Bab 2 New Ok.docx

  • Uploaded by: ellysa seprina
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 2 New Ok.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,276
  • Pages: 28
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lingkungan Fisik 2.1.1 Definisi Lingkungan Fisik Lingkungan fisik adalah sesuatu yang berada di sekitar para pekerja yang meliputi Cahaya, Warna, udara, suara serta musik yang mempengaruhi

dirinya

dalam

menjalankan

tugas-tugas

yang

dibebankan Moekijat (dalam Restu et all, 2012).

Lingkungan fisik adalah semua keadaan yang terdapat disekitar, seperti suhu

udara, kelembaban udara, sirkulasi

udara, pencahayaan,

kebisingan, getaran mekanis, bau-bauan, warna akan berpengaruh secara signifikan tehadap hasil kerja manusia tersebut Wingjosoebroto (dalam An-Nafi’, 2009).

Menurut Barnawi dan Arifin (dalam Mahendra, 2015), menerangkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi lingkungan fisik, yaitu meliputi pencahayaan, pewarnaan, udara, kebersihan, kebisingan, dan keamanan.

Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan fisik adalah dimana keadaan yang terdapat disekitar kita yang meliputi cahaya, siklus

udara,

kebisingan,

suhu,

getaran

mekanis

yang

akan

mempengaruhi manusia dalam menjalankan aktivitasnya.

2.1.2 Pencahayaan Ruangan Pencahayaan merupakan salah satu faktor penting dalam perancangan ruang. Ruang yang telah dirancang tidak dapat memenuhi fungsinya dengan baik apabila tidak disediakan akses pencahayaan. Pencahayaan

7

8

di dalam ruang memungkinkan orang yang menempatinya dapat melihat benda-benda. Tata pencahayaan dalam ruang rawat inap dapat mempengaruhi kenyamanan pasien selama menjalani rawat inap, disamping juga berpengaruh bagi kelancaran paramedis dalam menjalankan aktivitasnya untuk melayani pasien (Santosa, 2006).

Dalam Kepmenkes No 1204 tahun 2004, standar pencahayaan pada rumah sakit intensitas pencahayaan sebesar 100-200 lux dengan warna cahaya sedang (dalam An-Nafi’, 2009).

Tingkat penerangan pada ruangan yang baik merupakan salah satu faktor untuk memberikan kondisi penglihatan yang baik. Dengan tingkat penerangan yang baik akan memberikan kemudahan bagi seorang pasien maupun pekerja dalam melihat dan memahami, simbolsimbol dan benda kerja secara baik pula. Indra yang yang berhubungan dengan pencahayaan adalah mata. Karakteristik dan batasan daya lihat menusia penting untuk dipahami oleh seorang desainer.Penerangan akan mempengaruhi pasien yang di dalam ruangan rawat inap maupun pekerja dalam rumah sakit untuk melihat dengan baik. Untuk dapat melihat dengan baik maka dibutuhkan suau penerangan yang baik pula (dalam Restu et all, 2012). Ciri-ciri penerangan yang baik yaitu: 2.1.2.1. Sinar cahaya yang cukup 2.1.2.2. Sinar cahaya yang tidak berkilau atau menyilaukan 2.1.2.3. Kontras yang tepat 2.1.2.4. Kualitas pencahayaan yang tepat, dan 2.1.2.5. Pemilihan warna ruangan yang tepat.

9

Cahaya penerangan buatan manusia dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu: 2.1.2.1 Cahaya langsung Cahaya ini memancarkan langsung dari sumbernya kearah permukaan meja. Apabila dipakai lampu biasa, cahaya bersifat sangat tajam dan bayangan yang ditimbulkan sangat tegas. Cahaya ini lekas melelahkan mata dan menyilaukan pekerja. Pancaran cahaya adalah tinggi, bayanganbayangan tajam dan langit-langit umumnya menjadi gelap. Biasanya ini merupakan cahaya yang paling tidak disukai. 2.1.2.2 Cahaya setengah langsung Cahaya memancar dari sumbernya dengan melalui tudung lampu yang biasanya terbuat dari gelas yang berwarna seperti susu. Cahaya ini tersebar sehingga bayangan yang ditimbulkan tidak begitu tajam. Akan tetapi kebanyakan cahaya tetap langsung jatuh ke permukaan meja dan memantul kembali ke arah mata pekerja, sehingga hal ini masih kurang memuaskan walaupun sudah lebih baik daripada cahaya langsung. 2.1.2.3 Cahaya setengah tidak langsung Penerangan ini terjadi dari cahaya yang sebagian besar merupakan pantulan dari langit-langit dan dinding ruangan, sebagian lagi terpancar memalui tudung kaca. Cahaya ini sudah lebih baik daripada cahaya setengah tidak langsung karena Sifat dan bayangan yang diciptakan sudah tidak begitu tajam dibandingkan dengan cahaya setengah langsung. 2.1.2.4 Cahaya tidak langsung Cahaya ini dari sumbernya memancarkan kearah langit-langit ruangan, kemudian baru dipantulkan kearah meja. Hal ini memberikan cahaya yang lunak dan tidak memberikan bayangan yang tajam. Sesungguhnya langit langit merupakan sumber cahaya bagi ruang kerja, karena itu langit-langit mempunyai

10

daya pantul yang tinggi. Sifat cahaya ini benar-benar sudah lunak, tidak mudah menimbulkan kelelahan mata karena cahaya tersebar merata keseluruh penjuru. Sistem penerangan ini merupakan sistem penerangan yang terbaik The Liang Gie (dalam wahyuni 2005).

2.1.3 Siklus Udara Kotornya udara disekitar kita dapat mempengaruhi kesehatan tubuh dan mempercepat proses kelelahan. Sirkulasi udara akan menggantikan udara kotor dengan udara yang bersih. Agar sirkulasi terjaga dengan baik, dapat ditempuh dengan memberi ventilasi yang cukup (lewat jendela), dapat juga dengan meletakkan tanaman untuk menyediakan kebutuhan akan oksigen yang cukup (dalam Restu et all, 2012).

Barnawi dan Arifin (dalam Singgih Mahendra, 2015) menyatakan bahwa penyehatan udara dalam ruang adalah upaya yang dilakukan agar suhu dan kelembaban, debu, pertukaran udara, bahan pencemar, dan mikroba di ruangan memenuhi persyaratan kesehatan. Keadaan suhu udara di dalam ruang rawat inap perlu diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan efek negatif terhadap pasien. Udara yang sehat akan terasa sejuk dan segar sehingga dapat mempercepat pemulihan tubuh akibat kelelahan. Kondisi udara yang sehat dapat menimbulkan perasaan nyaman dan senang.

Menurut Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (2012) sistem siklus udara dalam rawat inap yaitu : 2.1.3.1 Untuk memenuhi persyaratan sistem ventilasi, bangunan Ruang rawat inap harus mempunyai ventilasi alami dan/atau ventilasi mekanik/ buatan sesuai dengan fungsinya.

11

2.1.3.2 Bangunan Ruang rawat inap harus mempunyai bukaan permanen, kisi-kisi pada pintu dan jendela dan/atau bukaan permanen yang dapat dibuka untuk kepentingan ventilasi alami. 2.1.3.3 Ventilasi mekanik/buatan harus disediakan jika ventilasi alami tidak dapat memenuhi syarat. 2.1.3.4 Penerapan

sistem

ventilasi

harus

dilakukan

dengan

mempertimbangkan prinsipprinsip penghematan energi dalam bangunan ruang rawat inap. 2.1.3.5 Pada ruang perawatan pasien dan koridor di ruang rawat inap, minimal 4 (empat) kali pertukaran udara per jam, untuk ruang perawatan isolasi infeksius, minimal 6 (enam) kali pertukaran udara per jam.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem ventilasi alami dan mekanik/buatan pada bangunan ruang rawat inap mengikuti Pedoman Teknis Prasarana Sistem Tata Udara Pada Bangunan Rumah Sakit, yang disusun oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Tahun 2011.

2.1.4 Kebisingan Salah satu polusi yang tidak dikehendaki oleh telinga adalah kebisingan, karena dalam jangka panjang bunyi-bunyian tersebut akan dapat mengganggu ketenangan pasien dalam beristirahat dan perawat yang sedang melakukan pekerjaan, merusak pendengaran dan menimbulkan kesalahan komunikasi. Dalam kaitan ini kebisingan memiliki efek yang berbeda terhadap kinerja. Definisi ini dapat meliputi variasi yang luas dari situasi bunyi yang dapat merusak pendengaran. Pada prinsipnya kebisingan merupakan suara yang mengganggu atau suara yang tidak dikehendaki oleh yang mendengarnya. Bising atau

12

tidaknya suatu suara tidak hanya ditentukan oleh keras atau lemahnya suara itu saja, tetapi juga ditentukan oleh selera atau persepsi seseorang terhadap sumber bunyi tersebut (dalam Restu et all, 2012). Menurut Suma’mur (dalam An-Nafi’, 2009)Pengaruh utama bising terhadap kesehatan berupa kerusakan pada indera pendengaran. Dampak gangguan terhadap alat pendengaran tersebut dampak auditorial. Adapun dampak yang lain adalah dampak yang bersifat non auditorial. Contoh dari dampak non auditorial adalah mengganggu komunikasi, gangguan tidur, gangguan perilaku, gangguan fisiologis antara lain sakit kepala, mual dan berdebar.

Jenis kebisingannya sebagai berikut : 2.1.4.1 Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady state, wide band noise), misalnya mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar, dan lain-lain. 2.1.4.2 Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit (steady state, narrow band noise), misalnya gergaji sirkuler, katup gas, dan lain-lain. 2.1.4.3 Kebisingan terputus-putus (intermitten), misalnya lalu lintas dan suara kapal terbang di lapangan udara. 2.1.4.4 Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti tembakan bedil, meriam, ledakan, dan lain-lain. 2.1.4.5 Kebisingan impulsif berulang, misalnya pandai besi dan mesin tempa di perusahaan.

13

Menurut Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (2012) sistem kebisingan dalam rawat inap yaitu : 2.1.4.1 Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan Ruang rawat inap, pengelola bangunan Ruang rawat inap harus mempertimbangkan jenis kegiatan, penggunaan peralatan, dan atau sumber bising lainnya baik yang berada pada bangunan Ruang rawat inap maupun di luar bangunan Ruang rawat inap 2.1.4.2 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan tingkat kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan Ruang rawat inap mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

2.1.5 Suhu Menurut Barnawi dan Arifin (dalam Singgih Mahendra, 2015) menyatakan bahwa penyehatan udara ruang adalah upaya yang dilakukan agar suhu dan kelembaban, debu, pertukaran udara, bahan pencemar, dan mikroba di ruang rawat inap memenuhi persyaratan kesehatan. Keadaan suhu udara di dalam ruang rawat inap perlu diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan efek negatif terhadap pasien maupun pegawai kesehatan.

Pertukaran udara yang cukup terutama dalam ruang sangat diperlukan, apalagi dalam ruangan tersebut ada pasien dan petugas kesehatan. Pertukaran udara yang cukup dalam ruangan akan menyebabkan kesegaran fisik pasien dan perawat dalam melaksanakan tugastugasnya. Sebaliknya pertukaran udara yang kurang akan dapat menimbulkan rasa pengap sehingga mudah menimbulkan kelelahan pada pegawai Nitisemito (dalam Wahyuni, 2005).

14

Temperatur pada tubuh manusia selalu tetap. Suhu konstan dengan sedikit fluktuasi sekitar 37 derajat celcius terdapat pada otak, jantung dan bagian dalam perut yang disebut dengan suhu tubuh (core temperature). Suhu inti ini diperlukan agar alat-alat itu dapat berfungsi normal. Sebaliknya, lawan dari core temperature adalah shell temperature, yang terdapat pada otot, tangan, kaki dan seluruh bagian kulit yang menunjukkan variasi tertentu (dalam Restu et all, 2012).

Menurut Sukoco (dalam Christo Ade, 2014) ada beberapa faktor yang harus diperhatikan sehubungan dengan udara : 2.1.5.1 Temperatur udara: Temperature udara di tempat kerja diatur berdasarkan temperatur udara diluar tempat kerja agar tubuh karyawan tidak terkejut saat masuk maupun keluar ruangan. 2.1.5.2 Sirkulasi udara: tanpa sirkulasi udara temperatur udara akan meningkat. Sirkulasi udara di tempat ruangan rawat inap disesuakan dengan pekerjaan karyawan. 2.1.5.3 Kebersihan udara: apabila udara yang sama menetap pada ruangan yang sama, akan menjadikannya tidak bersih dan segar. Gunakan air conditioner (AC) untuk membersihkan udara sekaligus mengatur temperatur udara.

Menurut Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (2012) sistem Suhu dalam rawat inap yaitu : 2.1.5.1 Untuk mendapatkan kenyamanan kondisi udara ruang di dalam bangunan ruang rawat inap, pengelola bangunan ruang rawat inap harus mempertimbangkan temperatur dan kelembaban udara. 2.1.5.2 Untuk mendapatkan tingkat temperatur dan kelembaban udara di dalam ruangan dapat dilakukan dengan pengkondisian udara dengan mempertimbangkan:

15

a.

Fungsi ruang, jumlah pengguna, letak, volume ruang, jenis peralatan, dan penggunaan bahan bangunan.

b.

Kemudahan pemeliharaan dan perawatan, dan

c.

Prinsip-prinsip

penghematan

energi

dan

kelestarian

lingkungan. 2.1.5.3 Kelembaban relatif dipertahankan 30 - 60%. 2.1.5.4 Temperatur ruangan dipertahankan sekitar 68°F sampai 80°F (20°C sampai 26°C). 2.1.5.5 Apabila ruang rawat inap menggunakan alat pengkondisian udara, unit pengkondisian udara tersebut bisa menjadi sumber micro-organisme yang datang melalui filterfilternya. Filter-filter ini harus diganti pada jangka waktu yang tertentu. Apabila menggunakan sistem pengkondisian udara sentral, maka saluran udara (ducting) harus dibersihkan secara teratur. 2.1.5.6 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan kenyamanan kondisi udara pada bangunan

Ruangrawat

inap

mengikuti

Pedoman

Teknis

Prasarana Sistem Tata Udara Pada Bangunan Rumah Sakit, yang disusun oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Tahun 2011. Manusia mempunyai kemampuan untuk mempertahankan keadaan normal tubuh yang mempunyai kemampuan untuk beradaptasi. Dengan kata lain, tubuh manusia dapat menyesuaikan diri karena kemampuannya untuk melakukan proses konveksi, radiasi dan penguapan jika terjadi kekurangan atau kelebihan panas yang membebaninya. Tetapi,

kemampuan

untuk

menyesuaikan

diri

dengan

temperature luar adalah jika perubahan temperatur luar tubuh tersebut tidak melebihi 20% untukkondisi panas dan 35% untuk kondisi dingin dari keadaan normal tubuh. Perbedaan tingkat

16

temperatur akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut Sutalaksana (dalam Restu et all, 2012). 2.1.5.1 49C, temperatur dapat ditahan sekitar 1 jam, tetapi jauh diatas kemampuan fisik dan mental. 2.1.5.2 30C, aktivitas mental dan daya tangkap mulai menurun dan cenderung untuk membuat kesalahan dalam pekerjaan dan timbul kelelahan fisik. 2.1.5.3 24C, kondisi kerja optimum. 2.1.5.4 10C, kelakuan fisik yang ekstrim mulai muncul.

Hasil penyelidikan didapatkan bahwa produktivitas manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur sekitar 24-27°C. Menurut Sastrowinoto 1985 (dalam Alfi Fauziah An-Nafi’, 2009), Pertukaran panas terjadi terus menerus, sebagian akan tergantung pada mekanisme fisiologis dan sebagian lainnya akan mengikuti hukum fisika yang relevan dengan proses perpindahan panas (heat transfer).

Perpindahan panas dapat berlangsung melalui empat jalan: 2.1.5.1 Hantaran (conduction) Perpindahan panas melalui penghantar tergantung pada kemampuan menghantar panas dari benda yang bersentuhan dengan kulit. 2.1.5.2 Konveksi (convection) Perpindahan panas melalui konveksi tergantung pada besarnya gradian suhu antara kulit dan udara lingkungannya serta pada banyaknya dan kecepatan gerakan udara. 2.1.5.3 Penguapan (evaporation) Perpindahan panas melalui penguapan bergantung pada panas yang dibutuhkan untuk menguapkan keringat dari kulit.

17

2.1.5.4 Radiasi (radiation) Perpindahan panas melalui radiasi terdiri antara badan manusia dan dinding serta obyek yang mengelilinginya, yang dapat menyerap atau sebaliknya meradiasi panas.

Hal-hal yang perlu dipahami berhubungan dengan suhu ruangan sebagai berikut: 3.9.1.1 Suhu bidang dari dinding terluar tergantung pada kapasitas isolasinya dan suhu yang ada di dalam maupun di luar dinding. Dinding dengan kapasitas isolasi yang tinggi akan mencegah hilang panas ataupun tambah panas. Kapasitas isolasi tersebut sebaiknya dibuat tinggi agar suhu di dalam kamar tidak terlalu banyak terombang-ambing oleh suhu luar ruang. 3.9.1.2 Ukuran jendela (terutama jendela kaca) besar pula peranannya terhadap pengendalian suhu di dalam dan di luar ruang. Jendela yang besar mempersulit pengendalian. Suhu luar yang dingin akan mengakibatkan suhu dalam ruang menjadi dingin, dan sebaliknya bila suhu di luar panas ruanganpun akan menjadi panas. Kaca merupakan sarana yang baik bagi radiasi, oleh karena itu agar suhu ruangan tidak terombang ambing sebaiknya dipasang tirai untuk menutupinya. 3.9.1.3 Suhu yang diperkirakan cukup nyaman untuk ruang istirahat diberbagai keadaan ialah 24°C.

2.1.6 Getaran Mekanis Getaran mekanis merupakan getaran–getaran yang ditimbulkan oleh peralatan mekanis yang sebagian dari getaran tersebut sampai ke tubuh dan dapat menimbulkan akibat–akibat yang tidak diinginkan pada tubuh kita. Besarnya getaran ini ditentukan oleh intensitas, frekuensi getaran dan lamanya getaran itu berlangsung. Sedangkan anggota tubuh manusia juga memiliki frekuensi alami apabila frekuensi ini

18

beresonansi dengan frekuensi getaran akan menimbulkan gangguan. Gangguan–gangguan tersebut diantaranya, mempengaruhi konsentrasi, mempercepat kelelahan, gangguan pada anggota tubuh Wignjosoebroto (dalam An-Nafi’, 2009).

Menurut Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (2012) sistem getaran dalam rawat inap yaitu : 2.1.6.1 Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap getaran pada

bangunan

Ruangrawat

inap,

pengelola

bangunan

Ruangrawat inap harus mempertimbangkan jenis kegiatan, penggunaan peralatan, dan/atau sumber getar lainnya baik yang berada pada bangunan Ruang rawat inap maupun di luar bangunan Ruang rawat inap. 2.1.6.2 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan tingkat kenyamanan terhadap getaran pada bangunan Ruang rawat inap mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

2.2 Konsep Lingkungan Sosial Lingkungan sosial, konteks sosial, konteks sosiokultural, atau milieu, adalah sesuatu hal yang didefinisikan sebagai suasana fisik atau suasana sosial dimana manusia hidup didalamnya, atau dimana sesuatu terjadi dan berkembang. Lingkungan sosial tersebut bisa berupa kebudayaan atau kultur yang diajarkan atau dialami oleh seorang individu, atau juga manusia dan institusi yang berinteraksi dengan individu tersebut (Barnett dan Casper, 2001: 91).

Menurut Purba (2002: 13-14) lingkungan sosial adalah wilayah yang merupakan tempat berlangsungnya macam-macam interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta pranatanya dengan simbol dan nilai serta norma

19

yang sudah mapan, serta terkait dengan lingkungan alam dan lingkungan binaan atau buatan (tata ruang).

Berdasarkan uraian di atas, lingkungan sosial dapat disimpulkan sebagai lingkungan yang terdiri dari makhluk sosial yang membentuk sistem pergaulan yang besar peranannya dalam membentuk kepribadian seseorang yang mempunyai nilai mapan.

Jenis-jenis Lingkungan Sosial Menurut Ahmadi (2003: 201) lingkungan sosial biasanya dibedakan menjadi dua kategori, yaitu; 2.2.1 Lingkungan sosial primer yaitu lingkungan sosial di mana terdapat hubungan yang erat antara anggota satu dengan anggota lain, anggota satu saling kenal mengenal dengan baik dengan anggota lain.

2.2.2 Lingkungan sosial sekunder yaitu lingkungan sosial yang biasanya hubungan anggota satu dengan anggota lainnya agak longgar dan hanya berorientasi pada kepentingan-kepentingan formal serta aktivitas-aktivitas khusus.

Kemudian menurut Cooley dalam Henslim (1909: 121) lingkungan sosial biasanya dibedakan menjadi dua kelompok : 2.2.1 Kelompok primer (primary groups) ialah kelompok yang ditandai dengan pergaulan dan kerja sama tatap muka yang bersifat fundamental dalam membentuk sifat dan ide sosial individu secara intim.

2.2.2 Kelompok sekunder (secondary groups) ialah kelompok besar yang didasarkan pada kepenting atau kegiatan tertentu yang khusus, dan para anggotanya cenderung berinteraksi atas dasar status spesifik.

20

Komponen-komponen Lingkungan Sosial Terkait dengan kesinambungan lingkungan sosial maka setidaknya terdapat empat komponen lingkungan sosial yang perlu diperhatikan (Purba, 2002: 2127), Keempat komponen tersebut ialah: 2.2.1 Pengelompokan sosial, ialah berbagai macam orang yang membentuk persekutuan atau pengelompokan sosial yang dilandasi hubungan kekerabatan (genealogical based relationship), seperti keluarga inti atau batih, marga atau klen, suku bangsa dan lain-lain.

2.2.2

Penataan sosial, penataan sosial sangat diperlukan untuk mengatur ketertiban hidup dalam masyarakat yang mempersatukan lebih dari satu orang. Penataan itu dapat berupa aturan-aturan sebagai pedoman bersama dalam menggalang kerja sama dan pergaulan sehari-hari antar anggotanya. Setiap orang harus jelas kedudukannya dan peranperan yang harus dilakukan, dan mengetahui apa yang harus diberikan dan apa yang dapat diharapkan dari pihak lainnya.

2.2.3 Pranata sosial, kebanyakan pranata sosial dikembangkan atas dasar kepentingan penguasaan lingkungan permukiman yang amat penting artinya bagi kelangsungan hidup masyarakat yang bersangkutan. Berbagai peraturan dikembangkan untuk menyisihkan orang-orang yang bukan anggota kesatuan sosial yang bersangkutan. Mereka tidak mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas penguasaan sumber daya alam yang tersedia seperti anggotanya.

2.2.4 Kebutuhan sosial, lingkungan sosial itu terbentuk didorong oleh keinginan

manusia

untuk

memenuhi

kebutuhan

hidupnya.

Sebagaimana diketahui, bahwa tidak semua kebutuhan hidup manusia itu bisa terpenuhi oleh seorang diri, terutama kebutuhan sosial (social needs). Karena itu pemenuhan kebutuhan hidup yang mendasar (basic needs) senantiasa menimbulkan kebutuhan sampingan (drived needs).

21

2.3 Konsep Kecemasan 2.2.1 Definisi Cemas Cemas adalah suatu keadaan yang membuat seseorang tidak nyaman dan terbagi dalam beberapa tingkatan. Jadi, cemas berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti Kusmawati, et al (2012).

Kecemasan adalah suatu perasaan tidak santai yang samar-samar karena ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu respons (penyeab tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu). Perasaan takut dan tidak menentu sebagai sinyal yang menyadarkan bahwa peringatan bahaya yang akan datang dan memperkuat individu mengambil tindakan menghadapi ancaman (Yusuf, Ah. 2015).

Berdasarkan dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu perasaan yang tidak santai dan nyaman serta perasaan takut yang tidak menentu.

2.2.2 Penyebab Kecemasan Penyebab kecemasan menurut Wong dalam Supartini (2014), yaitu : 2.2.2.1 Perpisahan dengan keluarga 2.2.2.2 Berada di lingkungan yang asing 2.2.2.3 Ketakutan akan prosedur-prosedur tindakan yang akan dilakukan.

2.2.3 Faktor Pencetus Kecemasan Baradero (2015) dalam bukunya menjelaskan tentang penyebab munculnya kecemasan berdasarkan teori-teori kecemasan diantaranya : 2.2.3.1 Teori biologis /genetik. Ada komponen dari ansietas yang dapat diturunkan karena frekuensi timbulnya ansietas di antra sanak saudara seperti sepupu. Gangguan ansietas umum dan gangguan obsesif-

22

kompulsif cenderung timbul di antara anggota keluarga (Gorman, 2000) 2.2.3.2 Teori Neurologis. Gamma-ammino butyric acid (GABA) adalah suatu inhibitor neurotransmiter yang berfungsi sebagai anti-ansietas dengan mengurangi rangsangan sel-sel tubuh. Oleh karena GABA dapat mengurangi ansietas sedangkan nerepinefrin membuat ansietas meningkat maka para peneliti percaya bahwa masalah dalam pengaturan kedua neurotransmiter ini timbul pada gangguan ansietas. 2.2.3.3 Teori psikodinamik a. Teori intrapsikis atau psikoanalitik. Freud (1936) melihat ansietas sebagai suatu stimulus untuk bertindak. Frued menerangkan mekanisme pertahanan sebagai

suatu

usaha

manusia

untuk

mengendalikan

kesadaran dan mengurangi ansietas. Mekanisme pertahanan adalah distorsi kognitif yang dipakai individu tanpa di dasari

untuk

mempertahankan

perasaan

masih

mengendalikan situasi, mengurangi rasa tidak nyaman, dan menangani stres yang dialaminya. Oleh karena mekanisme pertahanan timbul dari alam tidak sadar maka orangnya tidak sadar bahwa dia memakai mekanisme pertahanan. Beberapa kerugian yang dapat dialami dengan mekanisme pertahanan : 1) Orang tidak mau lagi berusaha untuk mencari alternatif yang efektif untuk menyelesaikan masalah. 2) Menghambat pematangan dan perkembangan emosional. 3) Menghambat

keterampilan

memakai

pemecahan

masalah. 4) Menghambat relasi yang matang dan memuaskan.

23

b. Teori interpersonal. Harry Sullivan (1952) melihat ansietas sebagai akibat dari hubungan

interpersonal

yang

bermasalah.

Sullivan

berpendapat bahwa seseorang pengasuh dapat menyalurkan ansietasnya pada bayi melalui cara mengasuhnya yang tidak adekuat, perasaannya yang negatif seperti bugub, takut, dan seterusnya. Ansietas yang disalurkan pada bayi dapat megakibatkan kegagalan dalam menyelesaikan tugas perkembangan ansietas

dapat

kepribadiannya. timbul

dari

Pada kegiatan

orang orang

dewasa, untuk

menyesuaikan pada aturan, norma yang berlaku dalam masyarakat di sekitarnya.

2.2.4

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Menurut Lestari (2015) faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah sebagai berikut : 2.2.4.1 Umur Bahwa umur yang lebih muda lebih mudah menderita stress dari pada umur tua. 2.2.4.1 Keadaan Fisik Penyakit adalah salah satu faktor yang menyebabkan kecemasan. Seseorang yang sedang menderita penyakit akan lebih mudah mengalami kecemasan dibandingkan dengan orang yang tidak sedang menderita penyakit. 2.2.4.3 Sosial Budaya Cara hidup orang di masyarakat juga sangat memungkinkan timbulnya stress. Individu yang mempunyai hidup teratur akan mempunyai filsafat yang jelas sehingga umumnya lebih sukar mengalami stress. Demikian juga dengan seseorang yang keyakinan agamanya rendah.

24

2.2.4.4 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidiakan seseorang berpengaruh dalam respon terhadap sesuatu yang datang baik dari dalam maupun dari luar. Orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih rendah atau mereka yang tidak berpendidikan. Kecemasan adalah yang dapat dipelajari dengan demikian pendidikan yang rendah menjadi faktor penunjang terjadinya kecemasan. 2.2.4.5 Tingkat pengetahuan Pengetahuan yang rendah mengakibatkan seseorang mudah mengalami stress. Ketidaktahuan terhadap suatu hal dianggap sebagai tekanan yang dapat mengakibatkan krisis dan dapat menimbulkan kecemasan. Stress dan kecemasan dapat terjadi pada individu dengan tingkat pengetahuan yang rendah, disebabkan karena kurangnya informasi yang diperoleh.

2.2.5 Rentang Respon Kecemasan Kemampuan individu untuk merespons terhadap suatu ancaman berbeda satu sama lain. Perbedaan kemampuan ini berimplikasi terhadap perbedaan tingkat ansietas yang dialaminya. Respon individu terhadap ansietas beragam dari ansietas ringan sampai panik. Rentang Respon Kecemasan Respons adaftif

Antisipasi

Respons maladaftif

Ringan

Sedang

Berat

Skema 2.1. Rentang Respon Kecemasan.

Panik

25

Menurut Yusuf tingkat kecemasan ada empat, yaitu ringan, sedang, berat, panik (Yusuf, AH. 2015: 86) : 2.2.5.1 Kecemasan Ringan Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan meyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. 2.2.5.2 Kecemasan Sedang memungkinkan seseorang untuk berfokus pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. 2.2.5.3 Kecemasan Berat Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang

dengan

kecemasan

berat

cenderung

untuk

memusatkan pada sesuatu yang rinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Seseorang tersebut memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain. 2.2.5.4 Tingkat Panik Kecemasan yang berhubungan dengan ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan kendali. Seseorang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik meningkatkan aktivitas motorik, menurunkan kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi menyimpang, serta kehilangan pemikiran rasional.

2.2.6 Tanda Dan Gejala Kecemasan Menurut Jaya (2015) kecemasan ditandai oleh rasa ketakutan difus, tidak menyenangkan dan samar-samar. Seringkali disertai oleh gejala otonomik seperti sakit kepala, berkeringat, hipertensi, gelisah, tremor,

26

gangguan lambung, diare, takut akan pikiran nya sendiri, mudah tersingguang, merasa tegang, tidak tenang, gangguan pola tidur dan gangguan konsentrasi.

Seseorang yang cemas mungkin juga merasa gelisah seperti ketidakmampuan duduk atau berdiri lama. Kumpulan gejala tertentu yang ditemukan selama kecemasan cenderung bervariasi dari orang ke orang.

2.2.7 Cara Mengukur Kecemasan Zulf Self-Rating Anxiety Scale (SAS/ SRAS) adalah penilaian kecemasan pada pasien dewasa yang dirancang oleh William WK Zung, dikembangkan

berdasarkan

gejala

kecemasan

dalam

DSM-II

(Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorder). Terdapat 20 pertanyaan yang terdiri dari gejala-gejala psikologis diantaranya (kecemasan, ketakutan, panik, disintegrasi mental, kekhawatiran) dan gejala-gejala fisik meliputi (gemetar, nyeri, kelelahan, kegelisahan, debaran jantung, pusing, pingsan, sesak nafas, paresthesia, mual & muntah, frekuensi kencing, berkeringat, wajah memerah, insomnia dan mimpi buruk). Setiap pertanyaan dinilai 1-4 (1 : tidak pernah, 2: kadang-kadang, 3: Sebagian waktu, 4: hampir setiap waktu. Terdapat lima belas pertanyaan ke arah peningkatan kecemasan dan lima pertanyaan ke arah penurunan kecemasan Mcdowell dalam Nursalam (2013).

Rentang penilaian 20-80 dengan pengelompokkan sebagai berikut : Skor 20-44 : Normal /Tidak Cemas Skor 45-59 : Kecemasan ringan Skor 60-74 : Kecemasan Sedang Skor 75-80 : Kecemasan Berat

27

2.2.8 Penatalaksanaan Kecemasan Menurut

Lestari

(2015)

penatalaksanaan

ansietas

pada

tahap

pencegahan dan terapi memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat holistik, yaitu mencakup fisik (somatik), psikologik atau psikiatrik, psikososial, dan psikoreligius. Selengkapnya seperti pada uraian berikut : 2.2.8.1 Upaya meningkatkan kekebalan terhadap stress, dengan cara : a. Makan-makanan yang bergizi dan seimbang. b. Tidur yang cukup. c. Cukup olahraga. d. Tidak merokok. e. Tidak meminum-minuman keras. 2.2.8.2 Terapi psikofarmaka Terapi psikofarmaka merupakan pengobatan untuk cemas dengan memakai obat-obatan yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neuro-transmiter (sinyal penghantar saraf) di susunan saraf pusat otak (limbik system). Terapi psikofarmaka yang sering dipakai adalah obat anti cemas (anxiolytik), yaitu seperti diazepam, clobazam, brommazepam, lorazepam, buspirone HCI, meprobamate dan alprazolam. 2.2.8.3 Terapi somatik Gejala atau keluhan fisik (somatik) sering dijumpai sebagai gejala ikutan atau akibat dari kecemasan yang berkepanjangan. Untuk menghilangkan keluhan-keluhan somatik (fisik) itu dapat diberikan obat-obatan yang ditunjukkan pada organ tubuh yang bersangkutan.

28

2.2.8.4 Psikoterapi Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan individu, antara lain : a. Psikoterapi suportif, untuk memberikan motivasi, semangat dan dorongan agar pasien yang bersangkutan tidak merasa putus asa dan diberi keyakinan serta percaya diri. b. Psikoterapi re-edukatif, memberikan pendidikan ulang dan koreksi bila dinilai bahwa ketidakmampuan mengatasi kecemasan. c. Psikoterapi re-konstruktif, unntuk memperbaiki kembali (re-konstruksi)

kepribadian

yang

telah

mengalami

goncangan akibat stressor. d. Psikoterapi kognitif, untuk memulihkan fungsi kognitif pasien, yaitu kemampuan untuk berfikir secara rasional, konsentrasi dan daya ingat. e. Psikoterapi

psiko-dinamik,

menguraikan proses

untuk

menganalisa

dinamika kejiwaan

dan

yang dapat

menjelaskan mangapa seseorang tidak mampu menghadapi stressor psikososial sehingga mengalami kecemasan. f. Psikoterapi

keluarga,

untuk

memperbaiki

hubungan

kekeluargaan, agar faktor keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan faktor keluarga dapat dijadikan sebagai faktor pendukung. 2.2.8.5 Terapi psikoreligius Untuk

meningkatkan

keimanan

seseorang

yang

erat

hubungannya dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stressor psikososial.

29

2.3 Teori Calista Roy Konsep Roy mulai dikembangkan pada tahun 1970 dan banyak digunakan pada tahun 1976, 1984 dan 1991. Roy memandang individu sebagai suatu sistem makhluk bio-psiko-sosial yang harus dilihat sebagai suatu kesatuan utuh yang secara terus menerus berinteraksi dengan lingkungan, berespon terhadap lingkungan, dan beradaptasi dengan lingkungan. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia selalu dihadapkan berbagai persoalan yang kompleks, sehingga dituntut untuk melakukan adaptasi. Roy memandang bahwa individu dan lingkungan merupakan sumber stimulus yang membutuhkan modifikasi untuk meningkatkan adaptasi serta respon purposive secara terus menerus. Keperawatan dilihat sebagai kegiatan atau tindakan yang ditujukan pada upaya menghilangkan stimuli dan memicu kemampuan adaptasi dari individu. Dalam model keperawatan yang menguraikan bagaimana individu mampu meningkatkan kesehatannya dengan cara mempertahankan perilaku secara adaptif serta mampu merubah perilaku yang mal adaptif. Sebagai individu dan makhluk holistik memiliki sistem adaptif yang selalu beradaptasi secara keseluruhan.

Jadi ada Calista Roy berpendapat bahwa ada empat elemen penting dalam model adaptasi keperawatan, yakni keperawatan, manusia, lingkungan, dan sehat. 2.3.1 Elemen Keperawatan Keperawatan adalah suatu disiplin ilmu dan ilmu tersebut menjadi landasan dalam melaksanakan praktik keperawatan. Lebih spesifik Roy, berpendapat bahwa keperawatan sebagai ilmu dan praktik berperan dalam meningkatkan adaptasi individu dan kelompok terhadap kesehatan sehingga sikap yang muncul semakin positif (dalam Roy dan Andrews, 1991).

30

Keperawatan memberi perbaikan pada manusia sebagai satu kesatuan yang utuh untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan dan berespon terhadap stimulus internal yang memengaruhi adaptasi. Jika stressor terjadi dan individu tidak dapat menggunakan “kopingg” secara

efektif maka individu

tersebut

memerlukan

perawatan. Tujuan keperawatan adalah meningkatkan interaksi individu dengan lingkungan sehingga adaptasi dalam setiap askep semakin meningkat. Komponen-komponen adaptasi mencakup fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan saling ketergantngan.

2.3.2 Elemen Manusia Roy mengemukakan bahwa manusia sebagai sebuah sistem adaptif. Sebagaisistem adaptif, manusia merupakan bagian dari sistem adaptasi yaitu sutau kumpulan unit yang saling berhubungan secara holistik sebagai satukesatuan yang mempunyai masukan input, control, output, dan proses umpan balik (Roy, 1986). Proses kontrol adalah mekanisme koping yang dimanifestasikan dengan caraadaptasi secara spesifik. Lebih spesifik manusia di definisikan sabagai sebuah sistem adaptifdengan berperan sebagai kognator dan regulator (pengaturan) untuk mempertahankan adaptasi.

Terdapat empat cara adaptasi, mencakup adaptasi terhadap fungsi fisiologis,

konsep

ketergantungan.

diri,

Dalam

fungsi model

peran,dan adaptasi

kebutuhan

keperawatan,

saling manusia

dijelaskan sebagai suatu sistem yang hidup, terbuka dan adaptif yang dapat mengalami kekuatan dan zat dengan perubahan lingkungan. Sebagai sistem adaptif manusia dapatdigambarkan dalam istilah karakteristik sistem, Jadi manusia dilihat sebagaisatu kesatuan yang saling berhubungan antar unit fungsional secarakeseluruhan atau beberapa unit fungsional untuk beberapa tujuan. Sebagaisuatu sistem manusia juga dapat digambarkan dengan istilah input, proses kontrol

31

dan umpan balik serta output. Input pada manusia sebagai suatu sistem adaptasi adalah dengan menerima masukan dari lingkungan luar dan lingkungan dalam diri individu itu sendiri. Proses kontrol manusia sebagai suatu sistem adaptasi adalah mekanismekoping yakni sistem regulator dan sistem kognator. Regulator dan kognator adalah digambarkan sebagai aksi dalam hubunganya terhadap empat efektor cara adaptasi yaitu fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan terhadap kebutuhan saling ketergantungan.

2.3.3 Elemen Lingkungan Lingkungan didefinisikan sebagai semua kondisi lingkungan yang mempengaruhi perkembangan serta tingkah laku individu atau kelompok, masukan terhadap individu sebagai sistem yang beradaptif yang melibatkan faktor internal dan eksternal.

2.3.4 Elemen Sehat Kesehatan didefinisikan sebagai keadaan yang muncul atau proses yang terjadi pada makhluk hidup secara utuh dan terintegrasi secara keseluruhan (dalam Roy dan Andrews, 1991). Integritas ataukeutuhan manusia menyatakan secara tidak langsung bahwa kesehatanatau kondisi tidak terganggu mengacu kelengkapan atau kesatuan dankemungkinan tertinggi dari pemenuhan potensi manusia.

Dalam

model

adaptasi

keperawatan,

konsep

sehat

dihubungkan dengan konsep adaptasi. Adaptasi yang bebas energi darikoping yang inefektif dan mengizinkan manusia berespon terhadap stimulus yang lain. Pembebasan energi ini dapat meningkatkan penyembuhan dan mempertinggi kesehatan. Hal ini adalah pembebasan energi

yang

menghubungkan

konsep

adaptasi

dan

kesehatan.

Didalamnya menggambarkan manusia sebagai sistem adaptif. Adaptasi dipertimbangkan baik proses koping terhadap stressor dan produk akhir

32

dari

koping.

Proses

adaptasi

termasuk

fungsi

holistic

untuk

mempengaruhi kesehatan secara positif dan itu meningkatkan integritas.

Dengan demikian, adaptasi sangat diperlukan untuk mengatasi stress. Bagian kedua adalah proses mekanisme koping yang dirangsang untuk menghasilkan respon adaptif atau tidak efektif. Hasil dari proses adaptasi adalah kondisi yang meningkatkan pencapaian tujuan individu yang mencakup kelangsungan hidup, pertumbuhan, reproduksi dan penguasaan yang disebut integritas. Jadi peningkatan adaptasi mengarah pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi pada keadaan sejahtera atau sehat. Adaptasi kemudian disebut sebagai suatu fungsi dari stimuli yang masuk dan tingkatan adaptasi.

Terdapat tiga tingkatan adaptasi pada manusia yang dikemukakan oleh Roy diantaranya: 2.3.1 Focal stimulasi, yaitu stimulus yang langsung beradaptasi dengan seseorang dan akan mempunyai pengaruh kuat terhadap individu tersebut. 2.3.2 Konstektual stimulus, merupakan stimulus lain yang dialami seseorang, baik stimulus internal maupun eksternal yang dapat memengaruhi, kemudian dilakukan observasi, diukur secara subjektif. 2.3.3 Residual stimulus, merupakan stimulus lain yang merupakan ciri tambahan yang ada atau sesuai dengan situasi dalam proses penyesuaian dengan lingkungan yang susah untuk dikakukan observasi.

Sistem adaptasi memiliki empat model adaptasi yang akan berdampak terhadaprespon adaptasi diantaranya: 2.3.1 Fungsi Fisiologis, komponen sistem adaptasi fisiologis diantaranya adalah oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, integritas kulit, indera, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis dan endokrin.

33

2.3.2 Konsep diri, yang mempunyai pengertian bagaimana seseorang mengenal pola-pola interaksi sosial dalam berhubungan dengan orang lain. 2.3.3 Fungsi peran, merupakan proses penyesuaian yang berhubungan dalam bagaimana peran seseorang dalam mengenal pola-pola interaksi sosial dalam berhubungan dengan orang lain. 2.3.4 Interdependen, merupakan kemampuan seseorang mengenal pola-pola tentang kasih sayang, cinta yang dilakukan melalui hubungan secara interpersonal pada tingkat individu maupun kelompok.

Terdapat dua respon adaptasi yang dinyatakan Roy yaitu: 2.3.1 Respon yang adaptif dimana terminologinya adalah manusia dapat mencapai tujuan atau keseimbangan sistem tubuh manusia. 2.3.2 Respon yang tidak adaptif dimana manusia tidak dapat mengontrol dari terminology keseimbangan sistem tubuh manusia, atau tidak dapat mencapai tujuan yang akan diraih.

Roy berpendapat bahwa manusia merupakan suatu sistem adaptif serta mampu merubah yang mal adaptif, sehingga manusia akan selalu beradaptasi secara keseluruhan. Manusia dipandang sebagai makhluk bio-psiko-sosial yaitu dimana manusia akan selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Setiap manusia akan selalu berusaha beradaptasi terhadap lingkungannya. Apabila adaptasi mekanisme kopingnya baik maka akan meghasilkan respon yang baik atau adaptif, dan apabila mekanisme koping nya kuang baik maka akan menghasilkan dampak maladapif. Respon tersebut akan menjadi hasil dari proses adaptasi selanjutnya yang akan menjadi umpan balik terhadap stimuli adaptasi. Adaptasi sangat diperlukan untuk mengatasi stress, karena stress merupakan respon dari kecemasan.

34

2.3 Kerangka Konsep Variabel Independen 1. 2.

Variabel Dependen

Cahaya Suhu

Kecemasan

Normal

Ringan

Sedang

Berat

Skema 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Keterangan : variabel yang diteliti =

2.4 Hipotesis Penelitian Pendapat Peneliti Sementara Adalah : Ada Hubungan Antara Pencahayaan Dengan Kecemasan Pasien di Ruang Sakti RSU Dr. R. Soeharsono Banjarmasin.

Ada Hubungan Antara Suhu Ruangan Dengan Kecemasan Pasien di Ruang Sakti RSU Dr. R. Soeharsono Banjarmasin.

Related Documents

Bab 2 New Ok.docx
May 2020 10
New Bab 2.docx
May 2020 10
Bab I And 2 New
June 2020 13
Bab Ii New-2.docx
April 2020 13
Bab 2 New 1.docx
May 2020 18
New New Part 2
November 2019 16

More Documents from ""