“ BAB 9 AUTOKORELASI “
TUGAS EKONOMETRIKA DISUSUN OLEH : NAISERA HENGSIT (16030117) DEWI PUTRI SETIAWATI (16030005) ADITYA NUGRAHA (15030087) ALEX ABRIANTA SINAGA (16030151) FAHYANUL ATMI (16030003) BUDI WIJAYA (16030171)
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS PROF. DR. HAZAIRIN, SH BENGKULU
BAB 9 AUTOKORELASI
A. Pengantar Korelasi dapat dimaknai menjadi (i) korelasi antarvariabel dan (ii) korelasi antar periode waktu. Jika terjadi korelasi yang kuat antarvariabel dapat mengakibatkan terjadinya masalah multikolinearitas. Sedangkan jika terjadi korelasi yang kuat antar periode waktu dapat mengakibatkan terjadinya autokorelasi. Pada konsep asumsi klasik ke-6, dikatakan bahwa “tidak terdapat korelasi antar disturbance term untuk periode berbeda” maka model tersebut mengalami autokorelasi. Korelasi antar disturbance term dapat terjadipada periode berbeda (data time series) maupun pada individu berbeda (data cross section). Umumnya kasus autokorelasi bnanyak terjadi pada data time series, artinya kondisi sekarang dipengaruhi waktu lalu. Oleh karena itu, dalam analisis data time series, masalah autokorelasi menjadi pusat perhatian dalam permodelan Ekonometrika. Bagian ini akan menjelaskan (i) konsep autokorelasi, (ii) konsekuensi adanya Autokorelasi, (iii) cara mendeteksi keberadaan autokorelasi, (iv) bagaimana memperbaiki model dengan Autokorelasi, dan (v) penggunaan E-Views untuk menguji keberadaan dan perbaikan terhadap kasus Autokorelasi.
B. Konsep Autokorelasi Gerhard Tihtner tahun 1965 (lihat Gujarati, 2003: 442) mendefinisikan autokorelasi sebagai korelasi kelambanan (lag correlation) suatu deretan tertentu dengan dirinya sendiri, tertinggal oleh sejumlah unit waktu (u1, u2, ... , un dan u2, u3, ... , un+1,). Dalam berbagai literatur, definisi autokorelasi seringkali ditulis dengan serial korelasi, karena keduanya merupakan suatu sinonim. Secara harfiah, serial korelasi adalah korelasi kelambanan (lag correlation) antara dua seri atau rangkaian yang berbeda ((u1, u2, ... , u10 dan v2, v3, ... , v11, di mana u dan v merupakan dua deretan waktu yang berbeda). Sementara Nachrowi dan Usman (2006) mendefinisikan autokorelasi sebagai kondisi dimana terdapat korelasi antar disturbance term untuk periode yang
berbeda atau korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu variabel. Umumnya kasus autokorelasi banyak terdapat pada data time series, artinya kondisi sekarang (periode t) dipengaruhi oleh waktu (t-n) atau suatu kondisi dimana sifat residual regresi yang saling berkaitan antara satu observasi (ke-i) dengan observasi lainnya (ke-j) sebagai berikut. E (ɛi, ɛj ) ≠ 0; i ≠ j ………………………………………..…………… (9.1) Jika residual tidak saling berkaitan antar observasi ke-i dengan observer ke-j, maka disebut non-autokorelasi atau tidak terjadi autokorelasi. Secara formal sebagai berikut. E (ɛi, ɛj ) = 0; i ≠ j ………..………………………………..…………… (9.2) Keberadaan autokorelasi dapat ditunjjukkan dengan menampilkan pola residual yang diplot terhadap waktu. Beberapa kemungkinan pola-pola residual sebagai berikut. ɛ1
ɛ1
waktu
0
waktu
0
(b)
(a) ɛ1 ɛ1 waktu
0
(c)
waktu
(d)
0 ɛ1
waktu
0
(e) Gambar 9.1. Pola-pola Residual Terhadap Waktu Sumber : Adopsi dari Gujarati (2004)
Pola-pola pada gambar (a) hingga (d) menunjukkan bahwa residual dalam model mengalami perubahan seiring dengan berubahnya waktu. Misalnya pada gambar (a) residual meningkat pada periode tertentu, kemudian menurun selanjutnya meningkat kembali, dimana perubahan pola itu memiliki pergerakan pergerakan yang dapat diprediksi. Pada gambar (b) pola residual meningkat seiring dengan meningkatnya waktu, sedangkan pada gambar (c) pola residual menurun seiring perkemangan waktu, sementara gambar (d) mengikuti pola kuartatik. Pola seperti gambar (a) hingga (d) inilah yang disebut dengan kondisi autokorelasi. Kondsisi non-autokorelasi ditunjukkan oleh pola pada gambar (e) dimana dilai residual memiliki pergerakan yang menyebar disekutsar titik nol seiring berubahnya waktu. Pada pola (e) , perubahan dari residual tidak dipengaruhi oleh adanya perubahan dan waktu. Terjadinya pola-pola residual yang berubah mengikuti perubahan waktu, dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu (Gujarati, 2004); 1. Inersia (kelambaman) Inersia yaitu salah satu karakteristik umum dari data time series. Setiap variabel ekomoni seringkali mengalami penyesuaian secara bertahap dan berlangsung sepanjang waktu ketika terjadi suatu guncangan yang dapat mengakibatkan perubahan data pada variabel itu. Kondisi itu juga dapat terjadi pada sekelompok variabel. Jika demikian maka seorang peneliti dapat menganalisis mengenai kemungkinan pergerakan secara bersama pada tiap variabel yang digunakan pada suatu model. Misalnya pada variabel pertumbuhan ekonomi, tingkat upah, kemiskinan seringkali mengalami penyesuaian ketika terjadi guncangan dari eksternal (seperti perubahan harga), maka secara bertahap variabel itu akan berada dalam penyesuaian menuju keseimbangan. Dalam kondisi ini wajar bila variabel itu mengalami autokorelasi. 2. Keterlambatan (lag) Keterlambatan yaitu kondisi dimana dampak perubahan sebagai respon akibat adanya variabel yang berubah tidak terjadi pada periode yang sama. Misalnya untuk memprediksi pertumbuhan ekonomi, seorang
peneliti
menggunakan
variabel
bebas
berupa
investasi
sektoer
infrastruktur. Jika investasi di bidang infrastruktur meningkat, tidak dapat dikatakan pada saat yang sama perubahan ekonomi juga akan meningkat. Justru ketika aktivitas pembangunan infrastruktur sedang berjalan (misal, pembuatan jalan tol) maka [ertmbuhan ekonomi akan melambat sebagai akibat terganggunya akses dan distribusi barng dan jasa. Pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat pada periode berikutnya, misal 5 tahun setelah aktivitas dari pembangunan infrastruktur berakhir dan manfaat dari infrastruktur dinikmati. 3. Bias Spesifikasi Bias spesifikasi yaitu kondisi adanya kesalahan dalam membentuk suatu model. Kesalahan ini dapat terjadi karena dua hal yakni (i) tidak dimasukkannya variabel yang relevan (omitted variable), dan (ii) digunakannya variabel yang tidak relevan dalam model. Kedua kesalahan ini dapat terjadi karena adanya keterbatasan peneliti dalam memahami konsep sebagai akibat penggunaan literatur berupa teori dan studi terdahulu yang terbatas. Misalnya, model fungsi konsumsi menurut teori konsumsi Keynes hanya menyatakan bahwa “adanya kecenderungan perubahan pendapatan akan mempengaruhi perilaku konsumsi”. Jika kita maknai bahwa keterkaitan antara pendapatan dan konsumsi mengikuti pola yang linear, maka kesimpulan itu bisa benar dan mungkin bisa juga salah. Pola perubahan pendapatan dapat pula mengubah perilaku konsumsi mengikuti pola yang kuaratik, bahkan polyominal bukan hanya pola linear. 4. Manipulasi Data Manipulasi berarti melakukan perubahan dari yang seharusnya. Hal ini terjadi poleh banyak faktor seperti keterbatasan data, data yang outliner, temuan hipotesis yang tidak sesuai teori, dan sebagainya. Jika seorang peneliti melakukan berbagai perubahan data dengan tujuan memperoleh hasil seperti keinginan, maka tindakan tersebut dinamakan manipulasi. Sehingga manipulasi seringkali dikonotasikan negatif. Misalnya suatu penelitian memerlukan data berupa data kuartalan, namun data yang
tersedia dalam bentuk data tahunan. Jika seotang peneliti tu melakukan teknik interpolasi untuk memecah data tahunan menjadi kuartalan, maka tindakan itu dapat dikatakan manipulasi data.
C. Konsekuensi Autokorelasi Menurut Gujarati (2004) dan Baltagi (2008), jika kita memiliki model regresi yang mengalamiautokorelasi, maka estimator OLS yang diperolah tetap tidak bias (unbiassed), konsisten dan secara asimtotik akan terdistribusi secara normal. Namun demikian ia tidak lagu BLUE sebagai konsekuensi dari nilai varian residual regresi yang tidak minimun pada estimator klas linear. Akibatnya adalah nilai t hitung akan menjadi bias juga karena nilai t-hitung diperoleh dari hasil bagi antara ß dengan standard error (t = ß / SE). berhubung nilai standard error bias maka nilai t-hitung juga akan bias atau bersifat tidsak pasti (misleading). D. Deteksi Autokorelasi Antarpola ploting residual terhadap waktu, seperti penjelasan sebelumnya dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaa autokorelasi. Metode ini disebut metode grafis dan perlu dipahami bahwa penggunaan metode grafis sebelumnya digunakan untuk mendeteksi keberadaan autokorelasi tidak dapat dijadikan dasar yang kuat dalam membuat kesimpulan bahwa suatu model mengalami autokorelasi ataupun tidak. Penggunaan grafis hanyalah untuk memberikan informasi awal mengenai kemungkinan yang akurat, perlu dilakukan perhitungan secara statistik. Apabila suatu model mengalami autokorelasi maka akan mempengaruhi nilai standard error dari koefisien penduga parameter model. Dalam bentuk model, deteksi keberadaan autokorelasi dapat dlilakukan dengan cara melakukan estimasi antara residual periode t dengan residual peride t-1, secara formal sebagai berikut.
ɛ1 = ρε t-1 + ϑ t
......................................................................(9.3)
Dimana ρ merupakan koefisien autokorelasi dengan nilai -1 < ρ < 1. Jika dalam pengujian signifikansi secara statistik, maka dikatakan bahwa terdapat pengaruh antara error periode t-1 dengan error periode t.
atau dengan kata lain terjadi autokorelasi. Pengujian autokorelasi pada persamaan (9.3) sering disebut uji autokorelasi tingkat 1 (first order autoregressive) atau dapat ditulis AR(1). Jika autokorelasi terjadi pada derajat 1 atau (AR(1) maka dikatakan bahwa residual pada periode t (εt) bergantung pada residual pada periode sebelumnya (t-1; (εt-1). Metode penghitungan autokorelasi secara statistik dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : Statistik Durbin-Watson (DW Test) Statistik Durbin Watson (DW Test) digunakan untuk melaukan pengujian autokorelasi, uji ini pertama kali duperkenalkan oleh statistikawan James Durbin dan Geoffrey Watson. Uji DW Test ini cocok jika digunakan untuk mengestimasi pola residual pada periode pertama, seperti persamaan (9.3). Beberapa asumsi yang digunakan dalam pengujian autokorelasi dengan DW Test adalah :
DW Test diterapkan untuk model dengan intersep.
Variabel bebas dalam model bersifat non-stokhastik, artinya bersfat tetap untuk proses penyampelan berulang.
Model regresi tidak mencakup nilai lag dari variabel bebas lainnya. Perhitungan statistik untuk memperoleh nilai DW Test yaitu; 2
∑𝑛 1=2(𝜀𝑡−𝜀𝑡−1)
d =-
∑ εt2
……………………………….(9.4)
Berdasarkan persamaan (9.4), penggunaan penghitungan Durbn Watson didasarkan pada nilai εt, yakni suatu nilai perkiraan residual yang memang secara rutin dihitung dalam proses estimasi model regres. Nilai penghitungan Durbin Watson yang digunakan pada pperiode t dan periode t-1, atau berbeda satu periode akan menghasilkan penghitungan ∑ ε1
2
dan ∑ ε2
2
yang memiliki perbedaan relatif kecil, sehingga
seringkali diasumsikan kembali menjadi :
d ~2[
∑ 𝜀 𝑡 𝜀𝑡−1 ∑ εt2
……………………………….…………….(9.5)
Analogi yang sama juga digunakan untuk menghitung nilai koefisien korelasi (p) dari persamaan 9.3 yang akan menghasilkan nilai koefisien korelasi berdasarkan formula: P=
∑∈𝑡∈𝑡−1 ∑∈𝑡2
…………………………………………….………….(9.6)
Nilai koefisien korelasi pada persamaan (9.6) akan menghasilkan nilai yaitu -1 < p < 1. Maka dengan menggunakan persamaan (9.6) maka bentuk persamaan (9.4) dapat diubah menjadi:
d ~ 2 (1-p) …………………………………………………..(9.7) berdasarkan persamaan (9.7) dikatakan bahwa nilai p mendekati nol yang menunjukkan tidak adanya autokorelasi, nilai d akan mendekati 2, begitu pula jika p mendekati 1 yang menunjukkan adanya serial korelasi positif, nilai d akan mendekati nol. Sedangkan jika p mendekati 1, yang menunjukkan serial korelasi negatif, nilai d akan mendekati 4. Untuk membuktikan adanya pengujian autokorelasi, perlu dibuat hipotesa yang didasarkan pada semua nilai p, yakni: Ho
: p = 0 (Tidak terdapat autokorelsi)
Hi
: p ≠ 0 (Terdapat autokorelasi)
Ho
: p = 0 (Tidak terdapat autokorelsi)
Hi
: p > 0 (Terdapat autokorelasi positif)
Ho
: p = 0 (Tidak terdapat autokorelsi)
Ho
: p < 0 (Terdapat autokorelsi negarif)
Keputusan untuk menolak setiap pasangan hipotesa dengan cara membandingkan nilai d-statistik dengan nilai d-tabel. Permasalahannya adalah nilai d-tabel sulit untuk ditentukan, karena itu Durbin-Watson menggunakan nilai panduan dL (durbin upper) untuk memperkirakan nilai d dan secara formal dapat dirumuskan sebagai berikut.
Tabel 9.1. Kemungkinan Daerah Autokorelasi Hipotesis = 0 (Tidak
Ho : p terdapat autokorelsi) Hi : p ≠ 0 (Terdapat autokorelasi) Ho : p = 0 (Tidak terdapat autokorelsi) Hi : p > 0 (Terdapat autokorelasi positif) Ho : p = 0 (Tidak terdapat autokorelsi) Hi : p < 0 (Terdapat autokorelasi negatif)
Nilai d du < d < 4-du
keputusan Terima Ho
0 < d < dL dL < d < du
Tolak Ho
4–d
Selanjutnya berdasarkan Tabel 9.1, dapat digambarkan dalam bentuk
daerah
penerimaan
dan
penolakan
adanya
autokorelasi
menggunakan Gambar 9.2 berikut. f(d)
Menolak H0: Ada Otokorelasi Negatif
Daerah Ragu-Ragu
Daerah Ragu-Ragu
Menolak H0: Ada Otokorelasi Positif
Daerah Tidak Menolak H0: Tidak Ada Otokorelasi Positif atau Otokorelasi Negatif
d 0
dL
dU
2
(4-dU)
(4-dL)
Gambar 9.2 Daerah Distribusi Durbin Watson Sumber : Adopsi dari Baltagi (2008) dan Gujarati (2004)
4
Tahapan yang perlu dilakukan dalam pengujian autokorelasi menggunakan pendekatan uji Durbin-Watson yakni :
Lakukan regresi terhadap model, dan dapatkan nilai residual εt.
Hitung nilai d-statistik menggunakan persamaan (9.4) atau dilihat pada hasil estimasi model.
Buka tabel Durbin-Watson (di lampiran buku ini) dan dapatkan nilai dL dan dU
Buat daerah distribusi Durbin-Watson seperti gambar 9.2 dan letakkan nilai untuk dL , dU kemudian plotkan nilai d-statistik pada daerah itu.
Buat kesimpulan sesuai posisi d-statistik seperti pada gambar 9.2
0 < d < dL
:
terdapat autokorelasi positif
d L < d < du
:
daerah ragu-ragu
du < d < 4-du
:
tidak terdapat autokorelasi
4 - du < d < 4 – dL
:
daerah ragu-ragu
4 – dL < d < 4
: terdapat autokorelasi negatif
Breusch-Godfrey Test Metode Breusch-Godfrey Test serig digunakan untuk menguji keberadaan autokorelasi yang diasumsikan terjadi pada orde tinggi (bukan pada AR(1)). Tahapan pengujian yang dapat dilakukan yaitu: Jika dimisalkan autokorelasi terjadi pada orde n atau AR(n) maka :
ε1 = p1εt-1 + p2εt-2 + …… + pk εt-k + ϑt ……………………….…….. (9.8) Estimasi model dan dapatkan nilai estimasi untuk residual εt Lakukan estimasi Auxiliary Regression berikut: Εt = ß0 + ß1X1 + ……. + ßkXk + p1εt-1 + pkεt-k + μt ……………………….. (9.9)
Buat Hipotesa Pengujian Ho
: p1 = p2 = …. = pk = 0
Hi
: paling tidak terdapat satu koefisien p tidak sama nol
Pengujian untuk memutuskan hipotesa menggunakan statistik LM yang dapat menggunakan formula berikut.
LM =(n – k) Ru2 ……………………….………………………….. (9.10) Dimana nilai Ru2 diperoleh dari hasil estimasi model pada persamaan (9.9). Ru2 maksudnya R2 pada model unrestricted. Statistik LM memiliki distribusi X2 dengan df=k. Meskipun metode BG Test ini sering dghunakan untuk autokorelasi berorde tinggi, namun juga dapat digunakan untuk orderendah yakni AR(1).
E. Perbaikan Autokorelasi Pada model regresi yang menggambarkan data time series, permasalahan autokorelasi akan sering terjadi. Konsekuensi adanya autokorelasi dalam suatu modelc regresi yang diestimasikan menggunakan metode OLS (Ordinary Least Squares) mengakibatkan (i) varian dari sampel yang digunakan tidak mampu menggambarkan karakteristik populasinya. Sehingga (ii) hasil estimasi terhadap parameter juga tidak dapat digunakan untuk memprediksi perubahan pada variabel terikatnya. Sebagai akibat dari (iii) nilai parameter yang tidak lagi akurat. Cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan autokorelasi adalah menggunakan metode grafis, DW Test, maupun BG Test. Selanjutnya berdasarkan kesimpulan mengenai adanya autokorelasim perlu dilakukan tindakan perbaikan. Seperti pendapat Nachrowi dan Usman (2006), autokorelasi yaitu kondisi dimana terdapat korelasi antar disturbance term untuk periode yang berbeda. Nilai koefisien antar disturbance term untuk peride berbeda yakni p (RHO) itulah yang menunjukkan adanya autokorelasi. Jika nilai koefisien signifikan secara statistik, maka disimpulkan terjadi autokorelasi, dan sebaliknya. Jika nilai koefisien tidak signifikan maka tidak ada korelasi antar disturbance term untuk periode yang berbeda atau tidak terjadi autokorelasi. Oleh karena itu untuk memperbaiki permasalahan autokorelasimaka perlu diketahui nilai koefisien antar disturbance term untuk periode yang berbeda yaitu nilai p. metode yang digunakan adalah metode transformasi berdasarkan nilai p berikut. Misalkan diketahui model regresi adalah :
Yt = ß0t + ß1Xit + ß2X2t + ß3X3t + εt ………......…………….. (9.11)
Jika kemudian hasil estimasi terhadap model menggunakan OLS dan analisis dengan membandingkan DW Statistik dengan DW Tabel menghasilkan kesimpulan mengenai autokorelasi, maka perlu dilakukan tindakan perbaikan dengan menggunakan metode antara lain: Lakukan transformasi variabel dengan fungsi logaritma. Tahapan yang perlu dilakukan : 1. Pada menu Equation Estimation, ketik @logY c @log(X1)@log(X2) @log(X3) Setelah disetimasi, lalu perhatikan apakah nilai Durbin-Watsonb statistik masih terkena autokorelasi atau tidak. Jika kesimpulan menunjukkan bahwa masihg terdapat autokorelasi, maka untuk meyakinkan kesimpulan berikut tampilkan nilai plot residual dengan cara klik Proc--Actual,Fitted, Fitted, Residual---Residual Graph. Jika hasil grafik tampilan itu menunjukkan pola residual tidak tersebar merata, melainkan berkumpul pada titik -11 < 0 < 1,ini mengindikasikan adanya masalah korelasi antar residual pada persamaan regresi yang kita miliki. Kesimpulan itu juga sudah ditegaskan dalam pengujian DurbinWatson sebelumnya. 2. Menambahkan variabel Autoregressive (AR) kedalam odel persamaan (9.11). Autoregressive merupakan variabel kelembaman dari variabel terikat yang diletakkkan pada komponen variabel bebas. Misalnya pada persamaan (9.12) jika ditambahkan variabel autoregressive maka :
Yt = ß0t + ß1Xit + ß2X2t + ß3X3t + ß4Yt-1 + εt …………...….. (9.11) Variabel Yt-1 diperoleh dengan melakukan Generate Series sebagai berikut. Yt-1 = Yt – Yt (-1) Variabel Yt-1 dapat juga disebut sebagai AR(1) atau autoregressive ber orde satu. Selanjutnya ersamaan (9.12) diestimasikan dengan menggunakan metode OLS.
Kemudian
nilai
Durbin-Watson
statistik
yang
dihasilkan
dibandingkan dengan Durbin-Watson tabel untuk membuktikan keberadaan autokorelasi. 3. Digunakan metode Cochrrane-Ourcutt (1949) Method. Baltagi (2008) menyarankan dilakukan metode ini untuk memperbaiki masalah autokorelasi. Caranya sebagai berikut: Dapatkan nilai koefisien antar disturbance term untuk periode yang berbeda sehingga diperoleh nilai p. Langkah yang dilakukan adalah : Estimasi model regresi pada persamaan (9.11) dan simpan niai residual fitted, εt Dapatkan nilai εt -1 dengan cara klik Generate Series ketikkan
ε t-i = ε t – ε t (-1) kemudian lakukan estimasi terhadap persamaan regresi :
ε t-i = pi ε t-1 + ϑt setelah nilai koefisien korelasi didapat, lakukan transformasi model menggunakan metode Cochrane-Orcutt (1949) Method sebagai berikut. Untuk variabel Yt diubah menjadi Yt – pYt-1 Untuk konstanta ßot diubah menjadi ßot (1-p) Untuk variabel X1t diubah menjadi X1t - pX1t-1 Untuk variabel X2t diubah menjadi X2t – Px2t-1 Untuk variabel X3t diubah menjadi X2t – Px2t-1
Cara melakukan pengubahan variabel dengan cara klik Generate Series dan buat untuk masing-masing komponen itu. Perlu dipahami bahwa penggunaan metode untuk mentransformasikan variabel dengan nilai RHO dan lagged-nya akan berkonsekuensi hilangnya data satu periode (Baltagi, 2008). Hasil dari transformasi variabel yaitu: Yt-Pyt-1 = ß0T(1-p) + ß1(Xit –Px1t-1) + ß2(X2t –Px2t-1) + ß3(X3t –Px3t-1) +
εt ………………………………………………………………….... (9.13)
Lakukan estimasi ke persamaan (9.13) dan perhatikan apakah nilai DW Statistik mengalami autokorelasi atau tidak. Transformasi itu hanya menggunakan periode (t-1). Jika keberadaan autokorelasi masih terjadi, maka lakukan untuk periode (t2), periode 3 (t-3) dengan prosedur seperti untuk transformasi pada periode (t-1). Kemudian lakukan estimasi kembali dengan hasil transformasi model untuk periode (t-2) maupun periode (t-3). 4. Metode Prais and Winsteen Test (1954)
Metode Prais and Winsteen (1954) merupakan pengembangan dari metode Cochrane-Orcutt (1949) dengan cara (Baltagi, 2008) ; Melakukan perkalian pada observasi pertama pada model persamaan (9.12) dengan √1 − 𝑝2 sebagai berikut. √1 − 𝑝2𝑌1 = ß𝑜√1 − 𝑝2 + ß𝑖√1 − 𝑝2𝑋𝑖 + … + √1 − 𝑝2 ∈ 1 ………… (9.14) Mentransformasi persamaan (9.14) ke dalam metode Cochrane-Orcutt (1949) test untuk periode t = 2,3, … , n. kemudian melakukan estimasi menggunakan OLS. Perlu dipahami bahwa Yi = √1 − 𝑝2𝑌1 Dan, Yi = Yt-pYt-I untuk t=2,3,…,n Analogi yang sama, Xi = √1 − 𝑝2𝑋𝑖 dan Xt = Xt-pXt-I untuk t = 2,3,…,n Untuk nilai konstanta ßo = 1 untuk t = 2,3,… n dan sekarang berubah menjadi variabel baru ßo1 = √1 − 𝑝2 dan ßot = (1-p) untuk t = 2,3, .. , n. Sehingga menggunakan metode Praist and Winsteen (1954) prosedur estimasi dilakukan pada ßot, Xt terhadap Yt tanpa variabel konstanta. 5. The Hilderth-Lu (1960) Search Procedure 6. Pada metode ini, nilai p memiliki nilai antara -1 dan 1, sehingga menggunakan metode The Hilderth-Lu (1960) Search Procedure dengan cara mencari semua nilai p dalam rentang -1 dan 1 (Baltagi, 2008).
Misalnya jika digunakan nilai p antara-0,9 dan 0,9 , maka untuk setiap p yang dihasilkan dari estimasi pada model persamaan (9.13) dan mencatat nilai Residual Sum of Squares yang berkaitan dengan nilai p itu. Selanjutnya dipilih nilai Residual Sum of Squares yang memberikan nilai p terkecil.
F. Aplikasi E-Views Untuk mendeteksi dan melakukan terhadap model dengan autokorelasi, akan digunakan pada persamaan model regresi berikut :
Setelah diestimasi dihasilkan hasil sebagai berikut : Tabel 9.2 Hasil Estimasi Regresi Dependent Variable : PDB Method : Least Squares Date : 05/31/16 Time : 03 : 38 Sample : 1 36 Included observations : 36 Variable Prob. C 0.0196 INFLASI 0.0014 SUKUBUNGA 0.0719 OILPRICE 0.0023 NETEKSPOR 0.0070 R-squared 1250322. Adjusted R-squared 502515.6 S.E of regression
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
2297146
933471.2
2.460864
-256129.8
73266.40
-3.495870
-98371.22
52782.78
-1.863699
94.61380
28.49633
3.320210
-0.000101
3.48E-05
-2.887638
0.793397
Mean dependent var
0.766739
S.D dependent Var
242700.4
Akaike info criterion
27.76529 Sum squared resid 27.98522 Log likelihood 27.84205 F-statistic 1.036545 Prob (F-statistic)
1.83E+12
Schwarz criterion
-494.7752
Hannan-Quinn criter.
29.76163
Durbin-Watson stat
0.000000
Nilai Durbin_Watson statistik menunjukkan sebesar 1,036545 kemudian perlu diperoleh nilai Dublin – Watson Tabel. Menggunakan informasi bahwa jumlah sampel adalah sebesar 36, jumlah parameter (k) selain konstanta sebanyak 4, dan derajat kepercayaan ( α ) sebesar 5%, maka dapat diketahui nilai dL adalah 1,2358 dan nilai dU adalah 1,7245 (lihat Tabel 9.3) Tabel 9.3 Durbin-Watson pada α= 5%
Selanjutnya, berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa nilai Durbin-Watson statistik nilainya lebih kecil dari nilai dL, yakni 1,036545 < 1,2358. Kesimpulannya adalah terjadi autokorelasi positif.
Se Setelah kesimpulan menunjukkan adanya autokorelasi, maka upaya perbaikan dilakukan sesuai metode perbaikan adalah : Melakukan trnasformasi ke dalam fungsi logaritma. Caranya : Pada menu Equation estimasion, ketikkan @log (pdb) c @log (inflasi) @log (sukubunga) @log (oilprice) @ log (netekspor) seperti berikut :
Gambar 9.3 Menu Equation Estimation Setelah di klik OK, akan diperoleh hasil estimasi. Perhatikan nilai DurbinWatsonnya.
Menambahkan Model Autoregressive Model Autoregressive orde pertama dari PDBt adalah PDBt-1 atau AR (1). Cara yang dilakukan : Untuk membuat PDBt-1 adalah dengan langsung mengetikkan AR (1) sehingga model menjadi : PDBt = β0 + β1 INFLASI + β2 SUKU BUNGAt + β3 OILPROCEt + β4
NETEKSPORt + AR (1) + ɛt …………………(9.16)
Untuk mengestimasi, pada menu Equation estimation ketika perintah seperti berikut :
Hasil estimasi sebagai beriktu :
Berdasarkan hasil re-estimasi tersebut, terjadi perubahan nilai Durbin-Watson jika dibandingkan dengan estimasi sebelumnya.
Berdasarkan diagram tersebut, nilai Durbin-Watson statistik meningkat dari 1,0365 menjadi 1,9080. Peningkatan tersebut memberikan dampak hilangnya autokorelasi dalam model. Dengan demikian persamaan untuk kondisi yang ideal (while noise) yang kita peroleh dari model AR (1) adalah : PDB = 5089132.41 – 4578.02* INFLASI + 2314.12
*
SUKUBUNGA
+
6.1578
*
OILPRICE
–
–
7.75771996447e
06*
NETEKSPOR + [ AR (1) = 0.99892 ] Atau dalam bentuk lain : PDB = 5089132.41 – 4578.02 * INFLASI + 2314.12
*
OILPRICE
SUKUBUNGA –
+
7.75771996447e
6.1578
*
–
*
06
NETEKSPOR + ɛt Di mana :
ɛt = 0,9892 * µt – 1 + ɛ Metode Cochrane Orcutt Itterative Method Pada persamaan model regresi (9.15), lakukan estimasi dan dapatkan nilai residual, ɛt. Untuk mendapatkan nilai residual, dari jendela hasil estimasi, klik Proc --- Make Residual series, seperti berikut :
Gambar 9.6 Tahapan Membuat Residual Model Ketikkan dengan nama RESID01 dan klik OK.
Gambar 9.7 Memberi Nama Residual Model Buat generate series ɛt-1 = ɛt
- ɛt (-1) dengan cara :
Klik Generate Series --- ketikkan RESIDt = RESID01-RESID01 (-1) Ingat : resid01 merupakan nilai residual atau disimbolkan ɛt sedangkan RESIDt merupakan simbol ɛt-1
Gambar 9.8 Membuat Persaman Residual Periode t-1 Lakukan estimasi terhadap model : µt
ɛt = ρ t-1 + µt
atau RESID01 = ρ RESIDt +
Gambar 9.9 Meng-estimasi Persamaan Residual
Diperoleh hasil estimasi sebagai berikut :
Gambar 9.10 Hasil Estimasi Residual
Berdasarkan hasil estimasi Gambar 9.10, diperoleh :
ɛt = ρ ɛt-1 + µt
atau,
RESID01 = -1139.85 + 0.502*RESIDT + µt Koefisien ρ sebesar 0,502 yang diperoleh, kemudian digunakan untuk mentransformasikan setiap variabel dalam persamaan (9.15) seperti berikut : 1.
Variabel PDBt diubah menjadi PDBt – ρPDBt – 1
2.
Konstanta β0 diubah menjadi β0 ( 1-ρ )
3.
Variabel INFLASIt diubah menjadi INFLASIt – ρINFLASIt-1
4.
Variabel SUKUBUNGAt diubah menjadi SUKUBUNGA –
ρSUKUBUNGAt – 1 5.
Variabel OILPRICEt diubah menjadi OILPRICEt – ρOILPRICEt-1
6.
Variabel NETEKSPORt diubah menjadi NETEKSPORt -- ρNETEKSPORt-1 Sehingga diperoleh model baru : PDBt - ρPDBt-1 = β0t ( 1 – ρ ) + β1 ( INFLASI1t – ρINFLASI1t-1) + β2 (SUKUBUNGA 2t – ρSUKUBUNGA2t-1 ) + β3 ( OILPRICE3t - OILPRICE3t1)
+ β4 (NETEKSPOR4t – ρNETEKSPOR4t-1 ) + ɛt
…………………………………………………….. ( 9.17 ) Lakukan estimasi terhadap persamaan (9.17) dan perhatikan, apakah nilai Durbin – Watson statistik mengalami autokorelasi atau tidak. Transformasi tersebut hanya menggunakan periode ( t-1 )