BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pada hari Selasa 11 September 2001 satu rangkaian serangan teror yang terorganisir menyerang Amerika Serikat, serangan ini lebih dikenal dengan istilah atau kode nine eleven (9/11). Pagi itu sembilan belas orang yang diduga pengikut AlQaeda membajak empat buah pesawat penumpang komersil kemudian menabrakkan pesawat tersebut ke beberapa sasaran objek vital Amerika Serikat. Dua pesawat ditabrakkan ke menara kembar (twin towers) gedung World Trade Center (WTC), satu pesawat diarahkan ke Gedung Pusat Pertahanan Pentagon di Arlington Virginia, dan satu pesawat yang tersisa jatuh di daerah Somerset pedesaaan Pennsylvania. Kira-kira tiga ribu orang tewas dalam serangan ini.1 Pembajak memulai aksinya dengan membajak empat pesawat komersil tersebut saat mengisi bahan bakar untuk penerbangan menuju California. Dengan kapasitas masing-masing pesawat 24.000 gallon atau setara 91.000 liter setiap pesawat dapat diandaikan sebagai senjata rudal dengan panduan yang akurat. Masingmasing pesawat tersebut adalah : 2 1. Pesawat American Airlines Flight 11, yang ditabrakkan oleh pembajaknya ke gedung utara dari WTC pukul 8:46:30 pagi waktu setempat; 2. Pesawat American Airlines Flight 175, yang ditabrakkan oleh pembajaknya ke gedung utara dari WTC pukul 9:02:59 pagi waktu setempat;
1
September, 11 2001 attacks, http://en.wikipedia.org/wiki/September_11,_2001_attacks, tanggal 30 Juli 2006. 2 Ibid.
diakses
3. Pesawat American Airlines Flight 77, yang ditabrakkan oleh pembajaknya ke gedung Pentagon pukul 9:37:46 pagi waktu setempat; dan 4. Pesawat American Airlines Flight 93, yang jatuh di lapangan barat daya Pennsylvania berdekatan Shanksvile kurang lebih 150 mil atau 240 kilometer barat laut Washington DC pukul 10:03:11 pagi waktu setempat. Kerugian Amerika Serikat akibat serangan ini adalah korban tewas dari penumpang dan awak empat pesawat tersebut sebanyak 246 jiwa, 2976 orang tewas tertimpa reruntuhan bangunan, 2605 korban tewas di gedung WTC New York termasuk didalamnya 343 pemadam kebakaran, 23 polisi, dan 37 petugas satuan pengamanan. Selain korban jiwa banyak bangunan yang menderita kerusakan di samping kedua gedung WTC dan sebagian gedung Pentagon beberapa gedung juga mengalami kerusakan antara lain 7 gedung bursa efek, hotel Marriott, stasiun kereta New York, gedung Deutsche Bank, dan masih banyak lagi bangunan yang hancur akibat serangan ini.3 Pascaserangan teroris terhadap gedung
World Trade Center (WTC) di
Manhattan New York tersebut, George Walker Bush Jr menyatakan perang terhadap setiap aksi terorisme dengan target utama adalah kelompok Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden yang dianggap sebagai dalang dari serangan ke gedung WTC tersebut. Amerika Serikat di bawah pimpinan George Walker Bush Jr merasa terpukul akibat peristiwa yang memakan korban jiwa tidak sedikit tersebut. Menurut sumber pejabat Amerika Serikat, serangan 11 September 2001 ini konsisten dengan misi Al-Qaeda. Seperti yang disampaikan oleh pimpinan Al-Qaeda Osama bin Laden dalam suatu fatwa pada tahun 1998 yang menyatakan perang suci 3
Ibid.
melawan Amerika Serikat dan menyatakan bahwa serangan terhadap warga negara Amerika Serikat dibenarkan. Pernyataan ini juga didukung oleh para petinggi AlQaeda yang lain seperti Ayman al-Zawahiri, Abu-Yasir Rifa'i Ahmad Taha, Shaykh Mir Hamzah, dan Fazlur Rahman, amir (pemimpin) Pergerakan Jihad di Banglades. Inti dari fatwa tersebut adalah mendaftar tiga kejahatan dan dosa yang dilakukan oleh orang Amerika yaitu bahwa Amerika Serikat mendukung Israel, Amerika Serikat melakukan pendudukan di Semenanjung Arab dan Amerika Serikat melakukan agresi terhadap Iraq.4 Untuk meredam aksi teroris yang dirasa akan berlanjut maka Amerika Serikat mulai menggunakan segala cara untuk melindungi kepentingan dan keamanan dalam negerinya dengan berbagai macam cara seperti melakukan pemeriksaan imigrasi dan visa yang ketat terhadap setiap orang yang akan datang berkunjung ke Amerika Serikat, juga larangan untuk berkunjung (travel warning) bagi warga negaranya yang akan bepergian ke negara-negara yang dianggap berbahaya dan sebagainya. Dalam melindungi kepentingannya ternyata Amerika Serikat menerapkan suatu doktrin yang membenarkan untuk melakukan serangan pendahuluan apabila ada kemungkinan bahwa negara terancam suatu bahaya. Doktrin ini kemudian dikenal dengan Doktrin Bush atau lebih sering dunia internasional menyebutnya sebagai Doktrin Pre-emptive Strike.5 Doktrin ini mengacu pada suatu peraturan kebijakan luar negeri yang pertama dan dinyatakan terbuka oleh George W. Bush di dalam pidato di hadapan lulusan Akademi Militer West Point pada tanggal 1 Juni 2002. George W. Bush dalam 4 5
Ibid. Bush Doctrine, http://en.wikipedia.org/wiki/Bush_Doctrine, diakses tanggal 30 Juli 2006.
pidatonya mengatakan, “Our security will
require all Americans to be forward
looking and resolute, to be ready for pre-emptive strike action when necessary to defend our liberty and to defend our lives ”.6 Isi dari Doktrin Bush adalah United States will make no distinction between individual terrorists and states who harbor them, and that the security of the United States is best maintained through the spread of democracy in the Middle East. (applied to Taliban-ruled Afghanistan, Iraq).7 Adapun yang dimaksud doktrin tersebut di atas adalah bahwa Amerika Serikat tidak akan membedakan antara teroris individu dan negara yang melindunginya, serta bahwa keamanan Amerika Serikat hanya dapat dipertahankan melalui penyebaran demokrasi di Timur Tengah (berlaku bagi Afghanistan dengan pemerintahan Taliban dan Iraq). Lebih lanjut kebijakan ini disusun sebagai suatu dokumen yang bergelar Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat (The National Security Strategy of the United States of America), yang diterbitkan pada 20 September 2002. Dokumen Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat (The National Security Strategy of the United States of America) pada intinya menguatkan pernyataan George W. Bush atau Doktrin Bush (Doktrin Pre-emptive Strike) sebagai berikut: 8 1. Hak menyerang atau mencegah lebih dulu (Pre-emption), adalah suatu kebijakan tentang peperangan pencegahan, perlu tidaknya Amerika Serikat melakukan tindakan pencegahan apabila ada ancaman dari teroris atau oleh negara musuh yang memproduksi senjata pemusnah massal. Hak kebenaran bela diri harus 6
Briefing, http://www.iraqpeaceteam.org/pagesiptbriefing_2html, diakses tanggal 27 Maret 2005. United States Presidential doctrines, http://en.wikipedia.org/wiki/United_States_Presidential_doctrines, diakses tanggal 27 Maret 2005. 7
8
2006.
Broader Formulation : A Muscular Foreign Policy, http://en.wikipedia.org/wiki/Bush_Doctrine , diakses tanggal 30 Juli
diperluas dalam rangka memberi hak pre-emptive untuk menyerang, melawan terhadap agresor potensial serta untuk memotong atau memutus ancaman mereka sebelum mereka dapat melakukan serangan untuk melawan atau menyerang Amerika Serikat. 2. Penggunaan tindakan militer secara sepihak oleh Amerika Serikat apabila solusi multilateral yang dapat diterima tidak ditemukan atau disepakati (unilateralism). 3. Memelihara kekuatan militer untuk menghadapi tantangan ke depan (Strength Beyond Challenge), kebijakan bahwa "Amerika Serikat mempunyai, dan berniat untuk menjaga atau memelihara, kekuatan militer atas tantangan" (The policy that "United States has, and intends to keep, military strengths beyond challenge"), menandakan Amerika Serikat berniat untuk mulai bertindak sebagaimana diperlukan untuk melanjutkan statusnya sebagai negara adikuasa militer di dunia. 4. Memperluas Demokrasi, Kebebasan, dan Keamanan pada semua daerah (Extending Democracy, Liberty, and Security to All Regions), adalah suatu kebijakan untuk dengan aktif mempromosikan demokrasi dan kebebasan pada semua daerah di dunia. Amerika Serikat sendiri menerapkan doktrin ini untuk melancarkan agresi ke Afghanistan pada 7 Oktober 2001 dalam rangka menangkap Osama bin Laden yang dicurigai bersembunyi di Afghanistan. Dalam agresi ini tidak sedikit penduduk sipil Afghanistan yang menjadi korban.9 Amerika Serikat bersama Inggris pada tanggal 19 Maret 2003 melanjutkan aksinya dengan menginvasi Irak yang dicurigai melakukan pengembangan senjata pemusnah massal. George W. Bush menyatakan bahwa Irak, Iran, dan Korea Utara merupakan anggota poros kejahatan (the axis of evil) yang perlu untuk diawasi oleh pihak barat.10 Doktrin pre-emptive strike ini sendiri menuai kecaman baik dari masyarakat Amerika Serikat maupun dunia internasional, hal ini dikarenakan doktrin ini bertentangan
dengan hukum
perang dan
masih bersifat
multitafsir
serta
pelaksanaannya cenderung subjektif, selain itu doktrin ini juga bertentangan dengan 9
Operation Enduring Freedom,http://en.wikipedia.org/wiki/Operation_Enduring_Freedom, diakses tanggal 30 Juli 2006. 10 Criticisms of the Bush Doctrine, http://en.wikipedia.org/wiki/Bush_Doctrine, diakses tanggal 30 Juli 2006.
teori perang yang adil (the just war theory).11 Amerika Serikat sendiri tetap bersikukuh bahwa penggunaan doktrin ini adalah sebagai alasan yang tepat dan logis untuk melindungi negara dan warga negaranya serta membela diri dari setiap ancaman yang akan datang. Doktrin pre-emptive strike Amerika Serikat untuk membela diri dari ancaman terorisme sebenarnya bertentangan dengan hak untuk membela diri (the right to selfdefence) yang diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB. 12 Menurut Atip Latifulhayat, bahwa dengan mengacu pada tafsiran Mahkamah Internasional untuk Pasal 51 Piagam PBB tersebut maka penggunaan hak untuk membela diri (the right of selfdefence) pertama-tama harus didasarkan pada kriteria ada atau tidaknya suatu serangan bersenjata yang nyata (an actual armed attack).13 Penerapan doktrin sebagai salah satu sumber hukum internasional sendiri pada masa sekarang kurang berkembang karena pada praktek hubungan antarnegara sudah tergantikan oleh sumber hukum internasional lain seperti perjanjian internasional dan putusan peradilan internasional. Selain itu untuk menerapkan doktrin sebagai sumber hukum internasional ternyata tidak mudah karena belum ada kepastian siapa saja ahli-ahli hukum yang dianggap mempunyai kecakapan tinggi yang dapat merumuskan sebuah doktrin serta bagaimana kekuatan mengikat doktrin
11
Ibid Pasal 51 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut: “Nothing in the present chapter shall impair the inherent of individual or collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of United Nations, until the Security Council has taken the measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self defence shall be immidiately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security”. 13 Atip Latifulhayat, Perang Irak dan Hukum Internasional, Journal of International Law UNPAD, Vol. 3 No. 1 – April 2004. hal. 72. 12
karena doktrin hanya mempunyai kekuatan mengikat apabila telah diadopsi menjadi hukum kebiasaan internasional atau keputusan badan peradilan. Dari uraian di atas, penulis ingin meneliti tentang perspektif Hukum Internasional terhadap penggunaan suatu Doktrin Pre-emptive Strike oleh negara dalam rangka pembelaan diri dari serangan yang mengancam negaranya.
B. Perumusan Masalah Dari latar belakang tersebut di atas dapat ditarik suatu permasalahan yakni “Bagaimanakah perspektif Hukum Internasional terhadap penggunaan doktrin preemptive strike oleh negara?”
C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perspektif Hukum Internasional terhadap penggunaan doktrin pre-emptive strike oleh negara.
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Penelitian secara Teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan wawasan pengetahuan di bidang hukum internasional khususnya mengenai penggunaan dan penerapan suatu doktrin oleh negara. 2. Kegunaan Penelitian secara Praktis
a. Sebagai salah satu acuan kepustakaan hukum internasional terutama mengenai masalah penerapan suatu doktrin sebagai salah satu sumber hukum internasional. b. Sebagai bahan pertimbangan pengambilan kebijakan luar negeri terutama oleh pemerintah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kedudukan Doktrin dalam Hukum Internasional 1. Sumber Hukum Internasional Sumber-sumber hukum internasional muncul melalui konsensus subjeksubjek hukum internasional, sehingga sumber-sumber hukum internasional ada dan berkembang dalam masyarakat internasional. Di bidang teoritis sumbersumber hukum internasional ini diterjemahkan ke dalam suatu formulasi sumbersumber hukum internasional oleh para sarjana hukum, yang kemudian disebut doktrin. Di dalam doktrin inilah sumber-sumber hukum
dirumuskan, diberi
pengertian, diklasifikasikan, dan disempurnakan sehingga tercipta hubunganhubungan hukum atau tata hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara teoritis. Doktrin sebagai sumber hukum internasional kemudian akan memberikan masukan kepada para pelaku hukum internasional sehingga ide-ide dalam doktrin tersebut dapat diadopsi menjadi kaidah-kaidah hukum internasional.14 Dalam merumuskan sumber-sumber hukum internasional harus dikaji terlebih dahulu mengenai pengertian sumber-sumber hukum tersebut. Adapun pengertian sumber-sumber hukum internasional dibedakan menjadi dua, yaitu:15
1. Sumber Hukum Material
14
F. A. Whisnu Situni, Identifikasi Dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, CV. Mandar Maju, Bandung, 1989, hal. 10. 15 Ibid, hal. 10-12.
Sumber hukum material diartikan sebagai sumber hukum yang menentukan isi hukum, dalam praktek sumber hukum material ini harus dipergunakan sebagai pedoman pembentukan hukum. Sumber hukum material bagi hukum internasional adalah prinsip-prinsip yang menentukan isi dari hukum internasional yang berlaku. Prinsip itu disebut “ius cogens”, misalnya bahwa perjanjian harus ditepati oleh para pihak dalam perjanjian tersebut (pacta sunt servanda).16 2. Sumber Hukum Formal Sumber hukum formal dapat diartikan dalam dua pengertian, yaitu: a. sumber hukum formal sebagai tempat menemukan hukum; dan b. sumber hukum formal sebagai dasar mengikat. Sumber hukum formal bagi hukum internasional adalah perjanjian internasional (treaty) dan kebiasaan internasional (international custom).17 Menurut J.G. Starke, sumber hukum internasional dapat dikategorikan sebagai berikut: 18 1.
Kebiasaan.
2.
Traktat- traktat.
3.
Keputusan-keputusan
pengadilan
atau
pengadilan
arbitrasi. 4.
Karya-karya hukum.
5.
Keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan organorgan lembaga internasional.
16
F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1994, hal. 13. 17 Ibid, hal. 12. 18 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi ke-10, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 42.
Selain itu dalam menelaah sumber hukum intenasional biasanya dikaitkan dengan ketentuan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional apabila membahas tentang sumber hukum dalam arti formal, meskipun Statuta itu sendiri tidak secara eksplisit menyatakan Pasal 38 tersebut sebagai sumber hukum dalam arti formal. 19 Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional sendiri berbunyi sebagai berikut: Article 38 (1) The Court, whose function is to decide in accordance with international law such dispute as are submitted to it shall apply: a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law; c. the general principles of law recognized by civilized nations; d. subject to the provisions of Article 59, judical decisions and the teachings of the most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law (2) This provision shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree there to. Adapun yang dimaksud dari Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional ini adalah sebagai berikut: Pasal 38 (1) Mahkamah yang berfungsi memutuskan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, berdasarkan hukum internasional, akan menerapkan: a. Konvensi internasional, yang bersifat umum atau khusus, aturan yang mengandung ketentuan hukum yang secara tegas diakui oleh negaranegara yang bersengketa; b. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari praktek umum yang diterima sebagai hukum; c. Azas-azas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab; d. Sesuai dengan ketentuan pasal 59, keputusan pengadilan dan ajaran dari ahli-ahli yang sangat terkenal dari berbagai bangsa, sebagai sumber tambahan untuk menentukan aturan hukum. (2) Ketentuan ini tidak mengurangi kekuasaan Mahkamah untuk memutuskan perkara secara ex aequo et bono, apabila pihak-pihak yang bersangkutan menyetujuinya. 2. Kedudukan Doktrin dalam Hukum Internasional 19
hal. 150.
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 1990,
a. Pengertian Doktrin Pengertian doctrine atau doktrin menurut Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, adalah ajaran kaum sarjana hukum, khusus dipakai sebagai
kebalikan
dari
peradilan
(rechtspraak),
yurisprudensi
(jurisprudentie); ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh pengadilan; ajaran yang dimajukan dan dikembangkan oleh pengarang dan buku pelajaran.20 Menurut F.A. Whisnu Situni, doktrin adalah ajaran hukum dari para sarjana atau ahli hukum.21 Sedang menurut Henry Campbell Black, doctrine is a principle, especially a legal principle that is widely adhered to. Yang artinya bahwa doktrin adalah suatu prinsip, terutama suatu prinsip hukum tentang undang-undang yang secara luas dipertahankan.22 Doktrin, dalam bahasa Perancis ‘la doctrine’ diartikan oleh para ahli hukum internasional sebagai ajaran dari para ahli hukum ternama (the teachings of the most highly qualified publicist of the various nations). Pengertian ini tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 huruf d Statuta Mahkamah internasional, yang berbunyi : “…the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law ”.23 Berkenaan dengan pasal 38 di atas terdapat permasalahan karena tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan the most highly 20 21 22
N.E. Algra dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Bina Cipta, Bandung, 1983, hal. 99. F. A. Whisnu Situni, op.cit, hal. 91. Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, 7’th Edition, Book I, West Group, St. Paul, 1999. hal
497. 23
F. A. Whisnu Situni, op. cit, hal. 90.
qualified publicist sehingga kriteria ini menjadi kabur. Kekaburan ini menjadi semakin nyata dengan timbulnya pernyataan seperti syarat apa sajakah agar dapat memenuhi kriteria di atas, dan siapakah yang menetapkan bahwa sarjana atau ahli hukum tertentu mempunyai kecakapan tertinggi dan sebagainya. Masalah ini juga disinggung oleh C. Parry yang menyatakan, it is difficult to decide who ‘the most highly qualified publicist’s are as it is to say what a peace-loving nation within the meaning of the Charter of the United Nations. Dengan demikian walaupun Brownlie mencoba mengajukan beberapa contoh ajaran hukum yang dianggap sebagai doktrin, seperti naskah artikel yang dibuat oleh Komisi Hukum Internasional dan naskah Penelitian Harvard (Harvard Research), pengertian the most highly qualified publicist dalam pasal 38 di atas masih dirasakan kabur.24 b. Doktrin Sebagai Sumber Hukum Dalam hukum tertulis ada dua tempat yang menunjuk atau mencantumkan secara tertulis sumber hukum dalam arti formal yakni Pasal 7 Konvensi Den Haag XIII tertanggal 1907 yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional Permanen tertanggal 16 Desember 1920 yang kini tercantum dalam Pasal 38 Piagam atau Statuta Mahkamah Internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB tertanggal 26 Juni 1945.25
24
Ibid, hal. 90-91. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003. hal. 114. 25
Dari kedua dokumen tertulis tersebut hanya Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional saja yang dianggap penting. Hal ini dikarenakan Mahkamah Internasional mengenai Perampasan Kapal tidak pernah terbentuk sebab tidak mencapai jumlah ratifikasi yang diperlukan. Pasal 38 ayat (1) mengatakan bahwa dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional akan mempergunakan:26 1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negaranegara yang bersengketa. 2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum. 3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. 4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum. Walaupun
pembahasan
sumber
hukum
formal
selanjutnya
mendasarkan pada urutan sebagaimana yang tertera dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional perlu ditambahkan bahwa baik isi maupun urutan sumber yang disebutkan tidak menggambarkan suatu pendapat yang diterima umum. Misalnya tidak ada ketentuan tentang mahkamah maupun pengadilan arbitrase maupun putusan badan atau organisasi internasional yang akhir-akhir ini merupakan sumber hukum yang semakin penting. Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional juga menyebutkan bahwa azas 26
Ibid. hal 114-115.
hukum umum sebagai salah satu sumber hukum di mana dimasukkannya azas hukum umum sebagai sumber hukum oleh perumus Statuta ini adalah sebagai dasar bagi Mahkamah Internasional untuk membentuk kaidah hukum baru berdasarkan azas hukum tersebut. Hal ini terjadi apabila Mahkamah Internasional tidak berhasil menemukan ketentuan hukum positif yang diterapkan pada masalah yang diajukan kepadanya.27 Urutan penyebutan sumber hukum dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional tidak menggambarkan urutan pentingnya masingmasing sumber hukum itu sebagai sumber hukum formal karena soal ini sama sekali tidak diatur oleh Pasal 38 itu sendiri. Satu-satunya klasifikasi menurut Mochtar Kusumaatmadja ialah bahwa sumber hukum formal itu dibagi atas dua golongan yaitu:28 1. Sumber hukum utama atau primer, yang meliputi ketiga golongan sumber hukum yang disebut terdahulu; dan 2. Sumber hukum tambahan atau subsidier, yaitu keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran sarjana hukum yang paling terkemuka dari berbagai negara. Pembahasan selanjutnya mengikuti urutan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yaitu: 1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negaranegara yang bersengketa. Perjanjian Internasional di sini adalah perjanjian
27 28
Ibid. hal 115. Ibid. hal 115-116.
yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan mengakibatkan akibat hukum tertentu.29 2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum. Untuk dapat dikatakan bahwa kebiasaan internasional merupakan sumber hukum internasional maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : a. unsur material, di mana kenyataan adanya kebiasaan itu bersifat umum dan diterimanya kebiasaan internasional sebagai sumber hukum; b. unsur psikologis, di mana adanya kehendak bahwa kebiasaan internasional itu dirasakan memenuhi suruhan kaidah atau kewajiban hukum atau seperti dikatakan dalam bahasa latin “opinio juris sive necessitatis”.30 3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. 31 Yang dimaksud dengan prinsip atau azas hukum umum ialah azas hukum yang mendasari sistem hukum modern. Adapun yang dimaksud dengan sistem hukum modern adalah sistem hukum positif yang didasarkan atas azas dan lembaga hukum negara Barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas azas dan lembaga hukum Romawi. Contoh dari azas hukum umum ini adalah azas pacta sunt servanda (perjanjian harus ditaati oleh para pihak dalam perjanjian itu), azas bona fides (itikad baik), serta azas adimplendi non est adiplendum (tidak mengurangi hak peserta yang 29 30 31
Ibid. hal 117. Ibid. hal 144-145. Ibid. hal 115.
dirugikan untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian dengan didasarkan atas tanggung jawab peserta yang telah melakukan pelanggaran itu).32 4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.33 Berlainan dengan ketiga sumber hukum utama (primer) di atas, keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana hanya merupakan sumber hukum tambahan (subsidier). Artinya keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai persoalan yang didasarkan atas sumber utama (primer) yakni perjanjian internasional, kebiasaan dan azas hukum umum. Keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana itu sendiri tidak mengikat, artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum.34 Menurut Statuta Mahkamah Internasional dalam sistem peradilan tidak dikenal azas keputusan yang mengikat (rule of binding precedent) jelas dari bunyi Pasal 59 yang menyatakan bahwa: The decision of the court has no binding force except between the parties and in respect of that particular case Adapun yang dimaksud di sini adalah keputusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan mengikat kecuali antara para pihak dan menyangkut kasus yang tertentu.35
32 33 34 35
Ibid. hal 148-149. Ibid. hal 150. Ibid. hal 150-151. Ibid. hal 151.
Jika keputusan Mahkamah Internasional sendiri tidak mengikat selain perkara yang bersangkutan, a fortiori keputusan pengadilan lainnya tidak mungkin mempunyai keputusan yang mengikat. Maksudnya keputusan pengadilan dalam Pasal 38 ayat 1 sub d ialah pengadilan dalam arti luas dan meliputi segala macam peradilan internasional maupun nasional termasuk di dalamnya mahkamah dan komisi arbitrase.36 Walaupun mengikat,
keputusan
keputusan
pengadilan
pengadilan
tidak
internasional
mempunyai terutama
kekuatan Mahkamah
Internasional Permanen (Permanent Court of International Justice), Mahkamah Internasional (International Court of Justice), Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration) mempunyai pengaruh yang besar dalam perkembangan hukum internasional. Keputusan pengadilan nasional yang bertalian dengan persoalan yang menyangkut hukum internasional penting sebagai bukti dari apa yang telah diterima sebagai hukum internasional oleh pengadilan nasional negara itu. Selain itu keputusan pengadilan internasional dan pengadilan nasional mempunyai peranan penting dalam perkembangan hukum kebiasaan internasional. Keputusan pengadilan nasional dari berbagai negara mengenai hal yang serupa mempunyai akibat kumulatif yang tidak dapat diabaikan sebagai bukti apa yang telah diterima sebagai hukum. Hal ini tidak sedikit pengaruhnya dalam pembentukan kaidah hukum kebiasaan internasional mengenai masalah yang bersangkutan.37 36
Ibid.
37
Ibid. Hal 151-152.
Sumber hukum tambahan yang kedua yaitu ajaran para sarjana hukum terkemuka dapat dikatakan bahwa penelitian dan tulisan yang dilakukan oleh para sarjana terkemuka sering dipakai sebagai pegangan atau pedoman untuk menemukan apa yang menjadi hukum internasional, walaupun ajaran para sarjana itu sendiri tidak menimbulkan akibat hukum. Fungsi ajaran atau tulisan sarjana hukum terkemuka di atas digambarkan oleh Hakim Grey dalam putusan Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika Serikat dalam kasus ‘Paquete Habana’ yang antara lain dikatakan: 38 … Where there no treaty, and no controlling executive or legislative act or judical decisions, resort must be had to customs and usages of civilized nations, and as evidence of these, to the works of jurist and commentators who are peculiarly well aquinted with the subjects of which they treat. Such works are resorted to by judical tribunal, not for the speculations of their authors concerning what the law ought to be, but for trustworthy evidence of what the law really is. Selain itu doktrin memiliki peranan penting dalam perkembangan hukum internasional. Pengaruh doktrin terhadap perkembangan hukum internasional sangat terasa pada abad-abad awal sebelum abad XX. Seperti tulisan-tulisan Grotius, Suarez, dan de Vattel sangat mempengaruhi perkembangan hukum internasional pada abad itu. Pada saat ini doktrin sudah tidak berpengaruh seperti di masa-masa lalu. Namun tetap memiliki peranan yang penting, hal ini ditekankan oleh S.K. Kapoor sebagai berikut:39 Although juristic works cannot be treated as an independent source of law, yet the view of the jurist may help in the development of law.
38 39
Ibid. Hal 152 F. A. Whisnu Situni, op. cit. hal. 91-92.
Sedangkan Starke lebih menjelaskan arti penting dari doktrin dengan menyatakan:40 Juristic works are not an independent source of law, although sometimes juristic opinion does lead to the formation of international law. According to the report of one expert body to the League of Nations, juristic opinion is only important as a means of throwing light on the rules of international law and rendering their formation easier. It is of no authority in itself, although it may become so if subsequently embodied in customary rules of international law; this is due to the action of states or other agencies for the formation of custom, and not to any force which juristic opinion posesses. Demikian pula David H. Ott memberikan komentar:41 The persuasive value of the very best legal writing nevertheles remains a significant input into the development of international law. Di samping peranan di atas, doktrin seringkali merupakan ajaran tentang hukum yang seharusnya (lex ferenda). Apabila suatu doktrin kemudian diadopsi menjadi kaidah-kaidah hukum internasional, misalnya melalui hukum kebiasaan internasional ataupun keputusan badan peradilan, maka yang dulunya hanya merupakan ajaran hukum berubah menjadi sumber hukum. Hal ini dikatakan pula oleh Mr. Justice Gray sebagai berikut:42 Speculations concerning what the law ought to be, for the writings may help to create opinion which may influence the conduct of states and thus indirectly in the course of time help to modify the actual law. Oleh karena itu doktrin sering kali disebut sebagai sumber hukum tidak langsung (indirect source) dalam hukum internasional.43
40 41 42 43
Ibid. hal. 92. Ibid. Ibid. hal. 92-93. Ibid. hal. 93.
Dari hal tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ajaran para sarjana atau ahli hukum yang memiliki kecakapan tingkat tinggilah yang dapat dianggap sebagai sumber hukum. Doktrin sendiri memiliki arti yang besar bagi perkembangan hukum nasional maupun internasional. Sebagai contoh adalah doktrin dari Montesquieu, seorang pemikir besar yang pertama di antara ahli-ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari Prancis. Doktrin Montesquieu lebih dikenal dengan ajaran Trias-Politika mengajarkan pembagian atau pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga dan masingmasing kekuasaan itu dilaksanakan oleh suatu badan tersendiri, yaitu: 44 1. Kekuasaan perundang-undangan, legislatif; 2. Kekuasaan pemerintahan, eksekutif, dan 3. Kekuasaan kehakiman, judikatif. Doktrin Montesquieu ini banyak diterapkan oleh negara-negara di dunia, seperti Amerika Serikat dalam garis-garis besar pemerintahannya membagi atau memisahkan kekuasaan negara menjadi tiga yaitu:45 1. Badan Legislatif, dimana pemegang kekuasaan di sini adalah Kongres yang di dalamnya terdiri atas dua bagian yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representative); 2. Badan Eksekutif, dimana pemegang kekuasaan di sini adalah Presiden; dan 3. Badan Yudikatif, dipegang oleh Mahkamah Agung.
44
Soehino, Ilmu Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2002, hal.116-117. Rosalie Targonski, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat, Office of International Programs United States Departement Of State, United States of America, 2000. hal. 76-77. 45
Contoh lain penggunaan doktrin atau ajaran ahli-ahli hukum yang digunakan dalam putusan peradilan adalah kasus The Paquete Habana-The Lola, Supreme Court of the United States 1900 no. 175 US 677, dimana dalam pertimbangan putusannya Supreme Court of the United States menyatakan bahwa hukum internasional adalah bagian dari hukum nasional (international law is part of our law). Ajaran bahwa hukum internasional sebagai hukum nasional merupakan pandangan yang dinamakan doctrin of incorporation yang pada awalnya berasal dari negara-negara Anglo Saxon. Alasan lain dari putusan ini adalah ketika tidak ada traktat atau tidak terdapat perbuatan-perbuatan
eksekutif
atau
legislatif
serta
putusan-putusan
pengadilan, petunjuk-petunjuk harus diperoleh dari kebiasaan dan tata cara bangsa-bangsa yang beradab serta hasil karya ahli-ahli hukum dan ahli-ahli tafsir yang bekerja dan meneliti serta dari hasil pengalaman mereka bertahuntahun yang telah menjadikan mereka memahami dengan benar masalahmasalah yang mereka hadapi.46 Dengan demikian doktrin yang semula tidak mempunyai akibat hukum ketika dikemukakan oleh para sarjana atau ahli hukum maka akan mempunyai akibat hukum bila diadopsi menjadi kebiasaan internasional (praktek negara-negara) dan melalui putusan peradilan. c. Doktrin Pre-emptive Strike Seringkali suatu doktrin diadopsi begitu saja oleh suatu negara dan beberapa negara untuk kemudian diterapkan sebagai sumber hukum
46
Chairul Anwar, Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989. hal. 7-8.
internasional. Hal ini terjadi dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional negara-negara yang mengakibatkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum internasional.47 Doktrin pre-emptive strike yang diterapkan oleh Amerika Serikat melalui Dokumen Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat (The National Security Strategy of the United States of America) tersebut merupakan salah satu doktrin yang mengakibatkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum internasional tersebut. Hal ini untuk menangani serta menanggulangi kemungkinan ancaman terhadap keamanan dalam dan luar negerinya. Amerika Serikat melalui doktrin ini secara tersirat membolehkan atau mengizinkan penggunaan kekuatan bersenjatanya, meskipun mungkin di kemudian hari ancaman tersebut tidak terbukti kebenarannya. Untuk menjelaskan doktrin pre-emptive strike ini lebih dahulu harus dipahami antara pengertian pre-emptive attack (pre-emptive war) dengan preventive war. Pre-emptive attack (pre-emptive war) ini pada intinya dapat diartikan sebagai suatu serangan lebih dahulu (atau peperangan dengan menyerang lebih dahulu) yaitu tindakan yang dilakukan untuk mengusir, memukul mundur atau mengalahkan invasi atas serangan yang segera terjadi atau suatu tindakan untuk memperoleh suatu posisi strategis atas suatu yang tidak bisa dihindari.48 Pre-emptive attack (pre-emptive war)
sering dikacaukan dengan
istilah preventive war. Dalam preventive war umumnya dianggap melanggar
47 48
F. A. Whisnu Situni, op. cit. hal. 91. Pre-emptive War, http://en.wikipedia.org/wiki/Preemptive_war, diakses tanggal 25 Juli 2006.
hukum internasional, dan dianggap tidak mencukupi persyaratan peperangan yang adil, sementara pre-emptive attack (pre-emptive war) lebih sering dianggap
sebagai
tindakan
yang
dibenarkan
atau
diperbolehkan
(justified/justifiable).49 Untuk istilah yang lain lagi yaitu pre-emptive strike adalah suatu serangan militer yang dirancang untuk mencegah, atau mengurangi dampak, suatu serangan untuk antisipasi serangan dari musuh. Menurut senator John Kerry istilah pre-emptive strike ini masih dipertanyakan legalitasnya karena masih dalam taraf percobaan (global test) dalam penerapannya.50 Brodie membedakan prevention dengan pre-emption, yaitu:51 1. prevention is the immediate use of force in order to avoid the risk of war later under less favourable circumstances (tindakan pencegahan adalah penggunaan segera suatu angkatan bersenjata untuk menghindari risiko peperangan yang berada di bawah suatu keadaan yang lebih baik). 2. pre-emption is the initiation of military action because it perceives an imminent attack and identifies the clear advantages of striking first (tindakan pendahuluan adalah inisiatif dimulainya tindakan militer karena adanya prasangka bahwa suatu serangan segera terjadi termasuk juga tindakan untuk mengidentifikasi keuntungan yang akan diperoleh bila menyerang lebih dulu). Jack Levy juga membedakan prevention dan pre-emption, yaitu:52 49
Ibid. Ibid. 51 Malcolm Brailey, Pre-emption and Prevention: An Ethical and Legal Critique of the Bush Doctrine and Anticipatory Use of Force in Defence of the State, Institute of Defence and Strategic Studies, Singapore, 2003. hal 2. 52 Ibid. hal 2. 50
1. prevention is more strategic response to a long term threat, or one that has yet to develop (tindakan pencegahan lebih merupakan tanggapan atau respon strategis atas suatu ancaman jangka panjang, atau adanya perkembangan suatu hal). 2. pre-emption is a tactical response to an immediate threat (tindakan pendahuluan adalah suatu respon taktis bagi suatu ancaman segera atau tiba-tiba). Dan Reiter membedakan prevention dan pre-emption berdasarkan jangka waktu, yaitu:53 1. prevention is wars that emerge from concern with long term shift in power (tindakan pencegahan adalah peperangan yang muncul dari perhatian dengan pergeseran kekuasaan jangka panjang). 2. pre-emption is wars emerging out of crisis dinamics (tindakan pendahuluan adalah peperangan yang muncul untuk keluar dari krisis yang dinamis) Sedangkan Thomas R. Van Dervort berpendapat: 54 Pre-emptive strike is an action taken in response to a threat to a nations security in the form of an attack before the threat can be fully mobilized. This form of action is clearly prohibited by international law but has some support under very narrow circumstances when executed in a very limited manner. As a collective security measure authorized by the Security Council, it might be justified. Dimaksud di sini bahwa serangan lebih dahulu adalah suatu tindakan yang diambil sebagai jawaban atau respon atas suatu ancaman bagi suatu keamanan
53
Ibid. Thomas R. Van Dervont, International Law and Organization (An Introduction), Sage Publications, London, 1998. hal 473. 54
negara-negara dalam bentuk suatu serangan sebelum ancaman dapat dikerahkan secara penuh. Bentuk tindakan ini dengan jelas dilarang oleh hukum internasional tetapi ada yang memperbolehkan dengan syarat yang sangat sempit yaitu adanya suatu keadaan atau situasi tertentu dan dilaksanakan dengan cara yang sangat terbatas. Untuk pelaksanaan keamanan kolektif yang dikuasakan pada Dewan Keamanan, maka hal demikian dapat dibenarkan.
B. Hak Dan Kewajiban Negara 1. Pengertian dan Kedudukan Negara dalam Hukum Internasional Berpegangan pada pengertian subjek hukum pada umumnya, yang diartikan sebagai pemegang hak dan kewajiban menurut hukum, memiliki kemampuan sebagai pendukung hak dan kewajiban serta kemampuan
untuk
mengadakan hubungan-hubungan hukum yang melahirkan hak-hak dan kewajiban tersebut, maka secara mudah dapat dirumuskan yang dimaksud dengan subjek hukum internasional. Subjek hukum internasional adalah pemegang atau pendukung hak dan kewajiban menurut hukum internasional, pemegang privilege prosedural untuk mengajukan tuntutan di muka pengadilan internasional, dan pemilik
kepentingan-kepentingan
untuk
dibuat
ketentuan
oleh
hukum
internasional. Dengan kata lain, setiap pendukung atau pemegang hak dan kewajiban menurut hukum internasional adalah subjek hukum internasional.55 Hukum internasional pada awalnya memandang hanya negara yang merupakan subjek hukum internasional. Hal ini terkait dengan keadaan di masa 55
I Wayan Parthiana, op. cit. hal. 58.
lalu yang tidak ada atau jarang ada pribadi-pribadi hukum selain negara yang melakukan
hubungan-hubungan
internasional.
Beberapa
penulis
tertentu
menyatakan bahwa negaralah satu-satunya subjek hukum internasional. Keberatan terhadap teori itu senantiasa dikaitkan dengan perkara perbudakan (slaves) dan perompak (pirates). Sebagai akibat dari traktat-traktat umum, beberapa hak perlindungan tertentu, dan lain-lain telah diberikan kepada budakbudak
oleh
masyarakat
negara-negara.
Berdasarkan
hukum
kebiasaan
internasional, individu-individu yang melakukan tindak pidana perompakan jure gentium di laut lepas dapat dipandang sebagai musuh-musuh umat manusia, negara bertanggung jawab atas penangkapan dan penghukuman atas perompak. Selanjutnya beberapa penulis berdasarkan analisa yang tepat mengetahui dan mengatakan bahwa yang disebut hak-hak dan kewajiban-kewajiban budak-budak dan perompak-perompak jure gentium secara teknis adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara-negara serta hanya negara-negara saja.56 Bertentangan dengan hal tersebut ahli hukum terkenal Kelsen (1881-1973) dan para penganutnya ini berpendapat bahwa pada analisa akhir, individuindividu itu sendiri merupakan subjek-subjek hukum internasional. Suatu versi yang samar dari teori ini diperlihatkan dalam kalimat Westlake berikut ini: 57 Kewajiban-kewajiban dan hak-hak negara-negara semata-mata adalah kewajiban-kewajiban orang-orang yang menjadi isi dari negara-negara itu. Kelsen menganalisa ide suatu negara dan mengakui bahwa negara semata-mata adalah suatu konsep hukum teknis yang mencakup keseluruhan ketentuan-
56 57
J.G Starke, op. cit. hal. 77-78. Ibid. hal. 78.
ketentuan hukum yang berlaku terhadap sekelompok orang di dalam wilayah teritorial tertentu; negara dan hukum hampir dapat dikatakan sebagai suatu sinonim. Konsep negara dipakai untuk menyatakan keadaan-keadaan hukum dimana individu-individu itu sendiri terikat untuk bertindak dan menerima beberapa keuntungan tertentu atas nama kolektivitas umat manusia yang menjadi anggotanya. Kewajiban-kewajiban yang terletak pada suatu negara menurut hukum internasional akhirnya adalah kewajiban-kewajiban yang mengikat individu-individu.58 Hal ini menurut Kelsen dikarenakan tidak ada perbedaan nyata antara hukum suatu negara dan hukum internasional. Kedua sistem hukum tersebut mengikat individu-individu, walaupun hukum internasional secara teknis mengikat negara-negara tetapi itu hanya bersifat perantara (mediately) dan karena itu merupakan konsep negara.59 Pendapat-pendapat Kelsen ini secara teoretis dan logika tidak diragukan kebenarannya, tetapi dari segi praktis para ahli hukum internasional dan hukum tata negara mempertimbangkan dan bekerja atas dasar hal-hal yang realistis dimana mereka hanya mempersoalkan hak-hak dan kewajiban negara-negara. Memang benar bahwa dari waktu ke waktu traktat-traktat menentukan individuindividu dapat memiliki hak-hak. Hak ini sesuai dengan praktek yang telah berjalan lama di Inggris berkaitan dengan perjanjian. Mahkota (The Crown–baca: Ratu) Inggris pada saat melakukan perundingan bukan bertindak sebagai wali atau wakil pribadi warga-warga Inggris.60 58 59 60
Ibid. Ibid. hal. 79. Ibid.
Berbeda dengan pendekatan praktis yang berpangkal tolak pada kenyataan yang ada, baik kenyataan mengenai keadaan masyarakat internasional pada masa sekarang maupun hukum yang mengaturnya. Fakta yang ada dapat timbul karena sejarah atau desakan kebutuhan perkembangan masyarakat internasional, atau apabila merupakan suatu fakta hukum bisa juga memang diadakan oleh hukum sendiri. Bagi suatu pembahasan yang realistis dan wajar serta secara hukum dapat dipertanggungjawabkan adanya suatu kenyataan yang harus diakui dan diperhitungkan, perlu diingat bahwa adanya fakta dan suatu kenyataan belaka belum dengan sendirinya menimbulkan hukum.61 Di antara berbagai pendapat yang menggunakan dua pendekatan yang berbeda, teoritis dan praktis, memberikan pengertian mengenai subjek hukum internasional yang berbeda-beda, terdapat berbagai macam subjek hukum internasional yang memperoleh kedudukan berdasarkan hukum kebiasaan internasional karena perkembangan sejarah. Perkembangan sejarah terutama setelah perang dunia pertama dan kedua, pelaku-pelaku dalam pergaulan dan hubungan dunia internasional tidak lagi dimonopoli oleh negara. Munculnya pribadi-pribadi hukum baru seperti organisasi internasional mengharuskan untuk meninjau kembali isi dan ruang lingkup hukum internasional termasuk di dalamnya adalah mengenai subjek-subjek hukum internasional.62 Selain itu dalam arti yang lebih luas pengertian subjek hukum internasional mencakup keadaan-keadaan dimana yang dimiliki itu hanya hak-hak dan kewajiban yang terbatas misalnya kewenangan untuk mengadakan
61 62
Mochtar Kusumaatmadja dan dan Etty R. Agoes. op. cit. hal. 97. I Wayan Parthiana, op. cit. hal 59.
penuntutan hak yang diberikan oleh hukum internasional di muka pengadilan berdasarkan suatu konvensi. Contoh dari subjek hukum internasional dalam arti demikian adalah individu (orang, perseorangan).63 Dewasa ini yang sudah diakui oleh dunia internasional sebagai subjek hukum internasional adalah : 64 a. Negara; b. Organisasi Internasional; c. Palang Merah Internasional; d. Tahta Suci atau Vatikan; e. Organisasi Pembebasan (Bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan hakhaknya); f. Wilayah-wilayah Perwalian; g. Kaum Beligerensi; dan h. Individu. Dalam literatur beberapa sarjana telah memberikan batasan definisi maupun kriteria negara. Negara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai dua pengertian yaitu : 65 1. Organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat; 2. Kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif,
63
Ibid. hal. 91-92. Ibid. hal. 59. 65 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. hal. 610. 64
mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Soenarko menyebutkan bahwa negara adalah suatu organisasi masyarakat yang mempunyai daerah atau teritoir tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai souverenein. Menurut Harold J. Laski, negara-negara itu adalah suatu persekutuan manusia yang mengikuti jika perlu dengan tindakan paksaan cara hidup tertentu. Sedangkan dalam pengetahuan sosiologi, negara adalah kelompok politis persekutuan hidup orang yang banyak jumlahnya dan terikat oleh perasaan senasib dan seperjuangan.66 Menurut I Wayan Parthiana, negara adalah subyek hukum internasional yang memiliki kemampuan penuh (full capacity) untuk mengadakan atau menjadi pihak dalam perjanjian internasional.67 Sedangkan Logemann mengutarakan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan. Organisasi diartikan sekumpulan orang yang dalam mencapai tujuan bersama, mengadakan kerja sama dan pembagian kerja di bawah satu pimpinan. Kekuasaan diartikan kemampuan untuk melaksanakan kehendak. Negara dengan demikian diartikan sekumpulan orang yang dalam mencapai tujuan bersama, mengadakan kerja sama dan pembagian kerja di bawah satu pimpinan yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kehendaknya.68 J.L. Brierly memberi batasan negara ini sebagai suatu lembaga (institution), yaitu suatu wadah dimana manusia mencapai tujuan-tujuannya dan
66
M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 1-2. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional BAG: 1, Cet. I, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2002. hal. 19. 68 F. Sugeng Istanto, op. cit. hal. 20. 67
dapat melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Fenwick mendefinisikan negara sebagai suatu masyarakat politik yang diorganisir secara tetap, menduduki suatu daerah tertentu, dan hidup dalam batas-batas daerah tersebut, bebas dari pengawasan negara lain sehingga dapat bertindak sebagai badan yang merdeka di muka bumi.69 Definisi lebih lengkap dikemukakan oleh Henry C. Black yang mendefinisikan negara sebagai sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum melalui pemerintahnya, mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi masyarakat serta harta benda yang ada dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan perang dan damai serta mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional lainnya.70 Pasal 1 dari Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak-Hak dan Kewajiban Negara, merumuskan kualifikasi tentang suatu negara yakni sebagai berikut: The State as a person of international law should posess the following qualifications: a. a permanent population; b. a defined territory; c. government; and d. capacity to enter relations with the other states. Diterjemahkan oleh I Wayan Parthiana sebagai berikut: 71 Suatu negara sebagai pribadi hukum internasional harus memiliki kualifikasi sebagai berikut: a. penduduk yang tetap; b. wilayah yang pasti; c. pemerintahan; 69
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional (Edisi Revisi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. hal 1-2. 70 Ibid. hal 2. 71 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Cet. I, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1990. hal. 62.
d. kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain. Oppenheim-Lauterpacht
menguraikan
masing-masing
unsur negara
menurut Pasal 1 dari Konvensi Montevideo 1933 sebagai berikut : 72 a. Harus ada ada penduduk atau rakyat yang permanen atau tetap. Yang dimaksud dengan rakyat di sini adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama di suatu tempat tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum nasional. Syarat penting untuk unsur ini yaitu bahwa rakyat atau masyarakat ini harus terorganisir dengan baik (organized population) b. Harus ada wilayah atau daerah yang tetap, di mana rakyat tersebut menetap. Tidak penting apakah daerah yang didiami secara tetap itu besar atau kecil. Dapat saja wilayah tersebut hanya terdiri dari satu kota saja, sebagaimana halnya dengan suatu negara kota. Tidak dipersoalkan pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak. c. Harus ada pemerintah, yaitu seseorang atau beberapa orang yang mewakili rakyat dan pemerintah menurut hukum negaranya. Suatu masyarakat yang anarkis bukan termasuk negara. Bengt Broms menyebut kriteria ini sebagai organized government
(pemerintahan
yang terorganisir).
Lauterpacht
menyatakan bahwa unsur pemerintah ini merupakan syarat utama (terpenting) untuk adanya suatu negara. Jika pemerintah tersebut ternyata kemudian secara hukum dan secara faktanya menjadi negara boneka atau negara satelit dari suatu negara lainnya, maka negara itu tidak dapat digolongkan sebagai negara. 72
Huala Adolf, op. cit. hal 3-7.
d. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain. OppenheimLauterpacht menggunakan kalimat “pemerintah itu harus berdaulat” (souvereign). Yang dimaksud dengan pemerintah yang berdaulat yaitu kekuasaan tertinggi yang merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi. Kedaulatan dalam arti sempit berarti kemerdekaan sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar batas-batas negeri. Di samping keempat ciri tersebut di atas ada dua ciri lain yang seyogyanya dimiliki oleh suatu negara. Kedua ciri tersebut adalah bahwa:73 1. Negara itu harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan pejabatpejabatnya (agent) terhadap pihak atau negara lain, dengan kata lain negara harus mempunyai kemampuan internasional (international capacities). 2. Negara itu harus merdeka. Tanpa kemerdekaan suatu negara bukan merupakan subjek hukum internasional.74 Untuk dapat disebut sebagai subjek hukum internasional negara juga harus mempunyai kedaulatan. Negara yang berdaulat adalah pemegang kekuasaan negara yang tertinggi, tidak terikat pada kekuasaan negara lain. Negara yang berdaulat dengan demikian adalah negara yang merdeka. Crawford berpendapat bahwa kemerdekaan merupakan kriteria sentral dari negara. Pendapatnya ini ditarik dari pendapat Hakim Huber dalam kasus the Island of Palmas (1928) yaitu :
73 74
I Wayan Parthiana, op. cit. hal. 22. Huala Adolf, op. cit. hal 8.
Sovereignity in the relations between States signifies independence. Independence in regard to a portion of the globe is the right to exercise therein, to the exclution of any other States, the function of a State.... Sarjana lainnya Perry dan Grant menganggap bahwa kriteria kemerdekaan, di samping kedaulatan juga merupakan sentral dari suatu negara. Tanpa unsur kemerdekan dan berdaulat, sangatlah sulit untuk diterima bahwa suatu negara adalah suatu subjek hukum internasional.75 2. Hak dan Kewajiban Negara Sebagai subjek hukum internasional, negara mengemban hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. Hak dan kewajiban itu dapat dibedakan menjadi: 76 1. Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan kedudukannya terhadap negara lain; 2. Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan wilayah; 3. Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan orang yang ada dalam masyarakat internasional; 4. Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan benda-benda dalam masyarakat internasional; 5. Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan kepentingan ekonomi; 6. Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan lingkungan; serta 7.
Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan yurisdiksi negara.
2.1 Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan kedudukannya terhadap negara lain 75 76
Ibid . hal 8. F. Sugeng Istanto, op. cit. hal. 29.
Hak-hak serta kewajiban negara terkait dengan kedudukannya terhadap negara lain yaitu:77 a. Hak kemerdekaan. Negara yang merdeka adalah negara yang berdaulat, yakni negara yang memegang sendiri kekuasaan negaranya dalam batas-batas hukum internasional.78 b. Hak kesederajatan. Hak ini berpangkal pada ajaran kaum naturalis yang menyatakan bahwa seperti halnya orang-orang bebas dalam keadaan alaminya, setiap negara secara alami adalah juga sederajat satu sama lainnya. Ajaran ini ditetapkan sebagai ketentuan hukum internasional antara lain dalam Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Terkait dengan salah satu tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu mengembangkan hubungan persahabatan
antarbangsa
berdasarkan
penghormatan
prinsip
kesederajatan.79 Pasal 2 ayat 1 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut, The Organization is based on the principle of the sovereign equality of all its members. c. Hak mempertahankan diri. Hak untuk mempertahankan diri suatu negara adalah hak untuk mempertahankan kelangsungan kemerdekaan yang bersangkutan. Hak ini diakui juga melalui Piagam PBB. Piagam itu menetapkan hak negara anggota untuk mempertahankan diri terhadap serangan bersenjata yang 77 78 79
Ibid. Ibid. hal. 30. Ibid.
terjadi kepadanya. Usaha mempertahankan diri itu dapat dilakukan sendiri atau bersama-sama negara lain.80 Pasal 51 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut: Nothing in the present chapter shall impair the inherent of individual or collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of United Nations, until the Security Council has taken the measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self defence shall be immidiately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security. d. Kewajiban tidak melakukan perang. Perang adalah salah satu sarana memaksakan kehendak suatu negara kepada negara lain dengan menggunakan kekerasan bersenjata. Karena adanya pemaksaan kehendak itu, perang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kemerdekaan negara yang diperangi. Kewajiban untuk tidak melakukan perang juga ditetapkan dalam Piagam PBB. 81 Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB menyebutkan bahwa dalam menyelesaikan pertikaian internasional, suatu negara harus menggunakan cara-cara damai. Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut: All Members shall settle their international disputes by peaceful means in such manner that international peace and security, and justice, are not endangered. e. Kewajiban melaksanakan perjanjian internasional dengan itikad baik.
80 81
Ibid. Ibid. hal. 31.
Kewajiban ini berpangkal tolak pada azas yang telah lama diakui berlakunya dalam hukum internasional yaitu azas Pacta Sunt Servanda (setiap perjanjian berlaku mengikat terhadap pihak-pihak yang berjanji dan harus dilaksanakan dengan itikad baik).82 f. Kewajiban untuk tidak mencampuri urusan negara lain. Mencampuri urusan negara lain, yang juga disebut sebagai intervensi, umumnya dilarang oleh hukum internasional. Yang dilarang itu adalah intervensi yang bertentangan dengan kehendak negara yang dicampuri dan mengurangi kedaulatan politik negara itu.83 Pada Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB ditegaskan bahwa di dalam hubungan internasional setiap anggota harus menahan diri untuk mengancam dan menggunakan kekerasan terhadap integritas dan kemerdekaan negara lain. Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut: All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purpose of the United Nations.
2.2
Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan wilayah Salah satu kualifikasi yang harus dipenuhi negara sebagai subjek hukum internasional adalah wilayah tertentu. Di wilayah tersebut negara memegang kekuasaan kenegaraan yang tertinggi yakni kedaulatan wilayah,
82 83
Ibid. Ibid.
serta melaksanakan fungsi kenegaraan dengan mengecualikan negara lain. Wilayah negara terdiri atas : a. Wilayah Daratan; b. Wilayah Laut; dan c. Wilayah Udara.84 2.3
Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan orang yang ada dalam masyarakat internasional Hak dan kewajiban negara terhadap orang pada hakikatnya ditentukan oleh wilayah negara dan kewarganegaraan orang yang bersangkutan. Setiap orang yang berada dalam wilayah suatu negara baik warganegaranya sendiri maupun warganegara asing harus tunduk pada hukum yang berlaku di negara tersebut, di lain pihak negara tersebut juga wajib melindungi warganegaranya maupun warganegara asing. Prinsip ini diperkecualikan pada beberapa orang atau individu, misal mereka yang mempunyai kekebalan diplomatik tertentu.85
2.4
hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan benda-benda dalam masyarakat internasional Semua benda yang ada di wilayah tertentu tunduk pada kekuasaan dan hukum negara itu. Hak dan kewajiban negara atas benda terutama berlaku bagi benda-benda yang ada di wilayahnya. Kekuasaan dan hukum negara tersebut juga berlaku bagi benda-benda yang masih ada
84 85
Ibid. hal. 33-42. Ibid. hal. 42.
hubungannya dengan negara itu namun berada di negara lain begitu pula sebaliknya terhadap benda-benda yang masih ada hubungannya dengan negara lain yang berada di negara tersebut. Misalnya adalah negara bendera suatu kapal yang berlayar di wilayah negara asing sampai batas-batas tertentu kapal tersebut tunduk pada negara bendera kapal itu.86 2.5
Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan kepentingan ekonomi Yang dimaksud dengan kepentingan ekonomi negara adalah kepentingan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani kehidupan manusia. Kepentingan ini mencakup usaha, sarana dan benda yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan itu. Karena kehidupan ekonomi suatu negara tidak dapat lepas dari kehidupan negara lain timbullah berbagai macam perjanjian internasional yang mengatur ekonomi internasional seperti The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), resolusi Majelis Umum PBB tahun 1974 tentang Charter of Economic Rights and Duties of States dan sebagainya.87
2.6
Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan lingkungan Hak dan kewajiban negara atas lingkungan ini terkait dengan prinsip-prinsip hukum internasional lingkungan, yakni : 88 a. Negara mempunyai hak kedaulatan untuk mengeksploitasi sumbersumbernya sendiri sesuai dengan kebijakan lingkungannya;
86 87 88
Ibid. hal. 42-43. Ibid. Hal. 43. Ibid. Hal. 47.
b. Negara bertanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dalam wilayah yurisdiksinya atau pengawasannya tidak menyebabkan kerugian bagi lingkungan negara lain atau lingkungan di luar batas yurisdiksinya. c. Negara berkewajiban untuk bekerja sama mengembangkan lebih lanjut hukum internasional kaitannya di bidang lingkungan. 2.7
Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan yurisdiksi negara Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara dan prinsip tidak campur tangan suatu negara terhadap urusan domestik negara lain. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum “par in parem non habet imperium”, artinya para pihak (negara) yang sama kedudukannya tidak mempunyai yurisdiksi terhadap pihak lainnya (equals do not have jurisdiction over each other).89 Menurut Sugeng Istanto, yurisdiksi adalah kekuasaan, hak atau wewenang untuk menetapkan hukum. Masalah yurisdiksi negara timbul akibat adanya masyarakat internasional dimana masing-masing negara merupakan anggota yang berdaulat dan di samping itu hubungan-hubungan kehidupan yang berlaku dalam masyarakat internasional tersebut terkadang melampaui batas-batas suatu negara. Ada dua azas yang digunakan untuk mengatur atau melandasi masalah yurisdiksi ini yaitu : 90 a. Azas Teritorial.
89 90
Huala Adolf, op. cit. hal 183. F. Sugeng Istanto, op. cit. hal. 47-48.
Azas ini menetapkan bahwa yurisdiksi negara berlaku bagi orang, perbuatan, dan benda yang ada di wilayahnya. b. Azas Teritorial yang diperluas. Azas ini memperluas yurisdiksi negara berdasarkan atas perluasan teknik, kewarganegaraan, prinsip proteksi, dan prinsip universal. Yurisdiksi teritorial dapat diperluas dengan berdasarkan perluasan teknik, kewarganegaraan, prinsip proteksi dan prinsip universal. Masingmasing perluasan itu adalah sebagai berikut:91
1. Perluasan teknik Perluasan teknik yurisdiksi teritorial terjadi karena perbuatan hukum, khususnya perbuatan pidana dan dirumuskan dengan menetapkan unsur-unsur perbuatan tersebut, di mana sebagian unsur tersebut mungkin terjadi di suatu negara dan sebagian lain terjadi di negara lain. Dalam hal demikian negara tidak dapat mengadili perbuatan tersebut mengingat tidak semua unsur perbuatan itu terjadi di wilayahnya. Untuk mengadili perbuatan tersebut beberapa negara menggunakan prinsipprinsip sebagai berikut: 92 a. Prinsip teritorial subjektif Prinsip teritorial subjektif membenarkan negara melakukan yurisdiksi atas perbuatan yang mulai dilakukan di wilayahnya tetapi
91 92
Ibid. Hal. 48 Ibid. Hal. 48-49.
berakhir atau menimbulkan akibat di wilayah negara lain. Prinsip ini diterapkan dalam beberapa konvensi internasional seperti misalnya Konvensi Jenewa tahun 1929 tentang penumpasan pemalsuan uang dan Konvensi Jenewa tahun 1936 tentang penumpasan perdagangan obat-obatan yang terlarang. b. Prinsip teritorial objektif Prinsip
teritorial
objektif
membenarkan
negara
melakukan
yurisdiksi atas perbuatan yang mulai dilakukan di negara lain tetapi berakhir atau menimbulkan akibat di wilayahnya. Misalnya seseorang menembakkan senapan dari seberang perbatasan negara dan mengakibatkan terbunuhnya penduduk di wilayahnya. Prinsip ini selain berlaku juga pada kedua konvensi tersebut di atas juga diterapkan oleh Mahkamah Internasional dalam kasus Lotus. Kecuali dapat diperluas, yurisdiksi teritorial suatu negara juga dapat dipersempit, karena sampai taraf tertentu, berlakunya yurisdiksi itu dikecualikan bagi pihak-pihak tertentu yaitu: 93 a. Negara Asing dan Kepala Negara Asing; b. Perwakilan Diplomatik Asing dan Konsul; c. Kapal Publik Negara Asing; d. Angkatan Bersenjata Asing; serta e. Lembaga Internasional. 2. Perluasan berdasarkan kewarganegaraan
93
Ibid. hal 52.
Perluasan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan terjadi karena suatu perbuatan hukum khususnya perbuatan hukum pidana yang dilakukan oleh warganegara suatu negara dan membawa akibat kepada warganegara suatu negara pula. Perluasan yurisdiksi teritorial berdasarkan kewarganegaraan dapat terjadi berdasarkan dua prinsip yaitu: 94
a. Prinsip kewarganegaraan aktif Prinsip
kewarganegaraan
aktif
menetapkan
yurisdiksi
atas
warganegaranya yang melakukan pelanggaran hukum di wilayah negaranya atau di wilayah negara lain. b. Prinsip kewarganegaraan pasif Prinsip kewarganegaraan pasif menetapkan yurisdiksi negara atas orang yang melakukan pelanggaran hukum, yang dilakukan di wilayah negara lain yang akibatnya menimpa warganegaranya. 3. Perluasan berdasarkan prinsip proteksi Berdasarkan prinsip ini suatu negara dapat melakukan yurisdiksi atas perbuatan pidana yang melanggar keamanan dan integritas atau kepentingan vital ekonominya yang dilakukan di luar negeri.95 4. Perluasan berdasarkan prinsip universal Berdasarkan prinsip universal suatu negara dapat melakukan yurisdiksi atas perbuatan pidana yang melanggar kepentingan masyarakat
94 95
Ibid. hal 49-50. Ibid. hal 50.
internasional. Perbuatan ini disebut kejahatan internasional. Semua negara berhak untuk menangkap dan menghukum pelaku kejahatan itu. Tujuan adanya yurisdiksi universal adalah untuk menjamin agar kejahatan itu tidak lepas dari hukuman. Kejahatan internasional yang umum diakui adalah kejahatan bajak laut jure gentium dan penjahat perang.96
C. Perang Menurut Hukum Internasional 1. Pengertian Perang Berkaitan dengan penerapan doktrin pre-emptive strike ini adalah penggunaan kekuatan bersenjata atau perang untuk melakukan pertahanan diri (self defense) dengan cara menyerang lebih dahulu. Pengertian perang menurut Sugeng Istanto adalah, pertikaian bersenjata yang memenuhi
persyaratan
tertentu, dimana pihak-pihak yang bertikai adalah negara dan pertikaian bersenjata itu disertai pernyataan perang.97 Sedang menurut F. E. Thanos, perang adalah perbuatan suatu negara terhadap negara lain untuk mendapatkan keadilan bagi diri sendiri dengan menggunakan senjata. Ia bertindak sebagai hakim sendiri (eigen rechter) dan mengambil sikap kekerasan. Jadi perang adalah suatu alat hukum untuk mencapai suatu tujuan.98 Menurut G. P. H. Djatikoesoemo, perang adalah keadaan legal yang memungkinkan dua atau lebih dari dua gerombolan manusia yang sederajat
96 97 98
Ibid. hal 51. Ibid. hal. 104. F. E. Thanos, Hukum Perang, Penerbit Pembimbing, Jakarta, 1954. Hal. 6.
menurut hukum internasional untuk menjalankan persengketaan bersenjata.99 Oppenheim berpendapat, war is a contention between two or more States through their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing such condition of peace as the victor pleases.100 Pendapat Oppenheim ini dapat diartikan bahwa peperangan adalah suatu sengketa antara dua atau lebih negara melalui angkatan bersenjata mereka, untuk kepentingan menaklukkan satu sama lain. Pendapat Oppenheim ini sesuai dengan doktrin Rousseau dalam Contract Sosial, di mana pada tahun 1801 di muka Prizecourt di Prancis mengemukakan bahwa perang adalah hubungan antara negara-negara, bukan individu, jadi orangorang menjadi musuh apabila mereka adalah prajurit. Doktin ini sejak akhir abad ke-19 diterima di seluruh benua Eropa, hanya Inggris dan Amerika yang tidak suka menerimanya dan mempertahankan pendirian dimana dengan adanya keadaan perang antara dua negara itu maka keadaan tadi juga berlaku bagi warga negaranya.101 Dari beberapa pengertian perang di atas terdapat pula pendapat tentang konsep perang yang adil (just war theory). Dalam just war theory ini dibahas konsep spesifik bagaimana suatu negara dibenarkan menggunakan kekuatan bersenjata. Menurut teori ini suatu peperangan harus memenuhi kriteria tertentu atau adanya sebab (just cause), dalam hal ini ada dua macam kekuatan bersenjata boleh digunakan yaitu untuk menghadapi kejahatan publik, dan untuk membela diri.102 99
G. P. H. Djatikoesoemo, Hukum Internasional Bagian Perang, Penerbit N. V. Pemandangan, Jakarta, 1956. Hal 1. 100 Ibid. Hal 1. 101 Ibid. hal 3. 102 Just War, http://en.wikipedia.org/wiki/Just_War, diakses tanggal 13 November 2006.
St Augustine menggolongkan just cause ke dalam tiga unsur-unsur yang membenarkan peperangan, yaitu: 103 1. melindungi terhadap suatu serangan dari luar (defending against an external attack); 2. mengambil kembali hak-hak yang telah terampas (recapturing things taken); dan 3. menghukum orang-orang atau siapa yang sudah berbuat jahat (punishing people who have done wrong). Sedangkan Grotius menyebutkan enam syarat dari perang yang adil (Just War), yaitu: 104 1. Just Cause (alasan pembenar) Yang dimaksud just cause adalah bahwa negara yang berniat menggunakan senjata harus dapat menunjukkan bahwa telah ada suatu kerugian yang diderita (after an injury has been received). Menurut Grotius yang dapat digolongkan “just war” adalah perang yang dilaksanakan untuk : a. Membela diri b. Untuk memberikan hukuman kepada yang telah melakukan pelanggaran Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ‘war’merupakan suatu ‘legal remedy’. Dan hanya boleh dilakukan sebagai balasan terhadap suatu ketidakadilan yang serius saja, dan apabila semua jalan atau upaya penyelesaian secara damai telah gagal. 2. Proporsionality (keseimbangan) Menurut Grotius ‘proporsionality’ adalah adanya jaminan bahwa ‘kebaikan’ yang menjadi tujuan perang itu seimbang dengan kerugian yang ditimbulkan oleh perang itu. Pemenuhan syarat ‘proporsionality’ tidak hanya cukup dengan konsekuensi perang bagi rakyatnya sendiri saja, tetapi harus memperhatikan juga akibat perang bagi masyarakat dunia pada umumnya. Yang harus mendapatkan perhatian adalah tujuan politis dari perang tersebut, apakah seimbang dengan biaya perang itu. Perubahan tujuan politis perang dapat mengubah asas proporsionality tersebut. 3. Reasonable Chance of Succes (harapan untuk berhasil) Dinyatakan bahwa : Grotius reject the “give me liberty or give death” on the ground that “life is of greater value than liberty”. This view constitutes not a rejection of fighting for freedom, but a rejection of futile or suicidal resistence. This condition also has important implications for timing of a nation’s surrender. (Grotius menolak pernyataan “berikan kebebasan atau berikan kematian” sebagai dasar bahwa “hidup adalah lebih berharga dibanding kebebasan”). 103
Ibid. Haryomataram, Hukum Humaniter Trimatra, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, 2003. hal. 37-42. 104
Pandangan ini tidak membentuk suatu penolakan atas perjuangan demi kebebasan, tetapi merupakan penolakan bertahan dengan sia-sia atau bunuh diri. Ini adalah kondisi yang juga mempunyai implikasi penting untuk pemilihan waktu yang tepat bagi suatu bangsa untuk menyerah). 4. Declaration of War (Publicly Declared) (yaitu pernyataan perang yang dinyatakan kepada umum) Ada dua tujuan yang hendak dicapai dengan declaration of war ini, yaitu :105 a. Provides the offending party the opportunity to offer redress in lieu of violence. (Penyediaan bagi pihak yang menyerang kesempatan untuk menawarkan mengganti kerugian sebagai pengganti kekerasan). b. Nations must conduct war in manner that establishes with certainly that war is not being wages by private initiative but will of each of the two peoples or their lawful heads. (Negara-negara harus melakukan peperangan dengan suatu cara yang ditetapkan dengan kepastian bahwa perang tidak dilaksanakan atas prakarsa pribadi tapi oleh kehendak dari dua bangsa menurut pimpinan mereka yang sah). 5. Legitimate Authority (kekuasaan yang sah) Yang dimaksud dengan kekuasaan yang sah adalah “the duty constituted ruler who speak with the authority of the populace and who does not have resource to higher suthority for arbitration”. (pembuat peraturan yang menentukan tugas atau yang berwenang berbicara atas nama kekuasaan rakyat dan yang tidak mempunyai sumber ke kewenangan atau kekuasaan pada penguasa tertinggi atas arbitrasi). Perlu ditegaskan bahwa yang tidak digolongkan dalam ‘legitimate authority’ di antaranya adalah pejabat tinggi walau tugasnya atau kedudukannya ada hubungannya dengan Angkatan Perang (di Amerika Serikat ‘legitimate authority’ tersebut adalah Congress, namun demikian sering terjadi bahwa penggunaan kekuatan bersenjata hanya diputuskan oleh Presiden saja). 6. As a Last Reason (sebagai alasan terakhir) Yang dimaksud dengan alasan terakhir di sini adalah bahwa perang baru boleh dinyatakan apabila semua jalan damai untuk menyelesaikan perselisihan telah ditempuh tapi tanpa hasil. 2. Pengaturan Sengketa Bersenjata Menurut Hukum Internasional Istilah hukum perang seiring perkembangan jaman berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict) yang kemudian lebih dikenal dengan hukum humaniter internasional (international humanitarian law applicable in armed conflict).106 105
Ibid. Arlina Permatasari, Pengantar Hukum Humaniter, International Committe Of The Red Cross, Jakarta, 1999. hal 5. 106
Menurut Sugeng Istanto, pengaturan pertikaian bersenjata menurut hukum internasional berdasarkan materinya dibagi menjadi tiga bagian yaitu:107 1.
Ius ad bellum; hukum yang mengatur hak negara untuk berperang (bellum justum) dan permulaan perang.
2.
Ius in bello; hukum yang berlaku dalam perang, dan
3.
Hukum yang mengatur akhir dari pertikaian bersenjata.
Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan pokok, yaitu: 108 1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai dalam berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws). 2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Geneva Laws). Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut: 109 1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata. 2. Jus in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi dua yaitu : a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws. b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang, ini lazimnya disebut The Geneva Laws.
107 108 109
F. Sugeng Istanto, op. cit. hal. 105. Arlina Permatasari, op. cit. hal 6. Ibid.
Pengaturan sengketa bersenjata menurut hukum internasional sendiri terdiri dari Hukum Den Haag (hukum yang mengatur cara dan alat yang digunakan dalam berperang) dan Hukum Jenewa (hukum yang mengatur perlindungan orang yang menderita akibat sengketa atau pertikaian bersenjata, maupun objek yang secara tidak langsung mendukung usaha militer). Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum yang utama dalam hukum humaniter internasional.110 2.1
Hukum Den Haag Membicarakan Hukum Den Haag berarti merujuk pada hasil konvensi Den Haag 1899 (Konvensi Perdamaian I) dan Konvensi Den Haag 1907 (Konvensi Perdamaian II). Konvensi Den Haag 1899 menghasilkan tiga buah konvensi dan tiga deklarasi. Adapun tiga konvensi yang dihasilkan adalah: 111 1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional. 2. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. 3. Konvensi III tentang Adaptasi Azas-azas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang hukum perang di laut. Sedang tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: 112 1. Melarang penggunaan peluru dum-dum (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia). 2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, selama jangka lima tahun yang terakhir di tahun 1905 juga dilarang. 3. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang.
110 111 112
Ibid. hal 21-22. Ibid. hal 23. Ibid.
Konvensi Den Haag 1907 menghasilkan
sejumlah konvensi sebagai
berikut : 113 1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional 2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata Dalam Menuntut Pembayaran Hutang yang Berasal dari Perjanjian Perdata. 3. Konvensi III tentang Cara Memulai Permusuhan. 4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat Dilengkapi dengan Peraturan Den Haag. 5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat. 6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh Pada Saat Permulaan Perang. 7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang. 8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut. 9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang. 10. Konvensi X tentang Adaptasi Azas-Azas Konvensi Jenewa Tentang Perang di Laut. 11. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut. 12. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-Barang Sitaan. 13. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. Meskipun dalam Konvensi Den Haag 1907 ini terdapat banyak konvensi namun ada beberapa konvensi yang penting. Diantaranya adalah :114 1. Konvensi III Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Permusuhan. Konvensi III Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Permusuhan yang judul lengkapnya adalah Convention relative of the Opening of Hostilities, menjelaskan bahwa perang dalam arti hukum adalah apabila perang tersebut dimulai dengan cara yang dituangkan dalam konvensi ini. Pasal 1 dalam konvensi ini mengatakan : 115
113 114 115
Ibid. hal 24. Ibid. hal 25. Ibid. hal 26.
The Contracting Powers recognize that hostilities between them must not commence without a previous and unequivocal warning, which shall take the form either of a declaration war, giving reason or an ultimatum with a conditional declaration of war . Adapun yang dimaksud bahwa, “Para pihak yang berkuasa mengakui bahwa permusuhan antara mereka tidak boleh dimulai tanpa suatu peringatan yang tegas sebelumnya, yang mana akan membentuk baik dengan suatu pernyataan perang, memberi alasan, maupun suatu ultimatum dengan deklarasi perang bersyarat”. Berdasarkan pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perang antara para pihak tidak akan dimulai tanpa adanya: 116 a. Pernyataan perang yang disertai alasan, atau b. Dengan suatu ultimatum, apabila ultimatum itu tidak dipenuhi maka dengan sendirinya hal ini sebagai pernyataan perang. 2. Konvensi IV Den Haag 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, judul lengkapnya adalah Convention Respecting to the Laws and Custom of War on Land. Konvensi ini terdiri atas sembilan pasal dilengkapi dengan lampiran yang disebut Hague Regulations. Bagian yang terpenting dari konvensi ini adalah Pasal 2 yang menyebutkan bahwa konvensi hanya berlaku apabila kedua belah pihak yang bertikai adalah pihak dalam konvensi. Apabila salah satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi ini tidak berlaku. Pasal ini lazim disebut dengan Klausula Si Omnes.117 3. Konvensi V Den Haag 1907 tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat. 116 117
Ibid. Ibid. hal 27.
Konvensi ini berjudul Convention Respecting the Rights and Duties of Neutral Power and Persons in Case of War on Land. Dengan melihat judul tersebut maka harus dibedakan antara negara netral dan orang netral. 118 Negara netral adalah suatu negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam suatu peperangan, sedangkan orang netral adalah warga negara dari suatu negara yang tidak terlibat dalam peperangan.119 4. Konvensi XIII Den Haag 1907 tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. Konvensi ini berjudul Neutral Rights and Duties in Maritime War. Sebagaimana halnya dengan Konvensi Den Haag V, maka Konvensi XIII ini menegaskan bahwa kedaulatan negara netral tidak hanya berlaku di wilayah teritorialnya (wilayah darat) saja, namun juga berlaku di wilayah perairan negara netral. 2.2
Hukum Jenewa Hukum Jenewa mengatur mengenai perlindungan korban perang, terdiri atas beberapa perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi Jenewa 1949, yang masing-masing adalah : 120 I. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field (Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat); II. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces at Sea (Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Karam);
118 119 120
Ibid. hal 28. Ibid. hal 29. Ibid. hal 32.
III. Geneva Convention relatives to the Treatment of Prisoners of War (Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang); IV. Geneva Convention relatives to the Protection of the Civilians Persons in Time of War (Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang). Keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977 ditambah lagi dengan dua Protokol Tambahan 1977, yaitu : 121 1. Additional Protocol to the Geneva Convention of 12 August 1949, And Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict (Protocol I); dan 2. Additional Protocol to the Geneva Convention of 12 August 1949, And Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict (Protocol II). Protokol Tambahan ini menyempurnakan isi dari Konvensi Jenewa 1949. Penekanan di sini adalah bahwa prinsip yang terdapat dalam Konvensi Jenewa masih tetap berlaku. Lebih jauh mengenai Protokol Tambahan 1977 ini seperti diterangkan di atas bahwa protokol ini terdiri atas dua buku yaitu : 122 1. Protokol I, yang mengatur perang/konflik bersenjata yang bersifat internasional yaitu perang/konflik bersenjata antarnegara. 2.. Protokol II, mengatur perang/konflik bersenjata yang bersifat noninternasional, yaitu perang/konflik bersenjata yang terjadi di wilayah salah satu pihak peserta agung antara pasukannya dengan pasukan pembangkang atau pemberontak. Protokol Tambahan II ini menambah isi/ruang lingkup Pasal 3 Konvensi Jenewa. Dalam Konvensi Jenewa ini beberapa pasal di antaranya dianggap penting dan mendasar sehingga perlu dicantumkan dalam setiap konvensi, baik 121 122
51.
Ibid. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. hal. 49-
diletakkan dalam nomor pasal yang sama maupun dirumuskan dengan redaksi atau isi yang sama atau hampir sama. Pasal-pasal ini lazim disebut sebagai ketentuan-ketentuan yang umum atau common articles. Ketentuan-ketentuan umum ini adalah ketentuan mengenai : 123 1. Ketentuan mengenai penghormatan terhadap Konvensi (Pasal 1); 2. Ketentuan tentang berlakunya konvensi (Pasal 2); 3. Ketentuan tentang sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional (Pasal 3); dan 4. Ketentuan yang mengatur tentang Negara Pelindung/Protecting Power (Pasal 8-10).
BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsep legal positif. Konsep ini memandang hukum sebagai norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan konsep yang melihat hukum sebagai sistem normatif yang otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan dan mengabaikan norma lain selain norma hukum.124 2. Spesifikasi Penelitian
123
Arlina Permatasari, op. cit. hal 33. Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Juri Metri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. hal. 14. 124
Spesifikasi penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau gejala dari obyek yang diteliti tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.125 3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian menunjukkan tempat di mana penelitian itu dilakukan, baik merupakan studi pustaka atau di lapangan atau survei. Lokasi penelitian terkait erat dengan metode penelitian yang dipilih oleh seorang peneliti. Perbedaan lokasi penelitian juga secara otomatis menghasilkan proses penelitian yang berbeda pula.126
Adapun penelitian studi pustaka yang penulis lakukan berlokasi di: 1.
Kantor CSIS (Centre for Strategic and International Studies), Jl. Tanah Abang III No. 23 – 27, Jakarta 10160.
2.
Kantor Delegasi ICRC (International Committe of the Red Cross) Indonesia, Jl. Iskandarsyah I No.14 – Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12160.
3.
Kantor Departemen Luar Negeri Indonesia, Jalan Pejambon No. 6 Jakarta Pusat 10110, Indonesia.
4.
Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat (Public Affairs Section, Information Resource Center) di Indonesia, Jl. Medan Merdeka Selatan, No. 3 - 5, Jakarta 10110, Indonesia.
5.
Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
6.
Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
125
Soerjono Soekanto, Pengantar Hukum Normatif, UI Press, Jakarta, 1984. hal. 10. Trusto Subekti, Diskusi Metodologi Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2003. hal. 15-16. 126
4. Sumber Data a. Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber yang pertama, yaitu data yang secara langsung diperoleh dari objek penelitian berupa keterangan-keterangan hasil wawancara langsung dengan responden atau sumber. Dalam penelitian ini data primer hanya sebagai pendukung data sekunder saja,.127
b. Data Sekunder Data sekunder adalah data pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan sebagainya yang terhadap data tersebut, peneliti tidak tergantung dari ruang lingkup dan tujuan penelitian yang dilakukan.128 5. Metode Pengumpulan Data a. Data Primer Data yang diperoleh dengan cara melakukan wawancara dengan staf kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat, staf ICRC (International Committe of the Red Cross) dan dosen maupun alumni yang mengerti mengenai permasalahan yang diteliti. b. Data Sekunder Data diperoleh dengan cara inventarisasi dan mempelajari buku-buku kepustakaan dan peraturan perundang-undangan yang ada relevansinya dengan permasalahan, yang dikumpulkan dengan melakukan studi pustaka di
127 128
Soerjono Soekanto, op. cit. hal. 66 Ibid
Perpustakaan Kedutaan Besar Amerika Serikat (Public Affairs Section, Information Resource Center), Perpustakaan CSIS (Centre for Strategic and International Studies), Perpustakaan Departemen Luar Negeri Indonesia, Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang selanjutnya dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh.
6. Metode Penyajian Data Metode penyajian data dalam penyusunan penelitian ini disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis. Setelah sebelumnya dilakukan pengolahan, analisa dan konstruksi data, yakni data sekunder yang diperoleh dilakukan sinkronisasi antara data yang satu dengan data lainnya dan data primer diuraikan berdasarkan pengumpulan data, sehingga tersusun sebagai satu kesatuan yang utuh. 7. Analisis Data Analisa data merupakan salah satu tahapan atau proses penelitian yang dilakukan setelah seorang peneliti mendapatkan data untuk menjawab permasalahan sehingga peneliti bisa mendapatkan kesimpulan dari hasil penelitiannya. Data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan penulis dianalisa dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu metode penelitian yang membatasi permasalahan serta mencari fakta untuk melukiskan peristiwa tanpa bermaksud mengambil
kesimpulan secara umum. Dengan kata lain metode kualitatif bertujuan mendapatkan kebenaran dan juga memahami kebenaran tersebut.129
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pernyataan perang terhadap terorisme Internasional menjadi berlebihan ketika Osama bin Laden dan gerakan fundamentalisme Islam lainnya menjadi sasaran fitnah. Ancaman tindakan balasan ke Afghanistan oleh Amerika sebagai bentuk tindakan balas dendam akan dilakukan jika pemerintah Taliban yang memerintah Afghanistan tidak mau menyerahkan tersangka dalam kasus terorisme. Ancaman ini jelas-jelas bertentangan dengan asas hukum presumption of innosence (praduga tidak bersalah). Hal ini terkait dengan penerapan doktrin pre-emptive strike oleh Amerika
129
Ibid. hal. 250.
Serikat sebagai salah satu negara adikuasa yang menyatakan perang terhadap segala bentuk ancaman yang akan datang dan membahayakan keamanan negaranya. 130 Maraknya ancaman teror termasuk peristiwa robohnya gedung WTC dan Pentagon di Amerika Serikat menarik untuk dikaji dari segi hukum internasional. Sebab, aksi terorisme di samping melanggar ketentuan hukum internasional dan juga moralitas masyarakat beradab, di sisi lain dipertanyakan juga komitmen Amerika Serikat terhadap hukum internasional. Seberapa jauh peran pemerintah Amerika Serikat untuk mengintervensi secara dominan peranan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik internasional, khususnya berkaitan dengan tindakan pembalasan dan pencegahan melalui doktrin pre-emptive strike yang tertuang dalam Dokumen Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat (The National Security Strategy of the United States of America).131 Melalui doktrin pre-emptive strike ini maka pada tanggal 7 Oktober 2001, Presiden Amerika Serikat George W Bush di depan kongres menyatakan perang terhadap rezim Taliban di Afghanistan yang menolak menyerahkan tersangka aksi terorisme sekaligus pimpinan Al-Qaeda Osama bin Laden. Serangan ini bernama Operation Enduring Freedom-Afghanistan (OEF-A), bertujuan untuk menghancurkan pusat pelatihan teroris, menangkap para pemimpin Al-Qaeda dan menghentikan atau mencegah aktivitas terorisme di Afghanistan. Sebelumnya pada 20 September 2001, Amerika Serikat mengeluarkan lima ultimatum pada Taliban yaitu:132 1. Serahkan semua pimpinan Al-Qaeda ke Amerika Serikat. 2. Bebaskan semua tahanan asing. 130
Jawahir Thontowi , Hukum Internasional di Indonesia, Madyan Press, Yogyakarta, 2002, hal. 118. Ibid. 132 Operation Enduring Freedom,http://en.wikipedia.org/wiki/Operation_Enduring_Freedom, diakses tanggal 30 Juli 2006. 131
3. Segera tutup semua tempat pelatihan teroris. 4. Serahkan semua teroris dan pendukungnya pada kekuasaan yang berwenang menghukumnya. 5. Berikan izin dan kebebasan pada Amerika Serikat untuk memeriksa tempat pelatihan teroris. Selain serangan ke Afghanistan, Amerika Serikat juga melancarkan serangannya ke sejumlah negara sponsor atau negara yang dicurigai sebagai tempat persembunyian teroris antara lain di:133 1. Filipina (Operation Enduring Freedom - Philippines), untuk menumpas Abu Sayyaf Group (ASG) Al Harakat Al Islamiyya; 2. Indonesia, Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand Selatan dan Filipina, untuk menumpas Jemaah Islamiyah; 3. Djibouti, Kenya, Ethiopia, Chad, Niger, Mauritania dan Mali, Operation Enduring Freedom - Horn of Africa (OEF-HOA) untuk menumpas kejahatan trans-Sahara dan melatih tentara pemerintah mengatasi terorisme (counter terrorism); 4. Kemudian yang terakhir adalah Iraq pada tahun 2003, invasi ke Iraq didasari pertimbangan bahwa:134 a. Pemerintah Iraq telah gagal untuk membuktikan tempat menyembunyikan senjata pemusnah massal, yaitu: senjata biologi, bahan kimia, dan program rahasia untuk menghasilkan senjata nuklir;
133
Ibid. Iraq Disarmament Crisis, http://en.wikipedia.org/wiki/Iraq_disarmament_crisis, diakses tanggal 30 Juli 2006. 134
b. Pemerintah Iraq telah mendukung operasi teroris dan kelompok milisi teroris, serta kemungkinan menyediakan senjata pembinasaan pemusnah massal di masa depan. c. Pemerintah Iraq dan pemimpinnya, Saddam Hussein, adalah anti-demokrasi dan melanggar hak azasi manusia serta melakukan kejahatan genosida.
Mansyur Effendi menyatakan, Grand Strategy AS yang dianggap over protektif dengan menciptakan doktrin pre-emptive strike, serang lebih dahulu sasaran yang diduga membahayakan keamanan nasionalnya sangat gawat. Mestinya AS dapat bertindak lebih arif, dialog dan dialog terus dengan mengubah wajah politik luar negerinya
menjadi
lebih
moderat.
Langkah
unilateral/sepihak
AS
sering
menjengkelkan negara lain, malah membahayakan warga sipil AS sendiri.135 Di sisi lain tindakan Amerika Serikat menyerang Afghanistan dan Irak yang merupakan ancaman terhadap negerinya dianggap sebagai tindakan invasi terhadap kedaulatan kedua negara tersebut, meskipun hal ini dikarenakan Amerika Serikat berupaya melindungi atau membela diri terhadap ancaman yang akan datang hal ini bertentangan dengan Pasal 2 (4)
Piagam PBB mengenai larangan penggunaan
kekerasan, yang berbunyi: All member shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any manner inconsistent with the purpose of the United Nations.136
135
Mansyur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal. 208. 136 Chairul Anwar, op. cit. hal. 155.
Adapun kunci mengenai larangan penggunaan kekerasan dalam Piagam PBB Pasal 2 (4) yang berisi: Segenap anggota PBB dalam hubungan internasional harus menghindarkan dirinya dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap keutuhan wilayahnya atau hak kemerdekaan suatu negara atau dengan cara apa pun yang bertentangan dengan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.137 Tindakan Amerika Serikat ini dapat diklasifikasikan ke dalam pengertian invasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Joseph S. Nye, Jr: Defining interventionin its broadest definition, intervention refers to external actions that influence the domestic affairs of another sovereign state. some analist use the term more narrowly to refer to forcible interference in the domestic affairs of another state.138 Adapun yang dimaksud dari pernyataan tersebut adalah: Definisi paling luas dari intervensi, yaitu intervensi mengacu pada tindakan eksternal yang mempengaruhi urusan dalam negeri dari negara berdaulat yang lain. Beberapa analis menggunakan istilah intervensi dalam pengertian yang lebih sempit untuk mengacu pada gangguan atau campur tangan secara paksa dengan kekerasan di dalam urusan dalam negeri dari negara lain. Amerika Serikat sendiri mengemukakan alasan justifikasi invasi ke Afghanistan dan Irak yang pertama adalah the right of self-defense (hak untuk membela diri) dan yang kedua adalah humanitarian intervention (intervensi untuk tujuan kemanusiaan). Dengan tafsirannya sendiri atas kedua dalil hukum
137
Rika Ratna Permata, Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Pelanggaran Piagam PBB Oleh Invasi Amerika Serikat Ke Irak, Journal Of International Law UNPAD, Vol 2 No. 2 – Agustus 2003. hal 155. 138 Joseph S. Nye, Jr, Understanding International Conflict, Harper Collins College Publisher, New York, 1993. hal. 132.
internasional tersebut Amerika kemudian berpendapat bahwa perang tersebut sah menurut hukum internasional.139 Penggunaan doktrin pre-emptive strike yang mulai banyak dipakai oleh negara-negara di dunia pascaserangan terorisme menimbulkan banyak perubahan. Perubahan ini terutama adalah mengenai hak untuk membela diri dan mengenai intervensi kemanusiaan, di mana sejak Amerika Serikat menerapkan doktrin ini terjadi banyak pemahaman mengenai kedua hal tersebut. Hak untuk membela diri (the right of self-defence), diakui oleh PBB di mana menurut Pasal 51 Piagam PBB negara anggota memiliki inherent right (hak yang melekat), baik secara individu maupun kolektif untuk membela diri apabila terjadi serangan bersenjata terhadap negaranya. Pasal tersebut memberikan jaminan mengenai eksistensi hak tersebut, hal ini mengandung arti bahwa implementasi dari hak tersebut harus sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh piagam PBB.140 Pasal 51 Piagam PBB sendiri berbunyi sebagai berikut: Nothing in the present chapter shall impair the inherent of individual or collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of United Nations, until the Security Council has taken the measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self defence shall be immidiately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security. Dari ketentuan Pasal 51 Piagam PBB ini dapat diambil kesimpulan bahwa PBB mengijinkan penggunaan kekuatan bersenjata dalam rangka membela diri hanya apabila suatu negara benar-benar telah diserang (an armed attack occurs).141
139 140 141
Atip Latifulhayat, op. cit. hal 71. Ibid. hal 72. Ibid. hal 73.
Selanjutnya para pakar hukum internasional menambahkan syarat lainnya agar hak pembelan diri sah secara hukum yaitu : 142 1. Serangan balasan hanya ditujukan kepada angkatan bersenjata negara penyerang (the response is aimed at the armed attacker); 2. Serangan balasan dimaksudkan sebagai upaya untuk mencegah adanya serangan lanjutan (the response has the purpose of preventing future attack); 3. Serangan balasan bertujuan untuk melenyapkan ancaman dan harus proporsional di dalam pelaksanaannya (the response is necessary to remove the threat and is proportional in the circumstances). Selain terdapat dalam Pasal 51 Piagam PBB, ketentuan mengenai hak membela diri (self-defence) ini juga terdapat dalam San Remo Manual (San Remo Manual on International Law Applicable oo Armed Conflict at Sea 1994). Ketentuan mengenai hak bela diri ini ada dalam Part I General Provisions Section II Armed conflict and the law of self-defence San Remo Manual on International Law Applicable to Armed Conflict at Sea 1994, dimulai dari Pasal 3 sampai Pasal 6. Isi dari ketentuan ini adalah sebagai berikut : 1. Pasal 3 The exercise of the right of individual or collective self-defence recognized in Article 51 of the Charter of the United Nations is subject to the conditions and limitations laid down in the Charter, and a rising from general international law, including in particular
the principles of necessity and proportionality (hak
individu atau pembelaan diri kolektif sesuai dengan Artikel 51 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah tunduk pada syarat-syarat dan pembatasan 142
Ibid.
yang diatur dalam Piagam, dan ketentuan yang muncul dari hukum internasional umum, termasuk khususnya prinsip kepentingan dan keseimbangan); 2. Pasal 4 The principles of necessity and proportionality apply equally to armed conflict at the sea and require that the conduct of hostilities by a state should not exceed the degree and kind of force, not otherwise prohibited by law of armed conflict, required to repel an armed attack against it and to restore its security (prinsip kepentingan dan keseimbangan berlaku secara bersamaan untuk konflik bersenjata di laut dan mensyaratkan bahwa pihak atau negara yang bermusuhan tidak boleh berlebihan dalam tingkat maupun jenis kekerasan, jika tidak dilarang dalam hukum sengketa bersenjata, maka para pihak diperbolehkan untuk memukul
mundur
serangan
bersenjata
yang
melawannya
serta
untuk
mempertahankan kembali keamanannya); 3. Pasal 5 How far a State justified in its military actions against the enemy will depend upon intensity and scale of the armed attack for which the enemy is responsible and gravity of the threat posed (seberapa jauh suatu negara dibenarkan dalam tindakan militernya melawan musuh akan bergantung pada intensitas dan skala serangan bersenjata di mana musuh bertanggung jawab atas semua serangannya itu dan berat ancaman yang dihadapi); 4. Pasal 6 The rules set out in this document and any other rules of international humanitarian law shall apply equality to all parties to the conflict. The equal
application of this rules to all parties to the conflict shall not affected by the international responsibility that may have been incurred by any them for the outbreak of the conflict (aturan yang tercantum dalam dokumen ini dan dalam peraturan lain tentang hukum humaniter internasional akan berlaku sama bagi semua para pihak yang bersengketa. Penerapan yang sama atas aturan ini bagi semua pihak yang bersengketa tidak boleh dipengaruhi oleh tanggung jawab internasional yang mungkin dipikul oleh salah satu pihak karena memulai sengketa). Mengenai intervensi kemanusiaan sebenarnya hanya merupakan suatu kewajiban moral daripada tindakan hukum. Meskipun intervensi kemanusiaan ini mengandung banyak kontroversi, namun sebagian pakar hukum internasional mengajukan pendapat bahwa intervensi kemanusiaan ini tetap dapat dilakukan asal memenuhi persyaratan tertentu antara lain : 143 a. Intervensi kemanusiaan harus didasarkan atas alasan dan tujuan yang jelas yaitu untuk melindungi hak-hak azasi manusia; b. Harus dilakukan dengan azas proporsionalitas yang tidak berlebihan (the cure is not worse than illness); c. Harus didasarkan atas aturan yang jelas untuk menghindari terjadinya eksploitasi oleh suatu negara terhadap wilayah yang didudukinya. Akibat atau dampak yang timbul akibat penggunaan doktrin pre-emptive strike oleh negara ini antara lain juga munculnya tindakan sepihak dari negara (unilateral act) dalam melakukan hak bela diri dan intervensi terhadap suatu negara yang dianggap mengancam keamanannya. Jika mengacu pada persetujuan atau 143
Ibid. hal 83.
konvensi internasional, tindakan sepihak (unilateral act) bukanlah termasuk ke dalam sumber hukum internasional seperti yang tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional namun dalam prakteknya baik negara maupun para sarjana hukum menganggap keberadaannya adalah sah atau mengkategorikannya sebagai undang-undang.144 Sedangkan mengenai intervensi sendiri juga belum ada definisi bakunya. Hanya ada salah satu pegangan yang masih dikutip sampai saat ini, yaitu definisi yang diberikan oleh Lauterpacht. Menurutnya intervensi adalah campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi, atau barang di negeri tersebut.145 Menurut J.G. Starke, intervensi dapat digolongkan menjadi tiga bentuk, yaitu: 146
1. Intervensi Internal, misalnya negara A campur tangan diantara pihak-pihak yang bertikai di negara B yang mendukung pemerintahan negara tersebut atau pihak pemberontak. 2. Intervensi External, misalnya negara A campur tangan dengan mengadakan hubungan dengan negara lain, umumnya dalam keadaan bermusuhan. Misalnya ketika Italia melibatkan diri dalam Perang Dunia II dengan memihak Jerman dan memerangi Inggris. 3. Intervensi Punitive, intervensi seperti ini merupakan suatu tindakan pembalasan (a reprisal) melalui perang kecil sebagai pembalasan terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh negara lainnya. Sebagai contoh adalah blokade damai yang 144
Rudolf Bernhardt, Encyclopedia of Public International Law, Elsevier Science Publishers B.V, Netherland, 1984. hal 517. 145 Huala Adolf, op. cit. Hal 31. 146 Ibid. hal 33-34.
dilancarkan terhadap suatu negara sebagai balasan atas tindakan negara tersebut yang melanggar perjanjian. Contoh unilateral act dan intervensi sendiri dapat dilihat pada doktrin Monroe. Doktrin ini dikemukakan oleh Presiden Monroe (presiden Amerika Serikat ke 5) di depan Kongres tanggal 2 Desember 1823, doktrin ini merupakan ungkapan pengisolasian diri dan doktrin mengenai dua lapisan di mana diasumsikan bahwa ada dua negara berbeda yaitu negara baru dan negara lama yang keduanya berbeda secara ekonomi dan politik.147 Prinsip-prinsip penting yang ada dalam doktrin ini adalah : 148 1. Prinsip “nonkolonisasi”, yaitu bahwa Amerika Serikat berkepentingan
untuk
menjamin bahwa tidak ada satu bagian pun dari benua Amerika yang bersifat terra nullius (tidak ada yang memiliki) dan menjadi wilayah kolonisasi negara Eropa. 2. Prinsip “nonintervensi” yang pada pokoknya menetapkan bahwa setiap negara asing yang memperluas sistem politiknya ke benua Amerika merupakan ancaman bahaya terhadap perdamaian dan keamanan Amerika. Doktrin ini merupakan
pesan dari Presiden Monroe soal ancaman pendudukan
Alaska oleh Uni Soviet dan ancaman intervensi Holly Alliance (Aliansi Suci) terhadap Amerika. Deklarasi Monroe ini adalah suatu pernyataan kebijakan asing sepihak Amerika Serikat untuk berhadap-hadapan dengan negara-negara Eropa, yang dikeluarkan tanpa pertemuan dengan negara lain dan tanpa berkonsultasi dengan negara-negara baru di benua Amerika.149 147 148 149
Rudolf Bernhardt, op. cit. hal.339 Huala Adolf, op. cit. hal 40-42. Rudolf Bernhardt, op. cit. hal 340.
Doktrin ini kemudian digunakan untuk menetapkan kebijakan luar negeri yang bersifat sepihak dan mengintervensi kedaulatan negara lain. Misalnya: tahun 1870 Presiden Grant menyatakan bahwa negara-negara Eropa tidak dapat memperoleh bagian mana pun dari wilayah Amerika meskipun penduduknya menghendakinya. Sampai yang paling terkenal adalah ketika Presiden Kennedy mengemukakan doktrin ini sebagai alasan pembenar untuk menentang rencana Uni Soviet menggelar peluru kendalinya di Kuba dan sebagai alasan untuk mendaratkan pasukannya di Republik Dominika bulan April 1965 untuk melindungi warga Amerika Serikat dan memastikan agar tidak terbentuk suatu pemerintahan komunis di negara itu.150 Contoh dari penggunaan doktrin pre-emptive strike yang juga mengacu pada doktrin Monroe ini adalah invasi Amerika Serikat ke Irak di mana Amerika serikat juga melakukannya secara sepihak (unilateral act) tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB.151 Dari hal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa akibat penggunaan doktrin pre-emptive strike oleh negara ini bertentangan dengan prinsip nonintervensi yang secara tersirat terdapat dalam Piagam PBB, yaitu: 152 1. Pasal 1 (2) Piagam PBB yang berbunyi: To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measure to strenghten universal peace; 2. Pasal 2 (1) Piagam PBB yang berbunyi: The Organization is based on the principle of the sovereign equality of all its Members;
150 151 152
Huala Adolf, loc. cit. Rika Ratna Permata, op. cit. hal 152. Rudolf Bernhardt, op. cit. hal 359
3. Pasal 2 (4) Piagam PBB yang berbunyi: All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purpose of the United Nations; dan 4. Pasal 2 (7) Piagam PBB yang berbunyi: Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to interfere in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter VIII. Di samping itu akibat dari penggunan doktrin ini adalah penggunaan kekerasan (use of force) untuk mengatasi keadaan yang dirasa mengancam negara yang bersangkutan. Dalam hukum internasional diatur penggunaan kekerasan (use of force) dalam dua hal yaitu : 153 1. Penggunaan kekerasan yang dikenal dengan kekerasan sepihak (unilateral forces) di mana penggunaan kekerasan ini dilakukan oleh negara, individu atau kelompok yang bertindak atas inisiatifnya sendiri. Contohnya adalah invasi Amerika Serikat ke Irak tahun 2003 di mana Amerika Serikat tidak mendapatkan persetujuan dan dukungan dari seluruh anggota Dewan Keamanan PBB. 2. Penggunaan kekerasan yang digunakan oleh organisasi internasional PBB. Dikenal dengan penggunaan kekerasan bersama (collective use of force) yang timbul akibat keputusan bersama. Contohnya adalah ketika pada tahun 1950 PBB memberikan otoritas kepada Amerika Serikat untuk mengambil langkah-langkah untuk membantu Korea Selatan, juga pada tahun 1990 dalam invasi Irak ke 153
Rika Ratna Permata, op. cit. hal 155.
Kuwait PBB mengambil langkah untuk pengamanan di bawah pimpinan Amerika Serikat. Pada intinya penerapan doktrin ini oleh Amerika Serikat menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat internasional. Di satu sisi negara sebagai salah satu subjek hukum internasional mempunyai hak untuk mempertahankan diri. Hak ini juga diakui Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Piagam itu menetapkan hak negara anggota untuk mempertahankan diri terhadap serangan bersenjata yang terjadi kepadanya, namun di sisi lain negara juga mempunyai kewajiban tidak melakukan perang
atau
menggunakan
kekerasan
dalam
menyelesaikan
pertikaian
internasionalnya .154 Mengenai hak negara anggota untuk mempertahankan diri dari serangan bersenjata yang terjadi kepadanya tercantum secara tegas dalam Pasal 51 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut: Nothing in the present chapter shall impair the inherent of individual or collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of United Nations, until the Security Council has taken the measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self defence shall be immidiately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security. Sedangkan dalam Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB disebutkan bahwa dalam menyelesaikan pertikaian internasionalnya suatu negara harus menggunakan caracara damai. Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut: All Members shall settle their international disputes by peaceful means in such manner that international peace and security, and justice, are not endangered. 154
Sugeng Istanto, op. cit. hal. 30.
Pada Pasal Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB juga ditegaskan bahwa di dalam hubungan internasional setiap anggota harus menahan diri dari mengancam dan menggunakan kekerasan terhadap integritas dan kemerdekaan suatu negara lain. Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut: All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purpose of the United Nations.