BAB 6 METODE PENELITIAN KLINIS (CLINICAL TRIAL) A. PERKEMBANGAN PENELITIAN KLINIS Perkembangan penelitian klinis atau clinical trial adalah sejalan dengan perkembangan ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran sebagai ilmu alamiah (natural science) berkembang melalui dua cara, yaitu melalui observasi dan cara eksperimen. Cara observasi ini dilakukan dengan mencatat sifat-sifat dan gejala-gejala yang terjadi secara alamiah, dan dengan cara ini kemudian diperoleh informasi tentang perjalanan alamiah penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sedangkan cara eksperimen, dilakukan dengan mengatur kondisi tertentu terhadap objek, kemudian mengamati terhadap perubahanperubahan yang terjadi pada objek tersebut. Di dalam ilmi kedokteran/kesehatan, kedua cara ini saling menunjang dan saling melengkapi. Metode observasi dalam penelitian kedokteran ini umumnya sudah sangat tua, sama dengan umur ilmu kedokteran itu sendiri. Meskipun mempunyai banyak kelemahan, tetapi metode ini masih digunakan sampai pada saat ini. Kelemahan-kelemahan metode observasi dalam ilmu kedokteran ini antara lain : faktor-faktor yabg terlibat dalam menimbulkan dan mengubah riwayat atau perjalanan penyakit itu sangat kompleks sehingga dengan cara observasi saja mungkin sama sekali tidak dapat ditemukan apa yang sesungguhnya merupakan urutan sebab dan akibat dalam riwayat penyakit. Untuk mengatasi kekurangan ini, maka para ahli bersepakat untuk menganjurkan penggunaan metode eksperimen. Dengan menggunakan metode eksperimen ini setiap gagasan yang baik dalam mengatasi masalah kesehatan/kedokteran, harus diuji terlebih dahulu sebelum diterima kebenarannya. Perkembangan di bidang pengobatan, sampai abad ke – 18 pada umumnya masih bersifat empiris, berdasarkan asumsi subjektif pada beberapa orang penderita. Asumsi-asumsi ini kemudian ditambah dengan tradisi, kepercayaan, dan tahayul, diteruskan ke generasi berikutnya (turun-temurun). Kemudian pada kira-kira permulaan abad ke – 19, Claude Bernhard menyatakan perlunya eksperimen dalam pengembangan ilmu kedokteran. Sejak saat itu, pengobatan mulai diuji secara eksperimen melalui binatang percobaan, sebelum dilakukan terhadap manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun obat-obat
tersebut telah memperlihatkan manfaatnya pada binatang percobaan, tetapi ternyata diragukan manfaatnya pada manusia. Bahkan beberapa obat diantaranya menimbulkan efek yang mengerikan, walaupun pada percobaan binatang telah dinyatakan aman. Hal ini juga didasari bahwa antara binatang dan manusia terdapat perbedaan spesies, yang akan dengan sendirinya membawa perbedaan dalam respons. Dengan adanya kenyataan-kenyataan tersebut, maka dalam rangka pengembangan ilmu kedokteran, khususnya di bidang pengobatan, diputuskan bahwa penelitian yang bersifat eksperimen harus dilakukan pada manusia. Tetapi penggunaan perkataan eksperimen ini dihindarkan karena menimbulkan kesan penyiksaan terhadap manusia, dan tidak etis. Oleh sebab itu, penelitian obat yang dilakukan pada manusia ini selanjutnya disebut penelitian klinis atau clinical trial. Sampai pada saat ini istilah clinical trial mencakup dua pengertian, yakni : a) clinical trial sebagai rangkaian kegiatan penelitian obat pada manusia; b) clinical trial sebagai metode penelitian yang bersifat eksperimen. Oleh karena penelitian klinis ini sasarannya manusia dan menyangkut masalah etik, hukum, sosial, budaya, dan sebagainya, maka diperlukan undang-undang tersendiri. Tetapi di Indonesia, sejauh ini belum mempunyai undangundang tentang hal tersebut. Di negara-negara yang sudah maju pada umumnya sudah mempunyai undang-undang tentang pendidikan klinis ini. Menurut undang-undang tersebut, penelitian klinis harus memenuhi tiga kriteria, yakni : a. Kegiatan penelitian klinis itu mencakup pemberian obat oleh dokter atau dokter gigi kepada pasien. b. Ada bukti-bukti yang menyatakan bahwa obat tersebut mempunyai efek yang bermanfaat bagi pasien. c. Pemberian obat tersebut bertujuan untuk menentukan berapa besar dan sampai berapa jauh suatu obat mempunyai efek-efek yang menguntungkan dan merugikan. Penelitian klinis sebagai metode penelitian adalah suatu penelitian yang bersifat prospektif dan komparatif.
B. PROSEDUR PENGUJIAN OBAT
Masalah kesehatan atau kedokteran tidak terlepas dari masalah obat dan penggunaannya pada manusia. Oleh sebab itu, penelitian kesehatan mencakup pula penelitian penggunaan obat. Obat, di samping berguna untuk penyembuhan penyakit, juga mempunyai berbagai efek negatif terhadap kehidupan manusia, bahkan penggunaan yang salah terhadap obat dapat menimbulkan kematian pada manusia. Untuk itu maka sebelum obat dipasarkan harus dievaluasi terlebih dahulu melalui penelitian. Dalam usaha pengembangan dan evaluasi obat ini harus melalui berbagai tahap penelitian, yang pada umumnya dibagi dalam tiga tahap, yakni: a) penelitian farmakologi preklinis; b) penelitian farmasi; c) penelitian klinik. Penelitian farmakologi preklinis dan farmasi adalah penelitian. Percobaan obat pada binatang percobaan, sedangkan penelitian klinis (clinical trial) adalah penelitian percobaan obat pada manusia. Dalam bab ini hanya akan dibahas penelitian tahap ketiga (penelitian klinis) saja.
C. TAHAP TAHAP PENELITIAN KLINIS Tujuan penelitian klinis adalah untuk menguji efektivitas obat pada manusia. Dengan sendirinya sebelum obat tersebut dicobakan pada manusia terlebih dahulu harus dicobakan pada binatang percobaan. Berdasarkan tujuannya, penelitian klinis ini dibagi dalam empat tahap, yakni : 1. Tahap Pertama Tahap pertama penelitian klinis ini merupakan pemberian obat untuk pertama kali pada manusia, setelah obat yang bersangkutan telah lolos dari penelitian farmakologi dan toksiologi pada binatang percobaan. Tujuan penelitian klinis tahap ini untuk memperlihatkan efek farmakologi klinis suatu obat pada sekelompok kecil penderita atau sukarelawan. Pengukuran dalam penelitian ini menyangkut khasiat obat, dengan data yang dikumpulkan adalah : jenis obat, hubungan antara dosis dengan respons, lama kerja obat pada dosis tunggal, metabolisme, dan interaksi. 2. Tahap Kedua Tujuan penelitian pada tahap ini adalah untuk menentukan apakah kerja farmakologi yabg telah dibuktikan pada tahap pertama tersebut berguna untuk pengobatan. Indikator dari pengukuran penelitian tahap ini adalah penyembuhan penyakit. Tetapi
karena kesembuhan tersebut biasanya terjadi pada waktu yang panjang, maka efek farmakologilah yang dijadikan indikator, misalnya kadar gula darah, penurunan tekanan darah, dan sebagainya. Selain itu perlu dikumpulkan data tentang efek samping yang cukup untuk memperkirakan secara dini rasio antara risiko dan keuntungan. Dari penelitian pada tahap ini dapat ditentukan manfaat obat yang bersangkutan dibanding dengan obat atau cara pengobatan lain yang telah ada. Dalam tahap ini pula dapat ditentukan hubungan antara dosis dan kadar obat dalam plasma atau jaringan dengan efek klinisnya. 3. Tahap Ketiga Pada tahap ini doperlukan orang percobaan atau penderita yang lebih banyak, dan dilakukan di luar tempat penelitian tahap kedua, dan hasil penelitian ini dapat memperkuat atau menolak hal – hal yang ditemukan pada penelitian tahap kedua, misalnya: insiden efek samping yang frekuensinya rendah, profil obat yang berdangkutan bila digunakan pada pasien yang tidak terseleksi secara teliti, dan sebagainya. 4. Tahap Keempat Tahap ini adalah penelitian yang dilakukan setelah obat dipasarkan. Oleh sebab itu, penelitian ini sering disebut post marketing drug surveillance, yang tujuannya adalah mengatasi kekurangan informasi yang ada pada penelitian tahap sebelumnya. Penelitian ini mencakup empat masalah pokok, yaitu: a. Efek samping, terutama yang muncul akibat penggunaan obat jangka pendek b. Masalag manfaat, yang mencakup efek obat pada pemberian jangka lama dalam usaha pencegahan kekambuhan, komplikasi penyakit, dan manfaat obat-obatan dibanding dengan cara penyembuhan yang lain c. Data penggunaan, yang mencakup penggunaan obat untuk indikasi baru, kelebihan pakai (overused), salah guna (misused), dan penyalahgunaan (abused), yang biasanya sukar dijumpai pada percobaan klinis yang terkontrol.
d. Rasio biaya atau risiko/keuntungan, bahaya dan biaya. Pada tahap ini, metode penelitian yang digunakan bukan saja yang bersifat penelitian klinis, tetapi digunakan pada penelitian epidemiologi, survei dan pemantauan (monitoring). Pada saat ini clinical trial sebagai suatu metode penelitian kesehatan/kedokteran penggunaannya tidak hanya terbatas pada pengembangan dan evaluasi cara penyembuhan yang lain, misalnya : operasi, fisioterapi, jenis dan cara perawat, dan sebagainya. Semua kegiatan ini biasanya disebut penelitian pelayanan kesehatan (health care trial).
D. KOMPONEN KOMPONEN PENELITIAN KLINIS Untuk mencapai hasil penelitian yang dapat dipercaya (reliable), maka penelitian itu memerlukan perencanaan, pengorganisasian, dan administrasi yang baik. Dalam penelitian klinis tujuan tersebut akan dapat tercapai apabila
komponen-komponen
penelitian klinis dipahami dengan baik. Komponen-komponen tersebut sebagai berikut : 1. Tujuan Tujuan umum penelitian klinis adalah untuk membuktikan derajat dan keamanan obat yang digunakan pada manusia. Untuk mencapai tujuan ini penelitian klinis memerlukan empat tahap seperti yang telah disebutkan di atas. Dalam memantapkan tujuan penelitian klinis harus jelas dan spesifik. Untuk mencapai perumusan tujuan penelitian yang baik diperlukan penelusuran kepustakaan yang banyak, terutama mengenai patofisiologi penyakit, farmakologi, dan hasil penelitian klinis yang telah dilakukan oleh orang lain. 2. Seleksi Penelitian klinid dirancang untuk menentukan efektivitas suatu obat terhadap penyakit tertentu. Oleh sebab itu, seleksi penderita berdasarkan penyakit yang diderita adalah komponen yang sangat penting dalam penelitian klinis. Seleksi penderita ini mencakup dua hal, yakni demarkasi diagnostik dan antisipasi prognostik. Demarkasi diagnostik adalah membedakan orang sehat dengan orang sakit, dan membedakan berbagai penderita dari penyakit yang mempunyai gejala yang sama. Sedangkan antisipasi prognostik adalah membedakan stadium
penyakit dan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil pengobatan. Kedua macam seleksi ini dapat digunakan untuk mengelompokkan penderita yang akan dimasukkan ke dalam kelompok trial (percobaan). Untuk seleksi penderita ini ada tiga kelompok kriteria, yakni :
a. Kriteria diagnostik Kriteria ini berisi persyaratan untuk mengekkan diagnosis. Penderita yang memenuhi semua persyaratan harus dimasukkan, dan dengan kriteria diagnostik yang sama untuk setiap penderita akan diperoleh penderita yang sama. b. Kriteria komorbid Kriteria ini memuat penjelasan tentang penyakit lain yang menyertai atau yang menyulitkan diagnosis, dan berpengaruh terhadap riwayat penyakit dan pengobatannya. Kriteria ini digunakan untuk menyeleksi penderita ke dalam kelompok trial. Apabila kriteria komorbid ini terlalu banyak di masukkan ke dalam kriteria untuk pemilihan penderita, maka akan diperoleh penderita yang murni penyakitnya, meskipun kelompok ini tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya. Penyakit komorbid dalam clinical trial ini sering mempunyai nilai diagnostik yang dapat merupakan sumber bias, yang tidak diketahui sewaktu menilai hasil pengobatan. c. Kriteria preterapi Kriteria ini mencaku persyaratan tentang umur, status ekonomi dan sosial, geografis, keparahan penyakit, dan pengobatan yang sudah di terima oleh penderita. Seperti kriteria komorbid, kriteria preterapi ini tidak boleh terlalu ketat digunakan untuk menyeleksi penderita. Hal ini disebabkan karena jumlah penderita yang layak untuk penelitian akan berkurang, dan juga tidak mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. 3. Disain Penelitian Inti pokok penelitian klinis adalah membandingkan antara kelompok yang menerima trial (percobaan obat) dengan kelompok yang tidak menerima trial
(kontrol). Karena itu dalam penelitian ini selalu terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok treatment (T) yang menerima percobaan obat dan kontrol (K) yang tidak menerima obat atau mungkin menerima placebo atau obat standar. Kemudian hasil pengobatan kepada kedua kelompok tersebut dibandingkan untuk mengetahui obat mana yang lebih efektif dan lebih aman. Agar dapat melakukan perbandingan yang memenuhi syarat
dan memperoleh hasil yang dapat
dipercaya, perlu disusun rancangan atau disain penelitian yang sesuai. Dengan adanya disain ini diharapkan dapat menjamin adanya dua atau lebih kelompok yang sebanding dalam demarkasi diagnostik dan antisipasi prognostiknya. Di samping itu, dengan adanya disain ini diharapkan adanya jaminan pengukuran yang objektif pada kedua kelompok tersebut. Untuk memperoleh kelompok yang sebanding dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain: a. Pembagian kelompok trial dan kelompok kontrol secara acak (random). Keuntungan-keuntungan pembagian secara acak ini adalah: 1) Memberikan kesempatan yang sama besarnya bagi setiap anggota kelompok (penderita) untuk dimasukkan ke dalam kedua kelompok tersebut. 2) Membagi secara rata pengaruh faktor-faktor yang belum dapat dinyatakan
peranannya
dalam
riwayat
penyakit
dan
pengobatannya. 3) Memenuhi persyaratan untuk analisa statistik. Pembagian
kelompok
berdasarkan
acak
ini,
biasanya
disebut
randomized clinical trial (RCT). Dalam penelitian klinis kelompok kontrolnya dinamakan concurent control. Disain ini dianggap yang paling baik dalam penelitian klinis, meskipun tidak selalu dapat dilakukan karena berbagai hambatan antara lain etik, hukum, kasus jarang,biaya dan sebagainya. b. Bila kelompok kontrol tidak mungkin diadakan, cara lain untuk memperoleh kelompok yang sebanding ialah dengan mencari dari literatur atau dari pengalaman yang lalu. Kelompok kontrol yang diperoleh dengan cara ibi disebut historical control atau literature
control. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh kelompok historis sebagai kelompok kontrol ini antara lain: kelompok penderita tersebut menerima pengobatan standar yang sama dengan yang diterima kelompok pembanding, metode evaluasi pengobatan sama, distribusi ciri-ciri penderita yang penting harus sama dengan ciri-ciri yang ada pada kelompok trial dan sebagainya. Untuk dapat melakukan pengukuran yang objektif terhadap hasil pengobatan dalam penelitian klinis, teknik pengukuran yang sering digunakan ialah double blind. Dengan teknik double blind ini dimaksudkan, baik penelitian maupun penderita sama-sama tidak mengetahui atau tidak dapat membedakan obat apa yang diterima dan yang diselidiki pada kedua kelompok tersebut. Sedangakan pelaksana pemberi obat (pelaksana trial) adalah dokter klinis yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut. Dengan cara ini akan diperoleh: 1. Peneliti terbebas dari beban moral untuk membagikan penderita pada suatu trial untuk penyakit yang selama ini belum ada pengobatan yang efektif, sedangkan obat yang diteliti diduga lebih efektif. 2. Peneliti terhindar dari “bias” selama observasi hasil pengobatan. Objektivitas pengukuran akan lebih baik lagi bila penderita juga mengetahui tentang obat apa yang diterima, seandainya penelitian terhadap hasil pengobatan memerlukan keterangan dari penderita, terutama mengenai kejadian efek samping. Di samping teknik double blind, ada teknik single blind yaitu hanya penderita saja yang tidak mengetahui obat atau placebo yang diminumnya. Sedangkan peneliti sendiri boleh mengetahui obat atau placebo yang diberikan kepada penderita. Untuk penelitian klinis yang tidak mempunyai concurent control, sudah barang tentu tidak mempunyai teknik “blind” ini dan biasanya menggunakan istilah “open trial” yang dilakukan pada tahap 1 dan tahap 2 clinical trial tersebut. E. Pengukuran Dalam penelitian klinik pengukuran dilakukan terhadap respons atau reaksi penderita terhadap obat yang dicobakan. Untuk menilai respons penderita ini diperlukan berbagai macam data penunjang. Data ini dikelompokkan menjadi:
a. Data demografis, yang mencakup jenis kelamin, umur, pekerjaan, berat badan, tinggi badan dan sebagainya. b. Data klinis dan praklinis,
yang mencakup gejala penyakit, keluhan
penderita baik yang dirasakan maupun yang diperoleh melalui alat-alat diagnosis. c. Data komorbid, yaitu penyakit lain yang menyertai atau komplikasi dari penyakit pokok. Data atau informasi-informasi dapat diperoleh melalui cara wawancara, observasi, maupun pemeriksaan. Selanjutnya data tersebut diklasifikasikan menjadi dua, yakni data keras (hard data) dan data lunak (soft data). Hard data ini mencakup umur, jenis kelamin, berat badan, kadar gula darah, tekanan darah dan sebagainya yang diperoleh dengan observasi dan interpretasi secara objektif. Sedangkan soft data mencakup nyeri, sesak napas, pusing dan sebagainya, observasi dan interpretasinya secara subjektif. Untuk menilai penderita terhadap pengobatan, semua data penting yang ada dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu: 1. Data Farmakologi dan Terapi Data ini terdiri dari varians yang relevan dengan tujuan penelitian klinis. Untuk menentukan respons penderita terhadap obat, maka yang perlu diukur adalah perubahan yang timbul. Perubahan yang timbul ini diukur dari perbedaan respons antara sebelum, selama dan sesudah pengobatan. Selanjutnya besarnya perubahan tersebut merupakan indikator atau indeks keberhasilan pengobatan, pengukuran yang digunakan varians kategori, misalnya sembuh, tidak sembuh atau varians ordinal, misalnya sembuh sempurna, ada perbaikan, tidak berubah, memburuk. 2. Data Periterapi dan Efek Samping Data periterapi berhubungan dengan kemudahan penderita untuk menerima pengobatan, sedangkan data efek samping terdiri dari farmakologi ikutan, reaksi alergi, toleransi, dosis yang berlebihan (over dosis) dan sebagainya. Data ini dicatat selama pemberian obat dan atau sesudah obat dihentikan. Baik data periterapi maupun data efek samping ini sering ditinggalkan saja, tidak diolah lebih lanjut untuk dijadikan indikator bagi penentuan kepatuhan penderita dan indikator bagi keamanan penggunaan obat.
3.
Data Prognostik Data ini berasal dari faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan, misalnya penyakit-penyakit lain (komorbid), lama penyakit, faktor psikis dan genetik yang terutama berpengaruh terhadap efek periterapi dan efek samping. Dalam penelitian klinis faktor prognostik terhadap respons penderita harus dinyatakan setelah dilakukan analisis statistik. Untuk keperluan ini, setiap penderita kelompok percobaan atau kelompok kontrol yang mempunyai prognosis yang sama dimasukkan dalam subkelompok yang sama sehingga akhirnya diperoleh kelompok percobaan dan kontrol yang sebanding dengan subkelompok yang mempunyai prognosis yang sebanding pula.
F. Dasar Penilaian Penelitian Klinis Untuk memperoleh hasil dan kesimpulan hasil penelitian klinis yang dipercayai kebenarannya, diperlukan penilaian secara klinis. Penilaian hasil penelitian klinis dapat dilakukan dengan baik apabila berpedoman pada prinsip-prinsip dasar sebagai berikut: a. Tujuan penelitian klinis ialah untuk menilai manfaat dan bahaya obatobat an yang digunakan atau akan digunakan pada manusia. b. Metode penelitian klinis adalah eksperimen, bukanlah survei dan bukan pula bersifat retrospektif. c. Esensi penelitian klinis adalah pembandingan (comparison). d. Validitas dari pembandingan tergantung
pada relevansi, ketetapan
pengukuran dan bebas dari segala macam praduga. e. Tujuan penelitian klinis adalah untuk mendapatkan kesimpulan (inference) yang dapat berlaku untuk seluruh penderita (populasi). f. Kepercayaan (reliability) terhadap kesimpulan yang diambil tergantung pada validitas pembandingan.