Bab I-iv.docx

  • Uploaded by: alehasand
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I-iv.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,257
  • Pages: 47
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Tuberkulosis merupakan penyakit yang sudah dikenal sejak dahulu kala dan telah melibatkan manusia sejak zaman purbakala, seperti terlihat pada peninggalan sejarah(Manurung dkk, 2009). Hal yang menarik dari TBC adalah penyakit ini dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di seluruh dunia. Maka tidakklah berlebihan jika dikatakan bahwa Mycobacterium tuberculosi yang menyebabkan tuberkulosis dikatakan sebagai bakteri pembunuh masal (Anggraeni, 2011) Penyakit ini menjadi penyakit yang sangat diperhitungkan dalam meningkatkan

morbiditas

penduduk,terutama

di

negara

berkembang.

Diperkirakan sepertiga populasi dunia terinfeksi mycobacterium tuberculosis. Dari seluruh kasus, 11%-nya dialami oleh anak anak dibawah 15 tahun(Somantri,2009). Di negara maju seperti di Eropa dan Amerika Utara, angka kesakitan maupun angka kematian TBC pernah menurun secara tajam. Di Amerika Utara, saat bangsa awal Eropa berbondong-bondong bermigrasi kesana, kematian akibat TBC pada tahun 1800 sebesar 650 per 100.000 penduduk, di tahun 1860

turun menjadi 400 per 100.000 penduduk, di tahun 1969 turun secara drastis menjadi 4 per 100.000 penduduk per tahun. Angka kematian karena tuberkulosis di Amerika Serikat pada tahun 1976 telah turun menjadi 1,4 per 100.000 penduduk (Darmanto,2002). Menurut World Health Organization (WHO) memperkirakan sebanyak 2-4 orang terinfeksi TBC setiap detiknya, dan hampir 4 orang setiap menitnya meninggal karena TBC. Pada tahun 2002 sampai dengan 2020 diperkirakan sekitar 1 miliar manusia akan terinfeksi TBC. Dengan kata lain semakin pertambahnnya jumlah infeksi lebih dari 56 juta tiap tahunnya. Biasannya 5-10% infeksi berkembang menjadi penyakit , dan 40% diantaranya berkembang menjadi penyakit berakhir dengan kematian (Anggraeni, 2011). Tahun 1999, WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 orang penderita TBC dengan kematian sekitar 140.000 orang. Secara kasar di perkirakan dari setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita TBC yang sangat menular (Depkes RI, 2002). Di Indonesia TBC merupakan penyebab kematian utama dan angka kesakitan dengan urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan China dalam jumlah penderita TBC di dunia. Jumlah penderita TBC paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TBC paru, dan setiap dua menit muncul

satu penderita baru TBC paru yang menular. Bahkan setiap empat menit sekali satu orang meninggal akibat TBC di Indonesia (Medicastore, 2011). Berdasarkan SKRT tahun 2000 yang diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan sekitar 30-40 persen penyakit dan penyebab kematian di Indonesia adalah penyakit paru dengan berbagai bentuknya. Buku SEAMIC HEALTH STATISTIC 2002 menunjukan bahwa setidaknya tiga penyakit paru merupakan bagian dari 10 penyebab kematian utama di Indonesia, yakni Pneumonia, Tuberkulosis (TB) dan bagian dari Neoplasma Ganas (Laban, 2008). Apabila penyakit TB Paru tidak di atasi maka di Indonesia akan terjadi peningkatan

kematian

setiap

tahunnya

terutama

infeksi

dari

bakteri

Mycobacterium tuberculosis akan menyebar kemana-mana sehingga akan sulit untuk diatasi dan akibat dari penyakit TB Paru akan banyak aktivitas yang terganggu misalnya seseorang yang biasanya melakukan aktivitas kerja akan terhambat dan infeksi ini kalau tidak diatasi juga akan menyebabkan penurunan IQ (Intelektual Qualiti). Penyakit TBC menjadi masalah sosial karena sebagian besar penderitanya adalah kelompok usia kerja produktif, kelompok ekonomi lemah, dan tingkat pendidikan rendah. Selain itu masalah lainnya adalah pengobatan yang

tidak

teratur

,pemakainan

obat

antituberkulosis

yang

tidak/kurangtepat,maupun pengobatan yang terputus dapat mengakibatkan resistensi bakteri terhadap obat.Lebih parah lagi bila terjadi multidrug

resistence(kekebalan terhadap banyak obat).Keluarga sangat berperan penting saat menjelaskan pada klien tentang pentingnya berobat secara teratur sesuai dengan jadwal sampai sembuh.Inilah satu satunya dan menyembuhkan penderita dan memutuskan rantai penularan.Selain itu,usaha pencegahan dan menemukan penderita secara aktif seharusnya juga perlu lebih ditingkatkan dalam rangka memutuskan penulran(Muttaqin, 2008). Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Pemerintah kota Palembang jumlah penderita TB Paru pada tahun 2008 sebanyak 1233 (12,33%) penderita, tahun 2009 sebanyak 1027 (10,27%) penderita, dan pada tahun 2010 sebanyak 1117 (11,17) penderita. Menurut catatan rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Mohammad Hoesin Palembang jumlah penderita TB Paru dalam Tahun 2008 dari bulan Januari sampai Desember yaitu sebanyak 519 dengan jumlah kunjungan baru sebanyak 464 kasus, pada Tahun 2009 penderita TB Paru mengalami penurunan yaitu berjumlah sebanyak 57 kasus, dan pada Tahun 2010 jumlah kunjungan sebanyak 378 kasus, sedangkan pada Tahun 2011 dari bulan Januari sampai September kunjungan baru 625 kasus. Dilihat dari data yang di dapat dari Medical record RSMH Palembang maka, jumlah penderita pasien TB Paru dalam setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga penulis tertarik untuk meneliti Faktor Faktor Perilaku Keluarga Berhubungan dengan Perawatan Pasien

TB Paru di Ruang Penyakit Dalam Paru Rumah Sakit Umum Pusat Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.

1.2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas,penulis merumuskan belum diketahuinya Faktor Faktor Perilaku Keluarga Yang Berhubungan Dengan Perawatan Pasien Tuberculosis Paru di Ruang Paru Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Mohammad Hosein Palembang Tahun 2011.

1.3 . Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan Umum Untuk mengetahuinya faktor faktor perilaku keluarga yang berhubungan dengan Perawatan Pasien Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011. 1.3.2.Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi (Pendidikan, Pengetahuan , Sikap, dan Pekerjaan) penderita Tuberkulosis Paru di Ruang Penyakit Dalam Paru Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang 2011. b. Untuk mengetahui hubungan antara pendidikan dengan perawatan pasien TB Paru di Ruang Penyakit Dalam Paru Rumah Sakit Umum Pusat Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.

c. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan perawatan pasien TB Paru di Ruang Penyakit Dalam Paru Rumah Sakit Umum Pusat Mohammad Hosein Palembang Tahun 2011. d. Untuk mengetahui hubungan antara Sikap dengan perawatan pasien TB Paru di Ruang Penyakit Dalam Paru Rumah Sakit Umum Pusat Mohammad Hosein Palembang Tahun 2011. e. Untuk mengetahui hubungan antara Pekerjaan dengan perawatan pasien TB Paru di Ruang Penyakit Dalam Paru Rumah Sakit Umum Pusat Mohammad Hosein Palembang Tahun 2011.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi Rumah Sakit Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan pada proses pelayanan bagi tenaga profesi perawat di ruangan Penyakit Dalam Paru Rumah Sakit Dr.Mohammad Hoesin Palembang dalam memberikan pelayanannya terutama terhadap masyarakat dengan pencegahan penyakit Tb paru. 1.4.2. Bagi Instansi Pendidikan Hasil penelitian ini di harapkan dapat di gunakan sebagai referensi serta dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa Akper Sapta Karya Palembang.

1.4.3. Bagi Peneliti Diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan, pengalaman dalam penerapan ilmu keperawatan bagi mahasiswa yang memerlukannya.

1.5.Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan survey analitik menggunakan rancangan cross sectional dan di batasi pada tingkat faktor-faktor perilaku keluarga dengan perawatan pasien Tb paru, yaitu (pendidikan, pengetahuan, sikap,dan pekerjaan). Subjek penelitian adalah semua keluarga pasien yang di rawat di Ruang Penyakit Dalam Paru Rumah Sakit Umum Pusat Mohammad Hosein Palembang Tahun 2011.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tuberkulosis Paru 2.1.1. Definisi Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru, di sebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Somantri, 2008). Menurut Astuti dan rahmat , 2010 Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang Aerobik dan tahan asam ini,dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit,bakteri ini masuk melalui saluran pernapasan ,saluran pencernaan,dan luka terbuka pada kulit.Kebanyakan infeksi Tb terjadi melalui udara (Prince, 2001). Tuberculosis Paru merupakan penyakit parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis(Anggraeni, 2011). Hal serupa juga di ungkapkan oleh Laban, 2008 Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang di sebabkan oleh Mycobacterium

tuberkulosis, suatu hasil aerobik tahan asam, yang di tularkan melalui udara (airbone).

2.1.2. Etiologi Tuberkulosis Paru Tuberkolosis Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh kuman atau bakteri Mycrobacterium Tuberculosis yakni kuman aerob yang pada umumnya menyerang paru-paru dan sebagian lagi dapat menyerang diluar paru, seperti kelenjar getah bening, kulit, usus, atau saluran pencernaan, selaput otak, dan sebagainya (Laban, 2008). Tuberculosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (paling banyak) dan mycobacterium bovis. Penyakit ini bisa menyerang hampir seluruh jaringan tubuh, tetapi yang paling sering menyerang paru-paru(Astuti dan rahmat, 2010). Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri atau kuman ini berbentuk batang, dengan ukuran panjang 1-4 µm dan tebal 0,3-0,6 µm. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid, sehingga kuman tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap kimia atau fisik,. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah dengan banyak oksigen, dan daerah yang memiliki kandungan oksigen tinggi yaitu apikal/ apejs paru. Daerah ini menjadi predileksi pada penyakit tuberkulosis (Somantri, 2008).

2.1.3. Patofisiologi Kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh melalui udara pernapasan. Bakteri yang terhirup akan di pindahkan melalui jalan napas ke alveoli, tempat dimana meraka berkumpul dan mulai untuk memperbanyak diri. Selain itu bakteri juga dapat di pindahkan melalui sistem limfe dan cairan ke bagian tubuh yang lain (Astuti dan Rahmat, 2010). Sistem imun Fagosit

menekan

tubuh merespon dengan melakukan reaksi inflamsi. banyak

bakteri,

limposit

spesifik

tuberkulosis

menghancurkan bakteri dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpuka eksudat dalam alveoli yang dapat menyebabkan broncho pneumonia. Infeksi awal biasanya terjadi 2 sampai 10 minggu setelah pemejanan. Massa jaringan baru yang disebut granuloma merupakan gumpalan basil yang masih hidup dan sudah mati dikelilingi oleh makrofag diubah menjadi jaringan fibrosa dan membentuk dinding protektif grranuloma dan diubah menjadi jaringan fibrosa bagian sentral dari fibrosa ini disebut tuberkel bakteri dan makrofag menjadi nekrotik membentuk masa seperti keju. Setelah pemejanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif karena penyakit tidak adekuatnya system imun tubuih. Penyakit aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan kativasi bakteri.

Tuberkel memecah, melepaskan bahan seperti keju ke dalam bronchi. Tuberkel yang pecah akan menyembuhkan dan membentuk jaringan parut paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak dan mengakibatkan terjadinya bronchopneumonia (Manurung dkk, 2009)

2.1.4. Patogenesis Penyakit tuberkulosis di tularkan melalui udara secara langsung dari penderita TB kepada orang lain. Dengan demikian, penularan penyakit TB terjadi melalui hubungan dekat antara penderita dan orang yang tertular (terinfeksi), misalnya berada di dalam ruangan tidur atau kerja yang sama.penyebar penyakit TB sering tidak tahu bahwa ia menderita sakit tuberkulosis(Muttaqin, 2008). Droplet yang mengandung basil Tb yang di hasilkan dari batuk dapat melayang di udara hingga kurang dari dua jam tergantung pada kualitas ventilasi ruangan, jika droplet tadi terhirup oleh orang lain yang sehat, droplet akan terdampar pada dinding sistem pernafasan. Droplet besar akan terdampar pada saluran pernafasan bagian atas, droplet kecil akan masuk ke dalam alveoli di lobus manapun; tidak ada prediksi lokasi terdamparnya droplet kecil. Pada tempat terdamparnya, basil tuberkulosis akan membentuk suatu fokus infeksi primer berupa tempat pembiakan tuberkulosis tersebut dan tubuh penderita akan memberikan reaksi

inflamasi. Basil TB yang masuk tadi akan mendapatkan perlawanan dari tubuh, jenis perlawanan tubuh tergantung pengalaman kepada pengalaman tubuh, yaitu pernah mengenal basil TB atau belum (Darmanto,2002).

2.1.5. Gejala Tuberkulosis Paru Menurut Laban (2008) Gejala pada penyakit TB Paru dapat dibedakan pada orang dewasa dan anak-anak.

a. Gejala pada orang dewasa Gejala penyakit TB Paru yang tampak pada orang dewasa adalah sebagai berikut : 1. Batuk terus-menerus dengan dahak selama tiga minggu atau lebih. 2. Kadang-kadang dahak yang keluar bercampur dengan darah. 3. Sesak nafas dan rasa nyeri dada. 4. Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun. 5. Berkeringat pada malam hari walau tanpa aktivitas. 6. Demam meriang (demam ringan) lebih dari satu bulan. b. Gejala pada anak-anak Gejala penyakit TB Paru yang nampak pada anak-anak adalah sebagai berikut :

1. Berat badan menurun selama tiga bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas. 2. Berat badan anak tidak bertambah (anak kecil/kurus terus). 3. Tidak ada nafsu makan. 4. Demam lama dan berkurang. 5. Muncul benjolan di daerah leher, ketiak dan lipatan paha. 6. Batuk lama lebih dari dua bulan dan nyeri dada. 7. Diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan dare biasa.

2.1.6. Klasifikasi Tuberkulosis Paru Untuk menentukan klasifikasi penyakit TB paru, ada tiga hal yang perlu diperhatakan, yaitu sebagai berikut : a. Organ tubuh yang sakit,yaitu paru-paru atau selain paru (ekstra Paru). b. Hasil pemeriksaan dahak Basil Tahan Asam (BTA) : Positif atau Negatif. BTA positif adalah bakteri yang tidak rusak dengan pemberian asam. c. Tingkat keparahan penyakit : ringan, sedang, atau berat. Penentuan ini penting dilakukan untuk menentukan paduan obat antiTuberkulosis yang sesuai sebelum pengobatan dimulai (Anggraeni, 2011).

2.1.7. Pengklasifikasian Tuberkulosis Paru TB paru terdiri dari dua macam, yaitu BTA dan TB Ekstra Paru. a. TB Paru adalah TB yang menyerang jaringan Paru-paru. TB Paru dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai berikuit : 1. TB Paru BTA Positif (sangat menular). a). Pada TBc paru paru BTA positif penderita telah melakukan pemeriksaan sekurang kurangnnya 2 dari 3 kali pemeriksaan dahak dan hasil yang positif. b). Satu pemeriksaan dahak yang memberikan hasil yang positif dan Foto Rontgen dad menunjukan TB aktif.(Anggaraeni, 2011). 2. TB Paru BTA Negatif. Pemeriksaan

dahak

positif

negatif/

foto

rontgen

dad

menunjukan TB aktif, positif negatif yang dimaksudkan disini adalah ”Hasilnya Meragukan”. Jumlah yang ditemukan pada waktu pemeriksaan belum memenuhi syarat positif(Muttaqin, 2008). b. TB Ekstra Paru adalah TB yang menyerang organ tubuh lain selain Paruparu, misal selaput paru, selaput otak, selaput jantung, kelenjar getah bening, tulang, persendian kulit, usus, ginjal, saluran kencing, dan lainlain (Laban, 2008). 2.1.8. Komplikasi pada penderita tuberkulosis paru

Menurut Depkes (2002) Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut: a. Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkhial. c. Bronkietasis (pelebaran bronkus setempat dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau rektif ) pada paru. d. Pneumutorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan : kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru . e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya. f. Insufiensi kardio pulmuner (cardio pulmonary insufiensy).

2.1.9. Penatalaksanaan Medis Kebanyakan individu dengan TB aktif yang baru diagnosis tidak di rawat di rumah sakit. Jika TB paru terdiagnosa pada individu yang sedang di rawat, klien mungkin akan tetap di rawat sampai kadar obat terapeutik telah di tetapkan. Beberapa klien dengan TB aktif mungkin di rawat di rumah sakit karena alasan (1) mereka sakit akut (2) situasi kehidupan mereka di anggap lebih tinggi (3) mereka di duga tidak patuh terhadap

program pengobatan; (4) terdapat riwayat TB sebelumnya dan penyakit aktif kembali; (5) terdapat penyakit lain yang bersamaan dan bersifat akut ; (6) tidak terjadi perbaikan setelah terapi dan (7) mereka resisten terhadap pengobatan yang biasa,membutuhkan obat garis kedua dan ketiga.Dalam situasi seperti ini, perawatan singkat di rumah sakit di perlukan untuk memantau keefektifan terapi dan efek samping obat-obat yang di berikan. Klien dengan diagnosis TB aktif biasanya mulai di berikan tiga jenis medikasi atau lebih untuk memastikan bahwa organisme yang resisten telah tersingkirkan. Dosis dari beberapa obat mungkin cukup besar karena basil sulit untuk di bunuh. Pengobatan berlanjut cukup lama untuk menyingkirkan atau mengurangi secara substansial jumlah basil dorman atau semidorman. Terapi jangka panjang yang tak terputus merupakan kunci sukses dalam pengobatan TB (Corwin, 2009). Medikasi yang digunakan untuk TB mungkin di bagi menjadi preparat primer dan preparat baris ke dua (tabel 3-1). Preparat primer hampir selalu di resepkan pertama kali sampai laporan hasil kultur dan laboratorium memberikan data yang pasti. Klien dengan riwayat TB yang tidak selesai mungkin mempunyai organisme yang menjadi resisten dan preparat sekunder harus digunakan. Lamanya pengobatan beragam, beberapa program mempunyai pendekatan dua fase; (1) fase intensif yang menggunakan dua atau tiga jenis obat, di gunakan untuk menghancurkan

sejumlah besar organisme yang berkembang biak dengan cepat, (2)fase rumatan, biasanya dengan dua obat, di arahkan pada pemusnahan sebagian besar

basil

yang

tersisa.

Program

pengobatan

dasar

yang

di

rekomondasikan bagi klien yang sebelumnya belum di obatiadalah dosis harian isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, selama 2 bulan. Pengobatan ini di ikuti derngan isoniazid dan rifamfisin selama 4 bulan.kultur sputum digunakan untuk mengevaluasi kesangkilan terapi. Jika kepatuhan terhadap pendosisan harian menjadi masalah, maka diperlukan pertokol TB yang memberikan medikasi 2 atau 3 kali seminggu. Program ini biasanya di berikan di klinik untuk memastikan klien menerima obat yang diharuskan. Jika medikasi di gunakan tampak tidak efektif (memburuknya gejala peningkatan infiltrat, atau pembentukan kavitas), program harus di evaluasi kembali, dan kepatuhan klien harus di kaji. Setidaknya dua medikasi (tidak pernah hanya satu) di tambahkan pada program terapi TB yang gagal (Anggraeni, 2011). Medikasi yang di gunakan untuk mengobati TB mempunyai efek samping yang sangat serius, bergantung pada obat spesifik yang di resepkan.Toleransi obat, efek obat, dan toksisitas obat bergantung pada faktor-faktor usia, dosis obat, waktu sejak obat terakhir di gunakan, formula kimia dari obat, fungsi ginjal dan usus, dan kepatuhan klien. Klien penderita TB yang tidak membaik atau tidak mampu menoleransi medikasi

mungkin membutuhkan pengkajian dan pengobatan pada fasilitas medis yang mengkhususkan dalam pengobatan TB paru berkomplikasi (Asih, 2004).

2.1.10. Diagnosis TB Paru a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik b. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis c. Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis TB, yaitu : 1. Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen aplikasi lobus bawah . 2. Bayangan berawan (patchy)atau berbecak (nodular). 3. Adanya kavitas,terutama di lapangan atas paru. 4. Adanya kalsifikasi. 5. Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu. d. Pemeriksaan Sputum BTA Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB paru,namun pemeriksaan ini tidak sensitif karena hanya 30-70% pasien TB yang dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini. e. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)

Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat hidrogen imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG

spesifik

terhadap basil TB. f. Tes Mantoux /Tuberkulin g. Teknik Polymerase chain Reaction Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1 organisme dalam spesimen.juga dapat mendeteksi adanya resistensi. h. Becton Dickinson Doagnostic Instrument System (BACTEC) Deteksi growth index berdasarkan Co2 yang diahasilkan dari metabolisme asam lemak oleh Mycobacterium Tuberculosis. i. Enzyme Linked Immunosorbent Assay Deteksi respons humoral, berupa proses antigen-antibodi yang terjadi.pelaksanaannya rumit dan antibodi dapat mmenetap dalam waktu lama sehingga menimbulkan masalah. j. Mycodot Deteksi antibodi memakai antigen lipoarabinomannan yang direkatkan pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik, kemudian di celupkan ke dalam serum pasien.Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah memadai maka warna sisir akan berubah (Mansjoer, 2001).

2.1.11. Pengobatan Tuberculosis Paru a. Tujuan Pengobatan TB Paru Menurut Anggraeni(2011) Pengobatan penyakit TB Paru dilakukan dengan beberapa tujuan sebagai berikut : 1. Menyembuhkan Penderita 2. Mencegah Kematian 3. Menurunkan Resiko 4. Menurunkan Resiko Penularan b. Tempat Pengobatan Penderita TB Paru Para penderita TB Paru dapat berobat dibeberapa tempat, antara lain sebagai berikut : 1. Puskesmas 2. Rumah Sakit 3. Bp4/Rumah Sakit Paru 4. Dokter Umum atau Dokter Pribadi c. Hal-hal yang harus diperhatikan dan dilakukan Bagi para penderita TB Paru, ada satu hal penting yang harus diperhatikan dan dilakukan, yaitu keteraturan minum obat TB Paru sampai dinyatakan sembuh, biasanya berkisar antara 6-8 bulan. Apabila hal ini tidak dilakukan (tidak teratur minum obat), maka akan terjadi hal sebagai berikut :

1. Kuman penyakit TB Paru kebal sehingga penyakitnya lebih sulit diobati. 2. Kuman berkembang lebih banyak dan menyerang organ lain. 3. Membutuhkan waktu lebih banyak untuk sembuh. 4. Biaya pengobatan semakin mahal. 5. Masa produktif yang hilang semakin banyak. Pada umumnya, pengobatan penyakit TB Paru akan selesai dalam jangka waktu 6 bulan, yaitu 2 bulan pertama setiap hari (tahap intensif) dilanjutkan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (tahap lanjut). Pada kasus tertentu, penderita bisa minum obat setiap hari selama 3 bulan. Kemudian dilanjutkan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Bila pengobatan tahap intensif diberikan secara tepat, penderita menular akan menjadi tidak menular dalam kurung waktu 2 minggu (Yoannes, 2008). 2.1.12. Pencegahan Tuberculosis Paru Usaha pencegahan penularan penyakit TBC dapat dilakukan dengan cara memutus rantai penularan yaitu mengobati penderita TBC sampai benar-benar sembuh serta melaksanakan pola hidup bersih dan sehat. Pada anak balita pencegahan diberikan dengan memberikan isoniazin selama 6 bulan. Bila belum mendapat vaksinasi BCG, maka diberikan vaksinasi BCG setelah pemberian isoniazid selesai (Yoannes, 2008).

2.2. Faktor-faktor Perilaku Keluarga yang berhubungan dengan perawatan pasien TB Paru. 2.2.1. Perilaku Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Maka pada hakekatnya perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas (Notoatmodjo, 2007). Skiner (1938) seorang ahli psikologi dalam Notoatmodjo (2007) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme tersebut merespon, maka teori Skiner ini disebut ” S-O-R ” atau Stimulus Organisme Respon. Skiner membedakan adanya dua respon. a. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan–rangsangan tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respon – respons yang relatif tetap. b. Operant repons atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena memperkuat respons.

Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme, namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Perilaku merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama atau resultante antara berbagai faktor baik faktor internal maupun faktor eksternal. Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks, dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan dalam Notoatmodjo (2007) membagi perilaku manusia itu ke dalam 3 domain yakni Kognitif, afektif, dan psikomotor.

2.2.2.Pendidikan Menurut Notoatmodjo (2007) Pendidikan merupakan upaya yang di rencanakan untuk mempengaruhi orang lain, bagi individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang di harapkan oleh pelaku didik. Menurut Soemirat (dalam Firdaus, 2010) Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya yang dapat digunakan

untuk

mendapatkan

informasi

sehingga

dapat

meningkatkankualitas hidup. Sebagaimana umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi dan makin

bagus pengetahuan yang dimiliki sehingga penggunaan komunikasi dapat secara efektif akan dapat dilakukannya. Dalam komunikasi dengan anak atau orang tua karena berbagai informasi akan mudah diterima jika bahasa yang disampaikan sesuai dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya. Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimilki. Sebaliknya pendidikan yang kurang menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Dari batasan ini tersirat unsur-unsur pendidikan yaitu : 1. Input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok masyarakat) dan pendidik melaksanakan pendidikan. 2. Proses (upaya yang di rencanakan untuk mempengaruhi orang lain). 3. Output (melakukan apa yang di harapkan atau prilaku. Hasil penelitian Firdaus (2010) bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan penderita TBC.

2.2.3.Pengetahuan (Knowledge) Menurut Notoatmodjo, (2003) Pengetahuan merupakan hasil dasar dari apa yang diketahui seseorang dan ini terjadi setelah orang tersebut melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan atau kognisi merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang. Sebagai dasar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan kemampuan mengindera dalam memahami pengalaman dan realitas dunia atau mengulangi kembali informasi yang menyangkut

pemahaman

pesan

yang

diinformasikan.

Penerapan

pengetahuan digunakan pada situasi tertentu setelah diolah menjadi persepsi, sikap atau perilaku. Notoatmodjo, (2003). Mengungkapkan enam tingkatan pengetahuan yang terdiri dari : a. Tahu (know) Tahu diartikan mengingat suatu materi ynag telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall). Sesuatu yang spesifik dari seluruh bahasan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. Contoh: dapat menyebutkan tanda-tanda kekurangan kalori dan protein pada anak balita. b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui. dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadp obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan makanan yang bergizi. c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disni dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hokum-hukum, rumus, meted, prinsip, dan sebagainya dalam konteks situasi yang lain. d. Analisa (analysis) Kemampuan menjabarkan materi ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam struktur organisasi dan ad kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisi ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. e. Sintesa (syntesis) Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesi

adalah suatau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. f. Evaluasi (evaluation) Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara dan angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan menurut Pranaka, 1997 adalah suatu kegiatan yang sifatnya mengembangkan dan menambah kesempurnaan subjek yang tidak tahu menjadi tahu. Green, 1991 mengatakan pengetahuan dapat diperoleh dari peningkatan pendidikan, karena makin tinggi pendidikan seseorang makin realitas cara berfikir serta makin luas ruang lingkup jangkauan berfikirnya. Pengetahuan manusia bersifat terbatas tidak sempurna dan karena itu tumbuh dan berkembang. Manusia tidak mengetahui total segala sesuatu. Manusia berjalan melalui pola analisa sintesa, membedakan, menyatukan baik dalam pengetahuan yang sifatnya sederhana maupun dalam pengetahuan yang sifatnya kompleks. Menurut kodratnya pengetahuan itu adalah wahana dimana manusia mencapai kebenaran. Hal ini bukanlah

karena kodrat dari pengetahuan itu sendiri, sebab menurut kodaratnya pengetahuan menunjukkan pada kesalahan dan kekeliruan. Dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh kebenaran sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni: a. Cara Tradisional atau Non Ilmiah 1. Cara coba salah (Trial and Error) Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil dicoba kemungkinan lain. 2. Cara kekuasaan atau otoritas Prinsip ini adalah menerima pendapat yang dikemukakan oleh orang yang mempunyai kuasa tanpa terlebh dahulu menguji tau membuktikan kebenaran baik berdasarkan fakta empiris taupun berdasarkan penalaran sendiri. 3. Berdasarkan pengalaman pribadi Pengalaman itu mrupakan sumber pengetahuan atau pengalaman itu merupakan sutu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh karena itu pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya unutk memperoleh pengetahuan.

4. Melalui jalan pikiran Pada tahap ini manusia dapat menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya baik melalui induksi maupun deduksi. Apabila proses pembuatan kesimpulan melalui pernyataan khusus kepada yang umum dinamakan proses induksi. Sedangkan deduksi adalah proses pembuatan kesimpulan dari pernyataan umum kepada pernyataan khusus.

b. Cara modern atau ilmiah Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini dusebut “Metode Penelitian Ilmiah” atau lebih populer disebut metodologi penelitian (Notoatmodjo, 2007).

Hasil penelitian Wukir (2005) bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dengan

TB Paru. Bahwa semakin tinggi pengetahuan

seseoarang semakin banyak pengalamanan yang dialami oleh seseorang ataupun orang lain, terlebih lagi keluarga yang terdiagnosa TBC menegtahui secara jelas dan benar apa yang sebenarnya penyakit TBC, dan bagaimana cara penularan serta pencegahannya. 2.2.4.Sikap (Attitude)

Menurut Newcomb (Notoadmodjo, 2007), sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan suatu tindakan atau aktifitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku, sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka, sikap merupakan kesiapan untuk bereksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok. a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu obyek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu obyek. c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Suatu contoh misalnya,

seorang

ibu

telah

mendengar

tentang

penyakit

polio

(penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan sebagainya). Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan(Notoatmodjo, 2005) .

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa (subyek) mau dan mau memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat di lihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramahceramah tentang gizi. b. Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usha untik menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut. c. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan sustu masalah adalah sikap tingkat tiga. Misalnya : seorang yang mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya, dan sebagainya) untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu, atau mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak. d. Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya, seoran ibu mau menjadi akseptor KB. Meskipun mendapat tantangan dari mertua atau dari orang tua sendiri.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu obyek. Misalnya, bagaimana pendapat anda tentang pelayanan dokter di Rumah Sakit dr.Mohamad Hosein Palembang? Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan

hipotesis,

kemudian

ditanyakan

pendapat

responden. Misalnya, apabila rumah ibu luas, apakah boleh dipakai untuk kegiatan posyandu? Atau, saya akan menikah apabila saya sudah berumur 25 tahun (sangat setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju).Hasil penelitian Mustangin (2008) bahwa terdapat hubungan antara tingkat sikap dengan penderita TBC.

2.2.5.Pekerjaan Pekerjaan berasal dari kata kerja yang didefinisikan sebagai penggunaan daya. Pekerjaan dikatakan sebagai usaha manusia dalam usahanya mengenal, mengembangkan dirinya secara penuh. Tiga hal penting mengenai pekerjaan. Pertama, tindakan pekerjaan merupakan sesuatu yang hanya ada pada manusia. Karena manusia melakukan sebuah tindakan dalam kerangka sebagai objek kehendak dan juga kesadarannya. Kedua, tindakan pekerjaan menjadi sarana manusia untuk merealisasikan apa yang ada dalam pikirannya

dan ketiga karena hasil pekerjaan yang telah dilakukan dapat dipergunakan oleh orang banyak maka pekerjaan menjadi jembatan sosial antar manusia dan dengan demikian semakin tampak bahwa manusia adalah makhluk sosial (Marx, 2007). Seseorang yang bekerja dan memiliki motivasi yang besar dalam dirinya untuk melakukan suatu tindakan cenderung memilki perilaku yang baik pula. Hal ini dikarenakan seseorang dapat berperilaku tertentu karena ada energi yang mendorongnya untuk berperilaku. Energi inilah yang disebut motivasi, yakni yang mendorong seseorang bertingkah laku mencapai suatu tujuan (Sudrajat, 2008). Adapun jenis-jenis pekerjaan menurut Mardinsyah (2008), dibagi menjadi 8 jenis, yaitu: a. Accumolator Merupakan type pekerja yang menanam dahulu dan menuai kemudian, bukan hanya dalam arti harfiah tetapi mungkin saja dalam bentuk usaha ataupun investasi. Personality yang dimiliki biasanya adalah cermat dan sabar.

b. Trader

Adalah tipe pekerja yang hampir sama dengan Accumulator tetapi dalam proses menuai hasil tipe trader ini melakukan dalam tempo yang lebih cepat, contohnya adalah George Soros. Kekayaan yang dimilikinya adalah 63 kali dari kapitalisasi seluruh saham di Indonesia. c. Deal Make Menghubungkan penjual dan pembeli, istilahnya adalah broker atau calo atau makelar. Tipe ini biasanya mengambil dari jasa yang dilakukannya. d. Suppoter Orang yang mendapatkan penghasilan karena menjalankan sistem yang sudah ada dalam organisasi, profesional, karyawan. e. Star Pernghasilan karena menjual kemampuannya didepan umum, seperti guru, dosen, artis, atlit. Contohnya adalah elvis presley. f. Creator Menciptakan produk/jasa secara berkesinambungan, programer, pengarang, pelukis. g. Mechanic

Orang yang bekerja menciptakan sistem didalam organisasi, contoh pekerjaan , konsultan, pemilik perusahaan. Ree Crock pendiri Mc Donald, kolonel Sander pendiri KFC. h. Lord/Raja/Tuan Tanah/ Juragan Pekerjaan dengan mendapatkan penghasilan karena memiliki aset yang bekerja secara otomatis bagi mereka. Contohnya adalah MLM posisi puncak, investasi, Deposito, bisnis sewa property. Hasil penelitian Wukir (2005) bahwa terdapat hubungan bermakna antara pekerjaan dengan TB Paru.

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konsep Dalam kerangka konsep ini menggunakan teori Lawrence Green dalam buku Notoatmodjo (2007). Pada penelitian ini dapat dimodifikasikan berupa variabel independen yaitu Pendidikan, Pengetahuan, sikap dan Pekerjaan Keluarga penderita TBC, sedangkan variabel dependen yaitu perawatan TB Paru. Berdasarkan tinjauan teoritis yang telah dikemukakan sebelumnya maka kerangka konsep yang didapat adalah sebagai berikut : 3.1. Gambar Kerangka Konsep

Variable Independen Pendidikan

Variabel Dependen

Pengetahuan

Perawatan TB Paru

Sikap Pekerjaan 3.2. Definisi Operasional

No

Variabel

Tabel 3.1. Definisi Operasional Definisi Cara Ukur Alat Ukur Operasional

Dependen 1 Perawatan TB Respon atau Wawancara Kuesioner Paru. tindakan yang dilakukan oleh keluarga dalam merawat pasien TB Paru. Independen

Skala Ukur

Hasil Ukur

1. Baik, jika Ordinal nilai responde n ≥ median. 2. Kurang, jika nilai responde n < median

2

Pendidikan

Jenjang Wawancara Kuesioner pendidikan formal terkhir yang diselesaikan dan memiliki ijazah

1.Rendah, Ordinal jika responden berijazah < SMA 2.Tinggi, jika responden berijazah ≥ SMA

3 .

Pengetahuan

1.Kurang, Ordinal jika jawaban benar ≤70% 2.Baik, jika jawaban benar >70%

4 .

Sikap

Pengetahua Wawancara Kuesioner n keluarga tentang penyakit TB Paru terdiri dari 1.Pengertian 2.Penyebab 3Tanda dan gejala 4.Pencegaha n 5.perawatan Respon wawancara Kuesioner keluarga klien dalam perawatan TB Paru

1.Negatif, Ordinal jika jawaban yang mendukung <70% 2.Positif, jika jawaban yang

mendukung ≥70% 5

Pekerjaan

Pekerjaan keluarga pasien penderita TB Paru

Wawancara Kuesioner

1.Bekerja 2.Tidak bekerja

Nominal

3.3. Hipotesis Berdasarkan tujuan penelitian dan kerangka konsep, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ha: 1. Ada hubungan antara pendidikan dengan perilaku keluarga dalam merawat pasien TB Paru di Ruang Penyakit Dalam Paru Rumah Sakit Dr.Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011. 2. Ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku keluarga dalam merawat pasien TB Paru di Ruang Penyakit Dalam Paru Rumah Sakit Dr.Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.

3. .Ada hubungan antara sikap dengan perawatan pasien TB Paru di Ruang Penyakit Dalam Paru Rumah Sakit Dr.Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011. 4. Ada hubungan antara pekerjaan dengan perawatan pasien TB Paru di Ruang Penyakit Dalam Paru Rumah Sakit Dr.Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian metode analitik yaitu survey atau penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi dan dengan pendekatan Cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus.(Notoatmodjo,2005).

4.2. Subjek Penelitian 4.2.1. Populasi Populasi penelitian adalah keseluruhan objek yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2005). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh keluarga pasien yang di rawat di Ruang Penyakit Dalam Paru Rumah Sakit Dr.Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012. 4.2.2. Sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode simple Accidental sampling, yaitu keluarga pasien TBC dan yang bukan pasien TBC yang di rawat

di Ruang Dalam Paru Rumah Sakit

Dr.Mohammad Hosein Palembang Tahun 2012. 4.2.3. Besar Sampel Penentuan

jumlah

sampel

dalam

penelitian

menggunakan

Accidental sampling. Sampel penelitian ini yaitu Pasien yang dirawat diruang Dalam Paru Rumah Sakit Dr.Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012. 4.2.4. Kriteria Subyek Penelitian Kriteria subyek penelitian yang akan diambil adalah sebagai berikut : a. Keluarga pasien dengan diagnosa TBC.

b. Keluarga pasien yang menjalani rawat inap di ruang Penyakit Dalam Paru Rumah Sakit Dr.Mohammad Hoesin Palembang Selama penelitian. c. Keluarga pasien bersedia menjadi responden.

4.3. Tempat Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Ruang Penyakit Dalam Paru Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012.

4.4. Waktu Penelitian Peneltian ini direncanakan akan dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2012. 4.5. Etika Penelitian Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan atas persetujuan yang diberikan oleh pihak Rumah Sakit dan surat rekomendasi dari institusi, Setelah mendapat persetujuan, barulah penelitian dapat di lakukan dengan menekankan masalah etika, sebagai berikut : 4.5.1.Informed Consent( persetujuan) Lembar persetujuan ini di berikan kepada responden yang telah diteliti dan sudah memenuhi kriteria. Dalam lembar ini dicantumkan judul penelitian dan manfaat penelitian. Bila subjek menolak, maka subyek tidak boleh di paksa dan hak-hak subjek harus tetap dihormati. 4.5.2.Anominity (tanpa nama)

Masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan responden penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nanma responden pada lembaran atau ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan dan atau hasil penelitian yang akan disajikan. 4.5.3.Confidenity (kerahasiaan) Memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainya, semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahsaiianya oleh peneliti (Hidayat, 2009).

4.6.Pengumpulan Data 4.6.1. Sumber Data a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh dari responden dalam bentuk pengisian daftar-daftar pertanyaan dan pernyataan (kuesioner) yang telah dibuat, meliputi : variabel pendidikan, pemgetahuan, sikap, dan pekerjaan keluarga pasien TB Paru. b.Data sekunder

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang di peroleh melalui medical record Rumah Sakit Dr.Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011. 4.6.2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui wawancara kepada responden secara langsung dengan menggunakan kuesioner yang sudah disusun sebelumnya.

4.6.3. Alat/Instrumen Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah di susun, terdiri atas 1 pertanyaan untuk variabel pendidikan dan variabel pekerjaan, 10 pertanyaan untuk variabel pengetahuan dan sikap, untuk variabel sikap, pertanyaan positif dimulai dengan skor 2,1 dan pertanyaan negatif skornya 1,2. 4.7. Pengolahan Data Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk memperoleh data atau ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang diperlukan.

4.7.1. Editing (Pengolahan Data)

Merupakan pengecekan atau pengkoreksian data yang telah di kumpulkan karena kemungkinan data yang masuk atau data terkumpul itu tidak logis dan meragukan. Tujuan editing adalah untuk menghilangkan kesalahankesalahan yang terdapat pada pencatatan di lapangan dan bersifat koreksi.

4.6.2. Coding (Pengkodean Data) Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka/bilangan. Misalnya untuk variabelpendidikan dilakukan koding 1=SD, 2=SMP, 3=SMU dan 4=PT.Jenis kelamin: 1=laki-laki dan 2=perempuan, dan lain sebagainnya. Keguanaan dari koding untuk mempermudah pada saat analisa data dan juga mempercepat pada saat entry data (Hastono, 2001).

4.7.3. Processing / entry (Penarikan Data) Setelah semua isian kuesioner terisi penuh dan benar, dan juga sudah melewati pengkodingan, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar dapat dianalisis, perumusan data dilakukan. Dengan cara mengentry data dari kuesioner ke program komputer. 4.7.4. Cleaning (Pembersihan Data) Menurut Hastono (2001:2) cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry apakah ada

kesalahan atau tidak.Kesalahn tersebut dimungkinkan terjadi pada saat kita mengentry ke komputer.Misalnya untuk variabel pendidikan ada data yang bernilai 7,mestinya berdasarkan koding yang ada pendidikan kodenya hanya 1 sampai dengan 4 (1=SD, 2=SMP, 3= SMU, 4=PT).

4.8. Analisa Data Data disajikan dengan mendistribusikan melalui Analisis Univariat dan Analisis Bivariat. 4.8.1. Analisis Univariat Analisis univariat ini di gunakan dengan melihat ditribusi frekuensi dari masing-masing kategori variabel dependen (perawatan pasien TB Paru) dan Variabel independen (Pengetahuan, Pendidikan, Sikap, dan Pekerjaan). 4.8.2. Analisis Bivariat Tujuan analisis bivariat adalah untuk membuktikan ada tidaknya hubungan antara variabel Independen (Pengetahuan, Pendidikan,Sikap,dan Pekerjaan), dan Variabel Dependen (Perawatan Pasien TBC). Prosedur yang di gunakan adalah uji Chi-Square pada program komputer. Nilai p ≤ 0,05 membuktikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara variabel independen dan variabel dependen (Hastono, 2006).

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"

Bab I-iv.docx
November 2019 13