BAB 6 PEMBAHASAN 6.1
Pembahasan Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan menggunakan rancangan penelitian cross sectional yang mempunyai tujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Campurejo Kota Kediri. Jumlah sampel penelitian yang digunakan adalah 450 ibu/pengasuh balita dan pada penelitian ini menggunakan simple random sampling. Kemudian dianalisis menggunakan uji statistik univariat, bivariat (Chi- Square), dan multivariat (regresi logistik). Dalam penelitian ini faktor pendidikan, ASI Eksklusif, status gizi, sarana air bersih, kepemilikan jamban, sarana SPAL, kepemilikan tempat sampah serta perilaku ibu/pengasuh balita berpengaruh signifikan terhadap kejadian diare (p<0.05), sedangkan faktor pekerjaan tidak berpengaruh signifikan terhadap kejadian diare (p=0,688) di Wilayah Kerja Puskesmas Campurejo Kota Kediri. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Campurejo Kota Kediri, yaitu:
1.
Pendidikan Ibu/Pengasuh Balita Pada penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Campurejo didapatkan adanya pengaruh antara pendidikan ibu terhadap kejadian diare yang pernah dialami responden dalam 3 bulan terakhir. Hasil penelitian ini sama dengan
77
78
penelitian yang dilakukan oleh Junita (2014) dengan judul Faktor – Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Wilaya Kerja Puskesmas Bangun Purba dengan hasil p value 0,003 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian diare pada balita. Penelitian di RS dr. Cipto Mangunkusumo juga mengatakan ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian diare. Pada umumnya, tingkat pendidikan formal seseorang cenderung berhubungan positif dengan tingkat pengetahuannya. Selain itu, pendidikan juga dapat memengaruhi perilaku dan pola hidup seseorang (Hapsari, 2018).
Penelitian yang dilakukan oleh
Adeyimika (2017) juga sepakat dengan penelitian ini yang menyatakan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kejadian diare. Pendidikan tinggi pada seseorang akan membuat orang tersebut lebih berorientasi pada tindakan preventif, memiliki status kesehatan yang lebih baik dan mengetahui lebih banyak tentang masalah kesehatan. Hasil tersebut juga didukung oleh penelitian Rohmah di Surabaya yang menyebutkan bahwa tingkat pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi morbiditas balita. Pendidikan yang tinggi cenderung lebih banyak mendapatkan informasi yang didapat dari media cetak maupun elektronik. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan sulitnya penerimaan informasi tentang pentingnya personal hygiene dan sanitasi lingkungan untuk mencegah terjadinya penyakit diare sehingga mereka terkesan acuh dan tidak memperhatikan upaya pencegahan penyakit (Rohmah,
79
2017). Penelitian yang dilakukan di Riau dan Pekanbaru juga mengatakan bahwa pendidikan sangat berpengaruh pada upaya peningkatan kesehatan anak sehingga ibu akan lebih tanggap akan bahaya pada anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu diharapkan akan semakin baik dalam pengasuhan anak dan penatalakasanaan awal diare di rumah (Shahzad, 2018). 2.
Pekerjaan Ibu/Pengasuh Balita Pada penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu terhadap kejadian diare yang dialami oleh balita di Wilayah Kerja Puskesmas Campurejo dalam 3 bulan terakhir. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Eva Yanti et al. (2014) mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dengan kejadiian diare pada balita yang berobat ke badan Rumah Sakit Umum Tabanan, dimana didapatkan hasil tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian diare yang dialami oleh balita. Penelitian lain dilakukan oleh Wijaya (2012) di Universitas Negri Semarang juga menunjukan hasil yang tidak signifikan (p=0,451) dimana tidak ada hubungan antara status pekerjaan ibu dengan kejadian diare. Hal ini disebabkan oleh karena ibu-ibu di wilayah Campurejo lebih banyak yang tidak bekerja dari pada yang bekerja, sedangkan yang bekerja telah mempunyai pengasuh yang mampu memberikan perhatian kepada balitanya. Sebaliknya ibu yang tidak bekerja seharusnya mampu memberikan perhatian lebih kepada balitanya. Sedangkan, Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dwiriyanti & Savira. (2015) yang dilakukan pada anak usia dibawah 5 tahun di Puskesmas Rawat Inap Pekanbaru, dikatakan bahwa
80
pekerjaan dapat mempengaruhi intensitas dan kulitas ibu dalam mengasuh anaknya. Ibu yang tidak bekerja memiliki waktu lebih banyak untuk dapat mengasuh anaknya dengan maksimal di rumah sehinga dapat lebih tanggap untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada anaknya. Ibu yang tidak bekerja juga memiliki waktu untuk rutin membawa anak ke pusat kesehatan, sehingga meminimalkan angka kematian anak yang menderita diare. 3.
Status Gizi Balita Hasil analisa data didapatkan bahwa nilai p value adalah 0,000 (<0,05) yang berarti terdapat hubungan antara status gizi balita dengan kejadian diare pada balita di wilayah kerja puskesmas campurejo kota Kediri tahun 2019. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian herlina (2014) di Puskesmas Jatidatar Kecamatan Bandar Mataram Kabupaten Lampung Tengah tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare dengan hasil bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian diare pada balita dengan p value: 0,000 (<0,05). Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa balita dengan status gizi, memiliki hubungan dengan kejadian diare, dimana hal tersebut berkaitan dengan daya tahan tubuh balita terhadap kuman penyakit yang menginfeksinya sehingga pada anak dengan status gizi kurang lebih rentan terinfeksi kuman/bakteri. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Fatmawati (2015) didapatkan bahwa status gizi kurang yang mengalami diare sebanyak 20 orang (95,2%) dan 9 orang (22%) responden tidak mengalami
81
diare. Sedangkan pada status gizi cukup yang mengalami diare sebanyak 1 orang (4,8%) dan yang tidak mengalami diare sebanyak 32 orang (78%), data di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden yang memiliki gizi kurang mengalami diare karena pada balita dengan status gizi kurang daya tahan terhadap tekanan atau stress menurun, sistem imunitas dan antibody berkurang sehingga balita mudah terserang infeksi seperti diare. Menurut penelitian Iskandar W J, et al (2015) mengatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian diare pada anak dibawah usia 5 tahun dimana nilai p value 0,000 (<0,05), ditunjukkan bahwa sekitar setengah dari subyek penelitiannya yaitu mengalami diare degan gizi kurang hal ini disebabkan salah satunya oleh daya tahan tubuh anak yang mengalami gizi kurang lebih rentan dari pada dengan anak dengan gizi cukup. Diare cair akut dan dehidrasi ringan hingga sedang mendominasi jenis diare dan dehidrasi dalam penelitian Iskandar W J. Kondisi itu menunjukkan Rotavirus sebagai penyebab yang paling mungkin karena rotavirus penyebab utama diare akut dan penyebab kematian pada balita yang menderita diare akut. Penelitian lain yang mendukung dilakukan oleh Kurniawati (2016) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian diare pada balita yang menyatakan bahwa balita dengan status gizi kurang mempunyai risiko mengalami diare 1.73 kali lebih tinggi dari pada balita dengan status gizi normal karena malnutrisi pada balita dapat mempengaruhi perkembangan thynic yang berpengaruh terhadap penurunan
82
jumlah limfosit peripheral. Kondisi defisiensi imun tersebut menyebabkan balita rentan terhadap infeksi. Menurut penelitian Maidarti (2017) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor gizi dengan kejadian diare pada balita di Puskesmas Bbakansari Kota Bandung dimana p value (0,000) < 0,05. Status gizi balita yang bermasalah akan berakibat menurunnya imunitas penderita terhadap berbagai infeksi terutama bakteri penyebab diare, karena pada dasarnya tubuh memiliki 3 macam untuk menolak infeksi yaitu melalui sel (imunitas seluler), melalui cairan (imunitas humoral), dan aktifitas leukosit polimer fonukleus. 4.
Asi eksklusif Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa cakupan pemberian asi eksklusif yang mengalami diare di Wilayah Kerja Puskesmas Campurejo sebesar 23,3% dan yang tidak diare sebesar 76,7%, sedangkan yang tidak mendapatkan asi eksklusif yang mengalami diare sebesar 87,2% dan yang tidak mengalami diare sebesar 12,8%. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan antara pemberian asi eksklusif dengan kejadian diare pada balita. Hal ini sesuai dengan penelitian Rohma (2015) yang mengatakan bahwa ada hubungan antara balita yang tidak diberi asi dengan kejadian diare pada balita karena adanya sIgA (Secretory Immunoglobulin A) dalam asi. SIgA memiliki peran dalam perlindungan local pada lapisan mukosa dari saluran pencernaan. Isi pelindung lainnya dalam asi seperti IgG, IgM, IgD, Bifidobacterium,bifidum, laktoferin, laktoperoksidase, lisozim, makrofag, neutrofil, limfosit dan lipid.
83
Pada penelitian Pradirga (2014) mengatakan bahwa responden yang memberikan makanan tambahan pada bayi dibawah umur 6 bulan beresiko 3,267 kali terkena diare dibandingkan dengan responden yang hanya mendapatkan asi eksklusif. Menurut penelitian Selviana (2015) mengatakan bahwa ada hubungan antara pemberian asi eksklusif dengan kejadian diare akut pada balita dengan Nilai OR sebesar 2,723 artinya, responden yang tidak memberikan asi eksklusif balitanya berisiko 2,723 kali lebih besar terkena penyakit diare akut dari pada yang memberikan asi eksklusif. Pada penelitian ini juga menyebutkan seorang bayi yang diberi air putih atau minuman herbal, lainnya berisiko terkena dire 2-3 kali lebih banyak dibandingkan bayi yang diberi asi eksklusif. 5.
Sarana Ketersediaan Air Bersih Pada penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara faktor sarana air bersih terhadap kejadian diare yang dialami oleh balita dalam 3 bulan terakhir. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Afriani (2017) di Kelurahan Talang Jawa Sumatra Selatan dan Rahman et al (2016) di Desa Solor Kecamatan Cermee Bondowoso bahwa ketersediaan sarana air bersih mempengaruhi kejadian diare pada balita. Hal ini menjelaskan bahwa, kurangnya ketersediaan air bersih akan meningkatkan cakupan kejadian diare, begitu juga sebaliknya ketersediaan air bersih yang cukup akan menurunkan cakupan kejadian diare.
84
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Damayanti (2017) dipekanbaru mengenai hubungan antara ketersediaan air bersih terhadap kejadian diare balita didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan ketersediaan air bersih dengan kejadian diare pada balita. Dan mendapatkan kesimpulan bahwa keluarga yang tidak memiliki ketersediaan air bersih 5 kali beresiko terkena diare pada balita. Permasalahan utama kejadian diare di Indonesia disebabkan karena pada daerah yang belum memiliki akses air bersih, didaerah tersebut kebanyakan menggunakan air yang masih banyak pertumbuhan bakteri E.coli sehingga akan meningkatkan penularan diare (Komarulzaman, 2016). Namun pada hasil studi sistematic review yang dilakukan oleh Darveshe et al (2017) menunjukkan kejadian diare tidak berpengaruh terhadap kualitas air. 6.
Ketersediaan Jamban Jamban merupakan salah satu komponen penting yang harus ada disetiap rumah. Hasil penelitian di Kelurahan Campurejo menunjukkan bahwa rumah dengan
kepemilikan
jamban
yang
tidak
memenuhi
syarat
signifikan
mempengaruhi kejadian diare pada balita (0.003). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pradirga di Kota Makassar, hasil menunjukkan bahwa responden yang tidak memiliki jamban atau memiliki jamban tapi tidak memenuhi syarat berisiko 4.339 kali terkena diare dibanding responden yang memiliki jamban dan memenuhi syarat (Pradirga, 2014).
Penelitian di Korea tahun 2017 didapatkan bahwa rumah tangga dengan kepemilikan jamban menunjukkan prevalensi diare yang lebih rendah
85
pada anak-anak di bawah 4 tahun yang mengalami diare daripada rumah tanpa
jamban, terlepas dari jenis jamban yang digunakan. Hal ini
menunjukkan bahwa jamban itu sendiri memberikan manfaat kesehatan, bahkan jika tidak sepenuhnya dilengkapi dengan unsur-unsur yang dikira perlu ditingkatkan (Cha et al, 2017). Penelitian Rohmah (2017) juga mendukung penelitian ini bahwa ada hubungan yang signifikan antara penggunaan jamban sehat dengan kejadian diare di Puskesmas Sekardangan Kabupaten Sidoarjo. Rumah tangga yang menggunakan WC yang memenuhi syarat dan sehat untuk buang air kecil dan besar mempunyai risiko lebih kecil bagi anggota keluarga untuk tertular penyakit. Pembuangan tinja yang tidak sesuai aturan akan mempermudah penyebaran penyakit yang dapat menular melalui feses, seperti penyakit diare. Rumah tangga yang mempunyai kebiasaan membuang tinja yang tidak sesuai aturan akan meningkatkan risiko diare pada balita sebesar 2 kali lipat dibandingkan dengan rumah tangga yang mempunyai kebiasaan membuang tinja sesuai aturan. 7.
Sarana Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) Pada penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara ketersediaan saluran pembuangan air limbah terhadap kejadian diare yang dialami oleh balita dalam 3 bulan terakhir. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan lintang (2016) di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang 2 Kabupaten Rembang Jawa Tengah, dimana sarana pembuangan air limbah yang baik dan memenuhi syarat akan mengurangi
86
kejadian diare sedangkan pembuangan air limbah yang tidak sehat atau tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan terjadinya pencemaran pada permukaan tanah dan sumber air. Dengan demikian sarana saluaran pembuangan limbah yang memenuhi syarat dapat mencegah atau mengurangi kontaminasi air limbah terhadap lingkungan. Air limbah harus dikelola dengan baik, sehingga air limbah tidak menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit, tidak terdapat lalat, tidak mengotori sumber air dan tidak menimbulkan bau (Norman, 2016). Pada penelitian systematic review yang dilakukan oleh Wolf (2014) mengenai pengaruh air minum dan sanitasi lingkungan terhadap kejadian diare, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sanitasi lingkungan termasuk sarana pembuangan air limbah terhadap kejadian diare. Penelitian lain yang dilakukan Meliyanti (2018) mengenai faktor yang berhubungan dengan kepemilikan saluran pembuangan air limbah rumah, menunjukan
bahwa
terdapat
hubungan
antara
kepemilikan
saluran
pembuangan limbah terhadap timbulnya bibit penyakit salah satunya seperti diare. Dimana SPAL yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan penyebaran bibit penyakit seperti diare. Berdasarkan Permenkes tahun 2014 sarana pembuangan air limbah yang sesuai adalah tidak terbuka, tidak menggenang, tidak berbau, tidak menjadi perindukan vector, dan terhubung dengan limbah umum/sumur serapan. Sehingga mampu mencegah penyebaran vector penyakit seperti diare dan sebagainya.
87
8.
Sarana Pembuangan Sampah Penelitian
ini
menunjukkan
adanya
hubungan
antara
sarana
pembuangan sampah dengan kejadian diare pada balita. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dini, Machmud, dan Rasyid pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengelolaan sampah dengan kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kambang, Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2013. Nilai Odds Ratio menunjukkan bahwa responden dengan pengelolaan sampah buruk mempunyai risiko 3,3 kali menderita diare pada balita dibandingkan responden dengan pengelolaan sampah baik. Pengelolaan sampah yang baik penting untuk mencegah penularan penyakit dengan cara menyediakan tempat sampah. Sampah harus dikumpulkan setiap hari dan dibuang ke tempat penampungan sementara. Pengelolaan sampah yang buruk juga dipengaruhi kondisi tempat penampungan sampah sementara, kebiasaan membuang sampah dan pengelolaan sampah yang sudah terkumpul (Dini, Machmud, dan Rasyid, 2015). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa sebagian besar responden melakukan pengelolaan sampah dengan baik yaitu dengan cara dibakar dan sebagian ada juga yang ditimbun. Beberapa responden masih ada yang membuang sampah sembarangan seperti di belakang maupun di halaman rumah yang tidak dikelola dengan baik. Kebiasaan membuang sampah tidak pada tempatnya menjadi faktor risiko untuk timbulnya berbagai vektor bibit penyakit. Faktor risiko lain penyebab diare pada balita adalah tempat sampah
88
yang digunakan dengan konstruksi yang tidak kuat dan mudah bocor seperti wadah plastik dan kantong plastik serta beberapa kondisi tempat sampah terdapat vektor seperti serangga yang dapat menyebabkan diare pada balita (Dini, Machmud, dan Rasyid, 2015). Menurut penelitian Oloruntoba, Folarin, and Ayude menunjukkan adanya peningkatan resiko diare pada balita dengan ibu/pengasuh dengan tempat pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat. Selama penelitian, juga ditemukan bahwa beberapa rumah tangga yang membuang sampah di sekeliling rumah. Sebagian besar tempat sampah tidak tertutup sehingga menarik lalat. Metode penanganan limbah yang buruk membuat anak-anak berisiko terkontaminasi makanan oleh lalat. Hal ini dapat meningkatkan kejadian diare karena jalur penularannya melalui dari rute fekal-oral (Oloruntoba, Folarin, and Ayude, 2014). Penelitan lain menunjukkan bahwa sarana pembuangan sampah di Desa Ngunut, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung yang tidak memenuhi syarat sebesar 84,2%. Dari hasil observasi terhadap sarana pembuangan sampah pada responden di Desa Ngunut sebagian besar responden membuang sampah dengan cara dipendam dalam lubang dan dibakar. Sedangkan untuk konstruksi tempat sampah, hampir semua responden tidak memiliki tempat sampah yang permanen karena kebanyakan mereka menggunakan tas plastik (tas kresek) untuk tempat sampah sehingga langsung dibuang. Selain kebiasaan responden membuang sampah di kebun (lahan kosong) dan dibakar sebagai cara pembuangan akhir, juga masih
89
ditemukan sampah yang dibiarkan begitu saja di belakang rumah mereka. Dari hasil statistik uji menunjukkan adanya hubungan antara sarana pembuangan sampah dengan kejadian diare pada balita. Hal ini di tunjukkan dengan angka kejadian diare pada balita lebih besar pada responden yang memiliki sarana pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan responden yang memiliki sarana pembuangan sampah yang memenuhi syarat. Pemukiman penduduk merupakan salah satu penghasil sampah terbesar yang berasal dari hasil kegiatan rumah tangga. Sampah padat yang tidak dikelola dengan baik dan asal buang saja, akan menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena sampah tersebut dapat menjadi sarang vektor penyakit (Azizah, 2014). Selain itu pada penelitian yang dilakukan Aziz juga menunjukkan bahwa kejadian diare meningkat pada balita yang memiliki tempat sampah yang tidak sehat (Aziz et al, 2018). 9.
Perilaku Ibu/Pengasuh Balita Pada penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku ibu/pengasuh terhadap kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Campurejo. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Evayanti, Purna, dan Aryana menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare pada balita di Rumah Sakit Umum Tabanan. Sebanyak 62,86% mempunyai kebiasaan baik, sedangkan sebanyak 37,14% memiliki kebiasaan buruk (Evayanti, Purna, dan Aryana, 2014).
90
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Taosu dan Azizah, menunjukkan bahwa responden yang memiliki kebiasaan mencuci tangan sebelum makan yang menderita diare lebih rendah (23,6%) dibandingkan dengan yang kadang-kadang atau tidak pernah mencuci tangan sebelum makan (74,4%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dengan kejadian diare pada balita di desa Bena. Sedangkan responden yang memiliki kebiasaan mencuci tangan setelah buang air besar (29,4%) kejadian diare lebih rendah dibandingkan dengan yang kadang-kadang atau tidak pernah mencuci tangan setelah buang air besar (70,6%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan mencuci tangan setelah buang air besar dengan kejadian diare pada balita. Kontak antara agent dan host dapat terjadi melalui air, yang sering terjadi adalah melalui air minum yang tidak dimasak. Perilaku mencuci tangan sebelum makan, mencuci tangan setelah buang air besar dan kebiasaan minum air yang telah dimasak merupakan upaya penting dalam mencegah terjadinya diare (Taosu dan Azizah, 2014). Pada penelitian yang dilakukan oleh Diouf et al menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian ini, yaitu mencuci tangan menggunakan sabun dapat mengurangi diare sebesar 37% dibandingkan hanya mencuci tangan tanpa sabun. Sedangkan merebus air minum sebelum dikonsumsi dapat menurunkan kejadian diare sebesar 61%, sehingga memasak air minum
91
sebelum dikonsumsi berpengaruh besar dalam pencegahan diare pada balita (Diouf et al, 2014). 6.2
Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian dengan pertanyaan tertutup sehingga tidak membuka kesempatan bagi responden untuk mengemukakan jawaban lain dengan penjelasan yang lebih mendalam. Kuesioner ini masih menggunakan kolom penilaian yang kurang dapat dipahami oleh responden sehingga peneliti menjelaskan kembali pada saat pengisian kuesioner berlangsung sehingga membutuhkan banyak waktu.