Bab 2 Pv.docx

  • Uploaded by: Novia Handaini
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 2 Pv.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,882
  • Pages: 9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Definisi Pemphigus vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatosis yang bersifat kronis, disertai dengan adanya proses akantolisis dan terbentuknya bula pada epidermis (Murtiastutik et al, 2011). Kata pemphigus diambil dari bahasa Yunani pemphix yang artinya gelembung atau lepuh. Pemfigus dikelompokkan dalam penyakit bulosa kronis, yang pertama kali diidentifikasi oleh Wichman pada tahun 1971 (Zeina, 2008). Istilah pemfigus berarti kelompok penyakit bula autoimun pada kulit dan membran mukosa dengan karakteristik secara histologis berupa adanya bula intraepidermal disebabkan oleh akantolisis (terpisahnya ikatan antara sel epidermis) dan secara imunopatologis adanya IgG in vivo maupun sirkulasi yang secara langsung melawan permukaan sel-sel keratinosit (Stanley, 2012). Pemfigus vulgaris adalah dermatitis vesikulobulosa reuren yang merupakan kelainan herediter paling sering pada aksila, lipat paha, dan leher disertai lesi berkelompok yang mengadakan regresi sesudah beberapa minggu atau beberapa bulan. Pemfigus vulgaris merupakan penyakit serius pada kulit yang ditandai dengan timbulnya bulla (lepuh) dengn berbagai ukuran (misalnya 1-10 cm) pada kulit yang tampak normal dan membrane mukosa (misalnya mulut dan vagina). (Mutakin, 2011) 2.2.Epidemiologi 1. Insidensi Secara global, insidensi pemfigus vulgaris tercatat sebanyak 0.5-3.2 kasus per 100.000 populasi. Kejadian pemfigus vulgaris mewakili 70% dari seluruh kasus pemfigus dan merupakan penyakit bula autoimun yang tersering di negara-negara timur, seperti India, Malaysia, China, dan Timur Tengah (Wojnarowska dan Venning, 2010). Insidensi PV meningkat pada populasi keturunan Yahudi Ashkenazi dan Mediterania, kecenderungan familial ini merupakan faktor predisposisi genetik pada kejadian pemfigus vulgaris (Zeina, 2011). Insidensi pemfigus vulgaris bervariasi berdasarkan lokasi. Di Jerussalem, insidensi PV diperkirakan 1,6 kasus per 100.000 populasi per tahun dan di Iran 10 kasus per 100.000 populasi, Finlandia jauh lebih rendah 0,76 kasus per per juta populasi. Di Prancis dan Jerman, 1 kasus per juta populasi per tahun (Stanley, 2012).

2. Mortalitas dan Morbidias Pemfigus vulgaris adalah penyakit mukokutaneus autoimun yang berpotensi mengancam jiwa dengan mortalitas sebesar 5-15%. Mortalitas pasien pemfigus vulgaris tiga kali lebih tinggi dari pada populasi pada umumnya, Komplikasi sekunder terkait dengan penggunaan kortikosteroid dosis tinggi. Morbiditas dan mortalitas terkait dengan luas lesi, dosis maksimum steroid sistemik yang diperlukan untuk induksi remisi, dan adaya penyakit penyerta. Prognosis semakin buruk pada pasien dengan pemfigus vulgaris ekstensif dan pasien usia tua. Pemfigus vulgaris melibatkan lesi pada jaringan mukosa pada 50-70% pasien. Hal ini menyebabkan terbatasnya asupan nutrisi karena disfagia. Bula dan erosi akibat bula yang pecah bersifat nyeri sehingga membatasi aktivitas penderita (Zeina, 2011). 2.3.Etiologi Predisposisi pemfigus terkait dengan faktor genetik. Anggota keluarga generasi pertama dari penderita pemfigus lebih rentan terhadap penyakit ini dari pada kelompok kontrol dan memiliki antibodi anti desmoglein sirkulasi yang lebih tinggi. Genotip MHC kelas II tertentu sering ditemukan pada pasien pemfigus vulgaris dari semua ras. Alela sub tipe HLA-DRB1 0402 dan DRB1 0503 memberi risiko terjadinya pemfigus dan menyebabkan adanya perubahan struktural pada ikatan peptide, berpengaruh pada presentasi antigen dan pengenalan oleh sel T. Di Inggris dan India, pasien dengan haplotip desmoglein tertentu juga memiliki risiko pemfigus vulgaris dan hal ini tampaknya menambah efek yang diakibatkan oleh HLA-DR. Kerentanan juga dapat disebabkan pengkodean immunoglobulin oleh gen atau oleh gen dalam pemrosesan pada antigen HLA kelas I (Wojnarowska dan Venning, 2010). 2.4.Patofisiologi Adanya antibody Ig G terhadap antigen diterminan yang ada pada permukaan keratinosis yang sedang berdeferensiasi. Sebagian besar pasien, pada mulanya ditemukan dengan testoral yang tampak sebagai erosi – erosi yang bentuknya ireguler yang terasa nyeri, mudah berdarah dan sembuh lambat. Bula pada kulit akan membesar, pecah dan meninggalkan daerah daerah erosi yang lebar serta nyeri disertai dengan pembentukan krusta dan pembesaran cairan. Bau yang menususk dan khas akan memancar dari bula dan yang

merembes keluar. Kalau dilakukan penekanan yang meminimalkan terjadinya pembentukan lepuh/ pengelupasan kulit yang normal ( tanda nikolsky ). Kulit yang erosi sembuh dengan lambah sehingga akhirnya daerah tubuh yang terkena sangat luas. Sekunder infeksi disertai dengan terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sering terjadi akibat kehilangan cairan dan protein ketika bula mengalami ruptur. Hipoalbuminemia sering dijumpai kalau proses penyakit mencakup daerah permukaan kulit tubuh dan membran mukosa yang luas. ( smeltzer dan Bare:2012, hal 1880) Penyakit autoimun Obat-obatan genetik PEMFIGUS Menimbulkan bula pada kulit

Meninggalkan erosi dan bau busuk

Lesi kulit

Mengalami penekanan

Penampakan kulit yang tidak baik

Mengenai reseptor nyeri

Kulit mengelupas

Gangguan rasa nyaman nyeri Gangguan body image

Decubitus

Takut beraktifitas

Sembuh lambat

Bedrest lama

meluas

Kehilangan cairan dan protein Hilangnya cairan jaringan

Kerusakan / gangguan integritas kulit

Terjadi Barier proteksi kulit dan kekakuan sendi membran mukosa hilang Intoleransi aktifitas

Resiko tinggi infeksi

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

2.5.Manifestasi Klinis Pemfigus vulgaris ditandai dengan timbulnya bula lembek, berdinding tipis, mudah pecah, timbul pada kulit dan mukosa yang tampaknya normal atau eritematosa. Isi bula mulamula cairan jernih, dapat menjadi hemoragik atau seropurulen. Bula yang pecah menimbulkan erosi yang eksudatif, mudah berdarah, dan sukar menyembuh. Bila sembuh meninggalkan bekas hiperpigmentasi. Dalam beberapa minggu atau bulan lesi dapat meluas, dimana didapatkan erosi lebih banyka daripada bula. Pada 60% penderita, lesi mulai muncul pada mukosa mulut kemudian tempat-tempat lain seperti kepala, muka, leher, ketiak, lipat paha atau daerah kemaluan. Bila lesi luas sering disertai infeksi sekunder yang menyebabkan bau tidak enak (Murtiastutik et al, 2011).

Gambar. Erosi pada Membran mukosa (bibir dan dinding esophagus)

Sumber : American Association of Family Physician, 2013 2.6.Klasifikasi Tanda dan gejala pemfigus : 1. Pemfigus Vulgaris a. Kulit berlepuh, Ø 1-10 cm, bula kendur, mudah pecah, nyeri pada kulit yang terkelupas, erosi b. Krusta bertahan lama, hiperpigmentasi c. Tanda nikolsky (vesikel dan bula) ada d. Kelamin, mukosa mulut 60% e. Biasanya usia 30-60 tahun

f. Bau specific 2. Pemfigus Eritematosus a. Biasanya pada usia 60-70 tahun b. Lesi awal : daerah wajah, kulit kepala, punggung, seluruh tubuh berupa bercak, eritematosa batas tegas ( seperti kupu-kupu pada wajah) , krusta sifatnya kronis residif c. Dinding bula kendur, mudah pecah, erosif yang dikelilingi dasar eritematosa, krusta dan skuama krusta basah, bau khas d. Tanda nikolsky ada e. Mukosa mulut terkena 3. Pemfigus Bullosa a. Biasanya usia 50-70 tahun b. Dinding bula tegang berisi cairan jernih/ hemoragic diatas kulit yang tampak normal atau eritema c. Diameter bula bervariasi d. Lesi mulut / genitalis ( 20 – 40 %) e. Tidak ada tanda nikolsky 4. Pemfigus Vegetans a. Pada usia lebih muda dibandingkan dengan pemfigus vulgaris b. lesi awal dimukosa mulut berbulan-bulan c. lesi kulit : lokasi inter triginose, wajah, kepala, hidung, extremitas, selluruh tubuh berupa bula kendur, mudah pecah, erosi vegetans, bau amis, hiperpigmentasi d. tanda nikolsky ada 2.7.Diagnosis Diagnosis pemfigus vulgaris dapat ditegakkan jika ditemukan hasil positif pada pemeriksaan klinis, pemeriksaan histologi, dan uji imunologik, atau dua tanda yang mengarah diagnosis pemfigus vulgaris dan adanya uji imunologik.13 Pada pemeriksaan fisik terdapat Nikolsky sign, tanda ini sensitif tetapi tidak spesifik. Nikolsky sign dilihat dengan cara menggosokkan tangan dari daerah normal hingga ke lesi, hasil positif jika kulit mengelupas, menandakan pelepasan lapisan superfisial lapisan basal

epidermis. Selain itu, terdapat Asboe-Hansen sign berupa gambaran bulla yang melebar jika bagian tengah bulla ditekan.6 2.8.Pemeriksaan penunjang Gambaran histologi pada biopsi lesi pemfigus vulgaris berupa gambaran bulla suprabasiler dengan akantolisis. Lapisan antara stratum basale epidermis dan bagian epidermis lain yang lebih superfisial tampak lepas dan membentuk bulla. Kadang tampak sel keratinosit yang lepas ke dalam bulla. Bagian superfisial epidermis terlihat intak. Pemeriksaan imunologi berperan penting; pemeriksaan imunofluorosensi direk ataupun indirek baik terhadap antibodi serum maupun lesi kulit dapat mendukung diagnosis, pemeriksaan antibodi pada lesi lebih spesifik dan sensitif dibandingkan pada antibodi serum. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk mengetahui adanya antibodi yang menyerang desmoglein 1 dan desmoglein 3 menunjang diagnosis pemfigus vulgaris, sedangkan adanya antibodi yang hanya menyerang desmoglein 1 menunjang diagnosis pemfigus foliaceus. Pemeriksaan ELISA bersifat spesifik, sedangkan pemeriksaaan imunofloresensi lebih sensitif. Pemeriksaan antibodi juga dapat membantu menilai keberhasilan terapi, pada penderita yang telah remisi tidak terdapat lagi antibodi.9 2.9.Tatalaksanaan Tatalaksana harus dilakukan segera setelah didiagnosis meskipun lesi hanya sedikit, karena lesi akan cepat meluas dan jika tidak ditatalaksana dengan baik prognosisnya buruk.6 Tatalaksana pemfigus vulgaris dibagi dalam 3 fase, yaitu fase kontrol, fase konsolidasi, dan fase maintenance.9 Fase kontrol adalah fase penyakit dapat dikontrol, terbukti dari tidak terbentuknya lesi baru dan penyembuhan lesi yang sudah ada. Direkomendasikan kortikosteroid dosis tinggi, umumnya prednison 100-150 mg/hari secara sistemik, alternatif adalah deksametason 100 mg/hari. Dosis harus di taper off segera setelah lesi terkontrol. Selama terapi kortikosteroid dosis tinggi harus dipantau risiko diabetes, infeksi, hipertensi, gangguan jantung dan paru.9,14 Obat-obat imunosupresi, seperti azathioprine, mycophenolate mofetil, methrotrexate, dan cyclophosphamide, dikombinasi dengan kortikosteroid dosis rendah dapat mengurangi efek samping kortikosteroid. Azathrioprine merupakan terapi adjuvan yang sering digunakan

karena relatif murah dan aman dikombinasikan dengan kortikosteroid dosis tinggi. Dosis azathriopine 2,5 mg/kgBB/hari. Prednison dengan azathriopine lebih efektif daripada prednison saja, azathriopine tanpa prednison baru memberikan efek positif 3-5 minggu kemudian. Mycophenolate mofetil 2 gram/hari dapat memberikan efek positif, tetapi jarang digunakan karena efek toksiknya. Cyclophosphamide 1-3 mg/kgBB/hari efektif jika dikombinasikan dengan kortikosteroid.9,11,14 Plasmaferesis dapat dikombinasi dengan obat-obat imunosupresi, dilakukan tiga kali seminggu dengan mengganti 2 L plasma setiap plasmaferesis. Plasmaferesis tanpa kombinasi obat imunosupresi dapat menyebabkan rebound pembentukan antibodi. Plasmaferesis memiliki risiko infeksi, saat ini banyak digantikan dengan IVIG. Jao, et al, dikutip dari Bystryn, et al, menyatakan serum antibodi berkurang lebih dari setengah pada 1-2 minggu pertama pemakaian IVIG. IVIG diduga bekerja meningkatkan katabolisme molekul imunoglobulin, sehingga dapat mengurangi antibodi. Dosis IVIG 2 gram/kgBB/dosis selama 3-5 hari.9 Fase konsolidasi adalah fase terapi untuk mengontrol penyakit hingga sebagian besar (sekitar 80%) lesi kulit sembuh, fase ini dimulai saat berlangsung penyembuhan kulit hingga sebagian besar lesi kulit telah sembuh. Lama fase ini hanya beberapa minggu, jika penyembuhan lambat dosis terapi kortikosteroid ataupun terapi adjuvan imunosupsresan perlu ditingkatkan.9 Fase maintenance adalah fase pengobatan dengan dosis terendah yang dapat mencegah munculnya lesi kulit baru, fase ini dimulai saat sebagian besar lesi telah sembuh dan tidak tampak lagi lesi baru. Pada fase ini dosis kortikosteroid diturunkan bertahap, sekitar seperempat dosis setiap satu hingga dua minggu. Penurunan yang terlalu cepat berisiko memunculkan lesi kulit baru, penurunan yang terlalu lambat meningkatkan risiko efek samping kortikosteroid. Jika pada fase ini muncul lesi baru minimal dapat diberi kortikosteroid topikal atau intralesi. Jika lesi jumlahnya banyak, dosis kortikosteroid ditingkatkan 25-50%. Pada fase ini obat-obat imunosupresi perlu dibatasi karena mempunyai efek samping infertilitas dan meningkatkan risiko kanker. Obat topikal seperti sulfadiazine perak 1% dapat mencegah infeksi sekunder. Lesi mukosa dapat diberi obat kumur diphenhydramine hydrochloride. Kortikosteroid topikal dapat memberikan efek positif pada

lesi minimal. Pasien harus tetap mandi setiap hari untuk mengurangi risiko infeksi sekunder, mengurangi penebalan krusta dan mengurangi bau badan.6,9 Ahmed, et al, meneliti 5 pria dan 5 wanita pasien pemfigus vulgaris berusia 35-64 tahun yang memiliki kontraindikasi terhadap kortikosteroid dan obat imunosupresan, antara lain diabetes melitus tidak terkontrol, hipertensi tidak terkontrol, retinopati hipertensi, osteoporosis, fraktur multipel, dysfunctional uterine bleeding, gangguan fungsi renal, unexplained anemia, psikosis berat, dan gangguan mood signifikan. Tatalaksana lini pertama adalah rituximab (dosis 375 mg/m2) satu minggu sekali selama delapan minggu diikuti setiap bulan selama empat bulan, dikombinasikan dengan IVIG (2 gram/kgBB/dosis) diberikan hingga kadar CD20+ B cell 15% atau lebih.15 2.10. Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk pemfigus vulgaris dapat meliputi semua penyakit bulosa didapat (acgquired). Dpat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel: Diagnosis Banding Pamfigus Vulgaris

2.11. Prognosis Pemfigus vulgaris jika tidak diobati berisiko tinggi kematian, sebagian besar disebabkan oleh sepsis dan gangguan keseimbangan cairan. Penggunaan kortikosteroid akan mengurangi angka kematian 5% hingga 15%. Morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan beratnya

penyakit, efek dosis maksimum kortikosteroid untuk mencapai remisi, dan adanya infeksi lain. Kasus relaps umumnya terjadi pada 2 tahun pertama.11

Related Documents

Bab 2
June 2020 19
Bab 2
May 2020 26
Bab 2
May 2020 40
Bab 2
June 2020 23
Bab 2
April 2020 32
Bab 2
April 2020 37

More Documents from ""