BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Padila, 2014 dalam Buku Keperawatan Maternitas. Pengertian seksualitas memiliki arti yang lebih luas yakni bagaimana seseorang merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut pada orang lain melalui tindakan yang dilakukannya seperti sentuhan, pelukan, ataupun perilaku yang lebih halus seperti isyarat gerak tubuh, cara berpakaian dan perbendaharaan kata, termasuk pikiran pengalaman nilai, fantasi, emosi. Seksualitas pada remaja merupakan komponen identitas mengacu pada kemampuan individu untuk memberi dan menerima kenikmatan dan untuk bereproduksi baik sebagi pria maupun wanita. Identitas dan konsep diri seksual psikologis mengacu pada pemahaman dalam diri individu tentang seksualitas, seperti citra diri, identifikasi sebagai pria atau wanita, dan pemebelajaran peran-peran maskulin atau feminim. Pengambilan keputusan pada remaja antara lain adalah memilih apakah ia akan menjadi seorarang yang aktif secara seksual atau tidak dengan satu atau lebih masalah, atau lebih pasangan, apakah ia akan menggunakan kontrasepsi atau tidak untuk mencegah kehamilan, dan apakah ia akan menggunakan kondom atau tidak untuk mengurangi risiko penyakit menular seksual. Kehamilan merupakan suatu keadaan dimana dalam rahim seorang wanita terdapat hasil konsepsi ( pertemuan ovum dan spermatozoa ). Kehamilan pada remaja mendefinisikan sebagai suatu masalah sosial masyarakat, bukan masalah sosial dalam masyarakat, dapat memberikan penyelesaian yang lebih komprehensif. Kehamilan pada remaja menghentikan proses pembentukan identitas dan tugas perkembangan sehingga, dilakukan yang namnya pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Menjadi orang tua pada masa remaja mungkin sulit dikarenakan perkembangan pola pikir dan citra diri masih belum menjadi perkembangan dalam pembentukan keluarga. Sebagai orang tua pada masa remaja
1
mempunyai peran dan tugas yang akan kedepannya dapat melahirkan seorang dan merawat seorang bayi sehingga kadang pada masa remaja banyak konflik karena keinginan mereka sendiri, toleransi terhadap frustasi dan stres psikologis normal yang dialami saat melahirkan anak. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa defenisi dari remaja? 2. Apa saja periode masa remaja? 3. Apa defenisi seksualitas pada remaja? 4. Apa defenisi dari kehamilan remaja? 5. Apa saja tugas perkembangan pada masa hamil? 6. Apa defenisi dari menjadi orangtua pada masa remaja? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Agar mahasiswa mengetahui bagaimana remaja pada masa seksualitas, kehamilan dan menjadi orang tua pada masa remaja 1.3.2 Tujuan khusus 1) Mahasiswa mampu mengetahui tentang seksualitas pada remaja 2) Mahasiswa mampu mengetahui bagaimana dan masalah yang dialami pada kehamilan disaat remaja. 3) Mahasiswa mampu mengetahui tentang menjadi orangtua pada masa remaja.
2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Defenisi Remaja Istilah adolescent (remaja) berasal dari bahasa latin ad alescere, yang berarti “bertumbuh.” Sepanjang fase perkembangan ini, sejumlah masalah fisik, sosial, dan psikologis bergabung untukmenciptakan karakteristik, perilaku, dan kebutuhan yang unik. Masa remaja ialah periode waktu individu beralih dari fase anak ke fase dewasa. Anak-anak harus melakukan tugas perkembangan pada masa remaja. Tugas perkembangan pada masa remaja terdiri atas: 1. Menerima citra tubuh 2. Menerima identitas seksual 3. Mengembangkan system nilai personal 4. Membuat persiapan untuk hidup mandiri 5. Menjadi mandiri/bebas dari orangtua 6. Mengembangkan keterampilan mengambil keputusan 7. Mengembangkan identitas seorang yang dewasa
2.1.1 Periode masa remaja dibagi ke dalam tiga tahap: 1. Remaja Tahap Awal (Usia 10-14 tahun) 1) Berpikir konkret 2) Ketertarikan utama ialah pada teman sebaya dengan jenis kelamin sama, disisi lain ketertarikan pada lawan jenis dimulai. 3) Mengalami konflik dengan orangtua 4) Remaja berperilaku sebagai seorang anak pada waktu tertentu dan sebagai orang dewasa pada waktu selanjutnya. 2. Remaja Tahap Menengah (Usia 15- 16 Tahun) 1) Penerimaan kelompok sebaya merupakan isu utama dan seringkali menentukan harga diri.
3
2) Remaja mulai melamun, berfantasi, dan berpikir tentang hal-hal mangis. 3) Remaja berjuang untuk mandiri/ bebas dari orangtuanya. 4) Remaja menunjukan perilaku idealis dan narsistik. 5) Remaja menunjukan emosi yang labil, sering meledak-ledak, dan mood sering berubah. 6) Hubungan heteroseksual merupakan hal yang penting. 3. Remaja Tahap Akhir (Usia 17- 21 Tahun) 1) Remaja mulai berpacaran dengan lawan jenisnya. 2) Remaja mengembangkan pemikiran abstrak. 3) Remaja mulai mengembangkan rencana untuk masa depan. 4) Remaja berusaha untuk mandiri secara emosional dan finansial dari orangtua. 5) Cinta adalah bagian dari hubungan heteroseksual yang intim. 6) Kemampuan untuk mengambil keputusan telah berkembang. 7) Perasaan kuat bahwa dirinya dalah seorang dewasa berkembang.
2.2 Seksualitas Pada Remaja Seksualitas adalah komponen identitas personal individu tidak terpisahkan dan berkembang dan semakin matang sepanjang kehidupan individu. Seksualitas tidak sama dengan seks. Seksualitas ialah
interaksi faktor-faktor biologi,
psikologi personal dan lingkungan. Fungsi biologis mengacu pada kemampuan individu umtuk memberi dan menerima kenikmatan dan untuk bereproduksi. Identitas dan konsep diri seksual psikologis mengacu pada pemahaman dalam diri individu tentang seksualitas, seperti citra diri, identifikasi sebagai pria atau wanita, dan pembelajaran peran-peran maskulin atau feminim. 1. Perilaku Seksual Perilaku yang berhubungan dengan penyebab utama morbiditas dan mortalitas remaja memiliki tema yang sama, yakni mengambil resiko. Mengambil resiko didefinisikan sebagai perilaku disengaja yang hasil akhirnya tidak pasti (Irwin, 1989). Para remaja mengatakan mereka
4
mengambil risiko, karena risiko tersebut meyenangkan, konsekuensinya tampaknya tidak besar, dan semua temannya mengambil keputusan. Perilaku mengambil risiko terkait dengan kehamilan remaja. Media (televisi, music, film, radio, video dan media cetak) mempengaruhi gagasa remaja tentang seksualitas. Dua alasan remaja tahap awal memilih untuk aktif secara seksual adalah meningkatnya gairah seksual dan semakin dininya awitan menarke, yang kini terjadi antara usia 10 dan 12 tahun. Remaja putra mengungkapkan seksualitas mereka dengan pelbagi cara. Usia rata-rata pria melakukan hubungan seksual untuk pertama kali ialah 15,7 tahun. Seorang remaja pria mungkin tisak ingin menerima stigma menjadi satu-satunya perjaka dalam kelompoknya. Akibatnya, saat remaja yang tidak pernah melakukan hubungan seksual mendengar cerita isapan tentang petualangan seksual ini. Banyak remaja pria menjadi aktif secara seksual, bukan karena gairah seksnya, tetapi lebih kerena kebutuhan untuk menjadi bagian dalam kelompok (Alder, dkk., 1990).
2. Kontrasepsi Rata-rata remaja menjadi aktif secara seksual 15 bulan sebelum mulai menggunakan kontrasepsi secara regular. Menurut White dan Kellinger
(1989),
sebagian
besar
remaja
berhenti
menggunakan
kontrasepsi dalam tahun pertama setelah pertama kali menggunakannya. Saat menasihati remaja tentang kontrasepsi, perawat harus mempertimbangkan tingkat maturitas remaja, motivasi untuk menghindari kehamilan, keyakinan moral dan religius, frekuensi hubungan seksual, keteraturan menstruasi, dan risiko terkena PMS. Remaja harus diberi pendidikan tentang semua metode kontrasepsi, termasuk pantang senggama (abstinence). 3. Aborsi Alasan paling umum yang diberikan remaja untuk tidak memberitahukan
orangtua
mereka
5
adalah
keinginan
untuk
mempertahankan hubungan mereka dengan orangtua dan keinginan untuk melindungi orangtua mereka dari stress dan konflik. Sekitar sepertiga remaja, yang tidak bercerita kepada orangtua mereka, mengalami atau merasa takut terhadap kekerasan dalam keluarga. Remaja yang telah melakukan aborsi lebih dari satu kali selama masa remaja mungkin membutuhkan rujukan untuk mendapat konseling psikologis. Karena status perkembangan mereka, remaja biasanya membutuhkan konseling yang lebih intensif dari pada wanita dewasa saat berkoping terhadap aborsi.
4. Pendidikan Seks Orantua mungkin tidak terlibat dalam pendidikan seks anak-anakya karena beberapa alasan, seperti: 1) Orantua tidak memililki informasi yang adekuat 2) Orangtua tidak merasa nyaman dengan topik seks 3) Para remaja tidak merasa nyaman bila orangtua mereka membahas seks. Survei nasional pada orangtua menunjukkan bahwa semakin banyak orangtua mendukung dimasukkannya pendidikan seks pada usia dini (Center for Disease Control and Prevention, 1991, Donovan, 1989 Rosoff, 1989). Program pendidikan seks harus dimulai sebelum masa pubertas dan beberapa orang menyarankan supaya program tersebut dimulai dini, yakni sejak kanak-kanak. Program yang ada harus membahas cara mengatasi dari tekanan teman sebaya, berfokus pada pria dan wanita, dan melibatkan orangtua dalam upaya meningkatkan komunikasi orangtua dan remaja dan menguatkan ikatan keluarga. 5. Hubungan Seksual Menurut Soetjiningsih, 2004 dalam buku Tumbuh Kembang Remaja Dan Permasalahannya. Hubungan seksual yang pertama dialami oleh remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu:
6
1) Waktu/ saat mengalami pubertas. Saat itu mereka tidak memahami tentang apa yang akan dialaminya. 2) Kontrol sosial kurang tepat yaitu telalu ketat atau terlalu longgar. 3) Frekuensi
pertemuan
dengan
pacarnya.
Mereka
mempunyai
kesempatan untuk melakukan pertemuan yang makin sering tanpa kontrol yang baik sehingga hubungan akan makin mendalam. 4) Hubungan antar mereka makin romantis. 5) Kondisi keluarga yang tidak memungkinkan untuk mendidik anakanak untuk memasuki masa remaja dengan baik. 6) Kurangnya kontrol dari orangtua. Orangtua terlalu sibuk sehingga perhatian terhadap anak kurang baik. 7) Status ekonomi. Mereka yang hidup dengan fasilitas berkecukupan akan mudah melakukan pesiar ke tempat-tempat rawan yang memungkinkan adanya kesempatan melakukan hubungan seksual. Sebaliknya, ekonomi yang lemah tetapi banyak kebutuhan/ tuntutan, mereka mencari kesempatan untuk memanfaatkan dorongan seksnya dengan mendapatkan sesuatu. 8) Korban pelecahan seksual yang berhubungan dengan fasilitas antara lain sering mempergunakan kesempatan yang rawan misalnya pergi ke tempat-tempat sepi. 9) Tekanan dari teman sebaya. Kelompok sebaya kadang-kadang saling ingin menunjukkan penampilan diri yang salah untuk menujukkakn kematangannya, missal mereka ingin menunjukkan bahwa mereka sudah mampu membujuk seorang perempuan melayani kepuasan seksualnya. 10) Penggunaan obat-obatan terlarang dan alkohol. 11) Mereka kehilangan kontrol sebab tidak tahu akan batas-batasnya mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. 12) Mereka merasa sudah saatnya untuk melakuakan aktifitas seksual sebab sudah merasa matang secara fisik. 13) Adanya keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacarnya.
7
14) Penerimaan aktifitas seksual pacarnya. 15) Sekedar menunjukkan kegagahan dan kemampuan fisiknya. 16) Terjadi peningkatan rangsangan seksual akibat peningkatan kadar hormon reproduksi/seksual.
6. Penyakit Hubungan Seksual dan Human Immunodeficiency Virus Remaja memiliki risiko terendah terpajan penyakit human immunodifeciency virus (HIV), kecuali bila mereka dianiaya secara seksual orang orang dewasa yang HIV.
2.3 Kehamilan remaja Kehamilan pada masa remaja menghentikan proses pembentukan identitas dan tugas perkembangan. Mencoba secara simultan memenuhi tugas-tugas perkembangan pada masa hamil dan pada masa remaja normal dapat sangat menyulitkan. Beban psikologis dapat menyebabkan depresi dan penundaan dapat memperoleh identitas seorang yang dewasa. Pencegahan primer, sekunder, dan tersier di perlukan untuk mencegah kehamilan pada usia remaja. Pencegahan primer meliputi, tetapi tidak terbatas pada, mengajarkan kaum muda tentang seksualitas. Selain itu, masyarakat harus membahas dalam ketidakadilan dalam pemberian kesempatan, yang menempatkan wanita dan etnik minoritas dalam kondisi dimana mereka berisiko menjadi korban masalah sosial, seperti kehamilan pada remaja. Pelayanan kesehatan yang komprehensif pada remaja harus tersedia. Pencegahan sekunder harus mencakup pelayanan kontrasepsi bagi remaja yang aktif secara seksual. Pencegahan tersier harus mencakup kemudahan untuk perawatan prenatal, keluarga berencana, dan perawatan lanjutan pada bayi dan anak-anak pada remaja ini (McAnarny, Hendee, 1989b). Banyak faktor resiko terkait dengan kehamilan pada remaja, termasuk status sosio-ekonomi yang rendah, status minoritas etnis, dibesarkan dalam keluarga dengan satu orang tua, pendidikan rendah, aspirasi pekerjaan yang rendah, dan dibesarkan dalam masyarakat yang memiliki angka tinggi untuk 8
semua faktor ini. Remaja yang hamil sebelum tamat SMU rata-rata mengalaminya dua tahun sebelum mereka lulus. Remaja berusia kurang dari 16 tahun memiliki resiko lebih besar untuk hamil (McAnarney, Hendee, 1989b). Remaja hamil seringkali memperpanjang periode waktu antara mencurigai bahwa mereka hamil dan memastikan kehamilan tersebut. Hal ini biasanya disebabkan mereka menyangkal bahwa mereka hamil. Karena para remaja tidak rela mencurigai bahwa diri mereka hamil, para petugas kesehatan harus secara langsung menanyai remaja tentang aktivita seksual mereka dan mendiskusikan pentingnya pemeriksaan dini jika dicurigai terjadi kehamilan (Bluestin, Rutledge, 1992). 2.3.1 Tugas Perkembangan Pada Masa Hamil Saat
seorang
remaja
hamil,
ia
menghadapi
tugas-tugas
perkembangan tertentu pada masa hamil. Tugas-tugas tersebut meliputi: 1) Menerima realitas biologis kehamilan - Kebanyakan remaja tidak mengharap untuk menjadi hamil. Dalam studi yang dilakukan, Young, dkk., 1989 menemukan bahwa merahasiakan kehamilan merupakan alasan utama remaja muda gagal memperoleh perawatan prenatal sebelum trimester ketiga. Sebaliknya, motivasi kurang seringkali merupakan alasan yang diberikan oleh remaja lanjut. 2) Menerima realitas tentang bayi yang belum dilahirkan – Remaja mungkin hanya menerima fantasi memiliki bayi lucu, gembira, sehat ia mengenakan bayinya pakaian dan mengajaknya bermain seperti boneka. Ia tidak menerima kenyataan bahwa bayi tersebut akan bertumbuh dan berkembang menjadi anak yang lebih besar. 3) Menerima realita menjadi orangtua – Menjadi orangtua mengandung arti mencintai, memberi perhatian dan mampu memberi perawatan yang dibutuhkan bayi. Meskipun biasanya mereka berkeinginan untuk menjadi orangtua yang baik, ibu dan ayah remaja memiliki pengalaman hidup yang terbatas. Mereka mengabaikan kebutuhan mereka sendiri untuk bertumbuh
9
sehingga kemampuannya untuk berkoping terhadap hal-hal yang abstrak dan menyelesaikan masalah yang sedikit berkembang.
1. Pengaruh Budaya Angka kehamilan pada remaja berpenghasilan rendah dan remaja dari kelompok etnis minoritas tinggi. Kemiskinan dan rasisme sosial memiliki pengaruh yang membahayakan kehidupan keluarga dan masyarakat. Remaja dalam kelompok minoritas cenderung aktif secara seksual pada usia yang lebih dini dan memilik akse yang lebih kecil dalam memperoleh informasi tentang KB daripada remaja berkulit putih. Kurangnya dukungan dari masyarakat dan keluarga, kurangnya pemeliharaan dan supervisi, serta sedikitnya kesempatan untuk mencapai tujuan social dan pendidikan menempatkan kelompok ini berisiko lebih besar untuk mengalami kehamilan pada usia remaja. Perbedaan remaja muncul dalam bentuk perbedaan tingkat pengetahuan dan keyakinan tentang seksualitas, kehamilan, dan upaya pencegahan. Misalnya, banyak Orang Amerika Asli yakin bahwa alat kontrasepsi dalam Rahim (AKDR) dapat membuat bayi memiliki tanda jika kehamilan terjadi. Remaja keturunan Afrika-Amerika menganggap pil KB dan AKDR tidak dapat diterima. Keyakinan dan pilihan remaja kulit putih cenderung bervariasi sesuai agma yang dianut. Remaja putri keturunan Amerika-Meksiko dan Amerika Tengah/ Selatan lebih suka menggunakan KB yang efektif daripada remaja puri yang keturunan Puerto Riko,Kuba, atau Hispanik (Durant,dkk.,1990). Perawat harus menyadari perbedaan yang ada dalam keyakinan budaya supaya terjadi komunikasi yang terbuka. Dengan mengkaji dan menggabungkan keyakinan-keyakinan ini dengan rencana perawatan, perawat dapat memberikan perawatan yang lebih tepat dan program yang lebih efektif untuk mencegah kehamilan.
10
2. Reaksi Keluarga terhadap Kehamilan Remaja Salah satu tugas paling sulit yang dihadapi remaja hamil ialah memberi tahu orangtua mereka. Remaja tidak mungkin memberitahukan kehamilannya sampai kehamilan semakin jelas. Ibu biasanya orang pertama yang mengetahuinya dan berusaha supaya ayah tidak mengetahui kehamilan putri mereka. Reaksi awal orangtua biasanya syok, marah, malu, merasa bersalah dan sedih. Perawat harus mengkaji setiap ketidakharmonisan dalam keluarga. Perawat juga harus membantu anggota keluarga beradaptasi terhadap keputusan yang mereka ambil tentang kehamilan, adopsi, atau abortus.
Stereotype keluarga
berpenghasilan rendah, yakni menerima kehamilan putri mereka dan bayinya tanpa keraguan, tidak terbukti. 3. Ayah Remaja Ayah remaja memiliki kemungkinan lebih besar merupakan anak dari orangtua yang juga menjadi orangtua pada masa remaja daripada kawan-kawan sebaya mereka yang tidak menjadi ayah. Akibatnya, mereka tidak melihat kehamilan sebagai suatu gangguan pada masa muda mereka. Pada beberapa masyarakat berpenghasilan rendah, kemampuan remaja untuk menghamili diapandang sebagai suatu kebanggaan dan tanda kejantanan (Marsiglio, 1993). Ayah remaja kebanyakn lebih miskin dan kurang berpendidikan daripada laki-laki yang tidak menjadi ayah pada usia muda. Kebalikan dari keyakinan yang popular, hubungan pasangan remaja hamil tidak berlangsung sementara, sebaliknya banyak hubungan ini cenderung berlanjut. Menurut Elsters, Lamb & Kimmerly (1989), kurang dari 9% remaja hamil mengenai pasangannya kurang dari 6 bulan sebelum konsepsi dan lebih dari 50% mengenal pasangannya selama dua tahun atau lebih lama. Sebagian besar ayah remaja berusaha memberikan dukungan kepada pasangannya dalam bentuk uang, hadiah, dan kendaraan (Sander, Rosen, 1989). Mereka juga ingin terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan keamilan tersebut. Namun, keluarga dari pasangan remaja ini seringkali tidak melibatkan ayah yang masih remaja ini dalam proses pengambilan keputusan karena merasa marah akibat kehamilan tersebut atau karena mereka yakin ia tidak mampu mengambil keputusan. Seringkali para
11
ayah remaja ini berpikir bahwapasangan mereka tidak sungguh-sungguh memerlukan dukungan mereka, akibatnya beberapa dari mereka tidak merasa bahwa mereka mengabaikan pasangannya. Jika pasangan remaja tidak menikah, hubungan diantara mereka secara perlahan akan hilang. Jika mereka menikah, rasa puas terhadap pernikahan cenderung rendah. Perawat harus mengkaji hubungan pasangan remaja saat menyusun rencana perawatan untuk remaja hamil dan pasangannya. Perawat harus mengenal undang-undang federal dan Negara bagian untuk memastikan bahwa hak0hak pasien dilindungi sesuai dengan isu hukum yang terkait dengan remaja hamil.
2.4 Menjadi Orangtua Pada Masa Remaja Transisi menjadi orangtua mungkin sulit bagi orangtua yang masih remaja. Koping dengan tugas tugas perkembangan orangtua sering kali diperburuk oleh kebutuhan dan tugas perkembangan remaja yang belum dipenuhi. Remaja dapat mengalami kesulitan dalam menerima perubahan citra diri dan menyesuaikan peran peran baru yang berhubungan dengan tanggung jawab merawat bayi. Mereka mungkin merasa “berbeda” dari teman sebayanya, diasingkan dari kegiatan kegiatan yang menyenangkan, dan terpaksa masuk ke peran social orang dewasa lebih dini. Konflik antara keinginan mereka sendiri dan kebutuhan bayi, selain toleransi yang rendah terhadap frustasi, yang memperngaruhi ciri khas remaja, lebih jauh turut membentuk stress psikologi normal yang dialami saat melahirkan anak . Beberapa perbedaan antara ibu remaja dan ibu dewasa telah diamati, misalnya, ibu remaja memberi perawatan fisik yang hangat dan penuh perhatian. Akan tetapi, mereka menggunakan lebih sedikit interaksi verbal daripada orangtua dewasa dan remaja cenderung kurang responsif terhadap bayi mereka daripada ibu yang berusia lebih tua. Meskipun dari beberapa hasil pengamatan ditemukan bahwa beberapa remaja memperlihatakan perilaku yang lebih agresif, tidak ditemukan insiden penganiayaan anak yang lebih tinggi. Sebagai perbandingan dengan ibu dewasa, ibu remaja memiliki pengetahuan yang terbatas tentang
12
perkembangan anak. Mereka cenderung terlalu berharap terlalu banyak dan terlalu cepat dari anak anak mereka dan seringkali mengatakan bayi mereka rewel. Pengetahuan yang terbatas ini dapat membuat remaja tidak memberi respon yang tepat terhadap bayi mereka. 1. Tugas Perkembangan Orangtua Tugas perkembangan orang tua terdiri dari : 1) Menyatukan gambaran anak yang dibayangkan dengan anak yang sesungguhnya, 2) Menjadi terampil dalam aktivitas merawat, 3) Menyadari kebutuhan bayi, dan 4) Menyatukan bayi kedalam keluarga. Meskipun secara biologis adalah mungkin bagi seorang remaja puteri untuk menjadi orangtua, tetapi egosentrisme dan pikiran konkret remaja menghambat kemampuan mereka dalam berperan sebagai orangtua yang efektif. Remaja tahap awal tidak berpengalaman dan tidak siap untuk mengenali tanda tanda awal penyakit, bahaya potensial, atau bahaya dalam rumah tangga. Bayi dapat tanpa sengaja terabaikan. Angka kematian bayi yang lebih tinggi ini antara lain ini antara lain disebabkan ibu remaja tidak berpengalaman, memiliki pengetahuan yang kurang, dan tidak dewasa,. Hal ini menyebabkan ia tidak mampu mengenali masalah dan memperoleh sumber sumber yang penting. Sekalipun demikian , pada banyak kasus, dengan dukungan yang adekuat dan penyuluhan tentang tahan perkembangan yang sesuai, remaja dapat mempelajari keterampilan menjadi orangtua yang efektif.
2. Keluarga Besar Masa usia subur pada keluarga berpenghasilan rendah seringkali dilalui tanpa dukungan dan kehadiran ayah bagi bayi yang baru lahir . bagi remaja tahap awal, anggota keluarga lain dapat berperan penting dalam perawatan bayi. Seringkali nenek bayi tersebut mendukung, melatih , atau mengawasi ibu remaja ini saat ia mempelajari peran ibu. Seringkali nenek si bayi melakukan peran
13
petugas kesehatan primer karna ia berpikir putrinya terlalu muda atau tidak dapat mengambil keputusan yang penting sebagai pengasuh.
3. Resiko Sosioekonomi Kehamilan pada usia remaja sejak lama merupakan penyebab utama remaja puteri berhenti sekolah lebih awal. Berhenti sekolah berhubungan dengan pengangguran dan kemiskinan. Akibatnya, orangtua remaja ini seringkali gagal menyelesaikan pendidikan dasar mereka, memiliki sedikit kesempatan untuk bekerja dan meningkatkan karier, dan berpotensi menghasilkan pemghasilan yang terbatas. Lebih banyak ibu yang muda daripada ibu yang tua tinggal dalam keluarga dengan pendapatan tahunan dengan mendekati garis kemiskinan. Dana yang diberikan bantuan untuk Anak-anak yang mebutuhkan ( Aid to Dependent Children (ADC) ) seringkali tidak memberi dukungan yang memadai bagi perkembangan optimal Anak-anak. Ibu remaja cenderung lebih banyak memiliki anak daripada yang mereka inginkan dan usia anak anak mereka cenderung berdekatan. Semua faktor ini menyebabkan sumber-sumber menjadi tebatas sehingga menggangu remaja untuk secara optimal melakukan peran sebagai orangtua. Penelantaran anak, penganiayaan anak, serta perpisahan dan percerain terjadi dua sampai empat kali lebih sering terjadi diantara wanita yang menikah pada usia remaja daripada wanita yang menikah saat berusia 20 tahunan. Selain stress akibat transisi ke kehidupan pernikahan, ketidakstabilan kelurga juga terkait dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan yang rendah serta sistem pendukung yang kurang.
4. Remaja Tahap Awal Yang Hamil Remaja tahap awal yang beresiko paling besar untuk menghadapi masalah dalam masa hamil dan melahirkan anak. Karena remaja tahap awal cenderung memulai perawatan prenatall lebih lambat daripada remaja berusia lebih tua dan wanita dewasa, mereka memiliki resiko tinggi. Memperoleh perawatan prenatal
14
lebih lambat dapat menyebabkan ibu tidak memiliki cukup waktu ( sebelum melahirkan ) untuk mengatasi masalah-masalahnya. Remaja kelompok ini juga memiliki resiko lebih bersar untuk mengalami kondisi yang berhubungan dengan kehamilan pertama (misalnya, hipertensi kehamilan). Jika perawatan prenatal dilakukan secara dini dan konsisten dan factor resiko yang tinggi diperhitungkan (misalnya, factor sosioekonomi), resiko ibu dan bayi akan sama dengan rasiko wanita hamil yang berusia lebih tua. Untuk mengurangi resiko dan konsekuensi kehamilan pada remaja, perawat perlu melakukan perawatan prenatal dini dan berkesinambungan dan bila perlu, merujuk remaja tersebut ke pelayanan yang yang mendukungnya secara sosial serta dapat memperbaiki lingkungan sosial ekonomi yang negatif.
15
BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Masa remaja ialah periode waktu individu beralih dari fase anak ke fase dewasa. Anak-anak harus melakukan tugas perkembangan pada masa remaja. Periode masa remaja dapat dibagi ke dalam tiga tahap, yaitu remaja tahap awal (Usia 10-14 tahun), remaja tahap menengah (Usia 1516 Tahun), remaja tahap akhir (Usia 17- 21 Tahun). Seksualitas Pada Remaja Seksualitas adalah komponen identitas personal individu tidak terpisahkan dan berkembang dan semakin matang sepanjang kehidupan individu. Seksualitas tidak sama dengan seks. Seksualitas ialah interaksi faktor-faktor biologi, psikologi personal dan lingkungan. Fungsi biologis mengacu pada kemampuan individu umtuk memberi dan menerima kenikmatan dan untuk bereproduksi. Kehamilan pada masa remaja menghentikan proses pembentukan identitas dan tugas perkembangan. Mencoba secara simultan memenuhi tugas-tugas perkembangan pada masa hamil dan pada masa remaja normal dapat sangat menyulitkan. Beban psikologis dapat menyebabkan depresi dan penundaan dapat memperoleh identitas seorang yang dewasa. Pencegahan primer, sekunder, dan tersier di perlukan untuk mencegah kehamilan pada usia remaja. Menjadi orangtua pada masa remaja, koping dengan tugas tugas perkembangan orangtua sering kali diperburuk oleh kebutuhan dan tugas perkembangan remaja yang belum dipenuhi.Sebagai perbandingan dengan ibu dewasa, ibu remaja memiliki pengetahuan yang terbatas tentang perkembangan anak. Mereka cenderung terlalu berharap terlalu banyak dan terlalu cepat dari anak anak mereka dan seringkali mengatakan bayi mereka rewel. Pengetahuan yang terbatas ini dapat membuat remaja tidak memberi respon yang tepat terhadap bayi mereka.
16
17