Bab I Pendahuluan

  • Uploaded by: Ahmad Fadli
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I Pendahuluan as PDF for free.

More details

  • Words: 6,676
  • Pages: 21
BAB I PENDAHULUAN Perbankan Syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah atau hukum islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram. A. Latar Belakang Dinamika kesadaran umat Islam untuk mengamalkan ajaran dan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh (kaffah) tampaknya sudah mulai menunjukkan adanya peningkatan, khususnya dalam bidang ekonomi. Ekonomi dan keuangan Islam sudah mulai memperlihatkan sosoknya sebagai suatu alternatif baru yang diambil dari ajaran Islam. Pada dasawarsa 1970 dan 1980-an di Timur Tengah serta negara-negara muslim lainnya telah dimulai kajian-kajian ilmiah tentang ekonomi dan keuangan Islam yang berbuah terbentuknya sebuah lembaga keuangan Islam internasional yakni Islamic Development Bank (IDB) – sejenis bank pembangunan seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia - pada tahun 1975 yang berkedudukan di Jeddah, yang kemudian diikuti oleh pendirian bank-bank Islam lainnya di Timur Tengah. Di Indonesia sendiri, Bank syariah yang pertama baru didirikan sekitar tahun 1991 dan baru beroperasi pada pertengahan tahun 1992 yang tidak lepas dari dukungan rezim yang berkuasa saat itu. Dengan melihat perkembangan bank syariah di atas, agaknya keinginan umat untuk menjalankan kehidupan bisnis dan transaksinya dalam skala yang lebih luas yang sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam agaknya sudah memiliki sarana yang tepat. Namun, diakui atau pun tidak, pengetahuan umat tentang bank syariah masih terbatas dan tidak merata. Masih banyak yang tidak mengenal apa itu bank syariah atau bahkan masih adanya anggapan yang keliru bahwa bank syariah adalah bank konvensional yang berbaju syariah. Oleh karena itu, makalah ini mencoba memberikan sedikit gambaran yang mudah-mudahan dapat memberi pemahaman yang baik tentang bank syariah serta menepis anggapan yang keliru tersebut. B. Rumusan Masalah Makalah ini dijabarkan dari rumusan masalah sebagai berikut: a) Apakah yang dimaksud dengan perbankan syariah atau pengertian bank syariah? b) Apakah perbankan syariah dapat menjadi solusi? C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yakni: a) Memahami dan mengetahui apa itu perbankan syariah b) Menjelaskan dan memahami bahwasanya perbankan syariah itu sebagai solusi. D. Metode Pengumpulan Data Dalam penyusunan makalah ini, perlu sekali pengumpulan data serta sejumlah informasi aktual yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Sehubungan dengan masalah tersebut dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak hanya mengandalkan pengetahuan sendiri namun mengambil rujukan dari beberapa literatur sebagaimana tertuang dalam Daftar Pustaka. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Bank Syariah Pengertian bank menurut UU No 7 tahun 1992 adalah badan usaha yang menghimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Istilah Bank dalam literatur Islam tidak dikenal. Suatu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat, dalam literature Islam dikenal dengan istilah baitul mal atau baitul tamwil. Isitilah lain yang digunakan untuk sebutan Bank Islam adalah Bank Syariah. Secara akademik, istilah Islam dan Syariah memang mempunyai pengertian berbeda. Namun secara teknis untuk penyebutan Bank Islam dan Bank Syariah mempunyai pengertian yang sama. Dalam Undang-Undang No 10 Tahun 1998 disebutkan

bahwa Bank Umum merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syari’ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu litas pembayaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpannya, pembiayaan atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah. Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, pengertian Bank Syariah berarti bank yang tata cara operasionalnya didasari dengan tatacara Islam yang mengacu kepada ketentuan Al-Quran dan Al Hadist.Referensi lanjut tentang ini bisa dibaca di pengertian bank syariah menurut para ahli. B. Perbankan Syariah Sebagai Solusi Sebelum masa kenabian Muhammad SAW, kota Mekkah merupakan kota pusat perdagangan dan para pedagang berdatangan dari segala penjuru bahkan dari luar kota Mekkah. Perjalanan para saudagar menuju pasar Mekkah dilakukan sekaligus ibadah haji (waktu itu masih menyembah berhala) sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sebagai perjalanan kaum Quraiys yang aktif berdagang sesuai musim waktu itu, yaitu miusim panas dan musim dingin (QS. 106:1-2). Karena sifat Muhammad yang jujur, adil dan dapat dipercaya, para penduduk Mekkan (kaum Quraisy dan para pedagang) sepakat untuk memberikan penghargaan kepada Muhammad dengan predikat al-Amin. Pemberian gelar ini belum pernah dialami oleh orang lain, sehingga Muhammadlah orang pertama dan yang terakhir mendapatkan gelar al-Amin. Karena gelar yang diberikan al-Amin, maka banyak orang mendepositokan atau menitipkan hartanya yang berharga kepada nabi Muhammad SAW, dan beliau menunjuk Ali untuk mengembalikan seluruh harta yang diterimanya kepada pemilik masing-masing. Dari sejarah diatas maka secara tidak langsung menunjuk bahwa penduduk Mekkah (pra Islam) telah mengetahui metode penggunaan harta (uang), yaitu pertama: menyerahkan harta kepada orang untuk diniagakan (commendan) dan mendapatkan pembagian keuntungan dari hasil peniagaan tersebut. Kedua, memberikan harta tersebut dengan atas dasar riba (usury). Kemudian setelah Islam datang, maka segala prinsip-prinsip yang berlaku pada saat itu dan bertentangan dengan syariah harus diubah, dan semenjak itulah parasahabat mulai mengerti pentingnya aturan tersebut. Salah satu contoh adalah az-Zubair bin al Awwam, yaitu beliau adalah salah seorang yang dipercaya Rasul untuk sebagai tempat penyimpanan uang , namun Zubair menolak menerima uang simpanan tersebut. Zubair mensyaratkan bahwa dirinya mau menerima uang simpanan apabila uang tersebut bisa digunakan olehnya (diterima sebagai pemberian pembiayaan) bukan hanya sekedar tempat penyimpanan. Kemudian Zubair juga memberikan secure guarantee kepada setiap pemilik modal bahwa uang tersebut akan aman apabila tidak digunakan olehnya namun akan mengalami pengurangan atau kerugian apabila digunakan; begitu pula halnya apabila uang tersebut dijadikan sebagai modal pembiayaan maka dana tesebut dijamin oleh sipeminjam (bukan oleh Zubair). Perbankan syariah di Indonesia, Indonesia sebuah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam dan sistem ekonomi yang berlaku berbasis kapitalis (bebas), bukan berlandaskan syariat Islam. Ini terjadi karena Indonesia bukan negara Islam tetapi berlandaskan Pancasila. Umat Islam yang merupakan pelaku ekonomi sekaligus pendorong daya beli masyarakat selalu mengikuti dan merujuk kepada sistim perekonomian bangsa. Sistim ekonomi yang ada memang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa tetapi umat Islam seharusnya punya suatu sistim yang mengarah kepada syariah sehingga umat Islam lebih leluasa mengembangkan diri karena sesuai dengan kaedahnya dan anutan. Salah satu sistim yang perlu dikembangkan adalah sistim perbankan syariah. Bank merupakan mediator utama untuk melakukan traksaksi finansial dalam suatu perekonomian. Bank sebagai pengumpul uang masyarakat dan menyalurkan dalam bentuk investasi. Majelis Ulama Indonesia maupun ormas-ormas Islam berusaha untuk merumuskan sistim ini, baik melalui seminar maupun simposium. Sekitar tahun 1988-1989, lahirlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terutama di Pulau Jawa sebagai jawaban atas wacana ini. Namun kurang menggema karena keterbatasan kemampuan baik pemodal maupun manajemen sehingga tidak mampu berkembang sebagaimana diharapkan.

Waktu terus berjalan, akhirnya awal tahun 1991 Majelis Ulama Indonesia memprakarsai lahirnya sebuah bank yang berbasis syariah, dan didukung oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). Dengan lahirnya Bank Muamalat, maka umat Islam sudah mempunyai suatu wadah yang sesuai dengan keinginan dimana bank yang bebas riba. Masyarakat waktu itu sangat antusias untuk menabung bahkan non muslim pun ikut tergiur dan sampai saat ini Bank Muamalat Indonesia telah menjadi bank syariah nomor satu di Indonesia. Melihat tingkat pertumbuhan bank dengan sistim syariah dan prospek yang sangat menjanjikan untuk masa akan datang, banyak bank-bank konvensional tertarik menjalankan sistim syariah. Diantaranya Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BNI, Permata Bank, dan lain-lain. Ini sungguh sangat menggembirakan karena sistim perbankan syariah lebih menjanjikan kesejahteraan dan stabilitas pasar. Beda dengan sistim bank konvensional yang selalu tergantung tingkat bunga pasar. Bank syariah bukan hanya diperuntukkan buat umat Islam saja tetapi terbuka untuk umum, karena yang beda hanya sistim. Namun untuk saat ini bank sistim syariah tidak 100% dapat dikatakan murni syariah. Masih banyak hal-hal yang belum jelas dalam proses pelaksaannya, misalnya bank syariah sangat menentukan besarnya agunan untuk suatu kredit, yang seharusnya ini tidak terjadi tetapi harus didasarkan bahwa tingkat kepercayaan bank kepada nasabah. Bank dalam menyalurkan kredit harus membina dan mendidik nasabah sehingga nasabah dan bank menjadi satu kesatuan untuk mencapai kesejahteraan. Bila ini yang dipraktekkan maka banyak umat Islam yang mampu untuk berusaha dan mandiri. Sekarang umat Islam hanya bisa menikmati tempat menabung tanpa riba namun tidak banyak yang mampu memanfaatkan fasilitas bank yang tersedia karena terkendala agunan. Suatu kenyataan bahwa walaupun MUI telah mengeluarkan fatwa haram terhadap bunga bank, masih banyak umat Islam yang bersikap apriori atau nyantai dalam menanggapi fatwa tersebut. Sebagai bukti pada kenyataan di atas adalah tidak terjadinya rush (penarikan dana besar-besaran) pada bank-bank konvensional pasca fatwa tersebut dikeluarkan. Kini saatnya kita introspeksi diri terhadap muamalah yang selama ini kita lakukan dengan bank konvensional. Marilah kita mengenal sebagian konsep Islam tentang keuangan yakni Bank Syariah. B. Bank Syariah Sebagai Solusi Dan Pilihan Tepat Dimasa Kini Dan Masa Mendatang Kedepan pemerintah perlu memberikan perhatian besar kepada sistem ekonomi islam (syariah) karena sejarah telah mencatat bahwa ekonomi syariah tetap stabil dalam keadaan ekonomi yang tidak stabil. Kondisi ini dapat kita lihat pada tahun 1997 saat keadaan Indonesia mengalami krisis, pada November 1997 telah ada 16 bank bermasalah yang dicabut izin usahanya dan dilikwidasi dan disusul akhir September 1998 ada 55 bank bermasalah semuanya bank konvensional terdiri dari 10 bank termasuk katagori bank beku operasi (BBO), 5 bank termasuk katagori bank yang dikuasai Pemerintah (BTO), dan 40 bank termasuk katagori bank dibawah pengawasan BPPN. Sedangkan untuk perbankan syariah dapat kita buktikan,ditengah- tengah krisis ekonomi 1997 tersebut tidak ada satu bank syariah yang terkena dampaknya, malahan laporan keuangan salah satu bank syariah pada saat itu, menunjukan kinerja terbaiknya dengan peningkatan laba bersih mencapai 134 %, peningkatan asset sebesar 14 % dari 515,5 milyar rupiah pada tahun 1996 menjadi 588,5 milyar rupiah pada tahun 1997, dan semakin mantapnya kepercayaan masyarakat yang dapat dilihat dari peningkatan simpanan dana masyarakat sebesar 11 %.(A, Karnaen, 2008). Gubernur Bank Indonesia bahkan memperkuatkanya pada pidato di Sidang Tahunan Dewan Gubernur IDB ke-24 tanggal 3 November 1999 mengatakan antara lain : ” We in the central bank as well as in other public authorities have a strong believe that banks and other financial institutions operating on the basis of shari’ah principles can cope with various problems better than conventional financial institutions. And although a thorough study is still to be conducted, preliminary indicators have shown that shari’ah banks are more resilient in the time of financial and economic crises like the one we in Indonesia have gone through, particulary because the risk are share among parties involved “. Apapun keadaan ekonomi di masa sekarang maupun mendatang dimana kestabilan ekonomi tidak dapat ditentukan, maka bank syariah adalah solusi dan pilihan yang sangat tepat bagi perkembangan ekonomi negara ini. Selama ini, sistem ekonomi dan keuangan syariah kurang mendapat tempat yang memungkinkannya

untuk berkembang. Ekonomi Islam belum menjadi perhatian pemerintah. Sistem ini mempunyai banyak keunggulan untuk diterapkan, Ekonomi Islam bagaikan pohon tumbuhan yang bagus dan potensial, tapi dibiarkan saja, tidak dipupuk dan disiram. Ada 5 keunggulan Bank Syariah yang belum diketahui oleh banyak orang: 

Fasilitas Selengkap Bank Konvensional



Manajemen Finansial yang Lebih Aman



Anda Berkontribusi Langsung Memperkuat Bank Syariah Anda



Membantu Orang yang Butuh Dizakati



100% Halal

Kendati secara prinsip bank syariah memiliki keunggulan (advantage), namun dalam realitasnya bank syariah menghadapi beberapa kendala dan kelemahan yang memang harus diakui perlu pembenahan dan peningkatan secara kualitas dan kuantitas antara lain:  Jasa layanan dan inovasi produk. Sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta mudah menjangkau seluruh lapisan masyarakat, sehingga mereka tidak merasa punya perbedaan dengan layanan dari perbankan konvensional.  Masih terbatasnya pemahaman masyarakat mengenai kegiatan usaha jasa keuangan syariah [bank, asuransi, dana pensiun, reksa dana dan indeks syariah]. Keterbatasan pemahaman ini menyebabkan banyak masyarakat memiliki persepsi yang kurang tepat mengenai operasi jasa keuangan syariah.  Masih terbatasnya jaringan kantor cabang jasa keuangan syariah. Keterbatasan kantor cabang ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan pelayanan terhadap masyarakat yang menginginkan jasa keuangan syariah.  Masih belum lengkapnya peraturan dan ketentuan pendukung kegiatan usaha jasa keuangan syariah seperti standar akuntansi, standar prinsip kehati-hatian, standar fatwa produk investasi syariah serta peraturan dan ketentuan pendukung lainnya.  Masih terbatasnya sumber daya manusia yang memiliki keterampilan teknis jasa keuangan syariah. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan makalah perbankan syariah diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya dengan melihat perkembangan bank syariah di atas, sangatlah cerah. Pada saat terjadinya krisis di Negara kita ini, bank syariah mampu berdiri dengan gagahnya. Dan disisi lain kita lihat bahwasanya bank syariah itu adalah bank yang berlandaskan alquran dan hadist. Artinya bank syariah itu adalah bentuk layanan keuangan beretika dan bermoral yang prinsip dasarnya bersumber dari Syariah (ajaran islam). Elemen penting dari Syariah adalah larangan terhadap bunga (Riba), baik nominal, sederhana atau bunga berbunga, berbunga tetap maupun berbunga mengambang. Elemen lainnya mencakup penekanan pada kontrak yang adil, keterkaitan antara keuangan dengan produktivitas, keinginan untuk membagi keuntungan dan larangan terhadap judi serta berbagai ketidakpastian lainnya. Walaupun bank syariah memiliki keuntungan seperti yang disebutkan diatas, namun dalam realitasnya bank syariah masih menghadapi beberapa kendala dan kelemahan yang memang harus diakui perlu pembenahan dan peningkatan secara kualitas dan kuantitas antara lain: Masalah jaringan kantor layanan, Masih terbatasnya pemahaman masyarakat mengenai kegiatan usaha jasa keuangan syariah, dan lain-lain.

Oleh karena itu, dengan keunggulan dan kelemahan yang dimilikinya bank syariah mampu sebagai solusi pengelolaan keuangan yang terjadi pada saat ini. B. Saran Bank syariah masih memiliki beberapa kekurangan yaitu seperti masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang bank syariah. Dan masih banyak lagi. Tapi jangan khawatir, karena seiring dengan waktu semua kekurangan yang dimilikinya, bank syariah akan berusaha dan berupaya akan menutupi dan bahkan menghilangkan semua kekurangan itu. Itu semua menjadi tugas kita bersamasama baik itu pemerintah maupun masyarakat luas. Walaupun Negara kita ini bukanlah 100% Islam, tapi jangan khawatir bagi umat nonmuslim untuk menggunakan layanan bank syariah karena bank syariah (islam) membawa rahmat untuk semua orang tidak diperuntukkan bagi umat Islam saja, dan karena itu ekonomi Islam bersifat inklusif. DAFTAR PUSTAKA 1.

Al-Quranul Karim.

2.

Bank Muamalat Indonesia.

3.

Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002).

4. Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru dan A. Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta: Salemba Empat, 2000). 5. Karnaen Perwataatmaja, Muhammad Syafe'i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992)

BAB II PEMBAHASAN 2.1 PENGERTIAN Dari aspek bahasa, istilah “bank syariah” terbentuk dari 2 kata dasar, yaitu : bank dan Syariah. Definisi menurut UU Perbankan Syariah : Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum pSyariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah,Definisi “bank” menurut UU Perbankan dan UU Perbankan Syariah : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat Perbankan syariah atau perbankan Islam (Arab: ‫ المصرفية السلمية‬al-Mashrafiyah al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem

perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain. Meskipun prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam sejarah perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank Islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersial swasta atau semi-swasta dalam komunitas muslim di dunia. 2.2 SEJARAH MUNCULNYA PERBANKAN SYARIAH Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embelembel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam. Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negaranegara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam. Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan diMalaysia tahun

1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji. DI INDONESIA Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah. Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam

beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will belum mendukung. Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh. 2.3 PRINSIP –PRINSIP BANK SYARIAH Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan usaha atau kegiatan lainya yang sesuai dengan syariah. beberapa prinship hukum yang dianut oleh bank syariah antara lain : 1. pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan. 2. pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana. 3. Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak mempunyai nilai intrinsik. 4. Unsur Gharar ( ketidakastian, spekulasi ) tidak diperkenankan. keduabelah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi. 5. Investasi hanya boleh pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah. sedangkan untuk prinsip ekonomi, terdapat tujuh prinsip ekonomi yang

menjiwaii bank syariah yaitu: 1. keadilan, kesamaan dan solidaritas 2. larangan terhadap objek dan mahluk 3. pengakuan kekayaan intelektual 4. harta sebaiknya digunakan secara rasional dan baik ( fair way ) 5. tidak ada pendapatan tana usaha dan kewajiban. 6. kondisi umum dari kredit ( meliputi: pertama peminjam yang mengalami kesulitan keuangan sebaiknya diperlakukan secara baik, diberi tangguh waktu, bahkan akan lebih baik bila diberi keringanan, dan kedua, terdapat beberapa perbdaan mengenai hukum selisih antara kredit dan harga spot, ada yang berpendapat bahwa itu adalah suku bunga implisit dan ada yang berpendapat suku bunga tersebut diperbolehkn untuk mengakomodasi biaya transaksi, bukan biaya dari pembiayaan,dan dualiti resiko di satu isi sebagai persetujuan kredit ( liability ) usaha produktif yang merupakan legitimasi dari bagi hasil, dilain sisi resiko sebaiknya diambil secara hati-hati, resiko yang tak terkontrol sebaiknya dihindari 2.4 Produk Perbankan syariah Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) Produk Penyaluran Dana, (2) Penghimpunan Dana dan (3) Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya. 1. Penyaluran dana Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu: 1. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli. 2. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakuakan dengan prinsip sewa. 3. Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil. Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk uang menggunakan prinsip jual beli seperti murabahah, salam, dan istishna serta produk yang menggunakan prinsip sewa yaitu ijiarah. Sedangkan pada kategori ketiga,

tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati dimuka. Produk perbankan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah musyarakah dan mudharabah. 1.1 Prinsip Jual Beli (Ba’i) Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual – beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya A. Pembiayaan Murabahah Murtabahah bi tsaman ajil atau lebih dikenal sebagai murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan) yaitu transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan.kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayarannya. B. Salam Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti. Ketentuan umum salam: Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan. Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persedian (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau rekanan.ini disebut pasar Salam.

C. Istishna Produk ini menyerupai produk salam, namun dalam istihna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istihna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi. 1.2 Prinsip Sewa (Ijarah) Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijiriah objek transaksinya adalah jasa. Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijiarah muntahhiyah bittmlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga jual disepakati pada awal perjanjian. 1.3 Prinsip Bagi Hasil (Syirkah) Produk pembiayaan syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah musyarakah dan mudharabah. a. Musyrakah Musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka secara bersama-sama memadukkan seluruh bentuk sumber daya (aset) baik yang berwujud maupun tidak berwujud (berupa dana, barang perdagangan [trading asset], kewiraswaataan [entrepreneurship], kepandaian [skill], kepemilikan [property], peralatan[equipment], atau intangible asset [seperti hak paten atau goodwill], kepercayaan/reputasi [credit worthiness] dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. ketentuan umum: Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukkan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. b. Mudharabah Mudhrabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercyakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.

Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu dalam mudhrabah modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. Musyarakah dan Mudharabah dalam literatul fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjungjung keadilan. Ketentuan umum -Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan dalam satuan uang. -Perhitungan dilakukan dengan pendapatan proyek (revenue sharing) dan perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing). -Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan akad. -Bank berhak untuk melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak diperkenankan untuk mencapuri pekerjaan nasabah. C. Mudharabah Muqqayadah Karakteristik mudharabbah muqayadah pada dasarnya sama dengan spersyaratan diatas. Perbedaannya adalah terletak pada dasarnya adalah terletak pada adanya pembatasan penggunaan modal sesuai dengan permintaanpemilik modal. 2. Produk Penghimpunan Bank Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabuangan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadiah dan mudharabah. 1. Prinsip Wadiah Prinsip wadiah yang diterapkan adalah wadiah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadiah dhamanah berbeda dengan wadiah amanah. Dalam wadiah dhamanah, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi. Sedangkan dalam hal Wadiah dhamanah, pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Karena wadiah yang diterapkan dalam produk giro perbankan ini juga disifati dengan yad dhamanah, maka implikasi hukumnya sama dengan qardh,

dimana nasabah bertindak sebagai yang meminjamkan uang, dan bank bertindak sebagai yang dipinjami. Ketentuan umum dari produk ini adalah: Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milikØ atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan dimuka. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izinØ penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit card. Terhadap pembukuan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biayaØ administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi. Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro danØ tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 2. Prinsip Mudharabah Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank menggunakannya untuk melakukan pembiayaan mudharabah, maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi. Rukun mudharabah terpenuhi sempurna (ada mudharib – ada pemilik dana, ada usaha yang akan dibagi hasilkan, ada nisbah, ada ijab kabul). Prinsip mudharabah ini diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan deposito berjangka. Berdasarkan kewenangan yang diberikan pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah terbagi tiga yaitu: a. Mudaharabah mutlaqah Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan

mudharabah dan deposito mudharabah. Berdasrkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun. b. Mudharabah Muqqayyadah on balance Sheet Jenis mudharabbah ini merupakan simpanan khusus (restriced investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya diisyarakatkan digunakan untuk bisnis tertentu atau diisyarkatkan untuk nasabah tertentu. Perhitungan bagi hasil Mudharabah Muqqayyadah on balance Sheet adalah seluruh nasabah kepada bank tanpa ada pembatasan tertentu pada pelaksana usaha yang dibiayai maupun akad yang digunakan. Nasabah investor memberikan kebebasan secara mutlak kepada bank syariah untuk mengatur seluruh aliran dana, termasuk memutuskan jenis akad dan pelaksana usaha di seluruh sektor. c. Mudharabah Muqqayyadah off Balance Sheet Jenis muddarabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langusung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Dalam skema ini bank syariah bertindak sebagai arranger saja. Pencatatan transaksinya di bank syariah secara off balance sheet. Bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah investor dan pelaksana usaha saja. Besar bagi hasil tergantung kesepakatan antara nsabah investor dan pelaksana usaha bank hanya memperoleh arrengger fee. 3. Akad Pelangkap Untuk mempermudah pelaksanaan penghimpunan dana. Biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul. 1. Sharf (Jual Beli Valuta Asing) Pada prinsipnya jual-beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.

2. Ijarah (sewa) Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan buka tutup (safe deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian). Bank dapat imbalan sewa dari jasa tersebut. 3. Jasa Perbankan Bank syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapatkan imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain berupa: a. Hiwalah (Alih Utang – Piutang) Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang. b. Rahn (Gadai) Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan harus milik sendiri, jelas ukuran,sifat dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. c. Qardh Qardh adalah pinjaman uang. d. Wakalah Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang. e. Kafalah (Garansi Bank) Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjaminpembayaran suatu kewajiban pembayaran. D. Hukum Perbankan Syariah Melalui Pasal 6 huruf m Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah sebagaimana dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam UUPI, namun hanya menyebutkan: “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.” Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dan di penjelasannya disebut “Bank berdasarkan prinsip bagi

hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”. Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank. Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992, keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam hal : 1. Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. 2. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank

Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank. Tidak mengherankan bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”, yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang bersifat perbankan konvensional. Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan syariah pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksitransaksi atau perjanjian-perjanjian bidang perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut. Perkembangan kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan di antaranya perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan menjadi ‘badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasiMUI. Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam makalahnya yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional” beliau mengatakan sebagai berikut : “Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil” yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “bunga”. … Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam

sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis).” Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998, penyebutan terhadap entitas perbankan Islam secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yakni : 1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah; 2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan 3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia, yakni : 1. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah , yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; 2. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan 3. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) , yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional. Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, relevan dikemukakan dalam hal ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam

menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain, dengan demikian UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya. Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa mengenai produk perbankan syariah, lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transaksi dan akad lembaga keuangan syariah, yakni sebagai berikut: No. NOMOR FATWA TENTANG 1 01/DSN-MUI/IV/2000 Giro 2 02/DSN-MUI/IV/2000 Tabungan 3 03/DSN-MUI/IV/2000 Deposito 4 04/DSN-MUI/IV/2000 Murabahah 5 05/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Salam 6 06/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Istishna 7 07/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) 8 08/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Musyarakah 9 09/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Ijarah 10 10/DSN-MUI/IV/2000 Wakalah 11 11/DSN-MUI/IV/2000 Kafalah 12 12/DSN-MUI/IV/2000 Hawalah 13 13/DSN-MUI/IX/2000 Uang Muka dalam Murabahah

14 14/DSN-MUI/IX/2000 Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam LKS 15 15/DSN-MUI/IX/2000 Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam LKS 16 16/DSN-MUI/IX/2000 Diskon dalam Murabahah 17 17/DSN-MUI/IX/2000 Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran 18 18/DSN-MUI/IX/2000 Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS 19 19/DSN-MUI/IX/2000 Al-Qardh 20 20/DSN-MUI/IX/2000 Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah 21 21/DSN-MUI/X/2001 Pedoman Umum Asuransi Syari’ah 22 22/DSN-MUI/III/2002 Jual Beli Istishna Paralel 23 23/DSN-MUI/III/2002 Potongan Pelunasan Dalam Murabahah 24 24/DSN-MUI/III/2002 Safe Deposit Box 25 25/DSN-MUI/III/2002 Rahn 26 26/DSN-MUI/III/2002 Rahn Emas 27 27/DSN-MUI/III/2002 Al-Ijarah al-Muntahiya bi al-Tamlik 28 28/DSN-MUI/III/2002 Jual Beli Mata Uang (al-Sharf) 29 29/DSN-MUI/VI/2002 Pembiayaan Pengurusan Haji LKS 30 30/DSN-MUI/VI/2002 Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah 31 31/DSN-MUI/VI/2002 Pengalihan Utang 32 32/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syari’ah 33 33/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syari’ah Mudharabah 34 34/DSN-MUI/IX/2002 L/C Impor Syari’ah 35 35/DSN-MUI/IX/2002 L/C Ekspor Syari’ah 36 36/DSN-MUI/X/2002 Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia 37 37/DSN-MUI/X/2002 Pasar Bank Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah 38 38/DSN-MUI/X/2002 Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (Sertifikat IMA) 39 39/DSN-MUI/X/2002 Asuransi Haji 40 40/DSN-MUI/X/2003 Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di bidang Pasar Modal 41 41/DSN-MUI/III/2004 Obligasi Syariah Ijarah 42 42/DSN-MUI/V/2004 Syariah Charge Card 43 43/DSN-MUI/VIII/2004 Ganti Rugi (Ta’widh)

BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Bank syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, demokrasi ekokomi, dan prinsip kehati-hatian. Di dalam bank syariah terdapat suatu badan yang tidak ada di dalam bank-bank konvesional yaitu Dewan Pengawas Syariah. Dewan ini memiliki tugas untuk meneliti produk-produk baru bank syariah dan memberikan rekomendasi terhadap produk-produk baru tersebut serta membuat surat pernyataan bahwa bank yang diawasinya masih tetap menjalankan usaha berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

Related Documents

Bab I Pendahuluan
August 2019 31
Bab I Pendahuluan
July 2020 15
Bab I Pendahuluan
October 2019 32
Bab I. Pendahuluan
May 2020 15

More Documents from ""

Bab I Pendahuluan
August 2019 31
Fadli Bisnis
August 2019 22
1. Bedah Bph.docx
November 2019 52
Lembaga Pembiayaan Nana
August 2019 53
Abstrak.docx
April 2020 42