Bab 2 Inovasi Revisi

  • Uploaded by: Yulia Indah P
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 2 Inovasi Revisi as PDF for free.

More details

  • Words: 6,256
  • Pages: 27
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP LUKA BAKAR 2.1.1 Definisi Luka Bakar Luka bakar merupakan suatu bentuk kerusakan pada kulit atau jaringan organik lain yang utamanya disebabkan oleh panas atau trauma akut (Peck, 2012). Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti kobaran api di tubuh (flame), jilatan api ke tubuh (flash), terkena air panas (sclad), tersentuh benda panas (kontak panas), akibat sengatan listrik, akibat bahanbahan kimia, serta sengatan matahari (sunburn) (Oryan, 2017).

2.1.2 Etiologi Luka Bakar Penyebab dari luka bakar diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Luka bakar suhu tinggi Luka bakar yang disebabkan oleh api tercatat hampir 50% dari kasus yang terjadi pada orang dewasa, sedangkan jumlah kasus untuk anak-anak yang disebabkan oleh air panas cukup menonjol yaitu sebanyak 70%. Luka bakar ini dapat berhubungan dengan luka yang lain, termasuk trauma pernapasan (Rudall, N. and Green, 2010). 2. Luka bakar sengatan listrik Luka bakar karena sengatan listrik dapat disebabkan arus yang keluar dan masuk melalui tubuh. Kerusakan internal mengikuti arus listrik dapat terjadi selama luka bakar, luka yang timbul tergantung tegangan volt. Kerusakan dapat melibatkan jantung, terutama aritmia (Rudall, N. and Green, 2010). 3. Luka bakar bahan kimia Luka bakar karena bahan kimia biasanya disebabkan oleh produk rumah tangga, kecelakaan kerja dalam industri. Zat kimia alkali biasanya lebih menyebabkan kerusakan daripada asam, kecuali asam fluorida, walaupun seringkali hanya sedikit nyeri yang dirasakan pada tahap awal. Kerusakan karena alkali yang menimbulkan saponifikasi pada lemak yang menimbulkan panas dan kerusakan lebih lanjut (Rudall, N. and Green, 2010). 4. Luka bakar radiasi Penyebab luka bakar yang lain adalah paparan radiasi sinar ultraviolet yang lama (Rudall, N. and Green, 2010).

2.1.3 Patofisiologi Luka Bakar Luka bakar dapat menimbulkan efek lokal dan sistemik. Efek lokal dari luka bakar adalah kulit kemerahan, bengkak, nyeri dan perubahan sensasi rasa (Rudall, N. and Green, 2010). Derajat keparahan efek lokal ini dipengaruhi oleh suhu yang mengenai kulit, penyebab panas dan durasi paparan panas. Penyebab utama terjadinya efek lokal adalah nekrosis epidermis dan jaringan (Gauglitz, G.G and Jeschke, 2012). Pada efek lokal, dikenal adanya zona luka bakar yang dibagi berdasarkan tingkat kerusakan jaringan. Jackson‟s burn model membagi luka bakar menjadi 3 zona yaitu zona koagulasi, zona stasis, dan zona hiperemia. Zona koagulasi adalah pusat dari luka bakar dan telah terjadi kerusakan berat atau nekrosis sebagai hasil dari kerusakan jaringan yang tidak dapat pulih (Rudall, N. and Green, 2010). Area yang melingkupi zona nekrosis mengalami kerusakan ringan dengan penurunan perfusi jaringan disebut zona stasis. Keadaan zona ini dipengaruhi oleh lingkungan untuk dapat bertahan dan kembali pulih atau semakin parah menuju coagulative necrosis. Zona stasis berhubungan dengan kerusakan vaskular dan vessel leakage. Zona hiperemia adalah area yang mengalami vasodilatasi dari inflamasi sekitar luka bakar. Area ini berisi jaringan hidup yang menjadi awal proses penyembuhan dan secara umum tidak berisiko terjadi nekrosis yang lebih lanjut (Gauglitz, G.G and Jeschke, 2012). Pembagian zona beserta efek resusitasi yang memadai dan tidak memadai ditunjukkan oleh Gambar 2.1

Gambar 2.1 Jackson‟s burn zones dan efek resusitasi yang memadai dan tidak memadai (Hettiaratchy, 2004)

Efek sistemik ditimbulkan oleh pelepasan sitokin dan mediator inflamasi yang lain saat luas luka bakar telah mencapai 30% dari TBSA (Total Body Surface Area). Luka

bakar yang luasnya lebih besar dari sepertiga TBSA menimbulkan kerusakan berat pada fungsi kardiovaskular yang disebut dengan syok. Syok adalah kondisi abnormal ketika perfusi jaringan tidak cukup kuat untuk mengantarkan asupan oksigen dan nurisi serta mengeluarkan hasil produksi sel yang tidak dibutuhkan (Gauglitz, G.G and Jeschke, 2012). Penyebab syok adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang terjadi selama 36 jam setelah timbulnya luka bakar. Protein dan cairan yang tertarik menuju ke ruang intersisial menimbulkan edema dan dehidrasi. Untuk mengkompensasi kondisi ini, pembuluh perifer dan splanknik mengalami kontriksi dan terjadi hipoperfusi (Rudall, N. and Green, 2010). Sirkulasi mediator inflamasi mempengaruhi penyimpanan air dan garam pada renal, perbaikan kontraktilitas jantung dan menyebabkan vasokonstriksi. Adanya hipovolemia dan gangguan fungsi jantung dapat menyebabkan kondisi ini berlanjut menjadi iskemik. Efek sistemik yang dihasilkan oleh luka bakar adalah penurunan volume intravaskular, peningkatan resistensi vaskular, penurunan cardiac output, iskemik dan asidosis metabolik (Gauglitz, G.G and Jeschke, 2012).

2.1.4 Klasifikasi Luka Bakar Luka bakar dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalaman luka bakar, luas area, dan tingkat kerusakan yang terjadi. Berdasarkan kedalaman kerusakannya, luka bakar diklasifikasikan menjadi 4 derajat: 1. Luka bakar derajat I (superficial) Pada luka derajat pertama, lapisan epidermis masih utuh namun terjadi eritema, warna memucat dan timbul rasa sakit. Contoh luka derajat pertama adalah bercak terbakar matahari dan luka kecil yang disebabkan terkena air mendidih di dapur (Yasti, A.Ç., Şenel, E., Saydam, M., Özok, Gi., Çoruh, A. and Yorgancı, 2015). 2. Luka bakar derajat II (partial thickness) Terjadi kerusakan epidermal pada luka derajat kedua (Yasti, A.Ç., Şenel, E., Saydam, M., Özok, Gi., Çoruh, A. and Yorgancı, 2015). Jika luka mengenai sedikit bagian atas dari lapisan dermis, luka ini disebut luka bakar derajat dua permukaan. Pada jenis luka bakar ini sering timbul gelembung-gelembung yang berisi air, contohnya adalah luka bakar yang dikarenakan terkena nyala api (Gauglitz, G.G and Jeschke, 2012). Apabila kerusakan lebih dalam dan sensasi raba mulai berkurang, maka telah timbul luka bakar derajat dua yang lebih dalam. Luka bakar yang telah mengenai retikular dermis tampak lebih pucat dan burik (Gauglitz, G.G and Jeschke, 2012).

3. Luka bakar derajat III (full thickness) Kerusakan pada luka bakar derajat ketiga melibatkan seluruh lapisan dermis yang ditandai dengan kulit mengeras, berwarna gelap, kering, dan tidak terasa sakit (Gauglitz, G.G and Jeschke, 2012). 4. Luka bakar derajat IV (full thickness) Kerusakan telah terjadi pada seluruh lapisan kulit, jaringan subkutan dan jaringan yang lebih dalam seperti otot, tulang dan otak (Gauglitz, G.G and Jeschke, 2012). Seorang pasien dapat mengalami luka bakar dengan bermacammacam kedalaman luka bakar. Kedalamannya dapat meningkat saat dilakukan penetapan kembali setelah beberapa hari terjadinya luka bakar. Kondisi ini tergantung dari terapi yang diberikan (Rudall, N. and Green, 2010). Kedalaman dan luas luka bakar perlu ditentukan sebelum melakukan perawatan terhadap luka. Anatomi kulit yang berkaitan dengan kedalaman luka bakar ditunjukkan oleh Gambar 2.2

Gambar 2.2 Anatomi kulit dan hubungannya dengan kedalaman luka bakar (Sjoberg, 2012)

Klasifikasi luka bakar berdasarkan kriteria berat ringannya kondisi yang terjadi adalah sebagai berikut (Yasti, A.Ç., Şenel, E., Saydam, M., Özok, Gi., Çoruh, A. and Yorgancı, 2015): 1. Luka bakar ringan a. Luka bakar derajat II dengan luas < 15% TBSA pada dewasa b. Luka bakar derajat II dengan luas < 10% TBSA pada anak-anak c. Luka bakar derajat III dengan luas < 2% TBSA 2. Luka bakar sedang a. Luka bakar derajat II dengan luas 15-25% TBSA pada dewasa b. Luka bakar derajat II dengan luas 10-20% TBSA pada anak-anak c. Luka bakar derajat III dengan luas 2-10% TBSA

3. Luka bakar berat a. Luka bakar derajat dengan luas II >25% TBSA pada dewasa b. Luka bakar derajat dengan luas II >25% TBSA pada anak-anak c. Luka bakar derajat dengan luas III >10% TBSA Terdapat dua metode yang biasa digunakan untuk menghitung luas luka bakar yaitu Wallace‟s “rule of nines” dan Lund and Browder chart (Rudall, N. and Green, 2010). Berdasarkan Role of Nine untuk orang dewasa, setiap ekstermitas atas, kepala dan leher dihitung 9% dari TBSA, ekstermitas bawah dan tubuh anterior dan posterior masingmasing 18% dari TBSA, perineum dan genitalia diasumsikan 1% dari TBSA (Gauglitz, G.G and Jeschke, 2012). Metode penentuan luas luka bakar dengan Lund and Browder chart lebih akurat, karena mempertimbangkan perubahan proporsi tubuh berdasarkan usia. Contohnya, anak-anak memiliki kepala yang proporsinya relatif lebih besar daripada orang dewasa. Bagian eritema sebaiknya tidak diikutkan dalam perhitungan ini (Rudall, N. and Green, 2010). Anak-anak memiliki porsi yang besar pada bagian kepala dan leher untuk mengkompensasi area yang lebih kecil pada ekstermitas bawah. Kepala dan leher bayi dianggap 21% TBSA dan masing-masing kaki 13% TBSA (Gauglitz, G.G and Jeschke, 2012). Penentuan luas area luka bakar ditunjukkan oleh Gambar 2.3 dan Gambar 2.4. Perkiraan luas dan kedalaman luka bakar membantu dalam penentuan tingkat keparahan luka, prognosis dan pengaturan terapi kepada pasien (Mlcak, R.P., Buffalo, M.C. and Jimenez, 2012).

Gambar 2.3 Estimasi ukuran luka bakar menggunakan Rule of Nines (Sjoberg, 2012)

Gambar 2.4 Estimasi ukuran luka bakar menggunakan metode Lung dan Browder (Mlcak, R.P., Buffalo, M.C. and Jimenez, 2012)

2.1.5 Tinjauan Tentang Terapi Luka Bakar Pemeriksaan keadaan dari pasien luka bakar perlu dilakukan sebelum pemberian terapi. Pemeriksaan ini dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan primer dan sekunder. Pada pemeriksaan primer, pasien berada dalam kondisi yang mengancam jiwa sehingga harus segera diidentifikasi dan dilakukan pengobatan. Algoritma pemeriksaan primer luka bakar mayor ditunjukkan oleh Gambar 2.5. Pada tahap sekunder dilakukan pemeriksaan untuk seluruh tubuh dengan lebih teliti. Manajemen awal dari pasien luka bakar sama dengan penanganan untuk pasien trauma lain yang meliputi ABCDE (Mlcak, R.P., Buffalo, M.C. and Jimenez, 2012). Penanganan awal tersebut adalah sebagai berikut: 1. Airway Pemeriksaan dan evaluasi jalan nafas harus segera dilakukan. Luka bakar pada wajah atau edema jalan nafas atas dapat membahayakan jalan nafas. Pasien yang tidak sadar, biasanya disebabkan adanya paparan karbon monoksida atau sianida atau luka lain yang membahayakan jalan nafas sehingga intubasi sebaiknya segera dilakukan. Pemberian 100% oksigen adalah perlakuan yang tepat untuk luka bakar yang disebabkan oleh karbon monoksida atau sianida (Sjoberg, 2012). 2. Breathing Tata laksana pernafasan termasuk memperoleh radiografi dari dada dan perkiraan kecukupan ventilasi (Cancio, 2014). Radiografi dada yang normal tidak ditemukan pada inhalation injury. Pemeriksaan pola pernafasan dan fungsi paru sebaiknya dilakukan untuk tambahan evaluasi jalan nafas atas terutama untuk kasus luka bakar circular thoracic (Sjoberg, 2012). Pada thoracic eschar syndrome, edema menambah kekuatan eskar yang kaku selama periode resusitasi, secara berangsurangsur dada mengkerut dan menyebabkan peningkatan peak airway pressure diikuti adanya respiratory arrest. Pengobatan yang dapat dilakukan adalah thoracic escharotomy dengan cepat, yang akan memberikan hasil perbaikan chest compliance dengan segera. 3. Circulation Keadaan sistem peredaran darah pasien sebaiknya diperiksa, termasuk penilaian warna kulit, sensitivitas, peripheral pulses dan capillary refill. Denyut nadi dan tekanan darah juga ikut menentukan kecukupan perfusi organ. Efek dari penentuan denyut nadi perlu dipertimbangkan, karena denyut nadi dapat disebabkan oleh kondisi lain selain hipovolemia, contohnya nyeri. Monitoring tekanan darah cukup sulit untuk dilakukan, perlu hati-hati terhadap risiko terjadinya kesalahan contohnya

deep circumferential burns. Pada kasus peripheral ciculation di ekstermitas perlu disepakati pertimbangan pemberian awal eskarotomi (Sjoberg, 2012). 4. Disability Pasien luka bakar yang berada dalam fase akut namun kondisinya masih normal seharusnya tidak mengalami perubahan level of consciousness (LOC). LOC dapat ditentukan dengan Glascow Coma Scale (GCS). Apabila LOC berubah, dicurigai terdapat proses lain yang mendasari seperti trauma lain, karbon monoksida, intoksikasi sianida, hipoksia dan kondisi medis yang lain contohnya stroke atau diabetes (Sjoberg, 2012). 5. Expose and examine Pemerikaan secara menyeluruh sebaiknya dilakukan pada pasien. Pakaian dan perhiasan seperti cincin perlu dilepaskan. Hati-hati terhadap risiko hipotermia. Pada kesempatan ini perlu dilakukan perkiraan dan evaluasi. Hasil dari tahapan ini penting untuk menentukan pemberian awal terapi cairan ketika luka bakar telah meluas (Sjoberg, 2012). 6. Fluid Resusitasi cairan dibutuhkan oleh pasien dengan luka bakar >15% TBSA pada orang dewasa dan >10% pada anak-anak, terutama 48 jam setelah timbul luka bakar (Green dan Rudall, 2010). Resusitasi cairan bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ secara menyeluruh dan menghadapi inflamasi sistemik yang masif serta hipovolemia cairan intravaskular dan ekstravaskular (Tricklebank, 2008).

Gambar 2.5 Algoritma pemeriksaan primer luka bakar mayor (Hettiaratchy, S. and Papini, 2004)

Manajemen awal penanganan atau resusitasi luka bakar sangat penting untuk dilakukan. Selain hal tersebut, beberapa pasien memerlukan terapi berikut: 1. Analgesik Nyeri yang terjadi setelah luka bakar ditimbulkan oleh berbagai sumber dan alasan. Kedalaman luka bakar tidak selalu berhubungan langsung dengan intensitas nyeri. Berbagai macam nyeri yang terjadi setelah luka bakar ialah nyeri nosiseptif, nyeri neuropati, nyeri

yang berhubungan dengan inflamasi, phantom-limb pain,

Sympathetically Maintained Pain (SMP), dan Complex regional pain syndrome (CRPS) (Girtler, 2012). 2. Antibiotik Pasien luka bakar akan sering memperlihatkan respon inflamasi sistemik seperti peningkatan suhu tubuh, denyut jantung, kecepatan pernapasan dan peningkatan jumlah leukosit sehingga tampak seperti terjadi sepsis tanpa infeksi. Antibiotik sistemik dan tes sensitivitas sebaiknya menjadi panduan kultur, tidak diberikan

profilaksis. Antimikroba atau antiseptik topikal sering diberikan untuk mencegah perkembangan infeksi pada area luka bakar, jaringan yang dicangkok atau tempat donor. Melokalisir infeksi pada luka dapat mengganggu penyembuhan atau menyebabkan kerusakan jaringan yang dicangkok. Pemilihan pengobatan biasanya diatur oleh hasil dari wound swab dan pemeriksaan fisik dari luka. Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa dan Acinetobacter baumannii adalah patogen yang biasanya meyerang (Green, A and Rudall, 2010). Antimikroba topikal yang dapat diberikan ialah silver nitrat (AgNO3), natrium hipoklorida (NaOCl), silver sulfadiazin, sulfamilon, povidon-iodin, gentamisin sulfat, basitrasin atau polimiksin, nitrofurantoin, mupirocin, acticoat AB dan nistatin (Gallagher, J.J., Branski, L.K., Bouyer, N. W., Villareal, C., 2012). 3. Terapi lain a. Antikoagulan. Luka bakar merupakan faktor risiko dari venous thromboemboli, oleh karena itu sebagian besar pasien sebaiknya profilaksis dengan low molecule weight heparin LMWH (Green, A and Rudall, 2010). b. Acid supresan. Luka bakar adalah faktor risiko dari duodenal ulcer (Curling‟s ulcer), oleh karena itu sebaiknya pasien mendapatkan proton pump inhibitor atau antagonis reseptor H2 (Green, A and Rudall, 2010). 4. Terapi cairan Luka bakar salah satu terapi yang harus diperhatikan adalah terapi cairan, dimana pada kasus luka bakar tubuh akan mengalami kehilangan cairan yang banyak dalam waktu yang singkat (Gillenwater and Garner, 2017). Terapi cairan perlu diperhatikan karena dapat meminimalkan komplikasi yang mengarah ke kematian (Guilabert et al., 2016). Terapi cairan dipengaruhi oleh prosentase luas luka bakar yang mana ditentukan dengan teori rule of nine dan berat badan. Berat badan sangat berpengaruh besar, karena semakin berat maka akan makin banyak pula cairan yang dibutuhkan (Rosenthal et al., 2018). Rumus yang dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan pada pasien luka bakar ada beberapa, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel a. Kristaloid Kata kristaloid digunakan untuk mendeskipsikan adanya air yang berisi elektrolit berbentuk kristal yang dapat melewati membran endotelial pembuluh darah dengan mudah diikuti oleh air untuk keseimbangan antara intravaskular dan ekstravaskular (Lira, A and Pinsky, 2014). b. Koloid

Kata “koloid” digunakan untuk mengartikan cairan encer yang berisi makromolekul organik dan elektrolit. Molekul dengan ukuran yang besar memiliki kemampuan yang terbatas untuk melintasi membran endotelial. Molekul-molekul tertahan dalam ruang intravaskular dalam kadar yang lebih besar daripada kristaloid serta memperlihatkan tekanan onkotik yang besar (Lira, A and Pinsky, 2014). Koloid berada dalam intravaskular lebih lama daripada kristaloid. c. Nutrisi parenteral Definisi nutrisi parenteral adalah pemberian makanan melalui aliran darah (intravena), sedangkan nutrisi parenteral total adalah pemberian makanan hanya melalui rute intravena (Chowdary, k and Reddy, 2010).

Tabel 1. Rumus Perhitungan Cairan pada Luka Bakar (Cancio, Bohanon and Kramer, 2017)

2.1.6 Komplikasi Semua masalah kesehatan akan dapat berpotensi terjadi kondisi komplikasi, kondisi tersebut akan terjadi apabila penanganan dari masalah kesehatan kurang atau tidak tepat. Luka bakar merupakan masalah dalam kesehatan, maka perlu penanganan yang tepat. Komplikasi yang dapat muncul diantaranya: a.

Infeksi pada luka bakar

b. Gangguan pernapasan c.

Hipovolemia

d. Syok hypovolemia Komplikasi yang paling dekat dengan kematian adalah kondisi syok akibat hypovolemia pada pasien luka bakar, berikut skema gambaran terjadinya syok pada pasien luka bakar:

Gambar 2.6 Patofisiologi syok pada luka bakar (Guilabert et al., 2016)

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang 1. Hitung darah lengkap: Hb (Hemoglobin) turun menunjukkan adanya pengeluaran darah yang banyak sedangkan peningkatan lebih dari 15% mengindikasikan adanya cedera,

pada

Ht

(Hematokrit)

yang

meningkat

menunjukkan

adanya

kehilangan cairan sedangkan Ht turun dapat terjadi sehubungan dengan kerusakan yang diakibatkan oleh panas terhadap pembuluh darah. 2. Leukosit: Leukositosis dapat terjadi sehubungan dengan adanya infeksi atau inflamasi. 3. GDA (Gas Darah Arteri): Untuk mengetahui adanya kecurigaaan cedera inhalasi. Penurunan tekanan oksigen (PaO2) atau peningkatan tekanan karbon dioksida (PaCO2) mungkin terlihat pada retensi karbon monoksida. 4. Elektrolit serum: Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan dengan cedera jaringan dan penurunan fungsi ginjal, natrium pada awal mungkin menurun karena kehilangan cairan, hipertermi dapat terjadi saat konservasi ginjal dan hipokalemi dapat terjadi bila mulai diuresis.

5. Natrium Urine: Lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan cairan, kurang dari 10 mEqAL menduga ketidakadekuatan cairan. 6. Alkali Fosfat: Peningkatan Alkali Fosfat sehubungan dengan perpindahan cairan interstisial atau gangguan pompa, natrium. 7. Glukosa Serum: peninggian glukosa serum menunjukkan respon stress. 8. Albumin Serum: Untuk mengetahui adanya kehilangan protein pada edema cairan. 9. BUN atau Kreatinin: Peninggian menunjukkan penurunan perfusi atau fungsi ginjal, tetapi kreatinin dapat meningkat karena cedera jaringan. 10. Loop aliran volume: Memberikan pengkajian non-invasif terhadap efek atau luasnya cedera. 11. EKG: Untuk mengetahui adanya tanda iskemia miokardial atau disritmia 12. Fotografi luka bakar: Memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar

2.1.8 Penatalaksanaan Medis Pasien luka bakar (Combustio) harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama adalah mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah terjadi edema luka bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau banyak. Pada pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih daripada trakeostomi. Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal yang tidak dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada pasien luka bakar menimbulkan kecurigaan adanya jejas “tersembunyi‟. Oleh karena itu, setelah mempertahankan ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis dan menatalaksana jejas lain (trauma tumpul atau tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi juga penting dalam evaluasi awal. Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu mengevaluasi adanya kemungkinan trauma tumpul.

Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas dari luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer pasien adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan, melepas dari eskar yang mengkonstriksi. 1. Tatalaksanan resusitasi luka bakar a. Tatalaksanan resusitasi jalan napas 1) Intubasi Tindakan

intubasi

dikerjakan

sebelum

edema

mukosa

menimbulkan manifestasi obstruksi. Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas dan sebagai fasilitas pemelliharaan jalan nafas. 2) Krikotiroidotomi Bertujuan

sama

terlalu agresif dan

dengan

intubasi

hanya

menimbulkan morbiditas

saja

dianggap

lebih besar dibanding

intubasi. Krikotiroidotomi memperkecil dead space, memperbesar tidal volume, lebih mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan pasien dapat berbicara jika dibanding dengan intubasi. 3) Pemberian oksigen 100% : Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat patologi jalan nafas yang menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam pemberian oksigen dosis besar karena dapat menimbulkan stress oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal bebas yang bersifat vasodilator dan modulator sepsis. 4) Perawatan jalan nafas 5) Penghisapan sekret (secara berkala) 6) Pemberian terapi inhalasi Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam lumen jalan nafas dan mencairkan sekret kental sehingga mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya menggunakan cairan dasar natrium klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila perlu. Selain itu bisa ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat (menurunkan produksi sekret), natrium bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan steroid (masih kontroversial). 7) Bilasan bronkoalveolar 8) Perawatan rehabilitatif untuk respirasi 9) Eksarotomi pada dinding toraks yang bertujuan untuk kompliansi paru

memperbaiki

b. Tatalaksanan resusitasi cairan Resusitasi

cairan

diberikan

dengan

tujuan

preservasi

perfusi

yang

adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh darah vaskular regional, sehingga iskemia jaringan tidak terjadi pada setiap organ sistemik. Selain itu cairan diberikan agar dapat meminimalisasi dan eliminasi cairan bebas yang tidak diperlukan, optimalisasi status volume dan komposisi intravaskular untuk menjamin survival/maksimal dari seluruh sel, serta meminimalisasi respons inflamasi

dan

hipermetabolik

dengan

menggunakan

kelebihan

dan

keuntungan dari berbagai macam cairan seperti kristaloid, hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan adanya resusitasi cairan yang tepat, kita dapat mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologik dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin. Resusitasi

cairan

dilakukan

dengan

memberikan

cairan

pengganti.

Ada beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan ini: a) Cara Evans 1) Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam 2) Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam 3) 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan

dalam

setengah

jumlah

16

jam

cairan

berikutnya.

hari

pertama.

Pada

hari

kedua

diberikan

Pada

hari

ketiga

diberikan

setengah jumlah cairan hari kedua. b) Cara Baxter Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua. c. Resusitasi Nutrisi Pada

pasien

luka

bakar,

pemberian

nutrisi

secara

enteral

sebaiknya

dilakukan sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar,

maka

pemberian

nutrisi

dapat

melalui

naso-gastric

tube

(NGT).

Nutrisi

yang

diberikan

sebaiknya

mengandung

10-15%

protein,

50-60%

karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. 2. Penanganan Luka Penanganan luka merupakan hal yang sangat penting dalam menangani pasien luka bakar baik untuk mencegah infeksi maupun menghindari terjadinya sindrom kompartemen karena adanya luka bakar. a. Pendinginan Luka Mengingat sifat kulit merupakan penyimpanan panas yang terbaik maka, pada pasien luka bakar tubuh masih tetap menyimpan energy kalor setelah beberapa menit terjadinya trauma panas. Oleh karena itu tindakan pendinginan luka perlu dilakukan untuk mencegah luka bakar lebih dalam, dan perluasaan kerusakan fisik sel, mencegah dehidrasi juga membersihkan luka sekaligus mengurangi nyeri. b. Debridement Debridemen bertujuan untuk membersihkan luka dan jaringan-jaringan nekrosis atau bahan lain yang menempel pada luka juga mencegah terjadinya infeksi dan mempercepat penyembuhan luka. Tindakan ini bisa dilakukan pada saat pendinginan luka, perawatan luka, penggantian balutan atau pada saat tindakan pembedahan. c. Tindakan Pembedahan Luka bakar mengakibatkan terjadinya jaringan parut. Jaringan parut merupakan terkoagulasi

jaringan yang

dermis bisa

dan

epidermis

bersifat

yang

progresif.

berisi

protein

yang

Pada

luka

bakar

jaringan yang terbentuk akan mengeras dan menekan pembuluh darah sehingga diperlukan tindakan eskarotomi. Eskarotomi merupakan tindakan pembedahan utama untuk mengatasi perfusi jaringan yang tidak adekuat karena adanya eschar yang menekan vascular. Tindakan yang dilakukan hanya berupa insisi dan bukan membuang eschar. Apabila tindakan ini dilakukan akan mengakibatkan tidak adanya aliran darah ke pembuluh darah dan terjadi hipoksia serta iskemia jaringan. Tindakan pembedahan lain yang sering dipakai adalah eksisi tangensial yaitu tindakan

membuang jaringan dan jaringan dibawahnya sampai persis diatas fasia dimana terdapat pleksus pembuluh darah sehingga langsung dilakukan operasi skin graft. Pada eksisi tangensial, kulit yang terkena luka bakar dihilangkan dalam lapirsan tipis dengan dermatom sampai dicapai jaringan viabel

yang

mendasari. Bila seluruh luka sudah dieksisi sampai lapangan normal, maka luka sudah bisa ditutup dengan cangkokan sebagai ketebalan kulit (split thickness). Cangkokan kulit harus disesuaikan dengan keadaan kulit yang akan dicangkokan. Sebagai contoh apabila luka bakar terjadi pada wajah dengan cangkokan kecil maka harus ditutup dengan cangkokan kecil yang diambil dari daerah post-auricularis atau supraclavicularis untuk menghindari kesulitan mencocokan warna. Bedah rekonstruksi merupakan tindakan bedah yang mengkhususkan pada penanganan kecacatan serta kelainan pada kulit, jaringan lunak, rangka, dan otot. Salah satu contoh tindakan bedah ini adalah cangkok kulit (transpalnatasi kulit) pada pasien yang mengalami kerusakan kulit akibat luka bakar atau kecelakaan. Transplantasi umumnya merupakan auto-transplantasi, yaitu kulit yang digunakan berasal dari individu yang sama. Hal ini dilakukan sebgai upaya untuk meningkatkan keberhasilna tindakan bedah untuk meminimalkan reaksi penolakan tubuh yang dapat timbul. Metode baru yang digunakan dalam transplantasi kulit, yaitu split cangkok kulit dan flap. 1) Split cangkok kulit (skin grafting) Split cangkok kulit merupakan cangkok lapisan epidermis kulit yang dapat dipindahkan secara bebas. Kulit yang digunakan dapat berasal dari bagian mana saja dari tubuh, namun pada umumnya berasal dari daerah paha, pantat, punggu atau perut. Permukaan kulit dapat diperluas dengan membuat irisan-irisan yang bila direnggangkan akan membentuk jala, sehingga luasnya dapat mencapai 1,5 hingga 6-9x luas semula. Teknik cangkok jala ini disebut mesh dan biasanya digunakan pada luka bakar yang luas. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka diperlukan beberapa persyaratan antara lain sistem peredaran darah pada daerah resipien (daerah yang mendapatkan kulit cangkokan) harus baik, tidak infeksi, dan keadaan umum penderita harus baik.

2) Flap Flap adalah cangkok jaringan kulit beserta jaringan lunak dibawahnya yang

diangkat

dari

tempat

asalnya.

Flap

yang

dipindahkan

akan

membentuk pendarahan baru di tempat resipien. Tindakan bedah rekonstruksi ini

antara

lain

sering

digunakan

untuk

memperbaiki

kecacatan atau kelainan yang timbul akibat kecelakaan. Aplikasi teknik bedah ini digunakan pada rekonstruksi hidung, memperbaiki kelainan pada wajah paska operasi (misalnya pada pipi paska operasi tumor), dll. Walaupun dalam bedah rekonstruksi diupayakan semaksimal mungkin menggunakan bahan-bahan yang berasal dari tubuh penderita sendiri, namun adakalanya hal tersebut tidak memungkinkan. Oleh karena itu, untuk menunjang upaya bedah rekonstruksimasaih diperlukan bahan-bahan sintetis. Bahan-bahan tersebut sebelum digunakan dan ditanam dalam tubuh harus memiliki beberapa syarat antara lain tidak atau sedikit menimbulkan reaksi tubuh, tidak bersifat magnetis, dan tidak menghantarkan listrik, bahan sintetik yang lazim dipakai adalah silicon, akrilik, dan logam campuran seperti titanium. d. Terapi Isolasi dan Manipulasi Lingkungan Luka bakar mengakibatkan imunosupresi (penekanan sistem imun) selama tahap awal cedera oleh karenanya pasien luka bakar memerlukan ruangan khusus dengan suhu ruangan yang dapat diatur udara bersih, serta terpisah dari pasien lain yang bisa menimbulkan infeksi silang. Alat tenun yang digunakan harus steril, perawat menggunakan masker, gaun dan sarung tangan steril setiap kali akan melakukan tindakan untuk pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan luka yaitu: penyembuhan luka, infeksi, dan penanganan luka. Proses penyembuhan luka terbagi menjadi tiga fase: 1) Fase inflamasi yaitu fase yang bertentangan dari terjadinya luka bakar 3-4 hari pasca luka bakar. Dalam fase ini terjadi perubahan vascular dan proliferasi selular. Daerah luka mengalami agregasi trombosit dan mengeluarkan serotonin. Mulai timbul epitelisasi. 2) Fase fibroblastic

Fase fibroblastic yaitu dimulai pada hari ke 4-20 pasca luka bakar. Pada fase ini timbul sebukan fibroblast yang membentuk kolagen yang tampak secara klinis sebagai jaringan granulasi yang berwarna kemerahan. 3) Fase maturasi Fase maturasi yaitu terjadi proses pematangan kolagen. Pada fase ini terjadi pula penurunan aktivitas selular dan vascular, berlangsung hingga 8 bulan sampai lebih dari 1 tahun dan berakhir jika sudah tidak ada tanda-tanda radang.

Bentuk

akhir

dari

fase

ini

adalah

jaringan

parut

yang

berwarna pucat, tipis, lemas tanpa rasa nyeri atau gatal. e. Terapi Komplementer Saat ini, penelitian untuk pengobatan luka bakar menggunakan bahan-bahan herbal mulai banyak dilakukan oleh para peneliti, diantaranya adalah: 1. Pemberian daun sirih. Sirih merupakan salah satu tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia. Daun sirih mengandung molekul-molekul bioaktif seperti saponin, tannin, minyak atsiri, flavonoid, dan fenol yang mempunyai kemampuan untuk membantu proses penyembuhan luka serta nutrisi yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka seperti vitamin A dan vitamin C. Tannin membantu

proses

penyembuhan

luka

melalui

peningkatan

jumlah

pembentukan pembuluh darah kapiler dan sel-sel fibroblast. Molekul bioaktif lain yang mempunyai peran sebagai antimikroba adalah minyak atsiri. Flavonoid dan fenol berperan sebagai antioksidan yang berfungsi menghambat reaksi oksidasi oleh radikal bebas. 2. Pemberian aloe vera. Aloe vera diberikan untuk mengobati pasien luka bakar derajat pertama dan derajat kedua. Luka bakar yang diberikan aloe vera lebih cepat mengalami proses penyembuhan dan epitalisasi jaringan kulit karena didalam aloe vera terdapat kandungan antiseptic, antiinflamasi dan meningkatkan granulasi jaringan. 3. Pemberian mentimun. Mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan suatu jenis buah dari keluarga labu-labuan (Cucurbitacae) yang memiliki kandungan air yang cukup tinggi dan menyegarkan sehingga banyak yang menggunakan mentimun dalam perawatan kulit, baik untuk mengencangkan kulit, melembabkan kulit, mengatasi jerawat dan bahkan untuk menghilangkan bekas luka pada kulit. Mentimun mengandung vitamin C yang berfungsi sebagai sintesiskolagen dan sebagai anti-oksidan. Menurut Johan (2005),

mentimun mengandung senyawa flavonoid, saponin dan polifenol. Mekanisme dalam

proses

penyembuhan

luka

dengan

adanya

saponin

memacu

pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan dalam proses penyembuhan luka. Menurut Sayekti (2008), saponin berfungsi sebagai antibakteri dan jika diberikan pada kulit yang luka dapat menghambat pendarahan. Flavonoid bersifat sebagai anti-inflamasi dan anti-alergi (Septiningsih, 2008), sedangkan polifenol berfungsi sebagai antimikrob dan antivirus (Robinson, 1995). 4. Pemberian madu. Madu mengandung glukosa, oksidase glukosa, asam glukonat dan asam organic yang berfungsi untuk antioksidan, antiinflamasi, analgesic, antibakteri, antimikroba dalam proses penyembuhan luka. 5. Penggunaan hydrogel. Hydrogel merupakan suatu balutan dengan gel, yang terdiri dari polyurethane carrien film dan lapisan hydrogel. Gel tersebut dari CMC polymer dan propylene glycol. Kandungan cairannya menciptakan lingkungan yang lembab pada luka untuk migrasi sel. Selain itu, hidrogel juga dapat mengabsorbsi debris dan eksudat yang berlebihan serta melunakkan jaringan nekrotik dan jaringan yang ber-slough tanpa merusak jaringan sehat, yang akan terserap ke dalam struktur gel dan terbuang dalam balutan.

2.2 KONSEP HYDROGEL 2.2.1 Definisi Hydrogel Hidrogel adalah jaringan polimer tiga dimensi dengan ikatan silang (crosslinked) pada polimer hidrofilik, yang mampu swelling atau menyimpan air dan larutan fisiologis sampai dengan ribuan kali dari berat keringnya, serta tidak larut dalam air. Di dunia kedokteran, hidrogel dimanfaatkan sebagai matrik media penyimpan-pengontrol pelepasan bahan aktif seperti obat dan sel, serta di bidang “tissue engineering” hidrogel digunakan sebagai matrik untuk memperbaiki dan meregenerasi berbagai macam jaringan dan organ tubuh manusia (Hoffman, 2002). Kemampuan menyimpan biomakromolekul termasuk protein dan DNA merupakan sifat unik hidrogel yang banyak dimanfaatkan di bidang biomedis (Buhus et al., 2009; Samchenko et al., 2011). Pada perawatan luka , kandungan hydrogel yang memiliki konsentrasi air yang banyak menjadikan area luka moist dan tidak mempengaruhi permeabilitas serta pemindahan zat – zat dibanding pembalut tradisional (Lopez, 2012).

Hidrogel dapat disintesis dari polimer sintetik atau polimer alam. Polimer sintetik, seperti poly (hydroxyethyl methacrylate) (pHEMA), polyacrylamide, dan polivinil alkohol, merupakan turunan minyak bumi yang jumlahnya semakin terbatas dan hidrogel yang dihasilkannya cenderung sulit terurai di alam. Saat ini, konsumsi dunia akan hidrogel dari polimer sintetik lebih dari satu juta ton per tahun (Abd El-Mohdy et al., 2009). Tentu saja hal ini akan menyebabkan masalah kerusakan lingkungan yang serius. Selain itu, cadangan minyak bumi yang semakin menipis menyebabkan harga minyak bumi dan polimer turunannya akan semakin melambung tinggi. Diprediksi bahwa harga hidrogel yang banyak dimanfaatkan di bidang kesehatan dan obat-obatan akan semakin tidak terjangkau, dan tentu saja hal ini dapat menimbulkan dampak negatif di sektor kesehatan masyarakat. Melihat fakta-fakta itu, maka upaya pengurangan penggunaan hidrogel berbasis polimer sintetik harus segera dilakukan. Hidrogel berbahan dasar polimer alam, seperti asam amino, menjanjikan sifat yang lebih unggul seperti lebih ramah lingkungan (biodegradable), non-toxic, bio-compatible dan bahan bakunya dapat diperbarui (renewable biosource) serta harganya lebih murah karena bahan bakunya tersedia secara lokal dalam jumlah yang cukup melimpah dibandingkan polimer sintetis. Polimer asam amino yang memiliki potensi sebagai bahan baku hidrogel antara lain selulosa, pati, pektin, kitosan, serta ekstrak rumput laut seperti agar-agar, karagenan dan alginat. Hidrogel dapat menjadi altenatif dari tindakan skin graft. Efektifitas dalam memberikan efek debridemen autolitik dari jaringan nekrotik membuat penyembuhan pada luka bakar karena membantu regenerasi sel dan mengurarangi resiko jaringan parut hipertrofik dan resiko infeksi (Lopez, 2012) 2.2.2 Manfaat Hidrogel 1. Meningkatkan kelembapan pada luka (Lopez, 2012) 2. Sebagai anti bakteria alami 3. Meningkatkan reepitelisasi (Shen et al., 2015) 4. Meningkatkan renovasi matriks ekstraseluler (Shen et al., 2015) 5. Reinnervasi saraf yang lebih besar (Shen et al., 2015) 6. Mengurangi rasa nyeri (Shen et al., 2015)

2.2.3 Perawatan Luka Bakar Dengan Hydrogel Kulit adalah organ terbesar dalam tubuh manusia, dan memainkan peran penting dalam keseimbangan cairan, pengaturan suhu, kekebalan dan perlindungan. Setelah luka bakar, kulit akan kehilangan sifat pelindung ini, yang membuat tubuh rentan terhadap sejumlah komplikasi. Yang paling penting dari ini adalah kerentanan terhadap infeksi dan kehilangan cairan tubuh (Gierek et al, 2013). Penatalaksaan standar yang dilakukan oleh dokter bedah untuk luka bakar adalah skin graft atau pencangkokan kulit. Namun, ini mungkin tidak selalu menjadi pilihan, karena jumlah kulit donor yang tidak mencukupi dan risiko pengembangan luka kronis. Ini terutama benar ketika ada daerah yang luas dan terluka parah. Pasien juga bisa tidak cocok untuk pencangkokan kulit.Ini bisa karena sejumlah alasan, termasuk. Kurangnya kulit donor yang cocok untuk Di sinilah biomaterial memainkan peran penting. Pembalut luka (wound dressing) dapat digunakan sebagai perawatan primer pada pasien yang tidak cocok untuk pencangkokan kulit dan dapat membantu penyembuhan luka pada pasien yang memiliki pencangkokan kulit. Luka bakar sebagian dan penuh adalah luka kompleks yang seringkali sulit untuk ditangani. Pemulihan bisa memakan waktu hingga 10 minggu, dengan risiko tinggi jaringan parut (Banwell, 2009).

Gambar 3.1 Klasifikasi pembalut luka menurut FOOt and Drug Administration tahun 2014

Banyak bahan berbeda digunakan untuk membuat dressing. Bahan saat ini termasuk hidrokoloid, alginat, hidrogel, poliuretan, kolagen, kitosan, pektin dan asam hialuronat (WHO, 2014). Saat ini tidak ada standar baku pembalut luka bakar yang diterima secara universal. Penyembuhan luka adalah proses rumit yang melibatkan banyak proses fisiologis yang mendasarinya; oleh karena itu bahan perlu memiliki berbagai sifat. Penelitian telah

menunjukkan bahwa sifat paling penting dari pembalut luka bakar pembalut yang mudah didapat, murah dan transparan (Selig et al, 2012).

Dikutip dari (Kamoun, Kenawy and Chen, 2017)

Meskipun tidak ada bahan yang mampu mencakup semua sifat ini, hidrogel telah terbukti menunjukkan sejumlah besar dari mereka, dan merupakan bahan yang paling menguntungkan untuk digunakan pada pasien luka bakar. Hidrogel adalah jaringan tiga dimensi rantai polimer hidrofilik yang tidak larut dalam air. Sifat mekanis dan kimianya dapat dengan mudah disesuaikan untuk aplikasi spesifik dengan mengubah blok penyusun dan teknik pemrosesan yang digunakan untuk pembuatan.

Gambar 3.2 Sifat-sifat pembalut luka bakar yang ideal (Selig et al, 2012)

Penting untuk mempertimbangkan sifat-sifat antibakteri dari setiap biomaterial yang berada dalam kontak dekat dengan tubuh. Ini sangat penting untuk pembalut luka bakar, di mana pelindung kulit dilanggar dan risiko infeksi meningkat. Hidrogel peptida lebih unggul daripada bahan tradisional untuk aplikasi penyembuhan luka karena mereka dapat dirancang untuk memberikan sifat antibakteri alami, menghindari kebutuhan untuk merangkum molekul terapi (Shafer et al, 1996). Hasil study kasus dilakukan oleh Yoon, Jaechul et.al (2017) di dekat Seoul Korea Selatan, hidrogel termosensitif yang baru dikembangkan ini CEAllo telah divalidasi sebagai metode klinis lain untuk aplikasi yang aman dari keratinositosis alogenik prakonfluen melalui fase 1, 2, dan 3 uji klinis. Manfaat dalam mempromosikan reepithelialization pada luka bakar derajat dua yang dalam juga diidentifikasi. Hasil penelitian yang dilakukan J-S. Choi, et at, Department of Plastic and Reconstructive Surgery, College of Medicine, The Catholic University of Korea tahun 2016, penggunaan pembalut yang diresapi hydrogel pada lokasi yang akan dilakukan pencangkokan (skin graft), sangatlah menguntungkan karena memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk pengambilan cangkok yang berhasil. Recombinant human granulocyte-macrophage colony stimulating factor (rhGM-CSF) tidak hanya berperan dalam mengontrol infeksi, namun mampu mempercepat proliferasi dan diferensiasi dari ephitel kulit. rhGM-CSF juga efektif penyembuhan luka sisa dari luka bakar ketebalan parsial dalam yang luas (Yuan et al., 2014)

(1)

(2)

(3)

Gambar 3.3 Contoh sediaan produk wound healing yang mengandung hydrogel: (1) plester, (2) spray, (3) gel pad

Produk wound care yang mengandung hydrogel sudah banyak beredar di Indonesia. Bahkan produk ini ada yang dijual secara bebas di apotek dalam bentuk kemasan praktis. Penggunaan hydrogel di tatanan pelayanan kesehatan, masih belum optimal, hal tesebut dikarenakan adanya kebijakan pemberi jasa asuransi kesehatan. Selama ini, penggunaan hydrogel wound dressing di pelayanan kesehatan banyak diaplikasikan di ruang Burn Unit.

2.2.4 Konsep Hidrogel sebagai pembalut Luka Hydrogel mampu menyerap dan mempertahankan serumen/ eksudat pada jaringan yang terluka dengan mekanisme fibroblast proliferasi dan migrasi keratinosit. Proses keduanya merupakan proses yang diperlukan dalam epitelisasi dan perbaikan luka. Hydrogel mampu melindungi luka dan infeksi serta mencegah bakteri dan mikroorganisme pada luka. Hidorgel juga memberika efek antibiotic serta berfungsi sebagai obat. Kandungan hydrogel menyerap eksudat pada luka. Hydrogel dapat beradaptasi pada semua bagian tubuh karena memiliki fleksibilitas dan elastisitas tinggi (Kamoun, Kenawy and Chen, 2017).

REFERENSI

Cancio, L. . (2014) ‘Initial Assessment and Fluid Resuscitation of Burn Patients’. Cancio, L. C., Bohanon, F. J. and Kramer, G. C. (2017) Burn resuscitation. Fifth Edition, Total Burn Care: Fifth Edition. Fifth Edition. Elsevier Inc. doi: 10.1016/B978-0-32347661-4.00009-5. Chowdary, k and Reddy, P. (2010) ‘Parenteral Nutrition: Revisited’, indian journal of Anaesthesia. Gallagher, J.J., Branski, L.K., Bouyer, N. W., Villareal, C., and H. D. . (2012) ‘Treatment of infection in burns’. Gauglitz, G.G and Jeschke, M. . (2012) ‘Pathophysiology of Burn Injury’, in handbooks of burns volume 1 Acute Burn Care. Spinger Wien New York. Gillenwater, J. and Garner, W. (2017) ‘Acute Fluid Management of Large Burns’, Clinics in Plastic Surgery, 44(3), pp. 495–503. doi: 10.1016/j.cps.2017.02.008. Girtler, R. and G. (2012) ‘Pain management after burn trauma’, in handbooks of burns volume 1 Acute Burn Care. wien new york. Green, A and Rudall, N. (2010) ‘Burn Management’, Pharmaceutical Journal. Guilabert, P. et al. (2016) ‘Fluid resuscitation management in patients with burns: Update’, British Journal of Anaesthesia, 117(3), pp. 284–296. doi: 10.1093/bja/aew266. Hettiaratchy, S. and Papini, R. (2004) ‘ABC of Burns. Initial Management of a Major Burn’. Hettiaratchy, S. and D. (2004) ‘ABC of Burns’. Kamoun, E. A., Kenawy, E. S. and Chen, X. (2017) ‘REVIEW A review on polymeric hydrogel membranes for wound dressing applications : PVA-based hydrogel dressings’, Journal of Advanced Research. Cairo University, 8(3), pp. 217–233. doi: 10.1016/j.jare.2017.01.005. Lira, A and Pinsky, M. . (2014) ‘Choices In Fluid Type and Volume during Resuscitation: Impact on Patient Outcomes’. Lopez, N. (2012) ‘Hydrogel dressings and their application in burn wound care’. Mlcak, R.P., Buffalo, M.C. and Jimenez, C. . (2012) ‘Pre-hospital management, transportation and emergency care’. Oryan, A. (2017) ‘Burn wound healing: present concepts, treatment strategies and future directions’, Journal of Wound Care, 26(1). Peck, M. . (2012) ‘Epidemiology and Prevention of a Burns throughout The World’, in Handbook of Burns volume 1 Acute Burn Care. Springer Wien New York. Rosenthal, J. et al. (2018) ‘Effects of obesity on burn resuscitation’, Burns. Elsevier Ltd and International Society of Burns Injuries, 44(8), pp. 1947–1953. doi:

10.1016/j.burns.2018.06.002. Rudall, N. and Green, A. (2010) ‘Burns Clinical Features and Prognosis’, Pharmaceutical Journal, 2. Shen, Y. et al. (2015) ‘Acellular Hydrogels for Regenerative Burn Wound Healing : Translation from a Porcine Model’. Nature Publishing Group, 135(10), pp. 2519–2529. doi: 10.1038/jid.2015.182. Sjoberg, F. (2012) ‘Pre-hospital, Fluid and Early Management, Burn Wound Evaluation’, in Handbook of Burns volume 1 Acute Burn Care. wien new york. Tricklebank, S. (2008) ‘Modern Trends in Fluid Therapy for Burns’. Yasti, A.Ç., Şenel, E., Saydam, M., Özok, Gi., Çoruh, A. and Yorgancı, K. (2015) ‘Guideline and treatment algorithm for burn injuries’. Yuan, L. et al. (2014) ‘ScienceDirect Study of the use of recombinant human hydrogel externally to treat residual wounds of extensive deep partial-thickness burn’, Burns. Elsevier Ltd and International Society of Burns Injuries, 41(5), pp. 1086–1091. doi: 10.1016/j.burns.2014.12.004.

Related Documents

Bab 2 Inovasi Revisi
October 2019 26
Revisi Bab 2
May 2020 16
Revisi Bab Ii.2.docx
May 2020 16
Revisi Bab 1 Dan Bab 2.docx
October 2019 17
Pamplet Inovasi 2.docx
December 2019 18

More Documents from "ari firmawan"

Bab 2 Inovasi Revisi
October 2019 26
6. Rawat Inap Baru .docx
December 2019 45
Covernote(24).pdf
November 2019 55