Bab 2 Tempe.docx

  • Uploaded by: nisiadwi
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 2 Tempe.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,056
  • Pages: 11
11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.

Rhizopus Oligsporus Proses pada pembuatan tempe membutuhkan bantuan jamur. Jamur adalah

organisme eukariotik dengan dinding sel yang tersusun dari kitin. Jamur tidak memiliki klorofil untuk melakukan fotosintesis. Jamur menyerap zat organik dari lingkungannya. Sebelum diserap, zat organik kompleks ini akan diuraikan menjadi zat organik sederhana oleh enzim yang dikeluarkan jamur. Bentuk jamur mirip dengan tumbuhan, tetapi jamur tidak memiliki daun dan akar sejati. Selain itu, jamur tidak memiliki klorofil sehingga tidak mampu berfotosintesis. Jamur merupakan organisme heterotrop, yaitu organisme yang cara memperoleh makanannya dengan mengabsorbsi nutrisi dari lingkungan atau substratnya sendiri. Salah satu jenis dari jamur yang sering dijumpai dalam ragi tempe adalah Rhizopus oligosporus. Rhizopus oligosporus merupakan jenis kapang dari filum Zygomycota yang banyak menghasilkan enzim protease. Rhizopus oligosporus banyak ditemui pada buah, sayuran yang membusuk, serta roti yang sudah lama. Jamur ini dapat digunakan sebagai kultur tunggal dalam laru. Rhizopus oligosporus dapat dimanfaatkan dalam pembuatan tempe dari proses fermentasi kacang kedelai karena Rhizopus oligosporus yang menghasilkan enzim fitase dapat memecah fitat dan membuat komponen makro pada kedelai dipecah menjadi komponen mikro sehingga tempe lebih mudah dicerna dan zat gizinya lebih mudah terserap tubuh. Karakteristik dari Rhizopus oligosporus yaitu struktur tubuh Rhizopus oligosporus mempunyai tiga tipe hifa, yaitu stolon, rizoid, dan sporangiofor. Stolon adalah hifa yang membentuk jaringan pada permukaan substrat. Tipe hifa yang kedua dari Rhizopus oligosporus adalah rizoid. Rizoid merupakan hifa yang menembus substrat dan berfungsi sebagai jangkar untuk menyerap makanan. Tipe hifa yang ketiga adalah sporangiofor. Hifa tipe ini merupakan hifa yang tumbuh tegak pada permukaan substrat dan memiliki sporangium globuler di ujungnya. Cara reproduksi Rhizopus oligosporus bereproduksi secara aseksual dan seksual. Reproduksi secara aseksual adalah dengan spora nonmotil yang dihasilkan oleh sporangium, sedangkan reproduksi seksualnya dengan konjugasi. Reproduksi

11

vegetatif dengan cara membentuk spora tak berflagel (aplanospora) dan generatif dengan cara gametangiogami dari dua hifa yang kompatibel atau konjugasi dengan menghasilkan zigospora. Cirinya adalah hifa bercabang banyak tidak dan bersekat saat masih muda, namun bersekat setelah menjadi tua (Wipradnyadewi, 2010).

Gambar 2.1. Rhizopus oligosporus (Sumber : Rahman, 1992)

2.2.

Perubahan Kimia Selama Proses Pembuatan Tempe Selama proses pembuatan tempe terjadi perubahan materi, yaitu perubahan

fisika dan juga perubahan kimia. Perubahan fisika ini tandai dengan perubahan wujud atau fase zat yang umumnya bersifat sementara dan juga struktur molekulnya tetap. Perubahan kimia adalah perubahan materi yang dapat menghasilkan zat yang jenisnya baru. Perubahan kimia ini disebut juga sebagai reaksi kimia. Perubahan kimia yang terjadi pada proses pembuatan tempe adalah pada saat inkubasi. Jamur Rhizopus sp. dapat melakukan respirasi. Respirasi merupakan reaksi kimia atau perubahan kimia. Salah satu zat yang dilepaskan dari peristiwa respirasi adalah gas karbon dioksida dan uap air. Uap air inilah yang akan menyebabkan permukaan dalam plastik pembungkus tempe basah oleh titik-titik air. Sebuah reaksi kimia tidak selalu menunjukkan seluruh ciri-ciri reaksi tersebut. Reaksi tersebut ini juga kadang hanya menunjukkan salah satu atau beberapa ciri saja. Proses inkubasi yang terjadi saat fermentasi yang dilakukan oleh jamur Rhizopus sp. akan menghasilkan suatu energi. Energi tersebut sebagian ada yang dilepaskan oleh jamur Rhizopus sp. yakni sebagai energi panas. Energi panas inilah yang akan menyebabkan perubahan pada temperatur selama proses inkubasi pada tempe berlangsung. Selain itu, juga terjadi perubahan pada warna tempe serta

11

munculnya titik-titik air yang dapat diamati pada permukaan dalam plastik pembungkus tempe. Awalnya, kedelai pada tempe akan seperti berselimut kapas yang berwarna putih, tetapi dengan adanya penambahan masa inkubasi akan mulai muncul warna hitam pada permukaan tempe yang di inkubasi. Perubahan warna pada tempe ini akan menunjukkan adanya reaksi kimia pada proses inkubasi. 2.2.1.

Perubahan Protein Protein merupakan monomer-monomer asam amino yang dihubungkan

satu sama lain dengan ikatan peptida. Selain itu, protein juga dapat diartikan sebagai polimer dari senyawa organik kompleks dengan berat molekul tinggi. Protein mengandung molekul karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen. Protein berperan sangat penting dalam struktur dan fungsi semua sel makhluk hidup dan virus. Protein dalam tubuh memiliki fungsi sebagai sumber energi, menjaga imun tubuh, alat transportasi nutrisi, pembentukan enzim dan hormone, serta penyeimbang pH. Proses pencucian, perendaman, dehulling, dan pemasakan mempengaruhi hilangnya kandungan protein pada biji kedelai. Kedelai mengandung protein yang cukup tinggi, namun setelah perendaman kandungan proteinnya akan mengalami penurunan. Perubahan pada protein dan asam amino paling besar terjadi pada proses fermentasi. Adanya enzim proteolitik menyebabkan terjadinya degradasi protein kedelai menjadi asam amino, sehingga nitrogen terlarut meningkat. Degradasi pada protein ini juga yang menyebabkan peningkatan nilai pH tempe yang baik berkisar antara 6,3-6,5. Aktivitas protease terdeteksi setelah fermentasi 12 jam ketika pertumbuhan kapang masih relatif sedikit. Hanya 5% dari proses hidrolisis protein yang digunakan sebagai sumber karbon dan energi. Sisanya terakumulasi dalam bentuk peptida dan asam amino. Selama proses fermentasi, peningkatan pH secara bertahap terjadi karena penurunan protein (Rahman, 1992) 2.2.2.

Perubahan Karbohidrat Karbohidrat adalah karbohidrat merupakan senyawa yang terbentuk dari

molekul karbon, hidrogen dan oksigen. Selain itu, karbohidrat juga diartikan sebagai polihidroksi aldehida atau keton dan juga senyawa yang menghasilkan senyawa ini bila dihidrolisa. Polihidroksi aldehida adalah struktur karbohidrat yang tersusun dari banyak gugus hidroksi dan gugus karbonilnya barada di ujung rantai,

11

sedangkan polihidroksi keton merupakan struktur karbohidrat yang tersusun atas banyak gugus hidroksi dan gugus karbonilnya yang berada pada bagian selain ujung rantai. Secara umum terdapat tiga jenis karbohidrat apabila ditinjau berdasarkan hasil hidrolisisnya, yaitu jenis monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Monosakarida merupakan unit dasar dari penyusun pada karbohidrat paling sederhana yang sudah tidak dapat dihidrolisis lagi. Monosakarida merupakan bentuk dari gula sederhana. Monosakarida biasanya memiliki ciri-ciri, yaitu tidak berwarna, larut dalam air dan berbentuk kristal. Kata monosakarida berasal dari bahasa Yunani, yaitu mono yang berarti tunggal dan sacchar yang berarti gula. Monosakarida ini adalah tergolong senyawa aldehida maupun keton polihidroksi (mempunyai lebih dari satu gugus hidroksi) dengan satu gugus karbonil yang terletak pada atom paling ujung dan juga terletak pada bagian atom karbon kedua. Contoh dari monosakarida yang ada adalah glukosa, galaktosa dan fruktosa. Oligosakarida merupakan gabungan dari molekul-molekul monosakarida yang jumlahnya antara dua hingga delapan molekul monosakarida, sehingga oligosakarida dapat berupa disakarida, trisakarida dan lainnya. Oligosakarida adalah karbohidrat kompleks berukuran kecil. Oligosakarida secara eksperimen banyak dihasilkan dari proses hidrolisa polisakarida dan hanya beberapa yang secara alami terdapat di alam. Oligosakarida yang paling banyak digunakan dan terdapat di alam adalah bentuk disakarida seperti maltosa, laktosa, dan sukrosa. Oligosakarida dapat mencegah tumbuhnya bakteri yang merugikan dalam tubuh. Polisakarida adalah polimer monosakarida yang terdiri dari ratusan atau ribuan monosakarida yang dihubungkan dengan ikatan α-glikosidik. Gula utama dalam kedelai pada pembuatan tempe adalah oligosakarida (sukrosa, stakhiosa, dan rafinosa). Selama proses pada fermentasi, jenis senyawa karbohidrat termasuk oligosakarida mengalami proses degradasi (hidrolisa) oleh sistem enzimatik mikroorganisme, yaitu dalam hal ini adalah enzim α-galaktosidase oleh aktivitas Rhizopus olyhosporus. Komponen gula dalam biji kacang kedelai meliputi sukrosa, rafinosa, dan stakhiosa. Setelah dilakukan proses perebusan terjadi penurunan gula pada sukrosa, rafinosa, dan stakhiosa, sedangkan glukosa, galaktosa, dan fruktosa larut setelah perlakuan perebusan. Selama proses fermentasi berlangsung, gula

11

heksosa cepat terfermentasi, sedangkan kadar sukrosa mengalami penurunan. Terjadi pencernaan enzimatik pada protein, lemak, dan karbohidrat pada proses fermentasi tempe. Peristiwa ini terjadi karena pertumbuhan kapang memerlukan energi yang diperoleh melalui pemecahan protein, lemak, dan karbohidrat. 2.2.3.

Perubahan Lemak Kandungan lemak pada kedelai aman bagi penderita kolesterol. Kedelai

mengandung lemak tidak jenuh yang terdiri dari lemak tidak jenuh tunggal dan lemak tidak jenuh ganda. Lemak pada kedelai berkhasiat mengurangi kadar kolesterol dan trigliserida, yakni komponen-komponen lemak di dalam darah yang berbahaya bagi kesehatan. Lemak pada kedelai juga dapat mencegah penyempitan pembuluh darah dan juga mencegah timbulnya pengerasan pada pembuluh darah. Komponen utama pada asam lemak dari trigliserida kedelai adalah asam lemak tak jenuh yang didominasi oleh asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Saat proses perendaman berlangsung, kandungan lemak pada kacang kedelai sudah mengalami perubahan. Kandungan lemak pada kacang kedelai yang direndam akan mengalami penurunan. Setelah melaui inkubasi pada proses pembuatan tempe, mikroba mensekresikan enzim lipase. Enzim ini mengurai lemak menjadi asam lemak bebas seperti asam palmitat, stearat, oleat, terutama linonelat dan linoleat. Hal ini yang menyebabkan terjadinya peningkatan asam lemak bebas pada tempe. 2.2.4.

Perubahan Vitamin Vitamin dan mineral merupakan faktor yang sangat penting dalam

makanan karena dibutuhkan oleh tubuh. Tubuh tidak dapat memproduksi semua vitamin dan mineral, sehingga membutuhkan asupan nutrisi berupa vitamin dan mineral dari luar tubuh. Sumber vitamin dan mineral bagi tubuh manusia berasal dari makanan dan minuman yang dikonsumsi. Banyak terdapat sumber makanan di alamyang nutrisinya baik bagi tubuh, namun tidak semua nutrisi tersebut dapat langsung dicerna oleh tubuh. Hal ini yang menyebabkan pengolahan sumber daya makanan sangat dibutuhkan. Salah satu cara untuk mengolah makanan diantaranya dengan melakukan fermentasi. Proses fermentasi membuat bahan makanan lebih mudah dicerna oleh tubuh karena terjadinya proses penguraian oleh mikrobia yang berperan dalam fermentasi. Proses fermentasi dapat dilakukan pada bahan makanan berupa kacang-kacang, yang menghasilkan produk fermentasi berupa tempe.

11

Dua kelompok vitamin yang terdapat pada tempe, yaitu vitamin larut air dan vitamin larut lemak. Vitamin larut air adalah vitamin B kompleks, sedangkan vitamin larut lemak adalah vitamin A, D, E, dan K. Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat potensial. Jenis vitamin yang terkandung dalam tempe antara lain vitamin B1, B2, asam pantotenat, asam nikotinat, vitamin B6, dan B12. Vitamin B12 umumnya terdapat pada produk-produk hewani dan tidak dijumpai pada makanan nabati, namun tempe mengandung vitamin B12 sehingga tempe menjadi satu-satunya sumber vitamin yang potensial dari bahan pangan nabati. Kenaikan kadar vitamin B12 paling mencolok pada pembuatan tempe. Kadar vitamin B12 dalam tempe telah dapat mencukupi kebutuhan vitamin B12 seseorang dalam satu hari. Adanya vitamin B12 pada tempe membuat vegetarian tidak perlu merasa khawatir akan kekurangan vitamin B12, sepanjang melibatkan tempe dalam menu hariannya. Vitamin B12 pada tempe dihasilkan oleh bakteri yang ikut serta dalam proses fermentasi, seperti pada saat proses perendaman dan pengupasan kulit, sehingga terjadi peningkatan vitamin B12 pada tempe. Tempe mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup. Jumlah mineral besi, tembaga, dan seng. Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat menjadi fosfor dan inositol. Akibat dari terurainya asam fitat ini, mineral-mineral tertentu seperti besi, kalsium, magnesium, dan zink menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan oleh tubuh (Sine dan Endang, 2018). 2.3.

Mutu Tempe Tempe adalah produk pangan yang populer dimasyarakat dengan berbagai

jenis olahan. Tempe menjadi perhatian masyarakat ilmiah internasional ketika diselenggarakannya simposium yang disponsori oleh PBB, yaitu International Symposium on Indigenous Fermented Foods (SIFF), di Bangkok, pada November 1977. Kegiatan tersebut dihadiri oleh lebih 450 ilmuwan tekenal dari seluruh dunia. Simposium tersebut didiskusikan 17 makalah tentang tempe, jumlah ini adalah makalah terbanyak untuk pembahasan makalah satu jenis makanan. Tempe yang baik adalah tempe yang tampak kompak, seluruh bahan tempe diselaputi miselium kapang berwarna putih, tidak bernoda hitam akibat timbulnya spora, tidak ada lendir pada tempe, mudah diiris, tidak berbau busuk, serta tidak berbau ammonia.

11

Produksi tempe di Indonesia banyak menggunakan bahan baku pokok yang sama, yaitu kedelai. Jenis kedelai terdiri atas empat macam yaitu kedelai kuning, kedelai hitam, kedelai cokelat dan kedelai hijau. Para pengrajin tempe biasanya memakai kedelai kuning sebagai bahan baku utama. Syarat mutu pada kedelai untuk memproduksi tempe dengan kualitas pertama antara lain adalah bebas dari sisa tanaman (kulit palang, potongan batang atau ranting, bau, kerikil, tanah atau biji-bijian), biji kedelai tidak luka atau bebas serangan hama dan penyakit, biji kedelai tidak memar, dan kulit biji kedelai tidak keriput (Koswara, 1992). Seiring perkembangan zaman, tuntutan terhadap jaminan mutu produk tempe terus meningkat bersamaan dengan dilaksanakannya perdagangan bebas. Mutu tempe bergantung pada mutu bahan baku yang digunakan. Tempe yang bermutu diperlukan persiapan perlakuan bahan baku kedelai, seperti jenis kedelai yang digunakan, umur kedelai yang tua dan baru, sortasi dan pemilahan kedelai. Selain itu, mutu tempe juga harus dijaga tingkat kebersihannya dengan pemilahan benda asing seperti serangga, kerikil, kayu, kayu, gelas, dan juga biji-bijian atau leguminosa asing seperti beras, jagung, dan koro yang terikut dalam kedelai. Selain menetapkan mengenai syarat mutu tempe kedelai, SNI 3144:2009 juga memuat mengenai cara produksi tempe yang hygienic. Menurut standar ini, cara yang digunakan untuk memproduksi tempe yang hygienic adalah termasuk cara penyiapan bahan baku dan penanganannya yang berlaku sesuai ketentuan pedoman cara produksi pangan olahan yang baik. Hal lain yang ditentukan dalam SNI 3144:2009 ini menyangkut pengemasan dan pelabelan. Menurut SNI ini, tempe kedelai dikemas dalam kemasan yang tertutup dengan baik, tidak dipengaruhi atau mempengaruhi isi, aman dan tahan selama penyimpanan dan pengangkutan. Tempe dengan kualitas baik mempunyai ciri-ciri berwarna putih bersih yang merata pada permukaannya, memiliki tekstur yang homogen dan kompak, aroma yang khas seperti bau tempe, dan juga rasa yang spesifik. Rasa dapat dijadikan sebagai standar dalam penilaian mutu, namun disisi lain rasa adalah suatu yang nilainya sangat relatif. Secara umum produk bahan pangan tidak hanya terdiri dari salah satu rasa, tetapi merupakan gabungan dari berbagai rasa secara terpadu sehingga menimbulkan cita rasa yang utuh dan khas. Hal ini juga bisa dijadikan sebagai daya untuk menarik minat masyarkat untuk mengkonsumsi tempe.

11

Tabel 2.1 Syarat Mutu Tempe Kedelai (SNI 3144: 2009) No.

Kriteria Uji

Satuan

Persyaratan

1. Keadaan: 1.1. Bau

Normal (khas tempe)

1.2.Warna

Normal

1.3. Rasa

Normal

2. Air (b/b)

%

Maks. 65

3. Abu (b/b)

%

Maks. 1,5

4. Lemak (b/b)

%

Min. 10

5. Protein (N x 6,25), %, b/b

%

Min. 20

6. Serat kasar (b/b)

%

Maks. 2,5

7.1. Kadmium (Cd)

mg/kg

Maks. 0,2

7.2. Timbal (Pb)

mg/kg

Maks. 0,25

7.3. Timah (Sn)

mg/kg

Maks. 40

7.4. Merkuri (Hg)

mg/kg

Maks. 0,03

7. Cemaran Logam

8. Cemaran Arsen (As)

Maks. 0,25

9. Cemaran mikroba 9.1. Escherichia coli 9.2. Salmonela

APM/g

Maks. 10 Negatif/25 g

(Sumber: Badan Standardisasi Nasional, 2009)

2.4.

Pengemasan Plastik Pengemasan merupakan salah satu kegiatan yang berperan sangat penting

dalam memengaruhi kualitas dan mutu dari suatu bahan makanan. Kemasan yang digunakan tidak boleh tercemar oleh mikroorganisme dan disimpan dalam kondisi yang memungkinkan aktivitas metabolisme karena dapat menimbulkan kerusakan pada bahan pangan yang diproduksi dan membahayakan kesehatan pada konsumen. Faktor yang mempengaruhi kondisi ini adalah faktor koreksi lingkungan yang dibentuk oleh kemasan tersebut selama proses fermentasi dan reaksi yang mungkin terjadi antara bahan yang difermentasikan dengan komponen pada kemasan. Pengemasan juga dapat diartikan sebagai suatu cara dalam memberikan kondisi

11

sekeliling yang tepat bagi bahan pangan yang akan dikemas dan membutuhkan perhatian yang lebih besar secara nyata. Pengemasan akan berperan sangat penting dalam mempertahankan bahan tersebut dalam keadaan bersih dan hygienic. Sebelum kemasan plastik diperkenalkan didunia yaitu sekitar tahun 1900, banyak jenis kemasan yang digunakan diantaranya adalah kemasan kertas seperti bond, glassine, parchment, dan juga kertas logam. Kisaran tahun 1920, selofan dan allumunium foil mulai di perkenalkan. Setelah perang dunia kedua usai, berbagai jenis bahan kemasan plastik lemak mulai bermunculan. Beberapa jenis plastik yang telah diproduksi dan sering digunakan saat ini adalah polietilena, polipropilena, poliester, dan juga nilon. Saat ini, kemasan plastik telah mampu merebut pangsa pasar kemasan dunia, yang awalnya ditempati oleh kemasan kaleng dan gelas. Kemasan plastik memiliki kelebihan yaitu kuat, ringan, tidak karatan serta dapat diberi warna, sedangkan kelemahannya adalah molekul kecil yang terkandung dalam plastik yang dapat melakukan migrasi bahan makanan yang dikemas. Kemasan plastik merupakan kemasan modern dan kemasan ini lebih sering dipilih dan digunakan oleh produsen makanan sebagai wadah karena lebih praktis dan tidak merepotkan. Kelemahan dari kemasan ini adalah bekas dari kemasan plastik akan menjadi limbah anorganik yang sulit dibusukkan. Kantong plastik juga dapat digunakan untuk membungkus tempe, namun bersifat kedap udara maka permukaan plastik harus dilubangi agar supaya aerasi dapat terjadi. 2.5.

Limbah Industri Tempe Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik

industri maupun domestik yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia senyawa organik dan senyawa anorganik. Kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah yang ada. Limbah cair yang berasal dari proses pembuatan tempe apabila tidak dikelola dengan baik dan hanya langsung dibuang diperairan akan sangat mengganggu lingkungan disekitarnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan terciumnya bau busuk yang menyengat disekitar lokasi pabrik pembuatan tempe. Industri tempe

11

merupakan industri kecil yang banyak tersebar di kota besar dan kecil. Tempe merupakan makanan yang digemari oleh banyak orang dan memiliki kandungan gizi yang cukup timggi. Akibat dari industri tempe, maka limbah hasil proses pengolahan tempe banyak membawa dampak terhadap lingkungan. Jenis limbah yang dihasilkan oleh industri tempe adalah jenis limbah padat (kering dan basah) serta limbah cair. Besarnya beban pencemaran yang ditimbulkan dari limbah hasil pengolahan tempe ini dapat menyebabkan gangguan lingkungan yang cukup serius. Limbah padat kering terdiri atas kotoran yang tercampur dalam kedelai, misalnya kerikil, kulit, batang kedelai, atau kedelai yang rusak. Limbah padat basah berupa kulit kedelai yang telah mengalami proses perebusan dan perendaman, serta limbah cair berupa air bekas pencucian, perendaman, dan perebusan kedelai. Limbah padat basah dan cair berbau asam dan menyengat (Kusmawati dkk, 2013). Terdapat tiga alternatif dalam penanganan limbah, yakni penetralan, pemanfaatan, dan penyaringan. Pemanfaatan limbah merupakan salah satu cara mengatasi masalah pencemaran lingkungan. Rebusan kedelai dari sisa limbah cair industri tempe belum dimanfaatkan secara optimal oleh para pengusaha pembuatan panganan yang terbuat dari kedelai tersebut. Menurut Rahmah (2011) bahwa besar kandungan unsur hara yang terdapat dalam limbah cair tempe adalah N sebesar 164,9 ppm, P sebesar 15,66 ppm, K sebesar 625 ppm dan pH sebesar 3,9. Hara tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal oleh tanaman kangkung, melon dan cabai. Kandungan limbah cair industri tempe juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik oleh para petani untuk mengoptimalkan produksi dari jagung. Limbah padatan dari tempe juga dapat diolah menjadi medium bagi pertumbuhan mikroba, karena kaya akan β-karoten. Medium pertumbuhan pada mikroba ini menggunakan ekstrak dari limbah padat tempe, dengan konsentrasi tidak terlalu tinggi agar kestabilan pH terjaga. Limbah cair dari kegiatan pembuatan tempe ini dapat dimanfaatkan oleh peternak sebagai minuman untuk ternak dan pupuk cair untuk tanaman Alternatif dari penetralan limbah tempe ini dapat dilakukan dengan cara penguraian anaerob dan sistem biofilter anaerob-aerob. Proses biologis anaerob-aerob merupakan proses dari penguraian anaerob, diikuti dengan proses pengolahan tingkat lanjut dengan sistem biofilter anaerob-aerob.

11

DAFTAR PUSTAKA Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 3144:2009 Tempe Kedele. BSN: Jakarta. Koswara. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bharata. Kusmawati, A., dkk. 2013. Modifikasi Pengolahan Limbah Cair Tahu di CV secra Anaerobik. Jurnal Jurnal Kimia dan Terapan. 5(3) :60-63. Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. Jakarta: Arcan. Sine, S., dan Endang, S. 2018. Perubahan Kadar Vitamin dan Mineral pada Fermentasi Tempe Gude. Jurnal Saintek Lahan Kering. 1(1): 1-3. Wipradnyadewi, P., A. 2010. Isolasi dan Identifikasi Rhizopus oligosporus pada Beberapa Inokolum Tempe. Jurnal Teknologi Hasil Pertanian. 3(5): 10-13.

Related Documents

Bab 2
June 2020 19
Bab 2
May 2020 26
Bab 2
May 2020 40
Bab 2
June 2020 23
Bab 2
April 2020 32
Bab 2
April 2020 37

More Documents from ""

Laporan Tetap Cuka Apel.docx
December 2019 25
Bab Iv.doc
December 2019 6
Tu Pembuatan Grease.docx
December 2019 6
Bab 2 Tempe.docx
December 2019 6