Bab 2 Ppok.docx

  • Uploaded by: Meilinda Tri Ratnasari
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 2 Ppok.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,860
  • Pages: 21
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Sistem Pernapasan Pernapasan secara harfiah berarti pergerakan oksigen (O2) dari atmosfer menuju ke sel dan keluarnya karbon dioksida (CO2) dari sel ke udara bebas. Pemakaian O2 dan pengeluaran CO2 diperlukan untuk menjalankan fungsi normal sel dalam tubuh, tetapi sebagian besar sel-sel tubuh tidak dapat melakukan pertukaran gas-gas langsung dengan udara, karena sel-sel tersebut letaknya sangat jauh dari tempat pertukaran gas tersebut. Karena itu, sel-sel tersebut memerlukan struktur tertentu untuk menukar maupun untuk mengangkut gas-gas tersebut (Price & Wilson, 2005).

Gambar 1. Struktur sistem pernapasan Gambar 1. Anatomi Sistem Pernapasan Sumber: Bernhard Arianto Purba (2011)

1

Secara anatomi, bagian sistem respirasi yang terkena (bermasalah) pada PPOK adalah dinding alveolus.

Gambar 2. Kerusakan dinding alveolus Sumber: Paramasivam (2017)

2

Gambar 3. Tampilan paru-paru sehat dan yang terkena penyakit PPOK Sumber: Ria (2016) Menurut Kepmenkes No. 1022/Menkes/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang dimaksud dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya. Sedangkan menurut PDPI (2003) yang dimaksud dengan PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, sehingga pada penampilan klinis (keluhan dan tanda klinis) yang menonjol adalah gambaran adanya perburukan penyakit dari waktu ke waktu. 2.2 ETIOLOGI Menurut Kepmenkes No. 1022/Menkes/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik, faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang mempengaruhi/menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut, meliputi: a. Faktor pejamu (host) -

Genetik  kurangnya alfa 1 antitripsin (suatu serin protease inhibitor).

-

Hiperesponsif jalan napas  terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi.

-

Pertumbuhan paru  dikaitkan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak, yang mana semua itu berdampak pada penurunan fungsi paru.

b. Faktor perilaku (kebiasaan merokok) - Asap rokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. - Prevalens tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan fungsi paru adalah pada perokok. - Usia mulai merokok, jumlah bungkus pertahun dan perokok aktif

3

berhubungan dengan angka kematian. - Menurut PDPI (2003) kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.

Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan: Riwayat merokok  Perokok aktif  Perokok pasif  Bekas perokok Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah ratarata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun:  Ringan = 0-200  Sedang = 200-600  Berat = > 600 - Asap rokok yang dihisap ke dalam paru oleh perokoknya disebut asap rokok utama (main stream smoke). - Asap yang berasal dari ujung rokok yang terbakar disebut asap rokok sampingan (side stream smoke). - Polusi udara yang ditimbulkan oleh asap rokok utama yang dihembuskan lagi oleh perokok dan asap rokok sampingan disebut Asap Rokok Lingkungan (ARL) atau Environmenttal Tobacco Smoke (ETS). - Kandungan bahan kimia pada asap rokok sampingan ternyata lebih tinggi dibanding asap rokok utama, antara lain karena tembakau terbakar pada temperatur lebih rendah ketika rokok sedang dihisap, membuat pembakaran menjadi kurang lengkap dan mengeluarkan lebih banyak bahan kimia. Oleh karena itu, ARL berbahaya bagi kesehatan dan tidak ada kadar pajanan minimal ARL yang aman. Terdapat sekitar 4.000 zat kimia berbahaya keluar melalui asap rokok tersebut, antara lain terdiri dari aseton (bahan cat), amonia (pembersih lantai), arsen (racun), butane (bahan bakar ringan), kadmium (aki kendaraan), karbon monoksida (asap

4

knalpot), DDT (insektisida), hidrogen sianida (gas beracun), methanol (bensin roket), naftalen (kamper), toluene (pelarut industri), dan vinil klorida (plastik).

Gambar 5. Peranan rokok sebagai faktor risiko PPO

Sumber: Paramasivam (2017)

5

Gambar 6. Merokok dan perubahan terkait usia terhadap parameter fisiologis, anatomis, dan imunologis Sumber: Fasitasari (2013) c. Faktor lingkungan (polusi udara) - Polusi udara:  Di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok, asap kompor, briket batu bara, asap kayu bakar, asap obat nyamuk, dll.  Di luar ruangan (outdoor) seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, kebakaran hutan, gunung meletus, polusi di tempat kerja (bahan kimia, debu/zat iritasi, dan gas beracun), dll. - Status sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada rumah tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi.

2.3 Manifestasi Klinis Batuk merupakan keluhan pertama yang biasanya terjadi pada pasien PPOK. Batuk bersifat produktif, yang pada awalnya hilang timbul lalu kemudian berlangsung lama dan sepanjang hari. Batuk disertai dengan produksi sputum yang pada awalnya sedikit dan mukoid kemudian berubah menjadi banyak dan purulen seiring dengan semakin bertambahnya parahnya batuk penderita. Penderita PPOK juga akan mengeluhkan sesak yang berlangsung lama, sepanjang hari, tidak hanya pada malam hari, dan tidak pernah hilang sama sekali, hal ini menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas yang menetap. Keluhan sesak inilah yang biasanya membawa penderita PPOK berobat ke rumah sakit. Sesak dirasakan memberat saat melakukan aktifitas dan pada saat mengalami eksaserbasi akut. Gejala-gejala PPOK eksaserbasi akut meliputi: -

Batuk bertambah berat

-

Produksi sputum bertambah

-

Sputum berubah warna

6

-

Sesak nafas bertambah berat

-

Bertambahnya keterbatasan aktifitas

-

Terdapat gagal nafas akut pada gagal nafas kronis

-

Penurunan kesadaran

Klasifikasi (derajat) PPOK, meliputi: 2.1.1 PPOK ringan - Gejala klinis:  Dengan atau tanpa batuk  Dengan atau tanpa produksi sputum  Sesak napas  derajat sesak 0 samapi derajat sesak 1 - Spirometri:  VEP1 ≥ 80% prediksi (normal spirometri) atau  VEP1/KVP < 70% 2.1.2 PPOK sedang - Gejala klinis:  Dengan atau tanpa batuk  Dengan atau tanpa produksi sputum  Sesak napas  derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas) - Spirometri:  VEP1/KVP < 70% atau  50% < VEP1 < 80% prediksi 2.1.3 PPOK berat - Gejala klinis:  Sesak napas  derajat sesak 3 dan 4 dengan gagas napas kronik  Eksaserbasi lebih sering terjadi  Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan - Spirometri:  VEP1/KVP < 70%  VEP1 < 30% prediksi atau  VEP1 > 30% dengan gagal napas kronik

7

- Gagal napas kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa gas darah, dengan kriteria:  Hipoksemia dengan normokapnia  Hipoksemia dengan hiperkapnia

Gambar 7. Perbedaan klinis pada PPOK, asma bronkial, dan gagal jantung kronik Sumber: Kepmenkes (2008) Menurut PDPI (2003) kriteria PPOK, meliputi: a. PPOK stabil - Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik. - Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg. - Dahak jernih tidak berwarna. - Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri). - Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan. - Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan.

8

b. PPOK eksaserbasi akut - Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. - Gejala eksaserbasi:  Sesak bertambah  Produksi sputum meningkat  Perubahan warna sputum - Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga:  Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas.  Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas.  Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline. - Penyebab eksaserbasi akut  Primer:  Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)  Sekunder:  Pnemonia  Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia  Emboli paru  Pneumotoraks spontan  Penggunaan oksigen yang tidak tepat  Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat  Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)  Nutrisi buruk  Lingkungan memburuk/polusi udara  Aspirasi berulang  Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi).

9

Jika dilihat kembali pada Case Study 1, penyebab dari eksaserbasi pada PPOK yang dialami oleh klien saat ini adalah karena pneumonia, yang mana hal ini menyebabkan klien mengalami sesak napas berat disertai batuk berdahak dengan produksi kental dan banyak. Penyebab dari perburukan ini, tidak hanya karena pneumonia, melainkan riwayat perilaku atau kebiasaan klien di masa lalu (merokok). Perlunya pengkajian yang lebih spesifik lagi mengenai hal tersebut.

2.4 Penatalaksanaan Penatalaksanaan Medis Pengobatan untuk PPOK bertujuan untuk meredakan gejala dan mencegah komplikasi. Sebagian besar pasien menerima bronkodilator beta-agonis (albuterol [Proventil HFA] atau salmeterol), bronkodilator antikolinergik (ipratropium [Atrovent]), dan kortikosteroid (beclomethasone [Beconase AQ]). Obat ini biasanya diberikan dengan inhaler dosis terukur (Comerford, 2012). Penatalaksanaannya yaitu : 

Berikan antibiotik untuk mengobati infeksi saluran pernapasan. Pada pasien eksaserbasi, PPOK harus segera ditangani, terutama jika pasien dalam tahap parah. Beberapa pasien diberikan resep untuk antibiotik dan diperintahkan untuk mulai meminumnya ketika gejala pertama atau tanda-tanda eksaserbasi terjadi.



Berikan oksigen dalam konsentrasi rendah. Terapi O2 sering digunakan dalam perawatan PPOK dan masalah lain yang terkait dengan hipoksemia. Terapi O2 meningkatkan kelangsungan hidup dan meningkatkan kapasitas aktivitas dan status mental pada pasien hipoksemik.



Periksa kadar AGDA secara teratur untuk menentukan kebutuhan oksigen dan untuk menghindari narkosis karbon dioksida. Kemoreseptor dalam pernapasan pusat yang mengendalikan dorongan untuk bernapas merespons CO2 dan O2. Biasanya, akumulasi CO2 adalah stimulan utama pusat pernapasan. Seiring waktu, beberapa pasien PPOK berkembang toleransi untuk kadar CO2 yang tinggi (pusat pernapasan kehilangan sensitivitasnya terhadap peningkatan kadar

10

CO2). Sehingga scara teoritis, untuk individu ini "dorongan" untuk bernapas adalah hipoksemia. Jadi ada bahaya pemberian O2 tinggi untuk penderita PPOK karena akan mengurangi dorongan untuk bernafas. Namun, "dorongan hipoksia" ini rumit dan melibatkan faktor-faktor lain, termasuk ventilasi dan perfusi. Selain itu, tidak semua pasien dengan COPD mempertahankan CO2. Perhatian utama adalah tidak menyediakan oksigen yang cukup untuk ini pasien, karena ini jauh lebih merugikan karena mungkin menyebabkan hipoksia. Jauh lebih mudah untuk membalikkan CO2 yang tinggi daripada O2 rendah. Meskipun administrasi O2 harus dititrasi ke dosis efektif terendah, banyak pasien yang menderita COPD stadium akhir membutuhkan laju aliran tinggi dan konsentrasi lebih tinggi untuk bertahan hidup. Mereka mungkin menunjukkan kadar CO2 yang lebih tinggi dari normal darah. Yang penting adalah penilaian yang cermat dan berkelanjutan saat memberikan O2 untuk pasien. Sangat penting untuk memulai O2 pada laju aliran rendah sampai hasil AGDA diperoleh. 

Evaluasi X-Ray, hitung kecepatan dan observasi irama pernapasan pasien.



Hentikan merokok. Penghentian merokok pada pasien PPOK adalah intervensi paling penting. Semakin cepat perokok berhenti, semakin sedikit fungsi paru yang hilang dan semakin cepat terjadinya penurunan gejala, terutama batuk dan produksi dahak.



Terapi obat. Obat untuk PPOK dapat mengurangi gejala, meningkatkan kapasitas aktivitas, meningkatkan kesehatan secara keseluruhan, dan mengurangi resiko dan tingkat keparahan eksaserbasi. Bronkodilator adalah terapi obat untuk melemaskan otot-otot polos di jalan napas dan meningkatkan ventilasi paru-paru, sehingga mengurangi derajatnya sesak napas. Tetapi, pada pasien PPOK terapi bronkodilator tidak menimbulkan efek dramatis seperti pada penderita asma. Namun, terapi bronkodilator dapat mengurangi dispnea dan meningkatkan FEV1. Obat diberikan secara bertahap sesuai dengan tingkat obstruksi aliran udara yang ditentukan dari spirometri (FEV1) dan gejala. Dosis

11

obat biasanya ditingkatkan jarang diturunkan, karena seperti pada asma, pasien PPOK akan menunjukkan gejala terus menerus. (Comerford, 2012 & Lewis, et al., 2014). Penatalaksanaan Keperawatan Penatalaksanaan keperawatan disesuaikan dengan pengkajian kondisi pasien sesuai dengan proses asuhan keperawatan. Salah satu peran perawat yang penting adalah memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga dengan tujuan untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi. Berikut ini adalah edukasi yang dapat diberikan : 

Dorong pasien untuk berhenti merokok dan untuk menghindari pemicu iritasi pernapasan lainnya. Sarankan agar menggunakan AC dengan saringan udara.



Jelaskan bahwa tujuan bronkodilator untuk meringankan bronkospasme dan meningkatkan pembersihan sekresi mukosiliar. Ajarkan atau perkuat metode yang benar dalam menggunakan inhaler.



Untuk memperkuat otot-otot pernapasan, ajarkan pasien latihan napas dalam.



Ajari pasien cara batuk efektif untuk membantu mengeluarkan sekresi. Jika sekresi kental, dorong pasien untuk mempertahankan hidrasi yang adekuat.



Jika pasien akan melanjutkan terapi oksigen di rumah, ajari cara menggunakan peralatan dengan benar.

(Comerford, 2012).

a. Pemeriksaan Penunjang Spirometri Studi fungsi paru dengan Spirometri digunakan untuk membantu mengkonfirmasi diagnosis PPOK, menentukan tingkat keparahan penyakit, dan memantau perkembangan penyakit. Spirometri digunakan untuk mengevaluasi obstruksi aliran udara, yang ditentukan oleh rasio FEV1 terhadap Forced Vital Capacity (FVC). Hasil spirometri dinyatakan sebagai volume absolut dan sebagai persentase dari nilai prediksi menggunakan nilai normal yang sesuai untuk jenis kelamin, usia, dan tinggi badan. 12

Dengan adanya obstruksi, pasien mengalami kesulitan menghembuskan napas atau tidak dapat mengeluarkan udara secara paksa dari paru-paru, mengurangi FEV1. Spirometri juga digunakan untuk menentukan reversibilitas obstruksi setelah penggunaan bronkodilator (GOLD, 2008). Setelah spirometri awal dilakukan, pasien diberikan bronkodilator inhalasi sesuai dengan protokol standar, lalu dilakukan spirometri ulang. Pasien akan menunjukkan derajat reversibilitas jika nilai fungsi paru membaik setelah pemberian bronkodilator. Bahkan pasien yang tidak menunjukkan respons yang signifikan terhadap tes bronkodilator short-acting dapat merasakan gejala dari perawatan bronkodilator untuk jangka panjang. Pengukuran gas darah arteri juga dapat diperoleh untuk menilai oksigenasi awal dan pertukaran gas (Smeltzer, et al., 2010). X-Ray Karena jaringan paru normal adalah radiolusen, maka benda asing, infiltrat, cairan, tumor, dan kelainan lainnya muncul sebagai kepadatan (area putih) pada rontgen toraks. Evaluasi X-ray berguna saat dibandingkan dengan film pasien sebelumnya, yang memungkinkan ahli radiologi untuk mendeteksi adanya perubahan. Tetapi X-Ray toraks tidak bisa memberikan diagnosis pasti untuk PPOK ringan hingga sedang. Meski begitu, X-Ray bisa menunjukkan lokasi dan ukuran lesi serta identifikasi kelainan struktural yang mempengaruhi ventilasi dan difusi. Contoh kelainan yang terlihat pada X-ray yaitu pneumotoraks, fibrosis, atelektasis, dan infiltrate (Comerford, 2012). CT-Scan CT scan toraks memberikan pandangan cross-sectional toraks dengan menembakkan sinar-X dari computer pemindai melewati tubuh pada berbagai sudut dan kedalaman. CT scan memberikan gambar tiga dimensi dari paru-paru, memungkinkan dokter untuk menilai kelainan pada konfigurasi trakea, bronkus mayor, evaluasi massa atau lesi seperti tumor dan abses, serta bayangan paru yang abnormal (Comerford, 2013). CT Scan tidak rutin dilakukan dalam mendiagnosa

13

PPOK, tetapi CT-Scan dapat membantu dalam diagnosis banding (Smeltzer, et al., 2010)

Studi Darah dan Dahak Analisa Gas Darah (AGDA) Dokter biasanya akan menginstruksikan pemeriksaan AGDA sebagai salah satunya tes pertama untuk menilai status pernapasan karena membantu mengevaluasi pertukaran gas di paru-paru. AGDA mencakup beberapa indikator : 

Indikasi konsentrasi ion hidrogen dalam darah, pH menunjukkan keasaman atau kebasaan darah



Dikenal sebagai parameter pernapasan, partial pressure of arterial carbon dioxide (PaCO2), mencerminkan kecukupan ventilasi paru-paru dan eliminasi karbon dioksida



Partial pressure of arterial oxygen (PaO2), mencerminkan kemampuan tubuh untuk mengambil oksigen dari paru-paru



Dikenal

sebagai

parameter

metabolik,

level

bikarbonat

(HCO3-),

mencerminkan kemampuan ginjal untuk mempertahankan dan mengeluarkan bikarbonat Sistem

pernapasan

dan

metabolisme

bekerja

bersama

untuk

mempertahankannya keseimbangan asam-basa tubuh dalam batas normal. Jika asidosis respiratorik hadir, ginjal akan mencoba untuk memberikan kompensasi dengan menahan bikarbonat. Karena itu nilai bikarbonat naik di atas normal. Demikian pula, jika asidosis metabolik berkembang, paru-paru mencoba untuk memberikan kompensasi dengan meningkatkan laju pernapasan dan kedalaman untuk menghilangkan karbon dioksida (Comerford, 2012). Analisa Sputum Analisis spesimen dahak (bahan dikeluarkan dari paru-paru dan bronkus panien selama batuk dalam) membantu mendiagnosis penyakit pernapasan,

14

metentukan penyebab infeksi pernapasan (termasuk penyebab virus atau bakteri), mengidentifikasi sel-sel paru yang abnormal, dan mengelola penyakit paru-paru. Spesimen dahak diwarnai dan diperiksa di bawah mikroskop dan, tergantung pada kondisi pasien, terkadang dikultur. Pengujian kultur dan sensitivitas mengidentifikasi mikroorganisme tertentu dan sensitivitas antibiotiknya. Kultur negatif dapat mengindikasikan infeksi virus (Comerford, 2012). 2.5 PATOFISIOLOGI PPOK merupakan kombinasi bronchitis obstruksi kronis, emfisema dan asma. o Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar submukosa pada bronkus utama yang menyebabkan peningkatan produksi mucus o Peningkatan jumlah sel goblet yang juga memproduksi mucus o Terganggunya fungsi silia, sehingga menurunkan pembersihan mucul Kemampuan pertahanan mukosilier paru berkurang, sehingga paru akan lebih muda terinfeksi. Ketika terjadi infeksi, produksi mucus akan menjadi lebih banyak, Serta dinding bronkus akan meradang dan menebal. Bronchitis kronis awalnya hnaya mengenai bronkus besar, namun pada akhirnya seluruh saluran napas akan terlibat. Mucus kental dan inflamasi bronkus akan menghalangi jalan napas, terutama saat ekspirasi. Jalan napas yang tertutup menyebabakan udaraterjebak ke bagian bawah paru. Obstruksi ini menyebabakan ventilasi alveolus berkurang kemudian rasio ventilasi-perfusi V/Q menjadi tidak normal dan berhubungan dengan turunnya PaO2, sebagai kompensasi dari hipeksemia. Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat

15

gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2011). Faktor

risiko

utama

dari

PPOK

adalah

merokok. Komponen-

komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009). Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru.Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak strukturstruktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan

demikian,

apabila

tidak

terjadi recoil pasif,

maka

udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009). Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi

oleh

neutrofil. Asap rokok

menginduksi

makrofag

untuk

melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas,

16

edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).

Etiologi: asap rokok, perokok aktif & pasih

Polusi udara, debu, gas buang kendaraaan bermotor

Polusi ditempat kerja, bahan kimia

Edema, Spasme bronkus, peningkatan secret bronkus

Bersihan jalan napas tidak efektif

Obstruksi bronkiolus awal fase ekspirasi

Udara terperangkap didalam alveolus

Suplai O2 jaringan rendah

Kompensasi kardiovasku ler

hipoksem i

Hipertensi pulmonal Gagal jantung kanan

PaO2 rendah PaCO2 tinggi Ggn metabolism jaringan Metabolis m anaerob

Produksi ATP menurun

Sesak napas, napas pendek

Ggn pertukaran gas Insufisiensi/ga gal napas

Pola napas tidak efektif

Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Deficit energi Lelah, lemah Intoleransi aktivitas

Ggn pola tidur

Kurang perawatan diri

17

2.6 Komplikasi Gagal Napas Akut Gagal Napas adalah komplikasi utama COPD yang mengancam jiwa. Tingkat keparahan gagal napas tergantung pada fungsi paru awal, oksimetri nadi, nilai gas darah arteri, kondisi komorbiditas, dan beratnya komplikasi PPOK lainnya. Gagal napas dapat bersifat kronis (dengan PPOK berat) atau akut (dengan bronkospasme atau pneumonia berat pada pasien dengan PPOK). Gagal napas akut mungkin memerlukan dukungan ventilator sampai komplikasi akut lainnya, seperti infeksi teratasi (Smeltzer, et al., 2010). Pasien PPOK berat dengan eksaserbasi beresiko untuk terjadinya gagal napas. Penghentian bronkodilator atau obat kortikosteroid juga dapat memicu kegagalan pernapasan. Penggunaan obat penenang, benzodiazepin, dan opioid yang tidak tepat, terutama pada pasien pra operasi atau pasca operasi dengan CO2 tinggi, dapat menekan usaha ventilasi yang mengarah pada gagal napas. Pasien PPOK dengan CO2 tinggi biasanya dirawat dengan terapi oksigen aliran rendah dengan pemantauan AGDA untuk menghindari hiperkapnia (Lewis, et al., 2014). Cor Pulmonale Cor pulmonale disebabkan oleh

hipertensi paru, yang disebabkan oleh

penyakit yang mempengaruhi paru - paru atau pembuluh darah paru. Di Amerika Utara, 50% dari kasus cor pulmonale disebabkan oleh PPOK. Cor pulmonale adalah manifestasi akhir dari PPOK, namun tidak semua pasien dengan PPOK mengalami cor pulmonale. Setelah pasien terkena cor pulmonale, biasanya prognosisnya akan memburuk. Pada PPOK, penyebab utama hipertensi paru adalah penyempitan pembuluh darah paru sebagai respons terhadap alveolar hipoksia. Hipoksia alveolar kronis menyebabkan remodeling vaskular. Hipoksia kronis juga merangsang erythropoiesis, yang menyebabkan polisitemia. Ini menghasilkan peningkatan viskositas darah. Pasien-pasien ini akan meningkatkan resistensi pembuluh darah paru dan dengan demikian mengembangkan hipertensi paru (Lewis, et al., 2014).

18

(Lewis, et al., 2014). Ventrikel kanan dan sirkulasi paru adalah sistem dengan tekanan rendah dibandingkan dengan ventrikel kiri dan sirkulasi sistemik. Saat hipertensi paru berkembang, sisi kanan jantung harus meningkatkan tekanan untuk mendorong darah ke paru-paru, lambat laun bisa mengakibatkan gagal jantung kanan. Dyspnea adalah gejala paling umum dari cor pulmonale kronis. Manifestasi lainnya diantaranya distensi vena jugularis, hepatomegaly, edema perifer, dan pertambahan berat badan. Perubahan EKG yang mengindikasikan hipertrofi ventrikel kanan dapat terjadi pada kasus berat. Pengobatan cor pulmonale awalnya ditujukan untuk mengelola PPOK (mis., bronkodilator). Terapi O2 aliran rendah dapat meningkatkan kelangsungan hidup. Diuretik umumnya digunakan, sama dengan penggunaan pada gagal jantung. (Lewis, et al., 2014). Eksaserbasi PPOK Menurut panduan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), PPOK eksaserbasi adalah peristiwa akut dalam perjalanan alami penyakit.

19

Penyebab utama eksaserbasi adalah bakteri atau infeksi virus. Eksaserbasi ditandai oleh adanya perubahan pada dispnea, batuk, dan / atau dahak yang biasa terjadi pada pasien (mis., sesuatu yang berbeda dari pola harian yang biasa). Butuh beberapa minggu bagi seorang pasien untuk pulih dari eksaserbasi. Tanda-tanda klasik eksaserbasi diantaranya peningkatan dispnea, volume dahak, atau purulensi dahak. Pasien juga memiliki keluhan tidak spesifik seperti malaise, insomnia, kelelahan, depresi, kebingungan, penurunan toleransi aktivitas, mengi yang meningkat, atau demam tanpa sebab lain. Dengan meningkatnya keparahan PPOK, bila terjadi eksaserbasi PPOK manifestasinya akan lebih buruk. Eksaserbasi mungkin dirawat di rumah atau di rumah sakit, tergantung pada tingkat keparahannya. Tingkat keparahannya ditentukan oleh riwayat medis pasien sebelum eksaserbasi, adanya penyakit lain, gejala, AGDA, dan tes laboratorium lainnya. Pada pasien PPOKhasil AGDA bisanya menunjukkan asidosis respiratorik kompensasi sebagai tanda pasien telah secara kronis mempertahankan CO2 dan ginjal telah menyimpan HCO3- untuk meningkatkan pH ke dalam kisaran normal. Waspada untuk tanda-tanda keparahan seperti penggunaan otot-otot aksesori pernapasan, sianosis sentral, TD tidak stabil, gagal jantung kanan, dan perubahan orientasi. Bronkodilator short acting, kortikosteroid oral, dan antibiotik adalah terapi khas untuk eksaserbasi. Untuk mempromosikan terlambatnya penanganan dan kemungkinan gagal napas, ajarkan pasien dan keluarga tanda-tanda awal dari tiga gejala kardinal eksaserbasi yaitu peningkatan dispnea, volume dahak, atau purulensi dahak. (Lewis, et al., 2014). Depresi dan Kecemasan Pasien dengan PPOK akan mengalami banyak kehilangan seiring perkembangan penyakit. Karena banyak pasien dengan PPOK mengalami depresi dan kecemasan, kaji keduanya. Tanyakan kepada pasien apakah mereka “merasa sedih” Apakah mereka tampak gelisah karena tidak mampu mengendalikan sesak napasnya atau tidak tahu apa yang harus dilakukan jika mereka mengalami eksaserbasi. Apakah mereka

20

menunjukkan kekhawatiran atas lebih banyak kesulitan dalam kegiatan perawatan diri seperti mandi? Bagaimana keluarga mengatasi masalah penyakit pasien ? Bantu pasien dengan latihan relaksasi otot yang bisa mengurangi kecemasan. Selain itu, ajarkan pasien tentang pengobatan dan penyakit, yang dapat memberi mereka rasa mengendalikan penyakit mereka. Sertakan keluarga pasien dalam pengkajian karena mereka yang akan membantu pasien mengatasi masalah fisik dan emosional. Konsultasi dengan spesialis kesehatan mental mungkin diperlukan pada kasus berat. Obat-obatan dapat digunakan untuk mengobati depresi dan kecemasan. Buspirone (BuSpar), digunakan untuk mengobati kecemasan dan hanya memiliki sedikit efek depresi pernapasan. Benzodiazepine sebaiknya dihindari karena dapat menekan usaha pernapasan (Lewis, et al., 2014).

2.7 Asuhan Keperawatan

21

Related Documents

Bab 2
June 2020 19
Bab 2
May 2020 26
Bab 2
May 2020 40
Bab 2
June 2020 23
Bab 2
April 2020 32
Bab 2
April 2020 37

More Documents from ""