Bab 2.docx

  • Uploaded by: Diofani Putri
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,945
  • Pages: 10
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Konsep dasar nefrotik sindrome Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang menimbulkan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan edema.Sifat khusus penyakit ini adalah sering kambuh, sering gagalnya pengobatan dan timbul penyulit, baik akibat penyakitnya sendiri maupun oleh karena akibat pengobatannya. Penyulit yang sering terjadi pada sindrom nefrotik adalah infeksi, trombosis, gagal ginjal akut, malnutrisi, gangguan pertumbuhan, hiperlipidemia, anemia (Betz, et al., 2009). Sindrom nefrotik adalah keluarnya protein 3,5 gram atau lebihmelalui urine per hari. (Elizabeth J. Corwin : 2009 hal 708) Nefrotik sindrom adalah gangguan klinis yang ditandai dengan peningkatan protein urine (proteinuria), edema, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), dan kelebihan lipid dalam darah (hiperlipidemia). Kejadian ini diakibatkan oleh kelebihan pecahan plasma protein ke dalam urine karena

peningkatan

permeabilitas

membran

kapiler

glomerulus.(Evanjh.ilmukeperawatanku.com.2011)

2.2 Patofisiologi nefrotik sindrome Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Lanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskuler berpindah ke dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena hypovolemi. Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi renin – angiotensin dan peningkatan sekresi anti diuretik hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi retensi kalium dan air. Dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan edema.

Proteinuria

Albumin plasma

Tekanan osmotik koloid plasma

Pergeseran cairan ekstrasel

cairan intrasel

edema

cairan ekstra sel

retensi NA dan H2O

Cairan intravaskuler

Renin-angiotensin

ADH dan aldosteron

Reabsorbsi meningkat pada tubulus

2.3 Etiologi nefrotik sindrome Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik. Klasifikasi dan penyebab sindrom nefrotik didasarkan pada penyebab primer ( gangguan glomerular karena umur), dan sekunder (penyebab sindrome nefrotik). 1,5 a. Penyebab Primer Umumnya tidak diketahui kausnya dan terdiri atas sindrome nefrotik idiopatik (SNI) atau yang sering disebut juga SN primer yang bila berdasarkan gambaran dari histopatologinya, dapat terbagi menjadi ; 1.

Sindroma nefrotik kelainan minimal

2.

Nefropati membranosa

3.

Glomerulonephritis proliferative membranosa

4.

Glomerulonephritis stadium lanjut

b. Penyebab Sekunder a. Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV, sifilis, TB, lepra, skistosoma b. Keganasan : leukemia, Hodgkin’s disease, adenokarsinoma :paru, payudara, colon, myeloma multiple, karsinoma ginjal c. Jaringan penghubung : SLE, artritis rheumatoid, MCTD (mixed connective tissue disease) d. Metabolik : Diabetes militus, amylodosis e. Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami, probenesid, kaptopril, heroin f. Berdasarkan respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid (sindrom nefrotik yang sensitive terhadap steroid (SNSS) yang lazimnya berupa kelainan minimal, tidak perlu biopsy), dan resisten steroid atau SNRS yang lazimnya bukan kelainan minimal dan memerlukan biopsy.

2.4 Tanda dan Gejala nefrotik sindrome Selain kandungan protein dalam urine, ada beberapa gejala dan perubahan fisik yang dapat mengindikasikan sindrom nefrotik. Di antaranya adalah: 

Penumpukan cairan atau edema. Berkurangnya kadar protein dalam darah akan memperlambat aliran air dari jaringan tubuh untuk masuk ke pembuluh darah. Akibatnya, air akan menumpuk di jaringan tubuh dan menyebabkan pembengkakan, terutama di sekitar mata, pergelangan kaki, dan kaki. Penumpukan ini juga dapat memicu kenaikan berat badan.



Perubahan pada urine. Karena mengandung protein yang tinggi, urine biasanya akan berbuih. Selain itu, anak yang menderita sindrom nefrotik seringkali mengalami penurunan jumlah dan frekuensi berkemih.



Rentan terkena infeksi. Antibodi merupakan salah satu jenis protein dalam darah yang berfungsi untuk melawan infeksi. Apabila jumlah protein dalam darah menurun, antibodi juga akan berkurang jumlahnya sehingga penderitanya akan lebih rentan untuk mengalami infeksi.



Pembekuan darah. Protein-protein penting yang berfungsi untuk mencegah gumpalan darah juga akan ikut terbuang melalui urine pada penderita sindrom nefrotik. Akibatnya, risiko untuk terjadinya kondisi serius akibat pembekuan darah pun akan meningkat.



Tekanan darah tinggi. Ginjal merupakan salah satu organ penting yang berfungsi untuk mengatur tekanan darah dalam tubuh. Gangguan pada ginjal akan berisiko untuk meningkatkan

tekanan darah seseorang. Selain itu, perubahan keseimbangan protein dalam darah juga turut memicu terjadinya tekanan darah tinggi. Sindrom nefrotik juga dapat gejala-gejala sampingan lainnya seperti mudah lelah, nafsu makan menurun, muntah dan diare, serta penyusutan otot dan perubahan warna kulit menjadi putih (leukonychia). Adapun tanda dan gejala lain adalah: 1.

Tanda paling umum adalah peningkatan cairan di dalam tubuh, diantaranya adalah: a) Edema periorbital, yang tampak pada pagi hari. b) Pitting, yaitu edema (penumpukan cairan) pada kaki bagian atas. c) Penumpukan cairan pada rongga pleura yang menyebabkan efusi pleura. d) Penumpukan cairan pada rongga peritoneal yang menyebabkan asites. e) Hipertensi (jarang terjadi), karena penurunan voulume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi renal yang mengaktifkan sistem renin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah.

2.

Beberapa pasien mungkin mengalami dimana urin berbusa, akibat penumpukan

tekanan permukaan akibat proteinuria. 3.

Hematuri

4.

Oliguri (tidak umum terjadi pada nefrotik sindrom), terjadi karena penurunan volume cairan vaskuler yang menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang mengakibatkan disekresinya hormon anti diuretik (ADH)

5.

Malaise

6.

Sakit kepala

7.

Mual, anoreksi

8.

Irritabilitas

9.

Keletihan

2.5 Pemeriksaan penunjang nefrotik sindrome 1.

Laboratorium a) Pemeriksaan sampel urin Pemeriksaan sampel urin menunjukkan adanya proteinuri (adanya protein di dalam urin).



Urinalisis Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk nefrotik.Proteinuria berkisar 3+

atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat.3+ menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range. 

Pemeriksaan sedimen urin

Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit. 

Pengukuran protein urin Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot

collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis. Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.

b) Pemeriksaan darah 

Hipoalbuminemia dimana kadar albumin kurang dari 30 gram/liter.



Hiperkolesterolemia (kadar kolesterol darah meningkat), khususnya peningkatan Low Density Lipoprotein (LDL), yang secara umum bersamaan dengan peningkatan VLDL



Pemeriksaan elektrolit, ureum dan kreatinin, yang berguna untuk mengetahui fungsi ginjal



Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:  Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml)  Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml)  α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml)  α2 globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml)  β globulin normal (N: 0,5-0,9 gm/100ml)  γ globulin normal (N: 0,3-1 gm/100ml)  rasio albumin/globulin <1 (N:3/2)  komplemen C3 normal/rendah (N: 80-120 mg/100ml)  ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.

2.

Pemeriksaan lain Pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan apabila penyebabnya belum diketahui secara

jelas, yaitu: a. Biopsi ginjal (jarang dilakukan pada anak-anak ). Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN congenital, onset usia> 8 tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi nefritik signifikan.Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsy mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan diagnosis patologi penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan glomerulosklerosisfokal, karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih baik terhadap steroid. b. Pemeriksaan penanda Auto-immune (ANA, ASOT, C3, cryoglobulins, serum electrophoresis). c. Albumin serum - kualitatif

: ++ sampai ++++

- kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen ESBACH) d.

Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis

e. USG renal Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik

2.6 Penatalaksanaan medis nefrotik sindrome Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal. a) Menjaga pasien dalam keadaan tirah baring selama beberapa hari mungkin diperlukan untuk meningkatkan diuresis guna mengurangi edema. b) Masukan protein ditingkatkan untuk menggantikan protein yang hilang dalam urine dan untuk membentuk cadangan protein ditubuh. c) Jika edema berat, pasien diberikan diet rendah natrium. d) Diuretik diresepkan untuk pasien dengan edema berat dan adrenokortikosteroid (prednison) digunakan untuk mengurangi proteinuria. e) Medikasi lain yang digunakan dalam penanganan sindromnefrotik mencakup agens antineoplastik (Cytoxan) atau agens imuno supresif (Imuran, Leukeran, atau siklosporin). Jika terjadi kambuh, penanganan kortikosteroid ulang diperlukan.

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan

tujuan

untuk

mempercepat

pemeriksaan

dan

evaluasi

pengaturan

diit,

penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan pemeriksaan berikut: 1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan 2. Pengukuran tekanan darah2. 3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik, purpura HenochSchonlein. 4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai. 5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6 bulan

bersama

steroid,

dan

bila

ditemukan

tuberkulosis

diberikan

obat

antituberkulosis (OAT). Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah .

Diitetik Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema. Diuretik Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selangsehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. Imunisasi Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais.11 Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan

vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela. Penatalaksanaan lain yang bisa dilakukan: 1. Diit tinggi protein, d iit rendah natrium jika edema berat. 2. P e m b a t a s a n s o d i u m j i k a a n a k h i p e r t e n s i 3. A n t i b i o t i k u n t u k m e n c e g a h i n f e k s i 4. T e r a p i d i u r e t i k s e s u a i p r o g r a m 5. Terapi albumin jika intake anak dan output urin kurang. 6. Terapi prednison dengan dosis 2 mg/kg/hari sesuai program

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"

Bab 1 Fix.rtf
December 2019 17
Bab 2.docx
December 2019 14
Makalah Stroke.docx
December 2019 18
Harga Diri Rendah.docx
October 2019 27
Hemoragik.docx
December 2019 14