkatan aktivitas growth factors, perubahan resptor adrenergic yang mempengaruhi denyut jantung, khususnya inotropik jantung dan tonus vascular.

Perubahan vaskuler dan neuro-humural dengan semakin meningkatnya umur sangat berperan pada terjadinya hipertensi pada lanjut usia, dan perubahan TDS dan TDD pada lansia merupakan konsekuensi relatif untuk terjadinya arterial stiffness (kekakuan arteri) dan resistensi. Meningkatnya kekakuan pembuluh darah arteri (khususnya arteri besar), neurohormonal dan disregulasi autonom, disfungsi endotel, proses menuanya ginjal (menurunnya kemampuan untuk mengeluarkan sodium, rendahnya plasma rennin) dan resistensi insulin (Kithas , 2010 dalam Pikir S, 2015).

Kekakuan pembuluh darah pada arteri adalah determinan yang sangat penting penyebab terjadinya hipertensi yang terisolasi pada lansia. Aorta dan cabang utamanya berfungsi seperti tabung elastik yang dapat mengalirkan darah dengan denyutannya dari jantung ke pembuluh dara perifer. Dengan bertambahnya umur ada jaringan viskoelastis yang hilang

23

secara progresif pada sambungan pembuluh darah, meningkatnya penyakit arterosklerosis arterial, hipertropi dan sklerosis dari pembuluh darah dan otot arteri dan arteriol. Perubahan ini menyebabkan terjadinya hilangnya fungsi bantalan pembuluh darah dan kekakuan pada pembuluh darah arteri yang menyebabkan terjadinya pengembalian dini dari ref lected wave dari arteri perifer. Ref lected wave yang bergerak lebih dini ini menyebabkan terjadinya gelombang tekanan sistolik yang bersamaan dengan denyut jantung, yang menyebabkan meningkatkan tekanan sistolik dan penurunan tekanan diastolik, sehingga jarak tekanan nadi melebar dan menyebabkan terjadinya hipertensi (Hae-Young L, 2010; Nawrot T, et al, 2005 dalam Budi, 2015).

Mekanisme neurohormonal seperti sistem rennin-angiotensin-aldosterone (RAA) menurun dengan bertambahnya umur, creatnin clearance menurun pada lansia, sehingga menurunkan aktivitas dari pompa membrane sodium-pottasium-kalsium-adenosine-triphosphate

yang

menyebabkan

terjadinya kalsium dan sodium yang berlebih di intraseluler yang mengakibatkan vasokonstriksi dan resistensi vaskuler. Meningkatnya sensitvitas terhadap garam dikarakteristikkan dengan meningkatnya tekanan darah pada saat overload dari sodium, sebagai hasil dari kemampuan ginjal yang terbatas untuk mengeksresikan kelebihan sodium (Nawrot T, et al, 2005 ; Nikolaos, 2012 dalam Pikir S, 2015).

2.3.6. Manifestasi Klinis Beberapa tanda dan gejala pada penyakit Hipertensi menurut Aziza (2007), Palmer dan William (2007) dalam Hanik (2014) yang biasa terjadi seperti pusing, sakit kepala berat, pandangan atau penglihatan terasa

24

kabur, susah bernafas, sering mengantuk, sulit tidur, kebingungan, nyeri dada, mual muntah, kesemutan pada kaki dan tangan , perdarahan, edema pupil, bisa juga terjadi penurunan kesadaran.

2.3.7. Komplikasi Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita hipertensi apabila tidak ditangani dengan baik dan benar, terutama bagi kesehatan tubuh dan organ (Dalimartha, 2008; Depkes, 2007 dalam La ode, 2012) seperti : a. Pada Jantung Berupa Infark Miokard, angina pectoris, gagal jantung. b. Pada Ginjal Terjadinga gagal ginjal akibat dari kerusakan progresif dari tekanan tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomerulus. c. Pada Otak Pada otak terjadinya stroke dan serangan iskemik. d. Pada Mata Terjadinya gangguan pada penglihatan serta perdarahan pada retina sampai akhirnya kebutaan. Dan kemungkinan terburuknya adalah penyebab terjadinya kematian yang terjadi 7,1 juta jiwa tiap tahunnya di dunia, sehingga hipertensi diberi julukan “ The Silent Killer” (Makris, 2011; Sarafidis, 2008 dalam Pikir S, 2015).

25

2.3.8.

Penatalaksanaan Menurut Jones (2007) Oparil (2005) Weber (2007, 2010) dalam Pikir, S (2015) menerangkan bahwa tatalaksana hipertensi memiiki 3 (tiga) tujuan yaitu a. Tujuan jangka pendek Untuk mencapai tekanan darah yang optimal dan tercapainya tolerabilitas penderita. JNC VII , ADA dan NKF menganjurkan penurunan tekanan darah < 140/90 mmHg pada penderita tanpa komplikasi, dan <130/80 mmHg pada Hipertensi dengan penyakit diabetes mellitus dan atau dengan Chronic Kidney Disease (CKD). b. Tujuan jangka menengah Tujuan menengah adalah evaluasi perubahan target organ yaitu massa otot ventrikel kiri, fungsi ginjal, protiennuria dan perubahan vascular lainnya. c. Tujuan Jangka Panjang Untuk mencegah terjadinya komplikasi kejadian kardiovaskular seperti gagal jantung, infark miokard dan stroke.

Hipertensi atau tekanan darah tinggi dapat dicegah dan diobati, dengan intervensi yang membantu mempertahankan tekanan darah dibawa 140/90 mmHg. Hal itu bisa dilakukan dengan terapi farmakologis dan nonfarmakologis. Terapi Farmakologis berupa terapi yang menggunakan obat-obatan anti Hipertensi misalnya diuretic, penyekat saluran kalsium, ACE inhibitor, B-bloker, a-bloker serta vasodilator.

Data dari beberapa studi klinis menunjukkan bahwa terapi anti hipertensi dapat menurunkan insidensi stroke sebanyak 35-45%, infark miokard

26

sebanyak 20-25 %, dan gagal jantung sebanyak >50%. Pilihan terapi anti hipertensi mencakup beberapa kelas obat yaitu diuretic, B-adrenoreceptor Blockers (BBs), ACE Inhibitors (ACE-I), Angiotensin Receptor Blockers (ARB), DSirect Renin Inhibittors (DRIs), ccalcium Channel Blockers (CCB), dan Central Shympatholytiscs baik sebagai monoterapi atau komninasi. Sedangkan terapi nonfarmakologis merupakan terapi yang tidak menggunakan obat-obatan, yaitu membatasi asupan garam, modifikasi diet/nutrisi, penurunan berat badan yang obesitas, berhenti merokok, berhenti konsumsi alcohol, olahraga rutin dan teratur, serta salah satunya manajemen stress dan teknik relaksasi yang dapat membantu mengurangi denyut jantung dan TPR (Total Peripheral Resistance) dengan cara menghambat respon stress saraf simpatis (Pikir, S, 2015; Corwin,2009; Nancy, 2008 dalam Hanik, 2014).

Rekomendasi menurunkan tekanan darah pada hipertensi yang belum terkomplikasi adalah <140/90 mmHg (ACA/AHA, 2011). Pada usia lebih dari 80 tahun target penurunan tekanan darah pada hipertensi adalah <150/90 mmHg (Guidiline NICE, 2011). Sedangkan pada beberapa kondisi tertentu seperti usai decade 7 dan decade 8 yang menderita penyakit penyerta lainnya sepert diabetes mellitus, riwayat penyakit kardiovaskuler, gagal ginjal kronik derajat III-V adalah kurang dari sama dengan 130/80 mmHg. Sedangkan pada gagal jantung dan disfungsi LV asimptomatis targetnya adalah kurang dari sama dengan 120/80 mmHg (Arronow SW, et al, 2011, Chobanian AV,et al, 2007 dalam Pikir S, 2015 ; NICE, 2011).

27

2.4.

Konsep Latihan Fisik

2.4.1. Definisi Aktivitas fisik pada dasarnya adalah segala kegiatan fisik yang dilakukan seseorang, apakah itu dalam kegiatan yang sifatnya berolahraga, bekerja ataupun berekreasi (ICSPE, 2013 dalam Rahadiyanti, 2017). Aktivitas fisik apapun hanya dapat dilakukan apabila terdapat energi yang diperlukan untuk kegiatan tersebut. Makin berat atau makin lama aktivitas fisik maka makin banyak pula energi yang dibutuhkan, kebalikannya semakin ringan dan makin singkat aktivitas fisik maka makin sedikit energi yang dibutuhkan. Sebagai kesimpulan untuk menilai aktivitas fisik salah satu caranya adalah dengan mengukur energi yang diperlukan atau dihasilkan untuk kegiatan tersebut (Bompa TO, 1990 dalam Rahadiyanti 2017).

Latihan Aerobik adalah latihan yang memerlukan oksigen untuk pembentukan energinya yang dilakukan secara terus-menerus, ritmis dengan melibatkan kelompok otot-otot besar terutama otot tungkai pada intensitas latihan 60-90% dari maksimal Heart Rate dan 50-85% dari penggunaan maksimal oksigen selama 250 menit dengan frekuensi latihan tiga kali perminggu (Kusmaningtyas, 2011 dalam Rahadiyanti, 2017).

Berdasarkan Declaration on Sport yang dikeluarkan di paris oleh International Council of Sport and Physycal Education (ICSPE) olahraga didefinisikan sebagai setiap kegiatan fisik yang mengandung sifat permainan dan berisi perjuangan dengan diri sendiri ataupun orang lain . Menurut pembagiannya, olahraga dibagi menjadi olahraga yang bersifat

28

aerobik dan anaerobik (Scott K, 2004 dalam Rahadiyanti, 2017) Pembagian ini berdasarkan atas sumber energi yang dipakai saat berolahraga. Olahraga yang bersifat aerobik adalah olahraga yang kerja otot atau gerakan ototnya dilakukan menggunakan oksigen untuk melepaskan

energi

dari

bahan-bahan

otot.

Penyerapan

dan

pengangkutan oksigen ke otot-otot diangkut oleh sistem kerdiorespirasi. Sehingga

olahraga

yang

bersifat

aerobik

memperkuat

sistem

kardiovaskular dan respirasi untuk mempergunakan oksigen di dalam otot (Peter GJM, 2000 dalam Rahadiyanti, 2017). Penyediaan energi saat berolahraga aerobik memerlukan waktu sebelum benar-benar dapat digunakan, yakni sekitar 2-3 menit (Harsono, 2000 dalam Rahadiyanti, 2017).

Sedangkan yang dimaksud dengan olahraga anaerobik adalah olahraga yang tidak menggunakan oksigen dalam penyediaan energi selama olahraga berlangsung. Otot-otot yang bekerja saat olahraga anaerobik menggunakan energi yang telah tersimpan di dalam. Selama olahraga anaerobik tubuh membuat toleransi untuk membentuk asam laktat (Lateur BJ, 1990 dalam Rahadiyanti, 2017). Terdapat dua jenis dalam olahraga anaerobik, yakni olahraga daya tahan kecepatan dan olahraga daya tahan kekuatan. Mengembangkan daya tahan kecepatan membantu individu untuk dapat berlari dengan kecepatan yang tinggi, meskipun terjadi pembentukan asam laktat. Sedangkan olahaga daya tahan kekuatan mengijinkan individu tersebut terus menerus mengeluarkan tenaga meskipun terjadi pembentukan asam laktat (Prawirasaputra, 2013 dalam Rahadiyanti, 2017). Energi yang dibutuhkan saat berolahraga anaerobik langsung tersedia tanpa perlu menunggu waktu, tetapi

29

penyediaan energi ini hanya bertahan 6 sampai 8 detik (Lateur BJ, 1990 dalam Rahadiyanti, 2017).

Latihan/ olahraga aerobik merupakan jenis olahraga yang dapat meningkatkan kesehatan jantung dan paru. Aktivitas olahraga aerobik dapat memberikan hasil yang maksimal jika dilakukan secara rutin dan efektif sehingga mencapai tujuan tidak menimbulkan cedera (Purba, 2006). Olahraga aerobik adalah olahraga yang dilakukan secara terus menerus dimana kebutuhan oksigen, masih dapat dipenuhi oleh tubuh. Latihan aerobik dibagi dalam 3 tipe menurut Miller (2006) yaitu : a. Tipe 1 : Olahraga dengan naik turunnya denyut nadi yang relatif stabil . Contoh : jalan, bersepeda, dan treadmill. b. Tipe 2 : Olahraga dengan naik turunnya denyut nadi secara bertahap . Contoh senam, dansa, dan renang. c. Tipe 3 : Olahraga dengan naik turunnya denyut nadi secara mendadak, umumnya dalam bentuk permainan. Contoh : sepak bola, basket, voli, tenis lapangan, dan tenis meja.

30

Saat melakukan aktivitas aerobik, tekanan darah akan naik cukup banyak. Misalnya, selama melakukan latihan - latihan aerobik yang keras, tekanan darah sistolik dapat naik menjadi 150 - 200 mmHg dari tekanan sistolik ketika istirahat sebesar 110 - 120 mmHg. Sebaliknya, segera setelah latihan aerobik selesai, tekanan darah akan turun sampai di bawah normal dan berlangsung selama 30 - 120 menit. Kalau olahraga aerobik dilakukan berulang - ulang, lama - kelamaan penurunan tekanan darah tadi berlangsung lebih lama. Itulah sebabnya latihan olahraga secara teratur akan dapat menurunkan tekanan darah. Jenis olahraga yang efektif menurunkan tekanan darah adalah olahraga aerobik dengan intensitas sedang. Frekuensi latihannya 3 - 5 kali seminggu, dengan lama latihan 20 60 menit sekali latihan (Trisusilowati, 2016; Utami, 2016).

Perubahan struktural vaskular karena latihan fisik merupakan remodeling vaskular berupa perpanjangan dan pelebaran pembuluh darah ateri dan vena atau pembentukan vaskular baru (Prijo, 2011 dalam Saputra, 2015). Latihan fisik juga menunjukkan dapat meningkatkan diameter pembuluh darah, penurunan rasio tebal tunika intima media serta pembesaran pembuluh darah secara tetap (Prijo, 2011 dalam Saputra, 2015).

2.4.2. Latihan Jalan Kaki Latihan berjalan kaki bersifat dinamis dan berulang-ulang dari beberapa grup otot, menstimulasi sistem kardiovaskular dan pulmonal untuk mengirim oksigen ke otot yang sedang bekerja Berjalan kaki termasuk jenis latihan aerobik yang bersifat Kontinyu dan menyebabkan perubahan pada otot

31

rangka dan kardiorespirasi. Pada otot rangka terdapat peningkatan konsentrasi mioglobin sebagai senyawa yang dapat mengikat oksigen. Latihan ini meningkatkan kemampuan tubuh untuk mengkonsumsi oksigen (Lateur BJ, 1990; Prawirasaputra, 2013 dalam Rahadiyanti, 2017). Selain itu juga terdapat beberapa perubahan yang terjadi pada tubuh setelah melakukan latihan dengan berjalan kaki secara kontinyu antara lain pembesaran ukuran jantung, peningkatan isi sekuncup, dan peningkatan kapasitas paru serta peningkatan VO2 maksimal (Norkin, 2009 dalam Rahadiyanti, 2017).

Jenis latihan yang dapat diberikan pada usia di atas 40 tahun adalah latihan submaksimal. Melalui latihan yang bersifat aerobik dan dengan frekuensi 3 sampai 4 kali seminggu, durasi selama 30 sampai 60 menit, dengan intensitas yang disesuaikan dengan kondisi individual (Depkes RI, 2004 dalam Rahadiyanti, 2017). Sedangkan menurut Daley (2011) mneyebutkan bahwa olahraga atau latihan fisik selama minimal 30 menit setiap hari akan menurunkan tekanan darah. Intensitas latihan submaksimal ditentukan oleh target denyut nadi, yaitu 70% x (220-umur). Intensitas latihan dapat ditingkatkan dengan jarak tempuh yang makin bertambah pada durasi latihan yang tetap. Intensitas latihan dapat ditentukan berdasarkan hasil uji jalan 6 menit. Frekuensi latihan bergantung dengan tingkat kebugaran seseorang, yang juga dapat ditentukan berdasarkan uji jalan 6 menit. Bila seseorang mampu berjalan sejauh 300 meter per 6 menit, maka frekuensi latihannya 3 sampai 4 kali perminggu (American Thoracic Society, 2000; Lateur BJ, 1990 dalam Rahadiyanti, 2017).

32

2.4.3. Manfaat Latihan Aerobik Menurut Basmajian (2001) Scott (2004) William & Wilkin (2001) dalam Rahadiyanti (2017) respons fisiologis berbagai sistem tubuh terhadap latihan tergantung dari jenis intensitas latihan dan keadaan lingkungan, berikut beberapa adaptasi aerobik yang utama, terjadi pada otot skeletal yang dihasilkan oleh latihan berjalan kaki. yaitu : a. Peningkatan kadar mioglobin Mioglobin

merupakan

pigmen

yang

mengikat

oksigen

dengan

hemoglobin. Mioglobin merupakan tempat persediaan oksigen. Fungsi minor memperbaiki sistim aerobik. Fungsi pokok adalah menambah difusi oksigen membran sel ke mitokondria yang digunakan. b. Peningkatan oksidasi karbohidrat (glikogen) Latihan dapat meningkatkan kapasitas otot skeletal terhadap pemecahan glikogen pada proses oksidasi dengan hasil ATP. Dengan kata lain kapasitas otot menghasilkan energi aerobik yang meningkat. dibuktikan dengan peningkatan tenaga aerobik maksimal (Vo2 maks : Volume Oksigen Maksimal). c. Perubahan relatif pada serabut otot tipe I dan II Perubahan

serabut otot pada latihan kontinyu terjadi terutama pada

serabut tipe I yang mempunyai kapasitas aerobik yang lebih tinggi dari tipe II. Dari sistem kardiovaskuler, latihan aerobik mempunyai keuntungan menurut La Place (2004) dalam Trisusilowati (2016) yaitu : a. Meningkatnya ukuran dan kekuatan jantung, memungkinkan organ memompa darah lebih banyak setiap denyutan dan waktu istirahat lebih banyak antara

33

denyutan mungkin menghemat 10.000 sampai 40.000 denyutan sehari. Meningkatnya ukuran dan kelenturan dari pembuluh darah, mengurangi tekanan darah dan menurunkan tingkat kolestrol dalam darah. b. Meningkatnya pasokan darah, termasuk naiknya jumlah hemoglobin dan plasma darah yang memperlancar sistem pembuangan sisa-sisa metabolisme dan memberikan lebih darah untuk memenuhi otot dan jaringan lainnya, serta mengurangi kelelahan dan membangun daya tahan. c. Terciptanya jaringan baru dari pembuluh darah dan kapiler di daerah jantung dari otot rangka, dengan demikian meningkatkan aliran oksigen ke seluruh tubuh.

2.4.4. Efek Latihan Jalan Kaki Terhadap Hipertensi Hipertensi memberikan respons positif terhadap aktifitas fisik yang bersifat aerobik. Latihan aerobik tidak menurunkan tekanan darah pada individu dengan tekanan darah normal tetapi pada individu dengan hipertensi. Latihan aerobik akan menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik. Penurunan tekanan darah yang bermakna terlihat setelah latihan sebanyak 14 kali. Dan akan menetap untuk selanjutnya apabila individu meneruskan kebiasaannya (Augustine J, 2008; Janet P, 2003 dalam Rahadiyanti 2017).

Terdapat respons akut tekanan darah saat latihan, respons akut ini tergantung dari jenis latihan yang digunakan. Pada latihan berjalan kaki yang merupakan latihan aerobik terdapat respons awal berupa peningkatan secara linier tekanan darah sistolik yang terjadi bersamaan dengan peningkatan intensitas kerja yang secara sekunder disebabkan oleh peningkatan curah

34

jantung. Penurunan resistesi ini lebih jelas terjadi pada tekanan darah diastolik. Setelah melakukan latihan berjalan kaki untuk waktu tertentu pasien hipertesi akan mengalami penurunan tekanan darah dan juga peningkatan fungsi jangtung (Kusmana, 2010 dalam Rahadiyanti, 2017).

Penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi setelah latihan jalan kaki disebabkan karena terjadinya beberapa mekanisme dalam tubuh yaitu penurunan aktivitas sistim saraf simpatis, penurunan resistensi total perifer vaskular, penurunan curah jantung, meningkatnya sensitivitas barorefleks dan menurunnya volume plasma. Latihan berjalan kaki menurunkan tekanan darah harian baik pada saat istirahat maupun saat aktivitas (Burt VL, dkk, 2009; Anjum et al, 2004 dalam Rahadiyanti, 2017).

Aktivitas fisik secara teratur dalam waktu kurang lebih 30 menit dapat menurunkan tekanan darah dan denyut nadi istirahat (Divine, 2012). Peningkatan jumlah aktivitas fisik bermanfaat terhadap penurunan risiko penyakit jantung (Durstine, 2012).

35

Kerangka Mekanisme Kerja Efek Latihan Jalan Kaki pada Penurunan Tekanan Darah Hipertensi Hipertensi

Jalan Kaki (Olahraga/Latihan Aerobik) Peningkatan Aktivitas Saraf Simpatis

Penurunan Aktivitas Saraf Parasimpatis

Peningkatan Denyut Jantung

Peningkatan curah jantung Peningkatan tekanan darah

Peningkatan aktivitas otot rangka

Berkeringat

Peningkatan resistensi otot rangka

Penurunan volume plasma

Penurunan resistensi pd jantung & organ lain

Setelah Olahraga Teratur

Penurunan vasopresin

Peningkatan efesiensi kerja jantung

Curah jantung menurun

Penurunan aktivasi saraf simpatis

Vasodilatasi pembuluh darah Penurunan resistensi perifer total

Penurunan Tekanan darah Sistolik

Penurunan Tekanan Darah Pada Hipertensi

Penurunan Tekanan darah diastolik

36

2.4.4. Siklus Berjalan Kaki Suatu siklus berjalan adalah aktivitas yang terjadi antara saat tumit menyentuh lantai atau heel strike dari suatu ekstremitas dan heel strike berikutnya pada ekstremitas yang sama.Siklus berjalan terdiri dari 2 fase yaitu fase strance yang merupakan 60% dari keseluruhan siklus dan fase swing meliputi 40% (Norkin CC, 2003 dalam Rahadiyanti, 2017).

Diantara fase stance dan swing, terdapat saat dimana kedua kaki menumpu berat badan yang disebut sebagai double stance. Saat tersebut akan lebih singkat apabila jalan semakin cepat. Fase stance terbagi atas 15% periode pertama dari siklus berjalan dimulai saat tumit menyentuh lantai disebut heel strike, diikuti dengan foot flat dimana seluruh telapak kaki menyentuh lantai. Terlihat fleksi pada lutut dan pinggul sebagai persiapan untuk fase swing. Sebelum fleksi lutut, tungkai yang berlawanan telah selesai fase swing dan kontak dengan lantai mulai mempersiapkan untuk transfer berat badan ke tungkai yang lain. Lima persen terakhir fase stance yang disebut sebagai akselerasi, dari fleksi lutut sampai toe off, dengan demikian fase stance telah selesai dan dimulailah fase swing (American Thoracic Society, 2002; Li CY, 2000; Norkin CC, 2003; Sudrajat, 2000; dalam Rahadiyanti 2017).

Fase swing yang merupakan 40% dari siklus berjalan, terbagi atas 3 periode yaitu initial swing dimulai saat toe off dan dilanjutkan dengan mengangkat kaki dalam hubungan dengan fleksi lutut dan dilanjutkan dengan gerakan tungkai ke depan dimulai oleh fleksi pinggul pada periode akselerasi stance, midswing, yang merupakan 80% fase swing dimulai saat tungkai mengayun

37

ke depan melewati tungkai yang lain. 10% terakhir terjadi deselerasi, ayunan tungkai yang cepat ada di depan tubuh dan secara perlahan turun karena gravitasi dan otot tungkai melengkapi keseluruhan siklus berjalan dengan kontak terhadap lantai pada heel strike (Li CY, 2000 dalam Rahadiyanti 2017). Berikut yang tertera pada gambar dibawah ini. Gambar 2.1. Siklus Gait Cycle pada Berjalan Kaki.

2.4.5. Manfaat Olahraga Pagi Hari VO2max adalah volume maksimal O2 (oksigen) yang diproses oleh tubuh manusia pada saat melakukan kegiatan yang intensif. Volume O2max ini adalah suatu tingkatan kemampuan tubuh yang dinyatakan dalam liter per menit atau milliliter/menit/kg berat badan. Tinggi rendahnya VO2max seseorang berhubungan dengan kemampuan beraktivitas seseorang. Semakin tinggi kadar VO2max seseorang, maka tingkat aktivitasnya semakin tinggi dan tingkat kelelahannya semakin rendah (Giriwijoyo S, 2007 dalam Saputra, 2015).

38

Kadar VO2max berhubungan dengan kemampuan kerja otot seseorang. Jika seseorang melakukan kerja, makin berat kerja yang dilakukan, makin tinggi konsumsi oksigennya. Jumlah otot yang terlibat dalam kemampuan otot untuk memanfaatkan oksigen yang dipasok dipengaruhi oleh massa otot. Semakin besar massa otot rangka yang diberikan beban kerja, semakin besar potensi untuk meningkatkan ambilan oksigen. Kemampuan jaringan untuk mengambil oksigen berbeda-beda sesuai dengan kemampuan ekstraksi oksigennya atau tingkat VO2maxnya. Semakin tinggi VO2max nya maka semakin lama kemampuan otot melakukan kerja artinya otot tidak cepat lelah, sebaliknya semakin rendah VO2max nya maka semakin cepat kemampuan otot (Munawarah, 2013; Saputra, 2015).

Latihan aerobik adalah latihan yang menggunakan energi yang berasal dari pembakaran

dengan

oksigen,

dan

membutuhkan

oksigen

tanpa

menimbulkan hutang oksigen yang tidak terbayar. Contoh latihan aerobik adalah lari, jalan, treadmill, bersepeda, renang. Sedangkan latihan anaerobik adalah latihan yang menggunakan energi dari pembakaran tanpa oksigen dalam hal ini latihan tersebut menimbulkan hutang atau debet oksigen. Contoh latihan anaerobik adalah lari cepat jarak pendek, angkat beban dan bersepeda cepat. Hal ini berarti bahwa hampir seluruh energi yang dibutuhkan untuk aktifitas otot dihasilkan oleh proses aerobik dan anaerobik (Hermina, 2004 dalam Saputra, 2015)

Efek olahraga aerobik adalah kebugaran kardiorespiratori, karena olahraga tersebut mampu meningkatkan ambilan oksigen, meningkatkan kapasitas

39

darah mengangkut oksigen dan denyut nadi menjadi ebih rendah saat istirahat

maupun

beraktivitas,

serta

meningkatkan

jumlah

kapiler,

menurunkan jumlah lemak dalam darah dan meningkatkan enzim pembakar lemak (Siswantoyo, 2008; Anderson, 2002 dalam Dinata, 2015).

Menurut Anderson (2000) dalam Dinata (2015) menyebutkan bahwa kapasitas darah untuk mengangkut oksigen dan denyut nadi menjadi lebih rendah saat istirahat maupun beraktifitas. Manfaat lainnya, aerobik bisa meningkatkan jumlah kapiler, menurunkan jumlah lemak dalam darah dan meningkatkan enzim pembakar lemak. Penelitian-penelitian terdahulu tentang hubungan olahraga terhadap peningkatan Vo2max yang dilakukan oleh Nasrulloh (2009) dalam Saputra (2015) tentang pengaruh latihan aerobik

dengan

kombinasi

dengan

teknik

terhadap

kemampuan

kardiorespirasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa latihan aerobik kombinasi dengan teknik dapat meningkatan kemampuan kardiorespirasi.

Menurut Lakitan (1997) dalam Saputra (2015) mengemukakan bahwa pada malam hari kelembaban udara rendah pada daerah permukaan dan terjadi proses kondensasi atau pengembunan yang memanfaatkan uap air yang berasal dari udara. Oleh sebab itu, kandungan uap air di udara dekat permukaan tersebut akan berkurang dan tekanan oksigen juga menurun. Suhu dingin di malam hari juga mempengaruhi kinerja olahraga dan suhu tubuh, bahkan paparan suhu cukup dingin untuk mengurangi suhu inti tubuh negatif dapat mempengaruhi kinerja latihan ketahanan dengan menurunkan

40

oksigen maksimal, atau kekuatan aerobik maksimal (Munawarah, 2013 dalam Saputra, 2015).

Perbedaan kemampuan mengikat oksigen oleh hemoglobin pagi dan malam hari, serta diperkuat perbedaan kadar hemoglobin yang berbeda antara pagi dan malam akan berdampak pada efek senam aerobik terhadap peningkatan fungsi respirasi VO2max. Disisi lain faktor ekternal yaitu suhu udara yang pada umumnya berbeda antara malam dan pagi hari, walaupun dilakukan pada ruangan yang sama juga akan berdampak pada perbedaan kemampuan aerobic secara maksimal antara malam dan pagi hari (Khomarun, 2013; Saputa, 2015).

2.5 Konsep ACE-I (Angiotensin-Converting Enzyme-Inhibitor) Antihipertensi adalah obat yang digunakan untuk mengatasi hipertensi, yaitu gejala yang terjadi oleh karena tekanan darah arteri melebihi normal. Salah satu golongan obat dari Antihipertensi adalah golongan obat Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) Inhibitor (ISO Indonesia, 2013). Obat-obatan penghambat ACE (ACE inhibitor) adalah segolongan obat yang menghambat kinerja angiotensinconverting enzyme (ACE), yakni enzim yang berperan dalam sistem reninangiotensin tubuh yang mengatur volume ekstraseluler (misalnya plasma darah, limfa, dan cairan jaringan tubuh), dan vasokonstriksi arteri. (Anonim, 2014 dalam Saputra, 2015).

ACE inhibitors digunakan sebagai antihipertensi. Bisa sebagai terapi tunggal, bisa juga sebagai terapi kombinasi. Kombinasi yang dianjurkan adalah dengan

41

antagonis kalsium atau diuretik. Tidak direkomendasikan kombinasi dengan golongan angiotensin receptor blockers. ACE inhibitors bukan saja menurunkan tekanan darah, tapi juga mencegah kerusakan organ target seperti hipertrofi ventrikel kiri dan gagal ginjal (Pikir S, 2015).

ACE inhibitors juga direkomendasikan untuk diberikan kepada pasien pasca infark miokard, khususnya bila infark miokard dengan gagal jantung atau disfungsi ventrikel kiri (EF < 45%), infark anterior luas, tidak mendapat terapi reperfusi, atau dengan diabetes. Manfaat pemberian ACE inhibitors pada pasien pasca infark miokard adalah menurunkan angka kematian, mengurangi proses remodelling jantung, dan mencegah kematian jantung mendadak (Pikir S, 2015).

Pada prinsipnya pemberian terapi ACE inhibitors diberikan dalam dosis kecil pada awal, kemudian dosis digandakan setiap 2 minggu. Pada pasien gagal jantung dan pasca infark miokard dosis dinaikkan sampai dosis maksimal sesuai yang dipakai dalam studi-studi, atau sesuai dengan toleransi pasien (Bhuyan B, 2011 dalam Pikir S, 2015).

2.5.1 Mekanisme Kerja Obat ACE-I Akibat penghambatan ACE secara kompetitif kadar angiotensin II baik lokal maupun

dalam

sirkulasi

menurun.

Hormon-hormon

simpatis

seperti

noradrenalin dan adrenalin juga menurun. Efek golongan obat ACE inhibitors adalah vasodilatasi, terutama arteri perifer. Vasodilatasi juga terjadi pada arteri koroner. Pada pasien gagal jantung, ACE inhibitors juga menyebabkan dilatasi

42

vena. Vasodilatasi terjadi karena meningkatnya kadar agen-agen vasodilator seperti bradikinin, prostgalndin dan nitrit oksida, dan karena berkurangnya vasokonstriktor seperti angiotensin II, noradrenalin, adrenalin dan vasopressin (Heran B, 2008; Jamerson K, 2004 dalam Pikir S, 2015).

2.5.2 Efek Samping dan Kontra Indikasi Efek samping tersering (5-10%) adalah batuk. Terjadinya batuk karena terjadi peningkatan bradikinin. Bradikinin seharusnya diubah menjadi metabolit tidak aktif oleh ACE. Dengan dihambatnya ACE oleh ACE inhibitors, bradikinin tidak diubah, sehingga konsentrasinya meningkat (Atlas S, 2007; Wiiliams B, 2004; Zamora S, 2011 dalam Pikir S, 2015).

Efek samping lainnya adalah hipotensi, gagal ginjal akut dan hiperkalemia. Hiperkalemia terjadi karena menurunnya kadar aldosteron. Aldosteron merupakan hormon steroid tubuh yang bertugas menahan natrium dan mengekskresi kalium. Salah satu efek samping paling berbahaya (meskipun jarang sekali terjadi) adalah angioneurotik edema, yang paling sering timbul pada bulan pertama pemakaian. ACE inhibitors juga memiliki efek teratogenik sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil (Abalos E, 2007; Cif Kova, 2008 dalam Pikir S, 2015).

2.5.3

Penggolongan ACE Inhibitors Terdapat 3 kelompok obat penghambat ACE, yang dibagi berdasarkan struktur molekulnya menurut Ibrahim (2006) Khan (2007) Opie (2009) dalam Pikir S (2015) yakni:

43

1. Kelompok yang mengandung sulfidril, contohnya kaptopril dan zofenopril 2. Kelompok yang mengandung dikarboksilat, contohnya Kelompok nalapril, ramipril, quinapril, perindropril, lisinopril dan benazepril.

3. Kelompok yang mengandung fosfonat, contohnya adalah fosinopril 2.5.4

Dosis Pemakaian Kaptopril Kaptopril digunakan pada hipertensi ringan sampai berat dan pada dekompensasi

jantung.

Diuretika

memperkuat

efeknya,

sedangkan

kombinasinya dengan beta-blockers hanya menghasilkan adisi. Resorpsi dari usus cepat untuk 75%, efeknya sudah maksimal setelah 1, 5 jam dan bertahan 12-24 jam tergantung pada dosis. Ekskresinya lewat kemih, separuhnya sebagai metabolit inaktif dan separuh utuh. Efek sampingnya yang tersering terjadi adalah hilangnya rasa, batuk kering dan exanthema. Efeknya dapat ditiadakan oleh indometasin dan NSAID lainnya. Untuk dosis pemberian kaptopril adalah sebagai berikut menurut Tjay dan Rahardja (2007) : 1. Hipertensi ringan sampai sedang: diawali dengan 12, 5 mg 2 kali sehari. Pemeliharaan: 2 kali sehari 25 mg, dapat ditingkatkan setelah 24 minggu sampai respon yang memuaskan diperoleh. Maksimal: 2 kali sehari 50 mg. 2. Hipertensi berat: diawali dengan 12, 5 mg 2 kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan sampai maksimal 3 kali sehari 50 mg 3. Hipertensi pada Gagal jantung: diawali dengan 6, 25-12, 5 mg 3 kali sehari. Pemeliharaan: 2-3 kali sehari 25 mg, dapat ditingkatkan dalam jarak waktu 2 minggu atau lebih. Maksimal 150 mg/hari.

44

4. Hipertensi pada Anak-anak: diawali dengan 0, 3 mg/kg berat badan sampai maksimal 6 mg/kg berat badan/hari dalam 2-3 dosis terbagi.

45

BAB III KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS

3.1.

Landasan Teori Hipertensi merupakan faktor risiko yang penting untuk morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler terutama pada lansia. Terutama hipertensi pada lansia terjadi karena kekakuan arteri (khususnya pada arteri besar), neurohormonal dan disregulasi autonom, disfungsi endotel, proses menuanya ginjal (menurunnya kemampuan untuk mengeluarkan sodium, rendahnya plasma rennin) dan resistensi insulin (Nawrot T, et al, 2005; Nikolaos, 2012 dalam Pikir S, 2015).

Baik European Society of Hypertension (2009), American Heart Association (2011), National Institute for Health and Clinical Excellence (2011) dalam Pikir S (2015) menyarankan terapi kombinasi dalam penatalaksanaan antara terapi farmakologi dan nonfarmakologi untuk meningkatkan

efikasi

obat,

mengurangi

efek

samping,

sehingga

memproteksi terjadinya kerusakan organ lainnya. Pada terapi farmakologi dengan penggunaan jumlah obat yang banyak atau meningkat apabila kompleksitas rejimen dosis meningkat, maka hal itu berefek juga pada beban biaya yang dikeluarkan, serta predeksi efek samping obat yang terjadi, yang menjadi penyebab diskontinuasi pengobatan. Pada situasi inilah peran terapi nonfarmakologi dibutuhkan sebagai penunjang dalam membantu tekanan darah bisa dikontrol atau stabil, terutama pada penderita Hipertensi (Sarafidis PA, 2008 ; Calhoun DA, 2008 dalam Pikir S, 2015).

46

Tujuan

pengobatan

morbiditas,

baik

hipertensi

secara

adalah

farmakologis

penurunan maupun

mortalitas

dan

nonfarmakologis.

Pengobatan hipertensi umumnya membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu, faktor keamanan penggunaan obat jangka panjang menjadi perhatian utama (Armenia, 2007 dalam Nadila, 2014)

Hipertensi memberikan respons positif terhadap aktifitas fisik yang bersifat aerobik. Latihan aerobik tidak menurunkan tekanan darah pada individu dengan tekanan darah normal tetapi pada individu dengan hipertensi. Latihan aerobik akan menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik. Penurunan tekanan darah yang bermakna terlihat setelah latihan sebanyak 14 kali. Dan akan menetap untuk selanjutnya apabila individu meneruskan kebiasaannya (Augustine J, 2008; Janet P, 2003 dalam Rahadiyanti 2017).

Jenis latihan yang dapat diberikan pada usia di atas 40 tahun adalah latihan submaksimal. Melalui latihan yang bersifat aerobik dan dengan frekuensi 3 sampai 4 kali seminggu, durasi selama 30 sampai 60 menit, dengan intensitas yang disesuaikan dengan kondisi individual (Depkes RI, 2004 dalam Rahadiyanti, 2017). Sedangkan menurut Daley (2011) mneyebutkan bahwa olahraga atau latihan fisik selama minimal 30 menit setiap

hari

akan

menurunkan

tekanan

darah. Intensitas

latihan

submaksimal ditentukan oleh target denyut nadi, yaitu 70% x (220-umur). Intensitas latihan dapat ditingkatkan dengan jarak tempuh yang makin bertambah pada durasi latihan yang tetap. Intensitas latihan dapat ditentukan berdasarkan hasil uji jalan 6 menit. Frekuensi latihan

47

bergantung dengan tingkat kebugaran seseorang, yang juga dapat ditentukan berdasarkan uji jalan 6 menit. Bila seseorang mampu berjalan sejauh 300 meter per 6 menit, maka frekuensi latihannya 3 sampai 4 kali perminggu (American Thoracic Society, 2000; Lateur BJ, 1990 dalam Rahadiyanti, 2017).

Dari tinjauan teori didapatkan gambaran tentang kejadian hipertensi pada lansia, yang memang berpotensi mengalami kenaikan dalam tekanan darah dari kisaran normal, sehingga sangat diperlukan terapi kombinasi antara farmakologi dan non farmakologi, dan berdasarkan beberapa landasan teori yang peneliti paparkan, yang maka dibuatlah kerangka konsep dengan skema sebagai berikut :

48

3.2 Kerangka Konsep Hipertensi

Non Farmakologi

Farmakologi

Olahraga Jalan Kaki Variabel Independen

Obat-Obatan

Tekanan Darah - Sistolik dan Diastolik

Variabel Dependen

Faktor-faktor yang Mempengaruhi nilai tekanan darah - Usia/Umur - Jenis kelamin - Ras - Kontrasepsi Oral - Stress - Obesitas - Asipan Garam - Aktivitas Keterangan

: : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti

Gambar 3.2 Kerangka konsep penelitian “Pengaruh Latihan Jalan Kaki Terhadap Tekanan Darah pada Penderita Hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Kubur Jawa ” .

49

3.2.

Hipotesis Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah a. Ho : Ada Pengaruh Latihan Jalan Kaki Terhadap Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Kubur Jawa b. Ha : Tidak Ada Pengaruh Latihan Jalan Kaki Terhadap Tekanan Darah pada Penderita Hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Kubur Jawa.

50

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1.

Rancangan Penelitian Pada penelitian ini menggunakan rancangan Quasi-eksperimental dengan pra-pascatest dalam suatu kelompok dengan pra-post test design with control group yaitu dengan mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan

cara

melibatkan

kelompok

kontrol

disamping

kelompok

eksperimental . Kelompok eksperimen diobservasi sebelum dilakukan intervensi,

kemudian

diobservasi

lagi

setelah

intervensi.

Lalu

dibandingkan hasil dari pra-test dan post-test (Nursalam, 2017). Dari rancangan diatas peneliti melakukan penelitian pada dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang akan diteliti. Dengan mengukur tekanan darah sebelum dan sesudah dilakukan intervensi olahraga jalan kaki pada kelompok eksperimen. Dan mengukur tekanan darah pada kelompok kontrol walaupun tanpa diberi intervensi. Bentuk rancangan penelitian ini adalah : Pretest

Intervensi/Perlakuan

Posttest

01

X

02

03

Y

04

Tabel 4.1. Rancangan Penelitian tentang “Pengaruh Latihan Jalan Kaki Terhadap Tekanan Darah pada Penderita Hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Kubur Jawa”. Keterangan : (01)

Pengukuran tekanan darah sebelum diberikan intervensi latihan jalan kaki pada responden (kelompok eksperimen)

(02)

Pengukuran tekanan darah sesudah diberikan intervensi latihan jalan

51

kaki pada responden (kelompok eksperimen) (03)

Pengukuran tekanan darah pada responden (kelompok kontrol)

(04)

Pengukuran tekanan darah pada responden dengan kelompok kontrol pada waktu yang sama dengan kelompok eksperimen

(X)

Perlakuan dengan tindakan memberikan intervensi latihan jalan kaki

(Y)

Tidak diberikan perlakuan apapun

4.2.

Populasi dan Sampel

4.2.1

Populasi Populasi adalah subjek penelitian yang memenuhi kriteria yang ditetapkan. Yang terdiri dari populasi target, populasi terjangkau, populasi (Nursalam, 2017). Pada penelitian ini, yang menjadi populasi adalah penderita Hipertensi yang lebih dari 3 kali berkunjung ke tempat pelayanan kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Kubur Jawa Kec. Batang Alai Selatan, dengan jumlah populasi sebanyak 194 orang dengan rincian sebagai berikut : Tabel 4.2.Jumlah Penderita Hipertensi yang berkunjung pada Pelayanan Kesehatan kategori umur di wilayah kerja Puskesmas Kubur Jawa Pada Bulan Juni Tahun 2018 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

4.2.2

Nama Desa Kapar Banua Rantau Tembok Bahalang Kias Lunjuk Paya Tanah Habang

Umur 45-59 60-69 13 2 1 0 5 0 40 10 27 1 32 7 52 4

Sampel Sampel merupakan bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunaan sebagai subjek penelitian melalui sampling, sedangkan sampling adalah

52

proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2017). Pada penelitian ini sampel yang akan diteliti adalah nonprobability sampling dengan desain purposive sampling yaitu dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan kriteria yang diinginkan peneliti, sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2017).

Sampel dari responden pada penelitian ini yaitu penderita Hipertensi yang berumur 45-59 tahun, laki-laki dan perempuan dan dalam masa terapi pengobatan yang sudah terdata pada rekam medik berkaitan riwayat kesehatan yang menjadi pasien hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Kubur Jawa, paling minimal 3 kali kunjungan. Untuk memasukkan sampel pada kelompok kontrol dan eksperimen digunakan teknik randomisasi secara undian setelah didapatkan sampel secara purposive sampling. Penentuan

jumlah

sampel

minimal

dalam

1

kelompok

dihitung

menggunakan rumus Federrer (Supranto J, 2000 dalam Hidayat, 2008) yaitu ( t-1) (n-1) ≥ 15 (2-1)

(n-1) ≥ 15 1 (n-1) ≥ 15 1n-1≥ 15 1n ≥ 16 n ≥ 16

Ket: t = jumlah kelompok n = jumlah sampel jumlah kelompok t=2 (kelompok) eksperimen dan kelompok kontrol)

Jadi minimal sampel dalam 1 kelompok adalah lebih dari atau sama dengan 16. Untuk menghindari drop out sample atau pengunduran diri selama dilakukan penelitian maka peneliti akan menambahkan minimal 10% dari besar sampel yang ditentukan berdasarkan rumus penentuan

53

sehingga pada penelitian ini sampel yang akan diambil sebesar 25 orang penderita Hipertensi pada 1 kelompok eksperimen, dan 25 orang penderita Hipertensi pada 1 kelompok kontrol dengan total jumlah 50 sampel. Dengan memiliki kriteria inklusi dan eksklusi yaitu 1. Kriteria Inklusi : a. Penderita Hipertensi berumur 45-59 th b. Penderita Hipertensi berjenis kelamin laki-laki dan perempuan c. Penderita Hipertensi yang menderita hipertensi Grade I d. Penderita Hipertensi Primer e. Penderita Hipertensi yang lebih dari 3 kali berkunjung ke tempat pelayanan kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Kubur Jawa f.

Penderita Hipertensi yang mengkonsumsi obat Captoril 12,5mg 25 mg sebanyak 2 kali sehari

g. Penderita Hipertensi dengan tekanan darah 140/90 mmHg – 159/100 mmHg 2. Kriteria Ekslusi a. Penderita Hipertensi yang tidak bersedia jadi responden pada penelitian b. Penderita Hipertensi yang tidak memiliki cacatan Rekam Medik tentang riwayat kesehatan c. Penderita Hipertensi yang cacat pada kaki d. Penderita Hipertensi yang tidak bisa berjalan sendiri

4.3.

Instrumen Penelitian Pada penelitian ini menggunakan instrument yaitu 1. Pengukuran Tekanan Darah Pengukuran

tekanan

darah

pada

responden

menggunakan

54

tensimeter/sphygmamonometer air raksa yang telah dikalibrasi dan stetoskop yang dilakukan sebelum diberikan intervensi dan sesudah dilakukan intervensi selama waktu yang ditentukan, dengan mengisi lembar observasi. 2. SAK (Satuan Acara Kegiatan) Pada pemberian intervensi

pada responden kelompok eksperimen

berdasarkan SAK berikut : a. Pengertian ringan

: Aktivitas fisik jalan kaki adalah suatu kegiatan fisik

dengan

resiko

cedera

yang

rendah

dan

mampu

memberikan banyak manfaat bagi kesehatan tubuh. b. Tujuan

: Dapat menyehatkan jantung, otot dan persendian,

kekompakan tulang, kelancaran metabolisme tubuh, kestabilan otot tubuh, memperlancar sirkulasi darah serta dapat membantu menurunkan tekanan darah. c. Indikasi : Penderita Hipertensi Grade I dengan tekanan darah berkisar 140/90 mmHg – 159/100 mmHg d. Prosedur Pelaksanaan - Perlengkapan yang digunakan Gunakan sepatu dan pakaian olahraga yang nyaman dan melindungi tubuh, menggunakan pakaian yang longgar, dan yang menyerap keringat. - Tetap lakukan pemansan, gerakan inti dan pendinginan. Lakukan peregangan sebelum memulai agar kaki terhindar dari kram. - Jangan lengah, perhatikan kondisi lingkungan sekitar, pastikan berjalan di tempat yang aman, dan hindari jalan licin. - Jika berjalan kaki di ruang terbuka, pastikan tubuh tidak mengalami dehidrasi, minumlah air putih setiap 15 menit.

55

e. Yang memberikan intervensi - Peneliti ( 1 orang) - Asisten Peneliti ( 3 orang) f.

Sasaran Intervensi

:

- Responden Kelompok Eksperimen sebanyak 25 orang - Yang bersedia jadi responden g. Intervensi Yang Diberikan

:

- Olahraga Jalan Kaki h. Waktu Pelaksanaan -

Hari ke-1 melakukan observasi tekanan darah sebelum diberikan intervensi pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

-

Intervensi dilaksanakan selama 4 minggu dengan 4 kali latihan jalan kaki sebanyak 3 hari yaitu pada hari Senin, Selasa, Rabu dan Kamis dengan durasi 30 menit setiap harinya.

-

Mengukur tekanan darah responden pada pagi hari sesudah olahraga jalan kaki setiap hari yang sudah dijadwalkan. Kegiatan lebih lengkap dapat di lihat pada lampiran 5

3. Wawancara Wawancara pada penelitian ini difokuskan untuk menanyakan hal-hal lainnya pada responden yang tidak tercantum pada lembar observasi dan memberikan informasi tentang intervensi pelaksanan olahraga jalan kaki pada resonden dan penjelasan tentang pelaksanaan prosedur dan tujuan pelaksanaan penelitian ini, serta tujuan dan isi keterangan pada lembar inform consent. 4. Lembar Observasi Lembar Observasi digunakan untuk mencatat hasil pengukuran tekanan darah responden pada kelompok kontrol dan kelompok

56

eksperimen. Mencatat hasil pengukuran tekanan darah sebelum dan sesudah pelaksanaan intervensi. Mencatat jadwal minum obat responden penelitian, lembar absensi sebagai bukti kehadiran dalam kegiatan penelitian. 5. Stopwacth (Penghitung Waktu) Stopwatch digunakan pada saat pelaksanaan intervensi olahraga jalan kaki untuk mengatur dan menghitung waktu dalam kegiatan yang dilakukan.

4.4.

Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas (Independen Merupakan variabel yang memberi pengaruh atau nilai pada variabel lain (Nursalam, 2017). Pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah latihan jalan kaki pada kelompok eksperimen. 2. Variabel terikat (Dependen) Merupakan variabel yang diberi pengaruh atau nilai oleh variabel bebas (Nursalam, 2017). Pada penelitian ini yang menjadi varibel terikat adalah tekanan darah pada responden yang menderita hipertensi.

4.5.

Definisi Operasional Definisi

operasional

merupakan

definisi

yang

didasarkan

pada

karakteristik pengamatan pada sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2017).

57

Tabel 4.5. Tabel Definisi Operasional pada penelitian “Pengaruh Latihan Jalan Kaki Terhadap Tekanan Darah pada Lansia dengan Hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Kubur Jawa”. 5. 9. 10.

12. 13.

Variabel Variabel 11. Independen : Latihan Jalan Kaki

Variabel 14. Dependen : Tekanan Darah

15.

Definisi 6. Alat Ukur 7. Skala Ukur8. Operasional Pelaksanaan latihan fisik yang Stopwatch Rasio bersifat dinamis dan berulang-ulang serta kontinyu dengan berjalan kaki. Dengan durasi 30 menit dilakukan setiap hari pada pagi hari dari Pukul 07.30 Wita dan selama 4 kali dalam 1 minggu, setiap hari Senin, Selasa, Rabu, dan Kamis sampai 4 minggu berturut-turut. Dilaksanakan di Desa Tanah Habang Kec. Batang Alai Selatan. Berjalan kaki pada lapangan bola volly. Dipandu oleh calon peneliti yang diikuti oleh responden pada kelompok eksperimen. Nilai yang diperoleh atau 17. di Tensimeter/Sphigma 18. Interval 19. dapatkan dari hasil pengukuran monometer air raksa terhadap tekanan darah arteri, dan stetoskop yang meliputi tekanan darah sistolik dan diastolik. Pengukuran tekanan darah yang benar pada penderita hipertensi (responden kelompok eksperimen) yaitu pasien disuruh duduk dengan nyaman selama 5 menit dengan penyangga dibelakang, kaki di lantai dan lengan dalam posisi horizontal dengan jantung, dan

Hasil Ukur 30 menit

mmHg

58

16.

selama pengukuran pasien atau pemeriksa untuk tidak bicara dulu. Pengukuran dilakukan sebelum pemberian intervensi 1 kali lalu diukur setelah pemberian intervensi setiap hari pada pagi hari selama 4 kali dalam 1 minggu di hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis selama 4 minggu berturut-turut. Pengukuran setelah intervensi dilakukan setelah responden dalam masa istirahat (pendinginan) kurang lebih 15 menit pendinginan setelah latihan jalan kaki.

59

4.6. Prosedur Penelitian Prosedur pada penelitian ini terdiri atas 2 (dua) tahapan yaitu : 1. Tahap Persiapan Pada tahapan ini persiapan yang dilakukan adalah meminta data penderita Hipertensi terutama penderita Hipertensi yang berobat dan berada di wilayah kerja Puskesmas Kubur Jawa. Pada penelitian ini dibantu oleh asisten peneliti untuk membantu kegiatan yang berkaitan penelitian ini dari awal sampai akhir intervensi maupun selesainya penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Asisten Peneliti ini berprofesi sebagai perawat pada Puskesmas Kubur Jawa dengan pendidikan terakhir DIII Keperawatan. 2. Tahap Pelaksanaan a. Pada tahapan pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan meminta izin pada Kepala Puskesmas untuk melakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Kubur Jawa, selanjutnya meminta izin pada Kepala Desa setempat dalam pelaksanaan kegiatan. b. Pemilihan responden dengan menentukan sampel berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi. Membagi sampel dalam kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Setelah selesai membagi kelompok, menjelaskan tentang penelitian yang akan dilakukan baik prosedur, tujuan dan manfaat penelitian ini. Membagikan inform consent dan lembar jadwal minum obat responden. c.

Pada Kelompok Eksperimen dilakukan pengukuran tekanan darah dan pemberian intervensi terhadap responden dimulai sejak tanggal 05 September 2018 dengan pemberian informasi tentang manfaat latihan jalan kaki dan terkait prosedur yang akan dilaksanakan. Lalu dilakukan observasi tekanan darah sebelum intervensi dilakukan

60

pada kelompok eksperimen. Pelaksanaan intervensi latihan jalan kaki dilakukan setiap hari pada pagi hari dari pukul 07.30 Wita selama 30 menit. Dan dilaksanakan selama 4 minggu berturut-turut, setiap 4 kali dalam 1 minggu yaitu hari Senin, Selasa, Rabu, dan Kamis. Dan bertempat di lapangan bola volly yang ada di Desa Tanah Habang, sedangkan apabila pada hari pelaksanaan intervensi latihan jalan kaki terjadi cuaca hujan, maka pelaksanaan dilakukan di dalam ruangan seperti lapangan badminton yang ada di Desa Tanah Habang. Responden diajak mengelilingi lapangan selama 30 menit. Setelah pemberian intervensi selesai dilaksanakan, maka dilakukan lagi pengukuran tekanan darah pada tiap responden dalam kelompok eksperimen sesuai jadwal yang tertera. Pada kegiatan berjalan kaki yang akan dilaksanakan dianjurkan responden untuk sarapan pagi terlebih dahulu, lalu melakukan pemanasan sebelum melakukan jalan kaki, seperti peregangan otot-otot, untuk menghindari kram pada kaki. Latihan jalan kaki dipandu oleh calon peneliti beserta asisten peneliti untuk sama-sama melaksanakan latihan jalan kaki. Dalam 15 menit dari jalan kaki responden dibolehkan untuk sambil minum air putih untuk menghindari dehidrasi. Setelah sampai pada 30 menit berjalan kaki, responden dipersilahkan istirahat 10-15 menit dulu baru dilakukan pengukuran tekanan darah. Setiap hasil pengukuran dicatat pada lembar observasi. d. Pada kelompok kontrol juga dilakukan observasi tentang jadwal minum obat dan observasi pengukuran tekanan darah pada hari yang sama dengan kelompok eksperimen, sesuai jadwal yang sudah ada. Setiap pengukuran dicatat pada lembar observasi yang terdapat pada lampiran.

61

4.7.

Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

4.7.1. Pengumpulan Data a. Data Primer Data primer pada penelitian ini dapat diperoleh dari wawancara dan pengisisan kuesioner responden yang diberikan penjelasan terlebih dahulu tentang maksud dan tujuan serta manfaat dari penelitian ini. Dan pada responden yang sudah bersedia maka bisa langsung menyutujui dan menandatangani inform consent yang diberikan, setelah itu baru bisa dilakukan pengukuran tekanan darah dan pemberian kuesioner, yang isi data dari kuesioner tersebut menjamin kerahasiaan data diri responden yang hanya mencantumkan inisial, dan kerahasiaan pada hasil penelitian, baik itu yang sifatnya informasi maupun masalah lainnya terkait penelitian yang dilakukan.

b. Data Sekunder Data sekunder di dapat dari rekam medik atau catatan pasien pada tiga posyandu yang berada di wilayah kerja Puskesmas Kubur Jawa, diantaranya meliputi jumlah pasien yang rutin kontrol, obat-obatan atau terapi yang diberikan, riwayat lainnya yang berkaitan dengan hipertensi yang di alami pasien, untuk mengetahui perkembangan tekanan darah responden yang akan dipilih utuk menjadi responden berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

62

4.7.2. Teknik Pengolahan Data a. Editing Mencek atau memeriksa ulang pada data yang sudah di dapat atau dikumpulkan, dari kuesioner yang sudah di isi oleh responden. (Hidayat, 2008) b. Coding Pada data dari kuesioner yang diisi, tiap datanya diberikan kode angka atau numerik. (Hidayat, 2008)

Data Demografi 1. Usia/Umur

: ....... tahun

2. Jenis Kelamin

: 1. Laki-laki

2. Perempuan

c. Entry Data Proses pemasukan data/ entry data pada penelitian ini menggunakan program computer SPSS, yaitu memasukkan data ke dalam program atau software computer dengan melakukan perhitungan pada aplikasi program statistik (Hidayat, 2008). d. Tabulating Data yang didapat atau diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam sebuah tabel dan data base computer (Hidayat, 2008).

4.8.

Cara Analisa Data a. Analisa Univariat Merupakan analisa data terhadap setiap variabel dari hasil penelitian untuk mendapatkan hasil distribusi frekuensi dan presentasi dari hasil variabel (Hidayat, 2008; Notoadmojo, 2012). Analisa univariat pada penelitian ini untuk mengetahui karakteristik responden berupa nama,

63

umur, jenis kelamin serta karakteristik dari variabel yang diteliti seperti variabel tekanan darah dan variabel latihan jalan kaki. b. Analisa Bivariat Merupakan analisa data yang digunakan untuk membandingkan kesamaan, perbedaan atau hubungan dan pengaruh antara dua variabel (Notoadmojo, 2012). Pada penelitian ini analisa bivariat untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh latihan jalan kaki terhadap variabel tekanan darah menggunakan analisa Uji T-dependent jika pada uji normalitas data, didapatkan datanya berdistribusi normal. Dan uji T-Independent untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan variabel tekanan darah pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Sedangkan analisa data yang digunakan jika didapatkan uji normalitas datanya tidak berdistribusi normal maka menggunakan Uji Wilcoxon Sign Rank Test untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh latihan jalan kaki terhadap variabel tekanan darah. Dan uji Mann-Whitney untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan variabel tekanan darah pada kelompok kontrol yang tidak diberikan intervensi dan kelompok eksperimen yang diberikan intervensi latihan jalan kaki.

4.9.

Tempat dan Waktu Penelitian Proposal penelitian ini dilaksanakan dari bulan maret sampai bulan Juli 2018. Dan proses persiapan dan penelitian akan dilaksanakan 01 September 2018 sampai dengan 30 September 2018, di wilayah kerja Puskesmas Kubur Jawa Kecamatan Batang Alai Selatan Kab. Hulu Sungai Tengah.

64

Tabel.4.4. Rencana Waktu dan Jadwal Penelitian Bulan April

Kegiatan

Mei

Juni

Juli

Agt

Sept

Okt

Pengumpulan Referensi Permintaan Izin Studi Pendahuluan Pengambilan Data Studi Pendahuluan Penyusunan Proposal Penelitian Konsultasi Pembimbing Seminar Proposal KTI I Uji Layak Etik Pelaksanaan Pengambilan Data Penelitian Pengolahan dan Analisa Data Penyusunan KTI II Seminar KTI II

4.10.

Etika Penelitian Hal-hal yang juga perlu diperhatikan dalam penelitian adalah etika penelitian,

dikarenakan

penelitian

keperawatan

akan

langsung

berhubungan dengan subjek penelitian yaitu manusia (Hidayat, 2009) Adapun prinsip-prinsip yang digunakan dalam etika penelitian ini adalah a. Lembar Persetujuan (informed consent) Merupakan bentuk persetujuan yang diberikan peneliti kepada responden penelitian yang bersedia untuk menjadi responden untuk diteliti, dan bersedia menandatangani lembar persetujuan itu. Apabila responden

tidak

bersedia,

maka

peneliti

harus

menghormati

65

keputusan responden. b. Anonimity (tanpa nama/tidak memakai nama asli) Pada penelitian yang akan dilakukan calon peneliti, nama dari responden penelitian bisa menggunakan nama inisial atau hanya kode urut. c. Confedentially (Kerahasiaan) Hal ini memberikan jaminan untuk data responden yang sangat dijaga kerahasiaannya, tidak untuk umum, hanya hasil yang sudah didapatkan yang akan dijadikan sebagai hasil dari riset penelitian, dan informasi lainnya yang tidak diperlukan akan segera di hilangkan. d. Etical Clearence Karena penelitian ini berhubungan dengan manusia sebagai subjek penelitian, maka akan dilakukan uji etik oleh komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat dalam meneliti dan meninjau penelitian ini terlebih dahulu.

66

4.11.

Biaya Penelitian Adapun rencana anggaran biaya yang diperlukan dalam penelitian ini adalah a. Pengumpulan Referensi

: Rp. 1.200.000;

b. Pengadaan Inform Consent

: Rp.

200.000;

c. Pembuatan penggandaan proposal

: Rp.

200.000;

d. Transportasi

: Rp. 1.500.000;

Lembar Observasi

e. Pembelian Alat Instrumen

f.

- Tensimeter Air Raksa & Stetoskop

: Rp.

550.000;

- Stopwatch

: Rp.

50.000;

Seminar KTI I

: Rp.

400.000;

g. Sepatu Olahraga (Responden)

: Rp. 1.250.000;

h. Snack untuk Responden

: Rp. 700.000;

i.

Jasa Asisten Peneliti (3 orang)

: Rp.

450.000;

j.

Seminar KTI II

: Rp.

400.000;

: Rp.

500.000; +

k. Penggandaan Laporan Akhir Total

Rp. 7.400.000;

Related Documents


More Documents from "Raden Yogana Dirgantara"

1.docx
July 2020 5
Rab Kampus 4 Baru Ppn.xlsx
December 2019 21
Bab I.docx
December 2019 23
Gambar Ii.docx
October 2019 27