Bab 2 Tanpa Sitasi.docx

  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 2 Tanpa Sitasi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,107
  • Pages: 26
Referat

Persiapan Preoperasi dari Aspek Laboratorium Darah

Oleh: Tuti Alawiyah, S.Ked (1730912320135)

Pembimbing: dr. Agung Ary Wibowo, Sp.B-KBD

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN BANJARMASIN Januari, 2019

1

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL

i

DAFTAR ISI

ii

BAB I PENDAHULUAN

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindakan Operasi B. Manajemen Pre operatif........................................................ C. Komponen darah yang diperiksa ............................................................................................ ............................................................................................

3 4

10 D. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Darah Pada Persiapan Pre Operasi ............................................................................................ ............................................................................................ 16 E. Persiapan Transfusi Darah ............................................................................................ ............................................................................................ 22 F. Kadar Faktor Darah Untuk Persetujuan Operasi ............................................................................................ ............................................................................................ 25 BAB III PENUTUP

30

DAFTAR PUSTAKA

31

2

BAB I PENDAHULUAN

Perioperatif adalah suatu disiplin ilmu kedokteran yang mencakup masalah-masalah

sebelum

anesthesia/

pembedahan

(preoperatif),

selama

anesthesia/pembedahan dan sesudah anesthesia/pembedahan. Pemeriksaan rutin pre anestesi, baik atas dasar indikasi sesuai gambaran klinis pasien ataupun tidak, telah menjadi bagian praktek klinik selama bertahun-tahun. Tujuan pemeriksaan tersebut adalah melakukan identifikasi kondisi yang tidak terduga yang mungkin memerlukan terapi sebelum operasi atau perubahan dalam penatalaksanaan operasi atau anestesia perioperatif; menilai penyakit yang sudah diketahui sebelumnya, kelainan, terapi medis atau alternatif yang dapat mempengaruhi anestesia perioperatif; memperkirakan komplikasi pascabedah; sebagai dasar pertimbangan untuk referensi berikutnya; pemeriksaan skrining. Pada akhirnya tujuan utama dari penilaian medis pre operatif adalah untuk mengurangi morbiditas serta mortalitas perioperatif dari pembedahan dan anestesi pada pasien.1,2 Penting untuk menyadari resiko perioperatif yang multifactorial, manfaat dari kondisi medis preoperatif dari pasien, tingkat invasi dari prosedur pembedahan dan tipe anestesi yang diberikan. Preoperatif merupakan fase dimana dimulainya keputusan untuk menjalani operasi atau pembedahan dibuat dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi. Penting untuk mendapatkan riwayat penyakit pasien dan melakukan pemeriksaan yang benar untuk menilai

1

kesehatan medis dan surgikal pasien, khususnya untuk menilai derajat berat suatu penyakit sistemik dan resiko morbiditas perioperatif.3 Tujuan utama dari evaluasi preoperatif adalah untuk menekan angka morbiditas atau mortalitas sehingga komplikasi dari tindakan anestesi dapat dicegah. Evaluasi preoperatif meliputi semua pemeriksaan yang dilakukan sebelum anestesi yaitu anamnesa, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.4

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. TINDAKAN OPERASI Operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan kemudian dilakukan tindakan perbaikan yang akan diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka.5 Klasifikasi operasi terbagi manjadi dua, yaitu operasi minor dan operasi mayor. Operasi minor adalah operasi yang secara umum bersifat selektif, bertujuan untuk memperbaiki fungsi tubuh, mengangkat lesi pada kulit dan memperbaiki deformitas, contohnya pencabutan gigi, pengangkatan kutil, kuretase, operasi katarak, dan arthoskopi. Operasi mayor adalah operasi yang bersifat selektif, urgen dan emergensi. Pembedahan dilakukan untuk mendiagnosa atau mengobati suatu penyakit, cedera atau cacat, serta mengobati kondisi yang sulit atau tidak mungkin disembuhkan hanya dengan obat-obatan sederhana.5 Tingkat keberhasilan pembedahan sangat tergantung pada setiap tahapan yang dialami dan saling ketergantungan antara tim kesehatan yang terkait, di samping peranan pasien yang kooperatif selama proses perioperatif. Ada 3 faktor penting yang terkait dalam pembedahan, yaitu penyakit pasien, jenis pembedahan yang dilakukan dan pasien sendiri.6

B. MANAJEMEN PRE OPERATIF

3

Tujuan evaluasi preoperatif adalah untuk mendapatkan informasi yang tepat sesuai kondisi pasien saat ini, riwayat medis sebelumnya, menyimpulkan resiko intraoperatif dan optimalisasi medis yang dibutuhkan. Penyakit dasar, komplikasi, serta sindrom yang diderita yang dapat mempengaruhi penanganan preoperatif anestesi.1,3,4 Penderita memerlukan diagnosa preoperatif, pemeriksaan laboratorium yang sesuai dengan riwayat penyakitnya, rencana tindakan bedah, dan kemungkinan banyaknya kehilangan darah selama operasi. Evaluasi analisa preoperatif yang dilakukan dapat meningkatkan efisiensi kamar bedah, menurunkan pembatalan dan keterlambatan jadwal hari pembedahan, mengurangi biaya rawatan, dan meningkatkan kualitas rawat pasien. 1,3 Pengelolaan Pre-operatif a)

Informed Concent Informed Concent merupakan proses komunikasi antara dokter dan pasien

tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien.7 b) Anamnesis Anamnesis dapat diperoleh dengan bertanya langsung pada pasien atau melalui keluarga pasien. Yang harus diperhatikan pada anamnesis 7 1. Identifikasi pasien, misalnya : nama,umur, alamat, pekerjaan, dll. 2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita. 3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan intereaksi (potensiasi, sinergis, antagonis dll) dengan obat-obat anestetik.

4

4. Alergi dan reaksi obat. 5. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali dan selang waktunya. 6. Riwayat keluarga. Riwayat anestesi yang merugikan atau membahayakan pada keluarga. 7. Riwayat sosial yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti perokok berat atau pecandu alkohol. 8. Makan minum terakhir c)

Pemeriksaan Fisik Perhatian khusus dilakukan untuk evaluasi jalan napas, jantung, paru-paru

dan pemeriksaan neurologik. Jika ingin melaksanakan teknik anestesi regional maka perlu dilakukan pemeriksaan extremitas dan punggung. Pemeriksaan fisik sebaiknya terdiri dari :8 1. Keadaan umum 2. Tanda-tanda vital 3. Status generalis d) Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium rutin preoperatif sekarang diminimalisasi, pemeriksaan tersebut sudah seharusnya disesuaikan dengan keadaan masingmasing pasien. The National Institute for Clinical Excellence telah membuat pedoman dan sebagian besar rumah sakit memiliki versi pedoman ini sendirisendiri. Hal-hal berikut inilah yang harus dijadikan sebagai pedoman.9 1. Hemoglobin.

5

Pasien yang sehat yang akan menjalani pembedahan elektif dengan perkiraan kehilangan darah < 10% dari total volume darah, tidak memerlukan penilaian hemoglobin. Penilaian Hemoglobin diperlukan pada neonatus < 6 bulan, wanita > 50 tahun, pria > 65 tahun, penyakit Sickle Cell, malignansi, kelainan hematologis, kehilangan darah preoperative, trauma, malnutrisi, penyakit sistemik lainnya dan ASA 3 atau di atasnya. 2.

Ureum dan elektrolit Tidak diindikasikan pada pasien sehat yang akan menjalani operasi elektif.

Diindikasikan pada pasien > 65 tahun, penyakit ginjal, diabetes, hipertensi, penyakit jantung iskemik/vaskuler, penyakit liver. Pasien yang dalam pengobatan digoksin, diuretik, steroid, ACE inhibitor dan agen anti aritmia. Koreksi kelainan elektrolit yang cepat sebaliknya dapat membuat pasien yang stabil menjadi bermasalah, seperti demielinisasi pontin sentral saat koreksi hiponatremi, dan aritmia pada saat koreksi hipokalemia. Bila mungkin, operasi seharusnya ditunda dan kelainan elektrolit dikoreksi secara perlahan-lahan. 3.

Pembekuan Diindikasan pada pasien dengan gangguan perdarahan yang sudah diketahui

atau koagulopati, pasien dengan terapi antikoagulan, memar yang diketahui sebabnya, kehilangan

darah

dan

atau

penurunan

hemoglobin

yang

tidak

diketahui penyebabnya, hipersplenisme, gangguan liver, gagal ginjal. Tranfusi darah dapat menggantikan > 20% volume darah total, infus koloid atau substansi plasma dapat menggantikan > 20% volume darah total untuk volume darah berkisar antara 70-80 ml/kg BB.

6

4.

Elektrokardiogram Diindikasikan pada pria > 40 atau wanita > 50, penyakit kardiovaskuler,

penyakit ginjal, diabetes, ketidakseimbangan elektrolit, aritmia, pasien yang diterapi dengan antihipertensi, antiaritmia, dan antiangina. Perubahan pada EKG terkini ( dalam waktu 3 bulan) harus dianggap signifikandan perlu pemeriksaan lebih lanjut. 5.

Foto rontgen thoraks Diindikasikan pada pasien dengan penyakit dada, penyakit kardiovaskuler

yang membatasi aktivitas, perokok lama dengan gejala penyakit dada, penyakit keganasan. 6.

Pemeriksaan lain Pemeriksaannya dapat meliputi test fungsi paru, analisa gas darah (penyakit

paru dengan toleransi aktivitas yang terbatas), echocardiografi (penyakit jantung dengan indikasi fungsi terbatas), enzim-enzim hepar (pada alkoholisme, penyakit liver), gula darah (diabetes), fungsi endokrin (hipo/hipertiroidisme). Beberapa pemeriksaan juga diperlukan sebagai dasar untuk membandingkan preoperative dengan intra dan post operatif (misalnya analisa gas darah). e)

Persiapan Preoperatif Alasan puasa sebelum operasi yaitu untuk meminimalkan isi perut dan

adanya resiko yang berhubungan dengan regurgitasi dan aspirasi paru setelah induksi anestesi. Meskipun puasa cukup, beberapa pasien masih beresiko muntah dan mengalami aspirasi paru, beberapa pasien mempunyai kemampuan pengosongan

7

lambung yang lambat atau penurunan tonus sfingter esofagus yang lemah. Pada operasi elektif, umumnya :7 

Pada orang dewasa, puasa makan makanan padat minimal 6 jam sebelum operasi. Mereka boleh sarapan makanan ringan jika operasi dijadwalkan siang.



Anak dan balita puasa boleh makan atau minum susu minimal 6 jam sebelum operasi.



Semua pasien tidak boleh minum sejak 2 jam sebelum operasi



Bayi diperbolehkan menyusui ASI atau formula sampai minimal 4 jam sebelum operasi.

C.

REKOMENDASI

PEMERIKSAAN

PENUNJANG

LABORATORIUM PADA PERSIAPAN PRE OPERASI Pemeriksaan laboratorium pada pasien bedah memiliki tujuan sebagai berikut: (1) skrining untuk penyakit asimtomatik yang dapat mempengaruhi hasil pembedahan (misalnya anemia atau diabetes yang tidak terduga): (2) kemudahan penilaian yang dapat menjadi kontraindikasi operasi elektif atau perawatan yang diperlukan sebelum operasi (misalnya, diabetes, gagal jantung); (3) diagnosis gangguan yang memerlukan pembedahan (misalnya, hiperparatiroidisme); dan (4) evaluasi sifat dan tingkat komplikasi metabolik atau septik.11,12 Pasien yang menjalani pembedahan besar, meskipun mereka tampaknya dalam kesehatan yang sangat baik kecuali untuk penyakit bedah mereka, harus menjalani pemeriksaan darah dan urin lengkap. Riwayat penyakit ginjal, hati, atau jantung membutuhkan studi terperinci. 11,12 Berikut rekomendasi spesifik untuk tingkat pembedahan dan ASA 13 Tingkat pembedahan

Contoh

8

Minor

excising skin lesion

Intermediate

draining breast abscess primary repair of inguinal hernia excising varicose veins in the leg tonsillectomy or adenotonsillectomy knee arthroscopy total abdominal hysterectomy

Major/ complex

endoscopic resection of prostate lumbar discectomy thyroidectomy total joint replacement lung operations colonic resectio radical neck dissection Tingkat ASA13 Sistem klasifikasi status fisik ASA (American Society of Anesthesiologists) adalah skala simple yang menggambarkan keadaan seseorang untuk menjalani sebuah prosedur anestesi. ASA 1 : Pasien sehat normal ASA 2 : Pasien dengan penyakit sistemik ringan ASA 3 : Pasien dengan penyakit sistemik berat ASA 4 : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang dapat mengancam jiwa Table 1 Minor surgery7,9 Pemeriksaan Darah lengkap Haemostasis Fungsi ginjal

ASA 1 Tidak rutin

ASA 2 Tidak

ASA 3 atau 4 Tidak rutin

Tidak rutin

rutin Tidak

Tidak rutin

Tidak rutin

rutin Tidak

Pertimbangkan

pada

pasien

9

Fungsi

paru

/ Tidak rutin

analisis gas darah

rutin Tidak

dengan risiko AKI Tidak rutin

rutin Table 2 Intermediate surgery7,9

Pemeriksaan Darah lengkap

ASA 1 Tidak rutin

ASA 2 Tidak rutin

ASA 3 atau 4 Pertimbangkan pada pasien dengan

penyakit

kardiovaskuler atau ginjal jika ada gejala yang tidak Haemostasis

Tidak rutin

diketahui Pertimbangkan pada pasien

Tidak rutin

dengan penyakit hati kronik  Jika

pasien

memakai

antikoagulan membutuhkan modifikasi dari regimen terapi

mereka,

buat

rencana individu dengan pedoman local  Jika status pembekuan membutuhkan diperiksa

untuk sebelum

pembedahan Fungsi ginjal

Tidak rutin

Fungsi paru / Tidak rutin analisis darah

gas

Pertimbangkan pada

pasien

dengan

risiko

AKI Tidak rutin

Ya

Pertimbangkan

mencari

advis dari anestesi senior secepat

mungkin

menliai

pasien

ASA

3

atau

setelah termasuk 4

yang 10

diketahui / suspek penyakit pernapasan Table 3 Major or complex surgery7,9 Pemeriksaan Darah lengkap Haemostasis

ASA 1 Ya Tidak rutin

ASA 2 Ya Tidak

ASA 3 atau 4 Ya Pertimbangkan

rutin

dengan penyakit hati kronik  Jika

pada

pasien

pasien

memakai

antikoagulan membutuhkan modifikasi

dari

regimen

terapi mereka, buat rencana individu dengan pedoman local  Jika

status

membutuhkan diperiksa

pembekuan untuk sebelum

pembedahan Fungsi ginjal

Ya

Ya

AKI Fungsi paru / Tidak rutin

Tidak

Pertimbangkan mencari advis

analisis

rutin

dari anestesi senior secepat

gas

darah

Pertimbangkan pada

pasien

dengan

risiko

mungkin setelah menliai pasien termasuk ASA 3 atau 4 yang diketahui / suspek penyakit pernapasan ` Diperkirakan bahwa 60 - 70% dari tes pra operasi tidak diperlukan asalkan

telah dilakukan pemeriksaan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang tepat. Selain itu, terbukti bahwa hasil pengujian tersebut jarang digunakan atau 11

berdampak mengubah manajemen pasien. Tinjauan literatur yang komprehensif yang mencakup berbagai populasi pasien menemukan bahwa frekuensi hasil laboratorium abnormal yang tidak terduga yang memengaruhi manajemen pasien sebelum operasi berkisar dari 0% hingga 2,6%. Urgensi operasi adalah bagian penting dari evaluasi pra operasi. Sebagai contoh, seorang pasien dengan risiko kardiovaskular yang signifikan mungkin secara wajar menjalani tes stres untuk prosedur elektif utama. Meskipun saat ini rekomendasi untuk menghindari pemeriksaan laboratorium preoperative sebelum operasi berisiko rendah belum jelas, pemeriksaan darah lengkap, PT, APTT, dan tes metabolik masih sering dilakukan. 10,13

Variasi besar ditemukan di dalam praktek sehari-hari. Dalam upaya untuk

merasionalisasi masalah ini, pedoman atau guideline telah secara sistematis dikembangkan setelah analisis studi, bukti terbaik, dan konsensus ahli profesional. Pedoman berbasis diagnosis preoperatif menyediakan dasar rekomendasi untuk laboratorium dan tes lainnya pada table 3. Rekomendasi dapat diterima tanpa perubahan atau dapat dimodifikasi berdasarkan kebutuhan lokal dan praktek individu, untuk memastikan kualitas tertinggi perawatan bedah.11,12,14 Tabel 3. Investigasi berdasarkan diagnosis pra operasi sebelum operasi elektif

Alasan dokter melakukan tes rutin sebelum operasi masih tidak tetap tetapi beberapa alasan telah diketahui. Alasan tersebut antara lain kesulitan dalam

12

mengubah pola kerja sebelumnya atau perilaku, takut terjadi pembatalan operasi karena keadaan yang tidak diduga, melewatkan beberapa informasi penting selama evaluasi, dan kebutuhan kelembagaan. Ketakutan litigasi adalah kepedulian yang nyata antara dokter yang khawatir bahwa tidak melaksanakan tes akan dikatakan sebagai kasus kejadian merugikan selama anestesi. 15,16 riwayat dan pemeriksaan fisik adalah pendorong utama dalam menentukan apakah pengujian laboratorium pra operasi diindikasikan. Secara umum, pasien yang lebih muda dan lebih sehat, selain mereka yang menjalani prosedur berisiko rendah, jarang memerlukan pengujian laboratorium pra operasi. Tabel 4.1 memberikan gambaran keadaan klinis dimana tes laboratorium darah dapat diindikasikan sebelum operasi. TABEL 4.1. Rekomendasi untuk Pengujian Laboratorium Preoperatif Selektif Tes laboratorium Hitung sel darah putih

Indikasi Tanda/gejala infeksi atau gangguan mieloproliferatif Paparan obat myelotoxic (mis. obat kemoterapi) Hemoglobin Tanda/gejala anemia Mengantisipasi kehilangan darah yang banyak intraoperatif Platelet Riwayat diatesis perdarahan atau kelainan mieloproliferatif Riwayat penyakit hati lanjut atau penyalahgunaan alkohol Riwayat trombositopenia (mis., ITP) Prothrombin time Riwayat diatesis perdarahan (PT) Riwayat penyakit hati kronis atau malnutrisi Paparan warfarin Paparan antibiotik jangka panjang Partial thromboplastin Riwayat diatesis perdarahan time (PTT) Paparan terhadap heparin yang tidak terfraksi Elektrolit Insufisiensi ginjal Paparan obat yang dapat mempengaruhi elektrolit (yaitu, diuretik) Glukosa Curiga Diabetes melitus Tes fungsi renal Riwayat penyakit ginjal 13

(BUN, Cr) Serum aminotransferases (AST, ALT)

Paparan obat yang memengaruhi fungsi ginjal Tidak ada indikasi; mendapatkan tes fungsi hati (mis., PT, PTT, albumin, trombosit) untuk pasien dengan penyakit hati yang diketahui / diduga

Data from Smetana GW, Macpherson DS. The case against routine preoperative laboratory testing. Med Clin North Am . 2003;87:7 – 40.

Table 5. The Canadian Anaesthesiology Society Guidelines untuk tes laboratorium preoperatif Test Indikasi Hitung darah lengkap  Pasien berusia lebih dari 60 tahun  Operasi besar yang membutuhkan "grup dan skrining" atau "grup dan korek api"  Penyakit kardiovaskular kronis, paru, ginjal atau hati  Keganasan  Diketahui atau diduga anemia, diatesis perdarahan, atau supresi myelo  Terapi antikoagulan Profil koagulasi  Terapi antikoagulan  Diatesis perdarahan, riwayat keluarga gangguan perdarahan  Riwayat DVT atau emboli paru  Penyakit hati, gagal ginjal  Keganasan dengan radioterapi bersamaan Elektrolit dan level creatinin  Umur lebih dari 60 tahun  Hipertensi  Penyakit ginjal  Diabetes  Penyakit hipofisis atau adrenal  Digoxin atau terapi diuretik, atau terapi obat lain yang memengaruhi elektrolit Tes kehamilan Pertimbangkan pada semua wanita usia reproduksi sebelum operasi Analisa Gas Darah Curiga hipoksemia atau retensi CO2 yang akan mempengaruhi manajemen pasca operasi M.B. Jackson et al. (eds.), The Preoperative Evaluation in The Perioperative Medicine Consult Handbook. 2015: 9-16

D.

KADAR FAKTOR DARAH UNTUK PERSETUJUAN OPERASI

14

1. Hemoglobin darah (HB) Sebuah tindakan pembedahan dapat dilakukan jika kadar Hb dalam darah dalam kondisi normal yaitu di atas 10%. Penelitian lain menunjukkan kadar Hb minimum yang direkomendasikan untuk operasi elektif adalah 9-10 mg/dl, sedangkan untuk operasi darurat Hb minimal 8 %. Secara umum pedoman yang berbeda merekomendasikan penggunaan ambang transfusi jika Hb < 7 g / dL20,21 Sebuah penelitian lainnya menyimpulkan operasi elektif dapat dilakukan dengan aman pada pasien dengan kadar hemoglobin sebelum operasi serendah 6 g / dL jika diperkirakan kehilangan darah di bawah 500 mL. Secara umum, pedoman yang berbeda merekomendasikan penggunaan ambang transfusi restriktif dari 7 hingga 8 g / dL. Sebagai contoh, pedoman AABB (American Association of Blood Banks) 2016 merekomendasikan indikasi transfusi untuk Hb 6-7 g / dL, untuk Hb 7-8 g / dL pada pasien yang menjalani operasi ortopedi atau operasi jantung, dan pada mereka dengan penyakit kardiovaskular yang stabil , untuk Hb 8-10 g/dL pada beberapa populasi seperti anemia, perdarahan berkelanjutan, sindrom koroner akut dengan iskemia, dan pasien hematologi / onkologi dengan trombositopenia parah yang berisiko. Kadar Hb penting diketahui karena dapat dijadikan patokan untuk mengukur resiko perdarahan. Operasi menimbulkan perdarahan. Jika terjadi banyak perdarahan saat operasi maka kadar HB berisiko terkuras. Kadar HB preoperatif yang rendah dalam keadaan perdarahan yang cukup banyak saat operasi akan meningkatkan risiko yang membahayakan pasien. Anemia yang tidak terdiagnosis biasanya terjadi pada pasien bedah dan dikaitkan dengan peningkatan

15

kemungkinan transfusi darah dan peningkatan morbiditas dan mortalitas perioperatif.20 2. Sel darah putih atau leukosit Laboratorium sel darah putih selalu diperiksa oleh ahli bedah untuk mengetahui apakah kondisi pasien sedang mengalami infeksi atau tidak. Hitung sel darah merah memberikan ukuran luas status peradangan, baik sebagai akibat dari infeksi atau keadaan penyakit proinflamasi seperti diabetes, PPOK, atau hemodialisis. Leukositosis, didefinisikan sebagai jumlah sel darah putih (WBC) lebih besar dari 11.000 sel per mikroliter, adalah salah satu kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis SIRS Ada banyak variasi dalam definisi leukosit normal. dalam buku Harrison's Principles of Internal Medicine leukosit normal berkisar 4,3 hingga 10,8 ribu / μL, sedangkan Pusat Pengendalian Penyakit menggunakan rentang referensi yang berbeda untuk pria (3,9-12,5 ribu / μL) dan untuk wanita (3,9-12,1 ribu / μL). Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar WBC termasuk kehamilan, penyakit radang kronis (misalnya, lupus erythematosus sistemik), atau adanya steroid. Sementara literatur lain menyebutkan kadar leukosit normal berada diantara 4000-10.000 /uL. Jika leukosit berada di antara 10.000 - 20.000 /uL, maka kemungkinan besar terjadi infeksi ditubuh pasien. kadar leukosit yang lebih tinggi meningkatkan risiko terjadinya komplikasi. Jika leukosit pasien diatas 20.000 /uL, kondisi ini tergolong infeksi berat dan sangat mungkin menjadi sepsis. Dokter akan menelusuri asal muasal sumber infeksi tersebut. Jika infeksi tersebut

16

menular, maka dokter dan operator operasi akan lebih berhati-hati dalam melakukan tindakan pembedahan.22 Pada analisis univariat, pasien dengan leukositosis mengalami insiden kematian 30 hari yang lebih besar, komplikasi luka, dan komplikasi medis. Komplikasi luka termasuk infeksi tempat operasi serta dehiscence luka. Komplikasi medis termasuk semua penyebab non-bedah lainnya dari peningkatan morbiditas dan infeksi yang menyebabkan infeksi saluran kemih, pneumonia, ketergantungan ventilator, sepsis dan syok septik. 3. Trombosit Trombosit adalah sel darah yang berperan penting dalam faktor pembeku darah. Oleh karena itu, kadar trombosit juga perlu diperhatikan bagi pasien yang akan dilakukan operasi. Trombosit kurang dari 150.000 maka diperlukan optimalisasi terlebih dahulu dengan penambahan atau tranfusi thrombosit. Berdasarkan konsensus ASCO (American Society of Clinical Oncology) tahun 2001 dan konsensus AFSSaPS (Agence Française de Sécurité Sanitaire des Produits de Santé) tahun 2005, penderita dengan jumlah trombosit lebih dari 50.000 / mm3 diperbolehkan menjalani prosedur pembedahan (dengan asumsi fungsi trombosit normal). Ketentuan ini berlaku untuk semua jenis prosedur pembedahan, termasuk bedah jantung dan paru.23 4. Cloting time ( CT ) - Bleeding Time (BT) Waktu pembekuan ( Cloting time ) dan waktu perdarahan ( Bleeding time ) perlu diperiksa utuk mencegah keadaan dimana pasien mengalami pendarahan yang lama berhenti akibat kadar waktu pendarahan yang memanjang. Pendarahan terus

17

menerus akan mempengaruhi kadar trombosit dan Hb, dimana kedua komponen darah tersebut ikut terkuras. Jika di jumpai waktu perdarahan yang memanjang dan waktu pembekuan yang lama, maka operasi akan berjalan lama karena dokter juga sibuk untuk mengontrol perdarahan yang terjadi. Kelainan waktu perdarahan atau bleeding time dapat disebabkan oleh gangguan vaskuler (vaskulopati), kekurangan jumlah trombosit (trombositopenia), atau gangguan fungsi trombosit (trombositopati).24 5. Pemeriksaan Fungsi hati ( LFT ) Pemeriksaan fungsi hati atau Liver fungsi test sebagai antisipasi kesehatan fungsi hati pasien. Adanya suatu peradangan atau kondisi fungsi hati yang turun akan membuat fungsi hati semakin jelek saat dilakukan operasi. Karena obat injeksi operasi terutama anastesi sebagian besar akan disaring di dalam hati. sehingga jika tindakan operasi diteruskan padahal kondisi hati sedang tidak optimal, dikhawatirkan akan semakin memperburuk kondisi hati pasien yang bersangkutan. Bermacam pemeriksaan liver fungsi test ( LFT ) terdiri dari SGOT, SGPT dan alkali phosphatase. Ketiga enzim ini menjadi parameter normal atau tidaknya fungsi hati seseorang. Peningkatan 2 kali lipat dari nilai normal maka dicurigai terdapat gangguan pada liver. Ketidakstabilan hemodinamik pada periode perioperatif dapat memperburuk fungsi hati pada pasien dengan penyakit hati. Sebagian besar prosedur pembedahan, apakah dilakukan dengan anestesi umum, spinal atau epidural, diikuti oleh peningkatan minor pada level tes biokimia hati serum. pada pasien dengan penyakit hati yang mendasarinya, dan terutama mereka dengan fungsi

18

sintetik hati yang terganggu, pembedahan dapat mempercepat dekompensasi hati. Pada pasien dengan penyakit hati, risiko pembedahan tergantung pada keparahan penyakit hati, sifat dari prosedur pembedahan dan adanya kondisi komorbiditas. Ada sejumlah kontraindikasi terkait hati dengan operasi elektif (Tabel 1). Ketika kontraindikasi ini tidak ada, pasien harus menjalani evaluasi pra operasi menyeluruh, dan kondisinya harus dioptimalkan sebelum operasi elektif.25 Tabel 1. kontraindikasi gangguan hati dengan operasi elektif Contraindications to Elective Surgery in Patients With Liver Disease Acute liver failure Acute renal failure Acute viral hepatitis Alcoholic hepatitis Cardiomyopathy Hypoxemia Severe coagulopathy (despite treatment)

6. Kadar gula Darah Kontrol glikemik preoperatif yang buruk dikaitkan dengan peningkatan tingkat komplikasi dan penurunan kelangsungan hidup jangka panjang setelah operasi. Jika kadarnya meninggi, maka penyembuhan luka akan berlangsung lama dan bisa saja akan membahayakan pasien yang bersangkutan. Tingkat HbA1c> 7% secara signifikan terkait dengan peningkatan komplikasi infeksi dibandingkan dengan pasien dengan HbA1c <7%. Untuk kasus operasi elektif sebaiknya kadar gula darah di bawah 150 gr/dl untuk gula darah sewaktu. Jika memang dalam kondisi darurat, dokter bedah perlu berkonsultasi dengan dokter penyakit dalam lebih dahulu sebelum melakukan tindakan. Society for Ambulatory Anesthesia (SAMBA) merekomendasikan kadar glukosa darah intraoperatif <180 mg/dL (10 mmol/l). The American Association 19

of Clinical Endocrinologists (AACE) dan American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan kadar glukosa target antara 140 dan 180 mg/dL (7,7-10 mmol/l) pada pasien kritis.26

20

BAB III PENUTUP Preoperatif merupakan fase dimana dimulainya keputusan untuk menjalani operasi atau pembedahan dibuat dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi. Pengelolaan preoperatif sebaiknya dilakukan untuk memantapkan hubungan dokter dengan pasien. Tujuan utama dari evaluasi preoperatif adalah untuk menekan angka morbiditas atau mortalitas sehingga komplikasi dari tindakan anestesi dan pembedahan dapat dicegah. Evaluasi preoperatif meliputi semua pemeriksaan yang dilakukan sebelum anestesi yaitu anamnesa, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan laboratorium pada pasien bedah memiliki tujuan sebagai skrining

untuk

penyakit

asimtomatik

yang

dapat

mempengaruhi

hasil

pembedahan, penilaian yang dapat menjadi kontraindikasi operasi, diagnosis gangguan yang memerlukan pembedahan dan evaluasi sifat dan tingkat komplikasi metabolik atau septik. Variasi besar ditemukan di dalam praktek dan ini bervariasi nyata dari satu rumah sakit lain dan di antara dokter dari rumah sakit yang sama. Dalam upaya untuk merasionalisasi masalah ini, guideline telah secara sistematis dikembangkan setelah analisis studi, bukti terbaik, dan konsensus ahli profesional. Rekomendasi dapat diterima seperti itu atau dapat dimodifikasi berdasarkan kebutuhan lokal dan praktek individu, untuk memastikan kualitas tertinggi perawatan bedah.

21

DAFTAR PUSTAKA 1.

Latief SA, Suryadi, KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2009

2.

Martin, Shannon K, Cifu, Adam S. Routine Preoperative Laboratory Tests for Elective Surgery. JAMA. 2017;318(6):567-568.

3.

Zambouri A. preoperative evaluation and preparation for anesthesia and surgery. Hipokratia. 2007; 1:13-21

4.

Marc, Wrobel. Pokok-pokok Anestesi. Jakarta: EGC. 2011

5.

Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta : EGC. 2010.

6.

Onuoha, OC, Arkoosh, VA, Fleisher, LA Choosing wisely in anesthesiology: The gap between evidence and practice.. JAMA Intern Med. (2014). 174 1391–5

7.

National Institute for Health and Care Excellence. Patient experience in adult NHS services: improving the experience of care for people using adult NHS services (NICE guidelines CG138), 2012

8.

American Society for Clinical Pathology, Ten Things Physicians and Patients Should Question.. (2015).

9.

National Institute for Health and Care Excellence. Routine preoperative tests for elective surgery (NICE guidelines NG45), 2016

10.

Moore b, et al. Medical Test. Rasindo. Jakarta: 2008.

11.

Bhatia. Preoperative Laboratory Investigations: Rates and Variability Prior to Low-risk Surgical Procedures Anesthesiology 4 2016, Vol.124, 804-814

12.

Frank O’Neill et al. Routine preoperative tests for elective surgery: summary of updated NICE guidance. BMJ. 2016. 353:3292

13.

ASA. ASA Physical Status Classification System. 2014.

22

14. 15.

Klein AA, Arrowsmith JE. Should routine pre-operative testing be abandoned?Anaesthesia 2010;65:974-6 Bryson GL, Wyand S, Bragg PR. Preoperative testing is inconsistent with published guidelines and rarely changes management. Can J Anesthe. 2006;53:236–41

16.

Yuan H, Chung F, Wong D, Edward R. Current preoperative testing practices in ambulatory surgery are widely disparate: A survey of CAS members. Can J Anesth. 2005;52:675–9

17.

Messmer KFW. Acceptable hematocrit levels in surgical patients. World J Surg 1987:11:41

18.

Nillson IM et al. the use of blood components in the treatment of congenital coagulation disorder. World J Surg. 1987;11:14

19.

consensus conference . Fresh frozen plasma. JAMA. 1985;253:551

20.

Myhre, byron A. Clinical Commentary: The Transfusion Trigger – The Search For A Quantitative Holy Grail. Annals of Clinical & Laboratory Science. 2001;31:4.

21.

Carson JL, Guyatt G, Heddle NM, Grossman BJ. Clinical Practice Guidelines From the AABB: Red Blood Cell Transfusion Thresholds and Storage. JAMA. 2016;316(19):2025.

22.

Amalina, annisa. Hubungan Jumlah Leukosit Pre Operasi dengan Kejadian Komplikasi Pasca Operasi Apendektomi pada Pasien Apendisitis Perforasi di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal andalas. 2018;7:4.

23.

British Committee for Standards in Haematology Guidelines for the use of platelet transfusions. British Journal of Haematology 2003; 122: 10-23.

24.

Vera. Penatalaksanaan Prabedah Penderita dengan Trombositopenia. JKM. Vol.8 No.2 Februari 2009: 162-166.

23

25.

Friedman, Lowrenc. Surgery in the patient with liver disease. Transactions of the american clinical and climatological association.2010;vol.121:192205.

26.

Duggan, Elizabeth,. Carison, Karen, Guillermo. Perioperative Hyperglycemia Management: An Update. HHS public. 2017;126(3):547560.

24

Related Documents