BAB III GEOLOGI DAERAH BERAMBAI
Hasil penelitian pada daerah Berambai ini disajikan dalam beberapa aspek, yaitu geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi.
3.1
Geomorfologi Daerah Berambai Metode yang digunakan dalam kajian geomorfologi berupa analisis peta topografi
dan pengamatan lapangan yang mencakup pola kontur, kisaran sudut lereng, sifat batuan penyusun, pengamatan bentuk bentang alam, sifat aliran sungai, tingkat erosi, dan bentuk lembah sungai Daerah penelitian ini terdiri dari perbukitan yang terbentuk oleh gaya endogen yang berjalan secara lambat dan terus-menerus. Kisaran ketinggian daerah yang terbentang di daerah penelitian adalah ± 25 - 225 mdpl. Sedangkan kemiringan lereng ± 15 - 70%, dengan daerah yang terjal terbagi di seluruh lokasi penelitian. Titik tertinggi di daerah penelitian ini berada di Gunung Batubiru di selatan daerah penelitian dengan ketinggian 225 mdpl. Pembahasan pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian mengacu pada klasifikasi morfologi menurut Verstappen (1985), dengan memperhatikan aspek-aspek penunjang seperti morfografi (meliputi sungai, dataran, perbukitan, dan pegunungan, dll). Berdasarkan aspek aspek geomorfologi yang disebutkan oleh Verstappen (1985), maka bentuklahan yang terdapat di daerah penelitian dapat dibagi menjadi 2 (dua) satuan bentuklahan, yaitu perbukitan antiklin (S1), dan perbukitan homoklin (S2).
24
Gambar 3.1 Peta Geomorfologi Berambai (tanpa skala).
Tabel 3.1 Aspek geomorfologi Berambai.
3.1.1 Dasar Pembagian Bentuklahan Dalam membagi bentuk lahan penulis juga memperhatikan faktor–faktor yang mempengaruhi proses pembentukan bentang alam suatu daerah yang terdiri dari 2 faktor, yaitu:
25
1. Proses endogen, yaitu proses–proses yang terkait dengan pelepasan gaya yang berasal dari dalam bumi. 2. Proses eksogen, yaitu proses–proses yang terkait dengan hal - hal yang terjadi di permukaan bumi, seperti: degradasi, pelapukan, gerakan massa tanah dan batuan serta erosi. Kedua proses diatas mengontrol pembentukan (morfogenesa) dan perkembangan bentuk lahan yang meliputi morfografi (bentuk) dan morfometri (dimensi dan ukuran). Dari ketiganya akan menghasilkan suatu susunan atau tatanan (morfoarrangement). 3.1.1.1 Morfologi Daerah penelitian dibentuk oleh satuan perbukitan homoklin dan perbukitan antiklin yang terdiri dari: 1. Perbukitan dan bukit yang memperlihatkan pola kelurusan. Pada daerah telitian hampir 70% berupa daerah perbukitan, pada bagian barat daerah penelitian berupa perbukitan yang mempunyai kontur yang tinggi jika dibandingkan pada daerah timur daerah penelitian. 2. Pola umum perbukitan pada daerah telitian relatif berarah utara-selatan yang memanjang dari utara hingga ke selatan dan menempati hampir diseluruh daerah telitian. 3. Elevasi dan kelerengan pada daerah telitian dibagi menjadi lima yaitu: daerah dengan kelerengan hampir datar (0 – 2%), daerah dengan kelerengan landai (2 - 7 %), daerah dengan kelerengan miring (7 – 15%), daerah dengan kelerengan agak curam (15 - 30%), dan daerah dengan curam (30 – 70%). 4. Perbedaan relief ditunjukkan dengan perbedaan elevasi yang cukup besar, ditandai oleh perbukitan dengan kemiringan lereng yang curam dan dataran yang hampir datar dan landai, sedangkan beda relief yang kecil menempati bentuk bukit yang agak curam dengan perbukitan yang miring. 3.1.1.2 Morfogenesa Dari hasil analisa kelurusan punggungan yang ada pada daerah telitian, ternyata memperlihatkan adanya suatu keterkaitan dan hubungan antara kelurusan 26
punggungan, perbukitan maupun dataran dengan jurus dan kemiringan perlapisan batuan serta litologi penyusunnya yang mengindikasikan adanya gejala serta kontrol struktur geologi. Hubungan tersebut berupa: 1. Punggungan yang terdapat di bagian barat daerah penelitian yang memanjang dengan arah relatif utara timurlaut – selatan baratdaya menunjukkan kemiringan lapisan batuan yang mempunyai pola tegasan utama berarah tenggara. 2. Litologi penyusun daerah telitian didominasi oleh material sedimen klastik dengan ukuran butir yang relatif halus sampai dengan kasar. Jadi secara morfogenesa, bentuklahan yang ada pada daerah telitian dikontrol oleh morfostruktur aktif berupa lipatan. Morfostruktur pasif berupa litologi penyusun yaitu material sedimen klastik. 3.1.2 Satuan Bentuklahan Berdasarkan pembagian diatas, daerah telitian dikelompokkan menjadi dua satuan bentuklahan, yaitu: 1. Satuan bentuklahan perbukitan antiklin (S1) 2. Satuan bentuklahan perbukitan homoklin (S2) 3.1.2.1 Satuan Bentuklahan Perbukitan Antiklin (S1) Bentuklahan ini terbentuk karena adanya proses endogen atau proses tektonik, yang berupa pengangkatan, perlipatan, dan pensesaran. Gaya (tektonik) ini bersifat konstruktif (membangun), dan pada awalnya hampir semua bentuk lahan muka bumi ini dibentuk oleh kontrol struktural.
27
Gambar 3.2 Perbukitan antiklin pada lokasi pengamatan 23 (arah foto N 25o E).
Satuan bentuklahan ini berada pada bagian timur daerah penelitian yang menempati 32% dari daerah penelitian. Morfografi yang miring dengan morfometri yang berkisar antara 15% - 30% (lampiran B1). Satuan bentuklahan ini dipengaruhi oleh terdapatnya struktur geologi yang berkembang berupa lipatan. Serta terdiri dari litologi batuan berupa batuan sedimen seperti batupasir dan batulempung. 3.1.2.2 Satuan Bentuk Lahan Perbukitan Homoklin (S2) Bentuklahan ini terbentuk karena adanya proses endogen atau proses tektonik, yang berupa pengangkatan, perlipatan, dan pensesaran. Gaya (tektonik) ini bersifat konstruktif (membangun), dan pada awalnya hampir semua bentuk lahan muka bumi ini dibertuk oleh kontrol struktural.
28
Gambar 3.3 Perbukitan homoklin pada lokasi pengamatan 16 (arah foto N 256o E).
Satuan bentuklahan ini berada pada bagian timur daerah penelitian yang menempati 68% dari daerah penelitian. Morfografi yang miring dengan morfometri yang berkisar antara 15% - 30% (lampiran B1). Satuan bentuklahan ini dipengaruhi oleh terdapatnya struktur geologi yang berkembang berupa lipatan. Serta terdiri dari litologi batuan berupa batuan sedimen seperti batupasir, batulempung, batulanau, shalycoal, coalyshale, dan batubara. 3.1.3 Pola Aliran Sungai Sungai sebagai salah satu agen proses proses geomorfik dapat membantu menentukan keadaan morfologi suatu daerah dan sebagai indikator proses geologi yang bekerja di wilayah tersebut. Pola aliran daerah penelitian merupakan kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di suatu daerah yang dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh curah hujan. Berdasarkan hasil penelaahan, dengan membandingkan pola pengaliran daerah penelitian dengan pola pengaliran modifikasi (Howard, 1967), maka pola aliran daerah penelitian dtibagi menjadi dua (2) buah pola aliran, yaitu: 1. Sub-dendritik 2. Trellis
29
Gambar 3.4 Pola aliran Berambai Tingkat 17 (tanpa skala).
3.1.3.1 Pola Aliran Sub-dendritik Pola pengaliran ini mempunyai luas penyebaran sekitar 60% dari daerah penelitian dan berkembang di seluruh bagian timur daerah penelitian. Sistem pengaliran sub-dendritik modifikasi dari pola aliran dendritik memperlihatkan pengaliran relatif menyerupai cabang pohon. Ada sungai utama dan anak-anak sungai yang bermuara ke sungai utama. Pola aliran sub-dendritik terjadi karena pengaruh dari topografi yang sudah miring dan peran struktur geologi tetapi kecil. Karena perbedaan jenis batuan pada daerah telitian sangat kecil dan memiliki resistensi batuan yang hampir sama maka hal tersebut ikut mengontrol pola aliran ini. 3.1.3.2 Pola Aliran Trellis Pola aliran sungai yang selanjutnya adalah pola trellis. Pada pola ini, aliran sungai akan membentuk seperti pagar yang dikontrol oleh struktur-struktur geologi berupa lipatan antiklin dan sinklin. Karakteristik atau ciri-ciri dari pola aliran trellis 30
adalah terdapat kumpulan saluran air yang berbentuk sejajar dan mengalir mengikuti kemiringan permukaan bumi namun bentuknya tegak lurus terhadap sumber utama alirannya. Pada umumnya pola aliran sungai trellis searah dengan sumbu lipatan. Berbeda dengan pola aliran sungai dendritik, pola trellis menjadi perpaduan dari sungai subsekuen dan sungai konsekuen. Pola aliran sungai ini juga dapat terbentuk di sepanjang lembah pararel. Pada daerah tersebut, aliran sungai akan melewati lembah-lembah dan akhirnya bergabung dengan saluran utamanya. 3.1.4 Tipe Genetik Sungai Tipe genetik sungai menurut klasifikasi Thornbury (1969) dibagi berdasarkan arah aliran sungai terhadap kemiringan lapisan batuan. Daerah penelitian memiliki tipe genetik sungai yaitu konsekuen dan obsekuen. Tipe genetik konsekuen merupakan sungai yang mengalir searah dengan kemiringan perlapisan batuan. Sedangkan tipe obsekuen sungai yang mengalir berlawanan terhadap arah kemiringan lapisan batuan. (Thornbury,1969). 3.1.5 Stadia Sungai Tingkat perkembangan suatu sungai, dapat diketahui dengan melihat bentukbentuk lembah sebagai hasil kerjaan gaya-gaya eksogen. Di daerah penelitian, aktivitas aliran sungai nya mengerosi ke arah vertikal sehingga membentuk huruf “V”. Hal ini menunjukkan bahwa erosi vertikal lebih dominan daripada erosi lateral, morfologi sungai juga tidak membentuk meander, air terjun dan aliran yang deras juga mendominasi. Berdasarkan kenampakan tersebut menunjukkan bahwa sungai yang ada di daerah Berambai tingkat 17 merupakan sungai yang berstadia muda. 3.1.6 Stadia Daerah Penelitian Penentuan stadia daerah penelitian didasarkan pada tingkat erosi dan pelapukan, yaitu pada berbagai proses lanjutan yang dialami oleh daerah ini mulai pada saat terangkatnya sampai terjadinya proses perataan (Thornbury,1969). Kenampakan-kenampakan morfologi yang dapat teramati di lapangan yaitu bentuk perbukitan yang relatif tumpul dan membulat dengan lereng yang relatif miring, dapat dilihat pada bentang alam yang dikontrol oleh proses struktural serta sungai yang
31
menunjukkan erosi vertikal lebih dominan daripada erosi lateral, tidak terbentuk meander dan juga tidak terbentuk dataran banjir. Berdasarkan kenampakan-kenampakan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa daerah penelitian merupakan daerah yang pertumbuhannya pada stadia muda dimana Umumnya profil lembahnya membentuk seperti huruf V. Arus yang cepat sangat mendominasi pada tahapan ini. 3.1.7 Morfokronologi Morfokronologi mendiskripsikan tentang evolusi pertumbuhan bentuklahan, urutan, dan umur pembentukannya, serta hubungannya dengan proses pembentukannya, aspek morfokronologi merupakan urutan bentuklahan yang ada di permukaan bumi sebagai hasil proses geomorfologi. Morfokronologi di daerah telitian secara garis besar terbagi menjadi 3 fase menurut penulis, yaitu; fase pertama pembentukan morfologi pada daerah telitian diawali setelah proses pengendapan terjadi dimana lokasi telitian masih berupa pedataran (Gambar 3.5 A). Kemudian pada fase kedua mengalami gejala struktur geologi berupa deformasi pada N8 (McClay, 2000), menyebabkan daerah telitian terlipat dan terbentuklah bentuklahan perbukitan antiklin dan perbukitan homoklin (Gambar 3.5 B). Setelah mengalami fase struktur geologi, daerah telitian pada miosen akhir-resen mengalami erosi sehingga morfologi pada daerah telitian menjadi seperti saat ini (Gambar 3.5 C).
32
A
B
C
Gambar 3.5 Skema morfokronologi daerah penelitian. 33
3.2
Stratigrafi Daerah Berambai Tingkat 17 Dalam pembahasan stratigrafi daerah penelitian, digunakan istilah satuan batuan
berdasarkan ciri fisik batuan yang diamati di lapangan, meliputi jenis batuan, keseragaman litologi serta posisi stratigrafi antar satuan batuan tersebut. Pembagian satuan batuan ini dilakukan untuk setiap jenis batuan yang seragam, sedangkan penamaan batuannya didasarkan pada jenis batuan yang dominan. Penemuan satuan tersebut berdasarkan pada ciri-ciri (karakter) litologi meliputi tekstur, struktur sedimen, dan lingkungan pengendapan. Hubungan stratigrafi antar satuan batuan ditentukan berdasarkan pada posisi dan gejala-gejala stratigrafi yang dijumpai selama dilapangan. Kandungan fosil digunakan untuk menentukan umur relatif dari tiap-tiap litologi. Sedangkan dalam penentuan lingkungan pengendapan berdasarkan pada ciri fisik (struktur dan tekstur), kimiawi (komposisi litologi), dan biologi (kandungan fosil). Berdasarkan litostratigrafi tidak resmi, tatanan stratigrafi pengamatan di daerah penelitian dapat dibagi menjadi dua (2) satuan batuan, berurutan dari muda ke tua sebagai berikut: 1. Satuan batupasir tidal 2. Satuan batupasir shoreface
Gambar 3.6 Kolom stratigrafi Berambai Tingkat 17.
3.2.1 Satuan Batupasir Tidal 3.2.1.1 Sebaran dan Ketebalan Satuan ini terdapat dalam Formasi Pulau Balang dan Formasi Balikpapan di daerah penelitian, tersebar di bagian timur daerah penelitian. Satuan ini menempati 34
54% penyebarannya di daerah penelitian. Singkapan dapat ditemukan dengan baik didekat jalan setapak dan lereng bukit. Satuan batupasir tidal ini menempati bentuklahan perbukitan homoklin. Ketebalan satuan batuan ini dapat ditentukan dengan penampang geologi. Berdasarkan sayatan penampang A – A’ tebalnya 915 m dan pada penampang geologi B – B’ Tebalnya 1792.5 m. 3.2.1.2 Ciri Litologi Ciri litologi satuan batupasir tidal yang mendominasi adalah batupasir berselingan batulempung (Heterolithic sandstone (Hs)) dengan batuan penyerta yang dijumpai berupa batulempung, batulanau, batubara, shalycoal, dan coalyshale. Batupasir dicirikan berwarna putih dan kecoklatan dan berselingan dengan batulempung (Hs), ukuran butir pasir halus - pasir kasar, membundar, terpilah baik, kemas terbuka, komposisi kuarsa (matriks), silika (semen), struktur berupa masif, flaser, lentikuler, laminasi sejajar, wavy laminasi, graded bedding dan silang silur. Pengamatan petrografis yang ditunjukkan oleh sayatan 8/RF.14/Lp.14 (lampiran) yang diambil dari contoh batuan pada lokasi pengamatan 14, dalam sayatan tipis memperlihatkan warna abu-abu kecoklatan, tekstur klastik, ukuran butir ukuran butir 0,05-0,35mm (coarse silt - medium sand), bentuk butir menyudut tanggung-membulat tanggung, pemilahan sedang, kemas terbuka. nampak butiran terdiri dari kuarsa, feldspar, litik, dan mineral opak. Komposisi mineral berupa kuarsa (65%), feldspar (15%), mineral opak (5%), litik (15%). Berdasarkan klasifikasi gilbert, 1954; klasifikasi pettijohn, 1972; dan klasifikasi dott 1964 vide geilbert, 1982, didapatkan nama batuan Quartz Arenit.
35
Gambar 3.7 Batupasir perselingan batulempung (Heterolithic sandstone (Hs)) dengan struktur flaser pada lokasi pengamatan 10.
Gambar 3.8 Batupasir dengan struktur paralel laminasi, flaser dan silang silur pada lokasi pengamatan 2 (arah foto N 165°E).
36
Gambar 3.9 Batupasir dengan struktur perlapisan pada lokasi pengamatan 9 (arah foto N330°E).
3.2.1.3 Umur Penentuan umur satuan batupasir tidal tidak bisa dilakukan dengan analisa mikropaleontologi. Hal ini dikarenakan pada contoh lokasi pengamatan 9 dan 46 tidak dijumpai fosil penunjuk (barren). Meskipun demikian penentuan umur satuan batupasir ini memiliki kesamaan atau kesebandingan dengan daerah sekitarnya secara regional dengan peta zonasi plankton Cekungan Kutai yang memperlihatkan pembagian satuan berdasarkan zonasi umur biostratigrafi (Bachtiar, 2004) (gambar 2.6). Sehingga berdasarkan hasil kesebandingan, maka satuan batupasir tidal ini berumur Miosen N8. 3.2.1.4 Lingkungan Pengendapan Penentuan lingkungan pengendapan satuan batupasir tidal dilakukan dengan menginterpretasikan hasil pengukuran MS (Measuring Section) dan analisis sedimentologi dengan memperhatikan pola struktur sedimen, ukuran butir dan kriteria fisik batuan lainnya. Singkapan yang ditemukan pada daerah penelitian sebanding dengan model lingkungan pengendapan menurut Arifullah (2005) bahwa satuan ini diendapkan pada lingkungan pengendapan pantai (tidal flat) dengan 5 37
fasies, karena menunjukkan pola pengendapan batuan yang berselingan antara batupasir dan batulempung sebagai salah satu penciri lingkungan transisi yang mengalami perubahan muka air (pasang-surut) yang berubah-ubah secara dinamis yang sebanding dengan peneliti terdahulu (Fauzi, R., dkk. 2017, dan Arifullah, 2017) (gambar 3.13). Lingkungan pengendapan didaerah telitian terdapat 5 fasies yakni: Marsh, Tidal channel, Tidal bar, Mud flat, Sand flat.
1 4 3
5 2
Gambar 3.10 Modifikasi skema model lingkungan pengendapan (Dalrymple, 1992) pada satuan batupasir tidal. (1) Marsh, (2) Tidal Channel, (3) Tidal Bar, (4) Mud Flat, (5) Sand Flat.
Untuk penentuan lingkungan pengendapan berdasarkan fosil foraminifera bentonik yang dikandung oleh batuannya, tidak dapat dilakukan (barren) karena tidak ada ditemukan fosil foraminifera bentonik. 3.2.2 Satuan Batupasir Shoreface 3.2.2.1 Sebaran dan Ketebalan Satuan ini terdapat dalam Formasi Bebuluh dan tersebar di bagian tengah daerah penelitian. Satuan ini juga menempati 18,6% atau kurang lebih sekitar 2,976 km2 di daerah penelitian. Singkapan dapat ditemukan dengan baik didekat alur 38
sungai atau parit dan bekas galian bukaan tambang maupun bangunan rumah dan ditanah lapang. Satuan batu lempung tanah merah ini menempati bentuklahan perbukitan antiklin dan perbukitan homoklin. Ketebalan satuan batuan ini dapat ditentukan dengan penampang geologi. Berdasarkan sayatan penampang A – A’ tebalnya 755 m dan pada penampang geologi B – B’ Tebalnya 460 m. 3.2.2.2 Ciri Litologi Ciri litologi satuan batupasir shoreface yang mendominasi adalah batupasir. dengan batuan penyerta yang dijumpai berupa batulempung, dan batulanau. Batupasir dicirikan berwarna putih dan kecoklatan, ukuran butir pasir sangat halus - pasir kasar, membundar, terpilah baik, kemas terbuka, komposisi kuarsa (matriks), karbonat (semen), struktur berupa masif, flaser, lentikuler, laminasi sejajar, wavy laminasi, hummocky cross stratification, silang silur dan silang silur mangkok. Pengamatan petrografis yang ditunjukkan oleh sayatan 10/RF.14/Lp.17 (lampiran) yang diambil dari contoh batuan pada lokasi pengamatan 17, dalam sayatan tipis memperlihatkan warna abu-abu kecoklatan, tekstur klastik, semen karbonat, ukuran butir ukuran butir 0,05-1.25 mm (coarse silt – very coarse sand), bentuk butir menyudut tanggung-membulat tanggung, pemilahan sedang, kemas terbuka. nampak butiran terdiri dari kuarsa, feldspar, litik, dan mineral opak. Komposisi mineral berupa kuarsa (45%), feldspar (10%), mineral opak (3%), litihic (15%), fosil (7%), semen karbonat (20%). Berdasarkan klasifikasi gilbert, 1954; klasifikasi pettijohn, 1972; dan klasifikasi dott 1964 vide geilbert, 1982, didapatkan nama batuan Calcareous Quartz Arenit.
39
Gambar 3.11 Batupasir dengan struktur silang silur mangkok pada lokasi pengamatan 24 (arah foto N104°E).
Gambar 3.12 Batupasir dengan struktur hummocky cross stratification pada lokasi pengamatan 47 (arah foto N295°E). 40
3.2.2.3 Umur Penentuan umur satuan ini didasarkan pada posisi stratigrafi dan fosil yang ditemukan pada batuannya. Yang digunakan sebagai acuan adalah penarikan umur berdasarkan kandungan fosil foraminifera planktonik yang ada. Berdasarkan fosil-fosil foraminifera planktonik di lokasi pengamatan 47, dapat ditentukan bahwa kisaran umur satuan batupasir shoreface ini diendapkan adalah dari Miosen awal sampai Miosen tengah (N8 – N16) (berwarna kuning pada tabel 3.3). 3.2.2.4 Lingkungan Pengendapan Penentuan lingkungan pengendapan satuan batupasir shoreface dilakukan dengan menginterpretasikan hasil pengukuran MS (Measuring Section) dan analisis sedimentologi dengan memperhatikan pola struktur sedimen, ukuran butir dan kriteria fisik batuan lainnya. Singkapan yang ditemukan pada daerah penelitian yang sebanding dengan model lingkungan pengendapan menurut Arifullah (2005) bahwa satuan ini diendapkan pada lingkungan pengendapan laut dangkal dengan 3 fasies. Penentuan lingkungan pengendapan ini berdasarkan adanya semen karbonat pada batuan dan di beberapa lokasi pengamatan 18, lokasi pengamatan 45, dan lokasi pengamatan 47 terdapat batupasir dengan struktur sedimen hummocky cross stratification (Hcs) sebagai salah satu penunjuk lingkungan laut dangkal (lower shoreface). Hcs mengungkapkan bahwa struktur ini terjadi dan terbentuk oleh gelombang kuat dari arah yang bervariasi (Oscillatory Flow) yang dihasilkan oleh gelombang dari laut. Lingkungan pengendapan ini sebanding dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Arifullah (2017) dalam disertasinya (gambar 3.13). Lingkungan pengendapan didaerah telitian terdapat 3 fasies yakni: Foreshore, Upper shoreface, Lower shoreface
41
1 2 3
Gambar 3.13 Lingkungan pengendapan tide-dominated shallow-marine, modifikasi dari Desjardins, dkk. (2012), skema terhadap lingkungan pengendapan satuan batupasir shoreface. (1) Foreshore, (2) Upper shoreface, (3) Lower shoreface.
3.2.4 Hubungan Stratigrafi Satuan batupasir shoreface merupakan satuan batuan paling bawah dan paling tua di daerah penelitian, sedangkan satuan batupasir tidal merupakan satuan batuan yang terendapkan pada bagian paling atas dari daerah penelitian, sehingga merupakan satuan batuan termuda di daerah penelitian. Tidak ditemukan kontak secara tegas dan jelas di daerah penelitian, tetapi berdasarkan kesebandingan dengan geologi regional lembar Samarinda oleh Supriatna, dkk., (1995), hubungan stratigrafi antara satuan batupasir tidal dan batupasir shoreface adalah tidak selaras.
3.3
Struktur Geologi Struktur geologi pada daerah telitian didapat berdasarkan data-data pengamatan
dilapangan dan interpretasi peta bahwa struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian dibagi menjadi dua fase deformasi yaitu deformasi ductile dimana elastic limit batuan dilampaui dan perubahan bentuk dan volume pada batuan tidak kembali ke keadaan semula sehingga akan menghasilkan struktur berupa lipatan (fold) pada batuan, 42
serta deformasi brittle yang terjadi apabila batas atau limit deformasi elastik dan ductile dilampaui dimana batuan akan patah dan hancur, sehingga menghasilkan struktur berupa kekar (joints). Kemiringan lapisan yang variatif pada daerah penelitian juga merupakan hasil dari arah gaya yang bekerja pada daerah ini dan sebanding dengan arah gaya regional yang berarah tenggara – baratlaut. Disamping penentuan struktur geologi pada daerah telitian pada tanda-tanda kelurusan sungai, analisis melalui peta topografi, dan literatur-literatur yang berhubungan dengan struktur regional. 3.3.1 Struktur Kekar Struktur kekar di daerah penelitian berdasarkan pengamatan di lapangan berkembang dimana memiliki orientasi arah relatif tenggara – barat laut dan timur laut - barat daya. dari hasil analisa kekar menggunakan diagaram rose didapatkan arah umum kekar N130ºE – N149ºE dimana tegasan relatif tenggara.
T3
T1
Gambar 3.14 Diagram roset arah umum kekar pada daerah penelitian (Rickard, 1972).
3.3.2 Struktur Lipatan Lipatan terbentuk dengan arah utara timurlaut – selatan baratdaya dan kenampakan dilapangan dengan kemiringan antara 230 – 560. Lipatan berupa antiklin dengan bentuk asimetris. Berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964) didapatkan penamaan
43
lipatan ialah, steeply inclined subhorizontal. Dengan besaran sudut antar sayap lipatan 52° dan deskripsi lipatan close. Tabel 3.3 Arah sayap lipatan. Sayap Barat N206°E/64 N209°E/49 N234°E/68
Sayap Timur N23°E/34 N53°E/26 N54°E/22 N54°E/18 N60°E/19 N55°E/20 N60°E/19 N56°E/75
Gambar 3.15 Stereonet lipatan daerah penelitian.
Gambar 3.16 Lipatan daerah penelitian.
44
3.3.3 Mekanisme Pembentukan Struktur Secara regional, arah tegasan utama di daerah telitian yaitu relatif berarah tenggara-baratlaut yang disebabkan deformasi oleh gaya tektonik. Sehingga menyebabkan adanya struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian diantaranya kekar dan lipatan. Di daerah penelitian, pada kala miosen tengah (McClay, 2000) setelah batuan terbentuk dan kemudian mendapat deformasi tekanan/kompresi dari arah baratdaya – tenggara sehingga terbentuk struktur geologi berupa lipatan, dengan arah sumbu lipatan utara timurlaut - selatan baratlaut yang relatif tegak lurus terhadap arah tegasan. Lipatan di daerah telitian adalah antiklin Separi yang merupakan lipatan pertama di Mahakam fold belt yang terbentuk bersama-an dengan antiklin Sebulu/Mentawir pada kala miosen tengah N8 (McClay, 2000).
Gambar 3.17 Fase 1, pengendapan satuan batupasir shoreface pada kala Miosen N8 (Bolli, 1985) dengan lingkungan litoral selama fase transgresi.
45
Gambar 3.18 Fase 2, pengendapan satuan batupasir tidal selama masa transgresi menuju transgresi maksimum.
Gambar 3.19 Fase 3, pengendapan satuan batupasir tidal selama perubahan masa transgresi ke regresi dengan ditandai dengan adanya litologi batubara sebagai penciri.
46
Gambar 3.20 Fase 4, daerah penelitian mengalami deformasi sehingga daerah telitian terlipat.
Gambar 3.21 Bentang alam saat ini, erosi aktif mengakibatkan perubahan bentang alam.
47