BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Infeksi yang disebabkan oleh jamur semakin meningkat dan banyak obat
yang mengalami resistensi. Jamur yang paling sering menyebabkan penyakit salah satunya Microsporum gypseum. Jamur Microsporum gypseum dapat ditularkan secara langsung. Penularan langsung dapat melalui epitel kulit, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang atau dari tanah. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan penelitian untuk mendapatkan obat antifungi alternatif (Setyanigrum dkk., 2013). Penelitian sebelumnya mengatakan negara-negara berkembang lebih dari 80% masyarakat bergantung secara langsung pada tumbuh-tumbuhan untuk keperluan medis (WHO, 2002). Penyakit akibat jamur umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseovulvin (anti jamur) per oral. Untuk mempercepat waktu penyembuhan, kadang-kadang diperlukan tindakan-tindakan khusus atau pemberian obat topikal tambahan. Obat-obat topikal yang dapat digunakan adalah asam salisilat, asam benzoat, sulfur, serta derivat-derivat azol (mikonazol, klotrimazol, dan sebagainya). Namun, karena biaya pengobatan modern cukup mahal banyak penderita kandidiasis vulvovaginal memilih pengobatan dengan menggunakan tumbuh-tumbuhan. Kelebihan dari pengobatan dengan menggunakan ramuan tumbuhan secara tradisional tidak ada efek samping yang ditimbulkan seperti pada pengobatan kimiawi (Thomas, 1992).
1
Temu mangga merupakan salah satu dari banyak jenis temu temuan yang dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan (Pujimulyani dkk., 2011). Rimpang dan daun temu mangga mengandung saponin, flavonoid dan polifenol (Hutapea, 1993), juga mengandung antioksidan alamiah, yaitu kurkuminoid (Sudewo, 2004), minyak atsiri, tanin, amilum, gula dan damar. Minyak atsiri temu mangga terdiri dari 4 komponen utama yang teridentifikasi sebagai α-pirene (1,71%), ßmyrcene (19,74%), geranil alcohol (76,24%), dan bicyclo 3,1,1 heptan 3-ol (2,31%). Rimpang temu mangga berkhasiat untuk mengecilkan rahim dan untuk penambah nafsu makan (Hutapea, 1993), mengatasi nyeri lambung dan menghambat pertumbuhan sel kanker (Sudewo, 2004). Menurut hasil penelitian American Institute Cancer Report (New York Time, 1999) Pusat Penelitian Obat Tradisional (PPOT) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Curcuma mangga mengandung Ribosome Inactivating Protein (RIP) yang salah satu aktivitasnya kemungkinan dapat menonaktifkan perkembangan sel kanker (Suharmiati, dkk., 2002). Beberapa Ribosome Inactivating Protein (RIP) yang telah ditemukan, diantaranya diketahui mempunyai aktivitas antiviral baik pada virus hewan maupun tumbuhan (Tedjo dkk., 2005). Indonesia memiliki keanekaragaman hayati berupa ratusan jenis tanaman obat dan telah banyak dimanfaatkan dalam proses penyembuhan berbagai penyakit. Namun sampai sekarang baru sejumlah kecil obat tradisional yang dapat dibuktikan manfaatnya (Sudewo, 2004). Penggunaan tanaman untuk pengobatan telah lama dikenal oleh masyarakat. Usaha pengembangan tanaman untuk pengobatan perlu dilakukan mengingat bahwa tanaman mudah didapat dan murah. Tetapi penggunaan tanaman untuk pengobatan perlu didukung oleh data-data penelitian dari tanaman 2
tersebut sehingga khasiatnya secara ilmiah tidak dapat diragukan lagi dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini tentu akan lebih mendorong penggunaan tanaman sebagai obat secara meluas oleh masyarakat (Soemiati dan Elya, 2002). Berdasarkan pertimbangan di atas, penulis merasa penting dan perlu untuk melakukan pengujian efek antijamur ekstrak etanol temu mangga (Curcuma mangga val.) terhadap Microsporum gypseum. Maka, diperlukan penelitian ilmiah seperti penelitian dan pengujian antijamur di bidang mikrobiologi farmasi. 1.2 Perumusan Masalah Perumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah ekstrak etanol temu mangga (Curcuma mangga val.) efektif
sebagai antijamur terhadap
pertumbuhan jamur Microsporum gypseum? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui apakah ekstrak etanol temu mangga (Curcuma mangga val.) efektif sebagai antijamur terhadap pertumbuhan jamur Microsporum gypseum 1.3.2 Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada temu mangga (Curcuma mangga val.)
3
b. Untuk mengetahui rerata daya ekstrak etanol temu mangga (Curcuma mangga val.) sebagai antijamur terhadap Microsporum gypseum pada konsentrasi 5%. c. Untuk mengetahui rerata daya hambat ekstrak etanol temu mangga (Curcuma
mangga val.) sebagai antijamur Microsporum gypseum pada
konsentrasi 10%. d. Untuk mengetahui rerata daya hambat ekstrak etanol temu mangga (Curcuma mangga val.) sebagai antijamur Microsporum gypseum pada konsentrasi 15%. e. Untuk mengetahui konsentrasi terbaik dari ekstrak etanol temu mangga (Curcuma mangga val.)
sebagai antijamur terhadap Microsporum
gypseum. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi masyarakat tentang pengaruh etanol temu mangga (Curcuma mangga val.) sebagai antijamur terhadap Microsporum gypseum 2. Bagi Institusi Pendidikan 1. Sebagai sumber referensi bagi Institusi Kesehatan MEDISTRA Lubuk Pakam yang tertarik dalam penelitian tanaman obat.
4
3. Bagi peneliti 1. Meningkatkan pengetahuan mengenai diameter zona hambat ekstrak etanol temu mangga (Curcuma mangga val.) sebagai antijamur Microsporum gypseum Tahun 2018. 2. Sebagai sarana untuk menerapakan keilmuan mikrobiologi klinik dalam penelitian, serta melatih keterampilan laboratorium riset.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tanaman
Gambar 2.1 Gambar Temu mangga (Curcuma mangga val.) 2.1.1 Klasifikasi Tanaman Temu mangga (Curcuma mangga val.) Klasifikasi tanaman Temu mangga (Curcuma mangga val.) (Tjitrosoepomo, 2009): Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae Famili
: Zingiberales
Genus
: Curcuma
Spesies
: Curcuma mangga val.
6
2.1.2 Nama Daerah Setiap daerah di Indonesia memiliki kekhasan dalam penyebutan temu mangga. Di Pulau Jawa Curcuma mangga sering disebut dengan temu mangga, koneng joho, koneng lalab, koneng pare, kunir putih, temu bujangan, temu pare. Di Sumatera orang menyebutnya dengan nama temu lalab, temu mangga, temu pauh (Sudarsono, 1996). 2.1.3 Morfologi dan Karakteristik Temu mangga (Curcuma mangga Val.) Tanaman temu mangga merupakan golongan semak-semak mempunyai tinggi 1-2 m. Batang semu, tegak, lunak, batang di dalam tanah membentuk rimpang hijau. Daunnya tunggal, berpelepah, berbentuk lonjong, tepi daun rata, ujung dan pangkal meruncing, panjang daun kurang lebih 1 m dan lebar 10-20 cm, pertulangan menyirip dan berwarna hijau (Hutapea, 1993). 2.1.4 Morfologi Temu mangga (Curcuma mangga Val.) Temu mangga (Curcuma mangga Val.) mempunyai bunga majemuk berada ketiak daun, berbentuk tabung, ujung bunga terbelah, benangsari menempel pada mahkota dan berwarna putih, putik berbentuk silindris, kepala putik bulat dan berwarna kuning, mahkota lonjong berwarna putih. Buahnya berbentuk kotak, bulat, berwarna hijau kekuningan. Biji bulat dan berwarna putih. Akar serabut, berwarna putih (Hutapea, 1993). 2.1.5 Manfaat Temu mangga (Curcuma mangga Val.) Rimpang Curcuma mangga berkhasiat untuk mengecilkan rahim dan untuk penambah nafsu makan. Untuk mengecilkan rahim dipakai ± 100 gram rimpang
7
temu mangga, dicuci, diparut, diperas dan disaring. Hasil saringan langsung diminum sekaligus (Hutapea, 1993). Selain itu juga berkhasiat mengatasi nyeri lambung, wasir, radang tenggorok, lemah syahwat, bronchitis, menghambat pertumbuhan sel kanker, menangkal racun dan merapatkan vagina setelah melahirkan atau bersalin, juga mengatasi kadar kolesterol tinggi (Hutapea, 1993). 2.1.6 Kandungan Kimia Temu mangga (Curcuma mangga Val.) Rimpang dan daun Curcuma mangga mengandung saponin dan flavonoid, disamping itu daunnya juga mengandung polifenol (Hutapea, 1993). Temu mangga juga mengandung senyawa antioksidan alamiah, yaitu kurkuminoid (Sudewo, 2004). Minyak atsiri, tanin, amilum, gula dan damar. Minyak atsiri temu mangga terdiri dari 4 komponen utama yang teridentifikasi sebagai -pirene (1,71%), ß-myrcene (19,74%), geranil alcohol (76,24%), dan bicyclo 3,1,1 heptan 3-ol (2,31%) (Sudewo, 2004). 2.2 Golongan Senyawa Kimia 2.2.1 Alkaloid Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder yang mengandung unsur nitrogen biasanya pada cincin heterosiklis dan bersifat basa.Senyawa alkaloid kebanyakan berbentuk padatan dan berwarna putih, tetapi ada yang berupa cairan yaitu nikotin, ada yang berwarna kuning, seperti berberin dan serpentin, kolkosin, dan risinin merupakan alkaloid yang bersifat tidak basa. Alkaloid dalam tumbuhan umumnya berbentuk garam, yautu berikatan dengan asam-asam organic yang terdapat dalam tumbuhan, seperti asam suksinat,
8
maleat, mekonat, kinat, dan bersifat larut dalam pelarut polar etanol ataupun air. Alkaloid lebih larut dalam pelarut nonpolar seperti eter, benzena, toluen dan kloroform (Robinson, 1995). 2.2.2 Glikosida Glikosida adalah senyawa yang terdiri atas gabungan dua bagian, yaitu bagian gula dan bukan gula.Keduanya dihubungkan oleh ikatan berupa jembatan oksigen, jembatan nitrogen, jembatan sulfur maupun jembatan karbon.Bagian gula disebut glikon sementara bagian bukan gula disebut bagian aglikon atau genin.Apabila glikon dan aglikon sering terikat maka senyawa ini disebut sebagai glikosida. Jembatan oksigen yang menghubungkan aglikon-aglikon ini sangat mudah terurai oleh pengaruh asam, basa, enzim, air dan panas. Semakin pekat kadar asam atau basa maupun semakin panas lingkungannya maka glikosida akan semakin mudah dan cepat terhidrolisis (Gunawan, 2004). 2.2.3 Flavonoid Flavonoid adalah senyawa metabolit sekunder yang memiliki struktur inti yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan dengan tiga atom C, biasanya dengan ikatan atom O yang berupa ikatan oksigen heterosiklik.Senyawa merupakan senyawa polifernol karena mengandung dua atau lebih gugus hidroksil, bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa. Umumnya flavonoid dalam keadaan terikat dengan gula sehingga membentuk glikosida dan akan lebih mudah larut dalam pelarut polar, seperti methanol, etanol, butano, dan etil asetat. Flavonoid dalam bentuk glukosida akan mengalami dekomposisi oleh enzim jika dalam 9
bentuk masih segar atau belum dikeringkan. Untuk mengekstraksi flavonoid harus di perhatikan polaritas dan tujuan yang dikehendaki. Beberapa flavonoid yang bersifat kurang polar (isoflavon, flavonon, flavonol) dapat
diekstraksi
menggunakan pelarut dengan polaritas rendah, seperti kloroform dan eter (Gunawan, 2004). Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah dan biji.Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tumbuhan berwarna hijau, kecuali alga.Penyebaran jenis flavonoid pada golongan tumbuhan yang tersebar yaitu angiospermae, klorofita, fungi, briofita (Markham,1998). Flavonoid
yang
lazim
ditemukan
pada
tumbuhan
tingkat
tinggi
(Angiospermae) adalah flavon, flavonol, flavonon, isoflavon dan khalkon juga sering ditemukan dalam bentuk non glikon. Flavonoid terutama berupa senyawa larut dalam air dan dapat diekstraksi dengan etanol 70% (Robinson,1995). 2.2.4 Tanin Tannin merupan senyawa polifenol yang tersebar luas dalam tumbuhan, dan pada beberapa tanaman terdapat terutama dalam jaringan kayu seperti kulit batang dan jaringan lain, yaitu daun dan buah.Tannin berbentuk amorf membentuk koloid dalam air, memiliki rasa sepat, dengan protein membentuk endapan menghambat kerja enzim proteolitik, dan dapat digunakan dalam industry sebagai penyamakkulit hewan.Sifat tannin sebagai astringen dapat dimanfaatkan sebagai antidiare, menghentikan pendarahan, dan mencegah peradangan terutama pada mukosa mulut, serta digunakan sebagai antidotum pada keracunan loga berat dan
10
alkaloid. Tannin juga digunakan sebagai antiseptic karena mempunyai gugus fenol (Gunawan, 2004). 2.2.5 Saponin Saponin adalah suatu senyawa yang memiliki bobot molekul tinggi atau besar, tersebar dalam beberapa tumbuhan, merupakan bentuk glikosida dengan molekul gula yang terikat dengan aglikon triterpen atau steroid.Saponin dikelompokkan menjadi saponin steroid dan saponin triterpen. Saponin steroid merupakan senyawa yang bersifat racun karena dapat menyebabkan terjadinya hemolysis darah (Gunawan, 2004). Beberapa Saponin bersifat antimikroba juga. Saponin menjadi penting karena dapat digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis hormone steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan (Robinson,1995). 2.3 Defenisi dan Macam-macam Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut cair. Simplisia yang diekstraksi mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain (Ditjen POM, 2000). Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif simplisia
nabati
atau
simplisia
hewani
menggunakan
pelarut
yang
sesuai,kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
11
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM,1995). Ekstrak adalah sediaan kering,kental atau cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang paling cocok,diluar pengaruh cahaya matahari langsung (Departemen Kesehatan RI, 1979) Ekstrak berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi: 1.
Ekstrak encer, sediaan yang masih dapat dituang.
2.
Ekstrak kental,sediaan yang tidak dapat dituang dan memiliki kadar air
sampai 30%. 3.
Ekstrak kering, sediaan yang berbentuk serbuk,dibuat dari ekstrak tumbuhan
yang diperoleh dari penguapan bahan pelarut. 4.
Ekstrak cair, mengandung simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai
bahan pengawet. Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut dari suatu serbuk simplisia, sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Beberapa metode yang banyak digunakan untuk ekstraksi bahan alam antara lain :
12
2.3.1 Ekstraksi dengan cara dingin Ekstraksi dengan cara dingin terdiri dari: 1. Maserasi Maserasi merupakan proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada suhu ruangan(kamar). Prosedurnya dilakukan dengan merendam simplisia dalam pelarut yang sesuai dalam wadah tertutup.Pengadukan dilakukan dapat meningkatkan kecepatan ekstraksi.Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan.Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus).Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya. Kelemahan dari maserasi adalah prosesnya membutuhkan waktu yang cukup lama.Ekstraksi secara menyeluruh juga dapat menghabiskan sejumlah besar volume pelarut yang dapat berpotensi hilangnya metabolit.Beberapa senyawa juga tidak terekstraksi secara efisien jika kurang terlarut pada suhu kamar (270C).Ekstraksi secara maserasi dilakukan pada suhu kamar (270C), sehingga tidak menyebabkan degradasi metabolit yang tidak tahan panas (Departemen Kesehatan RI, 2006). 2. Perkolasi Perkolasi merupakan proses mengekstraksi senyawa terlarut dari jaringan selular simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umunya
13
dilakukan pada suhu ruangan. Perkolasi cukup sesuai, baik untuk ekstraksi pendahuluan maupun dalam jumlah besar (Departemen Kesehatan RI, 2006 ). Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruang. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan,tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/pengapungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh ekstrak(perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan. 2.3.2 Ekstraksi dengan cara panas 1. Soxhlet Metode ekstraksi soxhlet adalah metode ekstraksi dengan prinsip pemanasan dan perendaman sampel.Soxhlet merupakan ekstraksi yang menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Hal itu menyebabkan terjadinya pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel. Dengan demikian, metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut ke dalam pelarut organik. Larutan itu kemudian menguap ke atas dan melewati pendingin udara yang akan mengembun uap tersebut menjadi tetesan yang akan terkumpul kembali. Bila larutan melewati batas lubang pipa samping soxhlet maka akan terjadi sirkulasi. Sirkulasi yang berulang itulah yang menghasilkan ekstrak yang baik (Departemen Kesehatan RI, 2006).
14
2. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya adalah ekstraksi berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan cairan penyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak, lalu dipanaskan sampai mendidih. Cairan penyari akan menguap, uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak dan akan kembali menyari zat aktif dalam simplisia tersebut. Ekstraksi ini biasanya dilakukan 3 kali dan setiap kali diekstraksi selama 4 jam (Departemen Kesehatan RI, 2006). 3. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada suhu yang lebih tinggi dari suhu ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada suhu 40-500C (Departemen Kesehatan RI, 2006). 4. Infusa Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada suhu penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih), suhu terukur (96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit (Departemen Kesehatan RI, 2006).
15
5. Dekok Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan suhu sampai titik didh air, yaitu pada suhu 90-1000C selama 30 menit (Departemen Kesehatan RI, 2006). 2.4 Cairan Penyari dan Pelarut Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan yang aman digunakan adalah air,etanol,etanol-air atau eter (Departemen Kesehatan RI, 2006). Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria berikut: 1. Selektivitas 2. Kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut 3. Ekonomis 4. Ramah lingkungan 5. Keamanan Etanol merupakan golongan alkohol dengan jumlah atom karbon dua dan mempunyai nilai kepolaran 0,68. Keuntungan penggunaan etanol sebagai pelarut adalah mempunyai titik didih yang rendah sehingga lebih mudah menguap,oleh karena itu ,jumlah etanol yang tertinggal dalam ekstrak sengat sedikit. Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif, mikroba sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun.netral,absorpsinya baik,etanol dapatbercampur dengan air pada segala perbandingan panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit. Etanol dapat melarutkan alkaloid basa,minyak
16
menguap, glikosida, kurkumin, kumarin, atrakinon, flavonoid, steroid, damar dan klorofil, dengan demikian zat pengganggu yang terlarut hanya sedikit(Kementrian Kesehatan RI,1986). Etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Keuntungan lain dari etanol mampu mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim. Etanol (96%) sangat efektif dalam menghasilakan jumlah bahan aktif yang optimal,dimana bahan pengganggu hanya skala kecil yang turun kedalam cairan pengekstraksi. 2.5 Uraian Microsporum gypseum Agen infeksi dikenal sebagai mikroba yang berenang seharian di seluruh tubuh kita. Mikroba berada di mulut, tenggorokan, gusi, saluran hidung, gastrointestinal, dan mikroorganisme lainnya. Misalnya bakteri, virus, jamur menjadi bagian dari setiap manusia berupa makanan dan bahan kimia.Beberapa kematian disebabkan oleh adanya infeksi. Hanya sel jaringan sehat dan organ tubuh
kita
yang
dapat
secara
efektif
mempertahankan
diri
terhadap
mikroorganisme menular. Mikroba baik berupa bakteri, virus atau jamur, biasanya tidak menimbulkan penyakit sampai perlawanan dari tubuh menurun. 2.6 Media Pertumbuhan Mikroorganisme Pembiakan mikroorganisme dalam laboratorium memerlukan media yang berisi zat hara serta lingkungan pertumbuhan yang sesuai bagi mikroorganisme. Media biakan yang digunakan terdapat dalam bentuk padat, semi padat dan cair. Media biakan dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu (Lay, 1996):
17
a. Secara kimiawi, media biakan dibagi menjadi : 1. Media sintetik yaitu media yang kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara terperici. Media sintetik sering digunakan untuk mempelajari sifat faal dan genetika mikroba. Contoh: glukosa, kalium fosfat, magnesium fosfat dan megnesium sulfat. 2. Media non sintetik yaitu media yang menggunakan bahan yang terdapat dialam, bahan-bahan ini biasanya tidak diketahui kandungan kimia secara rinci. Contoh: ekstrak daging, pepton dan kaldu daging. b. Berdasarkan kegunaannya, dapat dibedakan menjadi: 1. Media selektif adalah media biakan yang mengandung paling sedikit satu bahan yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan membolehkan perkembangbiakan mikroorganisme tertentu yang ingin diisolasi. Contoh :Manitol salt agar, potato dextrose agar dan sabouraud agar. 2. Media diferensial adalah media yang digunakan untuk membedakan kelompok mikroorganisme tertentu yang tumbuh pada media biakan. Media diferensial ini biasanya mengandung bahan kimia yang dapat digunakan oleh kelompok mikroorganisme tertentu.
Bila berbagai
kelompok
mikroorganisme tumbuh pada meida diferensial, maka dapat dibedakan kelompok mikrorganisme berdasarkan perubahan pada media biakan atau penampilan koloninya. Contoh : Blue laktose agar.
18
2.6.1 Patogenesis Microsporum gypseum Menempelnya mikroorganisme dalam jaringan sel host menjadi syarat mutlak untuk berkembangnya infeksi. Secara umum diketahui bahwa interaksi antara mikroorganisme dan sel pejamu di perantarai oleh komponen spesifik dari dinding sel mikroorganisme, adhesin dan reseptor. Makanan dan protein merupakan molekul-molekul Microsporum gypseum yang mempunyai aktivitas adhesif. Setelah terjadi proses penempelan, Microsporum gypseum berpenetrasi ke dalam sel epitel dan mukosa. Enzim yang berperan adalah amino peptidase dan asam fosfatase, yang terjadi setelah proses penetrasi tergantung dari keadaan imun dari host. 2.6.2 Kedudukan dalam nomenklatur Microsporum gypseum Sistematika Microsporum gypseum mennurut (Dwidjoseputro, 1994) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Fungi
Kelas
: Eurotiomycetes
Ordo
: Onygenales
Famili
: Arthrodermataceae
Genus
: Microsporum
Spesie
: Microsporum gypseum
19
2.6.3 Pertumbuhan dan nutrisi Microsporum gypseum Microsporum
gypseum
merupakan
cendawan
keratophilik
geofilik.
Kelembapan, pH, dan kontaminasi faeces menjadi faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat isolasi fungus M. gypseum pada binatang-binatang domestik (Emmons et al,1977). M. gypseum tumbuh dengan cepat dan matang dalam 6 hingga 10 hari. M. gypseum menghasilkan hifa, makronidia dan mikronidia. Makronidia tersebar banyak, fusiform dan berbentuk simetris dengan ujung bulat, sedangkan mikronidia berjumlah sedikit, bergerombol dan terdapat di sepanjang hifa (Ostrosky-Zeichner, 2012). Koloni dari M.gypseum tumbuh dengan cepat; menyebar dengan permukaan yang mendatar dan sedikit berserbuk merah coklat hingga kehitam-hitaman (Brooks et al, 2005) terkadang dengan warna ungu. Serbuk yang berada di permukaan koloni mengandung makrokonidia. Microsporum gypseum merupakan jamur imperfecti (jamur tidak sempurna) atau deuteromycotina karena perkembangbiakannya hanya secara aseksual. koloni berwarna kekuning-kuningan sampai kecoklat-coklatan. Jamur ini sering menginfeksi kulit dan rambut (Jawetz, 1982). Makrokonidia dihasilkan dalam jumlah yang besar. Dindingnya tipis dengan ketebalan 8-16 X 20 μ, kasar dan memiliki 4-6 septa, dan berbentuk oval. Makrokonidia terdiri dari 4-6 sel. Mikrokonidia juga dapat nampak, meskipun jarang dihasilkan, terkadang pula mudah tumbuh pada subkultur setelah beberapa kali berganti media pada
20
laboratorium. Mikrokonidianya memiliki ciri-ciri antara lain: berukuran 2,5-3,0 X 4-6 μ (Brooks et al, 2005). 2.6.4 Virulensi Microsporum gypseum Jamur Microsporum gypseum dapat ditularkan secara langsung. Penularan langsung dapat secara melalui epitel kulit, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang atau dari tanah. Disamping cara penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainan-kelainan di kulit tergantung dari beberapa faktor (Wicaksana, 2008): a) Faktor virulensi dari dermatofita b) Faktor trauma Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur. c) Faktor suhu dan kelembaban Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi atau lokal, di mana banyak keringat seperti lipat paha dan sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur ini. d) Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur di mana terlihat insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah, penyakit ini lebih sering ditemukan dibanding golongan sosial dan ekonomi yang lebih baik.
21
e) Faktor umur dan jenis kelamin Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan orang dewasa, dan pada wanita lebih sering ditemukan infeksi jamur di sela-sela jari dibanding pria dan hal ini banyak berhubungan dengan pekerjaan. Di samping faktor-faktor tadi masih ada faktor-faktor lain seperti faktor perlindungan tubuh (topi, sepatu dan sebagainya), faktor transpirasi serta pemakaian pakaian yang serba nilon, dapat mempermudah penyakit jamur ini.
22
2.7 Kerangka Konsep Penelitian Variabel Bebas
Variabel Terikat
Temu mangga (Curcuma mangga Val.)
Makroskopik
Serbuk Simplisia Temu mangga
Ekstrak Etanol temu mangga
Parameter
Skrining Fitokimia
Aktivitas temu mangga Antijamur Terhadap Jamur Microsporum gypseum
1. 2. 3. 4. 5.
Alkaloid Flavonoid Tanin Saponin Glikosida
Diameter Hambat terhadap Microsporum gypseum
2.8 Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah a) ekstrak etanol Temu mangga (Curcuma mangga Val.) efektif sebagai antijamur terhadap pertumbuhan jamur Microsporum gypseum.
23
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperiment murni (true experiment) dengan rancangan postest dengan kelompok kontrol (postest only control group design). Pada metode penelitian ini meliputi pengumpulan bahan tanaman, determinasi bahan tanaman, pembuatan simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak etanol dari simplisia secara maserasi, pengujian golongan senyawa kimia terhadap simplisia dan ekstrak etanol daun Temu mangga , selanjutnya pengujian aktivitas antijamur dengan metode difusi menggunakan kerta cakram. Parameter yang diambil adalah besarnya diameter hambat pertumbuhan jamur. 3.2 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Botani Fakultas Farmasi Institut Kesehatan Medistra Lubuk pakam, Laboratorium Kimia Organik Fakultas Farmasi Institut Kesehatan Medistra Lubuk pakam dan Laboratorium Mikrobiologi RS Grandmed Lubuk Pakam. Rencana waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2019-Juni 2019 untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut :
24
Tabel 3.1 Rencana Kegiatan Penelitian Bulan N o
Uraian kegiatan
1
Pengaju an judul
2
Penyusu nan proposal Persenta si dan Seminar proposal
Januari 2019
Februari 2019
Maret 2019
April 2019
Mei 2019
Juni 2019
Juli 2019
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
3
4 5
6 7 8
Perbaika n Proposal Penelitia n dan Pengum pulan data hasil Analisa Data Sidang Skripsi Pengum pulan
3.3 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, spatula, batang pengaduk, autoklat, laminary air flow, tabung reaksi, rak tabung reaksi, erlenmeyer, gelas ukur, pendompol, beaker glass, cawan petri, jarum ose, oven, inkubator, kompor gas, kulkas, bunsen, pipet tetes, kertas perkamen, rotary evaporator, jangka sorong , blender, kertas saring, lemari pendingin, mikroskop, kertas cakram, penjepit tabung, desikator dan pipet mikro.
25
3.4 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Temu mangga (Curcuma mangga Val.), Etanol 70%, FeCl3 10%, Hcl 0,2 N, Larutan Iodium, Pereaksi Maeyer, NaOH 0,9 %, Aquadest, Potato dextrose agar, Jamur Microsporum gypseum. 3.5 Penyiapan Sampel 3.5.1 Pengumpulan sampel Pengumpulan
sampel
dilakukan
secara
purposive,
yaitu
tanpa
membandingkan dengan daerah lain. Sampel yang digunakan adalah Temu mangga (Curcuma mangga Val.) yang berada di Daerah Samosir, Sumatera Utara. 3.5.2 Determinasi Bahan Tumbuhan Determinasi bahan tanaman dilakukan di Herbarium USU (Universitas Sumatera Utara), untuk mendapatkan kepastian bahwa tanaman yang digunakan merupakan jenis tanaman Temu mangga (Curcuma mangga Val.). 3.5.3 Pengolahan sampel Temu mangga (Curcuma mangga Val.) dibersihkan dari kotoran dengan cara mencuci dibawah air mengalir hingga bersih, kemudian daun dipisahkan dari bagian batang selanjutnya ditiriskan lalu diperkecil potongannya atau dipotong-potong lalu ditimbang kemudian disebar di atas wadah. Sampel dikeringkan dengan cara dianginanginkan di udara terbuka atau pada suhu ruangan. Kemudian dikeringkan di lemari pengering. Temu mangga (Curcuma mangga Val.) yang sudah kering ini disebut simplisia. Kemudian simplisia diblender menjadi serbuk, ditimbang beratnya. Selanjutnya, simplisia disimpan dalam wadah dan disimpan di terlindung dari cahaya.
26
tempat yang
3.6 Pembuatan Pereaksi Pembuatan larutan pereaksi asam klorida 2 N, Meyer, Bouchardat. kloralhidrat (Depkes RI, 1995), Lieberman-Burchard Dragendoff (Harbone, 1987). 3.6.1. Pereaksi asam klorida 2N Sebanyak 16,67 ml asam klorida pekat dilarutkan dalam air suling hingga volume 100 ml. 3.6.2 Pereaksi asam sulfat 2N Sebanyak 5,4 ml asam sulfat pekat dilarutkan dalam air sulinghingga volume 100 ml. 3.6.3 Pereaksi meyer Sebanyak 1,35g raksa (II) klorida dilarutkan dalam 60 ml air suling. Kemudian pada wadah lain sebanyak 5 g kalium iodida dilarutkan dalam 10 ml air lalu campurkan keduanya dan ditambahkan air suling hingga 100 ml. 3.6.4 Pereaksi bouchardat Sebanyak 1,35 g kalium iodida, dilarutkan dalam sedikit air suling kemudian ditambahkan 2 g iodium, setelah semuanya larut ditambahkan air suling hingga 100 ml. 3.6.5 Pereaksi dragendroff Sebanyak 0,85 g bismut (III) nitrat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam 100 ml asam asetat glasial ditambahkan 40 ml air suling. Kemudian pada wadah lalu ditimbang 8 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 20 ml air suling, lalu campurkan kedua larutan sama banyak. Kemudian ditambahkan 20 ml asam asetat glasial dan diencerkan air suling hingga 100 ml.
27
3.6.3 Pereaksi kloralhidrat Sebanyak 5 ml asam asetat anhidrat dicampurkan dengan 5 ml asam sulfat pekat kemudian ditambahkan etanol hingga 50 ml. 3.7 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia 3.7.1. Pemeriksaan makrospik Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk, ukuran, warna, bau dan rasa dari Daun melinjo (Gnetum gnemon) segar dan simplisia Daun melinjo (Gnetum gnemon). 3.8 Pemeriksaan Senyawa Kimia 3.8.1. Pemeriksaan alkaloida Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditambahkan 1 ml asam klorida 2N dan 9 ml air suling,dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk uji alkaloida sebagai berikut: a. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan dengan 2 tetes larutan pereaksi Meyer akan terbentuk endapan berwarna putih atau kuning. b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai kehitaman c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Dragendroff, terbentuk endapan merah atau jingga. Alkaloida positif jika terjadi andapan atau kekeruhan paling sedikit dua dari tiga percobaan diatas (Depkes, 1995). 3.8.2 Pemeriksaan saponin Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dilarutkan dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. jika
28
terbentuk buih yang mantap setinggi 1 sampai 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2N menunjukkan adanya saponin (Depkes, 1995). 3.8.3 Pemeriksaan tanin Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling. lalu disaring filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1% jika terjadi warn abiru atau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Fansworth, 1996). 3.8.4 Pemeriksaan flavonoid Sebanyak 10 g serbuk simplisia ditambahkan 10 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas. Kedalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk megnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika warna merah atau kuning jingga pada lapisan amil alkohol (Fansworth, 1996). 3.8.5 Pemeriksaan glikosida Sebanyak 3 g serbuk simplisia, disari dengan 30 mL campuran etanol 96% dengan air suling (7:3) di refluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Pada 20 mL filtrat ditambahkan 25 mL air suling dan 25 mL timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 mL campuran isopropanol dan kloroform (2:3), dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Kumpulan sari pelarut organik ditambahkan natrium sulfat anhidrat, disaring, kemudian diuapkan pada temperatur tidak lebih 50oC, sisanya dilarutkan dalam 2 mL metanol (Fansworth, 1996).
29
3.9 Pembuatan Ekstrak 3.9.1
Ekstrak Etanol Temu mangga (Curcuma mangga Val.) Sampel temu mangga yang telah kering sebanyak 500 g di blender sampai
menjadi serbuk simplisia, kemudian direndam dengan etanol 70%. Campuran tersebut diaduk kuat sampai menjadi homogen, kemudian didiamkan selama 5 hari ditempat yang sejuk dan terilindung dari cahaya sambil beberapa kali diaduk. Hasil dari maserasi tersebut disaring dengan kain flanel, hasil dari maserasi tersebut merupakan filtrat, kemudian ditampung digelas beaker sedangkan ampasnya di maserasi lagi dan dilanjutkan dengan langkah yang sama. Selanjutnya filtrat pertama dan filtrat kedua digabungkan menjadi satu dan kemudian dipekatkan dengan rotary evaporato rsampai etanol habis menguap dan hanya sisa ekstrak berair saja. Selanjutnya kandungan air yang ada dihilangkan dengan memanaskannya diatas penangas air (water bath), suhu dijaga kurang dari 60o C agar tidak merusak kandungan zat aktif yang terdapat pada ekstrak etanol yang kental. 3.9.2 Sterilisasi Alat Alat-alat yang digunakan dalam uji aktivitas antijamur ini, disterilkan terlebih dahulu sebelum dipakai. Alat-alat gelas disterilkan dalam oven pada suhu 1700C selama 1 jam.Media disterilkan di autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Jarum ose dan pinset dengan lampu bunsen (Lay,1994).
30
3.10 Pembuatan Media 3.10.1 Potato dextrose agar (PDA) Sebanyak 39 gram serbuk PDA ditimbang, kemudian dilarutkan dalam aquadest sebanyak 1 liter,dipanaskan sampai mendidih untuk melarutkan semua PDA,disterilkan dalam autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit (Difeo,1953). 3.10.2 Larutan NaCl 0,9% Komposisi :
Natrium Klorida 9 g Air Suling ad 1000 ml
Cara pembuatan : Natrium klorida ditimbang sebanyak 0,9 g lalu dilarutkan dalam air suling steril sedikit demi sedikit dalam erlenmeyer 100 ml sampai larut sempurna, disterilkan di autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. 3.10.3 Pembuatan stok kultur jaringan Koloni jamur diambil dengan menggunakan jarum ose steril,lalu ditanam pada media Potato Dextrose Agar (PDA) agar miring dengan cara menggores kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 20-250C selama 48 jam (Ditjen POM, 1995).
31
3.10.4 Suspensi Standar Mc Farland 0,5 Komposisi
: Larutan BaCl21,175% b/v Larutan H2SO4 1%
0,5 mL 99,5 mL
Cara pembuatan : Kedua larutan dicampurkan dalam tabung reaksi steril, dikocok homogen dan ditutup. Apabila kekeruhan hasil suspensi bakteri sama dengan kekeruhan suspensi standar berarti konsentrasi bakteri 108 CFU/mL (Vandepitte, 2013). 3.10.5 Penyiapan inokulum jamur Koloni jamur diambil dan stok kultur dengan jarum ose steril lalu disuspensikan dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml larutan NaCl 0,9% (Ditjen, 1995) Kemudian diukur kekeruhan larutan pada panjang gelombang 520 nm (Cole, 1981). 3.10.6 Pembuatan variasi konsentrasi ekstrak etanol Temu mangga (Curcuma mangga Val.) Temu mangga (Curcuma mangga Val.) dibuat dalam berbagai konsentrasi dengan menimbang ekstrak masing-masing sebanyak 50 mg, 100 mg, 150 mg, kemudian dilarutkan masing-masing dengan 10 ml DMSO (Dimetil Sulfoksida). Konsentrasi ekstrak etanol Temu mangga (Curcuma mangga Val.) adalah 50 mg/ml, 100 mg/ml, 150 mg/ml. 3.10.7 Uji aktivitas antijamur ekstrak Temu mangga (Curcuma mangga Val.) Sebanyak 0,1 ml inokulum Microsporum gypseum dimasukkan ke dalam cawan petri steril, setelah itu dituang media Potato Dextrose Agar sebanyak 15 ml dengan suhu 45–50 0C lalu dihomogenkan dan didiamkan hingga media dan jamur tercampur rata kemudian dibiarkan hingga media memadat. Dimasukkan kertas cakram yang telah direndam dengan ekstrak etanol dengan berbagai konsentrasi
32
kedalam cawan petri yang telah berisi jamur, sebagai kontrol diteteskan 0,1 ml DMSO (Dimetil Sulfoksida). Didiamkan selama 10-15 menit, kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 20-250C selama 48 jam. Selanjutnya diukur diamater zona hambat disekitar kertas cakram dengan jangka sorong. 3.11 Analisis Data Analisa statistik menggunakan analisa univariate dan bivariate menggunakan SPSS .
33