Bab 2 Vivi.docx

  • Uploaded by: Nurul Jannah Sudirman II
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 2 Vivi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,989
  • Pages: 22
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Konsep Asma

2.1.1. Pengertian Asma Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari. (PDPI, 2006; GINA, 2009). Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.

Gambar 2.1 Hubungan antara inflamasi, gejala klinis, dan patofisiologi Asma Sumber: NHLBI, 2007.

2.1.2. Epidemiologi Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (GINA, 2003). Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006). Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia adalah sekitar

4%. Menurut Sastrawan (2008), angka ini konsisten dan prevalensi asma bronkial sebesar 5–15%. 2.1.3. Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Asma Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asma adalah: a. Imunitas dasar Mekanisme

imunitas

terhadap

kejadian

inflamasi

pada

asma

kemungkinan terjadi ekspresi sel Th2 yang berlebihan (NHLBI, 2007). Menurut Moffatt (2007), gen ORMDL3 mempunyai hubungan kuat sebagai faktor predisposisi asma. b. Umur Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu umur 5 – 14 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5% (Asthma and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut studi yang dilakukan oleh Australian Institute of Health and Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok umur 18 – 34 tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi 8.8%. Di Jakarta, sebuah studi pada RSUP Persahabatan menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46 tahun (Pratama et.al, 2009). c. Jenis Kelamin Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia dewasa

tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis kelamin (Maryono, 2009). d. Faktor pencetus Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling penting. Alergen – allergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang, dan polen/tepung sari. Kutu debu umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang kotor. Kecoak telah dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah di perkotaan (NHLBI, 2007). Menurut Ownby dkk (2002) dalam GINA (2009), paparan terhadap binatang, khususnya bulu anjing dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma. Konsentrasi polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan biasanya dibawa oleh angin dalam bentuk partikel – partikel besar. Iritan – iritan berupa paparan terhadap rokok dan bahan kimia juga telah dikaitkan dengan kejadian asma. Dimana rokok diasosiasikan dengan penurunan fungsi paru pada penderita asma, meningkatkan derajat keparahan asma, dan mengurangi responsivitas terhadap pengobatan asma dan pengontrolan asma. Menurut Dezateux dkk (1999), balita dari ibu yang merokok mempunyai resiko 4 kali lebih tinggi menderita kelainan seperti mengi dalam tahun pertama kehidupannya. Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi istirahat yang adekuat juga dapat memicu terjadinya serangan asma (Nurafiatin dkk, 2007).

Riwayat penyakit infeksi saluran pernapasan juga telah dihubungkan dengan kejadian asma. Menurut sebuat studi prospektif oleh Sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita asma dengan riwayat infeksi saluran pernapasan (Respiratory syncytial virus) akan terus menderita mengi atau menderita asma dalam kehidupannya. e. Status sosioekonomik Mielck dkk (1996) menemukan hubungan antara status sosioekonomik / pendapatan dengan prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi derajat asma berat paling banyak terjadi pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar 40%. 2.1.4. Diagnosis Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan dengan anamnesis yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik. a. Anamnesis Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu: Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala musiman, riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di dada dan berdahak yang berulang. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator

b. Pemeriksaan Fisik Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal (GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan (Chung, 2002). Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi (GINA, 2009). c. Faal Paru Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru menilai derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu kita menegakkan diagnosis asma. Akan tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan kuat dengan

gejala, hanya sebagai informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap asma (Pellegrino dkk, 2005). Banyak metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah dianggap sebagai standard pemeriksaan adalah: (1) pemeriksaan spirometri dan (2) Arus Puncak Ekspirasi meter (APE). d. Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan hambatan jalan napas dan reversibilitas yang direkomendasi oleh GINA (2009). Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui spirometri. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 3 ekspirasi. Banyak penyakit paru-paru menyebabkan turunnya angka VEP1. Maka dari itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%) dan atau rasio VEP1/KVP (%). Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore (tidak lebih dari 20%). Untuk mendapatkan variabiliti APE yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi hari sebelum mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu (Pada malam hari gunakan nilai APE tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik (PDPI, 2006). 2.1.5. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan faal paru dapat ditentukan klasifikasi (derajat) asma. Lihat tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis Derajat Asma Gejala Gejala Faal paru Malam I.

Intermiten APE ≥ 80 %

Bulanan • Gejala < 1x /

• ≤ 2 kali Minggu



sebulan

• Tanpa gejala di luar

nilai prediksi •

Serangan •

VEP1 ≥ 80 %

APE ≥ 80 % nilai terbaik



Serangan singkat

Variabiliti APE < 20 %

II. Persisten Ringan APE ≥ 80 %

Mingguan • Gejala > 1x /

• > 2 kali minggu, tetapi < 1x

sebulan

VEP1 ≥ 80 % nilai prediksi



/ hari •



Serangan dapat

APE ≥ 80 % nilai terbaik



mengganggu aktiviti dan tidur

Variabiliti APE 20 - 30 %

III. Persisten

APE 60 - 80 %

Sedang

Harian



Gejala setiap hari

• > 1x /



VEP1 60 - 80 %



Serangan

seming

mengganggu

gu

nilai prediksi •

aktiviti dan tidur •

APE 60 - 80 % nilai terbaik



Membutuhkan bronkodilator setiap

Variabiliti APE > 30 %

Hari APE ≤ 60 %

IV. Persisten Berat

Kontinyu



Gejala terus

• Sering



Menerus

VEP1 ≤ 60 % nilai prediksi



Sering kambuh



Aktiviti fisik



APE ≤ 60 % nilai terbaik Variabiliti

Terbatas

>30%

2.1.6. Penatalaksanaan Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. GINA (2009) dan PDPI

(2006)

menganjurkan

untuk

melakukan

penatalaksanaan

berdasarakan kontrol. Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu: (1) Medikasi (2) Pengobatan berdasarkan derajat

APE

a. Medikasi Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara seperti inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah melalui inhalasi agar langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang minimal ataupun tidak ada. Macam–macam pemberian obat inhalasi dapat melalui inhalasi dosis terukur (IDT), IDT dengan alat bantu (spacer), Dry powder inhaler (DPI), breath–actuated IDT, dan nebulizer. Medikasi asma terdiri atas pengontrol (controllers) dan pelega (reliever). Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang, terutama untuk asma persisten, yang digunakan setiap hari untuk menjaga agar asma tetap terkontrol (PDPI, 2006). Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering disebut sebagai pencegah terdiri dari: - Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik - Leukotriene modifiers - Agonis β-2 kerja lama (inhalasi dan oral) - Metilsantin (teofilin) - Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil Sodium)

Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala – gejala asma. Prinsip kerja obat ini adalah dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi

otot

polos,

memperbaiki

dan

atau

menghambat

bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi golongan obat ini tidak memperbaiki

inflamasi

jalan

napas

ataumenurunkan

hipersensitivitas jalan napas. Pelega terdiri dari: - Agonis β-2 kerja singkat - Kortikosteroid sistemik - Antikolinergik (Ipratropium bromide) - Metilsantin

b. Pengobatan Berdasarkan Derajat Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi: 1) Asma Intermiten Umumnya tidak diperlukan pengontrol. Bila diperlukan pelega, agonis β-2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif dengan agonis β-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan 2) Asma Persisten Ringan Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: - Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus

- atau terbagi dua kali sehari) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi - Budenoside : 200–400 μg/hari - Fluticasone propionate : 100–250 μg/hari - Teofilin lepas lambat - Kromolin - Leukotriene modifiers - Pelega bronkodilator (Agonis β-2 kerja singkat inhalasi) dapat

diberikan bila perlu 3) Asma Persisten Sedang Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: - Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan

agonis β-2 kerja lama inhalasi - Budenoside: 400–800 μg/hari - Fluticasone propionate : 250–500 μg/hari - Glukokortikosteroid

inhalasi

(400–800 μg/hari) ditambah

teofilin lepas lambat - Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah agonis

β-2 kerja lama oral - Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 μg/hari) - Glukokortikosteroid

inhalasi

(400–800 μg/hari) ditambah

leukotriene modifiers - Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu

- Agonis β-2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 3–4 kali

sehari, atau - Agonis β-2 kerja singkat oral, atau - Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis β-2 kerja

singkat - Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita

telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis β-2 kerja lama inhalasi. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah. 4) Asma Persisten Berat Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin. Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma, dengan pilihan: - Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua

dosis) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi - Beclomethasone dipropionate: >800 μg/hari

- Selain itu teofilin lepas lambat, agonis β-2 kerja lama oral, dan

leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis β-2 kerja lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi - Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena

dapat mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas atas 2.2

Konsep Serangan Asma

2.2.1 Pengertian Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari gejala-gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Serangan asma merupakan cerminan gagalnya tata laksana asma jangka panjang, atau adanya pajanan dengan pencetus serangan asma (Rahajoe dkk., 2015). Serangan asma akut merupakan kegawatan medis yang lazim dijumpai di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Serangan asma yang tidak terkontrol mengakibatkan terganggunya kehidupan sosial pasien beserta keluarga, dan mengeluarkan biaya yang sangat mahal untuk biaya kesehatan. Edukasi mengenai serangan asma perlu ditekankan, bahwa serangan asma dapat dicegah, setidaknya dapat dikurangi dengan pengenalan dini dan terapi intensif. Pengurangan jumlah dan keparahan serangan telah menjadi tujuan tata laksana serangan asma (Johnston dkk., 2006).

2.2.2 Faktor yang mempengaruhi serangan asma a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang, seperti anjing, kucing dan lain-lain) b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur) c. Alergen makan ( susu, udang, telur, kepiting dan ikan laut) d. Bahan yang mengiritasi (parfum) e. Ekspresi emosi berlebih, stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada f. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif, asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini g. Perubahan cuaca, cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadangkadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan) (Bateman, 2007).

2.3

Konsep Senam Asma

2.3.1 Pengertian Senam asma merupakan salah satu pilihan olah raga yang tepat bagi penderita asma. Senam asma sesuai dengan namanya merupakan terapi terhadap penyakit asma. Yang dalam gerakannya menggabungkan berbagai gerakan senam pernafasan dari seluruh belahan dunia. Senam ini mempunyai gerakan yang variatif dan berkembang sesuai dengan daerahnya. Program terapi latihan atau fisioterapi yang umum dilakukan dalam gerakan senam asma ini adalah latihan pernafasan. Karena Senam asma bermanfaat untuk meningkatkan kesegaran jasmani dan juga meningkatkan kemampuan benapas. Selain senam asma, masih ada beberapa pilihan olahraga lain, di antaranya berenang dan jalan santai (jogging). Namun perlu diperhatikan pula faktor pemicu asma, jika asma muncul karena udara dingin, hindari berenang di kolam dengan suhu rendah atau melakukan jogging di pegunungan. Untuk meningkatkan kekuatan otot-otot pernafasan perlu dilakukan latihan otot pernafasan. Latihan otot ini dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan pasien. Latihan otot yang dianjurkan untuk meningkatkan kekuatan otot pada pasien asma adalah senam asma. Senam yang teratur akan mengurangi penumpukan asam laktat dalam darah sebagai efek metabolisme anaerob dan mengurangi kebutuhan ventilasi selama senam. Dengan senam pun dapat mengurangi gejala dyspnoe dan kelelahan selama senam.

2.3.2

Manfaat dan Tujuan Senam asma juga merupakan salah satu penunjang pengobatan asma karena keberhasilan pengobatan asma tidak hanya ditentukan oleh obat asma yang dikonsumsi, namun juga faktor gizi dan olah raga. Bagi penderita asma, olah raga diperlukan untuk memperkuat otot-otot pernapasan. Tujuanya adalah : a. Melatih cara bernafas yang benar. b. Melenturkan dan memperkuat otot pernafasan. c. Melatih ekspektorasi yang efektif. d. Meningkatkan sirkulasi. e. Mempercepat asma yang terkontrol. f. Mempertahankan asma yang terkontrol. g. Kualitas hidup lebih baik.

2.3.3

Indikasi a. Pasien Asma namun tidak dalam keadaan serangan asma b. Tidak dalam serangan jantung c. Tidak dalam stamina menurun (flu, kurang tidur, baru sembuh)

2.3.4

Kontraindikasi a. Pasien dalam keadaan serangan asma b. Pasien dalam keadaan serangan jantung c. Pasien dalam keadaan stamina yang menurun (flu, kurang tidur, baru sembuh)

2.3.5 Langkah-Langkah Senam asma a. Gerakan pertama Ayunkan kedua lengan ke depan setinggi bahu (2 x 8 hitungan) b. gerakan kedua Ayunkan kedua lengan kesamping lebih tinggi dari bahu (2 x 8 hitungan ) c. Gerakan ketiga Ayunkan kedua tangan ketas kemudian ayunkan kembali kebelakang (2 x 8 hitungan) d. Gerakan keempat Langkahkan kaki kanan kedepan sedangkan tangankiri kedepan, kemudian kembali ke posisi semula (ulangi dengan berlawanan kaki dan tangan (2 x 8 hitungan) e. Gerakan kelima Pertemukan kedua telapak tangan kedepan, gerkkan secara bersama deri atas hingga kebawah (2 x 8 hitungan ) f. Gerakan keenam Pertemukan kedua telapak tangan kedepan, kemudian buka perlahan kea rah samping sejajar bahu, lalu setukan kembali kedua telapak tangan dengan posisi ke bawah (2 x 8 hitungan ) g. Gerakan ketujuh Angkat salah satu tangan, kemudian ayunkan ke atas kebawah secara bergantian terakhir letakkan perlahan di pinggang (2 x 8 hitungan)

h. Gerakan kedelapan Bungkukkan badan 2x dan tegakkan badan sambil kedua tangan diletakkan ke pinggang 2x (2 x 8 hitungan ) i. Gerakan kesembilan Bungkukkan badan 2x dan tegakkan badan sambil menyondongkan pinggang kedepan dengan posisi tangan di pinggang 2x (2 x 8 hitungan) j. Gerakan kesepuluh Lakukan gerakan seperti gerakan keempat (2 x 8 hitungan) k. Gerakan kesebelas Ulurkan kedua tangan kearah atas samping kanan 2x, kemudian samping kiri 2x dengan posisi kaki sejajar bahu. Setelah itu ulangi gerakan dengan posisi kaki yang di tarik kesalah satu sisi tubuh (2 x 8 hitungan) l. Gerakan keduabelas Ulurkan kedua tangan kearah depan 2x, kemudian samping kiri 2x dengan posisi kaki lurus dengan diangkat salah satu kaki. Setelah itu ulangi gerakan dengan posisi kaki yang di tarik kesalah satu sisi tubuh (2 x 8 hitungan) m. Gerakan ke tigabelas Gerakkan kedua tangan ke samping bawah kemudian lakukan gerakan memutar dari samping kanan-keatas-kesamping kiri 2x (2x8 hitungan)

n. Gerakan ke empatbelas Lakukan gerakan melompat keatas dengan posisi kedua tangan diarahkan keatas sambil menarik nafas dalam, kemudian mendarat dengan posisi kaki kanan berada di depan (2 x 8 hitungan)

2.4

Kerangka Konseptual

Penurunan tingkat kekambuhan asma

Senam Asma

Terkontrol baik

Keterangan : = diteliti

Bagan 2 : Kerangka Konseptual

Terkontrol sebagian

Tidak Terkontrol

2.5

Hipotesis Penelitian H1

: Ada Pengaruh Senam Asma terhadap Penurunan Tingkat Kekambuhan Asma di Wilayah Kerja Puskesmas Rasana’e

Related Documents

Bab 2
June 2020 19
Bab 2
May 2020 26
Bab 2
May 2020 40
Bab 2
June 2020 23
Bab 2
April 2020 32
Bab 2
April 2020 37

More Documents from ""

Rps Etika Keperawatan.docx
December 2019 6
Bab 2 Vivi.docx
December 2019 6
Ar2018.pdf
June 2020 14
Conclusion.docx
June 2020 5
Pos Fm.docx
June 2020 12