BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lambung Lambung adalah organ pencernaan yang paling melebar, dan terletak di antara bagian akhir dari esofagus dan awal dari usus halus. Lambung merupakan ruang berbentuk kantung mirip huruf J, berada di bawah diafragma, terletak pada regio epigastrik, umbilikal, dan hipokondria kiri pada regio abdomen (Tortora & Derrickson, 2009). Secara anatomik, lambung memiliki lima bagian utama, yaitu kardiak, fundus, badan (body), antrum, dan pilori (gambar 1.1). Kardia adalah daerah kecil yang berada pada hubungan gastroesofageal (gastroesophageal junction) dan terletak sebagai pintu masuk ke lambung Fundus adalah daerah berbentuk kubah yang menonjol ke bagian kiri di atas kardia. Badan (body) adalah suatu rongga longitudinal yang berdampingan dengan fundus dan merupakan bagian terbesar dari lambung. Antrum adalah bagian lambung yang menghubungkan badan (body) ke pilorik dan terdiri dari otot yang kuat. Pilorik adalah suatu struktur tubular yang menghubungkan lambung dengan duodenum dan mengandung spinkter pilorik (Schmitz & Martin, 2008).
(Gambar 1.1. Anatomi lambung)
Dinding lambung tersusun dari empat lapisan dasar utama, sama halnya dengan lapisan saluran cerna secara umum dengan modifikasi tertentu yaitu lapisan mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan serosa (Schmitz & Martin, 2008). 1. Lapisan mukosa terdiri atas epitel permukaan, lamina propia, dan muskularis mukosa. Epitel permukaan yang berlekuk ke dalam lamina propia dengan kedalaman yang bervariasi, dan membentuk sumur-sumur lambung disebut foveola gastrika. Epitel yang menutupi permukaan dan melapisi lekukanlekukan tersebut adalah epitel selapis silindris dan semua selnya menyekresi mukus alkalis. Lamina propia lambung terdiri atas jaringan ikat longgar yang disusupi sel otot polos dan sel limfoid. Muskularis mukosa yang memisahkan mukosa dari submukosa dan mengandung otot polos (Tortora & Derrickson, 2009). 2. Lapisan sub mukosa mengandung jaringan ikat, pembuluh darah, sistem limfatik, limfosit, dan sel plasma. Sebagai tambahan yaitu terdapat pleksus submukosa (Meissner) (Schmitz & Martin, 2008). 3. Lapisan muskularis propia terdiri dari tiga lapisan otot, yaitu (1) inner oblique, (2) middle circular, (3) outer longitudinal. Pada muskularis propia terdapat pleksus myenterik (auerbach) (Schmitz & Martin, 2008). Lapisan oblik terbatas pada bagian badan (body) dari lambung (Tortora & Derrickson, 2009). 4. Lapisan serosa adalah lapisan yang tersusun atas epitel selapis skuamos (mesotelium) dan jaringan ikat areolar (Tortora & Derrickson, 2009). Lapisan serosa adalah lapisan paling luar dan merupakan bagian dari viseral peritoneum (Schmitz & Martin, 2008).
(Gambar 1.2. Histologi Lambung) 2.2. Gastro-esophageal Reflux Disease (GERD) Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD ) adalah salah satu kelainan yang sering dihadapi di lapangan dalam bidang gastrointestinal. Penyakit ini berdampak buruk pada kualitas hidup penderita dan sering dihubungkan dengan morbiditas yang bermakna. Berdasarkan Konsensus Montreal tahun 2006 (the Montreal definition and classification of gastroesophageal reflux disease: a global evidencebased consensus), penyakit
refluks
gastroesofageal
(Gastroesophageal
Reflux
Disease/GERD)
didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke
dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu
(troublesome) di esofagus maupun ekstra-esofagus dan/atau komplikasi (Vakil dkk, 2006). Komplikasi yang berat yang dapat timbul adalah Barret’s esophagus, striktur, adenokarsinoma di kardia dan esofagus (Makmun, 2009).
2.3.Etiologi dan Patogenesis Esofagitis atau peradangan pada kerongkongan dapat terjadi sebagai akibat dari Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) jika adanya beberapa faktor, yaitu (Makmun, 2009) :
1). Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus. Esofagus (kerongkongan) dan gaster (lambung) dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada manusia normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat sendawa atau pada saat muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg) (Makmun,2009). Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : a. Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat, b. Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, c. Meningkatnya tekanan intra abdomen. Maka dari itu, dapat diterangkan bahwa patogenesis dari terjadinya Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat diakibatkan karena adanya keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus (pemisah antia refluks, bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan epitel esofagus) dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying (Makmun, 2009). Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung (Makmun, 2009). Tingginya angka infeksi H. pylori di Asia dengan rendahnya sekresi asam sebagai konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai salah satu alasan mengapa prevalensi GERD di Asia lebih rendah dibandingkan dengan negara-
negara Barat. Hal tersebut sesuai dengan yang ditunjukkan pada satu studi di Jepang yang dilakukan oleh Shirota dkk. Studi yang lain juga membuktikan adanya hubungan terbalik antara derajat keparahan esofagitis refluks dengan infeksi H. pylori. Hamada dkk menunjukkan insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah eradikasi H.pylori, khususnya pada pasien gastritis korpus dan mempunyai predisposisi terhadap refluks hiatus hernia (Goh dan Wong, 2006). Dalam keadaan di mana bahan refluksat bukan bersifat asam atau gas (non acid reflux), timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas visceral (Makmun,2009).
2.4.Manifestasi Klinik Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak
selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barret’s esophagus. Odinofagia bisa muncul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat (Makmun,2009). Walaupun gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau regurgitasi, gejala tidak khas ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul yang meliputi nyeri dada non kardiak (non cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk, asma, bronkiektasis, gangguan tidur, dan lain-lain (Jung, 2011). Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya GERD karena terjadi perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (Makmun,2009). Asma dan GERD adalah dua keadaan yang sering dijumpai secara bersaman. Selain itu, terdapat beberapa studi yang menunjukkan hubungan antara gangguan tidur dan GERD (Jung, 2011). Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala klasik dan utama dari GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia. Di dunia Barat, kata ”heartburn” mudah dimengerti oleh pasien, sementara tidak ada padanan kata yang sesuai untuk heartburn dalam mayoritas bahasa-bahasa di Asia, termasuk bahasa Cina, Jepang, Melayu. Dokter lebih baik menjelaskan dalam susunan kata-kata tentang apa yang mereka maksud dengan heartburn dan regurgitasi daripada mengasumsikan bahwa pasien memahami arti kata tersebut. Sebagai contoh, di Malaysia, banyak pasien etnis Cina dan Melayu mengeluhkan ”angin” yang merujuk pada dispepsia dan gejala refluks. Sebagai akibatnya, seperti yang terjadi di Cina, banyak pasien GERD yang salah didiagnosis sebagai penderita non cardiac chest pain atau dispepsia (Goh dan Wong, 2006). Walaupun belum ada survei yang dilakukan, berdasarkan
pengalaman klinis sehari-hari, kejadian yang sama juga sering ditemui di Indonesia. GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena gejala-gejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur, penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas sosial. Short-Form-36-Item (SF-36) Health Survey, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan populasi umum, pasien GERD memiliki kualitas hidup yang menurun, serta dampak pada aktivitas sehari-hari yang sebanding dengan pasien penyakit kronik lainnya seperti penyakit jantung kongestif dan artritis kronik (Hongo et al, 2007).
2.5.Algoritma Patient Presentation Intermittent, mild heartburn Lifestyle modifications
Recommended Treatment Regimen Lifestyle modifications plus patient-directed therapy Antacids • Maalox or Mylanta 30 mL as needed or after meals and at bedtime • Gaviscon 2 tabs after meals and at bedtime • Calcium carbonate 500 mg, 2–4 tablets as needed
Comments Lifestyle modifications should be started initially and continued throughout the course of treatment. If symptoms are unrelieved with lifestyle modifications and nonprescription medications after 2 weeks, patient should seek medical attention.
and/or Nonprescription H2-receptor antagonists (taken up to twice daily) • Cimetidine 200 mg • Famotidine 10 mg • Nizatidine 75 mg • Ranitidine 75 mg
Symptomatic relief of GERD
or Nonprescription proton pump inhibitor (taken once daily) • Omeprazole 20 mg Lifestyle modifications Plus prescription-strength acid-
For typical symptoms, treat empirically with prescriptionstrength acid-suppression therapy.
suppression therapy. H2-receptor antagonists (for 6–12 weeks) • Cimetidine 400 mg twice daily • Famotidine 20 mg twice daily • Nizatidine 150 mg twice daily • Ranitidine 150 mg twice daily
Symptomatic relief of GERD
Interventional therapies
or Proton pump inhibitors (for 4–8 weeks); all are given once daily • Esomeprazole 20 mg • Lansoprazole 15 mg • Omeprazole 20 mg • Pantoprazole 40 mg • Rabeprazole 20 mg Lifestyle modifications Plus Proton pump inhibitors for 4–16 weeks (up to twice daily) • Esomeprazole 20–40 mg daily • Lansoprazole 30 mg daily • Omeprazole 20 mg daily • Rabeprazole 20 mg daily • Pantoprazole 40 mg daily or High-dose H2-receptor antagonist (for 8–12 weeks) • Cimetidine 400 mg four times daily or 800 mg twice daily • Famotidine 40 mg twice daily • Nizatidine 150 mg four times daily • Ranitidine 150 mg four times daily Antireflux surgery or endoscopic therapies
If symptoms recur, consider maintenance therapy (MT). Note: Most patients will require standard doses for MT. Mild GERD can usually be treated effectively with H2-receptor antagonists.
Patients with moderate to severe symptoms should receive a proton pump inhibitor as initial therapy.
For atypical or alarm symptoms, obtain endoscopy (if possible) to evaluate mucosa. Give a trial of a proton pump inhibitor. If symptoms are relieved, consider MT. Proton pump inhibitors are the most effective maintenance therapy in patients with atypical symptoms, complica-tions, and erosive disease.
Patients not responding to pharmacologic therapy, including those with persistent atypical symptoms, should be evaluated via ambulatory reflux monitoring to confirm the diagnosis of GERD (if possible).
(Dipiro et.al, 2008)
(Kelompok Studi GERD Indonesia, 2004)
2.6.Obat-obat a. Antasida dan Kombinasi Antasida - Asam Alginat Contoh obat : senyawa magnesium, aluminium dan bismuth, kalsium karbonat, Nabikarbonat. Antasida adalah basa-basa lemah yang digunakan untuk mengikat secara kimiawi dan menetralkan asam lambung. Efeknya adalah peningkatan pH, yang mengakibatkan berkurangnya kerja proteolitis dari pepsin. Diatas pH 4, aktivitas pepsin mejadi minimal (Tjay dan Rahardja, 2007). Sebuah produk antasida dikombinasikan dengan asam alginat tidak ampuh menetralkan agen dan tidak meningkatkan tekanan LES; namun,
hal ini membentuk larutan yang sangat kental yang mengambang di permukaan
dari
isi
lambung.
larutan
kental
ini
diduga
dapat
berperansebagai lapisan pelindung untuk esofagus terhadap refluks lambung isi. Hal ini juga mengurangi frekuensi episode refluks. Sejauh ini obat kombinasi antasida lebih unggul dari penggunaan antasida saja dalam pengobatan gejala GERD. (Dipiro et al, 2008). b. Antibiotika Contoh obat : amoksisilin, tetrasiklin, klaritomisisn, metronidazole. Digunakan dalam kombinasi sebagai triple terapi untuk membasmi H. pylori dan untuk mencapai penyembuhan secara tuntas
(Tjay dan
Rahardja, 2007). c. Obat penguat motilitas Contoh obat : metoklopramida cisaprida, domperidon Merupakan antagonis dopamine. Berdaya anti-emetik, memperkuat peristaltic dan mempercepat pengosongan lambung yang dihambat oleh neurotransmitter dopamine. Penghambatan ini ditiadakan oleh antagonis dopamine dengan jaan menduduki reseptor yang banyak terdapat di saluran cerna dan otak. Antiemetik dengan stimuasi peristaltic dan penguatan kembali dari empedu dan enzim pencernaan dari duodenum ke jurusan lambung tercegah. Tukak tidak dirangsang lebih lanjut dan dapat sembuh lebih cepat (Tjay dan Rahardja, 2007). d. Peghambat sekresi asam
H2-blocker Contoh obat : ranitidine, simetidin, famotidine, nizatidin. Obat ini akan menempati reseptor histamine secara selektif dipermukaan sel sel parietal sehinggasekresi asam lambung dan pepsin dikurangi (Tjay dan Rahardja, 2007).
Obat-obat ini efektif bagi pengobatan pasien GERD dengan tahap mild hingga moderate.Dalam penggunaanya, pasien harus dipantau terhadap efek samping sebagai serta interaksi obat yang potensial, terutama pada cimetidine. Cimetidine dapat menghambat metabolisme teofilin, warfarin, fenitoin, nifedipine, dan propranolol, dan lain lain (Dipiro et al, 2008).
Penghambat pomp proton (PPP) Contoh
obat
:
omeprazole,
lansoprazol,
pantoprazole
dan
esomeprazole, rabeprazole, dexlansoprazole. Obat-obat ini menghambat dengan praktis tuntas sekresi asan dengan jalan menghambat enzim H+/K+-ATPase secara selektif dalam sel-sel parietal dan merupakan obat pilihan pertama. Kerjanya panjang akibat kumulasi di sel-sel tersebut. Kadar penghambatan asam tergantung dari dosis dan pada umumnya lebih kuat dari pada perintangan oleh H2-blockers (Tjay dan Rahardja, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, J., Talbert, R., Yee, G. et.al. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc Hongo M, Kinoshita Y, Shimozuma K, Kumagai Y, Sawada M, Nii M. 2007. Psychometric validation of the Japanese translation of the quality of life in reflux and dyspepsia questionnaire in patients with heartburn. J gastroenterol. Vol 42: 802-15 Jung, H.K. 2011. Epidemiology of gastroesophageal reflux disease in Asia: A systematic review. J Neurogastroenterol Motil. Vol 17: 14-27 Kelompok Studi GERD Indonesia. 2004. Konsensus nasional penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) di Indonesia. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. p.7-17 Makmun, D. 2009. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI Schmitz, P. G., & Martin, K. J. 2008. Internal Medicine: Just The Facts. Singapore: The McGraw-Hill Companies. Tjay, T. H., Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Tortora, G.J., dan Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology. 12th ed. Asia: John Wiley and Sons