Bab I Bab Ii Bab Iii.docx

  • Uploaded by: Dian Purnami
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I Bab Ii Bab Iii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,099
  • Pages: 26
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini

disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium

diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10% kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak muda. Adapun tanda gejala yang yang ditimbulkan bagi yang menderita difteri yaitu demam, sakit tenggorokan, susah menelan, mual dan muntah. Penyakit ini kebanyakan dijumpai di daerah yang sanitasi yang buruk, kebersihan yang tidak terjaga atau non hygine. Dengan demikian, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah yang dimaksud dengan difteri ? 2. Bagaimanakah etiologi dan penularan difteri ? 3. Bagaimanakah manifestasi klinis difteri ? 4. Bagaimanakah pencegahan Difteri ? 5. Bagaimanakah patofisiologi difteri ?

1

6. Bagaimanakah penatalaksanaan difteri ? 7. Apakah pemeriksaan penunjang dari difteri ? 8. Bagaimanakah komplikasi dari Difteri ? 9. Bagaimanakah penanganan penderita difteri ? 10. Bagaimanakah konsep aplikasi asuhan keperawatan pada bayi dengan difteri ?

1.3 Tujuan Tulisan 1. Untuk mengetahui pengertian dari Difteri. 2. Untuk mengetahui bagaimana etiologi dan penularan difteri. 3. Untuk mengetahui manifestasi klinis difteri. 4. Untuk mengetahui cara pencegahan Difteri. 5. Untuk mengetahui patofisiologi difteri. 6. Untuk mengetahui cara penatalaksanaan difteri. 7. Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang dari difteri. 8. Untuk mengetahui apa saja komplikasi dari Difteri. 9. Untuk mengetahui bagaimana penanganan penderita difteri. 10. Untuk mengetahui konsep aplikasi asuhan keperawatan pada anak dengan difteri.

1.4 Manfaat Tulisan 1 Manfaat Teoritis Penulisan makalah ini dapat menambah kajian pustaka mengenai konsep dan aplikasi asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan penyakit Difteri. 2 Manfaat Praktis Makalah ini dapat dijadikan sebagai pedoman awal bagi mahasiswa keperawatan atau tenaga kesehatan (perawat) yang nantinya dapat dipraktikan di lingkungan masyarakat.

2

BAB II KONSEP DASAR TEORI

2.1. Pengertian Difteri Difteri adalah penyakit infeksi akut yang terjadi pada saluran pernapasan bagian atas. Biasanya penyakit ini banyak menginfeksi anak terutama yang masih berusia di bawah 15 tahun, dan bagian tubuh yang diserang ialah tonsil, faring, dan laring, yang merupakan saluran pernapasan bagian atas. Difteri termasuk salah satu jenis penyakit yang cukup berbahaya. Sekitar

10%

penderita

difteri

dapat

berakibat

fatal,

bahkan

bisa

mengakibatkan kematian. Sejak awal permulaan abad ke-20, penyakit ini menjadi salah satu penyebab utama kematian bayi dan anak. Pada umumnya, penyakit ini dijumpai di daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi yang buruk. Ciri yang khusus pada difteri ialah terbentuknya lapisan yang khas berupa selaput lendir pada saluran pernapasan, serta adanya kerusakan otot jantung dan saraf (Fida dan Maya, 2012).

2.2. Etiologi dan Penularan Difteri Penyakit difteri disebabkan oleh sejenis bakteri yang disebut Cornyebacterium diphteriae. Bakteri ini sering kali menular melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita, benda, maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri tersebut. Biasanya, bakteri itu menginfeksi saluran pernapasan. Penularan difteri bisa terjadi melalui droplet infection, benda atau makanan yang terkontaminasi (kontak langsung dengan penderita). Masa inkubasi difteri yaitu 1-6 hari sedangkan masa infesius difteri yaitu 2-4 minggu (jika tidak diobati) dan 1-2 hari (setelah pengobatan dimulai).

3

2.3. Manifestasi Klinis Difteri Gejala difteri mulai terlihat dalam waktu 1-4 hari setelah seorang anak terinfeksi bakteri difteri. Tanda pertama yang muncul adalah sakit tenggorokan dan demam, serta gejala yang menyerupai pilek biasa. Bakteri yang sudah masuk ke dalam tubuh akan berkembang biak sekaligus melepaskan toksin (racun) yang menyebar ke seluruh tubuh, sehingga membuat anak menjadi sangat lemah dan sakit. Sementara itu, ada beberapa gejala lain yang muncul saat seorang anak terinfeksi bakteri difteri, yaitu : a. Ketika menelan, tenggorokan terasa sakit, batuk keras, dan suara menjadi parau b. Perut terasa mual dan muntah-muntah c. Timbul demam, menggigil, dan sakit kepala d. Denyut jantung meningkat e. Terbentuk selaput atau membrane yang tebal, berbintik, berwarna hijau kecokelatan atau keabu-abuan di kerongkongan, sehingga sangat sulit menelan dan terasa sakit f. Jika

difteri

bertambah

parah,

tenggorokan

bengkak,

sehingga

menyebabkan sesak napas, bahkan yang lebih membahayakan bisa menutup jalan pernapasan g. Kelenjar membesar dan nyeri di sekitar leher h. Terkadang telinga terasa sakit akibat peradangan i. Dapat menyebabkan radang pembungkus jantung, sehingga anak berpotensi meninggal dunia secara mendadak.

2.4. Pencegahan Difteri Difteri termasuk salah satu jenis penyakit anak yang bisa dicegah dengan imunisasi. Oleh karena itu, berikanlah imunisasi kepada anak yang sudah berusia 2 bulan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 1 bulan. Jenis imunisasi

4

ini termasuk lima imunisasi dasar lengkap. Biasanya, imunisasi difteri dilakukan bersamaan dengan imunisasi DPT atau difteri, pertusis, dan tetanus. Pemberian imunisasi DPT merupakan salah satu upaya memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis, dan tetanus dalam waktu bersamaan. Meskipun demikian, ada efek samping yang kemungkinan dapat timbul akibat imunisasi itu, misalnya demam, nyeri, dan bengkak pada permukaan kulit. Untuk mengatasi efek samping ini, cukup diberikan obat penurun panas. Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI, imunisasi DPT perlu diulang saat usia sekolah dasar, yakni bersamaan dengan tetanus, yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya, kekebalan hanya berlangsung selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya juga menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali. Selain melakukan penjegahan melalui imunisasi, penyakit difteri juga dapat dicegah dengan selalu menjaga kebersihan, baik secara pribadi maupun lingkungan. Sebab, penyakit menular, seperti difteri, paling mudah menyebar dan menular di lingkungan yang buruk serta tingkat sanitasi yang buruk. Selain itu, sangat penting bagi orang tua untuk selalu menjaga pola makan yang sehat pada anak.

2.5 Patofisiologi Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas terutama bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lainlain.Selain itu dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar kefaring, tonsil, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralysis terutama otot-otot

5

pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis. Kematian pasien difteria pada umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan nafas akibat pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau gagal nafas akibat terjadinya bronkopneumonia. Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi dapat juga melalui perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi oleh kuman difteria.Penyakit dapat mengenai bayi tapi kebayakan pada anak usia balita. Penyakit Difteria dapat berat atau ringan bergantung dari virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering dalam keadaan berat seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea. Pasien difteria selalu dirawat dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi komplikasi seperti mioarditis atau sumbatan jalan nafas (Ngastiyah, 1997). Menurut Iwansain,2008 secara sederhana pathofisiologi difteri yaitu : 1.

Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva, kulit, mata.

2.

Kuman

membentuk

pseudomembran

dan

melepaskan

eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin. 3.

Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.

4.

Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran

pada

laring

menyebabkan kondisi yang fatal.

6

dan

trakea

dan

dapat

PATHWAY Corynebacterium diphteriae ↓ Kontak dengan orang atau barang yang terkontaminasi ↓ Bakteri masuk lewat saluran pencernaan atau saluran pernafasan ↓ Menempel di saluran pernafasan atas ↓ Setelah inkubasi selama 2-3 jam ↓ Corynebacterium diphteriae mengeluarkan toksin (eksotoksin) ↓ Toksin ini di absorpsi oleh membrane sel ↓ Terjadi penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein ↓ Kuman mengeluarkan enzim penghancur NAD (Nicotinanide Adenin Dinucleotide) ↓ Sintesa protein terputus ↓ Nekrosis sel dan jaringan ↓ Terjadi pembentukan eksudat ↓ Produksi toksin meningkat sehingga infeksi meluas ↓ Terjadi pembentukn eksudat fibrin, perlengketan dan membentuk membrane berwarna abu-abu sampai kehitaman ↓ Difteri kurang informasi ↓ ↓ Hipotalamus inflamasi kurang pengetahuan ↓ ↓ PG naik Peningkatan secret di paru-paru ↓ ↓ Suhu tubuh meningkat→ hipertermi Obstruksi bersihan jalan napas tidak efektif ↓ ↓ ↓ Metabolism meningkat Sesak napas ansietas ↓ ↓ Pemecahan KH, protein, lemak dan akan Sianosis Adanya penekanan pada saraf pusat ↓ ↓ Pola napas tidak efektif Nafsu makan menurun ↓ Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

7

2.6 Penatalaksanaan Berbeda dengan beberapa penyakit anak lainnya, pengobatan difteri tidak bisa dilakukan sendiri di rumah. Sebab, difteri termasuk penyakit yang menular, sehingga harus diisolasi. Oleh karena itu, bila anak sudah positif terkena difteri, maka secepatnya ia dirawat di rumah sakit, dan jangan sampai terlambat agar kondisi tidak semakin parah Untuk menghindari komplikasi yang lebih parah dan akibat yang fatal, anak mesti beristirahat total di tempat tidur. Selain itu, bisa juga dilakukan fisioterapi bagi anak yang mengalami gangguan pada sarafnya agar tidak mengakibatkan kelumpuhan. Sedangkan, bagi anak yang tersumbat jalan napasnya, teknik trakeotomi dengan membuat lubang pada batang tenggorokan bisa dilakukan. Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturutturut normal dan pengobatan spesifik. Pengobatan spesifik untuk difteri : 1. ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata. a.

TEST ADS ADS 0,05 CC murni dioplos dengan aquades 1 CC. Diberikan 0,05 CC  intracutan Tunggu 15 menit  indurasi dengan garis tengah 1 cm  (+)

b.

CARA PEMBERIAN  Test Positif  BESREDKA 

Test Negatif  secara DRIP/IV

8

c.

Drip/IV 200 CC cairan D5% 0,225 salin. Ditambah ADS sesuai kebutuhan. Diberikan selama 4 sampai 6 jam  observasi gejala cardinal.

2.

Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai

3 hari bebas demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.

3.

Kortikosteroid,

untuk

mencegah

timbulnya

komplikasi

miokarditis yang sangat membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.

2.7 Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium difteri (Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999). b.

Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).

c.

Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood ( Rampengan, 1993 ).

d. Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis sel darah merah (Rampengan, 1993 )

9

e. Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein (Rampengan, 1993 ). f. Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.

2.8 Komplikasi Difteri Difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ lainnya: a. Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung b. Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak terkoordinasi dan gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu) c. Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan d. Kerusakan ginjal (nefritis).

2.9 Penanganan Difteri 1.

Isolasi penderita Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali berturut-turut negatif.

2.

Pencegahan terhadap kontak Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala klinis, maka diberi imunisasi terhadap

3.

Imunisasi Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan pada usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan

10

berikutnya karena imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian. 4.

Pencarian orang carier difteria dengan uji shick Pencarian orang carier difteria dengan uji shick dan kemudian diobati. Dengan tujuan : Untuk mengetahui apakah tubuh mengandung anti toksin terhadap kuman difteri. Cara : Dengan menyuntikan IC 1/50 Minimal Lethal Dose (MLD) sebanyak 0,02 ml, jika positif akan terlihat merah kecoklatan selama 24 jam

2. 10 Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar a.

Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal,

isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah). b.

Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai

oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan menyeluruh. c.

Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya

berhubungan dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier.

11

d.

Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus dilakukan

kultur dari sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib tergantung dari usia mereka. e.

Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier dengan

menggunakan kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat.Pencarian carrier dengan kultur hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.

12

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PENYAKIT DIFTERI

A. Pengkajian 1.

Biodata

a.

Umur Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun

b.

Suku bangsa Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin

c.

Tempat tinggal Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang.

2.

Keluhan Utama Sesak napas disertai dengan nyeri menelan.

3.

Riwayat Kesehatan Sekarang Klien mengalami sesak napas disertai dengan nyeri menelan demam ,lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia.

4.

Riwayat Kesehatan Dahulu Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah

5.

Riwayat Penyakit Keluarga Adanya keluarga yang mengalami difteri

13

6.

Pola Fungsi Kesehatan a.

Pola nutrisi dan metabolisme Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia

b.

Pola aktivitas Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam

c.

Pola istirahat dan tidur Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur.

d.

Pola eliminasi Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia .

7. 

Pemeriksaan fisik B1 : Breating Adanya pembengkakan kelenjer limfe (Bull’s neck), timbul peradangan pada laring/trakea, suara serak, stridor, sesak napas.



B2 : Blood Adanya degenerasi fatty infiltrate dan nekrosis pada jantung menimbulkan miokarditis dengan tanda irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadangkadang ditemukan tanda-tanda payah jantung.



B3 : Brain Gangguan system motorik menyebabkan paralise.



B4 : Bladder Tidak ada kelainan.

 B5 : Bowel Nyeri tenggorokan, sakit saat menelan, anoreksia, tampak kurus, BB cenderung menurun, pucat.  B6 : Bone Bedrest

14

B. Diagnosa keperawatan 1.

Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret dan edema kelenjer limfe, laring dan trakea.

2.

Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil dan faring.

3.

Hipertermi berhubungan dengan proses masuknya kuman dalam tubuh.

4.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.

C. Rencana Keperawatan NO

DX

TUJUAN

1

I

Setelah

INTERVENSI dilakukan

tindakan

1. Observasi tanda – untuk mengetahui keadaan tanda vital.

keperawatan tentang Oxygen

RASIONAL

theraphy

diharapkan

pola

nafas pasien kembali

umum

2. Berikan

fowler.

Peninggian

dengan

Kriteria hasil :

banyak bergerak.

o Tidak ada suara nafas tambahan.

fungsi

pasien pernapasan

agar tidak terlalu menggunakan

dalam batas normal.

kepala

mempermudah

normal.

o Frekuensi pernafasan

terutama

posisi pada pernapasannya.

yang nyaman /semi 2.

3. Anjurkan

pasien

gravitasiatau

4. Kolaborasi dengan mempermudah pertukaran dokter pemberian lembab

dalam O2 dan CO2. O3.2

Agar

sesak

tidak

atau bertambah.

inhalasi, bila perlu 4.

Membantu kekentalan

dilakukan

secret

sehingga

trachcostomi.

mempermudah pengeluarannya.

1. 2

II

Setelah

dilakukan

Memberikan data dasar untuk

15

menentukan

dan

tindakan

mengevaluasi

keperawatan

klien

mengalami

1.

o

yang diberikan. Kaji status nyeri (lokasi, 2.

pengurangan nyeri.

frekuensi,

Kriteria hasil :

intensitas nyeri).

o Klien tampak rileks. 2. Nyeri

durasi,

3.

Berikan posisi

3.

Ajarkan relaksasi, dalam,

dapat

Sebagai

napas untuk

visualisasi,

menurnkan

rasa nyeri klien.

tekhnik 4.

seperti

Kolaborasi

Meningkatkan relaksasi

yang yang

profilaksis

menghilangkan

dan /mengurangi

bimbingan imajinasi. 4.

Menurunkan stimulus

dan terhadap renjatan nyeri.

berkurang/ nyaman/ semi fowler.

hilang.

intervensi

rasa

nyeri

dan spasme otot.

dengan

dokter dalam pemberian analgesik. 1. 3

Setelah

III

dilakukan

pola demam klien.

tindakan

2.

keperawatan

o

Untuk mengidentifikasi

Vasodilatasi pembuluh darah

diharapakan

suhu 1.

Kaji suhu klien.

tubuh

klien 2.

Berikan kompres dengan 3.

akan

melepaskan

panas tubuh. Peningkatan suhu tubuh

diharapkan normal.

air hangat pada daerah meningkat sehingga perlu

Kriteria hasil :

dahi, axila, lipatan paha.

Suhu tubuh normal 3. (36,50C-37,50C.

Anjurkan minum yang cairan yang banyak. banyak seseuai toleransi 4.

o Akral hangat.

klien. 4.

diimbangi dengan asupan

Obat membantu

Kolaborasi

klien

dengan menurunkan suhu tubuh.

dokter dalam pemberian terapi ( antipieretik) .

16

antipiretik

1. 4

Setelah

IV

dilakukan

ketidakadekuatan nutrisi.

tindakan keperawatn

2.

diharapkan kebutuhan

nutrisi 1. 2.

Kriteria hasil:

Kaji pola makan klien. Anjurkan

Nafsu makan klien 3.

merangsang nafsu makan

kebersihan klien.

oral sebelum makan.

membaik.

3.

Anjurkan makan dalam

dihidangkan habis. 4. Klien mengalami muntah.

Makanan dalam porsi kecil mudah dikonsumsi

porsi kecil disertai dengan oleh klien dan mencegah

o Porsi makanan yang makanan lunak/lembek.

o

Mulut yang bersih dapat meningkatkan/

klien terpenuhi.

o

Menganalisis penyebab

Berikan makan sesuai 4.

tidak dengan selera. mual, 5.

Kolaborasi

terjadinya anoreksia. Meningkatkan

intake

makanan. dengan 5.

Menghilangkan mual,

dokter dalam pemberian muntah dan meningkatkan obat antiemetic.

17

nafsu makan.

BAB III PEMBAHASAN (KASUS FIKTIF) ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. L DENGAN DIAGNOSA MEDIS DIFTERI DI RUANG CENDRAWASIH RSUD WANGAYA PADA TANGGAL 25-26 JANUARI 2016

A. Pengkajian 1. Identitas a. Nama

: An. L

b. Usia

: 6 Tahun

c. Jenis Kelamin

: Laki-laki

d. Suku Bangsa

: Indonesia

e. Alamat

: Jl. Suka Mundur No. 5

2. Keluhan Utama Pasien mengatakan kesulitan saat menarik dan menghembuskan nafas. 3. Riwayat Penyakit Sekarang Anak L demam, sesak nafas dan tidak mau makan karena merasa nyeri saat menelan. Sehingga anak L dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul 3lpm. Pasien mengeluh pilek dan batuk yang disertai dengan dahak 4. Riwayat Penyakit Keluarga Keluarga pasien mengatakan bahwa keluarga tidak pernah menderita penyakit yang sama seperti pasien 5. Riwayat Penyakit Masalalu Pasien tidak pernah memiliki riwayat penyakit yang serius.

18

6. Pola Fungsi Kesehatan a. Pola nutrisi dan metabolisme Asupa nutrisi kurang karena pasien tidak mau makan diakibatka oleh nyeri saat menelan b. Pola aktivitas Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam c. Pola istirahat dan tidur Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur d. Pola eliminasi Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia 7. Pemeriksaan Fisik a. B1 : Breathing (Respiratory System) RR tak efektif (Sesak nafas) b. B2 : Blood (Cardiovascular system) Tachicardi c. B3 : Brain (Nervous system) Normal d. B4 : Bladder (Genitourinary system) Normal e. B5 : Bowel (Gastrointestinal System) Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi f. B6 : Bone (Bone-Muscle-Integument) Lemah pada lengan, turgor kulit

19

ANALISA DATA

TGL/JAM

DATA FOKUS

25/01/2016Puku

DS:

l 11.20 WITA

- Klien

INTERPRETASI/

MASALAH

PENYEBAB - Adanya sekret

mengeluh

penumpukan Ketidakbersihan berlebih

pada jalan napas

jalan napas yang disertai

kesulitan saat menarik

darah

maupun menghembuskan napas DO: - Pasien tampak sesak - Pasien tampak pucat - Adanya retraksi otot dada - Adanya ronchi - RR : 44 kali/menit

B. Diagnosa Ketidakbersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sekret berlebih yang disertai darah pada jalan napas ditandai dengan pasien mengeluh kesulitan saat menarik maupun menghembuskan napas, pasien tampak sesak, pucat, adanya retraksi otot dada, adanya ronchi, RR : 44 kali/menit.

20

C. Intervensi NO

DX

TUJUAN

1

I

Setelah

INTERVENSI dilakukan

tindakan keperawatan tentang

5. Observasi tanda –



tanda vital.

diharapkan

pasien 6. Berikan

posisi

kebersihan jalan nafas

yang nyaman /semi

pasien

fowler.

kembali

untuk mengetahui keadaan

Oxygen

theraphy

umum terutama

pada pernapasannya. 

Peninggian

normal.

kepala

Kriteria hasil :

mempermudah

Pasien

lega

dalam

menarik

dan

menghembuskan nafas Pasien tidak pucat Tidak ada retraksi otot dada o

RASIONAL

Frekuensi pernafasan dalam batas normal.

o Tidak ada suara nafas tambahan.

fungsi pernapasan 7. Anjurkan

dengan

pasien

menggunakan

agar tidak terlalu

gravitasiatau

banyak bergerak.

mempermudah pertukaran O2 dan

8. Kolaborasi dengan dokter pemberian lembab

dalam O2

CO2. 

Agar sesak tidak bertambah.

atau

inhalasi, bila perlu dilakukan trachcostomi.



Membantu kekentalan secret sehingga mempermudah

21

pengeluarannya.

D. Implementasi

No

Tanggal

1

25/01/16

No. DX 1

Jam

07.00

Implementasi

Mengobservasi

Nama

Evaluasi

/TTD

KU DS : pasien mengeluh

pasien

sesak DO : pasien tampak sesak terdapat retraksi otot dada dan pucat

1

08.30

Memberikan

posisi DS : Pasien mengatakan

semi fowler

nyaman

dengan

posisi

yang diberikan DO

:

Pasien

tampak

nyaman 1

11.30

Memberikan menggunakan

O2 DS : pasien mengatakan Nasal nyaman saat benafas saat

Kanul (3lpm)

diberikan

oxygen

menggunakan nasal kanul DO

:

pasien

tampak

nyaman 1

14.00

Memberikan HE untuk DS : pasien mengatakan melatih batuk efektif

22

mengerti dengan HE yang

diberikan DO

:

mengikuti

pasien

mau

intruksi

dari

perawat 1

16.00

Memberikan

tindakan DS : pasien mengatakan

delegatif

dalam nyaman setelah diberikan

pemberian terapi obat nebulizer berupa

nebulizer

combivent

1

18.00

Mengobservasi

DO

:

pasien

tampak

nyaman dan lega TTV DS : pasien mengatakan

pasien

sesak mulai berkurang DO : RR : 40x/menit

1

20.00

Memberikan

posisi DS : pasien mengetakan

miring kiri dan miring nyaman kanan

DO

:

pasien

tampak

keluarga

pasien

nyaman 1

21.00

Memberikan

HE DS

:

kepada orang tua agar mengatakan membatasi

mengerti

aktivitas dengan HE yang diberikan

anak

DO : Keluarga pasien mau mengikuti intruksi yang diberikan

1 26/01/20

07.00

Memberikan

tindakan DS : pasien mengatakan

delegatif

dalam nyaman setelah diberikan

pemberian

terapi

23

16

nebulizer combivent

nebulizer DO

:

pasien

tampak

nyaman dan lega

E. Evaluasi No

Tanggal/Jam

Diagnosa Keperawatan

Evaluasi Sumatif

1

26/01/2016

Ketidakberihan

S

07.00 WITA

napas

berhubungan

dengan

penumpukan

sekret

berleih

jalan

:

Paraf

pasien mengatakan masih

sesak O : pasien tampak sesak, pucat,

yang

adanya

disertai darah

retraksi

otot

dada,

terdapat ronchi, RR : 40 kali/menit A : Masalah belum teratasi, tujuan tidak tercapai P:

24

Lanjutkan intervensi

BAB IV KESIMPULAN 4.1 Simpulan Difteri adalah penyakit infeksi akut yang terjadi pada saluran pernapasan bagian atas. Biasanya penyakit ini banyak menginfeksi anak terutama yang masih berusia di bawah 15 tahun, dan bagian tubuh yang diserang ialah tonsil, faring, dan laring, yang merupakan saluran pernapasan bagian atas. Pada serangan difteri berat akan ditemukan psudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri, dan bahan lainnya, didekat tonsil dan bagian faring yang lain. Membrane ini tidak mudah robek dan berwarna keabu-abuan. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membrane inilah diagnosis dapat ditegakkan. Penularan difteri dapat melalui kontak langsung. Tetapi sejak diperkenalkan vaksin DPT penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.

4.2 Saran Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan tentang penyakit difteri ini.

25

BAB V DAFTAR PUSTAKA

Docngoes, E, Marlynn, dkk .1999. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3 penterjemah Monica Ester, EGC. Jakarta. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak .2005. Ilmu Kesehatan Anak Jakarta: FKUI http://74.125.153.132/search?q=cache:BmqxfKW6OsJ:library.usu.ac.id/download/fk/ persyaraf-kiking2.pdf+difteri&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id. Diakses pada 8 Februari 2019 http://medicastore.com/penyakit/91/Difteri.html diakses pada 8 Februari 2019 https://id.scrib.com/doc/125354784/makalah-difteri-pada-anak Februari 2019

26

Diakses

pada

8

Related Documents


More Documents from ""