Bab I-daftar Pustaka

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I-daftar Pustaka as PDF for free.

More details

  • Words: 3,247
  • Pages: 13
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah sangat penting artinya bagi usaha pertanian karena kehidupan dan perkembangan tumbuh-tumbuhan dan segala makhluk hidup di dunia sangat memerlukan tanah. Akan tetapi arti yang penting ini kadang-kadang diabaikan oleh manusia, sehingga tanah tidak barfungsi sebagai mana mestinya. Tanah menjadi gersang dan dapat menimbulkan berbagai bencana, tidak lagi menjadi sumber bagi segala kehidupan (Sutejo, Mulyani 1995). Penerapan kebijakan sistem pertanian kimiawi yang berkembang secara pesat sejak dicanangkannya Gerakan Revolusi Hijau pada tahun 1970-an, yang lebih mengutamakan penggunaan pestisida dan pupuk kimia, walaupun untuk sementara waktu dapat meningkatatkan produksi pertanian, pada kenyataannya dalam jangka panjang menyebabkan kerusakan pada sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, yang akhirnya bermuara kepada semakin luasnya lahan kritis dan marginal di indonesia (Sudiarso & Ririen P. 2002). Pupuk organik merupakan pupuk yang ramah lingkungan yang bersumber dari bahan-bahan alamiah yang berasal dari alam maupun dari tumbuhan alami yang mampu meningkatkan proses kesuburan tanah. Dalam hal ini, semakin berkurangnya lahan subur menyebabkan menurunnya hasil produksi pertanian. Pengolahan tanah yang baik dan teratur dapat meningkatkan kesuburan fisik tanah tersebut. Pemupukan yang sesuai dengan unsur hara tanah dapat meningkatkan kesuburan kimiawi tanah sehingga sesuai dengan kebutuhan tanaman. Pemupukan bisa dilakukan dengan pemberian pupuk buatan dan pupuk alam atau pupuk organis. Pupuk yang terakhir ini lebih besar manfaatnya dari pada jenis pupuk yang pertama oleh karena dapat meningkatkan kesuburan kimawi, juga dapat meningkatkan kesuburan fisik dan biologi tanah (Sarief, Saifuddin 1986). Suatu unsur kimiawi dianggap esensial sebagai unsur hara tanaman jika memenuhi tiga kriteria Arnon berikut; yaitu Harus ada agar tanaman dapat melengkapi siklus hidupnya, sehingga jika tanaman mengalami defisiensi hanya dapat diperbaiki dengan unsur tersebut, dan unsur ini harus terlibat langsung dalam penyediaan nutrisi yang dibutuhkan tanaman (Kemas Ali Hanafiah, 2005). Di antara zat hara yang diperlukan oleh tanaman itu untuk pertumbuhannya yang sehat yang tepenting ialah: N

1

(Nitrogen), P (Phosfat), K (Kalium), S (Sulfur), Mg (Magnesium), Ca (Calsium), Fe (Ferry), dan sebagainya (Hadrian Siregar, 1981). Ditilik dari sifat tanah, yaitu sifat-sifat kimiawinya dan sifat-sifat fisisnya, pemupukan dengan pupuk anorganis (pupuk buatan) hanya memperkaya kesuburan tanah dengan zat-zat hara yang dikandung pupuk anorganis/pupuk buatan itu, sementara pupuk organik disamping memperkaya tanah dengan zat hara N, P dan K juga memperbaiki sifat-sifat fisis dari tanah dalam arti pemupukan dengan pupuk organik itu akan membuat tanah yang berat seperti tanah liat menjadi lebih ringan dan sebaliknya tanah yang terlalu ringan seperti tanah pasir akan sedikit lebih berat (Hadrian Siregar, 1981). Ketersediaan unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat produksi suatu tanaman. Macam dan jumlah unsur hara yang tersedia di dalam tanah bagi pertumbuhan tanaman pada dasarnya harus berada dalam keadaan yang cukup dan seimbang agar tingkat produksi yang diharapkan dapat tercapai dengan baik. Jadi produktivitas tanah adalah kemampuan tanah tersebut untuk dapat menghasilkan produksi pertanian yang optimal tanpa mengurangi tingkat kesuburan tanahnya (Saifuddin Sarief, 1986). Di fihak lain, pemupukan yang tinggi akan mengakibatkan adanya polusi baik dalam lingkungan tanah maupun perairan di sekitarnya. Kelembapan udara dan tanah maupun perairan di sekitarnya. Kelembapan udara dan tanah menjadi lebih baik, maka kehidupan fauna dan flora menjadi lebih baik juga. Oleh karena itu, aktivitas mikroba yang pathogen pun menjadi lebih tinggi, demikian juga gulma. Hal ini menyebabkan kekhawatiran para pakar pertanian, sehingga banyak yang mengusulkan agar pemupukan dilakukan hanya dengan masukan rendah atau kalau mungkin ditiadakan sama sekali. Yang terbaik adalah mendapatkan produksi yang tinggi tanpa merusak lingkungan (Rosmarkam & Nasih Widya Yuwono. 2002). B. Permasalahan Pemanfaatan teknologi pertanian dalam segala bidang diperlukan untuk meningkatkan produksi pertanian. Pemupukan, seleksi tanaman, pemberantasan hama penyakit, penyediaan air yang cukup, aplikasi bioteknologi dan sebagainya perlu dilakukan untuk mencapai maksud tersebut. Pemupukan merupakan salah satu usaha penting untuk meningkatkan produksi, bahkan sampai sekarang dianggap sebagai faktor yang dominan dalam produksi, bahkan sampai sekarang dianggap sebagai faktor yang 2

dominan dalam produksi pertanian. Penggunaan pupuk

anorganik yang selalu

meningkat dari tahun ke tahun, telah mencemaskan pakar lingkungan hidup karena dampak polusi yang ditimbulkannya. Sampai akhir abad XX pemupukan merupakan faktor penting untuk meningkatkan produksi karena belum ada alternatif lain untuk menggantikannya (Rosmarkam & Widya Yuwono, 2002). Data yang dipaparkan oleh Biro Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1996, luas lahan kritis di indonesia sudah mencapai 12,5 juta hektar, dengan perincian 8 juta berasal dari lahan pertanian dan sisanya 4,5 juta hektar berasal dari kawasan hutan (BPS, 1998). Kondisi ini akan lebih parah lagi karena diperkirakan setiap tahun lahan kritis bertambah 300.000 hingga 600.000 hektar jika penggunaan pupuk dan pestisida kimia tidak dikurangi (Djoyohadikusumo, 1995). Penggunaan pupuk kimia secara terus menerus menjadi penyebab menurunnya kesuburan lahan bila tidak diimbangi dengan penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati. Selama 20 tahun terakhir ini terjadi kenaikan kebutuhan pupuk kimia hingga 500%, sementara itu produksi padi hanya meningkat 50% (Sugito, 2000). Berfungsinya pabrik-pabrik yang mengolah berbagai bahan baju menjadi barang-barang jadi melalui proses kimia yang pembuangan limbah industrinya (air dan cairan) tidak memperhatikan keadaan lingkungan dan tidak mau memelihara keadaan tanah di sekitarnya, akan menyebabkan tanah tidak berproduksi sebagaimana mestinya. Bahkan sering kali tidak berproduktif lagi. Ini disebabkan mikro-organisme dan unsurunsur hara yang terkandung mengalami keracunan. Dalam kejadian seperti ini pemulihannya kembali akan memakan waktu yang cukup lama (Mulyani Sutejo, 1995). Dari masalah-masalah tersebut maka perlu dipikirkan bagaimana merehabilitasi lahan agar dapat memaksimalkan hasil pertanian guna memberikan manfaat yang lebih besar bagi kemajuan dan swasembada di dunia pertanian. Maka perlu dipikirkan langkah-langkah apa yang akan dilakukan untuk tujuan tersebut? C. Tujuan Kompleksnya permasalahan yang muncul mengenai rendahnya produktivitas lahan yang disebabkan oleh polutan kimiawi yang berasal dari limbah pertanian itu sendiri maupun dari kegiatan industri yang semakin pesat sehingga menyebabkan kurang maksimalnya hasil pertanian menuntut penulis untuk membahas masalah ini agar diperoleh suatu penyelesaian yang lebih optimal dari kerusakan lahan ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji lebih jauh peluang-peluang yang mungkin 3

dapat dilakukan dalam rehabilitasi lahan pertanian dengan menggunakan pupuk organik sebagai penyubur tanah.

4

BAB II PEMBAHASAN Memupuk pertanaman pada umumnya sebagai usaha untuk meningkatkan penghasilan pertanaman bukanlah hal yang baru. Memupuk pertanaman sudah dikenal manusia sejak zaman kuno, hanya saja, jika di zaman modern seperti sekarang ini orang menggunakan pupuk anorganis atau lazim disebut pupuk buatan, di zaman dahulu kala, di waktu mana pupuk buatan belum dikenal, satu-satunya macam pupuk yang dipakai manusia untuk memupuk pertanaman adalah pupuk organis (Hadrian Siregar. 1981). Disebut pupuk organis oleh karena pupuk itu terdiri dari pelapukan dari bahanbahan organik berupa segala macam tanaman, seperti daun-daun pohon-pohonan yang sudah tua dan gugur,tangkai-tangkai dan pohon-pohonan yang sudah tua dan tumbang, segala macam rumput-rumputan, dan sebagainya (Hadrian Siregar. 1981). Proses rehabilitasi ini tanpa pengolahan tanah, tanpa pupuk kimia, tanpa menghilangkan gulma dengan mengerjakan tanah atau dengan herbisida, dan tidak tergantung pada bahanbahan kimia (Made Suwena. 2002). Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk hijau, pupuk kandang dan kompos. A. Pupuk Hijau Pupuk hijau merupakan pupuk yang berasal dari sisa tanaman legum. Kemampuan tanaman legum mengikat N udara dengan bantuan bakteri penambat N menyebabkan kadar N dalam tanaman relatif tinggi. Akibatnya, pupuk hijau dapat diberikan dekat waktu penanaman tanpa harus mengalami proses pengomposan lebih dulu sebagaimana sisa-sisa tanaman pada umumnya. Sesungguhnya bagian-bagian hijau dan terutama yang masih muda dari segala macam tumbuh-tumbuhan dapat dipergunakan sebagai pupuk organis. Akan tetapi tidaklah dapat dikatakan bahwa semua bahan hijau sebagai dimaksudkan mempunyai kadar N, P dan K yang sama dan oleh karenanya manusia dengan sendirinya memilih jenis tumbuhan yang mudah ditanam dan dipelihara dan yang banyak mengandung zat hara N, P dan K. Yang paling menentukan pilihan ialah Zat hara N, oleh karena pada umumnya, jika di ketemukan suatu daerah pertanian kekurangan-kekurangan zat hara, yang paling pertama diketemukan adalah zat hara N. Jenis tumbuh-tumbuhan yang memenuhi syarat, seperti: mudah ditanam dan mudah dipelihara. Dan mempunyai kadar yang tinggi tentang N, adalah tumbuhan polong (leguminose). Adalah sifat dari tumbuh5

tumbuhan polong (leguminose). Bahwa tumbuh-tumbuhan ini mempunyai akar-akar dimana terdapat bintik-bintik yang dapat mengikat N dari udara. Jenis tumbuhan polong yang banyak dipergunakan para petani sebagai pupuk organik, spesial yang tergolong Crotalaria dan yang terpenting di antaranya, ialah Crotalaria Anagyroides, Crotalaria Usaramoensis, dan Crotalaria Yuncea (Siregar. 1981). Tanaman-tanaman tersebut sebagai pupuk hijau pada umumnya termasuk famili leguminosa. Sifat famili ini adalah terdapatnya nodula-nodula pada akarnya, yang terdiri dari nodula efektif dan tidak efektif. Perbedaan kedua macam nodula tersebut adalah dalam ukuran dan bentuk, warna, dan akarnya pada akar. Nodula efektif letaknya tersebar pada akar tunggang, sedangkan nodula tidak efektif tersebar pada akar lateral atau akar cabang dan berwarna pucat (Saifuddin sarief. 1986). Mulyani Sutejo (1995) menyatakan, berbeda dengan jenis tanaman dari keluarga lainnya. Tanaman leguminosa kandungan jumlah N-nya selalu bertambah, berasal dari N yang tersedia dalam tanah dan dari N bebas yang terdapat di udara. Jasad-jasad renik yang bersimbiosa dengan tanaman itu, yang terdapat dalam bintil-bintil akar (nodula) dapat mengikat N dari udara (perhatikan peranan Rhizobium atau Bacillus Radiocicola). Dalam hal ini dapat ditambahkan apabila tanahnya subur dan mengandung banyak unsur N, maka penambahan unsur N dari udara ternyata kurang. Apabila keadaan sebaliknya (kurangnya kandungan N dalam tanah) maka pengambilan N dari udara akan banyak. Di dalam nodula akar hidup bakteri Rhizobium. Yang bersimbiose dengan tanaman inang. Bakteri ini berfungsi dapat mengikat unsur nitrogen (N) dari udara. Hal ini sangat menguntungkan, baik dalam akumulasi nitrogen di dalam tanah maupun dalam peningkatan kandungan nitrogen bagi pertumbuhan tanaman (Saifuddin sarief. 1986). Tanaman legum menyerap nitrogen bebas dengan bantuan fiksasi oleh bakteri rhizobium. Sedangkan nitrogen yang difiksasi oleh tanaman legum mempunyai tiga kemungkinan yaitu; Nitrogen tersebut digunakan oleh tanaman inangnya sendiri; Nitrogen diekskresikan dari nodula ke dalam tanah dan digunakan oleh tanaman lain yang tumbuh di sekitarnya; Apabila tanaman legum di benamkan atau telah mati, maka nitrogen dapat dibebaskan. Hal ini terjadi setelah melalui proses dekomposisi nodula dan juga dari bagian lain tanaman (Syafruddin sarief. 1986). Bila ada kesempatan tambahkan selalu sumber karbon dan nitrogen. Penggunaan kotoran hewan merupakan cara terbaik untuk maksud tersebut. Bila dilakukan 6

pemupukan N, upayakan saat sisa tanaman cukup banyak di lahan. Sebagai contoh, rotasi jagung, legum, dan padi gogo akan lebih baik bila penambahan nitrogen dilakukan setelah sisa tanaman jagung diinkooprasikan dengan tanah saat pengolahan. Tanaman padi gogo hanya membutuhkan sedikit pemberian nitrogen. Namun bila pengolahan tanah menjadi pertimbangan untuk tidak dilakukan, maka pengomposan sisa panen diluar lahan dapat dilakukan penggunaan pupuk N dalam jumlah banyak, terlebih lagi bila sisa panen semua di angkut ke luar lahan (disertai pengolahan tanah) akan memecu penurunan kadar bahan organik tanah (Syekhfani, 2002). B. Pupuk Kandang Pupuk kandang merupakan pupuk yang penting di indonesia. Selain jumlah ternak di indonesia cukup banyak dan volume kotoran ternak cukup besar, pupuk kandang secara kualitatif relatif lebih kaya hara dan mikrobia dibandingkan limbah pertanian. Yang dimaksud pupuk kandang adalah kotoran hewan/ternak dan urine (Rosmarkam & Nasih Widya Yuwono, 2002). Secara umum dapat disebutkan bahwa setiap ton pupuk kandang mengandung 5 kg N, 3 kg P2O5 dan 5 kg K2O serta unsur-unsur hara esensial lain dalam jumlah yang relatif kecil (Knuti, Korpi dan Hide, 1970). Sifat-sifat pupuk kandang tiap-tiap jenis hewan yang di pelihara mengahasilkan pupuk kandang dengan sifat yang berbeda-beda: 

Kotoran Ayam mengandung N tiga kali lebih besar dari pada pupuk kandang yang lain.



Kotoran kambing mengandung N dan K masing-masing dua kali lebih besar dari pada kotoran sapi.



Kotoran Babi mengandung P dua kali lebih banyak dari kotoran Sapi.



Pupuk kandang dari Kuda atau Kambing mengalami fermentasi dan menjadi panas lebih cepat dari pada pupuk kandang Sapi dan Babi. Karena itu petani biasanya menyebut pupuk kandang sapi sebaagai pupuk dingin (Cold manures).



Dalam semua pupuk kandang P selalu terdapat dalam kotoran padat, sedang sebagian besar K dan N terdapat dalam kotoran cair (urine).



Kandungan K dalam urine adalah lima kali lebih banyak daripada dalam kotoran padat, sedang kandungan N adalah dua kali lebih banyak.

7



Kandungan unsur hara dalam kotoran ayam adalah yang paling tinggi, karena

bagian

cair

(urine)

tercampur

dengan

bagian

padat

(Hardjowigeno, 1987). Tabel: Unsur hara pada pupuk kandang. Ternak

N (%)

Unggas 1.70 Sapi 0.29 Sapi 0.44 Babi 0.60 Domba 0.55 Sumber: (Sarwono Hardjowigeno, 1987).

K2O5 (%)

K2O (%)

1.90 0.17 0.17 0.41 0.31

1.50 0.35 0.35 0.13 0.15

Pupuk kandang yang baru di angkat dari kandang biasanya temperaturnya tinggi (panas), oleh sebab itu tidak boleh langsung dibenamkan ke dalam tanah dekat pekarangan. Biasanya sebelum dipakai terlebih dahulu disimpan (didinginkan) sekitar satu sampai dua minggu. Lebih baik kalau dikeringkan dulu sebelum dipergunakan (Saifuddin Sarief. 1986). Penambahan pupuk kandang dan kompos di kenal sebagai upaya terbaik dalam perbaikan level bahan organik dan humus. Bila tidak dapat dilakukan maka rumput tahunan merupakan tanaman yang mampu melakukan regenerasi dan meningkatkan kadar humus tanah (Nations, 1999). Dosis umum pupuk kandang adalah antara 10 hingga 30 ton/ha untuk kotoran padat dan 4000 hingga 11.000 galon/ha untuk kotoran berbentuk cair. Hasil panen yang tinggi karena penggunaan pupuk kandang adalah merupakan keuntungan tambahan (Syekhfani, 2002). C. Kompos Kompos adalah jenis pupuk yang terjadi karena proses penghancuran oleh alam atas bahan-bahan organis, terutama daun tumbuh-tumbuhan seperti jerami, kacangkacangan, sampah dan lain-lain. Kompos terjadi dengan sendirinya mempunyai kualitas yang kurang baik karena dalam proses penghancuran sering terjadi hal-hal merugikan, seperti pencucian kandungan unsur-unsur penting dan penguapan oleh sinar matahari. Cara memperoleh kompos yang baik adalah dengan mengaktifkan perkembangan bakteri yang melakukan penghancuran terhadap bahan-bahan organis dalam waktu yang singkat, dan menghindarkan faktor-faktor yang dapat mengurangi kaulitas kompos (Sarief. 1986). Sedang Menurut Sutejo (1995), kompos merupakan zat akhir suatu

8

proses fermentasi tumpukan sampah/seresah tanaman dan adakalanya pula termasuk bangkai binatang. Beberapa faktor yang harus diketahui di dalam proses pengomposan menurut Suriawira (2002) adalah: a. pemisahan bahan; bahan-bahan yang sekiranya lambat atau sukar untuk didegradasi/diurai, harus dipisahkan/diduakan, baik yang berbentuk logam, batu, maupun plastik. Bahkan, bahanbahan tertentu yang bersifat toksik serta dapat menghambat pertumbuhan mikroba, harus benar-benar dibebaskan dari dalam timbunan bahan, misalnya residu pestisida. b. Bentuk bahan; semakin kecil dan homogen bentuk bahan, semakin cepat dan baik pula proses pengomposan. Karena dengan bentuk bahan yang lebih kecil dan homogen, lebih luas permukaan bahan yang dapat dijadikan substrat bagi aktivitas mikroba. Selain itu, bentuk bahan berpengaruh pula terhadap kelancaran difusi oksigen yang diperlikan serta pengeluaran CO2 yang dihasilkan c. Kadar air bahan tergantung kepada bentuk dan jenis bahan, masalnya, kadar air optimum di dalam pengomposan bernilai antara 50-70, terutama selama proses fasa pertama. Kadangkadang dalam keadaan tertentu, kadar air bahan bisa bernilai sampai 85%, misalnya pada jerami. Cara pembuatan kompos bermacam-macam, tergantung pada keadaan tempat pembuatan, budaya orang, mutu yang diinginkan, jumlah kompos yang dibutuhkan, macam bahan yang tersedia, dan selera si pembuat. Dan menurut Rosmarkam & Widya Yuwono (2002) mengenai cara pembuatan kompos yaitu; a. Kelembaban timbunan bahan kompos: kegiatan dan kehidupan mikrobia sangat dipengaruhi oleh kelembaban yang cukup, tidak terlalu kering atau basah atau terganggu. b. Aerasi timbunan: aerasi berhubungan erat dengan kelengasan. Apabila terlalu anaerob, mikrobia yang hidup hanya mikroba anaerob

saja,

mikrobia

aerob

mati

atau

terhambat

pertumbuhannya. Sedangkan bila terlalu aerob udara bebas 9

masuk kedalam timbunan bahan yang dikomposkan sehingga menyebabkan hilangnya nitrogen relatif banyak karena menguap berupa NH3. c. Temperatur harus dijaga tidak terlampau tinggi (maksimum 60 derajat celsius): selama pengomposan selalu timbul panas sehingga bahan organik yang dikomposkan temperaturnya naik; bahkan sering temperatur mencapai 60 derajat celsius. Pada temperatur tersebut, mikrobia mati atau sedikit sekali yang hidup. Untuk menurunkan temperatur, umumnya dilakukan pembalikan timbunan bakal kompos. d. Suasana, proses pengomposan kebanyakan menghasilkan asamasam organik, sehingga menyebabkan ph turun. Pembalikan timbunan mempunyai dampak netralisasi keasaman. e. Nertralisasi keasaman: netralisasi keasaman sering dilakukan dengan menambah bahan pengapuran, misalnya kapur, dolomit, atau abu. Pemberian abu tidak hanya menetralisasi, tetapi juga menambah hara Ca, K, dan Mg dalam kompos yang dibuat. f. Kualitas kompos: untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas kompos, timbunan di beri pupuk yang mengandung hara,

terutama

P.

Perkembangan

mikrobia

yang

cepat

memerlukan hara lain, termasuk P. Sebetulnya, P disediakan untuk mikrobia sehingga perkembangan dan kegiatannya menjadi lebih cepat. Pemberian hara ini juga meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan karena kadar P dalam kompos lebih tinggi dari biasa, karena residu P sukar tercuci atau tidak menjadi lebih cepat. Pemberian hara ini juga meningkatkan kualitas kompos lebih tinggi dari biasa, karena residu P sukar tercuci dan tidak menguap. Penggunaan kompos sebagai pupuk tidak berbeda dengan pupuk kandang, dapat ditaburkan sebagai media tanam pengisi pot. Dosisnyapun ha dengan pupuk kandang, sekitar 20 ton/ha tergantung keadaan tanah dan jenis tanaman yang di tanam. Dibandingkan dengan pupuk anorganik, pemberian kompos (juga pupuk kandang) jauh lebih boros. Walaupun harganya lebih murah dari pupuk anorganik, namun karena

10

pemakaiannya banyak, total biaya pupuknya tetap jauh lebih mahal. Apalagi, pengadaanya masih dibebani lagi dengan biaya angkut (Lingga, 2000). Kompos sebagai salah satu contoh pupuk organik, sangat baik dan bermanfaat untuk segala jenis tanaman, mulai dari tanaman hias, tanaman sayuran, tanaman buahbuahan sampai ke tanaman pangan dan perkebunan (Suriwiria, 2002). Akan tetapi, menurut Syekhfani (2002) kompos mengandung lebih banyak humus dibandingkan kotoran hewan. Jadi, penggunaan kompos lebih ditujukan pada perbaikan sifat fisik tanah, sedang pupuk kandang (terutama ternak unggas) pada sifat kimia tanah. Pengomposan mengurangi volume materi bahan organik mentah, khususnya kotoran ternak yang kandungan airnya cukup tinggi. Pengomposan di lahan jauh lebih murah dari pada membeli kompos jadi.

BAB III 11

PENUTUP Bedasarkan uraian di atas maka usaha rehabilitasi tanah dengan menggunakan pupuk organik akan meningkatkan kualitas tanah/lahan secara spesifik yang di sebabkan oleh keseimbangan faktor penyubur tanah dalam hal ini, pupuk-pupuk organik tersebut mengandung banyak unsur hara tanah yang dapat memperkaya tanah tersebut dalam meningkatkan produktivitas lahan/kesuburan tanah serta peningkatan hasil pertanian secara berkelanjutan. Maka kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa penggunaan pupuk kimia pada saat ini telah membuat penurunan hasil pertanian yang disebabkan oleh penumpukan zat-zat kimia yang menyebabkan menurunnya produktivitas lahan. oleh karena itu, penggunaan pupuk organik sebagai pupuk alternatif pengganti pupuk kimia yang ramah lingkungan dapat mengembalikan fungsi tanah sebagaimana mestinya. Dari uraian-uraian di atas maka diharapkan suatu kesadaran bagi kita bersama agar kembali ke alam. Karena dengan penggunaan pupuk organik tanah akan tetap terjaga ekosistemnya. Semua itu untuk kelangsungan hidup anak cucu kita di kemudian hari. Dan diharapkan membuka cakrawala berpikir peneliti, petani dan semua orang yang bergerak dalam dunia pertanian dan penyelamat lingkungan terutama dalam aspekaspek yang belum dikaji, sehingga akhirnya produksi pertanian terus dapat ditingkatkan dengan tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA 12

Ali Hanafia, Dr. Ir Kemal. 2005. Dasar-dasar ilmu tanah. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Djoyodjohadikusuma, Sumirto. 1995. Sumberdaya Alam dan Pembangunan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hardjowigeno, Dr. Ir. Sarwono. 1992. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Siregar, Hadrian. 1981. Budidaya tanaman padi di indonesia. Sastra Hudaya, Bogor. Knuti, L., M. Korpi, and J. C. Hide. 1970. Profitable soil Management. Prentice Hall. Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Lingga, Pinus & Marsono. 2000. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Swadaya, Jakarta. Sutejo, Ir. Mul. Mulyani. 1999. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta, Jakarta. Nations, Allan. 1999. Allan’s Observation. Stockman Grass Farmer. January Press. 12 – 14. Rosmarkam, Afandie & Nasih Widya Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius, Yogyakarta. Sudiarso & Ririen P. Sinkronisasi Pembangunan Desa & Kota Melalui Penerapan Sistem Pertanian Organik. Pelatihan Pembentukan Wirausaha Pupuk Bokashi, Pakan Ternak dan Industri Batako Berbasis Pemanfaatan Sampah Kota. Malang, 29 Juni s/d 10 Juli 2002. Sugito. 2000. pembangunan Pertanian Berkelanjutan di Indonesia, Prospek dan Permasalahannya. Seminar Nasional Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Malang, 21 – 23 Febuari 2000. Suriawiria, H Unus. Pupuk Organik Kompos Dari Sampah. Humaniora Utama Press, Bandung. Suwena, Made. 2002. Peningkatan Produktivitas Lahan Dalam Sistem Pertanian Akrab Lingkungan. Makalah Pengantar Falsafah Sains Program Pasca Sarjana (S3), Institut Pertanian Bogor. Syekhfani. 2002. Peran Bahan Organik Dalam Menunjang Pertanian Berkelanjutan. Pelatihan Pembentukan Wirausaha Pupuk Bokashi, Pakan Ternak, dan Industri Batako Berbasis Pemanfaatan Sampah Kota. Malang, 29 Juni – 10 Juli 2002.

13

Related Documents

Bab I-daftar Pustaka
May 2020 20
Bab 2kajian Pustaka
August 2019 39
Bab Ii Daftar Pustaka
May 2020 22
Pustaka
June 2020 19