BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan fisiologi hidung Lebih kurang sepertiga bagian atas hidung disangga oleh tulang, sedangkan dua pertiga bagian bawahnya oleh tulang rawan atau kartilago. Udara memasuki rongga hidung melalui salah satu dari naris anterior (lubang hidung depan), kemudian melintasi daerah yang melebar yang dikenal sebagai vestibulum dan terus melewati saluran hidung yang sempit ke dalam nasofaring. Dinding medial setiap rongga hidung (cavum nasi) dibentuk oleh septum nasi yang, seperti hidung luar, disangga oleh tulang atau kartilago. Sekat hidung ini dibungkus oleh membran mukosa yang mendapat pasokan darah yang baik. Tidak seperti bagian rongga hidung yang lain, vestibulum tidak dilapisi oleh mukosa, tetapi oleh kulit yang berambut. Di sisi lateral, anatominya lebih rumit. Bangunan tulang melengkung yang disebut konka nasalis (turbinates), ditutupi oleh membran mukosa yang kaya akan pembuluh darah, menonjol ke dalam rongga hidung. Di bawah setiap konka, terdapat alur atau meatus yang masing-masing diberi nama menurut nama konka yang ada di atasnya. Mukosa yang melapisi konka membantu rongga hidung dalam melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu membersihkan, melembabkan dan mengontrol suhu udara yang dihirup. Duktus nasolakrimalis bermuara ke dalam meatus inferior; sebagian besar sinus paranasalis bermuara ke dalam meatus media. Muara saluran dan rongga tersebut biasanya tidak dapat dilihat. Inspeksi cavum nasi melalui naris anterior biasanya hanya terbatas pada daerah vestibulum, pars anterior septum nasi dan konka inferior serta media.6 Pemeriksaan dengan cermin nasofaring diperlukan untuk mendeteksi kelainan di sebelah posterior.
2
3
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithelium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaanya. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa submukosa.6 Di bawah epitel, terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas.6 Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.7
4
(a)
(b)
Gambar 1. Hidung. (a) tampak luar. 6 (b) tulang dan kartilago penyusun hidung bagian luar.8
Gambar 2. Hidung, tampak dinding medial (cavum nasi kiri, mukosanya diangkat)6
5
Gambar 3. Potongan sagital dari kepala dan leher8
Gambar 4. Hidung, potongan melintang kavum nasi (pandangan anterior)
6
6
2.2 Rinitis Alergi 2.2.1. Definisi Menurut Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) tahun 2010, rinitis alergi adalah suatu inflamasi pada hidung akibat adanya hipersensitivitas yang diperantarai oleh IgE setelah mukosa hidung terpapar oleh suatu alergen. Gejala rinitis alergi mencakup rinorea, sumbatan hidung atau obstruksi nasal, gatal pada hidung, bersin dan adanya postnasal drip, yang revrsibel secara spontan atau dengan pengobatan. Konjungtivitis alergi biasanya menyertai rinitis alergi.9
2.2.2. Patofisiologi Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0).7 Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
7
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll.10 Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.9 Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.9,10 Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.9 RAFC menimbulkan gejala seperti bersin, rinore, gatal peningkatan permeabilitas vaskular, vasodilatasi dan sekresi kelenjar yang meningkat.9 Sedangkan RAFL menyebabkan kongesti nasal dan postnasal drip.
8
Gambar 5. Patofisiologi Rinitis Alergi2
9
Gambar 6. Tahap sensitisasi, reaksi alergi fase cepat (early inflammation) dan fase lambat (late inflammation)7
2.2.3. Gambaran histologik Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal, tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/ persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.7 Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: 1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
10
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacangkacangan. 3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah. 4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan. Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi.7 Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari : 1. Respons primer : Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder. 2. Respons sekunder : Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier. 3. Respons tertier : Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi
11
tuberkulin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.7
2.2.4. Klasifikasi Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu: 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi). 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan. Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. 2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
12
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu. 2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.
2.2.5. Diagnosis Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan: 1.Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu.7 Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anakanak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien
2.Pemeriksaan Fisik Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.7
13
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease.7 Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). Tanda rinitis alergi dapat terlihat pada hidung, mata, telinga, faring atau laring. Pada hidung, rinitis alergi menyebabkan adanya nasal crease, nasal salute, mukosa nasal pucat dan edema, sekret serosa atau mukus. Pada mata, rinitis alergi menimbulkan edema kelopak, tampak kongesti dan bentukan cobblestone pada konjungtiva dan allergic shiners. Pada telinga, rinitis alergi menyebabkan membran timpani retraksi atau adanya otitis media serosa sebagai akibat dari blok tuba Eustachius. Pada faring, rinitis alergi menyebabkan faringitis granular. Pada laring, rinitis alergi menyebabkan suara serak dan edema plika vokalis.11
Gambar 7. Mukosa pada rinitis alergi. (a) Mukosa yang edema dan pucat pada rinitis alergi. (b) Mukosa yang hipertrofi pada rinitis alergi.6
14
Gambar 8. Allergic shiner pada rinitis alergi 12
Gambar 9. Allergic salute 13
Gambar 10. Allergic crease 14
15
Gambar 11. Facies adenoid 15
(a)
(b)
Gambar 12. Tanda rinitis alergi. (a) Cobblestone appearance di faring pada rinitis alergi 16
16
3. Pemeriksaan Penunjang In vitro : Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri7
In Vivo : Uji kulit. Uji ini membantu mengidentifikasi alergen spesifik. Uji ini termasuk uji tusuk, gores dan intradermal. Uji tusuk kulit merupakan metode yang paling baik untuk mengetahui alergen. Sejumlah alergen dalam larutan diletakkan di permukaan volar lengan bawah dan jarum ditusukkan ke bagian tersebut. Tindakan tersebut menyebabkan alergen masuk ke dalam dermis. Reaksi positif ditandai dengan adanya pembengkakan dan kemerahan di sekitar tempat penusukan dalam waktu 10-15 menit.11 Adapun uji intradermal yakni Skin End-point Titration/SET, dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab, juga derajat alegi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.7 Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan
17
provokasi (“Challenge Test”). Pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.7 Diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. Uji lainnya yakni Nasal Provocation Test, dimanan mukosa nasal diberikan sejumlah kecil alergen yang diletakkan di ujung tusuk gigi. 11 Pasien lalu diminta untuk inhalasi dan amati apakah terjadi gejala reaksi pada pasien
2.2.6. Penatalaksanaan 1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 2. Medikamentosa Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara per oral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Anti histamine generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral denagn cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi
18
hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk
beberapa
hari
saja
untuk
menghindari
terjadinya
rinitis
medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai
adalah
kortikosteroid
topical
(beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.
19
3. Operatif Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. 4. Imunoterapi Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.7 Tabel 1. Sediaan dan pemakaian terapi medimentosa rinitis alergi 2
Sediaan
Pemakaian
Antihistamin oral Generasi Kedua : Loratadine (tablet 10 mg, solution 5 2-5 tahun : 5 mg 1 kali sehari mg/5 ml)
Lebih dari 6 tahun : 10 mg 1 kali sehari
Cetirizine (tablet 10 mg, syrup 5 mg/5 2-5 tahun : 2,5 atau 5 mg 1 kali sehari ml) Fexofenadine
Lebih dari 6 tahun : 10 mg 1 kali sehari (tablet
60,
180
mg, 6-11 tahun: 30 mg 2 kali sehari
suspension 30 mg/5 ml)
Lebih dari 12 tahun : 60 mg 2 kali sehari
Antihistamin oral Generasi Pertama : Chlorpheniramine (tablet 4 mg, solution 2-5 tahun : 1 mg tiap 4-6 jam 2 mg/5 ml)
6-12 tahun : 2 mg tiap 4-6 jam Lebih dari 12 tahun : 4 mg tiap 4-6 jam
Dekongestan oral : Pseudoephedrine (liquid 30 mg/5 ml, 7,5 2-5 tahun : 15 mg tiap 4-6 jam (maksimal 60 mg/0,8 ml; tablet 30, 120, 60 mg)
mg/hari) 6-12 tahun : 30 mg tiap 4-6 jam
20
Tabel 2. Sediaan dan pemakaian terapi medimentosa rinitis alergi kedua2
Sediaan
Pemakaian (maksimal 240 mg/hari)
Kortokosteroid topikal (intranasal) : Beclomethasone dipropionate (spray)
Kurang dari 6 tahun : 1-2 semprot tiap nostril 2 kali sehari Dewasa : 1-2 semprot tiap nostril 2 kali sehari
Triamcinolone acetonide (spray)
2-12 tahun : 1 semprot tiap nostril 1 kali sehari Lebih dari 12 tahun : 2 semprot tiap nostril 1 kali sehari
Intranasal Mast Cell Stablilizers : Cromolyn sodium
1 semprot tiap nostril 3-6 kali per hari
Antikolinergik topikal : Ipratropium bromide (spray)
Kurang dari 6 tahun : 0,03% solution, 2 semprot tiap nostril 2-3 kali per hari 5-11 tahun : 0,06% solution, 2 semprot tiap nostril 3 kali per hari untuk 4 hari 12-17 tahun : 0,06% solution, 2 semprot tiap nostril 3-4 kali per hari untuk 4 hari Dewasa : 2 semprot tiap nostril 2-4 kali per hari (maksimal 3 minggu)
Anti leukotrien : Montelukast sodium (tablet 10 mg)
6 bulan – 5 tahun : 4 mg 1 kali sehari 6-14 tahun : 5 mg 1 kali sehari Lebih dari 15 tahun : 10 mg 1 kali sehari
21
Terdapat beberapa hal yang direkomedasikan oleh ARIA untuk penatalaksanaan rinitis alergi, antara lain: 1. Antihistamin oral atau cromolyn sodium intranasal direkomendasikan untuk tipe ringan intermiten 2. Kortikosteroid intranasal dapat digunakan sebagai monoterapi pada tipe sedang atau persisten 3. Antihistamin non-sedatif oral dikombinasi dengan steroid intranasal digunakan untuk tipe berat 4. Steroid oral
dan imunoterapi dalam jangka waktu pendek,
direkomendasikan untuk tipe berat dan persisten 5. Dekongestan intranasal dalam jangka waktu pendek dapat digunakan pada obstruksi nasal yang menetap. Dekongestan oral dapat dikombinasi dengan antihistamin 6. Hindari alergen dalam tipe apapun.
Gambar 13. Alur penatalaksanaan rinitis alergi 2
22
2.2.7. Komplikasi Komplikasi rinitis alergi ialah: 1. Polip hidung Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung7 2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak 3. Sinusitis paranasal. Sinusitis dapat terjadi rekuren karena adanya obstruksi ostium sinus. Rinitis alergi juga dapat menyebabkan masalah pada gigi karena bernapas lewat mulut yang berkepanjangan, terutama pada anak-anak. Rinitis alergi juga dapat menyebabkan asma bronkial.11