SURVEY SOSIAL EKONOMI, SOSIAL BUDAYA DAN MITIGASI SOSIAL
BAB 6 PENANGANAN KONFLIK 6.1.
Konsepsi Konflik Konflik sebagai suatu konsepsi pada umumnya dapat digunakan sebagai
landasan untuk membahas masalah konflik yang wujud dalam kehidupan masyarakat. Dalam memahami, enangani, maupun mengelola konflik perlu diketahui penyebab
terjadinya
konflik
dari
beberapa
perspektif.
Misalnya
hubungan
masyarakat; negosiasi prinsip; kebutuhan manusia; identitas; kesalahpahaman antar budaya; dan seterusnya. Masing-masing perspektif dapat dipilih untuk digunakan sebagai sarana pendekatan mengelola konflik secara tepat guna berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dimiliki oleh f asilitator. Arus utama dalam teori
konflik pada intinya terdiri dari:
Masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan adanya pertentangan terus menems diantara unsur-unsurnya.
Setiap elemen akan memberikan sumbangan pada disintegrasi sosial.
Keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Menurut teori struktural yang ditentang oleh teori konflik mengandung tiga
pemikiran utama :
konflik akhirnya menjadi sesuatu yang hampir dapat dipastikan memang wujud dalam kehidupan masyarakat.
Konflik juga dapat berasal dari tidak tunduknya individu sebagai pihak yang dikuasai terhadap sanksi yang diberikan oleh pihak yang sedang berada pada posisi menguasai.
Konflik merupakan fungsi dari adanya pertentangan antara penguasa dengan yang dikuasai, dimana penguasa senantiasa ingin mempertahankan "Set of Properties" yang melekat pada kekuasaannya. Sementara itu, yang dikuasai
6- 1 Laporan Draft Akhir
SURVEY SOSIAL EKONOMI, SOSIAL BUDAYA DAN MITIGASI SOSIAL
selalu
ter-obsesi
untuk
mewujudkan
perubahan
yang
dianggapnya
merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai perbaikan posisi dirinya. Fenomena konflik dan kekerasan sudah berkembang. Montagu dan Matson (1983) mengemukakan: This contemporary, vague-which has been variously
labeled "terrorist chick", is cruelty cult, and just plain "Punk" is not limited to the movie built runs like a crimson thread throughout the realm of popular culture all the way (Taufiq, 2000). Di Indonesia, kekerasan yang dilakukan pada masa tertentu dipandang sebagai seni mereka dalam menghadapi atau menyelesaikan konflik yang ada. Hal itu dilakukan sebagai pembenaran diri atas tindakan yang dilakukan oleh massa adalah dengan menilai hukum positif yang ada sebagai konstitusi yang tidak dapat dipercaya lagi. Hal ini tidak hanya terkait dengan masalah-masalah umum, seperti ketimpangan sosial ekonomi dan budaya, keridakadilan politik dan sektarianisme ideologi kehidupan, tetapi juga dalam masalah-masalah yang bersifat individual. Konflik maupun kekerasan dapat pula bersifat konkrit dan abstrak. Konflik yang konkrit cenderung mudah diupayakan alternatif solusi yang tepat. Sebaliknya konflik abstrak relatif lebih sulit untuk diupayakan solusinya. Konflik dapat Diklasifikasikan berdasarkan; dampak dalam organisasi yakni fungsional dan
disfungsional, berdasarkan posisi para pelaku yakni horisonal dan vertikal, berdasarkan sifat dari para pelaku yakni tertutup dan terbuka, berdasarkan
lamanya konflik yakni sesaat dan berkepanjangan, serta berdasarkan rencana target yakni sistematis dan nonsistematis. Bagaimanapun, faktor latar belakang agama, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan bahkan posisi wilayah geografis berpengaruh terhadap terjadinya konflik. Dari konflik, dapat dipelajari berbagai hal untuk menghasilkan situasi yang lebih baik di masa-masa selanjutnya.
6- 2 Laporan Draft Akhir
SURVEY SOSIAL EKONOMI, SOSIAL BUDAYA DAN MITIGASI SOSIAL
Gambar 6.1. Intensitas konflik Tabel 6.1. Proses Konflik Pra Konflik
kondisi dimana tidak terdapat kesesuaian sasaran di antara para pihak sehingga dapat berkelanjutan menjadi konflik. Ditandai adanya ketegangan hubungan di antara para pihak dan atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lainnya.
Konfrontasi
Konflik terbuka dimana hubungan para pihak menjadi sangat tegang dan mengarah pada polarisasi di antara para pendukungnya ; ditandai adanya pertikaian dan kekerasan pada tingkat rendah msaing masing pihak serta upaya mencari dukungan untuk meningkatkan taraf konfrontasi itu sendiri Kondisi yang menunjukkan klimak suatu konflik, ditandai ketegangan dan atau kekerasan yang paling hebat. Para pihak sudah tidak ingin saling berkomunikasi dan saling perang pernyataan bahkan fisik (senjata) Situasi tertentu yang timbul dari krisis, pada tahap ini tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan mulai menurun dan terdapat kemungkinan penyelesaian dapat berbentuk menang-kalah, menang-menang, kalah-kalah Kondisi konflik dapat diselesaikan dan ketegangan berangsur kurang. Hubungan para pihak mengarah pada situasi normal. Namun jika pemicu konflik tidak diatasi dengan pendekatan yang tepat, dapat berakibat fatal yaitu kembali pada tahap pra konflik, tidak sebagai awal siklus
Krisis
Akibat
Pasca konflik
6- 3 Laporan Draft Akhir
SURVEY SOSIAL EKONOMI, SOSIAL BUDAYA DAN MITIGASI SOSIAL
6.2.
Peringatan dini konflik Dalam rangka mengelola konflik di Indonesia secara efektif, maka
penanganan konflik bukan hanya melakukan tindakan setelah konflik dan resolusi konflik, tetapi memerlukan upaya prevensi. Cara yang dapat dijalankan sebagai strategi pencegahan konflik adalah mengembangkan model sistem peringatan dini.
Pengembangan
model
sistem
peringatan
dini
mendesak
untuk
diimplementasikan karena memberi kemanfatan besar bagi upaya pencegahan konflik tidak menjadi manifes. Sistem peringatan dini konflik bila ditelusuri lebih jauh merupakan bagian dari sistem siaga dini konflik. Hal tersebut dapat dilakukan menggunakan dua strategi yaitu: pertama, tanggapan dini yang menekankan pada tindakan untuk mereduksi, resolusi, dan tranformasi konflik; kedua, peringatan dini menekankan pada koleksi
data
secara sistematis, analisis
dan/atau
memformulasikan
rekomendasi, termasuk di dalamnya memberikan informasi terhadap bahaya konflik, estimasi terhadap tingkat konflik, serta analisis peringatan dengan mengkomunikasikan pada pengambil keputusan (Wulf & Debiel, 2009). Prediktor yang digunakan dalam pengembangan sistem peringatan dini konflik adalah identitas sosial. Bukti penelitian menunjukkan bahwa identitas sosial memberi kontribusi terhadap konflik . Secara konseptual dapat dijelaskan mengenai identitas sosial menjadi prediktor konflik dapat dilihat dari identitas sosial yang terdiri dari aspek kategorisasi, identifikasi kelompok, dan bias kelompok Kategorisasi
Identifikasi kelompok
Identitas sosial
KONFLIK
Bias Kelompok
Gambar 6.2. Identitas sosial
6- 4 Laporan Draft Akhir
SURVEY SOSIAL EKONOMI, SOSIAL BUDAYA DAN MITIGASI SOSIAL
Sistem peringatan dini konflik sosial dapat dijelaskan sebagai berikut: Tabel 6.2 Indikator Level Eskalasi Konflik Sosial Tahap Konflik
Indikator
1. Meningkatnya intensitas dan jumlah keluhan terhadap kelompok lain. 2. Meningkatnya kesadaran akan perbedaan yang mendorong Waspada munculnya persepsi dan sikap yang berbeda terhadap kelompok lain (level 1) 3. Meningkatnya intensitas emosi negatif dan psikis yang dibangun dalam kelompok terhadap kelompok lain 1. Tingginya interaksi dan komunikasi langsung antar individu dalam kelompok terkait upaya menghadapi kelompok lain. Siaga (level 2)
Awas (level 3)
2. Tingginya mobilisasi politik dan organisasi yang berada dibelakang masing-masing kelompok dalam upaya mencari dukungan untuk menghadapi kelompok lain. 3. Meningkatnya kohesivitas antara pimpinan kelompok dan anggotanya terutama dikaitkan dengan upaya perlawanan atau penyerangan 1. Meningkatnya perilaku bermusuhan antar kelompok baik fisik maupun verbal. 2. Berkembang upaya penggunaan senjata untuk menghadapi atau mengancam kelompok lain. 3. Kelompok semakin terbagi dalam dikotomi dan jumlah kelompok yang menjadi pendukung masing-masing sisi terus meningkat.
Tahapan penanganan konflik sebagai berikut : 1. Menerima Laporan Konflik a. Pihak yang terlibat memberikan pendapat yang berbeda mengenai suatu obyek yang berakibat pada konflik. b. Unit Operasional menerima informasi mengenai suatu konflik yang terjadi di dalam/di sekitar wilayah operasional. c. Unit operasional berkoordinasi dengan Tim Penanganan Konflik untuk mengidentifikasi dan menganalisis konflik. 2. Merencanakan Penanganan Konflik a. Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis konflik, unit operasional terkait dan tim penanganan konflik menyusun rencana penanganan konflik. b. Tim Penanganan Konflik meminta persetujuan Pucuk Pimpinan untuk penanganan konflik. 3. Penanganan Konflik
6- 5 Laporan Draft Akhir
SURVEY SOSIAL EKONOMI, SOSIAL BUDAYA DAN MITIGASI SOSIAL
a. Tahap pertama penanganan konflik dilakukan dengan cara negosiasi. Pihak yang berkonflik dengan perusahaan berhak untuk memilih wakil mereka dalam proses perundingan. b. Jika negosiasi tidak berhasil, proses penanganan konflik ditingkatkan menjadi mediasi. Di dalam proses ini dimungkinkan pelibatan pihak ketiga yang disetujui oleh pihak berkonflik. Jika proses mediasi tidak berhasil maka penanganan konflik dilakukan dengan cara litigasi, dan seluruh proses harus didokumentasikan dengan baik. Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan terhadap kesepakatan yang dicapai dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali di setiap akhir semester. Evaluasi terhadap kesepakatan yang dicapai dilakukan setiap 1 (satu) tahun sekali pada akhir tahun. Laporan kemajuan penanganan konflik disusun secara berkala setidaknya setiap bulan sekali.
6.3.
Rencana Strategis Strategi
program
pembangunan
muncul
sebagai
alternatif
dalam
penyusunan rencana pembangunan menggantikan model perencanaan lama (konvensional), yaitu perencanaan jangka panjang (long-range planning) maupun perencanaan yang berbasis pada tujuan. Kebutuhan sebuah perencanaan strategis disebabkan perubahan eksternal yang terjadi dengan cepat dan tidak menentu. Hal ini menuntut sebuah organisasi atau komunitas untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan itu secara internal agar mampu mempertahankan fungsi dan peranannya dalam memberikan pelayanan terbaik kepada kelompok sasaran. Oleh karena itu, organisasi harus mampu mengatasi lingkungan eksternal dan secara berkelanjutan melakukan kajian terhadap kapasitas internal sebagai prasyarat untuk tetap memelihara dan mempertahankan eksistensinya. Pada penerapan model perencanaan konvensional berangkat dari asumsi penetapan tujuan jangka panjang sebagai entry point dalam pengelolaan sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sementara dalam perencanaan strategis
6- 6 Laporan Draft Akhir
SURVEY SOSIAL EKONOMI, SOSIAL BUDAYA DAN MITIGASI SOSIAL
berangkat dari visi, misi dan nilai-nilai yang menjadi dasar untuk merespon perubahan di masa depan. Dengan demikian perencanaan strategis merupakan bagian dari perubahan itu sendiri. Proses ini dilakukan melalui kajian sistematis yang memadukan visi, misi, serta perkembangan lingkungan eksternal berupa peluang dan ancaman serta kekuatan dan kelemahan sebagai lingkungan internal suatu organisasi untuk menentukan arah yang ingin dicapai. Dalam penerapannya perencanaan strategis lebih maju dan berkembang di bidang militer—pertahanan dan bisnis sebagai respon terhadap perubahan lingkungan eksternal (sosial, ekonomi, teknologi, politik, market dan persaingan). Berdasarkan tantangan dan perubahan eksternal tersebut, mengharuskan sebuah organisasi untuk melakukan pengaturan atau penyesuaian terhadap lingkungan internalnya, jika organisasi itu ingin tetap bertahan dan tidak tertinggal terhadap proses perubahan yang demikian cepat. Demikian halnya dalam perencanaan komunitas, perubahan akan berlangsung cepat dan mempengaruhi struktur sosial yang ada termasuk persaingan yang tajam akibat benturan kepentingan. Fase krisis dan konflik yang terjadi dalam komunitas tidak cukup hanya dirumuskan dalam kerangka perencanaan jangka panjang tetapi melalui sebuah rencana strategis yang mampu membangun sebuah perubahan masyarakat yang damai, penyelesaian konflik, dan pengelolaan sumber daya didasarkan visi, nilai-nilai, tujuan dan kekuatan yang dimilikinya secara berkelanjutan. Richard A. Mittenthal dalam artikel berjudul “Ten Keys To Successful Strategic Planning For Nonprofit And Foundation Leaders” menjelaskan bahwa perencanaan strategis telah lama digunakan sebagai alat untuk mentransformasi (transforming) dan merevitalisasi (revitalizing) perusahaan, organisasi pemerintah dan organisasi non-permerintah. Perencanaan Strategis adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk pendapatkan kejelasan arah dan tujuan suatu organisasi. Dalam perencanaan tersebut dilakukan analisis masalah, identifikasi potensi pemecahan masalah, dan menyusun program dan kegiatan untuk mencapai tujuan. Perencanaan strategis berfokus pada pengembangan suatu visi yang luas dan strategi khusus berdasarkan analisis komprehensif terhadap situasi (meliputi kekuatan dan kelemahan) serta lingkungan termasuk peluang dan
6- 7 Laporan Draft Akhir
SURVEY SOSIAL EKONOMI, SOSIAL BUDAYA DAN MITIGASI SOSIAL
kecenderungan atau “trends” dan mengembangkan kegiatan yang memiliki dampak terhadap masyarakat. Perencanaan strategis merupakan suatu proses berkelanjutan untuk memperbaiki kinerja (performance) sebuah kelompok, komunitas atau organisasi akibat situasi krisis atau konflik yang dialaminya dengan mengembangkan visi, tujuan, cara atau metode untuk mencapainya. Memperbaiki sebuah tatanan yang telah rapuh akibat konflik sosial yang berkepanjangan atau berbagai gejolak akibat perebutan kekuatan—kekuasaan membutuhkan suatu rencana yang memandang perubahan yang lebih baik, positif dan berkelanjutan. Tuntutan dan kebutuhan untuk perubahan dituangkan dalam bentuk rencana strategis sebagai arah, kebijakan dan panduan bagi pemangku kepentingan untuk mewujudkannya. Dalam proses perencanaan strategis ditentukan arah, tujuan, nilai-nilai dan keadaan komunitas, serta mengembangkan pedekatan pelaksanaan kegiatan untuk mencapai target yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Dengan konsisten memfokuskan perhatian pada visi dan tujuan yang lebih spesifik, perencanaan strategis menjadi alat untuk merespon atau tanggap terhadap perubahan lingkungan. Tabel 6.3. Rencana Strategis Penanganan Konflik No
Uraian Kegiatan
1
melaksanakan sosial mapping secara periodik
2
melaksanakan sosialisasi kegiatan sebelum pelaksanaan drilling dan work over
3
melaksanakan koordinasi dengan SKPD terkait
4
memperhatikan kegiatan tradisi lokal dan ikut menunjangnya
5
melaksanakan program CSR secara periodik, berupa a. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Desa dan Masyarakat, b.
Peningkatan Sanitasi dan Kesehatan Masyarakat
c.
Peningkatan Pendidikan dan Pelatihan
d.
Pengembangan Agribisnis
e.
Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
f.
Pelestarian Alam dan Budaya
g.
Peningkatan Infrastruktur
6
melaksanakan peningkatan kemampuan personil dalam upaya pencegahan konflik
7
mendokumentasikan dan mempublikasikan setiap kegiatan CSR
1
2
tahun ke 3
4
6- 8 Laporan Draft Akhir
5