Bab 2.docx

  • Uploaded by: Anonymous erQHDExT
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,022
  • Pages: 34
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia 2.1.1 Definisi lansia Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada dasar perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008). Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan. Lansia adalah keadaan ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Bandiyah, 2009). Penetapan usia 65 tahun keatas sebagai awal masa lanjut usia (Lansia) dimulai pada abad ke-19 di negara Jerman. Usia 65 tahun merupakan batas minimal untuk kategori lansia. Namun, banyak lansia yang masih menganggap dirinya berada pada masa usia pertengahan. Usia kronologis biasanya tidak memiliki banyak keterkaitan dengan kenyataan penuaan lansia. Setiap orang menua dengan cara yang berbeda-beda, berdasarkan waktu dan riwayat hidupnya.

Setiap lansia adalah unik, oleh karena itu perawat harus memberikan pendekatan yang berbeda antara satu lansia dengan lansia lainnya (Nugroho, 2008). Menurut undang-undang RI No.13 tahun 1988 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab I pasal 1 ayat 2 yang berbunyi lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Lanjut usia adalah suatu yang akan pasti dialami oleh semua orang yang dikarunia usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun. Menurut undang-undang RI No.23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 19 ayat 1 bahwa manusia lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial. Perubahan ini akan memberikan perubahan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, karena itu kesehatan manusia lanjut usia perlu mendapatkan perhatian khusus dengan tetap dipelihara dan ditingkatkkan agar selama mungkin dapat hidup secara produktif sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat ikut serta berperan aktif dalam pembangunan. 2.1.2 Teori proses menua 1) Teori genetic clock Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik, didalam nukleus terdapat jam genetik yang menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel dan akan berhenti bila kita meninggal dunia. Melalui teori ini dapat diterangkan mengapa tiap spesies memiliki perbedaan harapan hidup. Secara teoritis jam ini dapat diputar lagi untuk beberapa waktu dengan pengaruh dari luar, misalnya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, obat-obatan dan tindakan-tindakan tertentu. Pengontrolan genetik umur

dilakukan melalui seluler, yaitu nukleus yang menentukan jumlah replikasi, kemudian menua dan mati (Darmojo dan Martono, 2006). 2) Teori mutasi somatik (error catastroplhe) Menurut teori ini menua disebabkan oleh kesalahan beruntun dalam kehidupan yang berlangsung dalam waktu lama. Terjadi kesalahan dalam proses transkipsi (DNA menjadi RNA) ataupun dalam proses translasi (RNA ke sintesa protein atau enzim). Sehingga akan terbentuk enzim yang salah, dan menyebabkan reaksi metabolisme yang salah, yang akan mengurangi fungsional sel (Darmojo dan Martono, 2006). 3) Teori rusaknya sistem imun tubuh Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan terjadinya sistem imun tubuh menganggap sel mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya, perubahan ini

menjadi dasar terjadinya

“autoimun” (Darmojo dan Martono, 2006). 4) Teori menua akibat metabolisme Pada tahun 1935, Mekey et al, memperlihatkan bahwa pengurangan intake kalori pada Rodentina muda akan menghambat pertumbuhannya dan dapat mencapai umur 2x lebih panjang umur kontrolnya (Darmojo dan Martono, 2006). 5) Teori kerusakan akibat radikal bebas Dikemukakan oleh D.Harman thn 1959 konsep molekul radikal bebas sebenarnya ada di dalam tubuh dan menjadi bertambah sesuai dengan bertambahnya umur.

Radikal bebas yang terdapat dilingkungan seperti asap kendaraan bermotor dan rokok, radiasi, sinar ultra violet dll dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pigmen dan kolagen (Setiabudi dan Hardiwinoto, 2005). Pada proses respirasi oksigen diperlukan untuk pembentukan ATP melalui enzim-enzim respirasi di dalam mitokondria, dan radikal bebas di hasilkan sebagai zat antara misalnya : superoksida, radikal hidroksil, dan hydrogen peroksida. Radikal bebas bersifat merusak dan sangat reaktif sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein, asam lemak tak jenuh, walaupun telah ada system penangkal namun sebagian radikal bebas tetap lolos, bahkan makin tua makin banyak radikal bebas yang terbentuk sehingga proses kerusakan sel terus terjadi (Darmojo dan Martono, 2006). 2.1.3 Batasan lansia Menurut pendapat berbagai ahli batasan-batasan umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut : 1. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”. 2. Menurut Word Health Organization (WHO),usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah diatas 90 tahun. 3. Menurut Dra. Jos Masdani (psikolog UI) terdapat empat fase yaitu : pertama (fase invetus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 40-55

tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia. 4. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old (>80 tahun). (Bandiyah, 2009) 2.1.4 Klasifikasi lansia 1. Pralansia adalah seseorang yang berusia antara 45-59 tahun. 2. Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih 3. Lansia resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan. 4. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan jasa. 5. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantungan pada bantuan orang lain. (Maryam dkk, 2008) 2.1.5 Karakteristik lansia Menurut Maryam dkk (2008), lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan). 2. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai titik, dari kebutuhan biopsikososial sampai spritual, serta dari kondisi adaptif hingga maladaptive.

3. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi 2.1.6 Perubahan yang terjadi pada lansia Menurut Stanley, dkk (2007), perubahan yang terjadi pada lanjut usia meliputi : 1. Perubahan fisik a. Sel Jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun dan cairan intraseluler menurun. b. Persyarafan Saraf panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi, khususnya yang berhubungan dengan stres yang berkurang atau hilang lapisan. c. Sistem Pernapasan Otot pernapasan kekuatannya akan menurun dan kaku, kemampuan batuk menurun akibat penurunan aktivitas silia sehingga pengeluaran secret berkurang dan mengalami hambatan atau obstruksi, elastisitas paru menurun sehingga jumlah udara pernapasan yang masuk ke paru mengalami penurunan, alveoli jumlahnya berkurang dan semakin melebar serta terjadinya penyempitan bronkus. d. Sistem Pendengaran Hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga bagian dalam, pada membran tympani atropi terjadi pengumpulan serumen yang dapat

mengeras

karena

mengumpulnya

keratin

dan

tulang-tulang

pendengaran mengalami kekakuan. e. Sistem Penglihatan Kornea lebih berbentuk skeris, lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa), meningkatanya ambang pengamatan sinar (daya adapsif terhadap gelap lambat dan kesulitan untuk melihat dalam kondisi gelap),

akomodasi

menurun,

lapang

pandang

menurun

serta

berkurangnya luas pandang. Sulitnya lansia membedakan warna biru dan hijau. f. Sistem Kardiovaskuler Katup jantung mulai menebal dan kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% (kontraksi dan volumen), menurunnya elastisitas pembuluh darah, meningkatnya retensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat. g. Sistem Perkemihan Ukuran ginjal akan mengecil (atropi), penyaringan di glomerulus menurun, otot-otot vesikaunaria melemah dimana terjadi penurunan kapasitas sampai 200cc sehingga frekuensi untuk BAK meningkat. h. Sistem Pencernaan Kehilangan gigi, esofagus melebar, asam lambung menurun, peristaltic mulai

melemah sehingga

daya

absorpsi

menurun dan

akan

menyebabkan konstipasi. Ukuran lambung mulai mengecil serta fungsi organ aksesori menurun dan akan mengakibatkan hormone dan enzim berkurang.

i. Sistem Integumen Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan tidak elastic karena kurangnya cairan dan hilangnya jaringan adiposa, rambut dalam hidung dan telinga menebal, kelenjar keringat mulai tidak bekerja dengan baik, rambut memutih, vaskularisasi menurun, kulit pucat dan terdapat bintik-bintik kehitaman akibat menurunnya aliran darah dan sel penghasil pigmen, kuku kaki dan tangan rapuh dan teba serta pertumbuhan rambut mengalami penipisan. j. Sitem Endokrin Hormon mulai menurun produksinya, menurunnya produksi aldosteron dan sekresi hormon gonad (progesterone, estrogen, dan testosterone ) dan penurunan hormone dapat menyebabkan hipotirodisme depresi dari sum-sum tulang dan ketidakmampuan mengatasi tekanan jiwa. k. Sistem Muskulokeletal Cairan tulang menurun sehingga tulang kehilangan kepadatan dan mengakibatkan kerapuhan tulang (osteoporosis), bungkuk (kifosis), persendian besar dan kaku (atropiotot), tremor, kram, tendon mengkerut dan sklerosis. 2. Perubahan mental atau psikologis pada lansia Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental, yaitu : a. Perubahan fisik b. Kesehatan umum c. Tingkat pendidikan d. Keturunan (herediter)

e. Lingkungan f. Gangguan memori : kenangan jangka panjang (berjam-jam sampai berhari-hari yang lalu mencakup beberapa perubahan), kenangan jangka pendek atau sekitar (0-10 menit), dan kenangan buruk. g. IQ (intelegense quotient) : tidak berubah dengan informasi dan perkataan

verbal,

keterampilan

berkurangnya

psikomotor

:

penampilan,

terjadi

perubahan

persepsi

dan

pada

daya

membanyangkan karena tekanan-tekanan dari factor tertentu. 3. Perubahan psikososial a. Pensiunan Nilai seseorang sering di ukur oleh produktifitasnya dan identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiunan (purnatungas), dia akan mengalami kehilangan-kehilangan antara lain: kehilangan finansial (pemasukan berkurang), kehilangan status, kehilangan teman/relasi dan kehilangan pekerjaan atau kegiatan. b. Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awernwes of mortality ) c. Perubahan dalam hidup, yaitu memasuki rumah perawatan lebih sempit. d. Ekonomi melemah atau menurun akibat pemberhentian dari jabataan (economic deprivation). e. Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya biaya pengobatan. f. Penyakit kronis dan ketidakmampuan. g. Gangguan saraf dan pencernaan.

h. Hilangnya kekuatan dan ketegangan fisik (perubahan terhadap gambaran diri dan konsep diri ). 2.1.7 Tipe lansia Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup lingkungan kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho,2000) tipe tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Tipe arif bijaksana Menggantikan kegiatan yang hilang yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman dan memenuhi undangan. Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati sederhana dermawan, memenuhi, memenuhi undangan, dan menjadi panutan. 2. Tipe tidak puas Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak menuntut. 3. Tipe pasrah Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama dan melakukan pekerjaan apa saja. 4. Tipe binggung Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder menyesal pasif dan acuh tak acuh.

2.2 Konsep Tidur 2.2.1 Pengertian tidur Tidur merupakan proses normal yang bersifat aktif, teratur, berlubang, reversibel yang dibutuhkan oleh otak untuk menunjang proses fisiologisnya. Menurut Patricia dan Anne (2005) tidur adalah proses fisiologis yang bersiklus yang bergantian dengan periode yang lebih lama dari keterjagaan. Tidur merupakan bagian penting dalam siklus 24 jam dimana organisme manusia harus berfungsi (Hudack dan Gallo, 1998). Sedangkan menurut Amir (2007) tidur merupakan suatu proses otak yang dibutuhkan oleh seseorang untuk berfungsi dengan baik. Tujuan tidur untuk mencegah kelelahan fisik dan psikis. Kurang tidur memperpanjang waktu sembuh dari sakit. 2.2.2 Fisiologi tidur Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian mengaktifkan dan menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun. Salah satu aktifitas tidur ini diatur oleh sistem pengaktivasi retikularis yang merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk pengaturan kewaspadaan dan tidur (Hidayat, 2008) Pusat pengaturan aktifitas kewaspadaan dan tidur terletak dalam mesensefalon dan bagian atas pons. Reticular Aktivating System (RAS) terletak pada batang otak teratas. RAS terdiri dari sel khusus

yang

mempertahankan kewaspadaan dan tidur.

dapat

Selain itu, RAS

memberikan rangsangan visual, pendengaran, nyeri, dan perabaan, juga

dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses tidur. Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepas katekolamin seperti nerepineprin. Demikian juga pada saat tidur, kemumkinan disebabkan adanya pelepasan serum serotin dari sel khusus berada di pons dan batang otak tengah, yaitu Bulbar Synchronizing Regional (BSR), sedangkan saat bangun tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dipusat otak dan sistem limbie. Dengan demikian sistem pada batang otak yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah RAS dan BSR (Hidayat, 2008). Ketika seseorang mencoba tertidur, mereka akan menutup mata dan berada dalam posisi rileks, stimulasi ke RAS akan menurun. Jika ruangan gelap dan terang, maka aktivasi RAS selanjutnya akan menurun. Pada beberapa bagian BSR akan mengalami alih kemudian menyebabkan tidur (Potter dan Perry, 2006). 1) Tahapan Tidur Tahap

tidur

dikelompokkan

berdasarkan

karakteristik

electroencephalogram (EEG) dan tidak adanya rapid eye movement (REM). Tidur malam normal merupakan sebuah siklus yang terdiri dari 4 tahap NREM dan I tahap REM. Diperkirakan 75-80% waktu tidur adalah tahap NREM sementara sisanya adalah tahap REM. Tidur NREM tahap I merupakan tidur dengan tingkatan yang paling ringan sehingga seseorang dapat dengan mudah terbangun. Ketika memasuki tidur NREM tahap II, terjadi pergerakan mata secara melambat, fregmentasi mimpi, namun masih muda untuk dibangunkan. Tidur NREM

tahap III otot-otot mengalami relaksasi, nadi melambat, suhu tubuh menurun, dan dapat dibangunkan dengan stimulus sedang. Tidur NREM tahap IV merupakan tidur resoratif untuk pemulihan kondisi tubuh, jarang terjadi gerakan tubuh dan dapat dibangunkan dengan stimulus yang kuat. Tahap REM merupakan tidur dengan keadaan otak sangat aktif ditunjukkan dengan metabolisme otak yang meningkat hingga 20%. Tahap REM biasanya terjadi setiap 90 menit sekali dengan durasi 5-10 menit. Karakteristik tidur tahap REM antara lain pergerakan mata cepat, fluktasi nadi, tekanan darah dan pernapasan, serta terjadi mimpi. Perubahan fisiologi lain yang terjadi pada tahap REM antara lain peningkatan sekresi asam lambung, produksi urin lebih terkonsentrasi, dan peningkatan aliran darah serebal. 2) Siklus Tidur Siklus tidur dimulai dari NREM tahap I sampai tahap IV kemudian kembali ke tahap NREM III dan II. Setelah itu memasuki tahap REM selama 10 menit selanjutnya kembali lagi ke tidur NREM tahap I. Setiap siklus tidur berlangsung kira-kira 70 hingga 120 menit. Tidur malam biasanya terjadi dalam 4 hingga 6 siklus REM dan NREM. 3) Mekanisme Siklus tidur terjaga mengikuti irama sirkadian yang di atur oleh hipotalamus. Hipotalamus berperan sebagai penghubung ke bagian otak lain dengan fungsi masing-masing mulai dari berfikir, mengontrol emosi, melawan dan melarikan diri dari bahaya.

Hipotalamus posterior lateral merupakan area yang berisi neuron orexin/hypocretin untuk mengontrol tubuh terbangun dari tidur dan terjaga. Ini proeptik ventrolateral mengandung neuron GABAergic dan galaninergic yang aktif selama tidur dan diperlukan untuk tidur normal. Sel dalam VPLO hipotalamus menghasilkan bahan kimia berupa asam gamma-aminobutiric, atau GABA, GABA yang berfungsi menghambat aktivitas sel-sel otak yang berhubungan dengan terjaga pada saat tidur. 4) Kebutuhan dan pola tidur lansia Lansia merupakan tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Proses menua akan dialami oleh semua lansia. Penuaan adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk

memperbaiki

diri/mengganti

dan

mempertahankan

fungsi

normalnya. Penuaan membawa perubahan kebutuhan dan pola tidur seseorang. Kuantitas tidur yang dibutuhkan adalah 8 jam pada usia 12 tahun, turun menjadi 7 jam pada usia 40 tahun dan pada usia 60 tahun keatas turun menjadi 6 jam. Penurunan waktu tidur dimalam hari dan peningkatan waktu tidur siang merupakan hasil dari perubahan irama sirkandian seiring dengan proses penuaan. Lansia lebih sulit untuk tertidur, menghabiskan lebih banyak waktu tidul dalam, lebih mudah dan sering terbangun. Tahap tidur pada lansia biasanya mengalami perubahan, jumlah waktu yang dibutuhkan untuk NREM tahap I dan II mengalami peningkatan. Di sisi lain tidur pada NREM tahap III dan IV berkurang bahkan beberapa tidak mengalami

tahap NREM IV. Tidur tahap REM juga biasanya terganggu karena sering terbangun dimalam hari. Kejadian ini membuat waktu tidur REM berkurang dan dapat menyebabkan penurunan daya kosentrasi, iritabilitas dan ansietas. 5) Gangguan tidur pada lansia Gangguan tidur pada lansia terdiri dari: insomnia, apnea, periode Limb movement/PLM

(pergerakan

anggota

mata)

dan

Restless

leg

syndrome/RSL (sindrom kaki resah). Insomnia adalah masalah dalam memulai tidur atau selalu terbangun ditengah malam hari dan tidak dapat kembali tidur. Ada 3 jenis gangguan insomnia, yaitu: sulit tidur, selalu terbangun ditengah malam, dan selalu bangun lebih awal pagi. Apnea merupakan gangguan tidur yang berhubungan dengan pernapasan. Apnea terjadi karena adanya gangguan jalan napas bagian atas, hilangnya fungsi saraf-saraf yang menggerakan pernafasan atau kombinasi keduanya. Tidur apnea sangat khas dengan dengkuran yang tidak teratur. Periode Limb Movement (PLM) merupakan pergerakan anggota gerak kaki pada satu atau dua bagian yang terjadi secara tiba-tiba dan singkat selama 20-40 detik. PLM lebih sering dihubungkan dengan penggunaan obat antidepressant. Restless leg syndrome (RSL) adalah sindrom kaki resah yang terjadi karena ketidaknyaman terhadap adanya rangsangan yang terjadi pada otot kaki, tidak dapat mengendalikan kaki untuk dapat bergerak, berjalan serta terdiri. 6) Kualitas tidur lansia

Siklus tidur dapat dilihat menurut kuantitas waktu yang dibutuhkan di tempat tidur, kedalaman dan kualitas tidur. Perubahan karena penuaan tidak terlalu berpengaruh pada kuantitas tidur lansia, akan tetapi memiliki dampak yang besar terhadap kualitas tidur dan kuantitas istirahat lansia. Efisiensi tidur pada lansia hanya sekitar 70% sementara efisiensi tidur pada orang yang lebih muda berkisar antara 80-95%. Efisiensi tidur seringkali dikaitkan dengan perasaan seseorang ketika bangun dari tidur. Tidur malam yang berkualitas digambarkan dengan perasaan segar, restore dan siap untuk melakukan aktivitas. Berbeda dengan seseorang yang memiliki kualitas tidur malam buruk akan merasa letih, less alert dan kurang produktif saat beraktivitas. Kualitas tidur yang rendah juga dapat mengakibatkan terjadinya kelelahan, iritabilitas, konfusi, disorientasi, penurunan daya ingat dan kosentrasi bahkan tanda neorologis sementara seperti tremor. Kualitas tidur yang tidak terpenuhi dengan baik dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: a) Lingkungan Lingkungan dapat mendung ataupun menghambat tidur, lingkungan meliputi suasana tenang, pencahayaan yang sesuai, sarana yang nyaman, dan stimulus yang rendah. Lansia membutuhkan lingkungan yang kondusif agar dapat merasa rileks dan istirahat. b) Nyeri ata rasa ketidaknyaman Nyeri akut maupun kronik dapat menyebabkan seseorang kesulitan untuk tidur. Lansia dengan congestive heart failure (CHF) atau

penyakit paru obstruktif akan terganggu dengan kondisinya sehingga harus menemukan posisi yang nyaman agar bisa tidur. c) Perubahan gaya hidup Masa pensiun membawa perubahan aktivitas dan rutinitas seseorang. Aktivitas yang dilakukan selama bekerja akan membuat lelah sehingga kebutuhan tidur lebih besar. Lansia yang tidak aktif setelah pensiun mungkin tidak merasa lelah dan tidak merasa kantuk saat waktu tidur. Perubahan yang terjadi seperti kehilangan pasangan yang biasa menjadi

teman

tidur

memiliki

teman

sekamar

juga

berpengaruhterhadap kualitas tidur. Teman sekamar yang mendengkur, mengigau, berjalan ketika tidur, atau memiliki restless leg syndrome akan menggangu tidur. d) Diet Lapar atau haus dapat membuat seseorang tidak bisa tidur. Makanan ringan sebelum tidur dan sedikit minum akan membuat tidur lebih nyaman. Kandungan L-trifon dalam susu dan keju akan menginduksi tidur. Kafein dalam teh, kopi dan softdrink dapat menghambat tidur. Komponen bioaktif pada kafein dapat menghilangkan rasa kantuk. Konsumsi kafein yang berlebih dapat menyebabkan perburukan jumlah jam tidur, onset tidur, frekuensi terbangun dimalam hari, kedalaman tidur, ketidakpuasan tidur dan disfungsi pada pagi hari. Alkohol dapat membantu relaksasi, namun dalam kondisi banyak akan mengurangi waktu tidur dalam atau REM. Konsumsi minuman pada malam hari atau sebelum tidur sering terkait dengan nokturia.

e) Obat-obatan Penggunaan obat-obatan tertentu akan mempengaruhi kualita tidur. Obat dapat mempengaruhi kualitas tidur melalui 3 mekanisme, yaitu menyebabkan tidur, menyebabkan kantuk dan menyebabkan insomnia atau gangguan tidur. f) Stress emosional Lansia sering mengalami stress emosional yang berujung pada insomnia. Lansia biasanya mengalami depresi atau ansietas karena memikirkan keluarga dan kehidupannya. Ansietas akan menimbulkan stimulus terhadap saraf simpatis untuk meningkatkan produksi neropinefrin akan mengurangi waktu tidur NREM tahap IV dan tidur REM. g) Dimensia Lansia yang mengalami dimensia sering mengalami gangguan tidur. Dimensia membuat lansia mengalami agitasi, peningkatan konfusi dan berkeliaran di malam hari. 7) Dampak kualitas tidur yang buruk Kualitas tidur yang baik dapat memberikan perasaan tenang di pagi hari, perasaan energik dan tidak mengeluh gangguan tidur. Dengan kata lain, kualitas tidur yang baik sangat penting dan vital dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Sisi lain kualitas tidur yang baik adalah kualitas tidur yang buruk. Kualiatas tidur yang buruk dapat dibagi 2, yaitu secara fisiologis dan psikologis.

Dampak fisiologis dari kualitas tidur yang buruk adalah rasa kantuk berlebihan pada siang hari, menurunnya kesehatan pribadi dan menyebabkan kelelahan. Pengkajian lebih lanjut menyebutkan bahwa dampak fisik dari kualitas tidur yang tidak terpenuhi adalah peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, peningkatan nafsu makan dan kadar glukosa, hingga peningkatan hormone stress kortisol. Dampak psikologis dari kualitas tidur yang buruk adalah penurunan fungsi kognitif. Selanjutnya, dikaitkan dengan peningkatan hormone stres kortisol yang menyebabkan penurunan fungsi imunologi, perubahan pikiran yang negative (kontravaktual) dan lebih emosional. Kualitas tidur yang tidak terpenuhi pada lansia dapat menimbulkan rasa kecemasan yang lebih tinggi, meningkatkan ketegangan, mudah tersinggung, kebingunan, suasana hati yang buruk, depresi, hingga penurunan kepuasan hidup yang lebih rendah. Secara bersamaan hal ini akan berhubungan positif dengan melambatnya psikomotor dan gangguan kosentrasi. 2.2.3 Macam-macam gangguan tidur menurut Priharjo (1996) : 1. Insomnia Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur baik kualitas maupun kuantitasnya. 2. Hipersomnia Hipersomnia adalah tidur yang berlebihan terutama pada siang hari 3. Narkolepsi Narkolepsi adalah serangan mengantuk yang terjadi secara mendadak pada siang hari sedang pada malam hari terganggu.

4. Somnabulisme Somnabulisme adalah suatu keadaan dimana seseorang berjalan pada saat tidur. 2.3. Insomnia 2.3.1 Definisi Insomnia Insomnia adalah kesukaran dalam memulai dan mempertahankan tidur. Periode singkat insomnia paling sering berhubungan dengan kecemasan, baik secara keseluruhan terhadap pengalaman yang mencemaskan atau dalam menghadapi pengalaman yang menimbulkan kecemasan (Kaplan dan Sadock, 1997). Pada penderita depresi sering timbul keluhan tidur tidak nyenyak pada malam hari dan telah terbangun pada dni hari (early morning insomnia) (Soewadi, 1999). Insomnia adalah gejalah yang dialami oleh klien yang mengalami kesulitan kronis untuk tidur, sering terbangun dari tidur atau tidur singkat atau tidur non restoratife. Penderita insomnia mengeluarkan rasa ngantuk yang berlebihan di siang hari dan kuantitas dan kualitas tidurnya tidak cukup. Insomnia dapat menandakan adanya gangguan fisik atau psikologis. Seseorang dapat mengalami insomnia transient akibat stress situsional seperti masalah keluarga, kerja, sekolah, kehilangan orang yang dicintai. Insomnia dapat terjadi berulang tetapi diantara episode tersebut klien dapat tidur dengan baik. Namun, kasus insomnia temporer akibat situasi stres dapat menyebabkan kesulitan kronik untuk mendapatkan tidur yang cukup, mungkin disebabkan oleh kekhawatiran dan kecemasan yang terjadi untuk mendapatkan tidur yang adekuat tersebut (Patricia dan Anne, 2005).

2.3.2

Klasifikasi insomnia

Adapun macam-macam dari tipe insomnia yaitu : a) Insomnia sementara (transient) Yakni insomnia yang berlangsung beberapa malam dan biasanya berhubungan dengan

kejadian-kejadian tertentu

yang berlangsung

sementara dan biasanya menimbulkan stress dan dapat dikenali dengan mudah oleh pasien sendiri. Diagnosis transient insomnia biasanya dibuat secara retrospektif setelah keluhan pasien sudah hilang. Keluhan ini kurang lebih ditemukan sama pada pria dan wanita dan episode berulang juga cukup sering ditemukan, faktor yang memicu antara lain akibat lingkungan tidur yang berbeda, gangguan irama sirkadian sementara akibat jet lag atau rotasi waktu kerja, stress situasional akibat lingkungan kerja baru, dan lain-lainnya. Transient insomnia biasanya tidak memerlukan terapi khusus dan jarang membawa pasien ke dokter. b) Insomnia jangka pendek Yakni gangguan tidur yang terjadi dalam jangka waktu dua sampai tiga minggu. Kedua jenis insomnia ini biasanya menyerang orang yang sedang mengalami stres, berada di lingkungan yang ribut-ramai, berada dilingkungan yang mengalami perubahan temperatur ekstrim, masalah dengan jadwal tidur-bangun yang terjadi saat jetlag, efek samping pengobatan. c) Insomnia kronis Kesulitan tidur dialami hampir setiap malam selama sebulan atau lebih. Setelah satu penyebab chronic insomnia yang paling umum adalah depresi.

Penyebab lainnya bisa berupa arthritis, gangguan ginjal, gagal jantung, sleep apnea, sindrom restless legs, parkison, dan hyperthyroidism. Namun demikian, insomnia kronis bisa juga disebabkan oleh faktor perilaku, termaksud penyalahgunaan kafein, alkohol, dan subtansi lain, siklus tidur/bangun yang disebabkan oleh kerja lembur dan kegiatan malam hari lainnya, dan stres kronis. 2.3.3 Etiologi Menurut Suwahadi (2008) dan Perry Potter (2006) penyebab insomnia mencakup: a) Faktor psikologi (Stress dan Depresi ) Stres yang berkepanjangan sering menjadi penyebab dari insomnia jenis kronis, sedangkan berita-berita buruk gagal rencana dapat menjadi penyebab insomnia transient. Depresi paling sering ditemukan. Bangun lebih pagi dari biasanya yang tidak diinginkan adalah gejala paling umum dari awal depresi, cemas, neorosa dan gangguan psikologi lainnya sering menjadi penyebab dari gangguan tidur. b) Sakit fisik Sesak nafas pada orang yang terserang asma, hipertensi, penyakit jantung koroner sering dikarakteristikkan dengan episode nyeri dada yang tiba-tiba dan denyut jantung yang tidak teratur. Sehingga seringkali mengalami frekuensi terbangun yang sering, nokturia atau berkemih pada malam hari, dan lansia yang mempunyai sindrome kaki tak berdaya yang terjadi pada

saat sebelum tidur mereka mengalami berulang kali kambuh gerakan berirama pada kaki dan tungkai. c) Faktor lingkungan Lingkungan yang bising seperti lingkungan lintasan pesawat jet, lintasan kereta api, pabrik atau TV tetangga dapat menjadi faktor penyebab susah tidur. d) Gaya hidup Alkohol, rokok, kopi, obat penurun berat badan, jam kerja yang tidak teratur, juga dapat menjadi faktor penyebab sulit tidur. e) Usia Usia merupakan jumlah lamanya kehidupan yang dihitung berdasarkan tahun kelahiran sampai ulang tahun terakhir. Usia mempengaruhi psikologi seseorang. Semakin bertambah usia seseorang, semakin siap pula dalam menerima cobaan dan berbagai masalah. Noorkasiani dan S.Tamber (2009). f) Jenis kelamin Jenis kelamin merupakan status gender dari seseorang yaitu laki-laki dan perempuaj. Menurut (Rawlins, 2001) wanita secara psikologis memiliki mekanisme koping yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki dalam mengatasi suatu masalah. Dengan adanya gangguan secara fisik maupun secara psikologis tersebut maka wanita akan mengalami suatu kecemasan, jika kecemasan itu berlanjut maka akan mengalami suatu kecemasan, jika kecemasan itu berlanjut makan akan mengakibatkan seseorang lansia lebih sering mengalami kejadian insomnia dibandingkan

dengan laki-laki. Menurut Peek dan Nungki (2007) jenis kelamin merupakan aspek identitas yang sangat berarti, wanita dan pria mempunyai pengalaman yang berbeda tentang pembetukan identitas jenis kelamin. Identitas kelamin terbentuk sekitar usia tiga tahun, anak laki-laki dan perempuan mulai mengenal tingkah laku dan ciri-ciri kepribadian yang sesuai bagi masing-masing jenis kelamin. 2.3.4 Tanda dan gejala Suatu kelompok kerja dari Nasional Center for Sleep Disorders Research menyatakan bahwa insomnia merupakan pengalaman tidur yang tidak adekuat atau berkualitas buruk atau miskin, yang ditandai oleh satu atau lebih gejala berikut, yaitu : a) Sulit memulai tidur b) Sulit mempertahankan tidur c) Bangun terlalu cepat di pagi hari d) Tidur yang tidak menyegarkan Gejala insomnia dapat dibedakan sebagai berikut : 1) Kesulitan memulai tidur biasanya disebabkan oleh adanya gangguan emosi, ketegangan, gangguan fisik (misalnya keletihan

yang

berlebihan atau adanya penyakit yang mengganggu fungsi organ tubuh. 2) Bangun terlalu awal yaitu dapat dimulai tidur dengan normal namun tidur mudah terputus atau bangun lebih awal dari waktu tidur serta kemudian tidak tidur lagi gejala ini sering muncul seiring dengan

bertambahnya usia seseorang atau karena depresi dan sebagainnya (Lumbantobing,2004). 2.3.5 Manifestasi Insomnia a) Perasaa sulit tidur, bangun terlalu awal b) Wajah kelihatan kusam c) Mata merah, hingga timbul bayangan gelap dibawah mata d) Lemas, mudah mengantuk e) Resah dan mudah cemas f) Sulit berkosentrasi, depresi, gangguan memori, dan tersinggung. 2.3.6 Dampak Insomnia Berbagai dampak merugikan yang ditimbul dari insomnia yaitu : a) Depresi b) Kesulitan untuk berkosentrasi c) Aktivitas sehari-hari menjadi terganggu d) Prestasi kerja atau belajar mengalami penurunan e) Mengalami kelelahan di siang hari f) Hubungan interpersonal dengan orang lain menjadi buruk g) Meningkatkan resiko kematian h) Memunculkan berbagai penyakit fisik Dampak insomnia ada hubungan yang kuat antara jumlah tidur, peningkatan resiko kecelakaan, dan luka-luka dan keluhan fisik. Remaja yang kurang tidur lebih mungkin untuk menggunakan alkohol, nikotin, dan kafein. Orang kurang tidur biasanya bertanggung jawab atas

kecelakaan mobil disebabkan oleh driver jatuh tertidur untuk sepersekian detik. Kurang tidur meningkatkan resiko hipertensi, diabetes, obesitas, depresi, serangan jantung, stroke dan berbagai kondisi fisik dan fisiologis lainnya. Dampak insomnia ini tidak di anggap remeh, karena bisa menimbulkan kondisi yang lebih serius dan membahayakan kesehatan dan keselamatan. Oleh karenanya, setiap penderita insomnia perlu mencari jalan keluar yang tepat. 2.3.7 Komplikasi Insomnia a. Efek fisiologis. Karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh stres terdapat peningkatan noradrenalin serum, peningkatan ACTH dan kortisol, juga penurunan produksi melatonin. b. Efek psikologis. Dapat berupa gangguan memori, gangguan berkosentrasi, iritabel, kehilangan motivasi, depresi, dan sebagainya. c. Efek fisik/somatik. Dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi, dan sebagainya. d. Efek sosial. Dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, seperti susah mendapatkan promosi pada lingkungan kerjanya. Kurang bisa menikmati hubungan sosial dan keluarga. e. Kematian. Orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam memiliki angka harapan hidup lebih sedikit dari orang yang tidur 7-8 jam semalam. Hal ini mungkin disebabkan karena penyakit yang menginduksi insomnia yang memperpendek angka harapan hidup atau karena high arousal state yang terdapat pada insomnia mempertinggi angka mortalitas atau mengurangi kemungkinan sembuh dari penyakit. Selain itu, orang yang menderita

insomnia memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar untuk mengalami kecelakan lalu lintas jika dibandingkan dengan orang normal. 2.3.8 Insomnia pada Lansia dan Pengaruhnya Insomnia adalah suatu keadaan seseorang sulit masuk tidur, atau kesulitan mempertahankan tidur dalam kurun waktu tertentu, sehingga menimbulkan penderitaan atau gangguan dalam berbagai fungsi sosial, pekerjaan ataupun fungsi-fungsi kehidupan sehari-hari. Pada umumnya penderita mengeluh di waktu pagi mengalami kelelahan fisik dan mental, pada siang hari merasa ekspresif, cemas, tegang, tremor, berkurangnya kosentrasi dan mudah tersinggung. Orang yang terlambat, baru tidur menjelang pagi hari, biasa bangun dengan perasaan lemah, tidak berdaya, depresif dan pusing sehingga dapat mempengaruhi kemampuan dalam kinerjanya. Dapat menimbulkan resiko kecelakaan lalu lintas, kesulitan dalam pengambilan suatu keputusan dalam keluarga, pekerjaan, maupun dalam kehidupan sosial, yang dapat menimbulkan gangguan jiwa (Erry,2000). 2.4 Sleep Hygiene 2.4.1 Pengertian sleep hygiene Sleep hygiene adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kebiasaan tidur yang baik, yang meliputi hal-hal yang dapat dilakukan untuk memberikan kesempatan terbaik untuk tidur yang rileks. Perilaku sleep hygiene adalah latihan atau kebiasaan yang dapat mengoptimalkan tidur yang baik sehingga dapat melakukan aktivitas maksimal di sianghari. Tujuan dari menjaga sleep hygiene adalah untuk meningkatkan periode REM dan mempertahankan

durasi REM yang cukup. Perbaikan sleep hygiene pada usia lanjut merupakan cara yang sederhana namun efektif dalam meningkatkan kualitas tidur. Menurut Sustari, dkk (2014), terapi nonfarmakologis yang paling efektif untuk mengatasi insomnia adalah terapi perilaku, yaitu sleep hygiene. Sleep hygiene merupakan identifikasi dan modifikasi perilaku dan lingkungan yang mempengaruhi tidur (Roepke SK & Ancoli-Israel S, 2010). “Sleep hygiene merupakan suatu latihan atau kebiasaan yang dapat mempengaruhi tidur”. Sebagaimana dijelaskan bahwa “higiene tidur merupakan suatu manipulasi lingkungan yang dapat digunakan dalam mengatasi insomnia dengan cara mengatur jadwal tidur seseorang secara teratur”. Manipulasi lingkungan merupakan suatu pendekatan yang terbaik dalam mengatasi masalah insomnia pada lanjut usia (Depkes, 2006). Perbaikan sleep hygiene pada lanjut usia merupakan cara sederhana namun efektif dalam meningkatkan kualitas tidur (Puspitosari, 2008). Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa sleep hyginie

merupakan tindakan-tindakan yang dapat kita lakukan

sebelum tidur guna membantu kita mendapatkan kualitas tidur yang lebih baik. 2.4.2 Komponen sleep hygiene Komponen sleep hygiene dibagi menjadi 4 bagian menjadi 4 bagian besar yang terdiri dari jadwal tidur-bangun, lingkungan, diet dan kebiasaan tidur yang dapat menginduksi tidur seperti aktivitas siang hari. 1) Jadwal tidur-bangun Jadwal bangun tidur terbagi atas kebiasaan tidur siang, kebiasaan jam tidur, kebiasaan jam bangun, dan aktivitas latihan sebelum tidur.

Tidur siang hari dapat menyebabkan kualitas tidur malam yang lebih baik. Kebiasaan tidur siang dimulai dari pukul 14.00-16.00 WIB dengan durasi tidur siang yang berbeda, yaitu antara 11,5 sampai 108,5 menit. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Yoon yang menyebutkan bahwa lebih dari 40% responden (433 responden) yang memiliki kebiasaan tidur siang teratur memiliki tidur malam yang lebih dari pada responden yang tidak memiliki kebiasaan tidur siang. 2) Lingkungan Lingkungan terdiri dari tempat tidur yang tidak nyaman (seperti matras dan guling yang tidak nyaman, selimut yang terlalu tebal atau terlalu tipis). Kamar tidur yang tidak nyaman (terlalu terang, suhu ruangan yang panas, suara berisik). Perasaan yang buruk sebelum tidur (seperti marah, stress, khawatir). Studi menunjukkan bahwa sinar cahaya dalam ruangan akan mempengaruhi hormone melatonin. Kamar yang tetap terang saat tidur akan mengurangi kadar melatonin hingga 50%. Dari hasil penelitian sebelumnya, tidur dengan tidak menggunakan lampu akan memberikan kualitas tidur yang baik, jarang terbangun di malam hari dan merasa bangun dalam keadaan segar. Lampu yang mati saat tidur akan membuat kinerja hormon melatonin maksimal sehingga tubuh dan otak beristirahat secara penuh. 3) Diet Komponen diet terdiri dari perilaku konsumsi alkohol, merokok dan konsumsi kafein 4 jam sebelum tidur. Komponen bioaktif yang

terdapat pada kafein yang berlebihan dapat menghilangkan rasa kantuk. Konsumsi kafein yang berlebihan dapat menyebabkan perburukan jumlah jam tidur, onset tidur, frekuensi terbangun dimalam hari, kedalaman tidur, ketidakpuasan tidur dan disfungsi pada pagi hari. Mekanisme kerja utama kafein adalah menghambat reseptor Adenosin. Adenosine merupakan neurontransmiter yang efeknya mengurangkan aktivitas sel terutama sel saraf. Apabila reseptor adenosine berikatan dengan kafein, maka aktivitas sel saraf akan tetap aktif karena adenosine tidak dapat bekerja menghambat aktivitas sel. Konsumsi alkohol akan memicu rasa kantuk saat seseorang sudah terjaga dalam waktu yang lama akan mulai mereda setelah tidur. Setelah minum alkohol, produksi adenosine (bahan kimia yang menginduksi tidur dalam otak) akan meningkat, memungkinkan untuk onset cepat tidur. Namun, akan mereda dan menyebabkan seseorang terbangun sebelum benar-benar istirahat. Dampak konsumsi alkohol lainnya adalah blocking tidur pada fase REM. Fase REM yang berkurang akan menyebabkan penurunan kosentrasi saat bangun tidur. Merokok merupakan salah satu perilaku yang dihindari sebelum tidur. Kandungan nikotin dalam rokok dan meningkatkan kosentrasi intrasynapic dopamine (DA) diventral striatum/nucleus accumbens (VST/Nac) dan seratonin sebagai neurotrasmiter penahan kantuk. Proses ini akan menyebabkan proses jatuh tidur semakin lama. Vaora (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa perokok berat

memiliki resiko 9,3 kali lebih besar untuk mengalami insomnia daripada perokok ringan. Obat-obatan

seringkali

mempengaruhi

siklus

tidur.

Medikasi

antidepresan, heterosikli, inhibilator monoamine oksidae (MAOI), dan litium dapat menyebabkan penurunan dalam tidur REM. Penelitian dengan obat-obatan heterosiklik tidak menunjukkan timbulnya toleransi terhadap supresi REM. Terapi lain seperti elektrokonvulsif dan kokain dapat menyebabkan penurunan tidur REM. Obat-obatan neuroleptic dapat meningkatan rasa kantuk dan tidur REM, namun dosis klopromazim yang tinggi akan menekan REM. Benzodiazepine menyebabkan penurunan pada stadium I, II, IV, peningkatan pada stadium II dan peningkatan dalam kelatenan REM. Toleransi timbul dengan cepat terhadap sedative-hipnotik. Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan kelatenan tidur yang teratur, supresi REM dan sering terjaga. 4) Kebiasaan yang dapat menginduksi tidur Tindakan non-spesifik untuk menginduksi tidur (sleep hygiene) dapat dilakukan dengan bangun pada waktu yang sama setiap hari, batasi waktu ditempat tidur, hindari tidur sekejap disiang hari, aktif olahraga di sore hari. Meredam dalam air panas menjelang waktu tidur selama 20 menit, hindari makan banyak sebelum tidur, makan pada waktu yang teratur, lakukan relaksasi sebelum tidur dan mempertahankan kondisi tidur yang menyenangkan merupakan tindakan yang dapat menginduksi tidur juga.

Studi yang dilakukan oleh Gumilar mengatakan bahwa dengan memberi perlakuan rendam kaki dengan air hangat selama 5 hari berturut-berturut memberikan pengaruh yang baik terhadap kualitas tidur lansia. 2.4.3 faktor-faktor yang mempengaruhi sleep hygiene Faktor-faktor yang mempengaruhi sleep hygiene seseorang antara lain jadwal tidur-bangun, lingkungan (suara gaduh, temperatur, termasuk kebiasaan selain tidur yang dilakukan oleh lansia di tempat tidur), diet dan penggunaan obatobatan, serta hal-hal umum meliputi kecemasan dan aktivitas di siang hari (Amir, 2007). Hasil penelitian dari Rahman & Syaifudin (2014) menyimpulkan bahwa semakin rendah perilaku sleep hygiene maka akan semakin buruk pula kualitas tidur pada lanjut usia. 2.4.4. Sikap sleep hygiene Menurut Suastari, dkk (2014), sikap sleep hygiene adalah sikap yang dapat menyebabkan tidur lansia menjadi lebih nyenyak dengan melalui perubahan perilaku, lingkungan, diet dan olahraga antara lain : a. Perilaku 1) Memiliki jadwal bangun dan tidur yang teratur setiap hari 2) Membuat pikiran dan tubuh menjadi tenang dan relaks 3) Berada ditempat tidur hanya saat tidur dan mengantuk 4) Tidur siang kurang 30 dari menit b. Lingkungan 1) Tidur dengan pencahayaan gelap

2) Temperatur kamar tidur nyaman 3) Menghindari suara ribut 4) Membersihkan kamar tidur secara teratur c. Diet 1) Makan secara teratur setiap hari 2) Tidak makan terlalu banyak sebelum tidur 3) Tidak minum kopi atau kafein sebelum tidur 4) Tidak minum alkohol sebelum tidur 5) Tidak merokok sebelum tidur d. Olahraga Berolahraga secara teratur selama 20-30 menit sebanyak 3-4 kali dalam seminggu. 2.3.5. Manfaat sleep hygiene Menurut Potter & Perry (2006) dalam Manunggaling (2010). “Perilaku tindakan higiene tidur yang tepat bermanfaat untuk membuat pola tidur yang tepat sehingga pola tidur baik dan tidak memerlukan penggunaan obat”. Perilaku sleep hygiene yang baik dapat mencegah berkembangnya gangguan dan masalah tidur. Hal itu berarti perilaku sleep hygiene yang baik dapat membantu seseorang dalam memiliki kualitas tidur yang baik pula. Gangguan-gangguan tidur dan tidur siang hari menandakan bahwa seseorang mempunyai sleep hygiene yang buruk. Perilaku sleep hygiene yang buruk pada lansia misalnya lansia sering menghabiskan lebih banyak waktunya

ditempat tidur atau sebentar-bentar tertidur di siang hari lebih banyak terjaga di malam hari (Amir, 2007). 2.5 Hubungan antara sleep hygiene dengan insomnia Insomnia adalah kesukaran dalam memulai dan mempertahankan tidur. Periode singkat insomnia paling sering berhubungan dengan kecemasan, baik secara keseluruhan terhadap pengalaman yang mencemaskan atau dalam menghadapi pengalaman yang menimbulkan kecemasan. Selama ini berbagai terapi pengobatan telah dikembangkan untuk membantu para lansia mengatasi keluhannya sehingga meminimalisasi dampaknya terhadap kehidupan, sehingga diperlukan metode dalam penatalaksanaan insomnia pada lansia melalui pendekatan terapi nonfarmakologis. Terapi nonfarmakologis yang paling efektif untuk mengatasi insomnia yaitu terapi sleep hygiene.

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"