Bab 4.docx

  • Uploaded by: ameliaintansaputri
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 4.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,632
  • Pages: 15
BAB IV PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan, pasien didiagnosis DM tipe 2 dengan normoweight + neuropati diabetikum + susp retinopati diabetikum. Menurut American Diabetes Association (ADA), DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2015). Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multietiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 2016). Diabetes Melitus adalah penyakit gangguan metabolisme yang bersifat kronis dengan karakteristik hiperglikemia. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Secara epidemiologi diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini (Purnamasari, 2014). 3.1

Data Demografi 65

1. Usia Dalam kasus ini pasien berusia 44 tahun. Penelitian yang dilakukan di Puskesmas Mataram tahun 2013 didapatkan pada kelompok kasus sebagian besar mempunyai umur ≥40 tahun yaitu sebanyak 45 orang (90,0 %) dan umur <40 tahun sebanyak 5 orang (10,0 %). Usia lebih dari 40 tahun adalah usia yang beresiko terkena DM tipe 2 dikarenakan adanya intolenransi glukosa dan proses penuaan yang menyebabkan kurangnya sel beta pankreas dalam memproduksi insulin. Pada usia >40 tahun terjadi penurunan fungsi tubuh dalam metabolisme glukosa (Jelantik & Haryati, 2013). Adib (2011) menyatakan bahwa DM Tipe 2 bisa terjadi pada anak-anak dan orang dewasa, tetapi biasanya terjadi setelah usia 30 tahun. Masyarakat yang merupakan kelumpok berisiko tinggi menderita DM salah satunya adalah mereka yang berusia lebih dari 45 tahun. Prevalensi DM akan semakin meningkat seiring dengan makin meningkatnya umur, hingga kelompok usia lanjut. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Wild, dkk (2004) tentang prevalensi DM secara global yang menunjukkan bahwa semakin meningkatnya umur, semakin tinggi pula prevalensi DM yang ada. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa umur bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi kejadian DM Tipe 2, karena berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat 20% responden yang masih berumur kurang dari 45 tahun namun sudah didiagnosis menderita DM Tipe 2. Hal itu menunjukkan bahwa responden tersebut menderita DM Tipe 2 karena adanya faktor lain selain umur yang juga berhubungan dengan kejadian DM Tipe 2 (Kekenusa, Ratag, & Wuwungan, 2012).

66

2. Jenis Kelamin Pada kasus ini pasien berjenis kelamin perempuan. Penelitian yang dilakukan di Puskesmas Mataram tahun 2013 diketahui pada kelompok kasus sebagian besar mempunyai jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 32 orang (64,0%) dan yang berjenis kelamin laki-laki 18 oarang (36,0 %) (Jelantik & Haryati, 2013). Penelitian dilakukan di Kelurahan Kolongan Kecamatan Tomohon Tengah Kota Tomohon pada bulan April sampai Juli 2017 didapatkan jenis kelamin perempuan dengan jumlah 66 (68,8%) dan jenis kelamin laki-laki berjumlah 30 (31,2%) (Liuw, Kandow, & Malonda, 2017). Perempuan memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM tipe 2 dibandingkan laki-laki, berhubungan dengan kehamilan dimana kehamilan merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit DM. Wanita lebih berisiko mengalami DM tipe 2 karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks massa tubuh yang lebih besar (Jelantik & Haryati, 2013). 3. Riwayat keluarga Pada kasus ini didapatkan tidak riwayat keluarga dengan DM. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono tahun 2011 pada 30 pasien rawat jalan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Semarang, dimana riwayat keluarga menderita DM merupakan faktor risiko terjadinya DM Tipe 2 yang bermakna secara statistik dan memiliki pengaruh terhadap kejadian DM Tipe 2 sebesar 75%. Penelitian ini menunjukkan responden yang memiliki riwayat keluarga menderita DM berjumlah 101 responden, dimana 30% diantaranya memiliki lebih dari satu anggota keluarga yang menderita DM. Orang yang

67

memiliki salah satu atau lebih anggota keluarga baik orang tua, saudara, atau anak yang menderita diabetes, memiliki kemungkinan 2 sampai 6 kali lebih besar untuk menderita diabetes dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki anggota keluarga yang menderita diabetes (Kekenusa, Ratag, & Wuwungan, 2012). Hasil penelitian ini menunjukkan ada 24% kelompok kontrol (tidak menderita DM Tipe 2) yang memiliki riwayat keluarga menderita DM. Hal ini dapat berarti bahwa responden tersebut juga berisiko menderita DM pada usia lanjut, karena beberapa ahli percaya bahwa risiko seseorang untuk menderita DM Tipe 2 lebih besar jika orang tersebut mempunyai orang tua yang menderita DM. Namun demikian, adanya penyakit dengan garis keturunan yang jelas hanya merupakan suatu tingkat risiko pada keluarga yang dipengaruhi oleh kebiasaan hidup, status sosial keluarga dan lingkungan hidup. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa riwayat keluarga menderita DM bukanlah satu-satunya faktor yang berhubungan dengan kejadian DM Tipe 2. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada sekitar 41% responden yang telah didiagnosis menderita DM Tipe 2 namun tidak memiliki riwayat keluarga menderita DM. Meskipun faktor keturunan memiliki pengaruh dalam menentukan seseorang berisiko terkena diabetes atau tidak, gaya hidup juga memiliki peran besar terhadap risiko terjadinya DM Tipe 2. Penelitian yang dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang menunjukkan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian DM Tipe 2 yaitu aktivitas fisik olahraga. Oleh karena itu, pencegahan diabetes bagi yang berisiko dapat

68

dilakukan dengan membiasakan hidup sehat dan berolahraga secara teratur (Kekenusa, Ratag, & Wuwungan, 2012). 4. Riwayat obesitas Pasien pada laporan kasus ini memiliki riwayat obesitas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Shara Kurnia Trisnawati (2012) bahwa Indeks Massa Tubuh mempunyai hubungan yang signifikan dengan DM. Kelompok obesitas mempunyai resiko DM dengan odds 7,14 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok IMT normal. Hasil penelitian menunjukkan berarti semakin besar nilai IMT, semakin besar pula nilai gula darah puasanya. Hal ini sesuai dengan teori Suyono, bahwa faktor risiko dari DM tipe 2 adalah faktor kegemukan/obesitas yang meliputi perubahan gaya hidup dari tradisional ke gaya hidup barat, makan berlebihan, dan hidup santai (kurang gerak). Di dalam saluran pencernaan makanan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan itu sendiri. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh usus kemudian masuk ke pembuluh darah dan diedarkan ke seluruh tubuh untuk dimanfaatkan oleh organ-organ sebagai bahan bakar. Agar dapat berfungsi sebagai bahan bakar, di dalam sel zat makanan terutama glukosa harus dimetabolisme terlebih dahulu. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Pada keadaan normal artinya kadar insulin cukup dan sensitif, insulin akan ditangkap oleh reseptor insulin yang ada pada permukaan sel, kemudian membuka pintu masuk

69

sel, sehingga glukosa dapat masuk sel untuk kemudian dibakar menjadi energi. Akibatnya kadar glukosa darah menjadi normal (Fathmi, 2012). Hal ini berbeda pada keadaan obesitas, terjadi peningkatan mRNA Lipopolysaccharides (LPS)-induced TNF-α factor (LITAF) dan kadar protein seiring dengan peningkatan IMT mengindikasikan hubungan paralel antara LITAF dan gangguan metabolik. Menurut penelitian tersebut, LITAF teraktivasi pada pasien obesitas dan berperan terhadap perkembangan obesitas yang menginduksi inflamasi dan resistensi insulin, berdasarkan fakta bahwa LITAF berperan dalam proses inflamasi dalam mengatur ekspresi dari TNF-α, IL-6 and MCP-1 yang mengakibatkan resistensi insulin, dan TLR4. Salah satu reseptor LITAF pada makrofag juga bisa distimulasi oleh asam lemak bebas yang dapat menimbulkan proses inflamasi pada pasien obesitas. LITAF merupakan pengatur traskripsi TNFα yang seharusnya berperan pada mekanisme imun terhadap infeksi. Gen LITAF terletak pada 16p13.13 yang secara signifikan terdapat di limfa, kelenjar getah bening, dan leukosit darah perifer. TNF-α adalah pemicu kuat adipositokinin proinflamasi seperti IL-6, MCP-1, leptin dan PAI-1. Peningkatan TNF-α yang diobservasi pada jaringan lemak pasien obesitas menunjukkan hubungan langsung timbulnya resistensi insulin pada pasien obesitas. Terjadinya resistensi insulin ini menyebabkan glukosa yang beredar di dalam darah tidak mampu untuk masuk ke dalam sel, sehingga kadar gula di dalam darah menjadi lebih tinggi dari normal (Fathmi, 2012). Hiperglikemia pada penderita DM juga berkaitan erat dengan metabolisme lemak. Lemak yang memiliki tugas utama untuk menyimpan energi dalam bentuk

70

trigliserida melalui proses lipogenesis yang terjadi sebagai respons terhadap kelebihan energi dan memobilisasi energi melalui proses lipolisis sebagai respons terhadap kekurangan energi. Pada keadaan normal, kedua proses ini diregulasi dengan ketat. Keadaan obesitas disebabkan oleh asupan nutrisi berlebihan secara terus menerus menyebabkan simpanan lemak menjadi berlebihan. Simpanan asam lemak dalam bentuk senyawa kimia berupa triasilgliserol yang terdapat di dalam sel-sel adiposit dapat melindungi tubuh dari efek toksik asam lemak. Asam lemak dalam bentuk bebas dapat bersirkulasi dalam pembuluh darah ke seluruh tubuh dan menimbulkan stres oksidatif yang dikenal dengan lipotoksisitas. Timbulnya efek lipotoksisitas yang disebabkan sejumlah asam lemak bebas yang dilepaskan triasilgliserol dalam upaya kompensasi penghancuran simpanan lemak yang berlebihan berpengaruh terhadap jaringan adiposa maupun non-adiposa, serta berperan pada patofisiologi penyakit di berbagai organ seperti hati dan pankreas. Pelepasan asam lemak bebas dari triasilgliserol yang berlebihan ini juga dapat menghambat sintesis lemak dan menurunkan bersihan triasilgliserol. Hal ini dapat meningkatkan kecenderungan hipertrigliseridemia. Pelepasan asam lemak bebas oleh lipoprotein lipase endotel dari trigliserida yang meningkat dalam peningkatan lipoprotein β menyebabkan lipotoksisitas yang juga mengganggu fungsi reseptor insulin. Konsekuensi resistensi insulin adalah hiperglikemia, yang dikompensasi dengan sintesis glukosa dari hati (glukoneogenesis), yang justru ikut memperberat hiperglikemia. Asam lemak bebas juga ikut berkontribusi pada hiperglikemia dengan menurunkan penggunaan glukosa dari otot yang terstimulasi insulin. Lipotoksisitas akibat kelebihan asam lemak bebas juga menurunkan sekresi

71

insulin dari sel β pankreas, yang akhirnya sel β akan mengalami kelelahan (Fathmi, 2012). Obesitas memiliki peran yang kurang baik dalam hal ini yaitu meningkatkan resistensi insulin oleh tubuh, sehingga glukosa yang ada dalam darah tidak mampu dimetabolisme dengan baik oleh sel dan akhirnya terjadi peningkatan glukosa dalam darah, sehingga resistensi insulin berkaitan dengan obesitas (Arisman, 2013).

3.2

Diagnosis Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan sering kencing, mudah lapar dan haus, berat badan turun, serta kebas pada tangan dan kaki, tajam penglihatan mulai menurun, serta pada pemeriksaan KGDs didapatkan 485 g/dL. Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti: 1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

72

2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2015)

Gambar 4.1 Kriteria diagnosis DM

Gambar 4.2 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl) Pemeriksaan penunjang yang disarankan: -

Darah Rutin

-

Urin Rutin

-

KGDP/ KGD2PP

-

Liver function test

-

Renal function test

-

Profil lipid

-

Hba1c

73

3.3

-

anklebrachial index (ABI)

-

Funduskopi

-

Oftalmoskopi

Tatalaksana 1. Non Farmakologis : a. Diet DM 1.500 kalori Kebutuhan kalori = 25 kal/kgBBi = 25 x 52,2 kg = 1.305 kalori Faktor koreksi : umur >40 tahun (-5%) dan aktivitas ringan (+20%) Berdasarkan faktor koreksi maka jumlah kebutuhan kalori pasien tersebut : 1.305 + (20%-5%) x 1.305 = 1.305 + 195,75 = 1.500, 57 = 1.500 kalori. Kebutuhan karbohidrat

= 60% x 1.500 = 900 kalori

Kebutuhan protein = 20% x 1.500 = 300 kalori Kebutuhan lemak

= 20% x 1.500 = 300 kalori

b. Latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. 2. Komunikasi, informasi dan edukasi: a. Perjalanan penyakit DM. b. Penyulit DM dan risikonya. c. Minum obat secara teratur.

74

d. Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah untuk menilai keberhasilan pengobatan e. Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia. f. Pentingnya latihan jasmani yang teratur. Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. g. Pentingnya perawatan kaki yaitu pasien tidak boleh berjalan tanpa alas kaki termasuk di pasir dan di air, periksa kaki setiap hari dan laporkan ke dokter apabila kulit kaki terkelupas, kemerahan atau luka, periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya, selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan dioleskan krim pelembab pada kulit kaki yang kering, potong kuku secara teratur, keringkan kaki dan sela-sela jari, sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, tidak menggunakan hak tinggi, hindari penggunaan botol air berisi panas untuk menghangatkan kaki. h. Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan. i. Mengikuti pola makan sehat sesuai jadwal, jumlah dan jenis secara teratur. j. Pemeriksaan untuk skrining komplikasi DM di RS minimal setiap 6 bulan sekali. k. Bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang DM.

75

3. Farmakologis : Glimepiride 1x2 mg

Gambar 4.1 Algoritme Pengelolaan DM tipe 2

3.4

Penyelesaian masalah

76

Terdapat beberapa masalah pada kasus ini yang masih perlu dikaji untuk penyelesaian masalahnya, Beberapa metode yang dapat dipergunakan dalam mencari akar penyebab masalah, pada kasus ini metode yang digunakan metode USG. MATRIKS URUTAN PRIORITAS MASALAH N O 1

Masalah Tingkat pengetahuan pasien yang rendah tentang DM dan komplikasinya

U

S

G

Total

5

5

5

15

2 3 4 5 6

Tidak teratur minum obat Asupan glukosa berlebih(Diet yang salah) Pasien sudah mulai mengalami komplikasi DM Kurang aktifnya peserta mengikuti program prolanis Penyampaian penyuluhan yang sangat singkat dan kurang maksimal sehingga kurang dimengerti tentang komplikasi DM

5 5 5 4 4

5 5 5 5 4

5 5 5 5 4

15 15 15 14 12

7

Masih kurangnya kesadaran keluarga untuk membantu dan mendukung pasien diet DM dan minum obat

3

4

5

12

8

Petugas kesehatan kurang aktif dalam memantau perkembangan pasien DM dan data keaktifan pasien dalam program prolanis

3

3

4

9

9

Perbandingan jumlah tenaga kesehatan yang mengelola PTM dan prolanis tidak sebanding dengan jumlah pasien

3

3

3

9

MATRIKS CARA PEMECAHAN MASALAH N O 1

Pemecahan Masalah Masalah Tingkat pengetahuan pasien yang rendah Edukasi secara berkala dan tentang DM dan komplikasinya komprehensif mengenai penyakit DM, faktor resiko,penyebab, gejala,tatalaksananya (pola diet, 77

2

Tidak teratur minum obat

3

Asupan glukosa berlebih (Diet yang salah)

4

Pasien sudah mulai mengalami komplikasi DM yaitu neuropati diabetik dan retinopati diabetik

5

Kurang aktifnya peserta mengikuti program prolanis

6

Penyampaian penyuluhan yang sangat singkat dan kurang maksimal sehingga kurang dimengerti tentang komplikasi DM

7

Masih kurangnya kesadaran keluarga untuk membantu dan mendukung pasien diet DM dan minum obat teratur

aktifitas fisik, obatobatan,),komplikasi dan pencegahannya Pasien lebih di edukasi lagi tentang pentingnya minum obat secara teratur dan menjabarkan secara jelas dan rinci apa saja komplikasi yang mengancam dan kemungkinan terburuknya apabila masih tidak teratur minum obat. Edukasi secara rinci dan berkala tentang penting nya tak putus dan teratur minum obat, dan pola diet DM yaitu prinsip 3J ( jenis,jumlah jadwal) dalam diet DM dan pentingnya olahraga secara teratur dan rutin memeriksakan kadar gula darah ke puskesmas Dianjurkan kepada pihak puskesmas agar pasien ini dirujuk ke fasilitas yang mempunyai modal diagnostik yang lebih lengkap untuk pemeriksaan Saraf dan mata pasien serta kemungkinan komplikasi lainnya yaitu seperti pemeriksaan EKG,Rongent,RFT. Dan Pemantauan keberhasilan pengobatan dengan pemeriksaan HbA1c Edukasi tentang pentingnya manfaat yang didapat dari semua kegiatan prolanis, serta motivasi untuk hidup berkualitas dengan penyakit kronis. Pengkajian ulang waktu yang dirasa efektif dalam pen yampaian materi dan penambahan media untuk memperagakan informasi dan pemilihan bahasa yang mudah, bahasa sehari-hari yang diberikan agar mudah dimengerti. Edukasi pada keluarga tentang penyakit DM dan komplikasi yang mengancam keluarganya yang sakit dan menjelaskan 78

8

Petugas kesehatan kurang aktif dalam memantau perkembangan pasien DM dan data keaktifan pasien dalam program prolanis

9

Perbandingan jumlah tenaga kesehatan yang mengelola PTM dan prolanis tidak sebanding dengan jumlah pasien

pentingnya dukungan dan pengawasan dari keluarga Home visit lebih digalakkan dan pemantauan data kunjungan khususnya pada poli PTM dan program prolanis Manajemen kegiatan dengan efektif, serta perekrutan tenaga kesehatan serta kader-kader kesehatan baru

79

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"

Kelbin Ppt.pptx
May 2020 7
Bahan Makanan.docx
May 2020 9
Bab 4.docx
April 2020 5
Endometriosis.docx
May 2020 7
Biodata Afriadi.docx
May 2020 10
Azizah Css.docx
May 2020 23