Bab 2 Proposal.docx

  • Uploaded by: Ineke Intania
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 2 Proposal.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,365
  • Pages: 20
VIII. Tinjauan Pustaka A. Penyakit Infeksi 1. Definisi Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah di bidang kesehatan yang terus berkembang. Infeksi merupakan penyakit yang dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain atau melalui hewan ke manusia (Putri, 2010). Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh mikroorganisme patogen, seperti bakteri, virus, parasit atau jamur (WHO, 2014). Menurut Rampengan (1997) dalam jurnal yang dikeluarkan oleh (Mutsaqof, Wiharto, & Suryani, 2015) disebutkan bahwa penyakit infeksi merupakan kumpulan jenis-jenis penyakit yang mudah menyerang anak-anak yang disebabkan oleh infeksi virus, infeksi bakteri, dan infeksi parasit . Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling utama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga Tahun 2007, penyebab utama kematian antara lain 28,1 % disebabkan oleh penyakit infeksi dan parasit, 18,9 % disebabkan oleh penyakit vaskuler, dan 15,7 % disebabkan oleh penyakit pernapasan . Hal lain yang juga menjadi pertimbangan adalah banyaknya angka kematian pada anak Indonesia yaitu lebih dari 200 anak meninggal per 100.000 angka kelahiran. Angka ini masih jauh dari MDGs (Millennium Development Goals) Negara Indonesia di tahun 2015 yaitu 102 per 100.000 kelahiran (UNICEF, 2012). Penyakit diare, demam tifoid, demam berdarah, infeksi saluran pernapasan atas (influenza, radang amandel, radang tenggorokan), radang paru-paru, dan demam yang belum diketahui penyebabnya (observasi febris) merupakan penyakit infeksi yang termasuk ke dalam 10 penyakit terbanyak rumah sakit di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit infeksi harus cepat didiagnosis dan ditangani agar tidak semakin parah (Mutsaqof et al., 2015).

1

2. Etiologi Menurut Sitompul (2002) dalam penelitian Saputra (2017) , penyebab infeksi antara lain : a.

Bakteri Bakteri merupakan penyebab terbanyak dari infeksi. Ratusan spesies bakteri dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan dapat hidup didalam tubuhnya. Bakteri bisa masuk antara lain melalui udara, tanah, air, makanan, cairan dan jaringan tubuh dan benda mati lainnya. Sebagai contoh adalah infeksi piogenik. Infeksi piogenik merupakan infeksi yang ditandai dengan terjadinya peradangan local yang parah dan biasanya dengan

pembentukan

nanah

(pus).

Infeksi

piogenik

dikarenakanadanya invasi dan multiplikasi mikroorganisme pathogen di jaringan sehingga mengakibatkan luka pada jaringan dan berlanjut menjadi penyakit, melalui berbagai mekanisme seluler dan umumnya disebabkan oleh salah satu bakteri piogenik. Infeksi

piogenik

menyebabkan beberapa penyakit

umum,

diantaranya impetigo, osteomyelitis, sepsis, artritis septik, spondylodiscitis, otitis media, sistitis dan meningitis. Infeksi piogenik menghancurkan neutrophil melalui pelepasan leukosidin sehingga terbentuk abses. Halvtersebut merupakan ciri khas infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus (Ekawati, 2018). b.

Virus Virus terutama berisi asam nukleat (nukleat acid) karenanya harus masuk dalam sel hidup untuk di produksi. Sebagai contoh adalah influenza, penyakit ini disebabkan oleh virus myxovirus, influenza dibagi dalam tiga tipe virus yang berbeda yaitu tipe A,B dan C. Penyakit ini sangat

mudah

menular. Cara penularannya bisa melalui bersin, batuk, atau bercakap-cakap dengan penderita. Gejalanya bervariasi tergantung 2

pada ketahanan tubuh penderita, mulai dari demam dengan suhu tubuh mencapai 39oC , batuk, pilek, dan bersin (Nashrullah, Supriyono, & Kharis, 2013). c.

Parasit Parasit hidup dalam organisme hidup lain, termasuk kelompok parasit adalah protozoa, cacing dan arthropoda. Penyakit akibat parasit merupakan penyakit endemic yang dapat ditemukan di berbagai tempat di Indonesia khususnya parasit yang menyerang usus. Hal ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat, khususnya pada anak-anak yang masih dalam usia sekolah dasar.

Infeksi parasit usus yaitu cacing dan protozoa

merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Cacing usus yang banyak ditemukan adalah soil transmitted helminths (cacing yang ditularkan melalui tanah) yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang, sedangkan protozoa adalah Giardia lamblia dan Blastocystis hominis (Tangel & Tuda, Josep S.BPijoh, 2016). d.

Jamur Ada beberapa jenis jamur yang bersifat patogen sehingga menyebabkan beberapa jenis penyakit infeksi seperti penyakit kandidiasis invasif. Kandidiasis invasif (KI) adalah bentuk infeksi berat dan invasif yang disebabkan oleh spesies jamur Candida. Penyakit ini dapat bermanifestasi sebagai kandidemia, kandidiasis diseminata, endokarditis, meningitis, endoftalmitis, dan infeksi pada organ dalam lainnya. Bentuk infeksi Candida yang lebih ringan dan superfisial, seperti kandidiasis orofaringeal dan esofageal, tidak termasuk didalamnya. Spesies Candida penyebab KI tersering adalah C. albicans, namun saat ini terdapat peningkatan proporsi spesies Candida non albicans yang menjadi penyebab KI, yaitu C. tropicalis, C. parapsilosis dan jenis 3

Candida yang lain (Kemal Fariz Kalista, Lie Khie Chen, Retno Wahyuningsih, 2017). 3. Faktor Risiko Menurut WHO (2009), faktor risiko penyakit ada beberapa yakni : a.

Kepadatan Kepadatan yang tinggi memberikan peluang yang lebih besar untuk kontak antara orang yang mudah terinfeksi kepada orang yang sehat serta menyebabkan penularan yang lebih cepat. Penyakit – penyakit yang disebabkan akibat kepadatan yang tinggi seperti penyakit airborne droplet disease seperti measles, meningitis, ARI, dan TB, ada juga fecal-oral disease seperti shigella dan cholera.

b.

Tempat tinggal yang tidak memadai Tempat tinggal yang tidak memadai seperti rumah yang tidak tertutup sepenuhnya akan menyebabkan tingginya paparan terhadap asap, sehingga tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan ARI (Acute Respiratory Infection), ataupun tingginya paparan terhadap vector-vektor penyebab infeksi yang berasal dari luar rumah.

c.

Asupan nutrisi yang tidak mencukupi Asupan nutrisi yang tidak mencukupi akan menyebabkan malnutrisi, seseorang yang terkena malnutrisi akan memiliki imunitas yang rendah sehingga besar kemungkinan untuk terkena penyakit infeksi.

d.

Air, sanitasi, dan kebersihan yang buruk Air, sanitasi, dan kebersihan yang buruk akan menyebabkan faecal-oral disease dan vector-borne disease. Faecal-oral disease contohnya. Selain itu, penularan penyakit pada manusia melalui vektor berupa serangga dikenal sebagai vector-borne disease. Banyaknya air yang tergenang serta sanitasi yang buruk memicu timbulnya

vector-borne 4

disease

karena

larva

nyamuk

membutuhkan

air

untuk

melengkapi

pertumbuhannya.

Penanganan air limbah yang tidak tepat dan drainase air hujan yang tidak memadai memberikan suatu habitat yang ideal untuk nyamuk dan meningkatkan resiko terjadinya KLB penyakit bawaan vektor. e.

Pemberian vaksin Vaksin adalah suatu zat yang merupakan suatu bentuk produk biologi yang diketahui berasal dari virus, bakteri atau dari kombinasi antara keduanya yang dilemahkan. Vaksin diberikan kepada individu yang sehat guna merangsang munculnya antibodi atau kekebalan tubuh guna mencegah dari infeksi penyakit tertentu. Imunisasi memberikan perlindungan kekebalan terhadap penyakit secara spesifik tergantung jenis vaksin yang diberikan. Imunisasi memberi perlindungan penyakit tertentu sesuai jenis vaksinnya, misalnya vaksin HB untuk mencegah Hepatitis B dan vaksin DPT untuk mencegah difteri, pertusis dan tetanus (Kemenkes, 2018).

f.

Kurangnya / keterlambatan perawatan Keterlambatan perawatan akan menyebabkan peningkatan CFR (Case Fatality Rate), sehingga jumlah korban akibat penyakit infeksi akan terus meningkat.

4. Patofisiologi Penyakit Infeksi Pada tubuh manusia, misalnya dalam saluran cerna, sel pelapis tak terelakkan terpapar kerusakan mekanis oleh bahan makanan dan sel-sel tersebut akan diganti secara berkesinambungan. Konjungtiva, saluran cerna, saluran nafas, dan saluran urogenital merupakan "jalan masuk" infeksi mikroorganisme. Penetrasi melaluinya lebih mudah daripada melalui kulit. Selama proses evolusi terbentuklah upaya-upaya bersifat anti-mikroba untuk menghadapi bahaya tersebut, juga sistem pembersihan yang menjaga tetap bersihnya konjungtiva dan saluran nafas sehingga dapat bekerja sesuai dengan fungsinya. Agar dapat 5

mengadakan kolonisasi atau penetrasi, mula-mula mikroorganisme harus mengadakan penempelan. Penyakit-penyakit infeksi yang dikenal hampir semuanya melalui saluran nafas dan saluran cema. Infeksi dibagi dalam 3 kelompok : a. Infeksi yang mana mikroorganisme mempunyai mekanisme khusus untuk menempel pada permukaan tubuh dan kadang-kadang mengadakan penetrasi pada hospes sehat dan normal. b. Mikroorganismem memasuki tubuh hospes sehat melalui gigitan artropoda

(malaria

dll),

mikroorganisme

ini

mempunyai

mekanisme khusus dan tergantung artropodanya untuk memasuki tubuh hospes. c. Meliputi lnfeksi yang mana mikroorganismenya sendiri tidak mampu menginfeksi pejamu. Harus terjadi kerusakan dahulu dan menurunnya pertahanan permukaan tubuh, seperti luka kulit, "kerusakan" saluran nafas akibat mikroba kelompok 1, atau terdapat abnormalitas saluran kemih yang mengganggu fungsi urine membilasi dan membersihkan (infeksi oportunistik). Terdapat juga mikroorganisme yang mampu menimbulkan penyakit tanpa melakukan penetrasi permukaan tubuh dan mencapai jaringan tubuh. Vibrio Kolera mengsekresi bahan toksik yang

bekerja

lokal

dan

menyebabkan

penyakit.

Kuman

"melakukan" patogenisitasnya walaupun tetap berada dalam lumen usus. Ada kuman lain, yang menetap di permukaan tubuh dan melepaskan toksin yang menyebabkan penyakit sistemik setelah toksin terabsorpsi (difteria). Pertumbuhan mikroorganisme dalam sel epitel dilakukan dengan bermultiplikasi dalam permukaan epitel pada tempat masuknya mikroorganisme, menyebabkan infeksi yang menyebar dalam epitel dan dikeluarkan langsung ke dunia luar. Hal tersebut adalah bentuk parasitisme mikrobial yang paling sedarhana dan paling langsung. Bila infeksi berkembang 6

dengan cepat, dan "keturunan" mikroba dikeluarkan ke dunia luar dalam beberapa hari, seluruh proses mungkin sudah selesai sebelum respons imun sempat mempengaruhi perjalanan peristiwa. Paling tidak, perlu beberapa hari baru terbentuk antibodi atau sel imun (dalam jurnlah yang cukup) dan berada di tempat infeksi. Begitulal yang terjadi pada berbagai lnfeksi virus respiratoar. Sel epitel mungkin rusak dan timbul respons inflamasi tetapi tidak/hanya sedikit terjadi invasi virus ke jaringan di bawahnya. Infeksi terhenti oleh faktor resistensi non-imunologik dan karena sebagian besar sel lokal telah terinfeksi. Interferon adalah faktor resistensi non-imunologik yang penting. Interferon terbentuk beberapa jam setelah infeksi sel epitel pertama di tempat yang diperlukan, tanpa menunggu respons imun yang tertunda timbulnya. Sejurnlah virus, termasuk campak, secara tidak mencolok menginfeksi melalui saluran nafas, kemudian menyebar secara sistemik ke seluruh tubuh, baru timbul lagi dan menyebabkan infeksi respiratorius yang luas dan dikeluarkan ke dunia luar sesudah masa tunas yang memanjang. Banyak infeksi bakteri (kurang lebih) terbatas pada permukaan epitel. Bakteri seperti gonokokus dan streptokokus mempunyai kemampuan melawan pertahanan tubuh, dan terjadi penyebaran subepitel. Gonokokus menyebabkan infeksi epitel kuboid uretra laki- laki, mencapai jaringan subepitel 3 - 4 hari setelah infeksi, sekret kuningnya terdiri dari sel epitel yang di deskuaminasi, eksudat inflamasi, leukosit dan gonokokus. Penyebaran subepitel ini dapat mernindahkan infeksi ke bagian uretra lain dan ke kelenjar lokal. Kebanyakan bakteri gram negatif, mempunyai kemampuan yang terbatas untuk menpvasi hospes. Pada manusia E.coli dan Ps.aeruginosa

hanya

mampu

menginvasi

bila

pertahanan

terganggu atau bila bakteri masuk secara tidak sengaja ke tempat dalarn tubuh yang sesuai. Kuman-kuman tersebut menyebabkan 7

infeksi sistemik pada penderita yang malnutrisi atau mengalami supresi imun, menyebabkan sepsis uteri pasca keguguran dan bila masuk tubuh melalui alat intravaskular atau kateter. Bakteri gram negatif tertentu melakukan panetrasi ke epitel usus tetapi tidak ke tempat lebih dalam seperti Shigella disentriae dan Salmonellosis non tifoid. Satu atau 2 bakteri gram negatif khusus, mengadakan penetrasi pada epitel usus, memasuki saluran limfe dan menyebar sistemik ke seluruh tubuh dan menyebabkan demam enterik atau demam tifoid. (Salmonella typhi dan paratphi). Beberapa bakteri mengalami hambatan berhubungan dengan suhu (virus rhino), yang mencegah penyebaran lebih lanjut dan terbatas berupa penyebaran lokal. Mycobacterium tertentu (M. ulcerans dan M. murium), masuk kulit manusia melalui abrasi superfisial, terutama di negara beriklim panas, dan menyebabkan ulkus kulit kronik. Infeksi tetap terbatas di kulit karena bakteri tersebut mempunyai suhu tumbuh optimum 30-33°C. Jamur dari kelompok dermatophyta (ringworm, athletesfoot) menginfeksi kulit, kuku dan rambut, tetapi terbatas pada lapisan epitel mati dan terkeratinisasi. Antigen jamur diabsorbsi dari tempat infeksi dan menimbulkan respons imun. Mengapa gagal menginvasi jaringan hidup belum jelas, tetapi faktor yang rawan panas dan dapat didialisis yang terdapat pada serum normal menghambat pertumbuhan jamur tersebut dan menimbulkan resistensi jaringan. Selanjutnya adalah melakukan invasi

subepitel,

setelah

melintasi

lapisan

sel

epitel,

mikroorganisme menghadapi membrana basalis. Membrana basalis ini bekerja sebagai penapis dan agak menghentikan infeksi tetapi integrasinya segera rusak karena inflamasi dan kerusakan sel epitel. Mikroorganisme yang mengadakan invasi mencapai jaringan subepitel dan terpapar pada 3 sistem pertahanan pejamu penting yaitu cairan jaringan, sistem limfe (yang mengarah ke kelenjar limfe) dan sel fagosit. Ketiga mekanisme pertahanan ini 8

sangatlah penting dan mulai bekerja di bagian mana saja dalam tubuh yang terinfeksi. Masing-masing mekanisme tergantung pada respons inflamasi, karena respons ini yang mengarahkan fagosit dan faktor serum ketempat infeksi dan melancarkan sistem pengaliran (drainage) dari tempat tersebut oleh sistem limfatik. Beberapa mikroorganisme terus menyebar ke seluruh tubuh walaupun

terdapat

faktor

antimikroba.

Ada

juga

jenis

mikroorganisme intrasel yang menyebar ke dalam tubuh dengan cara yang berbeda. Agar suatu mikroba intrasel obligat dapat menyebar secara sistemik dari permukaan tubuh, mula-mula harus memasuki darah atau limfe. Ini berarti mendapat jalan ke lumen pembuluh limfe/darah subepitel, baik sebagai mikroorganisme bebas atau masuk sel yang mobile (leukosit) yang akan membawanya ke bagian tubuh yang lain. Mikroorganisme tidak dapat bereplikasi sampai ia mencapai sel rentan dan tidak adanya/kurangnya jumlah sel sedemikian (kecuali di permukaan tubuh) akan mencegah atau sangat menghalangi penyebarannya ke seluruh tubuh. Karena itu virus influenza dan virus rhino, hanya bereplikasi pada permukaan epitel, tetapi tidak dapat menginfeksi lekosit dan tidaklah mungkin bertemu sel rentan dimanapun dalarn tubuh kita bila memasuki pembuluh darah limfe. Virus tertentu (yellow fever, virus polio) menyebar ke seluruh tubuh mencapai organ target yang rentan (hepar, SSP) setelah partikel virus bebas masuk pembuluh di bawah kulit/epitel usus. Virus campak dan kuman tuberkulosis menpfeksi lekosit yang membawanya ke seluruh tubuh ke organ seperti hepar, limpa, kulit dan paru. Sebaliknya, bila mikroba dapat bereplikasi di luar sel dan tidak perlu menemukan sel rentan, secara prinsip kuman dapat bermultiplikasi secara lokal, dalam darah dan limfe dan di bagian tubuh apapun yang ditemui. Tetapi, replikasi ekstrasel sendiri mempunyai kerugian besar, karenamikroorganisme selamany a" 9

telanjang" dan terpapar terhadap semua kekuatan antimikroba yang dapat dikumpulkan. Sebenarnya, bakteri dan rnikroorganisme lain yang mampu mengadakan replikasi ekstrasel melepaskan berbagai produk

ke

dalam

cairan

sekitarnya,

banyak

diantaranya

menyebabkan inflamasi. Karena itu pembuluh darah mengalami dilatasi, dint sesudah terdapatnya bakteri dalam jaringan dan ini membawa bahan antibakteri seperti globulin imun dan lekosit ke tempat infeksi. Pembuluh limfe juga mengalami dilatasi dan membawa mikroorganisme yang meng~nfeksi ke kelenjar limfe agar terpapar lebih lanjut terhadap kekuatan antibakteri dan kekuatan imun. Sebaliknya, mikroorganisme intrasel, walaupun terpapar terhadap mekanisme pertahanan sel yang terinfeksi, langsung terpapar terhadap pertahanan tubuh umum hanya selama transit dari satu sel yang terinfeksi ke sel lain. Tetapi, bila sel terinfeksi dikenal seperti apa adanya oleh pertahanan umum, selnya

dapat

dihancurkan.

Sejumlah

bakteri,

seperti

Mycobacterium tuberculosis, Salmonella typhi atau Brucella abortus, melakukan sebagian besar multiplikasinya di dalam makrofag yang "memakannya". Walaupun bakteri tersebut bukan parasit intrasel obligat, medan pertempuran diteruskan antara pejamu dan mikroba bergeser ke dalam sel. Pertempuran diteruskan dalam makrofag yang terinfeksi, kekuatan antimikroba dm partisipasinya dalam pelaksanaan pertahanan imun menjadi sangat penting (IDAI, 2015). Selajutnya adalah respon inflamasi, inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2012). Inflamasi (peradangan) adalah reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Secara 10

sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel (Robbin, Kumar, & Cotran, 2012). Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang terkena cedera atau terinvasi agar dapat mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan agen yang masuk, membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk

mengalami

inflamasi

terjadi

penyembuhan dalam

tiga

(Corwin,

fase

dan

2009).

Respons

diperantarai

oleh

mekanismeyang berbeda : a. fase akut, dengan ciri vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler. b. reaksi lambat, tahap subakut dengan ciri infiltrasi sel leukosit dan fagosit. c. fase proliferatif kronik, dengan ciri terjadinya degenerasi dan fibrosis (Fredy, Wilmana, & Gan, 2011). 5. Gejala dan Tanda Infeksi Dalam proceeding conference oleh Widjajanto (2014) yang berisikan tanda-tanda serta gejala infeksi (peradangan) oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup pada abad pertama sesudah Masehi, sudah dikenal dan disebut tanda-tanda infeksi utama. Tanda-tanda infeksi ini masih digunakan hingga saat ini. Tanda-tanda infeksi mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit), dan tumor (pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir yaitu functio laesa (perubahan fungsi) (Abrams, 1995; Rukmono, 1973; Mitchell & Cotran, 2003) a.

Dolor

11

Dolor adalah perasaan nyeri, nyeri akan terasa pada jaringan yang mengalami infeksi. Hal ini terjadi karena sel yang mengalami infeksi bereaksi mengeluarkan zat tertentu sehingga menimbulkan nyeri. Rasa nyeri mengisyaratkan bahwa terjadi gangguan atau sesuatu yang tidak normal. b.

Kalor Kalor adalah rasa panas, pada daerah yang mengalami infeksi akan terasa panas. Hal ini terjadi karena tubuh mengkompensasi aliran darah lebih banyak ke area yang mengalami infeksi untuk mengirim lebih banyak antibody dalam melawan antigen atau penyebab infeksi.

c.

Tumor Tumor dalam kontek gejala infeksi ini bukanlah sel kanker seperti yang umum. Tumor disini adalah pembengkakan. Pada area yang mengalami infeksi akan mengalami pembengkakan karena peningkatan permeabilitas sel dan peningkatan aliran darah.

d.

Rubor Rubor adalah kemerahan, hal ini terjadi pada area yang mengalami infeksi karena peningkatan aliran darah ke area tersebut sehingga menimbulkan warna kemerahan.

e.

Fungsio Laesa Fungsio laesa adalah perubahan fungsi dari jaringan yang mengalami infeksi. Misalnya jika luka di kaki mengalami infeksi maka kaki tidak akan berfungsi dengan baik seperti sulit berjalan atau bahkan tidak bisa berjalan.

6. Prognosis Prognosis penyakit infeksi bervariasi, sebagai contoh malaria, suatu penyakit infeksi parasit yang sering mengenai anak anak, malaria ini disebabkan oleh P. vivax yang pada umumnya baik. P. malariae dapat berlangsung lebih lama (kronik), P. Falciparum tanpa penyulit 12

berlangsung sampai 1 tahun, apabila dengan penyulit, maka prognosisnya menjadi buruk bila tidak ditangani secara cepat dan tepat, bahkan dapat meninggal terutama pada gizi buruk (Soegijanto, 2016). Selain itu ada juga penyakit infeksi lain seperti

sepsis

bakterialis pada neonates yang juga memiliki prognosis bervariasi, yakni

dengan adanya trombositopenia angka kematian sepsis

neonatorum akan meningkat (Iskandar, Rosari, & Yuliarto, 2018). B. Penyakit Non Infeksi 1. Definisi Penyakit non infeksi (non-communicable disease) adalah kondisi medis atau penyakit yang secara definisi tidak menular dan tidak menular di antara orang-orang. NCD telah lama menjadi penyebab utama kematian di negara maju, tetapi bukan lagi masalah kesehatan yang terbatas di negara berpenghasilan tinggi saja. Laporan Organisasi Kesehatan

Dunia

(WHO)

dan

banyak

statistik

internasional

menunjukkan bahwa NCD adalah penyebab utama kematian global. Menurut data Global Health Observatory WHO, NCD menghasilkan 36 juta kematian (63% dari 57 juta kematian total) pada 2008. Yang mengkhawatirkan, NCD sekarang menjadi penyebab utama kematian di sebagian besar negara berpenghasilan rendah dan menengah. Lebih serius, beban NCD meningkat lebih cepat di negara dan populasi berpenghasilan rendah. Pada tahun 2008, empat perlima dari kematian akibat NCD terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, dan sepertiga dari kematian ini menewaskan orang berusia kurang dari 60 tahun. Empat jenis utama NCD adalah penyakit kardiovaskular, kanker, penyakit paru-paru kronis, dan diabetes, yang masing-masing menyebabkan 17 juta, 7,6 juta, 4,2 juta, dan 1,3 juta kematian, pada 2008 (Kim & Oh, 2013).

13

2. Etiologi Penyebab – penyebab untuk masing-masing penyakit non-infeksi atau biasa disebut juga NCD beragam dan berbeda-beda. Sebagai contoh adalah hipertensi, yang masuk ke dalam daftar kelompok penyakit non-infeksi dan memiliki keberlangsungan yang cukup lama, selain itu hipertensi juga bias menyerang anak-anak dengan prevalensi 2%-4%, memang tidak begitu signifikan, tetapi apabila tidak diatasi dapat memicu penyakit di masa mendatang (Bell, Samuel, & Samuels, 2019). Hipertensi tidak bisa diterangkan hanya dengan satu penyebab saja, pada akhirnya kesemuanya itu akan menyangkut kendali natrium (Na) di ginjal sehingga tekanan darah meningkat (Kaplan, 2010). Hipertensi disebut primer apabila penyebabnya tidak diketahui (90%), bila ditemukan sebabnya disebut sekunder (10%), penyebabnya antara lain penyakit, seperti penyakit ginjal kronik, sindroma cushing, koarktasi aorta, obstructive sleep apnea, penyakit paratiroid, feokromositoma, aldosteronisme primer, penyakit renovaskular, serta penyakit tiroid, ada juga penyebab berupa obat-obatan, dan yang paling sering berupa prednisolon, fludrokortison, dan triamsinolon. Selanjutnya adalah makanan, makanan yang mengandung sodium, etanol dan licorine sering memicu hipertensi. Obat jalanan yang mengandung bahan – bahan seperti cocain, cocain withdrawal, ephedra alkaloids juga menjadi penyebab hipertensi (DiPiro et al., 2011). Penyakit non-infeksi lainnya adalah kanker. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 (Riskesdas) menunjukkan prevalensi kanker anak umur 0-14 tahun sekitar 16.291 kasus. Sementara jenis kanker yang paling banyak diderita anak di Indonesia yaitu Leukemia dan kanker bola mata (Retinoblastoma) (Kemenkes, 2016). Etiologi leukemia pada manusia belum diketahui secara pasti, tetapi pada penelitian mengenai proses leukemogenesis pada binatang percobaan ditemukan bahwa penyebabnya

mempunyai

kemampuan 14

melakukan

modifikasi

deoxyribo nucleic acid (DNA), dan kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu kondisi genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi dan mutasi onkogen seluler (Iswandi, 2013). Pada dasarnya etiologi penyakit non-infeksi sangat beragam, mulai dari terjadinya defek sekresi insulin pada pancreas yang dialami pada penderita diabetes mellitus, blockade pembuluh darah (arteri koroner) dalam mensuplai darah dan oksigen pada otot-otot jantung yang terjadi pada penderita jantung koroner, asap yang berasal dari rokok serta polusi udara pada

pasien COPD (Chronic Obstructive Pulmonary

Disease), kolesterol dan trigliserid merupakan komponen berlemak yang tersimpan pada pembuluh darah serta menghalangi aliran pembuluh darah dan ini menjadi penyebab peningkatan kolesterol di dalam tubuh, penyumbatan pada dinding pembuluh darah seringkali terjadi karena pembekuan darah juga menjadi penyebab stroke

3. Faktor Risiko Faktor risiko Penyakit non infeksi (non-communicable disease) menurut Kim & Oh (2013) adalah : a)

Penggunaan Tembakau Merokok sudah lama menjadi penyebab NCD terbesar. Menurut suatu penelitian yang dilakukan oleh Kim & Oh (2013) di Korea didapatkan hasil bahwa faktor risiko yang disebabkan oleh kebiasaan merokok diperkirakan menjadi penyebab 73% kematian akibat kanker paru-paru, 32% karena kanker lambung, 15% untuk karena kanker hati dan 24% karena kanker pankreas. Sebuah studi tambahan melaporkan bahwa merokok dikaitkan dengan 41% penyebab penyakit jantung koroner dan 26% penyebab stroke pada pria Korea. Data Korea menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama yang dapat dimodifikasi untuk diabetes tipe 2. Merokok dikaitkan dengan 15

kejadian dan kematian penderita diabetes, dan berhenti merokok telah terbukti mengurangi risiko diabetes di kalangan perokok . Selain itu, merokok adalah faktor yang paling berkontribusi dalam perkembangan penyakit paru-paru kronis. Di antara pria dewasa Korea, tingkat merokok telah menurun dari 79% pada 1980 menjadi 67% pada 1998 dan 45% pada 2007, tetapi sejak itu tidak menurun lagi. Tingkat merokok pada wanita dewasa belum banyak berubah. b)

Konsumsi Alkohol Konsumsi alkohol dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit hati kronis, gagal jantung, dan beberapa jenis keganasan. Meskipun konsumsi alkohol moderat telah terbukti berhubungan dengan penurunan kejadian kardiovaskular dan mortalitas, konsumsi alkohol yang berlebihan dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah dan stroke hemoragik.

c)

Kegemukan dan Obesitas Kelebihan berat badan atau obesitas adalah faktor risiko penting

untuk

keempat

NCD

utama

termasuk

penyakit

kardiovaskular, kanker, diabetes, dan penyakit paru-paru kronis. Selain itu, obesitas adalah faktor risiko diabetes dan resistensi insulin. Prevalensi obesitas dan diabetes meningkat secara bersamaan di wilayah Korea. Kanker kolorektal dan kanker payudara pada wanita meningkat sebagai dua penyebab utama kematian akibat kanker, dan obesitas adalah faktor risiko utama yang dapat dimodifikasi dari kedua keganasan ini. Selain itu, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa obesitas dan penyakit paru-paru kronis saling terkait. Saat ini, sekitar sepertiga orang dewasa di wilayah Korea memiliki indeks massa tubuh (BMI) lebih tinggi dari 25,0 kg / m2. Antara 1998 dan 2011, prevalensi BMI tinggi (≥25,0 kg / m2) meningkat dari 29% menjadi 34% di antara orang dewasa berusia 30 tahun atau lebih. Selama periode 16

yang sama, prevalensi BMI tinggi meningkat dari 15% menjadi 22% di antara orang berusia 19 hingga 29 tahun. Demikian pula di banyak negara maju lainnya, kelebihan berat badan meningkat lebih tajam di antara orang berpenghasilan rendah daripada orang kaya. Selain itu, obesitas meningkat pada pria dari semua kategori pendapatan, meskipun peningkatannya sedikit lebih besar pada pria dengan pendapatan rumah tangga yang lebih rendah. Sebaliknya, prevalensi BMI yang tinggi meningkat pesat dari 26% menjadi 34% pada wanita dengan kuartil berpenghasilan terendah, tetapi menurun dari 25% menjadi 22% pada wanita dengan kuartil berpenghasilan tertinggi. d)

Kemalasan Fisik Ketidakaktifan fisik adalah faktor risiko utama keempat, dan telah terbukti berhubungan dengan kardiovaskular dan mortalitas kanker, serta semua penyebab kematian. Selain itu, aktivitas fisik adalah faktor risiko yang diketahui untuk obesitas, sindrom metabolik, dan penyakit kardiovaskular. Data pada suatu penelitian di Korea juga menunjukkan bahwa peningkatan kadar aktivitas fisik secara signifikan terkait dengan penurunan risiko komponen

abnormal

sindrom

metaboli.

Menurut

laporan

KNHANES, persentase orang Korea yang berolahraga dengan intensitas sedang hingga tinggi, termasuk berjalan, secara signifikan menurun pada pria Korea (dari 71,4% pada 2005 menjadi 50,6% pada 2011) dan wanita (dari 65,7% pada 2005 ke 42,6% pada tahun 2011). Ketidakaktifan fisik juga berbeda berdasarkan usia dan jenis kelamin. Jumlah aktivitas fisik tertinggi ditunjukkan pada pria dan wanita di usia 20-an, sementara pria di usia 40-an dan wanita di usia 70-an atau lebih tua menunjukkan jumlah aktivitas fisik terendah. e)

Tekanan Darah Tinggi

17

Tekanan darah tinggi adalah faktor risiko stroke yang paling berkontribusi, dan salah satu faktor risiko utama penyakit jantung koroner. Hipertensi terkait erat dengan diabetes tipe 2, meskipun

tidak

jelas

apakah

hipertensi

secara

langsung

meningkatkan risiko diabetes. Namun, ada beberapa bukti yang mendukung bahwa hipertensi berhubungan dengan risiko jenis kanker tertentu. f)

Kolesterol Darah Tinggi Kadar kolesterol darah tinggi atau hiperkolesterol adalah faktor risiko utama penyakit kardiovaskular aterosklerotik termasuk penyakit jantung koroner dan stroke iskemik, serta penyakit arteri perifer. Kadar kolesterol tinggi telah dilaporkan dikaitkan dengan beberapa jenis keganasan termasuk kanker payudara, kanker usus besar, atau kanker prostat, meskipun hubungan kolesterol-kanker masih belum jelas. Kolesterol darah tinggi dan diabetes diketahui berkorelasi satu sama lain, namun tidak jelas apakah hiperkolesterolemia berkontribusi terhadap perkembangan

diabetes.

Namun,

semakin

banyak

bukti

menunjukkan bahwa kadar trigliserida tinggi dan kadar kolesterol lipoprotein densitas tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2. 4. Patofisiologi Penyakit Non Infeksi

5. Gejala Klinis Gejala klinis pada setiap penyakit berbeda-beda. Poliuri (buang air kecil yang terus menerus), polidipsi (haus yang berlebihan), kehilangan berat badan, polifagi (sering lapar, sehingga makan berlebihan), serta penglihatan yang sering kabur merupakan beberapa gejala dari diabetes mellitus yang mana termasuk dalam kategori penyakit non-infeksi. Kemudian ada juga penyakit arteri koroner yang memiliki gejala berupa nyeri dada (angina), khususnya pada bagian 18

kiri, nyeri biasanya mengarah atau menjalar sampai ke lengan kiri, leher atau perut bagian atas. Selain itu ada keluhan berupa kesulitan bernafas, nausea, atau ditemukan adanya episode pingsan. Namun ada juga yang tidak memberikan gejala yang nyata, seperti hipertensi, sehingga sering disebut sebagai “silent killer”. Ada juga beberapa tanda lain seperti meningkatnya sesak napas. Awalnya, sesak napas berkembang hanya saat aktivitas, tetapi kemudian dapat terjadi bahkan saat istirahat, hal ini sering terjadi pada penderita COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease), pasien COPD juga ditemukan batuk dan mengeluarkan sputum serta mengalami pemburukan gejala yang parah pada interval berkala, biasanya selama musim dingin dan selama infeksi (WHO, 2011). Ada beberapa penyakit NCD yang tergolong menakutkan untuk anak kecil seperti kanker, beberapa tanda kanker pada anak seperti pucat, memar/pendarahan dan nyeri tulang, terlihat adanya benjolan atau pembengkakan yang tidak nyeri dan tanpa demam, penurunan berat badan atau demam tanpa sebab yang jelas, batuk yang menetap atau sesak napas dan berkeringat di malam hari, terdapat perubahan-perubahan yang terjadi pada mata seperti terlihatnya

manik

putih,

juling,

hilangnya

penglihatan

dan

memar/bengkak di sekitar mata, perut yang membuncit, sakit kepala yang menetap atau berat, muntah, yang biasanya terjadi pada pagi hari atau dapat memburuk dari hari ke hari, nyeri pada tangan, kaki atau tulang sehingga mengalami pembengkakan tanpa riwayat trauma atau infeksi (Kemenkes, 2016). 6. Prognosis

C. --------------------------------------------------------------------------------------

IX.

Kerangka Pemikiran

19

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran X.

Hipotesis

20

Related Documents

Bab 2
June 2020 19
Bab 2
May 2020 26
Bab 2
May 2020 40
Bab 2
June 2020 23
Bab 2
April 2020 32
Bab 2
April 2020 37

More Documents from ""