BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Jenis Tempe Tempe adalah salah satu produk yang sudah diakui oleh UNESCO sebagai
makanan asli dari Indonesia. Rasanya yang unik dan juga memiliki gizi yang tinggi, menyebabkan tempe menjadi salah satu produk makanan yang populer hampir di seluruh dunia. Penelitian terkait pada tempe dan variasi makanan dari olahan tempe akhirnya semakin beragam akibat popularitas tempe di kanca internasional. Tempe yang dikenal utamanya tentu yang berbahan dasar kedelai, akan tetapi variasi bahan baku pada tempe yang ada di Indonesia sangat banyak. Jenis tempe yang terdapat di Indonesia adalah tempe kedelai, tempe bongkrek, tempe gembus atau menjos, tempe koro pedang, tempe kecipir, tempe kacang hijau atau kacang merah, tempe menjes, tempe lamtoro, tempe lupin, tempe munggur, tempe kara kratok, tempe karet, tempe gude, tempe bungkil, dan juga tempe daun singkong (Ahsanunnisa, 2018) Tempe kedelai merupakan salah satu tempe paling populer yang berasal dari fermentasi ragi pada kacang kedelai. Ragi yang digunakan tentu saja berbeda dengan ragi roti atau tape yaitu Rhizopus oligosporus. Proses pembuatan tempe yang berasal dari kacang kedelai ini juga dapat dibagi menjadi dua yang berdasarkan pada medium untuk pembuatannya atau yang biasa dikenal dengan bahan pembungkusnya, yaitu di antaranya dengan medium daun pisang dan juga dengan medium plastik. Medium daun pisang, tempe yang dibuat dengan daun pisang ini memiliki kerapatan tempe yang lebih kompak karena daun pisang memberikan banyak rongga bagi ragi untuk bertumbuh. Ragi yang cepat untuk melakukan pertumbuhan ini dapat membuat tempe yang berasal dari daun pisang akan lebih cepat rusak dari pada tempe medium plastik. Hasil dari tempe yang menggunakan daun pisang juga lebih kompak (kokoh) dan beraroma unik bila dibandingkan dengan tempe dari medium plastik. Medium plastik, lain dari tempe dengan medium daun pisang karena kerapatan tempe di medium plastik ini cenderung kurang kompak. Hal ini dapat diminimalisir dengan memberikan banyak lubang pada plastik yang digunakan. Hasil dari tempe dengan medium plastik memang tidak akan memberikan aroma khas seperti tempe dengan medium daun pisang tetapi masa penyimpanan tempe ini tergolong lebih lama.
3
Tempe bongkrek merupakan jenis tempe khas Jawa Tengah yang berasal dari ampas kelapa ini, memiliki warna hijau tua dan rasa yang gurih. Tempe ini dapat dikonsumsi dengan cara digoreng atau dibuat masakan empis tempe bongkrek, yaitu campuran antara tempe bongkrek yang dipotong dadu dengan pete. Tempe jenis ini cukup populer tetapi karena terjadi peristiwa keracunan tempe bongkrek membuat tempe ini tidak popular kembali. Adapun untuk menghindari terjadinya bahaya pada keracunan, jika menemukan tempe bongkrek yang sudah bewarna kekuningan. Hal ini merupakan pertanda kerusakan dari tempe bongkrek. Tempe bongkrek yang sudah rusak juga ditandai dari rasanya yang asam atau pahit dan bau yang menyengat. Tempe gembus merupakan tempe yang berasal dari ampas tahu dengan rasa yang gurih dan tekstur yang empuk. Tempe ini harus dikonsumsi minimal 28 jam setelah dari proses produksi selesai. Tempe ini biasanya diolah menjadi tempe goreng atau dimasak bersama sayuran dan cabai. Salah satu olahan tradisional yang cukup terkenal dari tempe ini adalah sate kere. Sate kere adalah olahan tempe gembus yang dibakar kemudian disajikan bersama lontong dan juga dengan bumbu sate. Tempe koro pedang merupakan jenis tempe khas Yogyakarta yang berasal dari kacang koro. Tempe ini memiliki bahan baku yang berbeda dengan tempe biasa menyebabkan tempe ini memiliki warna cokelat tua, akan tetapi rasa dan kandungan gizinya tidak jauh berbeda dengan tempe dari kacang kedelai. Sementara harganya relatif yang lebih murah dari pada tempe kedelai. Masakan dari tempe kacang koro (dikenal juga sebagai tempe benguk) yang terkenal adalah sengek tempe benguk. Sengek tempe benguk ini merupakan tempe kacang koro yang direbus dengan santan sehingga akan menghasilkan tempe yang cukup gurih dan juga nikmat. Tempe kecipir merupakan jenis tempe yang sudah jarang ditemukan di pasar tradisional, akan tetapi tempe ini masih dapat ditemukan di wilayah Tulungagung, Jawa Timur. Kecipir ini tumbuh subur di daerah Tulungagung sehingga masyarakat sekitar sering memanfaatkan biji kecipir, salah satunya yakni sebagai bahan baku pembuatan tempe. Proses pembuatan tempe jenis ini diperlukan waktu yang cukup lebih lama untuk merebus biji kecipir karena tekstur dari biji kecipir ini sendiri yang lebih keras. Proses dari pembuatan tempe jenis ini juga yang lebih sulit dari pada tempe jenis lainnya dan hal ini menyebabkan tempe kecipir menjadi kurang populer untuk diproduksi secara luas dibandingkan tempe kedelai atau jenis lainnya.
Tempe kacang hijau atau kacang merah merupakan jenis tempe dengan menggunakan kacang hijau atau kacang merah untuk proses pembuatannya. Tempe jenis ini masih merupakan penelitian di bidang pangan untuk menggantikan kacang kedelai. Rasa dan juga kandungan gizi dari tempe kacang hijau atau kacang merah ini tidak berbeda jauh dengan tempe kedelai. Tempe jenis ini juga mudah diolah menjadi sajian yang lain, yaitu seperti direbus atau juga dapat digoreng. Tempe menjes merupakan jenis tempe yang memiliki tekstur kasar karena tempe jenis ini berasal dari kacang tanah. Rasa dari tempe ini sendiri juga cenderung hambar bila dibandingkan dengan tempe kedelai. Tempe jenis ini sering ditemukan di Yogyakarta dan Jawa Timur, tempe ini bisa disajikan menjadi berbagai macam hidangan seperti digoreng atau ditumis. Olahan favorit untuk tempe jenis ini adalah tempe goreng tepung yang dapat disajikan bersama cabe rawit tentunya. Tempe lamtoro merupakan jenis tempe yang terkenal di daerah Mojopuro, Wonogiri dengan nama tempe mlanding. Tempe lamtoro tadinya hanya dibuat saat panen lamtoro, akan tetapi seiring berjalannya waktu tempe lamtoro ini juga dijual di pasar daerah tersebut dengan harga yang lebih murah dari pada tempe kedelai. Perbedaan utama dibandingkan tempe kedelai yaitu terletak pada rasa tempe lamtoro yang sedikit berlemak. Keunikan dari rasa tempe ini ternyata berasal dari kulit biji lamtoro. Pengolahan tempe lamtoro ini ternyata tidak susah. Tempe lamtoro biasanya dimasak dengan cara digoreng tepung atau dimasak bersama sayur dan santan kelapa. Tempe lupin merupakan jenis tempe dari kacang lupin. Kacang lupin ini meskipun merupakan tanaman kacang-kacangan dari Australia, tempe dari kacang lupin ini justru terkenal di daerah Malang. Tempe lupin dinilai lebih menarik karena warnanya yang kuning cerah, meskipun rasanya sedikit asam dan teksturnya yang lengket. Hal ini membuat tempe lupin sering diolah menjadi keripik tempe. Tempe munggur merupakan jenis tempe yang tidak berasal dari kacangkacangan, akan tetapi berasal dari biji-bijian yaitu biji munggur. Biji munggur mudah ditemukan di daerah Gunungkidul sehingga beberapa warga disana sering membuat tempe ini. Tempe munggur belum memiliki popularitas yang terkenal seperti tempe kedelai atau bahkan tempe bongkrek. Hal ini karena masih banyak penelitian yang dilakukan terkait dari zat gizi, penerimaan konsumen dan pengolahan dari tempe munggur. Salah satu pengolahan tempe munggur adalah keripik tempe munggur.
Tempe kara kratok merupakan jenis tempe yang berasal dari kacang lima yang difermentasikan. Tempe kara kratok ini biasanya dibuat saat musim kemarau karena kacang lima tumbuh di daerah kering. Tempe kara kratok ini sangat jarang ditemukan di Indonesia. Para peneliti masih memulai untuk mengajak masyarakat Indonesia memproduksi tempe kara kratok sebagai alternatif dari tempe kedelai. Tempe karet adalah jenis tempe yang dapat ditemukan di daerah Sragen. Tempe yang berasal dari biji karet ini memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dari pada tempe kedelai yang memiliki tekstur yang lebih lembut. Tempe karet juga memiliki daya simpan yang lebih lama dibandingkan tempe yang lain, yaitu sekitar dua minggu dari proses pembuatannya (disimpan di kulkas). Tempe karet ini dapat dimakan setelah digoreng atau juga dapat dibuat menjadi keripik tempe. Tempe gude merupakan jenis tempe menggunakan kacang gude di dalam proses pembuatannya. Tempe kacang gude memiliki cita rasa dan aroma yang unik meskipun dari beberapa hasil penelitian terkait penerimaan konsumen, tempe gude masih kalah bila dibandingkan dengan tempe kedelai. Tempe gude ini juga memiliki kandungan gizi yang relatif hampir sama dengan tempe kedelai dan karena gizinya yang baik ini, tempe gude bisa diolah menjadi makanan pendamping air susu ibu. Tempe bungkil adalah jenis tempe yang berasal dari ampas kacang tanah. Tempe bungkil memiliki tekstur yang empuk dan gurih. Tempe ini sangat populer di daerah Jawa Timur dengan sajian tempe bungkil goreng yang berbentuk bulat. Beberapa sajian lainnya seperti oseng tempe bungkil dengan sayur dan kue talam dari tempe bungkil juga dapat menjadi pilihan untuk mengolah jenis tempe ini. Tempe daun singkong, jenis tempe ini yang dipopulerkan oleh Universitas Andalas Padang (Sumatera Barat) dan tempe ini juga mendapatkan review dari salah satu majalah flora dan fauna ternama di Indonesia. Cara membuat tempe jenis ini sama seperti dengan tempe kedelai hanya saja bahan bakunya diganti dengan daun singkong yang sudah dikukus. Daun singkong ini dilirik menjadi bahan baku tempe karena penggunaannya yang masih cukup rendah dan juga dapat menjadi subtitusi atau pengganti dari kacang kedelai. Tempe jenis daun singkong ini juga memiliki kandungan protein yang lebih rendah dibandingkan tempe kedelai, termasuk lemak dan kandungan karbohidratnya. Tempe yang berasal daun singkong ini juga memiliki warna hijau yang sangat berbeda dibandingkan pada tempe kebanyakan.
2.2.
Proses Biokimia di Tempe Selama proses pembuatan tempe terjadi perubahan materi, yaitu perubahan
fisika dan juga perubahan kimia. Perubahan fisika ini tandai dengan perubahan wujud atau fase zat yang umumnya bersifat sementara dan juga struktur molekulnya tetap. Perubahan kimia ini sendiri adalah perubahan materi yang dapat menghasilkan zat yang jenisnya baru. Perubahan kimia ini disebut juga sebagai reaksi kimia. Perubahan kimia yang terjadi pada proses pembuatan tempe adalah pada saat inkubasi. Inkubasi ini akan terjadinya reaksi fermentasi. Proses fermentasi yang dilakukan oleh jamur Rhizopus sp. menghasilkan energi. Energi tersebut ini sebagian ada yang dilepaskan oleh jamur Rhizopus sp. yakni sebagai energi panas. Energi panas inilah yang akan menyebabkan perubahan suhu selama proses inkubasi tempe. Selama proses inkubasi tempe ini terjadi perubahan suhu dan juga selain itu terjadi perubahan warna serta munculnya titik-titik air yang dapat diamati pada permukaan dalam plastik pembungkus tempe. Awal pengamatan, kedelai pada tempe ini seperti berselimut kapas yang putih, tetapi dengan adanya penambahan masa inkubasi akan mulai muncul warna hitam pada permukaan tempe yang di inkubasi (Rahman, 1992). Perubahan warna ini akan menunjukkan adanya reaksi kimia pada proses inkubasi. Jamur Rhizopus sp. tergolong suatu makhluk hidup. Hal ini menyebabkan jamur ini juga dapat melakukan respirasi. Respirasi merupakan reaksi kimia atau perubahan kimia. Salah satu zat yang dilepaskan dari peristiwa respirasi adalah gas karbon dioksida dan uap air. Uap air inilah yang akan menyebabkan permukaan dalam plastik pembungkus tempe basah oleh titik-titik air. Sebuah reaksi kimia tidak selalu menunjukkan seluruh ciri-ciri reaksi tersebut. Reaksi tersebut ini juga kadang hanya menunjukkan salah satu atau beberapa ciri saja (Winarno, 1980). Fermentasi merupakan tahap terpenting dalam proses pembuatan tempe. Menurut hasil penelitian pada tahap fermentasi akan terjadi penguraian karbohidrat, lemak, protein dan senyawa-senyawa lain dalam kedelai menjadi molekul-molekul yang lebih kecil sehingga mudah dimanfaatkan tubuh. Proses fermentasi kedelai menjadi tempe ini akan terjadi aktivitas enzim amilolitik, lipolitik dan proteolitik, yang diproduksi oleh kapang Rhizopus sp. Proses pembuatan tempe ada empat genus rhizopus yang dapat digunakan. Rhizopus oligosporus merupakan jenis genus utama, Rhizopus oryzae merupakan genus lainnya yang digunakan pada pembuatan tempe.
Produsen tempe di Indonesia tidak menggunakan inokulum berupa biakan murni kapang Rhizopus sp., namun menggunakan inokulum dalam bentuk bubuk yang disebut laru atau inokulum biakan kapang pada daun waru yang disebut usar. Penelitian ini dipelajari aktivitas enzim-enzim a-amilase, lipase dan protease pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe menggunakan biakan murni Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae dan laru. Fermentasi merupakan suatu proses produksi energi di dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Fermentasi ini secara umum adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi terdapat definisi yang lebih jelas yang dapat mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal (Setyani dkk, 2017) 2.3
Faktor yang Mempengaruhi Pembuatan Tempe Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan tempe, yaitu di
antaranya oksigen, uap air, suhu, dan kelarutan laru atau kelarutan ragi. Oksigen dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang. Aliran udara yang cepat akan menyebabkan proses metabolisme akan berjalan cepat juga sehingga akan dihasilkan panas yang dapat merusak pertumbuhan kapang. Jika digunakan kantong plastik sebagai bahan pembungkusnya maka sebaiknya pada kantong tersebut diberi lubang dengan jarak antara lubang yang satu dengan lubang lainnya sekitar 2 cm. Uap air yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan kapang. Hal ini disebabkan karena pada setiap jenis kapang mempunyai suhu yang optimum untuk pertumbuhannya. Suhu tempe dapat digolongkan kedalam mikroba yang bersifat mesofilik, yaitu dapat tumbuh baik pada suhu ruang (25-27°C). Hal ini akan menyebabkan pada saat waktu pemeraman, suhu ruangan tempat pemerama perlu diperhatikan agar menghambat kapang tumbuh. Keaktifan laru atau ragi, laru yang disimpan pada suatu periode tertentu ini akan berkurang keaktifannya karena itu pada pembuatan tempe sebaiknya digunakan laru yang belum terlalu lama disimpan agar dalam pembuatan tempe tidak mengalami kegagalan. Pembuatan tempe dibutuhkan inokulum atau laru tempe atau ragi tempe. Laru tempe dapat dijumpai dalam berbagai bentuk misalnya bentuk tepung atau yang menempel pada daun waru dan dikenal dengan nama usar. Laru yang dalam bentuk tepung dibuat dengan cara menumbuhkan spora kapang pada bahan, dikeringkan dan kemudian ditumbuk. Bahan yang akan digunakan untuk sporulasi dapat bermacam-
macam, yaitu seperti tepung terigu, beras, jagung, atau umbi-umbian. Berdasarkan atas tingkat kemurniannya, inokulum atau laru tempe dapat dibedakan atas yakni inokulum murni tunggal, inokulum campuran, dan juga inokulum murni campuran. Adapun perbedaannya adalah jenis dan banyaknya mikroba yang berperan pada laru. Mikroba yang sering dijumpai pada laru tempe adalah kapang jenis Rhizopus oligosporus, atau kapang dari jenis Rhizopus oryzae, sedangkan pada laru murni campuran selain kapang Rhizopus oligosporus, dapat dijumpai pula kultur murni Klebsiella. Ada beberapa jenis bakteri yang berperan pula dalam proses fermentasi tempe yakni di antaranya Bacillus sp., Lactobacillus sp., Pediococcus sp., Streptococcus sp., dan juga beberapa genus bakteri yang memproduksi vitamin B12. Adanya bakteri Bacillus sp. pada tempe ini merupakan kontaminan, sehingga hal ini tidak diinginkan. Tempe yang berbeda asalnya sering dijumpai adanya kapang yang berbeda pula. Jenis dari kapang yang ada pada tempe, yakni di antaranya Rhizopus oryzae, Rhizopus oligosporus, Rhizopus arrhizus dan juga Mucor rouxii (Dwidjoseputro dan Wolf, 1970). Kadar senyawa kimia yang terkandung di dalam tempe, yaitu seperti asam lemak, vitamin, mineral, dan anti oksidan. Kandungan lemak di dalam tempe secara umum sebanyak 18-32%. Selama proses fermentasi tempe, terdapat tendensi adanya peningkatan derajat ketidakjenuhan terhadap lemak. Hal ini akan menyebabkan asam lemak tidak jenuh majemuk (polyunsaturated fatty acids) meningkat jumlahnya. Asam lemak tidak jenuh mempunyai efek penurunan terhadap kandungan kolesterol serum, sehingga dapat menetralkan efek negatif sterol di dalam tubuh. Dua kelompok vitamin terdapat pada tempe, yaitu larut air (vitamin B kompleks) dan larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat potensial. Vitamin yang terkandung di tempe antara lain vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), asam pantotenat, asam nikotinat, vitamin B6 (piridoksin), dan B12 (sianokobalamin). Tempe mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup. Jumlah mineral besi, tembaga, dan juga zinc secara berturut-turut adalah 9,39; 2,87; dan 8,05 mg setiap 100 gram tempe. Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat (yang mengikat beberapa mineral) menjadi fosfor dan inositol. Asam fitat akan terurai sehingga mineral-mineral tertentu (seperti besi, kalsium, magnesium, dan juga zink) akan menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh sebagai mineral-mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh.
Kandungan dari tempe juga ditemukan suatu zat antioksidan dalam bentuk isoflavon. Vitamin C, vitamin E, karotenoid, dan isoflavon merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan suatu reaksi pembentukan radikal bebas. Kedelai sendiri terdapat tiga jenis isoflavon, yaitu daidzein, glisitein, dan juga genistein. Tempe di samping itu juga terdapat antioksidan faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang memiliki sifat antioksidan yang kuat dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai. Antioksidan ini disintesis pada saat terjadinya suatu proses fermentasi kedelai menjadi tempe oleh bakteri Micrococcus luteus dan Coreyne bacterium. 2.4.
Produksi Tempe secara Tradisional dan Modern Pembuatan tempe secara tradisional biasanya menggunakan tepung tempe
yang dikeringkan di bawah sinar matahari. Sekarang pembuatan tempe ada juga yang menggunakan ragi tempe, inokulum Rhizopus sp. yang berwarna putih kapas. Cara pembuatan tempe secara tradisional, yaitu dengan cara menginjak-injak biji kedelai untuk mengupas bijinya. Cara ini akan dapat menimbulkan kesan yang tidak higienis. Akibatnya, ada orang yang tidak menyukai tempe karena hal tersebut. Masalah tersebut dapat diatasi dengan ditemukan suatu cara baru pembuatan tempe dengan menggunakan suatu mesin pengupas. Pembuatan tempe dengan mesin pengupas kulit kedelai dapat meningkatkan hasil produksi beberapa kali lipat. Produk tempe akan terjamin kebersihanny dan pembuatan tempe dengan mesin pengupas ini dapat meningkatkan pendapatan para pengusaha tempe. Mesin yang digunakan dapat menggarap kedelai untuk tempe tidak kurang darin 800 kg perhari. Jika dikerjakan secara tradisional orang hanya mampu mengerjakan 10 kg kedelai saja tiap hari. Fungsi utama mesin pengupas kedelai ini adalah membersihkan keping biji kedelai dari kulitnya. Mesin ini sayangnya tidak hanya mengupas kulit luar saja, tetapi kulit arinya juga terkelupas. Bagi pengusaha tempe tradisional hal itu agak mengecewakan. Menurut mereka kulit ari kedelai mengandung semacam zat yang memungkinkan kapang tempe tumbuh lebih baik. Zat yang terkandung dalam kulit ari itu akan menghasilkan lendir yang akan diserap keping biji kedelai ketika di rebus. Kelemahan mesin pengupas adalah belum dapat memisahkan kepingan biji dari tunas lembaga kedelai. Adanya tunas lembaga dari biji kedelai ini akan dapat menimbulkan rasa pahit dari tempe. Agar rasa tempe tidak pahit, tunas lembaga pada
biji kedelai harus di buang, akan tetapi sampai dengan sekarang belum terdapat mesin pengupas yang dapat membuang tunas lembaga kedelai dari kepingnya bijinya. Ada cara mudah mengupas dan membelah biji kedelai, yaitu dengan merendam kedelai hingga kulit arinya terkelupas, selanjutnya kedelai dapat digosok-gosokkan dengan kedua telapak tangan sampai dengan biji kedelainya dapat terbelah. 2.5.
Produksi Tempe agar Tahan Lama Tempe yang tahan lama akan menjadi produk ekspor dapat dibekukan dan
dikirim ke luar negeri di dalam peti kemas pendingin. Proses membekukan tempe untuk ekspor, yaitu awalnya tempe di iris dengan ketebalan 2-3 cm dan direndam di dalam air mendidih selama lima menit untuk mengaktifkan kapang dan juga enzim. Tempe setelahnya akan di bungkus dengan plastik selofan dan dibekukan pada suhu 40°C sekitar 6 jam. Tempe yang beku disimpan pada suhu beku sekitar 20°C selama 100 hari tanpa mengalami perubahan sifat penampak warna, bau, maupun rasa. Hasil olahan tempe agar tahan lama dapat dilakukan dengan cara, yaitu seperti pengeringan tempe, pembekuan tempe, dan dapat juga dengan pengalengan tempe. Pengeringan tempe, pengeringan adalah suatu proses yang menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan. Tujuan utama pengeringan adalah menurunkan aktivitas air akan sampai pada tingkat tertentu, sehingga aktivitas mikroorganisme dan juga reaksi kimia serta biokimia yang terjadi ditekan seminimal mungkin sampai dengan produk tempe yang dihasilkan akan menjadi lebih tahan lama. Tempe dapat diawetkan dengan cara pengeringan menggunakan suatu alat pengering (oven). Tempe yang akan dikeringkan awalnya iris dengan ketebalan 2,5 cm dan tempe dikukus pada suhu 100°C selama 10 menit. Pengukusan ini penting, karena produk tempe kering yang dihasilkan tanpa adanya perlakuan pengukusan ternyata mempunyai rasa yang cukup pahit. Tempe dikeringkan dengan oven pada suhu 70°C selama 6-10 jam. Hasil akhir merupakan tempe kering yang mempunyai kadar air 4-8%. Tingkat kadar air yang rendah ini memungkinkah tempe akan dapat disimpan pada suhu kamar (dengan cara dibungkus plastik) selama berbulan-bulan tanpa terjadi perubahan warna dan cita rasa (flavor). Jika akan dipakai, tempe yang kering tersebut harus direkonstitusi yakni dengan cara perendaman menggunakan air panas dengan suhu 90-100°C selama 5-10 menit (Sukardi dkk, 2008).
Pembekuan tempe, awalnya tempe diiris dengan ketebalan 2-3 cm dan juga dengan merendam dalam air mendidih selama 5 menit untuk menonaktifkan kapang, enzim proteolitik dan juga enzim lipolitik. Tempe lalu akan dibungkus dengan suatu plastik selofan dan dibekukan pada suhu -24 sampai -40°C. Tempe yang beku akan dapat disimpan pada suhu beku selama 100 hari tanpa mengalami perubahan sifatsifat organoleptik, yakni seperti penampakan, warna, bau dan juga rasa. Pengalengan tempe, pengalengan makanan adalah suatu proses pengawetan makanan dengan mengepak bahan makanan tersebut dalam wadah gelas atau kaleng yang dapat ditutup secara hermetis sehingga kedap udara, dipanaskan sampai suhu yang cukup untuk menghancurkan mikroorganisme pembusuk dan patogen di dalam bahan, tempe lalu akan didinginkan dengan cepat untuk mencegah terjadinya over cooking dari bahan makanan serta menghindari aktifnya kembali bakteri tahan panas (thermofilik). Selama proses pengalengan ini diusahakan agar pemanasan yang akan diberikan tidak mengakibatkan kerusakan nilai gizi pangan yang dikalengkan. Proses fermentasi tempe dapat dibedakan atas tiga fase, yaitu di antaranya fase pertumbuhan, fase transisi, dan juga fase pembusukan atau fermentasi lanjut. Fase pertumbuhan (0-30 jam fermentasi) terjadi penaikan jumlah asam lemak bebas, penaikan suhu, pertumbuhan jamur cepat, terlihat dengan adanya terbentuk miselia pada permukaan biji makin lama makin lebat, sehingga menunjukkan masa yang lebih kompak. Fase transisi (30-50 jam fermentasi) ini merupakan suatu fase paling optimal fermentasi tempe dan siap untuk dipasarkan. Fase ini terjadi penurunan suhu, jumlah asam lemak yang dibebaskan dan pertumbuhan jamur hampir tetap atau bertambah sedikit, flavor spesifik tempe optimal, dan tekstur lebih kompak. Fase pembusukan atau fermentasi lanjut (50-90 jam fermentasi) terjadi kenaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur menurun dan juga pada kadar air tertentu pertumbuhan jamur akan terhenti, terjadi perubahan flavor karena degradasi protein lanjut sehingga terbentuk ammonia (Kustyawati, 2009). Persyaratan tempat yang dipergunakan untuk proses inkubasi kedelai adalah kelembaban, kebutuhan oksigen dan suhu yang sesuai dengan pertumbuhan jamur. Oksigen diperlukan di dalam pertumbuhan kapang, akan tetapi bila berlebihan dan tak seimbang dengan pembuangnya. Jika hal ini terjadi maka suhu kedelai yang sedang difermentasi menjadi tinggi dan mengakibatkan kapangnya mati.
DAFTAR PUSTAKA Ahsanunnisa, R. 2018. Perbandingan Mutu Tempe dari Kacang Kedelai dengan Kacang Tanah. Jurnal Kimia dan Terapan. 2(1):43-46. Dwidjoseputro, D., dan Wolf, F. 1970. Microbiological studies of Indonesian fermented foodstuffs. Journal of Mycopathologia et Mycologia Applicata. 41(1): 211-222. Kustyawati, M. 2009. Kajian Peran Yeast dalm Pembuatan Tempe. Jurnal Teknologi Hasil Pertanian. 29(2): 64-70. Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. Jakarta: Arcan. Setyani, S., dkk. 2017. Evaluasi Sifat Kimia dan Sensori Tempe Kedelai Jagung dengan Berbagai Konsentrasi Ragi Raprima dan Berbagai Formulasi. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian. 22(2):85-98. Sukardi, dkk. 2008. Uji Coba Penggunaan Inokulum Tempe dari Kapang dengan Substrat Tepung Beras dan Ubi Kayu pada Unit Produksi Tempe Sanan Kodya Malang. Jurnal Teknologi Pertanian. 9(3): 207-216. Winarno, F. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT Gramedia.