BAB IV AGONIS KOLINERGIK I.
TINJAUAN UMUM Obat-obat yang memengaruhi sistem saraf otonom dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jenis neuron yang terlibat dalam mekanisme kerjanya. Obat-obat kolinergik, yang diuraikan dalam bab ini dan bab berikutnya, bekerja pada reseptor yang diaktifkan oleh asetilkolin. Kelompok kedua-obat-obat adrenergik (dibahas dalam Bab 6 dan 7)bekerja pada reseptor yang dipicu oleh norepinefrin atau epinefrin. Obat-obat kolinergik dan adrenergik bekerja dengan memicu atau menghambat reseptor sistem saraf otonom. Gambar 4.1 merangkum obat-obat agonis kolinergik yang akan dibahas dalam bab ini.
II. NEURON KOLINERGIK Serabut praganglionik yang berakhir pada medula adrenal, ganglia otonom (simpatis dan parasimpatis), dan serabut Praganglionik divisi para simpatis menggunakan asetilkolin sebagai neuro transmiter (Gambar 4.2). Selain itu, neuron kolinergik mempersarafi otot-otot sistem somatis dan juga berperan penting dalam sistem saraf pusat (SSP). [Catatan: Pasien dengan penyakit Alzheimer mengalami kehilangan neuron kolinergik yang signifikan pada lobus temporal dan korteks entorhinalis. Sebagian besar obat yang tersedia untuk mengobati penyakit ini adalah inhibitor asetilkolinesterase. (lihat hlm. 119).] A. Neurotransmisi pada neuron kolinergik Neurotransmisi pada neuron kolinergik meliputi 6 tahapan yang berurut. Empat tahapan pertama-sintesis, penyimpanan, pelepasan, dan pengikatan asetilkolin pada satu reseptor-diikuti kemudian oleh tahap kelima, penghancuran neurotransmiter pada celah sinaps (yaitu ruang antara ujung akhir saraf dan reseptor terdekat yang terletak pada saraf atau organ efektor), dan tahap keenam adalah daur ulang kolin (Gambar 4.3). 1. Sintesis asetilkolin: Kolin diangkut dari cairan ekstraseluler menuju sitoplasma neuron kolinergik melalui suatu sistem karier tergantung energi yang secara bersamaan juga mengangkut natrium dan dapat dihambat oleh obat hemicholinium. [Catatan: Kolin mempunyai nitrogen kuartener dan bermuatan positif yang permanen; dengan demikian, tidak dapat berdifusi menembus membran]. Pengambilan kolin merupakan prose; yang membatasi kecepatan dalam proses sintesis asetilkolimKolinasetiltransferase mengatalisis reaksi kolin dengan asetil koenzim A (CoA) untuk membentuk asetilkolin-suatu bentuk ester-di dalam sitosol. AsetilKoA berasal dari mitokondria dan dihasilkan melalui siklus Kreb dan oksidasi asam lemak. 2. Penyimpanan asetilkolin dalam vesikel: Asetilkolin dikemas menjadi vesikelvesikelprasinaps melalui suatu proses transpor aktif yang bergabung dengan pelepasan (aliran keluar) proton. ' Vesikel matang tidak hanya mengandung asetilkolin, tetapi juga adenosin trifosfat (ATP). dan proteoglikan. [Catatan: ATP diperkirakan sebagai kotransmiter yang bekerja pada reseptor purinergik pratautan yang berfungsi menghambat pelepasan asetilkolin atau norepinefrin]. Kotransmisi dari neuron otonom sudah menjadi suatu ketetapan bukanlah perkecualian. Hal ini berarti bahwa sebagian besar vesikelsinaps akan mengandung neurotransmiter primer, dalam hal ini asetilkolin, dan kotransmiter yang akan meningkatkan atau menurunkan efek neurotransmiter primer. Neurotransmiter dalam vesikel akantampak seperti manik-manik yang dikenal sebagai varicosities pada sepanjang saraf Prasinaps 3. Pelepasan asetilkolin: Jika suatu potensial aksi dicetuskan oleh kerja kanal natrium yang peka voltase (voltage-sensitive natrium channel) yang tiba pada suatu ujung saraf, kanal-kanal kalsium yang peka-voltase pada membran
prasinaps akan terbuka, menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan kadar kalsium ini memicu fusi vesikel-vesikel sinaps dengan membran sel dan melepaskan isi vesikel menuju ke celah sinaps. Pelepasan ini dapat dihambat oleh toksin botulinum. Sebaliknya, racun labalaba janda hitam (black widow) justru menyebabkan pelepasan semua simpanan asetilkolin yang ada menuju ke celah sinaps. 4. Pengikatan pada reseptor: Asetilkolin yang dilepas dari vesikel sinaps berdifusi melewati celah sinaps serta mengikat resep-tor pascasinaps pada sel sasaran dan reseptor prasinaps pada membran neuron yang melepas asetilkolin. Reseptor kolinergik pascasinaps pada permukaan organ efektor dikelompokkan mehjadi dua kelas-muskarinik dan nikotinik (Iihat Gambar 4.2 dan hlm. 54). Ikatan dengan reseptor menimbulkan suatu respon biologis di dalam sel, seperti suatu implus saraf serabut pascaganglionik atau pengaktifan sejumlah enzim tertentu dalam sel efektor yang diperantarai oleh reaksi molokul pembawa-pesan-kedua (Iihat hlm. 31 dan Gam,bar 4.3). , , 5. Degaradasi aseltilkolinn: Sinyal pada lokasi efektor pasca tautan akan diterminasi cepat karena asetilkolinesterase akan memecah asetilkolin menjadi kolin dan asetat di dalam celah sinaps (lihat Gambar 4.3). [Catatan: Butirilkolinesterase, kadang-kadang disebut pseudokolinsterse. dapat dijumpai di dalam plasma, tetapi tidak berperan penting pada prosa terminasi efek asetilkolin di dalam sinaps.) 6. Daur ulang kolin: Kolin dapat ditangkap kembali melalui sistem yang tergabungnatrium, suatu sistem pengambilan yang berafinitas tinggi dan mengangkut molekul kebali menuju ke neuron, tempat molekul akan diasetilasi menjadi asetilkolinn yang kemudian disimpan sampai dilepaskan kembali melalui proses potensial aksi berikutnya. III. RESEPTOR KOLINERGIK (KOLINOSEPTOR) Dua kelompok kolilnoseptor, disebut sebagai reseptor muskarinikcdan nikotinik, dapat dibedakan berdasarkan perbedaan afinitasnya terhadap zat yang menyerupai kerja asetilkolin (obat kolinomimetik atau parasimpatomimetik). A. Reseptor muskarlinik Reseptor ini, selain berikatan dengan asetilkolin, juga mengikat muskarin, suatu alkaloid yang terdapat di jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik hanya menunjukkan afinitas yang lemah terhadap nikotin (Gambar 4.4A). Studistudi yang mempelajari tentang ikatan (bindingstudies) dan penghambatpenghambat tertentu, seperti karakteristik cDNA, telah membedakan lima subkelas reseptor muskarinik: M1, M2, M3. M4 dan M5. Walaupun lima reseptor muskarinik telah dapat diidentifikasi melalui duplikasi (clonning) gen, hanya fungsi reseptor M1, M2, dan M3. yang sudah dapat dikenali. 1. Lokasi reseptor muskarinik: Reseptor muskarinik telah dijumpai pada ganglia sistem saraf perifer dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak, dan kelenjar eksokrin (lihat Gambar 3.3, hlm. '43). Secara khusus, walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik dijumpai di dalam neuron reseptor M 1 juga ditemukan.di sel parietal lambung, reseptor M2 di otot jantung dan otot polos, serta reseptor M3 di kandung kemih, kelenjar eksokrin, dan otot polos. [Catatan: Obat-obai dengan kerja muskarinik lebih memacu reseptor muskarinikpada jaringan-jaringan yang disebutkan tadi, tetapi dalam konsentrasi yang tinggi, obat-obat tersebut dapat juga menunjukkan aktivitas pada reseptor nikotinik.] 2. mekanisme transduksi sinyal asetilkolin: Sejumlah mekanisrne molekuler yang berbeda mentransmisikan sinyal yang ditimbulkan oleh asetilkolin yang terikat dengan reseptor. sebagai contoh, bila reseptor M1atau M3 diaktifkan, reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dan berinteraksi dengan protein G, disebut sebagai Gq, yang selanjutnya akan mengaktifkan fosfolipase C1Proses ini akan menyebabkan terjadinya hidrolisis phosphatidylinositol-(4,5)-
biphosphate-P2 menjadi diasilgliserol dan inositol (1,4,5)-triphosphat (dahulu disebut inositol (1,4,5)-trifosfat) yang menyebabkan peningkatan kadar Ca2+ intraselular (lihat Gambar 3.7C, hlm. 48). Kation ini selanjutnya akan berinteraksi untuk memacu atau menghambat enzim-enzim, atau menyebabkan hiperpolarisasi, sekresi, atau kontraksi. Sebaliknya, aktivasi subtipe M2 pada otot jantung akan merangsang suatu protein G, yang disebut G1 yang menghambat adenilil siklase2 dan meningkatkan daya kantar K+(lihat Gambar 3.7B, hlm. 43) sehingga jantung berespons menurunkan denyut dan kontraksi otot jantung. 3. Agonis dan antagonis muskarinik: Beberapa upaya, pada saat ini, sedang dilakukan untuk mengembangkan agonis dan antagonis muskarinik yang ditujukan terhadap subtipe reseptor yang spesifik. Sebagai contoh, pirenzepine, obat antikofinergik trisiklik, mempunyai selektivitas yang lebih besar untuk menghambat reseptor muskarinik M1, seperti yang terdapat dalam mukosa lambung. Pada dosis terapeutik, pirenzepitze tidak berefek samping, seperti yang ditimbulkan oleh obat yang tidak spesifik terhadap subtipe tertentu; namun demikian, pirenzepine menyebabkan takikardia refleks pada pemberian dalam bentuk infus secara cepat akibat hambatan pada reseptor M2 di jantung. Dengan demikian, manfaat pirenzepine sebagai alternatif penghambat pompa proton pada pengobatan tukak larrtbung dan usus masih dipertanyakan. Darifenacin merupakan antagonis reseptor muskarinik .yang bersifat kompetitif dengan afinitas yang lebih besar untuk reseptor M3 dibanding reseptor muskarinik lainya. Obat ini digunakan untuk pengobatan kandung kemih yang terlalu aktif. [Catatan: Pada saat ini, belum diketahui dengan pasti efek klinis obat yang berinteraksi dengan reseptor M4 dan M5.] 4. Reseptor nikotinik: Reseptor ini, selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenali nicotine tetapi memiliki afinitas lernah terhadap muskarin (lihat Gambar 4.4B). Reseptor nikotinik terdiri dari 5 subunit dan berfungsi sebagai kanal-ion gerbang-ligan (lihat Gambar 3.7A). Ikatan dua molekul asetilkolin a. kan mencetuskan perubahan bentuk yang menyebabkan ion natrium masuk sehingga menyebabkan depolarisasi sel efektor. Nikotin (atau asetilkolin), pada awalnya, merangsang dan kemudian akan menghambat reseptor. Reseptor nikotinikterdapat pada sistem saraf pusat (SSP), medula adrenal, ganglia otonom, dan taut neuromuskular. Reseptor yang terdapat pada taut neuromuskular kadang disebut sebagai NN dan yang lainnya menyebut NM. Reseptor nikotinikganglia otonom berbeda dengan reseptor pada tautneuromuskular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif dihambat oleh hexamethonium, sedangkan reseptor pada taut neuromuskular secara spesin dihambat oleh tubocurarine. IV. AGONIS KOLINERGIKYANG BEKERJA LANGSUNG Agonis kolinergik (juga dikenal sebagai parasimpatomimetik) menyerupai efek asetilkolin dengan cara berikatan langsung pada kolinoseptor. Obat-obat ini, secara umum, dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok: ester kolin, yang meliputi asetilkolin, dan ester kolin sintesis, seperti carbachol dan betanechol. Bentuk alkaloid alamiah, seperti pilocarpine, termasuk dalam kelompok kedua (Gambar 4.5). Semua obat kolinergik yang bekerja langsung mempunyai masa kerja lebih lama dibanding asetilkolin. Beberapa di antaranya yang sangat bermanfaat dalam terapi (pilocarpine dan betanechol) lebih mudah terikat pada reseptor muskarinik dan kadang-kadang dikenal sebagai obat muskarinik. [Catatan: Reseptor muskarinik terutama terletak, tetapi tidak secara khusus, pada taut neuroefektor sistem saraf parasimpatis.] Namun demikian, sebagai satu kelompok, agonis yang bekerja langsung ini menunjukkan spesifisitas kerja yang “rendah sehingga membatasi kegunaan klinisnya. A. Asetilkolin Asetilkolin adalah suatu senyawa amonium kuartener yang tidak mampu menembus
membran. Walaupun merupakan suatu neurotransmiter saraf parasimpatis dan somatis, serta ganglion otonom, asetilkolin, secara terapeutik, tidak terlalu penting karena mekanisme kerjanya beragam dan sangat cepat di-nonaktifkan oleh asetilkolinesterase. Aktivitasnya bersifat muskarinik dan nikotinik. Kezjanya meliputi: 1. Menurunkan denyut jantung dan curah jantung: Kerja ase' tilkolin pada jantung menyerupai efek perangsangan Nvagus Sebagai contoh, bila asetilkolin disuntikkan intravena, penurunandenyutjantung (kronotropik negatif) dan isi sekuncuptimbul secara singkat sebagai akibat penghambatan terhadap kecepatan letupan pada nodus sinoatrium (SA). [Catatan: Harus diingat bahwa aktivitas Nvagus yang normal adalah mengatur jantung dan melepaskan asltikolin pada nodus SA] 2. Menurunkan tekanan darah : suntikan aseltikolin menimbulkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah melalui mekanisme kain yang tidak langsung. Asetilkolin mengaktifkan reseptor M3 yang terdapat pada sel endotel pelapis otot polos pembuluh darah. Keadaan lini menghasilkan nitrogen monoksida dari arginin3 [Catatan: Nitrogen monoksida juga dikenal sebagai faktor perelaksasiderivat-endotel] (Lihat hlm. 405 untuk lebih detail mengenai nitrogen monoksida). Nitrogen monoksida kemudian akan berdifusi menuju otot polos pembuluh darah untuk merangsang produksi protein kinase G, menyebabkan hiperpolarisasi dan relaksasi otot polos. Jika tidak diberikan obat kolinergik, reseptor pembuluh darah ini tidak berfungsi karena asetilkolin tidak dilepas ke dalam darah dalam jumlah yang memadat. Atropine menghambat reseptor muskarinik dan mencegah asetilkolin untuk menimbulkan efek vasodilatasi. 3. Mekanisme kerja yang lain: Pada saluran cerna, asetilkolinmeningkatkansekresi saliva dan merangsang sekresi dan motilitas. Sekresi bronkus juga dipacu. Pada saluran genitourinarius, tonus otot detrusor saluran kemih juga ditingkatkan dan menyebabkan pengeluaran urine. Pada mata, asetilkolin )uga terlibat dalam proses perangsangan kontraksi otot siliaris untuk penglihatan dekat dan kontraksi otot sfingter pupil sehingga menyebabkan miosis (ditandai dengan kontraksi pupil yang kuat). Asetilkolin (larutan 1%) diteteskan ke dalam ruang anterior mata untuk menyebabkan miosis selama pembedahan mata. B. Bethanechol Bethanechol mempunyai struktur yang berkaitan dengan asetilkolin, yaitu gugus asetat yang diganti dengan karbamat dan kolin yang dimetilasi (lihat Gambar 4.5). Oleh sebab itu, senyawa ini tidak dihidrolisie oleh asetilkolinesterase (karena penambahan carbonicacid) meskipun di-nonaktifkan melalui proses hidrolisis oleh esterase lainnya. Kerja nikotiniknya sangat kecil (akibat penambahan gugus metil), tetapi kerja muskariniknya sangat kuat. Kerja utamanya pada otot polos kandung kemih dan saluran cerna. Masa kerjanya berlangsung sekitar 1 jam. 1. Kerja: Bethanechol merangsang secara langsung reseptor muskarinik sehingga menyebabkan peningkatan tonus dan motilitas usus, serta juga merangsang otot detrusor kandung kemih, sementara trigonum dan sfingter kemih berelaksasi sehingga urine terpancar keluar. 2. Kegunaan terapeutik: Dalam pengobatan bidang urologi, bethanechol digunakan untuk merangsang kandung kemih yang mengalami atoni, terutama retensi urine pascapersalinan atau pasca-bedah non obstruksi. Bethanechol juga dapat digunakan untuk penatalaksanaan atonianeurogenik dan megakolon. 3. Efek samping: Bethanechol dapat menimbulkan rangsangan kolinergik secara umum (Gambar 4.6). Keadaan ini meliputi berkeringat, salivasi, kemerahan, penurunan tekanan darah, mual, nyeri abdomen, diare, dan bronkospasme. C. Carbachol (Carbamylcholine) Carbachol mempunyai mekanisme kerja muskarinik dan nikotinjk (karena tidak mempunyai gugus metil, seperti bethanechol; ithat Gambar 4.5). Seperti
bethartechol, carbachol merupakan suatu ester carbarnic acid dan substrat yang tidak sesuai untuk asetilkolinesje, rase (1ihat Gambar 4.5). Senyawa ini mengalami biotransformast oleh esterase lain, tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat. Efek pemberian tunggal senyawa ini bertahan selama 1 jam. 1. Kerja: Carbachol berefek terhadap sistem kardiovaskular dan pencemaan karena aktivitas perangsangan-ganglionnya; pada awalnya, merangsang dan kemudian menekan sistem tersebut. Obat ini mampu menyebabkan pelepasan epinef rin dari medula adrenal melalui kerja nikotiniknya. Jika diberikan secara lokal sebagai tetes mata, obat ini menyerupai efek asetilkolin sehingga menyebabkan miosis dan spasme akomodasi karena otot siliarts mata dalam keadaan kontraksi yang menetap. 2. Kegunaan terapeutik: Karena sangat poten, reseptornya relatif bersifat nonselektif, dan memiliki masa kerja yang relatif lama, obat ini jarang digunakan untuk terapi, kecuali pada mata sebagai obat miotik dengan mengontraksikan pupil sehingga terjadi penurunan tekanan bola mata pada penderita glaukoma. 3. Efek samping: Jika diberikan dalam dosis oftalmologi, efek sampingnya kecil atau tidak ada sama sekali karena memenetrasi sistemis (amina kuartener). D. Pilocarpine Alkaloid pilocarpine adalah suatu amina tersier dan bersifat stabil terhadap hidrolisis oleh asetilkolinesterase (lihat Gambar 4.5). Dibandirtg denganasetilkolin dan turunannya, sen yawa ini temyata kurang poten, tetapi bermuatan dan akan memenetrasi SSP pada pemberian dosis terapi. Pilocarpine menunjukkan aktivitas mus-karinik dan terutama digunakan pada bidang oftalmologi. 1. Kerja: Penggunaan topicalpilowcarpine pada kornea dapat menimbulkan miosis secara cepat dan kontraksi otot siliaris Mata akan mengalami miosis dan spasme akomodasi; penglihatan akan terpaku pada jarak tertentu sehingga sulit untuk memfokuskan (Gambar 4.7). [Perhatikan efek atropine yang berlawanan, suatu penghambat muskarinik pada mata (lihat hlm. 67)]. Pilocarpine adalah salah satu pemacu sekresi kelen)» paling paten pada kelenjar keriqgnt, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian karena bersifat kurang selektif. Obat ini bermanfaat merangsang produksi saliva pada pasien yung mengalami xerostomia akibat radiasi pada kepala dan leher. Sindrom Sjorgen ditandai dengan mulut kering dan tidak ada air mata, diobati dengan tablet pilocarpine oral dan cevimeline, suatu obat kolinergikyang juga bersifat nonspesifik. 2. Kegunaan terapeutik pada glaukoma: Pilocarpine adalah obat pilihan dalam kegawatdaruratan untuk menurunkan tekanan intraokular, baik pada glaukoma bersudut sempit (disebut juga bersudut tertutup) maupun bersudut lebar (bersudut terbuka). Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular sekitar kanal Schlemm sehingga menyebabkan penurunan tekanan bola mata dengan segera karena cairan bola mata dapat keluar dengan lancar. Masa kerjanya dapat berlangsung selama 8 jam dan dapat diulangi lagi. Organofosfat echothiophate menghambat asetilkolinesterase dan menimbulkan efek yang sama untuk jangka waktu lama. [Catatan: Penghambat karbonikanhidrase, seperti acetazolamide dan penghambat β-adrenergik, timolol, efektif pula untuk pengobatan glaukoma kronis, tetapi tidak dapat digunakan dalam keadaan gawat untuk menurunkan tekanan bola mata.] 3. Efek samping: Pilocarpine dapat mencapai otak dapat menyebabkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yang berlebihan. V. AGONIS KOLINERGIKYANG BEKERJA TIDAK LANGSUNG: ANTIKOLINESTERASE (REVERSIBEL) Asetilkolinesterase adalah suatu enzim yang khusus memecah asetilkolin menjadi asetat dan kolin sehingga mengakhiri kerja asetilkolin. Enzim ini terdapat pada ujung saraf pradan pasca-sinaps tempat terikat pada membran. Obat penghambat
asetilkolinesterase secara tidak langsung bersifat kolinergik dengan memperpanjang keberadaan asetilkolin endogen yang dilepas oleh ujung sarat kolinergik. Keadaan ini menimbulkan penumpukan asetilkolin di dalam celah sinaps (Gambar 4.8). Obat ini mampu memacu respons pada semua kolinoseptor dalam tubuh baik reseptor muskarinik maupun nikotinik sistem saraf otonom, demikian pula pada taut neuromuskular dan otak. A. Physostigmine Physostigmine adalah suatu ester carbamicacidnitrogenous yang secara alamiah terdapat di dalam tumbuhan dan merupakan amina tersier. Obat ini merupakan substrat untuk asetilkolinesterase dan membentuk senyawa perantara terkarbomilasi (carbomylated) dengan enzim, yang relatif stabil, yang kemudian menjadi inaktif secara reversibel. Hasilnya adalah terjadi potensiasi aktivitas kolinergik pada seluruh tubuh. 1. Kerja: Physostigmine mempunyai efek yang luas karena mampu memacu, tidak saja, lokasi muskarinik dan nikotinik pada sistem saraf otonom, tetapi juga reseptor nikotinik pada _taut neuromuskular. Lama kerja berkisar 2-4 jam dan dianggap sebagai obat dengan masa kerja jangka menengah. Obat ini dapat mencapai dan memacu lokasi kolinergik di dalam SSP. 2. Kegunaan terapeutik: Obat ini meningkatkan motilitas usus dan kandung kemih sehingga berkhasiat untuk mengobati .atonia kedua organ tersebut (Gambar 4.9). Jika diteteskan pad‘ mata, timbul miosis dan spsme akomodasi, serta penurunan tekanan lntraokular. Obat inidigunakan untuk mengobati glaukoma, tetapi pilocarpine lebih efektif. Physostigmine digunakan pula untuk mengobati overdosis obat-obat antikolinergik seperti atropine, phenothiazines, dan obat antidepresi trisiklik. 3. Efek samping: Efek physostigmine terhadap SSP dapat mgnimbulkan kejang bila diberikan dalam dosis besar. Dapat terjadi pula bradikardia dan penurunan curah jantung. inhibisi terhadap asetilkolinesterase pada taut neuromuskular menyebabkan penumpukan asetilkolin dan, pada akhirnya, akan menyebabkan kelumpuhan otot rangka. Namun, efek tersebut jarang ditemukan bila obat digunakan dalam dosis terapeutik, B. Neostlgmlne Neostigmine adalah suatu senyawa sintesis yang juga merupakan ester carbamicacid dan dapat menghambat asetilkolinesterase secara reversibel dengan mekanisme yang serupa dengan physostigmine. Akantetapi, tidak seperti physostigmine, neostigmine mempunyai nitrogen kuartener; dengan demikian, obat ini lebih polar sehingga tidak dapat memasuki SSP. Efeknya terhadap otot rangka lebih kuat dibanding physostigmine dan dapat memacu kontraktilitas sebelum terjadi paralisis. Masa kerja obat ini jangka menengah, biasanya 30 menit sampai sekitar 2 jam. Obat ini digunakan untuk merangsang kandung kemih dan saluran cerna, serta sebagai antidotum keracunan tubocurarine dan obat pelumpuhneuromuskular kompetitif lainnya (lihat hlm. 71). Neostigmine juga bermanfaat untuk terapi simtomatis pada miasteniagravis, suatu penyakit otoimun yang disebabkan oleh adanya antibodi terhadap reseptor nikotinik yang terikat pada reseptor asetilkolin pada taut neurornuskular. Keadaan ini menimbulkan degradasi reseptor nikotinik tersebut sehingga jumlah reseptor berkurang untuk dapat berinteraksi dengan neurotransmiter. Efek samping neostigmine meliputi stimulasi kolinergikgeneralisata, seperti salivasi, flushing, penurunan tekanan darah, mual, nyeri perut, diare, serta bronkospasme. Neostigmine tidak menyebabkan efek samping terhadap SSP dan tidak diberikan untuk penanganan keracunan akibat agen antimuskarinik yang bekerja sentral, seperti atropine. C. Pyridostlgmine dan ambenomlum Pyridostigmine dan ambenomium adalah penghambat kolinesterase lain yang
digunakan untuk pengobatan jangka panjang miasteniagravis. Masa kerjanya Menengah (3-6 jam dan 4-8 jam, secara berurutan), tetapi lebih' lama dibanding neostigmine. Efek sampingnya serupa dengan mstigmine. D. Demecarium Demecarium adalah penghambat kolinesterase lainnya yang digunakan untuk mengobati glaukoma sudut terbuka (terutama pada pasien yang membandel dengan obat lain) dan untuk pengobatan glaukoma sudut tertutup setelah irldektoml. Obat ini juga digunakan untuk diagnosis dan pengobatan esotropla akomodatif. Demecan'um merupakan amina kuartener yang strukturnya berkaitan dengan moatigminc. Mekanisme kerja dan efek sampingnya serupa dengan neostigmine. E. Edrophonlum Kerja edrophonium mirip dengan neostigmine, tetapi obat ini lebih cepat diserap dan memiliki masa kerja lebih singkat, sekitar 10-20 menit (prototipe obat kerja-pendek) Edrophonium adalah amin kuartener dan digunakan untuk mendiagnosis mlasteniagravis. Injeksi intravena edrophonium menyebabkan peningkatan kekuatan otot secara cepat. Kelebihan dosis obat ini perlu diperhatikan karena dapat menimbulkan krisis kolinergik. Atropine adalah antidotumnya. F. Tacrine, donepezil, rlvastigmine, dan galantamln Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pasien yang menderita penyakit Alzheimer mengalami defisiensi neuron kolinergik pada SSP. Observasi ini menyebabkan pengembangan antikolinesterase sebagai obat pemulih fungsi kognitif yang menghilang. Tacrine merupakan yang pertama tersedia, tetapi kemudian telah digantikan' oleh obat lainnya karena bersifat hepatotoksik. Selain kemampuan donepezil, rivastigmine, dan galantamine untuk memperlambat perkembangan penyakit, tidak ada satupun yang dapat menghentikan perkembangan penyakit ini. Gangguan pencernaan merupakan efek samping utamanya (lihat hlm. 120). VI.
AGONIS KOLINERGIK YANG BEKERJA SECARA TIDAK LANGSUNG: ANTIKOLINESTERASE * (IREVERSIBEL) Sejumlah senyawa organofosfat sintesis mempunyai kapasitas untuk melekat secara kovalen pada asetilkolinesterase. Keadaan ini memperlama efek asetilkolin pada semua lokasi pelepasannya. Banyak obat ini sangat toksik dan dikembangkan hanya untuk keperluan militer untuk memengaruhi fungsi saraf. Senyawa turunannya, seperti parathzon, digunakan sebagai insektisida. A. Echothiophate 1. Mekanisme kerja: Echothiophate adalah organofosfat yang terikat secara kovalen melalui gugus fosfatnya dengan gugus serine-OH yang ada pada sisi aktif asetilkolinesterase (Gambar 4.10). Sekali terikat, enzim menjadi tidak aktif secara permanen dan pemulihankembali aktivitas asetilkolinesterase memerlukan sintesis molekul enzim baru. Setelah terjadi modifikasi kovalenasetilkolinesterase, enzim yang teriosforilasi akan melepaskan secara perlahan salah satu gugus etilnya (Gambar 4.10). Kehilangan satu gugus alkil, yang sering disebut sebagai penuaan, menjadi sulit sekali bagi reaktifator kimia, seperti pralidoxime (lihat di bawah), untuk memecahkan ikatan antara sisa obat dan enzim. 2. Kerja : kerja obat ini meliputi stimulus kolinergiksecra luas, paralisis fungsi motoris (menimbulkan kesulitan bernapas), dan kejang. Echothiphate menimbulkan efek miosis yang kuat sehingga bermanfaat untuk muskarinik dan beberapa efek sentral echothiophate 3. Kegunanaan terapeutik: bentuk larutan mata obat ini digunkan melalui
penetesan langsung pada mata untuk pengobatan jangka panjang glukoma sudut terbuka. Efeknya bertahan hinga satu minggu setelah penetsan tunggal. Echothiophate bukan merupakan obat lini pertama pengobatan glaukoma. Selain efek sampingnya, obat ini berpotensi menyebabkan katarak sehingga penggunaan obat ini dibatasi. 4. Reaktivasi estilkolinesterase: Pralidoxime mampu mengaktifkan kembali estilkolinesterase yang terhambat. Namun obat ini tidak mampu menumbus SSP. Adanya gugus bermuatan yang dimiliki obat ini menyebabkan obat ini mampu melekat dengan sisi anion pada enzim yang merupakan tempat obat ini menggeser gugus fosfat dari organofosfat dan meregenasi enzim. Jika obat diberikan sebelum terjadi penuaan enzim yang teralkilasi, efek echothiophate data dihilangkan kecuali dalam SSP. Dengan jenis obat-obat yang lebih baru, yang mampu membentuk kompleks penuaan enzim dalam hitungan detik, pralixome kurang efektif. Pralidoxime merupakan penghambat esetilkolinesterase lainnya (Gambar 4.6 dan 4.9) Rangkuman kerja beberapa agoni kolinergik diberikan pada Gambat 4.11 Pertanyaan Latihan Pililah SATU jawaban yang paling tepat. 4.1 Seorang pasiendenganserangan glaukoma akut diobati dengan pilocarpine. Alasan utama keefektifannya dalam kondisi seperb ini adalah: A. Kerjanya menerminasi asetilkolinesterase. B. Selektif untuk reseptor nikotinik C. Mampu menghambat sekresi, seperti air mata, saliva dan keringat. D. Marnpu menurunkan tekanan intraokular E. Tidak mampu memasuki otak. 4.2 Satu unit tentara telah diserang dengan racun saraf. Gejalanya berupa kelumpuhan otot rangka, sekresi bronkus yang banyak, miosis, bradikardia, dan kejang. Gejala mengindikasikan pa-janan terhadap organofosfat. Apakah pengobatan yang tepat? A. Tidak melakukan apapun sampai diketahui penyebab pasti racun saraf. B. Diberikan atropine dan mencoba mencarl tahu jenis racun saraf. C. Diberikan atropin dan 2-PAM (pralidoxime). D. Diberikan 2-PAM. 4.3 Seorang pasien yang terdiagnosis miastenia gravis diharapkan fungsi neuromuskulamya akan baik kembali jika diberilcan obat: A. Donepezil. B. Edrophonium. C. Atropine. D. Echothiophate. E. Neostigirttne. 4.4 Obat pilihan untuk pengobatan penurunan air liur yang nyertai iradiasi kepala dan leher adalah: A. Physostigmine. B. Scopolamine. C. Carbachol. D. Asetilkolin. E. Pilocarpine.
BAB V ANTAGONIS KOLINERGIK I. TINJAUAN UMUM Antagonis kolinergik (disebut juga obat penghambat kolinergik, parasimpatolitik, atau obat antikolinergik) berikatan dengan kolinoseptor, tetapi tidak memicu efek intraseluler yang diperantarai reseptor, seperti biasanya. Manfaat terbesar obat golongan ini adalah efek penghambatan sinapsmuskarinik secara selektif pada saraf parasimpatis. Oleh sebab itu, efek persarafanparasimpatis menjadi terganggu dan kerja perangsangan simpatis muncul tanpa hambatan. Kelompok kedua obat ini, penghambat ganglionik, lebih menghambat reseptor nikotinik pada gangliasimpatetik dan parasimpatetik. Secara klinis, golongan obat yang ini kurang penting di antara obatobatantikolinergik lain. Kelompok ketiga senyawa ini, obat pelemas neuromuskular, mengganggu transmisi impuls eferen yang menuju otot rangka. Obat-obat kelompok ketiga ini digunakan sebagai ajuvan anestetik selama pembedahan. Gambar 5.1 merangkum antagonis kolinergik yang dibahas dalam bab ini. II. OBAT ANTIMUSKARINIK Umum dikenal sebagai antimuskarinik, obat-obat kelompok ini (seperti Atropineeclansaapolamine) bekerja menghambat reseptor muskarinik (Gambar 5.2), yang menyebabkan hambatan semua fungsi muskarinik. Selain itu, obat ini menghambat beberapa neuron simpatis yang juga bersifat kolinergik, seperti persarafan kelenjar keringat dan kelenjar ludah. Berlawanan dengan obat agonis kolinergik yang memiliki keterbatasan kegunaan terapeutik. obat penghambat kolinergik sangat bermanfaat pada sejumlah besar situasi klinis. Karena obat ini tidak menghambat reseptor nikotinik, obat antimuskarinik sedikit atau tidak memengaruhi nut saraf otot rangka atau ganglia otonom. [Catatan: Sejumlah obat antihistamin dan antidepresan juga mempunyai aktivitas antimuskarinik:] A.
Atropine Atropine, alkaloid beladona amina tersier, memiliki afinitas yang kuat terhadap reseptor muskarinik, tempat obat ini berikatan secara kompetitif sehingga mencegah asetilkolinnarik terkait pada lokasi tersebut (Gambar 5.3). Atropine bekerja menghambat reseptormuskarinik baik sentral maupun perifer. Kerja Obat ini secara umum berlangsung sekitar 4 jam, kecuali bila diteteskan pada mata, lama kerja bahkan bertahan hingga berhari-hari. 1. Kerja: a. Mata: Atropine menghambat semua aktivitas kolinergik pada mata sehingga menimbulkan midriasis yang persisten (dilatasi pupil; lihat Gambar 4.6 hlm. 54), mata menjadi tidak bereaksi terhadap cahaya, dan sikloplegika (ketidakmampuan memfokuskan pada penglihatan dekat). Pasien glaukoma sudut tertutup memiliki tekanan intraokular tinggi yang dapat membahayakan. Obat kerja-singkat, seperti antimuskariniktropicamide, atau obat α-adrenergik, seperti phenylephrine, umumnya lebih disukai untuk menghasilkan nudriasis pada pemeriksaan mata. b. Gastminteatinum (GI): Atropine dapat digunakan sebagai antispasmodik untuk mengurangi aktivitas saluran cerna. Atmpine dan scopolamine (dibahas selanjutnya) mungkin merupakan obat paling poten penghasil efek tersebut. Walaupun motilitas saluran cerna dikurangi, produksi asam hidroklorat tidak terlalu terpmgamhi. Oleh sebab itu. obat ini tidak efektif untuk mempercepat pmyembuhan ulkus peptikum. (Catatan: Pinnupins (lihat hlm. 55), suatu: antagonis muskarinik-M1,mengurangi sekresi asam lambung pada dosis yang tidak mengantagonis sistem lainnya.] c. Sistem kemih: Atmpinc digunakan pula untuk mangunngi keadaan
hipermotilitaa kandung kemih. Obat ini terkadang masih dipakai untuk kasus enuresis (mengeluarkan urine tanpa disadari/ngompol) pada anakanak. tetapi obat agonis adrenergik-a dapat jauh lebih efektif dengan efek samping yang lebih sedikit. d. Kardiovaskular: Atropine menimbulkan efek divergen pada sistem kardiovaskular, tergantung pada dosisnya (Gambar 5.4). Pada dosis rendah, efek yang menonjol adalah penurunan denyut jantung (bradikardla). Pada awalnya, mungkin diaababkan oleh pengaktifan sentral aliran keluar efemn N. agus, tetapi, pada saat ini, diketahui dihasilkan dari hambatan reseptor M1 pada n'euron “penghambat prataut (ahuprasinaps) yang meningkatkan pelepasan asetilkolin. Pada dosis Atropine yang lebih tinggi, reseptor M, pada nodus SA dihambat dan denyut jantung sediklt meningkat. Hal ini umumnya membutuhkan sedikitnya l mgmoping yang berarti dosis tersebut lebih tinggi dari pemberian umum. Tekanan darah arteri tidak terpengaruhi, tetapi pada kadar toksik, atropine akan mendilatasi pembuluh darah kulit. e. Sekresi: Atropine menghambat kelenjar saliva sehingga timbul efek pengeringan pada lapisan mukosa mulut (xerostomia). Kelenjar saliva sangat peka terhadap atropine. Kelenjar keringat dan kelenjar air. mata juga terpengaruhi. [Catatan: Penghambat sekresi pada kelenjar keringat dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh.] 2. Kegunaan terapeutlk: a. Oftalmika: Pada mata. tetes mata atropine menyebabkan efek midriatikum dan slklopleglk sehingga dapat dilakukan pengukuran kelainan refraksi tanpa terganggu oleh kapasitas akomodasi mata. [Catatan: Phenylcphn'nc, atau obat adrenergik-a yang sejenis, lebih disukai untuk mendilatasi pupil bila sikloplegia tidak diperlukan. Demikian pula, individu berusia 40 tahun atau lebih tua dengan kemampuan akomodasani yang sudah menurun tidak begitu memerlukan obat-obat untuk refraksi yang akurat]. Antimuskarinik kerja-singkat (cyclopentolate dan b'opicamide) telah mengganti penggunaan atropine karena midriasia yang berkepanjangan pada penggunaan atropine (7-14 hart versus 6-24 jam dengan obat yang lain). Atropine dapat menimbulkan serangan akut nyeri mata akibat pmingkatan tekanan mata yang mendadak pada individu penderita glaukoma sudut tertutup. b. Antispasmodik: Amine digunakan sebagai obat antispasmodik untuk merelaksasi saluran cerna dan kandung kemih. c. Antidot agonis kolinergik: atropine digunakan untuk mengobati ovadosis insektisida penghambatkolinesterase dan bebarapa jenis keracunan jamur ( jamusr tertentu yang mengandung substansi kolinergik yang menghambat kolinesterase). Dapat, dibutuhkan dosis antagonis yang masif selama jangka waktu yang lama untuk melawan efek racun. Kemampuan atropine memasuki SSP adalah hal pating lainnya. Atropinejuga menghambat efek asetilkolin yang berlebihan akibat penghambat asetilkolinesterase, separt physostigmine. d. Antisekrsi: Obat ini kadang-kadang digunakan sebagai agen antisekresi menghambat sekresi saluran napas atas dan bawa sebelum prosedur pembedahan. 3. Farmakokinetik :Atropine mudah diserap, sebagai dimetabolisme didalam hepar, dan dibuang dari tubuh, terutama melalui urine. Waktu paruh berkisar 4 jam. 4. efek samping : tergantung pada dosis, atropine dapat menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, mata tersa berpasir ( “sandy eyes”) takikardia dan konstipasi. Efek terhadap SSP meliputi rasa gelisah, binggung, halusinasi dan
delerium, yang dapat berkembang menjadi depresi, kegagalan sistem sirkulasi dan pernapasan hingg kematian. Penghambat kolinesterase seperti seperti physostigmine, dosis rendah dapat juga, digunakan untuk mengatasi toksisitas atropine. Pada individu Yanglebih tua, pemakaianatropine dapat menginduksi midriasis dan sikloplegia sehingga berisiko karena keadaan ini dapat menyebabkan serangan glaukoma berulang setelah kondisi tenang. Selain itu, pada orang tua, atropine dapat menginduksi retensi urine yang sangat mengganggu. Anak-anak sangat sensitif terhadap efek atropinesecara khusus, yaitu dapat menimbulkan peningkatan suhu tubuh. Pada anak-artak, keadaan ini dapatlah membahayakan. B. Scopolamine Scopolamine ,alkaloid beladona tersier lainnya, dapat menimbuikan efek periferal serupa dengan efek atropine. Namun, efek scopolamine pada SSP lebih besar (tidak seperti atropine, efeknya terhadap SSP muncul pada pemberian dosis terapeutik) dan masa kerja lebih lama dibanding dengan atropine. Obat ini mempunyai kerja khusus, seperti yang tercantum berikut ini. 1. Kerja: Scopolamine merupakan salah satu obat anti-motion sickness perjalanan yang terefektif (Cambar 5.5). Obat ini juga menimbulkan efek penghambatan daya ingat jangka pendek. Bertolak belakang dengan atropine, obat ini menyebabkan sedasi, tetapi pada dosis yang lebih tinggi dapat menimbulkan rasa gembira. Scopolamine dapat menimbulkan euforia dan sangat rentan untuk disalahgunakan. 2. Kegunaan terapeutik: Meskipun rnirip dengan atropirie, kegunaan terapi obat ini terbatas untuk pencegah motion sickness (obat int sangat efektif) dan menghambat daya ingat jangka pendek. [Catatan: Sebagaimana obat untuk motion Sickness lainnya, obat ini lebih efektif untuk profilaksis motion sickness daripada pengobatan pada saat terjadi motion sickness. Efek arnnesia scopolamine ini justru menjadi ajuvan pentingbagi prosedur anestesia]. 3. Farrnakokinetik dan efek samping: Aspek ini sama seperti arropme. C. Ipratropium Ipratropium inhalasi, suatu turunan kuartener atropium, bermanfaat untuk pengobatan asma pada pasien yang tidak rnampu menggunakan agonis adrenergik. Ipratropium juga bermanfaat untuk penatalaksanaan PPOK. Obat ini diinhalasi untuk penyakit-penyakit tersebut. Karena obat ini bermuatan positif, obat ini tidak dapat memasuki sirkulasi sistemis atau SSP sehingga efeknya hanya terbatas pada sistem pulmonar. Sifat antagonis muskarinik yang penting dirangkum pada Gambar 5.6 dan 5.7. D. Tropicamide dan cyclopentolate Obat-obat ini digunakan sebagai larutan oftalrnik untuk keadaan-keadaan serupa yang menggunakan atropine (midriatikum dan sikloplegia). Durasi kerja lebih singkat dibandingkan atropine; tropicamide menghasilkan efek midriasis selarna 6 jam dan cyclopentolate selama 24 jam. III. PENGHAMBAT GANGLIONIK Pengharnbat ganglionik bekerja secara spe-sifik pada reseptor nikotinik ganglion otonom simpatik dan parasimpatik. Beberapa di atarannya juga menghambat kanal ion ganglia otonom. Obat-obat ini rnenunjukkan ketiadaan selektivitas terhadap ganglia simpatis atau parasimpatis dan tidakefektif sebagaiantagonis neoumuskular. Oleh sebab itu, obat-obat ini Oleh sebab itu, obat-obat ini menghentikan semua keluaran (output) sistem saraf otonom pada reseptor nikotinik. Kecuali nicotine, obat-obat lain yang disebutkan dalam kategori ini adalah antagonis kompetitif non-depolarisasi. Respons yang teramati bersifat kompleks dan sulit diduga sehingga tidak mungkin mengetahui kerjanya yang selektif. Dengan demikian, penghambat ganglionik sangat jarang digunakan untuk tujuan
terapi. Namun, obat ini sering digunakan sebagai bahan eksperimen farmakologi. A. Nicotine Suatu komponen dlam rokok kretek, nicotine merupakan racuan dengan banyak dampak yang diinginkan. Nicotin tidak mempunyai manfaat terpeutik dan tidak baik untuk kesehatan [catatan : nicotine tersedia dalam bentuk koyok tempel, lozenges, permen karet, dan bentuk lainnya. Koyok tempel tersedia untuk penggunaan pada kulit. Obat ini di absorpsi dan efektif untuk mengurangi keinginan terhadap nicotine pada orang-orang yang akan berhenti merokok]. Tergantung pada dosisnya nicotine mendeplorasi gangglia otonom, yang pertama kali menimbulkan perangsangan, dan kemudian diikuti oleh paralisis semua ganglion. Efek pacunya bersifat kompleks sebagai akibat efeknya terhadap ganglian simpatik dan parasimpatik. Efeknya meliputi peningkatan tekanan darah dan denyut jantung (akibat pelepasan transmiter dari ujung saraf adrenergik dan medulia adrenal), serta peningkatan peristalsis dan sekresi. Pada dosis yang lebih tinggi, tekanan darah menurun akibat penghambatan ganglionik dan aktivitas saluran cerna, serta otot-otot kandung kemih terhenti.( lihat hlm. 138 untuk pembahasan lengkap mengenai nicotine). B. Mecamylamine Mecamylamine menghasilkan penghambatan nikotinik ganglia yang kopertitif. Lama kerjanya berkisar 10 jam setelah pemberian tunggal. Ambilan obat melalui penyerapan oral berlangsung baik, tidak seperti trimethaphan. Seperti pada trimethaphan, Mecamylamineterutama digunakan untuk menurunkan tekanan darah pada keadaan darurat IV. OBAT PELEMAS NEUROMUSKULAR Obat-obat golongan ini menghambat trasmisi kolinergik antara ujung saraf motoris dengan reseptor nikotinik pada ujung lempeng neoromuskular otot rangka (lihat Gambar 5.2). obat pelemas neoromuskular ini memiliki struktur serupa dengan asetilkolin dan bekerja baik sebgai antagonis (tipe nondepolarisasi) maupun agonis (tipe depolarisasi) pada reseptor yang dapat di dalam lempeng ujung taut neoromuskular. Pelemas neoromuskular, secara klinis bermanfat selama operasi guna melemakan ototo secra sempurna tanpa perlu pemberian obat anestetik dosis tinggi untuk mencapai relaksasi otot yang penuh. Obat-obta ini juga bermanfaat untuk mempermudah intubasi. Kelompok kedua pelemas otot, pelemas otot sentral, digunakan untuk mengontrol tonus oto spatik. Obat-obat tersebut meliputi diazepam yang berkaitan dengan reseptor GABA (x-aminobutyric acid); datrolen yang bekerja langsung pada otot dengan menggangu pelepasan kalsum dari retikulum sarkoplasmik; dan baclofen yang kemungkinan besar bekerja pada reseptor GABA di dalam SSP. A. Pelemas nondepolarisasi (kompetitif) Obat pertama yang diketahi mampu menghambat taut neuromuskular otot rangka adalah curare, yang dipakai oleh pemburu alam daerah Amazone di Amerika Selatan untuk melumpuhkan binatang burunanya. Obat tubocurarine dahulu dimurnikan dan dikenalkan dalam dunia klinis pada awal tahun 1940-an. Walaupun tubocurarine dianggap sebagi prototipe obat kelasnya, ia telah digantikan oleh obatobat lain akibat efek samping yang ditimbulkannya (lihat Gambar 5.10). obat pelemas neuromuskular meningkatkan keamanan anestesia secra bermakna karena jumlah obat anestetik yang dibutuhkan jadi lebih sedikit untuk mencapai tingkat pelemasan otot sehingga pasie dapat pulihkembali secra cepat dan lengkap setelah pembedahan. [catatan: Dosis anestetik yang lebih tinggi dapat menyeabkan paralisis respiratorik dan depresi jantung, peningkatan waktu pemulihan setelah pembedahan] 1. Mekanisme Kerja a. Pada dosis rendah: Obat pelemas neuromuskular non-depolarisasi berinteraksi dengan reseptor nikbtinik untuk mencegah pengikatan asetilkolin (Gambar 5.8). Jadi, obat-obat ini mencegah depolarisasi membran sel otot dan menghambat kontraksi otot. Karena obat inibersaing
2.
3.
4.
5. 6.
dengan asetilkolin pada reseptor tanpa merangsang reseptor, obat ini disebut sebagai penghambat kompetitif. Kerjanya dapat dihilangkan dengan meningkatkan kadar asetilkolin pada celah sinaps-sebagai contoh, pemberian pengharnbat kolinesterase, seperti neostigmine, pyridostigmine, atau edrophonium. Ahli anestesi sering menggunakan strategi ini untuk mempersingkat hambatan neuromuskular. b. Pada dosis tinggi: Penghambat nondepolarisasi dapat menutup kanal ion pada lempeng ujung saraf. Keadaan ini menyebabkan pelernahan transmisi neuromuskular lebih lanjut, dan mengurangi kemampuan penghambat asetil kolinesterase untuk menghilangkan kerja obat pelemas otot nondepolarisasi. Kerja:Tidaksemua otot memilikikepekaanyangsama terhadap penghambatan obat ini. Otot-otot kecil yang berkontraksi cepat pada wajah dan mata sangat peka dan dilumpuhkan pertarna kali, kemudian diikuti oleh otot jari-jemari. Setelah itu, otot tungkai dan lengan, leher, serta batang tubuh dilumpuhkan. Kemudian, otot sela iga terganggu dan, terakhir, otot diafragma lumpuh. Obatobat ini (seperti, tubocurarine, mivacurium, danatracurium), yang melepaskan histamin, dapat menyebabkanpenurunan tekanan darah, flusking, danbronkokoristriksi. Kegunaan terapeutik: Obat-obat pelemas ini digunakan dalam terapi sebagai obat pelengkap dalam anestesia selama operasi guna melemaskan otot rangka. Obat-obat ini juga digunakan untuk mempermudah intubasi dan selama bedah ortopedi Farmakokinetik: Semua obat pelemas neutomuskular disuntikkan secara intravena karena penyerapan melalui oral rendah. Obat ini mempunyai dua atau lebih arnina kuartener dalam struktur cincinnya, membuatnya tidak efektif secara oral. Obat Ini sulit menembus membran dan tidak memasuki sel atau rnelintasi sawar darah-otak. banyak obat ini tidak dimetabolisme; kerjanyadiakhiri melalui redistribusi(Gambar 5.9). Sebagai contoh, tubocurarine, pancuronium, mivacurium, rnetocurine, dan dexacurium dieksresikan melalui urine dalam bentuk utuh. Atracuriurn dihancurkan secara spontan di daja, plasma dan dengan hicholisis ester. [Catatan: Atracurium telah banyak digantikan oleh isomemya, cisatracurium. Atracuium melepaskan histamin dan dimetabotisasi menjadi laudanosine yang dapat memicu kejang. Cisatracurium, yang memiliki sifat farmakokinetik yang serupa dengan atracurium, lebih sedikit menimbulkan efek ini]. Obat aminosteroid (vecuronium etan rocuronium)di-deasetilasi di dalam hati dan prosesbersihnya dapat menjadi lebih lama pada pasien dengan penyakit hati .Obat-obat ini juga diekskresi dalam bentuk utuh melalui empedu. Pemilihan obat akan tergantung pada kecepatan pelemasan .otot yang dibutuhkan dan tergantung pada durasi relaksasi otot. Mulai kerja dan lama kerja, serta sifat-sifat lain ubat pelemas neuromuskular ini ditunjukan pada Gambar 5.10. Efek samping: Secara umum, semua obat pelemas neuronwskular ini aman dengan efek samping yang minimal. Efek rugi obat pelemas neuromuskular tertentu ditunjukkan oleh Gambar 5.10. Interaksi obat a. Penghombat kolinesterase; Obat-obatan, sepertineostigmine, physostismine, pyritiostigmine, dan edrophonium dapat menghilangkan kerja pelemas neuromuskular nondepolarisasi, tetapi penghambat kolinesterase dapat menimbulkan hambatan depolarisasi sebagai akibat kadar asetilkolin yang tinggi pada membran lempeng ujung neuromuskular jika dosis ditingkatkan. Jika pelemas neuromuskular telah memasuki kanal ion, penghambat kolinesterase tidak akan efektif dalam mengatasi hambatan ini. b. Anestesi hidrokarbon berhalogen: Obat-obat seperti halothane bekerja
memperkuat pelemas neuromuskular dengan menjadikan kerja pelemas stabil pada taut neuromuskular. Obat-obat ini meningkatkansensitivitas taut neuromuskular terhadap efek pelemas neuromuskular. c. Antibiotika aminoglycoside: Obat-obat seperti gentamieln atau tobocurarine penghambat pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik secara kompetitif dengan ion kalsium. Obat-obat ini bekerja secara sinergis dengan tubocurarine dan penghambat kompetitif lainnya, memperkuat hambatan. d. Penghambat kanal-kalsium: Obat-obat ini dapat memperkuat pelemasan neuromuskular tubocurarine dan penghambat kompetitif lainnya, termasuk penghambat depolansasi. B. Obat depolarisasi 1. mekartisrne kerja: Obat pelemas neuromuskular depolrisasi, succinylcholine rnelekat pada reseptor nikotinik dan bekerja menyerupai asetilkolin untuk mendepolarisasi (Garnbar 5.11). Tidak seperti asetilkolin yang segera dirusak dalam celah sinaps dan tetap pada reseptor untuk jangka waktu yang relatif lama, serta terus-menerus memacu reseptor. [Catatan: Durasi kerja succinylcholine tergatung pada difusi dari lempeng ujung motorik dan hidrolisis oleh kolinesterase plasma] Obat depolarisasi ini mula-mula membuka kanal natrium yang berhubungan dengan reseptor nikotinik, yang menyebabkan depolarisasi reseptor (Fase I). Keadaan ini menimbulkan suatu gerakan kejutsesekali pada otot (fasikulasi). Pengikatan yang berlanjut dari obat depolarisasi ini melumpuhkan reseptor sehingga tidak mampu lagi mentransmisi impuls lebih lanjut. Setelah beberapa saat, depolarisasi berlanjut ini menimbulkan repolarisasi bertahap seiring dengan kanal natrium tertutup atau terhambat. Keadaan ini menimbulkan resistensi terhadap depolarisasi (Fase II) dan terjadi kelumpuhan flasid (flaccid). 2. Kerja: Urutan paralisis dapat sedikit berbeda, tetapi, sebagai-mana yang terjadi pada penghambat kompetitif, otot-otot pemapasan akan mengalami kelumpuhan terakhir. Awalnya, succinylcholine menimbulkan fasikulasi otot secara singkat, yang kemudian diikuti paralisis dalam beberapa menit. Obat ini tidak menyebabkan penghambatan ganglionik, kecuali pada dosis tinggi, walaupun, sebenarnya, obat ini memacua pelepasan histamin secara lemah. Dalam keadaan normal, lama kerja succinylcholinesangat singkat sekali karena obat ini cepat sekali dirusak oleh kolinesterase plasma. Namun suksinilkolin yang memasuki taut neuromuskular tidak akan dimetabolisme oleh asetilkolinesterase sehingga obat ini reseptor nikotinik dan redistribusi dalam plasma diperlukan untuk metabolisme (keuntungan terapeutik hanya berlasung selama beberapa menit). [Catatan: Terdapat variasi Yaitu kadar kolinesterase yang genetik, rendah atau tidak ada akan nienyebabkan paralisis neuromuskular yang berkepanjangan.] . 3. Kegunaan terapeutik: Karena mula kerja cepat dan lama kerjanya singkat, succinylcholine berguna ketika intubasi endotrakea dibutuhkan secara cepat selama induksi anestesia (kerja cepat sangat penting untuk mencegah aspirasi isi lambung selama intubasi). Obat ini digunakan juga selama terapi syok elektrokonvulsif. 4. Farrnakokinetik: Succinylcholine disuntikkan secara intravena. Durasi kerjanya yang sangat singkat (beberapa menit saja) dihasilkan oleh redistribusi dan hidrolisis cepat kolinesterase plasrna. Oleh sebab itu, obat ini biasanya diberikan dalam bentuk infus secara terus-menerus. 5. Efekaamping: a. Hipertermia: bilahalothane (lihat hlm. 156) digunakan sebagal obat anastetic, pemberian Succinylcholineterkadang menyebalakan hipertetmia maligna(dengan gejala kaku otot dan panas tubuh yang sangat tinggi/hiperpireksia] pada orang dengan tingkai genetlka yang peka (lihat
Gambar 5.10). Koadaan ini dapat ditangani dengan mendinginkan segera tubuh pasien melalui pernberian dantrolene, yang mengbambat pelepasan Ca2+dari relikulum sarkuplasmik sel otot. yang kemudian mengurangi produksi panas dan melemaskan tonus otok b. Apnea: remberian steringicholine terhadap pasien dengan defisiensi kollnestense plasma secara genetika atau mempunyai bentuk enzim yang atipikal dapat menyebabkan apnea karena kelumpuhan otot diatragma c. Hiperkalemia: Succinylcholine meningkatkan pelepasan kalium dan lokasi penyimpanan Intauaaeluler. Keadaan ini tertama, berbahaya pada pasien luka bakar atau pasien dengan kerusakan jaringan saraf akibat kehilangan kalium secara cepat dari dalam sel.