1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Post partum merupakan suatu masa antara kelahiran sampai dengan organorgan reproduksi kembali ke keadaan sebelum masa hamil (Reeder, 2011). Masa post partum disebut sebagai masa-masa antara kelahiran bayi sampai dengan kembalinya organ reproduksi sebelum melahirkan. Masa post partum juga disebut sebagai masa pemulihan organ reproduksi yang lamanya antara 6-8 minggu (Solehati, 2015). Post partum dengan sectio caesarea merupakan suatu cara melahirkan janin dengan cara membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina (Nurjanah, 2013). Indikasi dilakukan sectio caesarea menurut Wiknjosastro (2007) dengan distorsia janin-panggul, gawat janin, plasenta previa totalis, riwayat sectio caesarea sebelumnya, kelahiran letak (terutama pada letak lintang), hipertensi, pre-eklamsi berat, eklamsia dan janin besar. Menurut WHO (World Health Organization) angka persalinan secara sectio caesarea sekitar 10% sampai 15% dari semua proses persalinan di negara-negara berkembang dibandingkan dengan 20% Britania Raya, 23% di Amerika Serikat dan Kanada pada tahun 2003 memiliki angka 21%. Angka kesakitan persalinan secara sectio caesarea lebih tinggi, sekitar 27,3 per 1000 persalinan dibandingkan persalinan normal 9 per 1000 persalinan (Juditha et al 2009). Angka kematian di Indonesia saat ini telah mengalami penurunan dari 307/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002 menjadi 228/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI, 2007). Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan
2
kelahiran secara bedah sesar sebesar 9,8% dengan proporsi tertinggi di DKI Jakarta 19,9% dan terendah di Sulawesi Tenggara 3,3%.
Berdasarkan data
Listiyanti (2016) di Kabupaten Malang tepatnya di Ruang Brawijaya RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen pada tahun 2015 jumlah ibu post sectio caesarea mengalami penurunan, dari 49 klien menjadi 46 klien yang dipantau selama 2 bulan, yaitu pada bulan September sampai Oktober. Sedangkan pada tahun 2016 jumlah ibu post sectio caesarea di Ruang Brawijaya RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan oleh data studi pendahuluan pada tanggal 24 Oktober 2016 di Ruang Brawijaya RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang dengan jumlah ibu post sectio caesarea dari 40 klien menjadi 48 klien selama 2 bulan, yaitu pada bulan Agustus sampai September 2016. Banyak orang yang beranggapan apabila telah melahirkan anaknya dengan selamat berarti semua sudah selesai, padahal masih ada hal penting yang harus diperhatikan meliputi perawatan masa nifas. Menurut Ladewig (2005) ibu yang telah mengalami pembedahan sectio caesarea memiliki kebutuhan perawatan pasca partum yang sama dengan ibu yang melahirkan secara pervaginam. Perawatan nifas meliputi perawatan diri ibu dan perawatan bayi baru lahir. Perawatan diri ibu nifas meliputi perawatan luka, nutrisi, ambulasi dini, perawatan perineum, perawatan payudara, miksi, defekasi. Farrer (2004) mengatakan ambulasi dini adalah mobilisasi segera setelah ibu melahirkan dengan membimbing ibu untuk bangun dari tempat tidurnya. Pasien sectio caesarea biasanya dimulai ambulasi 24-36 jam sesudah melahirkan (Nurjanah, 2013). Semakin banyak dokter dan tenaga medis yang menganjurkan
3
pasien baru melahirkan dengan operasi agar segera menggerakkan tubuhnya (Sulasmi, 2015). Apabila ibu tidak segera menggerakkan tubuhnya sedini mungkin akan terjadi gangguan berupa gangguan mobilisasi dini. Mobilisasi dini termasuk dalam kebutuhan dasar Activity of Daily Living (ADL) ibu nifas (Marliandiani, 2015). Setelah dilakukan perawatan melalui latihan ambulasi maka tahap akhir dilakukan senam nifas. Organ-organ tubuh wanita akan kembali seperti semula sekitar 6 minggu, oleh karena itu ibu akan berusaha memulihkan dan mengencangkan bentuk tubuhnya. Hal tersebut dapat dilakukan melalui latihan senam nifas (Nurjanah, 2013). Menurut Sunarsih (2013) senam nifas adalah senam yang dilakukan ibu-ibu setelah melahirkan setelah keadaan pulih kembali yang bertujuan untuk mempercepat penyembuhan, mencegah timbulnya komplikasi, serta memulihkan dan menguatkan otot-otot punggung, otot dasar panggul dan otot perut. Sedangkan menurut Alijahbana (2008) mengatakan bahwa senam nifas dapat dimulai setelah melahirkan dan dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara bertahap, sistematis dan kontinu. Senam nifas dilakukan untuk membantu mempercepat pemulihan kondisi ibu, mempercepat proses involusi uteri, memperlancar pengeluaran lochea, membantu mengurangi rasa sakit, dan mengurangi kelainan serta komplikasi masa nifas (Sundawati, 2011). Apabila klien yang mengalami post sectio caesarea dengan gangguan Activity of Daily Living (ADL) tidak tertangani maka akan terjadi berbagai masalah seperti infeksi karena involusi uterus yang tidak baik sehingga sisa darah tidak dapat dikeluarkan, perdarahan yang abnormal, thrombosis vena (sumbatan vena oleh bekuan darah, dan timbul varises (Nurjannah, dkk, 2013). Untuk mengatasi
4
gangguan activity of daily living dengan post sectio caesarea, perawat perlu memberikan tindakan senam nifas dengan kondisi yang sedang dialami oleh klien. Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian bagaimanakah asuhan keperawatan ibu yang mengalami post sectio caesarea dengan gangguan activity of daily living di Ruang Brawijaya RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang.
1.2 Batasan Masalah Pada studi kasus ini asuhan keperawatan pada ibu yang mengalami post sectio caesarea dengan gangguan activity of daily living di Ruang Brawijaya RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang.
1.3 Rumusan Masalah Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien yang mengalami post sectio caesarea dengan gangguan activity of daily living di Ruang Brawijaya RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang?
1.4 Tujuan 1.4.1
Tujuan Umum Melaksanakan asuhan keperawatan pada ibu yang mengalami post sectio caesarea dengan gangguan activity of daily living di Ruang Brawijaya RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang.
5
1.4.2
Tujuan Khusus
1) Melakukan pengkajian keperawatan pada ibu yang mengalami post sectio caesarea dengan gangguan activity of daily living di Ruang Brawijaya RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang. 2) Melakukan diagnosis keperawatan pada ibu yang mengalami post sectio caesarea dengan gangguan activity of daily living di Ruang Brawijaya RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang. 3) Melakukan perencanaan asuhan keperawatan pada ibu yang mengalami post sectio caesarea dengan gangguan activity of daily living di Ruang Brawijaya RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang. 4) Melakukan tindakan keperawatan pada ibu yang mengalami post sectio caesarea dengan gangguan activity of daily living di Ruang Brawijaya RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang. 5) Melakukan evaluasi pada ibu yang mengalami post sectio caesarea dengan gangguan activity of daily living di Ruang Brawijaya RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang.
1.5 Manfaat 1.5.1
Manfaat Teoritis Mengembangkan asuhan keperawatan bidang ilmu klien pada kasus post sectio caesarea dengan gangguan activity of daily living di Ruang Brawijaya RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang.
6
1.5.2
Manfaat Praktis
A. Bagi Perawat Dari hasil penelitian ini dapat menjadi tolak ukur dalam pemberian asuhan keperawatan untuk peningkatan asuhan keperawatan post sectio caesarea. B. Bagi Rumah Sakit Dari hasil penelitian ini dapat memberikan masukan terhadap rumah sakit untuk langkah-langkah kebijakan dalam rangka peningkatan mutu keperawatan terutama yang berkaitan dengan asuhan keperawatan post sectio caesarea. C. Bagi Klien Dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang kualitas asuhan keperawatan, khususnya pada klien dengan post sectio caesarea dengan gangguan activity of daily living. D. Bagi Institusi Dapat memberikan masukan sebagai sumber informasi bagi mahasiswa selanjutnya.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Ibu Nifas 2.1.1 Pengertian Ibu Nifas Masa nifas dimulai setelah 2 jam postpartum dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, biasanya berlangsung selama 6 minggu atau 42 hari secara keseluruhan baik secara fisiologis maupun psikologis akan pulih dalam waktu 3 bulan (Nurjanah, 2013). Sedangkan menurut Saleha (2009) masa nifas adalah masa setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil dan berakhir kira-kira 6 minggu.
2.1.2
Epidemiologi Angka kematian ibu dan bayi merupakan salah satu indikator untuk
mengukur kualitas program kesehatan dan derajat kesehatan masyarakat di suatu negara. Target Millennium Development Goals (MDG’s)-5 adalah penurunan 75% rasio kematian maternal tahun 1990 pada tahun 2015. Pencapaian tersebut sangat sensitif terhadap pemilihan indikator kematian maternal (Adriaansz, 2007). Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki angka kematian ibu yang cukup tinggi. Angka kematian ibu di Indonesia mencapai 248 kematian per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2007). Menurut Adriansz (2007) sebagian besar kematian maternal terjadi pada trimester ketiga kehamilan, persalinan dan minggu pertama setelah melahirkan.
8
Kematian ibu maternal banyak terjadi karena adanya komplikasi postpartum, yaitu perdarahan (28%), infeksi (11%), eklamsia (24%), dan partus macet atau lama (5%) (Kurniawati, 2009).
2.1.3
Tahapan Masa nifas dibagi menjadi 3 tahap, antara lain:
1. Puerperium dini (immediate puerperium) merupakan pemulihan di mana ibu diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan (waktu 0-24 jam postpartum). Dalam agama islam dianggap telah bersih dan boleh bekerja setelah 40 hari. 2. Puerperium intermedial (early puerperium) merupakan suatu di mana pemulihan dari organ-organ reproduksi secara menyeluruh selama kurang lebih 6-8 minggu. 3. Remote puerperium (later puerperium), waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat kembali dalam keadaan yang sempurna secara bertahap terutama jika selama masa kehamilan dan persalinan ibu mengalami komplikasi, waktu untuk sehat berminggu-minggu, bulan bahkan tahun (Nurjanah, 2013).
2.1.4
Manifestasi Klinis
1. Setelah persalinan dalam 24 jam pertama ibu akan mengalami sedikit peningkatan suhu tubuh (38oC) sebagai respon tubuh terhadap proses persalinan. Peningkatan suhu umumnya terjadi hanya sesaat jika peningkatan suhu tubuh menetap mungkin menandakan infeksi. 2. Pada saat proses persalinan denyut nadi akan mengalami peningkatan. Denyut nadi yang melebihi 100x/menit, harus waspada kemungkinan infeksi atau perdarahan postpartum.
9
3. Tekanan darah untuk sistole 110-140 mmHg dan diastole 60-80 mmHg. Setelah persalinan tekanan darah akan sedikit lebih rendah dibandingkan saat hamil karena terjadi perdarahan pada proses persalinan. Karena terjadinya perdarahan pada proses bersalin. Bila tekanan darah mengalami peningkatan lebih dari 30 mmHg pada sistol atau lebih dari 15 mmHg pada diastol perlu di curigai timbulnya hipertensi atau pleeklampsi postpartum. 4. Pada ibu post partum pada umumnya pernafasan menjadi lambat atau kembali normal seperti saat sebelum hamil pada bulan ke enam setelah persalinan. Hal ini karena ibu dalam kondisi pemulihan atau kondisi istirahat. 5. Masa masa nifas akan hilang dalam waktu 6 minggu (42 hari) hingga 3 bulan untuk pemulihan alat-alat kandungan seperti sebelum hamil (Marliandiani, 2015).
2.1.5
Perubahan yang Terjadi Pada Masa Nifas
a. Perubahan Fisiologi Pada masa nifas terjadi masa involusi yaitu perubahan keseluruhan alat genitalia. Pada masa ini terjadi perubahan-perubahan lainnya antara lain: 1. Uterus Oksitosin yang dilepaskan dari kelenjar hipofisis posterior menginduksi kontraksi miometrium yang saling berkaitan dan kuat. Dunstall (2006) mengatakan rongga uterus telah kosong maka uterus secara keseluruhan berkontraksi ke arah bawah dan dinding uterus kembali menyatu satu sama lain dan ukuran uterus kembali secara bertahap seperti sebelum hamil.
10
Involusi uterus merupakan suatu proses di mana uterus kembali ke kondisi sebelum hamil dengan berat sekitar 60 gram. Proses ini dimulai segera setelah plasenta lahir akibat kontraksi otot-otot polos uterus. Setelah plasenta lahir, tinggi fundus uteri (TFU) sekitar pertengahan simfisis pubis dan umbilicus. Setelah 24 jam tonus segmen bawah uterus telah pulih kembali sehingga mendorong fundus ke atas menjadi setinggi umbilicus. Pada hari pertama dan kedua TFU satu jari di bawah umbilicus, hari ke 5 TFU setinggi 7 cm di atas simfisis atau setengah simfisis pusat, pada hari ke 10 tidak teraba lagi. Fundus turun 1-2 cm setiap 24 jam (Sulistyawati, 2009). Proses involusi uterus adalah sebagai berikut: a. Iskemia miometrium Disebabkan oleh kontraksi dan retraksi uterus yang terus menerus setelah pengeluaran plasenta sehingga uterus menjadi relatif anemi dan menyebabkan serat otot atrofi. b. Atrofi jaringan Atrofi jaringan terjadi sebagai reaksi penghentian hormone estrogen saat pelepasan plasenta. c. Autolisis Merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam otot uterus. d. Efek oksitosin Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot uterus sehingga
akan
menekan
pembuluh
berkurangnya suplai darah ke uterus.
darah
yang
mengakibatkan
11
2. Lochea Nurjanah (2013) mengemukakan, vagina akan terus-menerus mengelurakan darah. Biasanya darah tersebut mengandung trombosit, sel-sel tua, sel-sel mati (nekrosis), serta sel-sel dinding rahim (endometrium), yang disebut lokea. Ibu pasca melahirkan akan mengalami 4 tahapan perubahan lokea pada masa masa nifas: a. Merah tua (lochea rubra) tahap pertama ini akan berlangsung selama 3 hari pertama setelah melahirkan. Darah pada tahapan pertama ini berpotensi mengandung banyak kuman penyakit. b. Merah dan berlendir dan kecloklatan (lochea sanguinolenta). Pada tahapan kedua biasanya berlangsung selama 4-7 hari postpartum. c. Kekuningan lalu merah pudar (lochea serosa). Cairan yang seperti ini biasanya mulai keluar 1-2 minggu postpartum. d. Kekuningan lalu bening/putih (lochea alba). Carian ini keluar sekitar empat minggu, yakni dari minggu ke 2-6. Bila cariran lokea sudah berwarna bening, tandanya masa nifas berlangsung normal. 3. Payudara Payudara pada ibu pasca persalinan akan mengalami perubahan meliputi, terjadinya penurunan kadar estrogen dan progesterone dengan peningkatan sekresi prolaktin setelah melahirkan. Kolostrum sudah ada pada waktu melahirkan. ASI diproduksi pada hari ke 3 atau ke 4 pasca persalinan. Payudara lebih besar dan lebih keras terjadi karena laktasi (pembengkakan primer). Kongesti berkurang dalam 1-2 hari, di dalam payudara prolaktin menstimulasi, bayi baru lahir memicu pelepasan oksitosin dan kontuksilitas sel-sel miopitelial, yang menstimulasi aliran
12
susu, ini dikenal dengan reflek let-down, jumlah rata-rata ASI yang dihasilkan selama 24 jam meningkat pada minggu pertama 6-10 ons, 1-4 minggu 20 ons dan setelah 4 minggu 30 ons. 4. Perubahan Sistem Endokrin Hormon plasenta menurun dengan cepat setelah persalinan. HCG (Human Chorionic Gonadotropin) menurun dengan cepat dan menetap sampai 10% dalam 3 jam hingga hari ke 7 postpartum dan sebagai onset pemenuhan mammae pada hari ke 3 postpartum. Prolaktin darah akan meningkat dengan cepat. Pada wanita yang tidak menyusui, prolaktin menurun dalam waktu 2 minggu. FSH dan LH akan meningkat pada fase konsentrasi folikuler (minggu ke 3) dan LH tetap rendah hingga ovulasi terjadi. 5. Genitalia Eksterna, Vagina, dan Perineum Selama proses persalinan vulva dan vagina mengalami penekanan dan peregangan. Rugae dalam vagina secara bertahap mulai tampak pada minggu ketiga. Hymen muncul sebagai scar atau penonjolan kulit. Ukuran vagina lebih besar dibandingkan keadaan sebelum persalinan pertama. Perubahan pada perineum pasca melahirkan terjadi pada saat perineum mengalami robekan. Robekan pada perineum dapat terjadi secara spontan atau dilakukan episiotomi. Robekan perineum umumnya terjadi pada garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil dari biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar dari pada sirkumferensial suboksipito bregmatika (Marliandiani, 2015).
13
6. Perubahan Sistem Pencernaan Pada ibu postpartum mengalami perubahan sistem pencernaan. Sistem gastrointestinal selama kehamilan dipengaruhi oleh tingginya kadar progesteron, namun pada pasca melahirkan kadar progesterone menurun. Marliandiani (2015) mengatakan beberapa hal yang berkaitan dengan perubahan sistem pencernaan antara lain: a. Nafsu makan Sebagian ibu tidak merasakan lapar sampai rasa lelah itu hilang. Sebaiknya setelah persalinan segera mungkin berikan ibu minuman hangat dan manis untuk mengembalikan tenaga yang hilang. b. Motilitas Pada persalinan bedah besar kelebihan analgesik dan anestesi dapat memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan normal. c. Pengosongan usus Pasca melahirkan ibu sering mengalami konstipasi yang disebabkan tonus otot menurun selama proses persalinan dan awal masa nifas, diare sebelum persalinan, enema sebelum melahirkan, kurang makan, dehidrasi, hemoroid, atau laserasi jalan lahir. b. Perubahan Psikologi Dalam menjalani adaptasi psikososial menurut Revarubin (1963) setelah melahirkan, ibu akan melalui fase-fase sebagai berikut: 1. Fase taking in Fase ini merupakan periode ketergantungan, yang berlangsung dari hari pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Ibu berfokus pada
14
dirinya sendiri, sehingga cenderung pasif terhadap lingkungannya. Ketidaknyamanan yang dialami antara lain rasa mules, nyeri pada luka jahitan, kurang tidur, kelelahan. Hal yang perlu diperhatikan pada fase ini adalah istirahat cukup, komunikasi yang baik dan asupan nutrisi. Gangguan psikologis yang dapat dialami oleh ibu pada fase ini adalah: a. Kekecewaan pada bayinya b. Ketidaknyamanan sebagai akibat perubahan fisik yang dialami c. Rasa bersalah karena belum bisa menyusui bayinya d. Kritikan suami atau keluarga tentang perawatan bayinya 2. Fase taking hold Fase ini berlangsung antara 3-10 hari setelah melahirkan. Ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa tanggung jawab dalam perawatan bayinya. Perasaan ibu lebih sensitif sehingga mudah tersinggung. Hal yang perlu diperhatikan adalah komunikasi yang baik, dukungan dan pemberian penyuluhan/pendidikan kesehatan tentang perawatan diri dan bayinya. 3. Fase letting go Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya. Fase ini berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah dapat menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Terjadi peningkatan akan perawatan diri dan bayinya. Ibu merasa percaya diri akan peran barunya, lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan dirinya dan bayinya. Dukungan suami dan keluarga dapat membantu merawat
15
bayi. Kebutuhan akan istirahat masih diperlukan ibu untuk menjaga kondisi fisiknya. Hal-hal yang harus dipenuhi selama nifas adalah sebagai berikut: a. Fisik, istirahat, asupan gizi, lingkungan bersih. b. Psikologi, dukungan dari keluarga yang sangat diperlukan. c. Sosial, perhatian, rasa kasih sayang, menghibur ibu saat sedih dan memahami saat ibu merasa kesepian. d. Psikososial berupa hubungan yang baik dan dan diterima oleh lingkungan sekitar tempat ibu tinggal. (Sundawati, 2011) 2.1.6
Komplikasi Marliandiani (2015) mengemukakan, komplikasi pada masa nifas jarang
ditemukan selama pasien mendapatkan asuhan yang berkualitas mulai dari masa kehamilan sampai persalinannya. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu nifas antara lain: 1. Perdarahan pervaginam Perdarahan pervaginam yang melebihi 500 ml setelah melahirkan disebut sebagai perdarahan pascapersalinan. Menurut waktu terjadinya, perdarahan postpartum dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan postpartum primer yakni perdarahan yang terjadi di dalam 24 jam setelah bayi lahir. Kedua disebut dengan perdarahan sekunder di mana terjadi perdarahan setelah 24 jam pertama bayi dilahirkan. Perdarahan pervaginam antara lain disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan lahir, dan retensio plasenta.
16
2. Infeksi pada masa nifas Infeksi masa nifas adalah infeksi bakteri pada traktus genitalia, terjadi sesudah melahirkan, ditandai kenaikan suhu sampai 380C atau lebih selama dua hari dalam sepuluh hari pertama pascapersalinan. 3. Sakit kepala, nyeri epigastrik, dan penglihatan Gejala ini merupakan tanda dan gejala terjadinya eklampsia postpartum apabila disertai dengan tekanan darah tinggi. 4. Pembengkakan di wajah atau ekstremitas Apabila ditemukan gejala tersebut, periksa apakah ada varises, kemerahan pada betis, dan periksa apakah terdapat edema pada pergelangan kaki. 5. Demam, muntah, rasa sakit waktu berkemih Organisme yang menyebabkan infeksi saluran kemih berasal dari flora normal perineum. 6. Kehilangan nafsu makan untuk jangka waktu yang lama Setelah persalinan ibu akan merasakan kelelahan yang amat berat sehingga dapat mengganggu nafsu makan. Kehilangan nafsu makan antara lain disebabkan oleh trauma persalinan, stress dengan bentuk tubuh yang tidak menarik lagi. Pada ibu post seksio sesarea yang mengalami mual sampai muntah karena pengaruh obat anestesi dan keterbatasan aktivitas (terlalu lama dalam posisi berbaring, kepala sering pusing). 7. Merasa sedih atau tidak mampu untuk merawat bayi dan diri sendiri Pada minggu awal setelah persalinan sampai kurang lebih satu tahun ibu postpartum cenderung akan mengalami perasaan-perasaan yang
17
tidak pada umumnya. Seperti merasa sedih, tidak mampu mengasuh dirinya sendiri dan bayinya.
2.2 Konsep Sectio Caesarea 2.2.1
Pengertian Sectio Caesarea Menurut Winkjosastro (2005) sectio caesarea merupakan suatu persalinan
buatan, yaitu janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh dan bobot janin diatas 500 gram. Sedangkan Perry & Lowdermilk (2004) menyatakan bahwa sectio caesarea adalah cara melahirkan bayi melalui insisi transabdominal uterus. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa seksio sesarea merupakan suatu proses persalinan buatan yang dilakukan melalui pembedahan dengan cara melakukan insisi pada dinding perut dan dinding rahim ibu, dengan syarat rahim harus dalam keadaan utuh, dan janin memiliki berat badan di atas 500 gram. Jika berat badan bayi di bawah 500 gram, tidak perlu dilakukan tindakan persalinan sectio caesarea (Solehati, 2015).
2.2.2
Etiologi
1. Etiologi yang berasal dari ibu Etiologi yang berasal dari ibu yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, disproporsi sefalo pelvic (disproporsi janin/panggul), adanya riwayat kehamilan dan persalinan yang buruk, terdapat kesempitan panggul, plasenta previa terutama pada primigravida, solution plasenta tingkat I-II, komplikasi kehamilan yaitu preeklamsia-eklamsia, atas permintaan, kehamilan yang disertai penyakit
18
(jantung, diabetes mellitus), gangguan perjalanan persalinan (kista ovarium, mioma uteri dan sebagainya (Nurarif, 2015).
2. Etiologi yang berasal dari janin Fetal distress atau gawat janin, mal presentasi dan mal posisi kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil, kegagalan persalinan vakum atau forceps ekstraksi (Nurarif, 2015). Solehati (2015) menyebutkan beberapa indikasi dilakukan seksio sesarea antara lain: 1. Faktor Ibu a. Distosia Distosia merupakan keadaan persalinan yang lama karena adanya kesulitan dalam persalinan yang disebabkan oleh beberapa faktor dalam persalinan, baik faktor dari ibu maupun dari janin dalam proses persalinan, seperti kelainan tenaga (his), kelelahan mengedan, kelainan jalan lahir, kelainan letak dan bentuk janin, kelainan dalam besar/bobot janin, serta psikologis ibu. b. Cephalo Pelvic Dispropotion (CPD) Cephalo
pelvic
disproportion
adalah
ketidakselarasan
atau
ketidakseimbangan antara kepala janin dan pelvis ibu (Rustam, 1998 dalam Solehati & Kosasih, 2015). Keadaan panggul yang tidak normal tidak baik untuk dilakukan tindakan persalinan pervaginam. Oleh karena itu, seorang ibu penting untuk melakukan pengukuran panggul pada saat
19
pemeriksaan kehamilan awal dengan tujuan memperkirakan apakah keadaan panggulnya dalam batas normal atau tidak. Disproporsi sefalo pelvik mencakup panggul sempit, fetus yang tumbuh terlalu besar atau adanya ketidakseimbangan relatif antara ukuran kepala bayi dan pelvis (Wiknjosastro, 2000). c. Preeklamsi Berat dan Eklamsia Preeklamsi Berat (PEB) adalah hipertensi yang terjadi pada ibu hamil dan biasanya terjadi pada trimester akhir. Menurut Tanjung M. T. (2004) preeklamsi merupakan suatu sindrom yang ditemukan pada ibu dengan kehamilan di atas 20 minggu yang ditandai dengan hipertensi dan proteinuria atau tanpa edema (bengkak). Eklamsi adalah preeklamsi yang disertai dengan kejang-kejang umum yang terjadi saat hamil, waktu partus atau dalam tujuh hari post partum bukan karena epilepsi. d. Gagal Proses Persalinan Gagal induksi persalinan merupakan indikasi dilakukannya seksio sesarea untuk segera menyelamatkan ibu dan bayinya. e. Sectio Ulang Sectio yang berulang merupakan merupakan indikasi dilakukannya sectio caesarea. Hal ini disebabkan rahim ibu mengalami luka perut akibat insisi pada saat operasi sectio caesarea sebelumnya sehingga mengakibatkan ibu mengalami robekan rahim saat persalinan pervaginam akibat adanya his. Apabila ibu mempunyai riwayat persalinan sectio maka persalinan berikutnya harus melalui tindakan persalinan sectio caesarea karena khawatir terjadinya robekan pada rahim.
20
f. Plasenta Previa Plasenta previa merupakan plasenta yang letaknya abnormal, yaitu plasenta yang terletak pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (ostium internum). g. Solutio Plasenta Solutio plasenta disebut juga abrupsio plasenta. Solutio plasenta merupakan terlepasnya sebagaian atau seluruh plasenta sebelum janin lahir. Ketika plasenta terpisah akan diikuti pendarahan maternal pada ibu yang parah serta dapat mengakibatkan kematian pada janin. h. Tumor Jalan Lahir yang Menimbulkan Obstruksi Tumor pada jalan lahir menimbulkan kesulitan terhadap lahirnya janin pervaginam karena terdapat masa yang menghalangi jalan lahir. Tumor dapat menimbulkan perdarahan yang dapat membahayakan risiko yang lebih besar dalam persalinan pervaginam. i. Ruptur Uteri Ruptur uteri baik yang terjadi pada masa hamil atau proses persalinan merupakan kondisi bahaya pada wanita dan janin yang dikandungnya. Dalam kondisi tersebut sejumlah besar janin, bahkan hampir tidak ada janin yang dapat diselamatkan, dan sebagian besar dari wanita tersebut meninggal akibat perdarahan, infeksi, menderita kecacatan, dan kemungkinan tidak bisa hamil kembali karena harus menjalani histerektomi (Prawirohardjo, 2009).
21
j. Takut Persalinan Pervaginam Pengalaman buruk ibu melahirkan secara pervaginam dapat menyebabkan seorang ibu ketakutan karena membayangkan persalinan yang buruk saat persalinan pervaginam berlangsung. k. Adanya Keinginan untuk Melahirkan pada Hari yang Telah Ditentukan Adanya keinginan untuk melahirkan pada hari yang dianggap sacral atau baik bagi ibu dan pasangannya. Selain itu, keadaan seorang suami yang ingin segera melihat bayinya sebelum suami pergi bertugas jauh dalam jangka waktu yang lama merupakan alasan dilakukan tindakan seksio sesarea walaupun tidak ada indikasi medis (Solehati, 2015). l. Disfungsi Uterus Disfungsi uterus merupakan kerja uterus yang tidak adekuat. Hal ini menyebabkan tidak adanya kekuatan untuk mendorong bayi keluar dari rahim (Prawirohardjo, 2009). m. Usia Ibu Lebih dari 35 Tahun Usia reproduksi yang ideal bagi seorang ibu adalah antara 20-35 tahun. Usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun akan meningkatkan risiko kehamilan dan persalinan. Kehamilan di atas usia 35 tahun memiliki resiko tinggi tiga kali lebih besar untuk terjadinya persalinan dengan tindakan seksio sesarea dibandingkan dengan usia di bawah 35 tahun (Wirakusumah, 1994).
22
n. Herpes Genital Aktif Herpes genital merupakan penyakit kelamin yang disebabkan oleh virus Herpes Simpleks Virus (HSV). Persalinan pada ibu yang menderita herpes genital aktif tidak dilakukan dengan cara pervaginam karena bayi berisiko tinggi terkena infeksi herpes dari ibu saat melewati jalan lahir pada proses persalinan pervaginam. 2. Alasan Janin a. Terjadinya Gawat Janin (Distress) Terjadinya gawat janin disebabkan oleh syok, anemia berat, preeklamsi berat, eklamsi, dan kelainan kongenital berat. Syok dan anemia berat yang dialami ibu pada masa persalinan dapat menimbulkan gawat janin. Hal yang sama terjadi pada ibu yang mengalami tekanan darah tinggi atau kejang pada rahim dapat mengakibatkan gangguan pada plasenta (ari-ari) dan tali pusat sehingga aliran oksigen kepada bayi menjadi berkurang. Kondisi tersebut bisa menyebabkan janin mengalami kerusakan otak, bahkan meninggal dalam rahim (Oxorn, 2003). Prawirohardjo (2009) mengatakan bahwa disebut gawat janin apabila denyut jantung janin di atas 160/menit atau di bawah 100/menit, denyut jantung tidak teratur, dan keluar mekonium kental pada saat persalinan. b. Letak Janin Letak sungsang berisiko mengalami kematian, kecacatan, dan kecelakaan yang jauh lebih tinggi apabila dilahirkan secara pervaginam. Penyebabnya dapat terjadi karena faktor ibu seperti kelainan bentuk
23
rahim, tumor jinak rahim/mioma, letak plasenta lebih rendah (Dewi et. all. 2007). Letak lintang di mana kepala bayi berada di samping kanan atau kiri dalam rahim ibu. Pada letak janin presentasi ganda, kepala memasuki panggul bersamaan dengan kaki dan tangan. Faktor yang meningkatkan terjadinya presentasi ini antara lain prematuritas, panggul sempit, multiparitas, dan kehamilan ganda (Prawirohardjo, 2009). c. Adanya Bobot Badan Bayi yang Ukurannya Lebih dari Normal Bobot bayi normal antara 2.500-4.000 gram. Bobot bayi diatas 4000 gram (giant baby) dapat mengakibatkan bayi sulit keluar dari jalan lahir ibu. Pertumbuhan janin yang berlebihan disebabkan ibu menderita kencing manis (Oxorn, 2003).
2.2.3
Epidemiologi Angka Kematian Ibu (AKI)
dan Angka Kematian Bayi (AKB) di
Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain sectio caesarea. Menurut Born & Pernolls, angka kematian ibu yang menjalani persalinan sectio caesarea adalah 40-80 per 100.000 kelahiran hidup (Dewi, 2007).
2.2.4
Tipe Terdapat dua tipe insisi pada tindakan persalinan seksio sesarea, antara
lain: 1. Menurut Wiknjosastro (2005), ada dua tipe insisi seksio sesarea:
24
1) Seksio sesarea klasik 2) Seksio sesarea transperitoneal profunda 2. Menurut Lowdermilk dkk (2000) ada dua tipe insisi yang dilakukan pada pembedahan seksio sesarea: 1. Types Classic Pada tipe ini dibuat insisi secara vertical, baik pada kulit abdomen maupun uterus. 2. Lower-Segmen Cesarean Birth Tipe ini dilakukan dengan dua cara: a. Insisi dilakukan pada lower cervical dan dibuat secara horizontal pada kulit abdomen, sedangkan pada uterus dibuat secara vertikal. b. Insisi dilakukan pada lower cervical dan dibuat secara horizontal baik pada kulit abdomen maupun uterus. 3. Menurut Nurarif (2015) jenis operasi sectio caesarea antara lain: 1. Sectio caesarea abdomen Seksio sesarea transperitonealis. 2. Sectio caesarea vaginalis Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai berikut: 1) Sayatan memanjang (longitudinal) menurut Kronig 2) Sayatan melintang (transversal) menurut Kerr 3) Sayatan huruf T (T-incision)
25
3. Sectio caesarea klasik (corporal) Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira sepanjang 10 cm, namun teknik ini jarang dilakukan karena memiliki banyak kekurangan (Nurarif, 2015). 4. Sectio Caesarea ismika profunda Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen bawah rahim (low cervical transversal) kira-kira sepanjang 10 cm.
2.2.5
Jenis Anastesi Sectio Caesarea Ada beberapa anestesi atau penghilang rasa sakit yang digunakan untuk
operasi sesar, baik spinal maupun general. Pada anestesi spinal atau epidural yang lebih umum digunakan, ibu tetap sadar ketika operasi berlangsung. Anestesi general bekerja secara jauh lebih cepat, dan mungkin diberikan jika diperlukan pada proses persalinan yang cepat (Gallagther, 2004). a. Anestesi general Anestesi general biasanya diberikan jika anestesi spinal atau epidural tidak mungkin diberikan, baik karena alasan teksis maupun karena dianggap tidak aman. Pada prosedur pemberian anestesi ini akan menghirup oksigen melalui masker wajah selama tiga sampai empat menit sebelum obat diberikan melalui penetesan intravena. Dalam waktu 20 sampai 30 detik pasien akan terlelap. Saat pasien tidak sadar, akan disisipkan sebuah selang ke dalam tenggorokan pasien untuk membantu pasien bernafas dan
26
mencegah muntah. Pasien yang menggunakan anestesi general harus dimonitor secara konstan oleh seorang ahli anestesi. b. Anestesi regional (spinal / epidural) Dalam operasi sesar, pasien diberi penawaran untuk menggunakan anestesi spinal atau epidural. Pilihan ini membuat pertengahan ke bawah tubuh pasien mati rasa, tetapi pasien akan tetap terjaga dan menyadari apa yang sedang terjadi. Hal ini bisa jadi pasien dapat merasakan kelahiran bayi tanpa merasakan rasa sakit, dan pasangan juga bisa mendampingi untuk memberikan dorongan dan semangat.
2.2.6
Manifestasi Klinis
1. Plasenta previa sentralis dan lateralis (posterior) 2. Panggul sempit 3. Disporsi sefalopelvik, yaitu ketidakseimbangan antara ukuran kepala dan ukuran panggul. 4. Rupture uteri mengancam 5. Partus lama (prolonged labor) 6. Partus tak maju (obstructed labor) 7. Distosia serviks 8. Pre-eklamsia dan hipertensi 9. Malpresentasi janin a. Letak lintang b. Letak bokong c. Presentasi dahi dan muka (letak defleksi)
27
d. Presentasi rangkap jika reposisi tidak berhasil e. Gemeli
2.2.7
Patofisiologi Panggul sempit Anestesi general Plasenta previa Partus lama, distosia
Sectio Caesarea
Post anasthesi
Penurunan medulla oblongata
Anestesi regional
Luka post operasi
Penurunan kerja pons
Jaringan terputus
Postpartum nifas
Jaringan terbuka
Penurunan refleksi batuk
Penurunan kerja otot eliminasi
Akumulasi sekret
Penurunan peristaltik usus
Gangguan rasa nyaman
Invasi bakteri
Bersihan jalan napas tidak efektif
konstipasi
Nyeri
Resiko infeksi
Merangsang area sensorik
Proteksi kurang
sensorik Distensi kandung kemih
Odem dan memar di uretra
Penurunan sensitivitas & sensasi kandung kemih
Gangguan eliminasi urin
28
Penurunan progesteron & estrogen
Kontraksi uterus
Psikologi
Merangsang pertumbuhan kelenjar susu & pertumbuhan
Peningkatan hormon prolaktin Tidak adekuat
Perubahan pola peran
Merangsang laktasi oksitosin Pengeluaran lokea
Hb
Kurang O2
kelemahan
Defisit perawatan diri
Tuntutan anggota baru
Masa kritis
Involusi
Adekuat
Penambahan anggota baru
Bayi menangis
Perdarahan
Kekurangan volume cairan & elektrolit Resiko syok (hipovolemik)
Ejeksi ASI
Gangguan pola tidur
Efektif
Tidak efektif
Nutrisi bayi terpenuhi
Kurang informasi tentang perawatan payudara
Bengkak
Ketidakefektifan pemberian ASI Defisiensi pengetahuan Nutrisi bayi kurang dari kebutuhan
(Nurarif, 2015) Bagan 2.1 Patofisiologi Sectio Caesarea
29
2.2.8
Komplikasi Masalah yang biasanya muncul setelah operasi di antaranya terjadi aspirasi
(25-50%), emboli pulmonary, perdarahan, infeksi pada luka, gangguan rasa nyaman nyeri, infeksi uterus, infeksi pada traktus urinarius, cedera pada kandung kemih, tromboflebitis, infark dada, dan pireksia (Solehati, 2015).
2.2.9
Pemeriksaan Penunjang Menurut Tucker (1998) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
dalam sectio caesarea antara lain: 1. Pemantauan janin terhadap kesehatan janin 2. Pemantauan EKG 3. Hemoglobin/hematokrit 4. Golongan darah 5. Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi (Nurarif, 2015)
2.3 Konsep Activity of Daily Living 2.3.1
Pengertian Activity of Daily Living (ADL) yaitu kemampuan seseorang untuk
mengurus dirinya sendiri mulai dari bangun tidur, mandi, berpakaian dan seterusnya sampai pergi tidur kembali, atau segala kegiatan orang yang mengurus dirinya sendiri (Alexeia, 2008). Fungsi dari ADL antara lain mengembangkan keterampilan-keterampilan
dan
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
pribadi,
30
melengkapi tugas-tugas pokok secara efisien dalam kontak sosial sehingga dapat diterima oleh lingkungan, dan meningkatkan kemandirian klien.
2.3.2
Nutrisi dan Cairan Kandungan kalori ASI yang dihasilkan ibu dengan nutrisi baik adalah 70
kal/100 ml dan kira-kira 85 kal diperlukan oleh ibu untuk tiap 100 ml yang dihasilkan. Rata-rata ibu menggunakan kira-kira 640 kal/hari untuk 6 bulan pertama dan 510 kal/hari selama 6 bulan kedua untuk menghasilkan jumlah susu normal. Rata-rata ibu harus mengonsumsi 2.300-2.700 kal ketika menyusui. Ibu memerlukan tambahan 500 gram protein di atas kebutuhan normal ketika menyusui. Protein diperlukan untuk pertumbuhan dan penggantian sel-sel yang rusak atau mati. Sumber protein berupa protein hewani (telur, daging, ikan, udang, kerang, susu, dan keju), sedangkan sumber protein nabati banyak terkandung dalam tahu, tempe, kacang-kacangan, dan lain-lain. Ibu menyusui dianjurkan minum 2-3 liter per hari dalam bentuk air putih, susu, dan jus buah. Mineral, air, dan vitamin digunakan untuk melindungi tubuh dari serangan penyakit dan mengatur kelancaran metabolisme di dalam tubuh. Sumber zat tenaga pengatur dapat diperoleh dari semua jenis sayur dan buahbuahan segar. Kekurangan gizi pada ibu menyusui dapat menimbulkan gangguan kesehatan padda ibu dan bayinya. Gangguan pada bayi meliputi proses tumbuh kembang anak, bayi mudah sakit, dan mudah terkena infeksi. Kekurangan zat esensial menimbulkan gangguan pada mata dan tulang.
31
2.3.3
Ambulasi Perawatan puerperium lebih aktif dengan diajurkan
untuk melakukan
mobilisasi dini. Ambulasi dini adalah kebijaksanaan untuk secepat mungkin membimbing penderita keluar dari tempat tidurnya dan membimbingnya secepat mungkin berjalan. Keuntungan dari ambulasi dini antara lain: 1. Ibu merasa lebih sehat dan kuat. 2. Faal usus dan kandung kemih lebih baik. 3. Kesempatan yang baik untuk mengajar ibu merawat atau memelihara anaknya. 4. Tidak menyebabkan perdarahan yang abnormal. 5. Tidak mempengaruhi penyembuhan luka episiotomi atau luka di perut. 6. Tidak memperbesar kemungkinan prolaps atau retroflexio.
2.3.4
Eliminasi Miksi disebut normal apabila dapat buang air kecil spontan tiap 3-4 jam.
Ibu diusahakan untuk buang air kecil sendiri, bila tidak harus dilakukan tindakan berikut: 1. Dirangsang dengan mengalirkan air keran di dekat klien. 2. Mengompres air hangat di atas simfisis. 3. Saat berendam di air hangat anjurkan klien untuk buang air kecil. Defekasi atau buang air besar harus ada dalam 3 hari postpartum. Apabila klien tidak buang air besar sampai 2 hari sesudah persalinan, akan ditolong dengan pemberian spuit gliserine atau diberikan obat-obatan. Buang air besar dengan teratur dapat dilakukan dengan cara diet teratur, pemberian cairan yang
32
banyak, ambulasi yang baik, dan diberikan laksan suppositoria apabila klien takut untuk buang air besar secara episiotomi.
2.3.5
Kebersihan Diri dan Perineum
1. Personal Higiene Mandi di tempat tidur harus dilakukan sampai ibu dapat mandi sendiri di kamar mandi. Bagian yang paling utama dibersihkan adalah puting susu dan mammae. a. Puting susu Harus diperhatikan kebersihannya dan luka pecah (rhagade) harus segera diobati karena kerusakan puting susu merupakan port de entrée dan dapat menimbulkan mastitis. Air susu yang menjadi kering akan menjadi kerak dan dapat merangsang kulit sehingga timbul enzema. Oleh karena itu puting susu sebaiknya dibersihkan dengan air yang telah dimasak, tiap kali sebelum dan sesudah menyusui bayi, diobati dengan salep penisilin, lanolin, dan sebagainya (Dewi, 2013). b. Partum lochea Lochea merupakan cairan yang keluar dari vagina pada masa nifas. Tanda-tanda pengeluaran lochea yang abnormal adalah perdarahan berkepanjangan, pengeluaran lochea tertahan, rasa nyeri yang berlebihan, terdapat sisa plasenta yang merupakan sumber perdarahan, terjadi infeksi intrauterin.
33
Keadaan patologis (abnormal) memerlukan penanganan seperti: a. Kebersihan lingkungan b. Tempat tidur perlu dijaga kebersihannya, WC/kloset harus diperhatikan untuk menghindarkan terjadinya eror infeksi. c. Infeksi juga dapat terjadi jika perawat tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah memberikan tindakan, kebersihan alat keperawatan yang digunakan harus asepsis dan anusepsis. 2. Perineum Apabila setelah buang air besar atau buang air kecil, perineum harus dibersihkan secara rutin. Langkah-langkah penanganan kebersihan diri adalah sebagai berikut: 1. Anjurkan kebersihan seluruh tubuh. 2. Ajarkan cara membersihkan daerah kelamin dengan sabun dan air. Pastikan bahwa ia mengerti untuk membersihkan daerah sekitar vulva terlebih dahulu dari depan ke belakang, kemudian dibersihkan daerah sekitar anus. 3. Anjurkan ibu
untuk mengganti pembalut minimal 2 kali sehari. Kain
pembalut dapat digunakan ulang jika telah dicuci dengan baik dan dikeringkan di bawah matahari atau disetrika. 4. Sarankan ibu untuk mencuci tangan dengan sabun dan air, sebelum dan sesudah membersihkan daerah kelaminnya. 5. Jika ibu mempunyai luka episiotomi atau laserasi, sarankan kepada ibu untuk menghindari atau menyentuh luka.
34
2.3.6
Istirahat Seorang ibu akan cemas apakah ia mampu merawat anaknya atau tidak
setelah melahirkan. Hal ini mengakibatkan susah tidur, alasan lainnya adalah gangguan pola tidur karena beban kerja bertambah, ibu harus bangun malam untuk meneteki, atau mengganti popok yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Adanya gangguan istirahat ibu dapat dianjurkan untuk beristirahat yang cukup untuk mencegah kelelahan yang berlebihan, sarankan kepada ibu untuk kembali ke kegiatan yang tidak berat-berat. Kurang istirahat akan mempengaruhi ibu dalam beberapa hal seperti mengurangi jumlah produksi ASI, memperlambat proses involusi uterus dan memperbanyak perdarahan. Depresi dan ketidakmampuan untuk merawat bayi dan dirinya sendiri juga berpengaruh terhadap kurangnya istirahat (Dewi, 2013).
2.3.7
Seksual Dinding vagina kembali pada keadaan sebelum hamil dalam 6-8 minggu.
Secara fisik aman untuk ibu melakukan hubungan suami istri ketika darah merah berhenti dan ibu dapat memasukkan 1 atau 2 jari ke dalam vagina tanpa disertai nyeri. Hubungan seksual dapat dilukakan dengan aman ketika luka episiotomi sembuh dan lokia telah berhenti. Sebaiknya hubungan seksual dapat ditunda sampai 40 hari setelah persalinan karena pada saat itu diharapkan organ-organ tubuh telah pulih kembali.
35
2.3.8
Keluarga Berencana Kontrasepsi berasal dari kata kontra yang berarti mencegah atau melawan
dan konsepsi berarti pertemuan antara sel telur yang matang dan sel sperma yang mengakibatkan kehamilan. Tujuan kontrasepsi adalah menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan. Kontrasepsi yang dapat digunakan untuk ibu masa nifas antara lain Metode Amenorhea Laktasi (MAL), pil progestin (mini pil), suntikan progestin, kontrasepsi implant, dan alat kontrasepsi dalam rahim (Dewi, 2013).
2.4 Konsep Senam Nifas 2.4.1
Pengertian Senam Nifas Senam nifas adalah senam yang dilakukan ibu setelah melahirkan setelah
keadaan tubuhnya pulih kembali. Senam nifas bertujuan untuk mempercepat penyembuhan,
mencegah
timbulnya
komplikasi,
serta
memulihkan
dan
menguatkan otot-otot punggung, otot dasar panggul, dan otot perut. Pada saat hamil, otot perut dan sekitar rahim, serta vagina telah teregang dan melemah. Latihan senam nifas dilakukan untuk membantu mengencangkan otot-otot tersebut. Hal ini untuk mencegah terjadinya nyeri punggung dan terjadinya kelemahan pada otot panggul sehingga dapat mengakibatkan ibu tidak bisa menahan buang air kecil. Gerakan senam nifas sebaiknya dilakukan secara bertahap dan terus menerus. Pengulangan setiap 5 gerakan dan meningkatkan setiap hari sampai 10 kali (Dewi, 2013). Marliandiani (2015) mengemukakan senam nifas adalah senam yang dilakukan ibu pascamelahirkan, dan sebaiknya dilakukan dalam 24 jam setelah
36
persalinan. Setelah ibu cukup istirahat dan dilakukan secara bertahap, sistematis, dan kontinu.
2.4.2
Tujuan Senam Nifas Tujuan dilakukan senam nifas untuk membantu mempercepat pemulihan
kondisi ibu. Senam nifas dapat mempercepat proses involusi uteri, membantu pemulihan dan mengencangkan otot panggul, perut dan perineum. Selain itu senam nifas juga dapat memperlancar pengeluaran lokia, membantu mengurangi rasa sakit, dan mengurangi risiko komplikasi (Marliandiani, 2015).
2.4.3
Manfaat Senam Nifas Marliandiani (2015) mengemukakan manfaat senam nifas ada enam, di
antaranya adalah: 1. Membantu memperbaiki sirkulasi darah sehingga mencegah terjadinya pembekuan pada pembuluh darah terutama pada pembuluh tungkai. 2. Memperbaiki sikap tubuh dan otot-otot punggung pascapersalinan. 3. Memperbaiki otot pelvis dan peregangan otot abdomen. 4. Memperbaiki dan memperkuat otot panggul. 5. Membantu ibu lebih relaks dan segar setelah persalinan. 6. Mempercepat terjadinya proses involusi organ-organ reproduksi.
37
2.4.4
Kerugian Tidak Melakukan Senam Nifas Adapun kerugian apabila ibu tidak melakukan senam nifas menurut
Marliandiani (2015): a. Infeksi akibat involusi uterus yang tidak baik sehingga sisa darah tidak dapat dikeluarkan. b. Perdarahan yang abnormal, bila kontraksi uterus baik resiko perdarahan yang abnormal dapat dihindarkan. c. Thrombosis vena (sumbatan vena oleh bekuan darah). d. Timbul varises.
2.4.5
Syarat Melakukan Senam Nifas Senam nifas dapat dilakukan pascapersalinan dengan ketentuan sebagai
berikut: 1. Ibu melahirkan secara normal dengan kondisi sehat dan tidak ada kelainan serta komplikasi persalinan maupun nifas. 2. Senam dilakukan 6 jam pascapersalinan, dapat dilakukan di rumah sakit atau rumah bersalin, dan diulang secara terus-menerus setelah ibu pulang ke rumah. 3. Ibu tidak mengalami keluhan nyeri. 4. Ibu tidak memiliki riwayat penyakit jantung. 5. Perhatikan kenyaman ibu. 6. Pada ibu yang melahirkan secara sesar senam nifas dapat dilakukan setelah 2-3 hari setelah ibu dapat bangun dari tempat tidur (Marliandiani, 2015).
38
2.4.6
Langkah-langkah atau Gerakan Senam Nifas Berikut ini adalah beberapa gerakan yang dapat dilakukan ketika
melakukan senam nifas menurut Nurjanah (2013). 1) Hari pertama, sikap tubuh telentang dan rilaks, kemudian lakukan pernapasan perut diawali dengan mengambil napas melalui hidung dan tahan 3 detik kemudian buang melalui mulut, lakukan 5-10 kali. Rasional: latihan pernapasan ditujukan untuk memperlancar peredaran darah dan pernapasan. Seluruh organ-organ tubuh akan teroksigenasi dengan baik sehingga akan membantu proses pemulihan tubuh. 2) Hari kedua, sikap tubuh telentang, kedua tangan dibuka lebar hingga sejajar dengan bahu kemudian pertemukan kedua tangan tersebut tepat di atas muka. Lakukan 5-10 kali. Rasional: memulihkan dan menguatkan kembali otot-otot lengan. 3) Hari ketiga, sikap tubuh telentang, kedua kaki agak dibengkokkan sehingga kedua telapak kaki berada di bawah. Angkat pantat ibu dab tahan hingga hitungan ketiga lalu turunkan pantat ke posisi semula. Ulangi 5-10 kali. Rasional: menguatkan kembali otot-otot dasar panggul yang sebelumnya otot-otot ini bekerja dengan keras selama kehamilan dan persalinan. 4) Hari keempat, tidur telentang dan kaki ditekuk ± 45o, kemudian salah satu tangan memegang perut setelah itu angkat tubuh ibu ± 45o dan tahan hingga hitungan ketiga. Rasional: memulihkan dan menguatkan kembali otot-otot punggung.
39
5) Hari kelima, tidur telentang, salah satu kaki ditekuk ± 45o, kemudian angkat tubuh dan tangan yang berseberangan dengan kaki yang ditekuk, usahakan tangan menyentuh lutut. Gerakan dilakukan secara bergantian hingga 5 kali. Rasional: melatih otot-otot tubuh di antaranya otot-otot punggung, otot-oot bagian perut, dan otot-otot paha. 6) Hari keenam, sikap tubuh telentang kemudian tarik kaki sehingga paha membentuk 90o, lakukan secara bergantian hingga 5 kali. Rasional: menguatkan otot-otot di kaki yang selama kehamilan menyangga beban yang berat dan memperlancar sirkulasi di daerah kaki sehingga mengurangi resiko edema kaki. Petunjuk dan ilustrasi senam nifas adalah sebagai berikut: 1.
Latihan I Sikap
: Berbaring dengan lutut ditekuk, tempatkan tangan di atas perut di bawah area iga-iga.
Latihan
: Napas dalam dan lambat melalui hidung dan kemudian keluarkan melalui mulut, kencangkan dinding abdomen untuk membantu mengosongkan paru-paru.
Gambar 2.1 Senam nifas gerakan ke 1
40
2.
Latihan II Sikap
: Berbaring terlentang, lengan di atas kepala, telapak terbuka ke atas.
Latihan
: Kendurkan lengan kiri sedikit dan regangkan lengan kanan, pada waktu bersamaan rilekskan kaki kiri dan regangkan kaki kanan sehingga ada regangan perut pada seluruh bagian kanan tubuh.
Gambar 2.2 Senam nifas gerakan ke 2
3.
Latihan III Sikap
: Kontraksi vagina, berbaring terlentang kedua kaki sedikit diregangkan.
Latihan
: Tarik dasar panggul, tahan selama tiga detik dan kemudian rileks.
Gambar 2.3 Senam nifaas gerakan 3
41
4.
Latihan IV Sikap
: Memiringkan panggul, berbaring lutut ditekuk.
Latihan
: Kontraksikan/kencangkan otot-otot perut sampai tulang punggung mendatar dan kencangkan otot-otot bokong tahan tiga detik kemudian rileks.
Gambar 2.4 Senam nifas gerakan ke 4
5.
Latihan V Sikap
: Berbaring terlentang, lutut ditekuk, lengan dijulurkan ke lutut.
Latihan
: Angkat kepala dan bahu kira-kira 45 derajat, tahan tiga detik dan rilekskan dengan perlahan.
Gambar 2.5 Senam Nifas Gerakan ke 5
6.
Latihan VI Sikap
: Posisi yang sama seperti di atas.
Latihan
: Tempatkan lengan lurus dibagian luar lutut kiri.
42
Gambar 2.6 Senam nifas gerakan ke 6
7.
Latihan VII Sikap
: Tidur terlentang, kedua lengan di bawah kepala dan kedua kaki diluruskan.
Latihan
: Angkat kedua kaki sehingga pinggul dan lutut mendekati badan semaksimal mungkin, lalu luruskan dan angkat kaki kiri dan kanan vertical dan perlahan-lahan turunkan kembali ke lantai.
Gambar 2.7 Senam nifas gerakan ke 7
8.
Latihan VIII Sikap
: Tidur terlentang dengan kaki terangkat ke atas, dengan jalan meletakkan kursi di ujung kasur, badan agak melengkung dengan letak pada dan kaki bawah lebih atas.
Latihan
: Lakukan gerakan pada jari-jari kaki seperti mencakar dan meregangkan. Lakukan selama setengah menit.
43
Gambar 2.8 Senam nifas gerakan ke 8
9.
Latihan IX Sikap
: Posisi yang sama seperti di atas.
Latihan
: Gerakkan ujung jari secara teratur seperti lingkaran dari luar ke dalam dan dari dalam keluar. Lakukan gerakan ini selama setengah menit.
Gambar 2.9 Senam nifas gerakan ke 9
10.
Latihan X Sikap
: Posisi yang sama seperti di atas.
Latihah
: Lakukan gerakan telapak kaki kiri dan kanan ke atas dan ke bawah seperti gerakan mengergaji. Lakukan selama setengah menit.
44
Gambar 2.10 Senam nifas gerakan ke 10
11.
Latihan XI Sikap
: Tidur terlentang kedua tangan bebas bergerak.
Latihan
:Lakukan
gerakan
dimana
lutut
mendekati
badan,
bergantian kaki kanan dan kaki kiri, dan urutlah mulai dari ujung kaki sampai batas betis, lutut dan paha. Lakukan selama setengah menit.
Gambar 2.11 Senam nifas gerakan ke 11
12.
Latihan XII Sikap
: Berbaring terlentang, kaki terangkat ke atas, kdua tangan di bawah kepala.
Latihan
: Jepitlah bantal diantara kedua kakinya tekanlah sekuatkuatnya. Pada waktu bersamaan angkatlah pantat dari kasur dengan melengkungkan badan. Lakukan sebanyak 46 kali selama setengah menit.
45
Gambar 2.12 Senam nifas gerakan ke 12
13.
Latihan XIII Sikap
: Tidur terlentang, kaki terangkat ke atas, kedua lengan disamping badan.
Latihan
: Kaki kanan disilangkan di atas kaki kiri dan tekan yang kuat. Pada saat yang sama tegangkan kaki dan kendorkan lagi perlahan-lahan dengan gerakan selama 4 detik. Lakukan 4-6 kali selama setengah menit.
Gambar 2.13 Senam nifas gerakan 13
2.5 Konsep Asuhan Keperawatan 2.5.1
Pengkajian Keperawatan
1) Identitas a. Identitas Pasien (nama, usia, jenis kelamin, alamat, status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan).
46
b. Identitas Penanggung jawab (nama, status, alamat, pendidikan, pekerjaan). 2) Riwayat Kesehatan a. Keluhan yang dirasakan ibu saat ini. b. Adakah kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari misalnya pola makan, BAK atau BAB, kebutuhan istirahat, mobilisasi. c. Riwayat tentang persalinan ini adakah komplikasi, laserasi, atau episiotomi. d. Obat atau suplemen yang dikonsumsi saat ini, misalnya tablet besi. e. Perasaan ibu saat ini yang berkaitan dengan kelahiran bayi dan penerimaan terhadap peran baru sebagai orang tua. f. Adakah kesulitan dalam pemberian ASI dan perawatan bayi sehari-hari. g. Bagaimana perencanaan menyusui nanti (ASI eksklusif atau tidak), perawatan bayi dilakukan sendiri atau dibantu orang lain. h. Bagaimana dukungan dari suami dan keluarga terhadap ibu. i. Pengetahuan ibu tentang nifas. j. Psikologis ibu. 3) Genogram 4) Pemeriksaan Fisik Keadaan umum, kesadaran. Pemeriksaan tanda-tanda vital: tekanan darah, suhu, nadi, dan pernapasan. a. Pemeriksaan kepala dan leher b. Pemeriksaaan dada
47
Payudara: pembesaran, puting susu (menonjol atau mendatar, adakah nyeri dan lecet pada puting), ASI sudah keluar, adakah pembengkakan, radang, atau benjolan abnormal. c. Pemeriksaan abdomen Tinggi fundus uteri, kontraksi uteri, kandung kemih kosong atau penuh. d. Pemeriksaan genitalia Genetalia dan perineum: pengeluaran lokia (jenis, warna, jumlah, bau), odema, peradangan, keadaan jahitan, nanah, tanda-tanda infeksi pada luka jahitan, kebersihan perineum, dan hemoroid pada anus. e. Pemeriksaan ekstremitas Ekstremitas bawah: pergerakan, gumpalan darah pada otot kaki yang menyebabkan nyeri, edema, homan’s sign, dan varises. f. Pemeriksaan kulit
2.5.2
Diagnosa Keperawatan 1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas (mokus dalam jumlah berlebihan), jalan nafas alergik (respon obat anestesi). 2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan, trauma jalan lahir, episiotomi). 3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang kebutuhan nutrisi postpartum. 4. Ketidakefektifan
pemberian
ASI
berhubungan
pengetahuan ibu, terhentinya proses menyusui.
dengan
kurang
48
5. Gangguan eliminasi urin. 6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kelemahan. 7. Resiko infeksi berhubungan dengan faktor risiko: episiotomi, laserasi jalan lahir, bantuan pertolongan persalinan. 8. Defisit perawatan diri: mandi/kebersihan diri, makan, toileting berhubungan dengan kelelahan postpartum. 9. Konstipasi 10. Resiko syok (hipovolemik) 11. Resiko perdarahan 12. Defisiensi pengetahuan: perawatan postpartum berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penaganan postpartum.
2.5.3 NO. 1.
Intervensi Keperawatan Diagnosa Keperawatan Ketidakefektifan bersihan jalan napas
NOC Kriteria Hasil: a.
b.
c.
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) Menunjukkan jalan napas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal) Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan napas.
NIC Airway suction 1. Pastikan kebutuhan oral/tracheal suctioning 2. Auskultasi suara napas sebelum dan sesudah suctioning 3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning 4. Minta klien napas dalam sebelum suctioning dilakukan 5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suctioning nasotrakeal 6. Gunakan alat yang steril setiap melakukan tindakan 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan nafas dalam setelah kateter dikeluarkan dari nasotrakeal 8. Monitor status oksigen pasien 9. Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suction
49
10. Hentikan suction dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dan lain-lain. Airway management 1. Buka jalan napas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan napas buatan 4. Pasang mayo bila perlu 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu 6. Keluarkan secret dengan batuk atau suction 7. Auskultasi suara napas, catat adanya suara tambahan 8. Lakukan suction pada mayo 9. Berikan bronkodilator bila perlu 10. Berikan pelembab udara kassa basah NaCl lembab 11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan 12. Monitor respirasi dan status O2 2.
Nyeri akut
Kriteria Hasil a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) d. Menyatakan rasa nyeri nyaman setelah nyeri berkurang
Pain Management 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3. Gunakan teknik komunikasi terapeuti untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien 4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau 6. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau 7. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan 8. Kontrol lingkungan yang
50
dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan , pencahayaan dan kebisingan 9. Kurangi faktor presipitasi nyeri 10. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, nonfarmakologi dan interpersonal) 11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi 12. Ajarkan tentang teknik non farmakologi 13. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri 14. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 15. Tingkatkan istirahat 16. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil 17. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri Analgesic Administration 1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat 2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi 3. Cek riwayat alergi 4. Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu 5. Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri 6. Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal 7. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur 8. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberin analgesik pertama kali 9. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat 10. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala
51
3
Ketidakseimbangan Kriteria Hasil: nutrisi kurang dari a. Adanya peningkatan kebutuhan tubuh berat badan sesuai dengan tujuan b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi e. Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan f. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Nutrition Management 1. Kaji adanya alergi makanan 2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien 3. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe 4. Anjurkan untuk meningkatkan protein dan vitamin C 5. Berikan substansi gula 6. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi 7. Berikan makanan terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi) 8. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian 9. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori 10. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi 11. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan Nutrition Monitoring 1. BB pasien dalam batas normal 2. Monitor adanya penurunan berat badan 3. Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan 4. Monitor interaksi anak atau orang tua selama makan 5. Monitor lingkungan selama makan 6. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan 7. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi 8. Monitor turgor kulit 9. Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah 10. Monitor mual dan muntah 11. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht 12. Monitor pertumbuhan dan perkembangan 13. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
52
14. Monitor kalori dan intake nutrisi 15. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral 16. Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet. 4
Ketidakefektifan pemberian ASI
Kriteria hasil :
Breastfeding Assitence
a.
1. Evaluasi pola menghisap / menelan bayi 2. Tentukan keinginan dan motivasi ibu untuk menyusui 3. Evaluasi pemahaman ibu tentang isyarat menyusui dari bayi (misalnya reflek rooting, menghisap dan tejaga) 4. Kaji kemampuan bayi untuk latch on dan menghisap secara efektif 5. Pantau keterampilan ibu dalam menempelkan bayi ke puting 6. Pantau integritas kulit puting ibu 7. Evaluasi pemahaman tentang sumbatan kelenjar susu dan mastitis 8. Pantau kemampuan untuk mengurangi kongesti payudara dengan benar 9. Pantau berat badan dan pola eliminasi bayi
b.
c.
d. e. f.
g.
h.
i. j.
Kemantapan pemberian ASI : Bayi: perlekatan bayi yang sesuai pada dan proses menghisap dari payudara ibu untuk memperoleh nutrisi selama 3 minggu pertama pemberian ASI Kemantapan pemberian ASI : IBU : kemantapan ibu untuk membuat bayi melekat dengan tepat dan menyusui dari payudara ibu untuk memperoleh nutrisi selama 3 minggu pertama pemberian ASI Pemeliharaan pemberian ASI : keberlangsungan pemberian ASI untuk menyediakan pemberian nutrisi bagi bayi atau todler Penyapihan pemberian ASI : Diskontinuitas progresif pemberian ASI Pengetahuan pemberian ASI tingkat pemahaman yang ditunjukkan mengenai laktasi dan pemberian makan bayi melalui proses pemberian ASI Ibu mengenali isyarat lapar dari bayi dengan segera Ibu mengindikasikan kepuasan terhadap pemberian ASI Ibu tidak mengalami nyeri tekan pada puting Mengenali tanda-tanda penurunan suplai ASI
Breast examination Lactation Supresion 1. Fasilitasi proses bantuan interaktif untuk membantu mempertahankan keberhasilan proses pemberian ASI 2. Sediakan informasi tentang laktasi dan teknik memompa ASI (secara manual atau dengan pompa elektrik) cara mengumpulkan dan menyimpan ASI 3. Ajarkan pengasuh bayi mengenai topik-topik seperti penyimpanan dan pencarian ASI dan penghindaran memberi susu botol pada dua jam sebelum ibu pulang 4. Ajarkan orang tua mempersiapkan, menyimpan, menghangatkan
53
dan kemungkinan tambahan pemberian susu formula 5. Apabila penyapihan diperlukan informasikan ibu mengenai kembalinya proses ovulasi dan seputar alat kontrasepsi yang sesuai Lactation Counseling
5
Gangguan eliminasi urine
Kriteria hasil : a. b. c. d. e. f.
Kandung kemih kosong secara penuh Tidak ada residu urine >100-200 cc Intake cairan dalam rentang normal Bebas dari ISK Tidak ada spasme bladder Balance cairan seimbang
1. Sediakan informasi tentang keuntungan dan kerugian pemberian ASI 2. Demonstrasikan latihan menghisap, jika perlu 3. Diskusikan metode alternative pemberian makan bayi Urinary Retention Care 1. Lakukan penilaian kemih yang komprehensif berfokus pada inkontinensia (misalnya, output urine, pola berkemih, fungsi kognitif, dan masalah kecing praeksisten) 2. Memantau penggunaan obat dengan sifat anti kolinergik atau properti alpha agonis 3. Memonitor efek dari obatobatan yang diresepkan seperti calcium channel blockers dan anti kolinergik 4. Menyediakan penghapusan privasi 5. Gunakan kekuatan sugesti dengan menjalankan air atau disiram toilet 6. Merangsang refleks kandung kemih dengan menerapkan dingin untuk perut dengan membelai tinggi batin, atau air 7. Sediakan waktu yang cukup untuk pengosongan kandung kemih (10 menit) 8. Gunakan spirit wintergreen di pispot atau urinal 9. Menyediakan manuver crede yang diperlukan 10. Gunakan double void teknik 11. Masukkan kateter kemih sesuai 12. Anjurkan pasien atau keluarga untuk merekam output urine sesuai 13. Instruksikan cara-cara untuk menghindari konstipasi atau
54
6
Gangguan pola tidur
Kriteria hasil : a.
b. c. d.
7
Resiko infeksi
Jumlah jam tidur dalam batas normal 6-8 jam/hari Pola tidur, kualitas dalam batas normal Perasaan segar sesudah tidur atau istirahat Mampu mengidentifikasi hal-hal yang meningkatkan tidur
Kriteria hasil a. b.
c.
d. e.
Klien bebas dari tanda gejala infeksi Mendiskripsikan proses penularan, penyakit, faktor yang mempengaruhi penularan serta, penatalaksanaan Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi Jumlah leukosit dalam batas normal Menunjukkan perilaku hidup sehat (persoanl higine baik)
impaksi tinja 14. Memantau asupan dan keluaran 15. Memantau tingkat distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi 16. Membantu dengan toilet secara berkala sesuai 17. Mamasukkan pipa ke dalam lubang tubuh untuk sisa, sesuai 18. Menerapkan kateterisasi intermiten sesuai 19. Merujuk ke spesialis kontinensia kemih, sesuai Sleep Enchancement 1. Determinasi efek-efek medikasi terhadap pola tidur 2. Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat 3. Fasilitas untuk mempertahankan aktivitas sebelum tidur (membaca) 4. Ciptakan lingkungan yang nyaman 5. Kolaborasi pemberian obat tidur 6. Diskusikan dengan pasien dan keluarga tentang teknik tidur pasien 7. Instruksikan untuk memonitor tidur pasien 8. Monitor waktu makan dan minum dengan waktu tidur 9. Monitor/catat kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam. Intection control (kontrol infeksi) 1. 2. 3. 4.
5.
6.
7.
Bersikan lingkungan setelah dipakai pasien lain Pertahankan teknik isolasi Batasi pengunjung bila perlu Instruksikan pada pengunjung untuk cuci tangan saat mengunjungi pasien, dan meningalkan pasien Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan Cuci tanggan sebelum dan
55
8
Defisit perawatan diri mandi
Kriteria hasil a. Perawatan diri ostomi : tindakan pribadi untuk mempertahankan ostomi untuk eliminasi b. Perawatan diri: aktivitas hidup sehari-hari (ADL) mampu melakukan aktivitas perawatan fisik dan pribadi secara mandiri atau dengan alat bantu c. Perawatan diri mandi:
sesudah tindakan keperawatan 8. Gunakan sarung tanggan sebagai alat pelindung 9. Pertahankan lingkungan aseptik 10. Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum 11. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing 12. Tingkatkan intake nutrisi 13. Berikan terapi antibiotik bila perlu 14. Monitor tanda gejala infeksi sistemik dan lokal 15. Monitor hitung granulosit, WBC 16. Monitor kerentanan terhadap infeksi 17. Batasi pengunjung 18. Pertahankan teknik asepsis pada pasien yang beresiko 19. Pertahankan teknik isolasi 20. Berikan perawatan kulit pada area epidema 21. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase, 22. Infeksi kondisi luka/ insisi bedah 23. Dorong masukan nutrisi yang cukup 24. Dorong masukan cairan 25. Dorong istirahat 26. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi 27. Ajarkan cara menghindari infeksi 28. Laporkan kecurigaan infeksi 29. Laporkan kultur positif Self – care Assistence : Bathing/ Hygiene 1.
2. 3. 4.
Pertimbangkan budaya pasien mempromosikan aktivitas perawatan diri Pertimbangkan usia pasien saat promosi perawatan diri Menentukan jumlah dan jenis bantuan Tempat handuk sabun, deodoran, alat pencukur, dan asesoris lainnya, yang
56
9
Konstipasi
mampu untuk membersihkan tubuh secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu d. Perawatan diri higiene oral : mampu untuk membersikan gigi secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu e. Mampu mempertahankan mobilitas ke kamar mandi dan menyediakan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, membersikan, mengungkapkan secara verbal kepuasan tentang kebersihan tubuh Kriteria hasil: a.
b.
c.
d.
10
Resiko syok (hipovolemik)
Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1-3 hari Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi Mengidentifikasi indikator untuk mencegah konstipasi Feses lunak dan berbentuk
Kriteria hasil : a.
b.
c. d.
Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal Tidak ada tanda-tanda dehidrasi Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa
dibutuhkan di samping tempat tidur atau di kamar mandi 5. Memastikan lingkungan yang terapeutik 6. Mefasilitasi gigi pasien menyikat dengan benar 7. Memfasilitasi diri pasien untuk mandi 8. Memantau kebersihan kuku 9. Memantau intergritas kulit pasien 10. Memfasilitasi kebutuhan pasien sebelum tidur 11. Memberikan bantuan sampai pasien sepenuhnya dapat mengasumsi perawatan diri Constipasi 1. Monitor tanda gejala konstipasi 2. Monitor bising usus 3. Monitor feses 4. Konsultasi peningkatan bising usus 5. Monitor tanda gejala ruptur usus 6. Jelaskan rasional tindakan ke pasien 7. Identifikasi faktor penyebab 8. Dukung intake cairan 9. Kolaborasi pemberian laksatif 10. Patau tanda-tanda dan gejala impaksi 11. Menyusun jadwal toileting 12. Anjurkan ke pasien untuk diet tinggi serat 13. Timbang pasien secara teratur 14. Ajarkan pada keluarga proses pencernaan yang normal Fluid Management 1. Timbang pembalut jika diperlukan 2. Pertahankan catatan intake dan otput yang akurat 3. Monitor status hidrasi (kelembaban membrane mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik), jika diperlukan 4. Monitor vital sign 5. Monitor masukan makanan/cairan dan hitung
57
haus yang berlebhan.
intake dan kalori harian 6. Kolaborasi pemberian cairan IV 7. Monitor status nutrisi 8. Berikan cairan IV pada suhu ruangan 9. Dorong masukan oral 10. Berikan penggantian nasogastrik sesuai output 11. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan 12. Tawarkan snack, jus buah, buah segar 13. Kolaborasi dengan dokter 14. Atur kemungkinan tranfusi 15. Persiapan untuk tranfusi Hypovolemia management
11
Resiko Perdarahan
Kriteria hasil: a. b. c.
d. e. f.
g.
Tidak ada hematuria dan hematemesis Kehilangan darah yang terlihat Tekanan darah dala batas normal sitol dan diastole Tidak ada perdarahan pervagina Tidak ada distensi abdominal Hematoglobin dan hematokrit dalam batas normal Plasma, PT, ptt dalam batas normal
1. Monitor status cairan termasuk intake dan output cairan 2. Pelihara IV line 3. Monitor tingkat Hb dan hematokrit 4. Monitor tanda vital 5. Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan 6. Monitor berat badan 7. Dorong pasien untk menambah intake oral 8. Pemberian cairan IV monitor adanya tanda dan gejala kelebihan cairan 9. Monitor adanya tanda gagal ginjal. Bledding precautions 1. Monitor ketat tanda-tanda perdarahan 2. Catat nilai Hb dan Ht sebelum dan sesudah terjadinya perdarahan 3. Monitor nilai lab (koagulasi) yang meliputi PT, PTT, trombosit 4. Monitor TTV ortostatik 5. Pertahankan bed rest selama perdarahan aktif 6. Kolaborasi dalam pemberian produk darah (platelet atau fresh frozen plasma) 7. Lindungi pasien dari trauma yang dapat menyebabkan perdarahan 8. Hindari mengukur suhu lewat rectal 9. Hindari pemberian aspirin
58
dan anticoagulant 10. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake makanan yang banyak mengandung vitamin K 11. Hindari terjadinya konstipasi dengan menganjurkan untuk mempertahankan intake cairan yang adekuat dan pelembut feses Bledding reduction 1. Identifikasi penyebab perdarahan 2. Monitor trend tekanan darah dan parameter hemodinamik (CVP,pulmonary capillary/artery sedge plessure) 3. Monitor status cairan yang meliputi intake dan output 4. Monitor penentu pengiriman oksigen ke jaringan (PaO2 dan level Hb dan cardiac output) 5. Pertahankan paten IV line Bleeding wound/luka
reduction
:
1. Lakukan manual pressure(tekanan) pada area perdarahan 2. Gunakan ice pack pada area perdarahan 3. Lakukan pressure dressing (perban yang menekan) pada area luka 4. Tinggikan ekstremitas yang perdarahan 5. Monitor ukuran dan karakteristik hematoma 6. Monitor nadi distal dari area yang lukaatau perdarahan 7. Instruksikan pasien untuk menekan area luka pada saat bersin atau batuk 8. Instruksikan pasien untuk membatasi aktivitas
Bleeding reduction gastrointestinal
:
1. Observasi adanya darah dalam sekresi cairan tubuh : emesis, feses, urine, residu
59
12
Defisiensi pengetahuan
Kriteria hasil : a.
b.
c.
Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakt, kondisi, prognosis, dan program pengobatan Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya
lambung, dan drainase luka 2. Monitor complete lood count dan leukosit 3. Kolaborasi dalam pemberian terapi : lactulose atau vasopresin 4. Lakukan pemasangan NGT untuk memonitor sekresi dan perdarahan lambung 5. Lakukan bilas lambung dengan NaCl dingin 6. Dokumentasikan warna, jumlah dan karakteristik feses 7. Hindari pH lambung yang ekstrem dengan kolaborasi pemberian antacids atau histamine blocking agent 8. Kurangi faktor stres 9. Pertahankan jalan nafas 10. Hindari penggunaan anticoagulant 11. Monitor status nutrisi pasien 12. Berikan cairan intravena 13. Hindari pengunaan aspirin dan ibuprofen Teaching:disease process 1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik 2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat 3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat 4. Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat 5. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat 6. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat 7. Hindari jaminan yang kosong 8. Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat 9. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah
60
komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit 10. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan 11. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan 12. Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat 13. Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat.
Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan
2.5.4
Implementasi Keperawatan Implementasi merupakan inisiatif dari rencana tindakan keperawatan
untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan kepada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. 2.5.5
Evaluasi Keperawatan Evaluasi merupakan perencanaan yang memuat kriteria keberhasilan
proses dan keberhasilan tindakan keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan membandingkan antara proses dengan pedoman atau rencana proses tersebut.
61
2.6 Kerangka Konsep Perubahan fisiologi 1. 2. 3. 4.
Involusi uterus Lochea Payudara Perubahan sistem endokrin 5. Genetalia eksterna, vagina, perineum 6. Sistem pencernaan
Penyebab : Pasien dengan sectio caesarea
post
Anastesi general
Anastesi regional
Perubahan psikologi 1. Fase taking in 2. Fase taking hold 3. Fase letting go
Gangguan ambulasi dini
Gangguan activity of daily living
Senam nifas
1. 2. 3. 4. 5.
Distosia Plasenta previa Letak janin Eklamsia Sectio ulang 6.
Kriteria Hasil 1. Membantu memperbaiki sirkulasi darah 2. Memperbaiki sikap tubuh dan otot-otot punggung pascapersalinan. 3. Memperbaiki otot pelvis dan peregangan otot abdomen. 4. Memperbaiki dan memperkuat otot panggul. 5. Membantu ibu lebih relaks dan segar setelah persalinan. 6. Mempercepat terjadinya proses involusi organorgan reproduksi.
Keterangan: : variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti Bagan 2.2 Kerangka Konsep Ibu Postpartum yang Mengalami Sectio Caesarea dengan Gangguan Activity of Daily Living
62
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian Desain
penelitian
adalah
strategi
penelitian
dalam
mengidentifikasi
permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan data dan mendefinisikan struktur penelitian yang dilaksanakan (Nursalam, 2008). Desain yang digunakan adalah metode studi kasus, yaitu studi yang mengekspresikan suatu masalah / fenomena dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam dan menyertakan berbagai sumber informasi. Studi kasus dibatasi oleh waktu dan tempat, serta kasus yang dipelajari berupa peristiwa, aktivitas atau individu. Studi kasus ini adalah studi kasus untuk mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan pada klien yang mengalami post sectio caesarea dengan gangguan activity of daily living di Ruang Brawijaya RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang.
3.2 Kerangka Kerja Dibawah ini merupakan batasan kerangka studi kasus pada klien yang mengalami post sectio caesarea dengan gangguan activity of daily living.
63
Klien dengan post sectio caesarea Pengkajian Wawancara, observasi, dan dokumentasi Triangulasi data
Diagnosa
Intervensi
Implementasi Evaluasi
Analisa data kedua partisipan
Penyajian data Kesimpulan
Bagan 3.1 Kerangka kerja klien yang mengalami post sectio caesarea dengan gangguan activity of daily living
64
3.3 Batasan Istilah Sectio caesarea merupakan suatu persalinan buatan, yaitu janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh dan bobot janin diatas 500 gram (Winkjosastro, 2005). Activity of Daily Living (ADL) yaitu kemampuan seseorang untuk mengurus dirinya sendiri mulai dari bangun tidur, mandi, berpakaian dan seterusnya sampai pergi tidur kembali, atau segala kegiatan orang yang mengurus dirinya sendiri (Alexeia, 2008).
3.4 Partisipan Partisipan adalah klien dengan masalah keperawatan dan diagnosis yang sama yaitu 2 klien post sectio caesarea dengan jenis anastesi regional yang mengalami gangguan activity of daily living. Unit analisis / partisipan dalam keperawatan adalah ibu nifas.
3.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Pada studi kasus ini dilakukan di RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang di Ruang Brawijaya dan dilaksanakan pada 14 Desember 2016 – 14 Januari 2017. Studi kasus yang dilakukan pada klien yang dirawat minimal 3 hari. Jika sebelum 3 hari klien sudah pulang, maka perlu pergantian pasien atau bisa dilakukan dalam bentuk home care.
65
3.6 Pengumpulan Data Teknik metode pengumpulan data dalam studi kasus ini menggunakan : 1. Wawancara Hasil anamnesis berisi tentang identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang – dahulu – keluarga. Sumber data dari klien, keluarga, perawat lainnya. 2. Observasi dan pemeriksaan fisik Dengan melakukan pendekatan IPPA : inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi pada sistem tubuh klien. 3. Studi dokumentasi. Hasil dari pemeriksaan diagnostik dan data lain yang relevan.
3.7 Uji Keabsahan Data Uji keabsahan data dimaksudkan untuk menguji kualitas data atau informasi yang diperoleh sehingga menghasilkan data
dengan validitas tinggi. Sumber
informasi tambahan menggunakan triangulasi menurut Sugiyono (2007) yaitu : 1. Triangulasi Sumber Triangulasi sumber untuk mengkaji kredibilitas data dilakukan kepada keluarga terdekat, orangtua, perawat / dokter. 2. Triangulasi Teknik Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misal data diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi, dokumentasi.
66
3. Triangulasi waktu Waktu
juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Data
yang
dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat nara sumber masih segar, belum banyak masalah akan memberikan data yang lebih valid sehingga lebih kredibel. Pengujian keabsahan data dapat dilakukan dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu / situasi yang berbeda. Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang sehingga sampai ditemukan kapasitas datanya. 4. Studi dokumentasi. Hasil dari pemeriksaan diagnostik dan data lain yang relevan.
3.8 Analisa Data Tehnik analisis digunakan dengan cara observasi oleh penulis dan studi dokumentasi yang menghasilkan data untuk selanjutnya diinterpretasikan dan dibandingkan teori yang ada sebagai bahan untuk memberikan rekomendasi dalam intervensi tersebut. Urutan dalam analisis adalah : 1. Pengumpulan Data Data dikumpulkan dari hasil WOD (wawancara, observasi, dokumen). 2. Mereduksi Data Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan dijadikan satu dalam bentuk transkrip dan dikelompokkan
67
menjadi data subyektif dan obyektif, dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostik kemudian dibandingkan nilai normal. 3. Penyajian Data Penyajian ini dapat dilakukan dengan menggunakan table diagram pie. 4. Kesimpulan Dari data yang disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan dengan perilaku kesehatan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induksi. Data yang dikumpulkan terkait dengan data pengkajian, diagnosis, perencanaan, tindakan, dan evaluasi.
3.9 Etik Penelitian Menurut A. Aziz Alimul Hidayat (2011) masalah etika yang harus di perhatikan adalah sebagai berikut : 1. Informed Consent ( persetujuan menjadi klien) Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara penulis dengan klien dengan memberikan lembar persetujuan, informed consent tersebut diberikan sebelum studi kasus dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi klien. Tujuan informed consent adalah subyek mengerti maksud dan tujuan studi kasus, mengetahui dampaknya. Jika klien bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika klien tidak bersedia maka penulis harus menghormati hak klien.
68
2. Anonimity ( tanpa nama ) Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subyek studi kasus dengan cara tidak memberikan atau mencamtumkan nama klien pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil studi kasus yang akan disajikan. 3. Confidentiality ( kerahasiaan ) Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan hasil studi kasus, baik informasi maupun masalah – masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh penulis, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.
69