Bab 2 Dan Dafpus.docx

  • Uploaded by: Arafah Indra Prabowo
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 2 Dan Dafpus.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,763
  • Pages: 50
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cerebro Vaskular Accident atau yang sering disebut dengan stroke merupakan salah satu gangguan kehilangan fungsi otak yang diakibatkan karena kurangnya atau berhentinya suplai darah menuju otak secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam), pada saat terjadi serangan aka nada beberapa gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah fokal yang terganggu. Dalam keadaan stroke biasanya pasien akan mengalami gangguan berkomunikasi dan gangguan menelan. Stroke dapat terjadi karena perubahan pola hidup, perilaku seperti mengkonsumsi makanan cepat saji, mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak tinggi terlalu sering, kebiasaan merokok, minum alkohol dan kerja keras dapat menjadi penyebab terjadinya penyakit ini ( Januar Dkk. 2008). Stroke pada negara maju seperti Amerika menduduki peringkat ketiga sebagai penyakit paling mematikan setelah jantung dan kanker. Pada negara berkembang seperti Indonesia, stroke merupakan penyebab utama dengan prevalensi berdasarkan Riskesdas tahun 2007 adalah 8 kasus per 1000 jiwa, sekitar 2,5% penderita stroke di Indonesia meninggal dunia dan sisanya mengalami gangguan atau cacat ringan maupun berat pada anggota tubuhnya pasca terserangnya stroke (Sedyaningsih dalam Hariandja, 2013). Menurut RISKESDAS pada tahun 2019 mengatakan bahwa prevalensi terjadinya penyakit stroke meningkat dari 7% pada tahun 2013 ke 10,9 pada tahun 2019 (Depkes, 2019). Pada penyakit stroke, salah satu faktor resikonya adalah atrial fibrilasi. Atrial fibrilasi dapat didefinisikan sebagai kelainan irama jantung dengan aktivitas listrik yang tidak beraturan dan cepat. Kelainan ini dapat disebabkan karena kelainan pada struktur jantung. Struktur jantung yang memiliki kelainan biasanya disebabkan oleh hipertensi yang menahun dan perubahan pada struktur miokard, pembuluh darah, dan system konduksi jantung (Damayanti, 2014). Atrial fibrilasi adalah salah satu kelainan pada jantung yang sering sekali muncul besama emboli serebri, yakni hampir dari setengah kasus penderita stroke memeliki variansi luas seperti kongestif jantung (Anwar, 2007). Menurut penelitian dari

1

Stroke Prevention en Atrial Fibrilation bahwa penderita atrial fibrillation tanpa disertai riwayat hipertensi dan gagal jantung konghesif mempunyai resiko yang rendah untuk menderita stroke, namun sebaliknya pada penderita atrial fibrillation yang disertai dengan gagal jantung konghesif akan memiliki resiko lebih besar untuk terserang atrial fibrillation (Anwar, 2007). Kejadian atrial fibrilasi dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung. Dengan adanya gagal jantung ini jantung sulit untuk memompa darah menuju otak. Keadaan ini akan berdampak pada rusaknya jaringan otak dan menyebabkan stroke. Salah satu penyebab terjadinya stroke adalah gagal jantung kongesti. Gagal jantung kongestif merupakan suatu kejadian dimana jantung tidak dapat memompa darah yang adekuat, sehingga kebutuhan oksigen dan nutrisi tidak dapat memenuhi kebutuhan jaringan. Penyebab dari kelainan jantung ini antara lain adalah kelainan otot jantung, penyakit jantung lain, dan factor sistemik. Peningkatan volume intravaskuler merupakan tanda dominan yang terjadi. Gagal jantung kongestif dapat menyebabkan terjadinya infark miokard, dimana infark miokard merupakan awal penyebab dari atrial fibrillation. Resiko terjadinya infeki pernafasan sangat besar pada penderita stroke, salah satunya tuberculosis. Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan ileh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Paru merupakan target utama dari infeksi tuberculosis ini. Namun selain paru, organ lain juga dapat diserang oleh bakteri TB seperti otak, jantung, limfe, tulang dan lainnya. Penyebaran tuberculosis bisa melalui udara, dimana penderita tuberculosis batuk ataupun bersin sehingga bakteri keluar dan menyebar di udara, selain itu bisa juga dari droplet air liur pasien. Apabila pasien dengan stroke terkena infeksi saluran pernafasan atas kemudian infeksi ini melakukan perjalanan melalui aliran darah ke otak dapat menyebabkan infeksi meningitis yaitu infeksi pada meningen, membran yang melindungi otak dan sumsum tulang belakang (Landis, 2011). Dari uraian data di atas, maka penting sekali untuk melakukan penanganan intervensi gizi pada pasien dengan diagnose stroke, gagal jantung, atrial fibrilasi dan tuberculosis agar proses penyembuhan dapat berlangsung lebih cepat. Pada pasien stroke akan mudah sekali terserang malnutrisi, hal ini disebabkan karena pada pasien stroke akan mengalami sulit menelan sehingga asupan makanan akan menurun yang berakibat pada terjadinya penurunan status gizi (Suwita, 2015). Pada penyakit tuberkulois, akan memungkinkan

2

terjadinya pemecahan protein. Maka dari itu Tatalaksana yang dilakukan adalah dengan memberi energi yang cukup agar sel otak pasien tidak rusak lebih parah lagi dan cairan elektrokik dapat dipertahankan keseimbangannya, selain itu menjaga asupan lemak jenuh yang dibatasi kurang dari 10% tiap harinya agar tidak terjadi penyumbatan pembuluh darah, serta pembatasan natrium agar tidak ada masalah baru seperti hipertensi (Kusumadiani, 2010).

3

1.2 Tujuan Studi Kasus 1. Melakukan penilaian status gizi pasien dengan melakukan assessment pada data antropometri, biokimia, fisik klinis, data asupan makan pasien, dan data sosio-ekologi serta farmakologi pasien. 2. Melakukan perumusan diagnosa gizi yang tepat sesuai dengan pengkajian gizi yang telah dilaksanakan 3. Melakukan intervensi gizi berupa pemberian makanan dan edukasi sesuai dengan diagnosa yang ditegakkan untuk pasien. 4. Melakukan monitoring dan evaluasi asupan makan pasien dengan melihat dan menmbang sisa makanan dan wawancara dengan metode food record terhadap makanan rumah sakit. 5. Melakukan edukasi untuk meningkatkan egetahuan dan motivasi pasien dan keluarga pasien terkait pegaturan makan pada penderita Stroke, gagal jantung, atrial fibrilasi, dan tuberculosis.

BAB II

4

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stroke 2.1.1 Definisi Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Gejala klinis stroke sangat tergantung kepada daerah otak yang terganggu aliran darahnya dan fungsi daerah otak yang mengalami gangguan aliran darah tersebut. Manifestasi klinik pada umumnya adalah kelumpuhan sebelah badan, gangguan perasaan sebelah badan, bicara terganggu bisa tidak dapat berbicara atau tidak mengerti pembicaraan, gangguan menelan, mulut mencong, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan sampai kesadaran menurun, kemudian pasca-stroke bisa terjadi antara lain epilepsi, demensia atau pelupa dan depresi (Kemenkes RI, 2014). 2.1.2 Patofisiologi Stroke Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut. Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa (1) keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau peradangan; (2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau hiperviskositas darah; (3) gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium; atau (4) ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang subaraknoid (Price et al, 2006 dalam Rhamdanis, 2012).

2.1.3 Etiologi

5

Sroke biasanya disebabkan oleh: a. Trombosis Serebral. Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemia serebri. Tanda dan gejala neurologis sering kali memburuk dalam 48 jam setelah terjadinya thrombosis. Beberapa keadaaan di bawah ini dapat menyebabkan thrombosis otak: -

Aterosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah. Manifestasi klinis aterosklerosis bermacam-macam. Kerusakan dapat terjadi melalui mekanisme berikut; lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah, oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi thrombosis, merupakan tempat terbentuknya

thrombus,

kemudian

melepaskan

kepingan

thrombus (embolus) dan dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek dan terjadi perdarahan. -

Hiperkoagulasi pada Polisitema. Darah bertambah kental, peningkatan viskositas/hematokrit meningkat dapat melambatkan aliran darah serebri.

b. Emboli serebri merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak, dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebri. Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa keadaan di bawah ini dapat menimbulkan emboli, yaitu: -

Katup-katup jantung yang rusak akibat penyakit jantung reumatik, infark miokardium, fibrilasi, dan keadaan aritmia menyebabkan berbagai

bentuk

pengosongan

ventrikel

sehingga

darah

membentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu kosong sama sekali mengeluarkan embolus-embolus kecil. Endokarditis oleh bakteri dan nonbakteri, menyebabkan terbentuknya gumpalangumpalan pada endokardium. Sumber di jantung fibrilasi atrium (tersering), infark miokardium, penyakit jantung reumatik, penyakit katup jantung, katup prostetik, kardiomiopati iskemik.

6

-

Sumber tromboemboli aterosklerosis di arteri : bifurkasio karotis komunis, arteri vertrebralis distal.

-

Keadaan hiperkoagulasi : kontrasepsi oral, karsinoma.

c. Hemoragik. Perdarahan intracranial dan intraserebri meliputi perdarahan di dalam ruang subarachnoid atau di dalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi karena aterosklerosis dan hipertensi. Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan perembesan darah ke dalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan penekanan, pergeseran, dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan sehingga terjadi infark otak, edema, dan mungkin herniasi otak. Penyebab otak yang paling umum terjadi: d. Hipoksia umum. Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum adalah: -

Hipertensi yang parah

-

Henti jantung paru

-

Curah jantung turun akibat aritmia.

e. Hipoksia lokal. Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat adalah: -

Spasme arteri serebri yang disertai perdarahan subarachnoid

-

Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migren.

(Muttaqin, 2011) 2.1.4 Faktor Resiko Stroke Faktor resiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan kemungkinannya untuk dimodifikasi atau tidak (nonmodifiable, modifiable, atau potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented atau less well documented) (Goldstein,2006). 1. Non modifiable risk factors : a. Usia Insidensi stroke sebanding dengan meningkatnya usia di atas umur 55 th, insidensinya meningkat 2 kali lipat. Hal ini berkaitan dengan adanya proses penuaan (degenerasi) yang terjadi secara alamiah dan pada umumnya pada orang lanjut usia pembuluh darahnya lebih kaku karena adanya plak (atheroscelorsis). b. Jenis kelamin

7

Insidensi pada pria 19% lebih tinggi daripada wanita. Hal ini mungkin terkait bahwa laki-laki cenderung merokok. Dan, rokok ternyata dapat nerusak lapisan dari pembuluh darah tubuh. c. Berat badan lahir rendah Risiko stroke meningkat dua kali pada orang dgn berat badan yg rendah (< 2500 g) ketika lahir d. Ras/etnis Dari beberapa penelitian dikemukakan bahwa ras kulit putih memiliki peluang lebih besar untuk terkena stroke dibandingkan ras kulit hitam. Hal ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan gaya hidup. Pada tahun 2004 di Amerika terdapat penderita stroke pada laki-laki yang berkulit putih sebesar 37,1% dan yang berkulit hitam sebesar 62,9% sedangkan pada wanita yang berkulit putih sebesar 41,3% dan yang berkulit hitam sebesar 58,7%. e. Genetik / Hereditas Hal ini terkait dengan riwayat stroke pada keluarga. Orang dengan riwayat stroke pada keluarga, memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena stroke dibandingkan dengan orang tanpa riwayat stroke pada keluarganya. Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya hipertensi, jantung, diabetes dan kelainan pembuluh darah. Riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota keluarga pernah mengalami stroke pada usia kurang dari 65 tahun, meningkatkan risiko stroke. 2. Modifiable risk factors a. Well-documented and modifiable risk factors 

Hipertensi

Hipertensi adalah faktor resiko yang paling penting untuk stroke, terutama Stroke sumbatan. Tidak ada bukti bahwa wanita lebih tahan terhadap hipertensi daripada laki-laki.

Insiden stroke sebagian besar

diakibatkan oleh hipertensi, sehingga kejadian stroke dalam populasi dapat dihilangkan jika hipertensi diterapi secara efektif. Peningkatan tekanan darah yang ringan atau sedang (borderline) sering dikaitkan dengan kelainan kardiovaskuler, sedangkan pada peningkatan tekanan darah yang tinggi, stroke lebih sering terjadi. Hipertensi menyebabkan aterosklerosis darah

8

serebral sehingga pembuluh darah mengalami penebalan dan degenerasi yang kemudian pecah dan menimbulkan perdarahan. Stroke yang terjadi paling banyak oleh karena hipertensi adalah hemoragik. 

Paparan asap rokok

Merokok merupakan faktor resiko tinggi terjadinya serangan jantung dan kematian mendadak, baik akibat stroke sumbatan maupun perdarahan. Pada meta analisis dari 32 studi terpisah, termasuk studi-studi lainnya, perokok memegang peranan terjadi insiden stroke, untuk kedua jenis kelamin dan semua golongan usia dan berhubungan dengan peningkatan resiko 50% secara keseluruhan, bila dibandingkan dengan bukan perokok. Resiko terjadinya stroke, dan infark otak pada khususnya, meningkat seiring dengan peningkatan jumlah rokok yang dikonsumsi, baik pada laki-laki ataupun wanita. 

Diabetes

Diabetes

meningkatkan

kemungkinan

aterosklerosis

pada

arteri

koronaria, femoralis dan serebral, sehingga meningkatkan pula kemungkinan stroke sampai dua kali lipat bila dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes. Dari arterosklerosis dapat menyebabkan emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah sehingga mengakibatkan iskemia. Iskemia menyebabkan perfusi otak menurun dan akhirnya terjadi stroke. Pada DM, akan mengalami penyakit vaskuler sehingga juga terjadi penurunan makrovaskulerisasi. Makrovaskulerisasi menyebabkan peningkatan suplai darah ke otak. Dengan adanya peningkatan suplai tersebut, maka TIK meningkat, sehingga terjadi edema otak dan menyebabkan iskemia. Pada DM juga terjadi penurunan penggunaan

insulin

dan

peningkatan

glukogenesis,

sehingga

terjadi

hiperosmolar sehingga aliran darah lambat, maka perfusi otak menurun sehingga stroke bisa terjadi. 

Atrial fibrilasi dan beberapa kondisi jantung tertentu

Kelainan jantung

merupakan kelainan atau disfungsi organ yang

mempredisposisikan timbulnya stroke. Meskipun hipertensi merupakan faktor resiko untuk semua jenis stroke, namun pada tekanan darah berapapun, gangguan fungsi jantung akan meningkatkan resiko stroke secara signifikan. Peranan gangguan jantung terhadap kejadian stroke meningkat seiring pertambahan usia .Selain itu, total serum kolesterol , LDL maupun trigliserida

9

yang tinggi akan meningkatkan resiko stroke iskemik ( terutama bila disertai dengan hipertensi ), karena terjadinya aterosklerosis pada arteri karotis. 

Dislipidemia

Dislipidemia adalah kelainan yang ditandai oleh kelainan baik peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kolesterol LDL yang tinggi (normal : < 100 mg/dl), kolesterol HDL (normal : 35-59 mg/dl) yang rendah, dan rasio kolesterol LDL dan HDL yang tinggi dihubungkan dengan peningkatan risiko terkena stroke. Hal ini akan diperkuat bila ada faktor risiko stroke yang lain (misalnya:hipertensi, merokok, obesitas). Berbagai

penelitian

epidemiologi

secara

konsisten

menghubungkan

peningkatan risiko stroke pada penyandang dislipidemia. Peningkatan 1 mmol/ L (38,7 mg/dL) kadar kolesterol darah total akan meningkatkan risiko stroke sebesar 25%. Di lain sisi peningkatan 1 mmol/ L kadar kolesterol HDL (kolesterol baik) akan menurunkan risiko stroke sebesar 

Stenosis arteri karotis

Stenosis

arteri

karotis adalah

penyempitan

atau

penyempitan

permukaan dalam (lumen) dari arteri karotis, biasanya disebabkan oleh aterosklerosis. 

Sickle cell disease

Bentuk eritrosit yang seperti bulan sabit dapat menyumbat suplay darah ke otak 

Terapi hormonal pasca menopause



Diet yang buruk



Inaktivitas fisik



Obesitas

Pasien obesitas/ kegemukan memiliki tekanan darah, kadar glukosa darah dan serum lipid yang lebih tinggi, bila dibandingkan dengan pasien tidak gemuk. Hal ini meningkatkan resiko terjadinya stroke, terutama pada kelompok usia 35-64 tahun pada pria dan usia 65-94 tahun pada wanita. Namun, pada kelompok yang lain pun, obesitas mempengaruhi keadaan kesehatan, melalui peningkatan tekanan darah, gangguan toleransi glukosa dan lain-lain. Pola obesitas juga memegang peranan penting, dimana obesitas sentral dan penimbunan lemak pada daerah abdominal, sangat berkaitan dengan kelainan aterosklerosis. Meskipun riwayat stroke dalam

10

keluarga penting pada peningkatan resiko stroke, namun pembuktian dengan studi epidemiologi masih kurang. (Redaksi Agromedia, 2009) 2.1.5 Tanda dan Gejala Tanda utama stroke iskemik adalah muncul secara mendadak defisit neurologik fokal. Gejala baru terjadi dalam hitungan detik maupun menit, atau terjadi ketika bangun tidur (Fitzsimmons, 2007). Defisit tersebut mungkin mengalami perbaikan dengan cepat, mengalami perburukan progresif, atau menetap (Price dan Wilson, 2002). Gejala umum berupa baal atau lemas mendadak di wajah, lengan, atau tungkai, terutama di salah satu sisi tubuh; gangguan penglihatan seperti penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau dua mata; bingung mendadak; tersandung selagi berjalan; pusing bergoyang; hilangnya keseimbangan atau koordinasi; dan nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas (Price dan Wilson, 2002). Mual dan muntah terjadi, khususnya stroke yang mengenai batang otak dan serebelum (Fitzsimmons, 2007). Aktivasi kejang biasanya bukan sebagai gelaja stroke. Nyeri kepala diperkirakan pada 25% pasien stroke iskemik, karena dilatasi akut pembuluh kolateral (Simon, 2009). 2.1.6 tatalaksana gizi stroke Gold standard untuk menentukan kebutuhan energi basal adalah menggunakan

kalorimetri

indirek,

tetapi

sulit

untuk

dilakukan

karena

pemeriksaan ini memerlukan peralatan khusus dan waktu persiapan tertentu. Oleh karena itu beberapa persamaan dapat digunakan sebagai alternatif untuk menentukan kebutuhan energi basal (KEB) pada manusia. Ada beberapa rumus yang digunakan, dalam buku azura penderita stroke dapat diberi energi sebesar 25-45 BBI (fajar, 2010) Jumlah protein yang direkomendasikan adalah 1-1,5 g/kgBB/hari. Kebutuhan lemak yang direkomendasikan disesuaikan dengan faktor risiko dislipidemia karena tidak ada rekomendasi khusus untuk pasien stroke, yaitu 20– 35% KET. Komposisi lemak untuk saturated fatty acid (SFA) <7% KET, polyunsaturated fatty acid (PUFA) hingga 10% KET, dan monounsaturated fatty acid (MUFA) hingga 20% KET. Kebutuhan karbohidrat (KH) pada pasien stroke

11

tidak ada rekomendasi khusus, tetapi untuk pasien diabetes direkomendasikan jumlah KH 45-60% KET (James K dan Shikany, 2006 dalam Suwita 2015).

2.2 Gagal Jantung Kongestif 2.2.1 Definisi Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrien. Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan (Kumalasari, 2013). 2.2.2 Patofisiologi gagal jantung kongesti Curah jantung yang berkurang mengakibatkan sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung, bila mekanisme kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan (Kumalasari, 2013). 2.2.3 Etiologi Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :

1)

Kelainan otot jantung

Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.

2)

Aterosklerosis koroner

12

Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal

jantung.

Peradangan

dan

penyakit

miokardium

degeneratif,

berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.

3) Hipertensi sistemik atau pulmonal Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.

4)

Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif

Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.

5) Penyakit jantung lain Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade,

perikardium,

perikarditif

konstriktif,

atau

stenosis

AV),

peningkatan mendadak afterload (kumalasari, 2013). 2.2.4 Tanda dan Gejala Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan : 1)

Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.

2)

Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah, asites, hepatomegali, dan edema perifer.

3)

Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai delirium. (kumalasari, 2013).

2.2.5 Hubungan Gagal Jantung Kongestif dan Stroke Kegagalan suplai oksigen miokard menyebabkan infark miokard dimana terjadi beberapa hal seperti disfungsi otot jantung (akinetik) yang menjadikan

13

stagnasi/stasis aliran darah dijantung yang dapat mengakibatkan pembentukan trombus. Akibat gangguan fungsi otot jantung, pada infark terjadi kerusakan endotel otot jantung sehingga timbul pengumpulan platelet dan fibrin yang kemudian akan membentuk trombus mural dan dapat lepas menjadi emboli . Penyebab emboli serebri paling sering ialah gumpalan darah dari jantung. Trombus mural dapat lepas dan terbawa sampai ke arteri serebri menjadi emboli, jika emboli itu tersangkut pada arteri serebri maka akan terjadi oklusi yang menyebabkan berkurangnya suplai oksigen sehingga terjadi hipoksia neuron yang diperdarahinya atau terjadi iskemik .Penurunan aliran darah ini jika tidak ada perdarahan kolateral dan tidak dapat terpenuhi maka akan menyebabkan jaringan otak mati atau disebut infark. Komplikasi dari infark miokard dapat berupa gagal jantung, sehingga terdapat hubungan antara gagal jantung dan stroke (Fathoni, 2011) 2.3 Atrial Fibrilasi 2.3.1 Definisi Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi NAV yang normal, FA biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali cepat (Yuniadi. Dkk. 2014) 2.3.2 Hubungan Atrial Fibrilasi dan Stroke Trombus intrakardial terbentuk bila terdapat kelainan pada katup atau dinding rongga jantung, trombus ini terbentuk bila terjadi gangguan irama jantung sehingga terjadi keadaan yang relatif statis pada atrium seperti pada fibrilasi atrium . Sumber trombus pada fibrilasi atrium adalah pada atrium kiri, dan dianggap merupakan faktor risiko yang penting dalam terjadinya kardioemboli (Gutierrez and Blanchard, 2011). trombus atau emboli terbentuk akibat kontraksi tidak teratur endokardium yang menyebabkan trombus terlepas menjadi emboli. Emboli yang menyumbat aliran darah dapat menyebabkan hipoksia neuron yang

14

diperdarahinya. Maka daerah tersebut akan mengalami iskemik dan berlanjut menjadi infark. Darah tidak dapat mengalir secara normal menuju otak ehingga terjadi kerusakan jaringan otak yang berakibat stroke (Caplan, 2009). 2.4 Hubungan Status Gizi dan Stroke Menurut penelitian Ghani, dkk pada tahun 2016 mengatakan bahwa proporsi stroke lebih tinggi diderita oleh penderita obesitas dan obesitas sentral. Stroke juga dapat menyebabkan turunnya status gizi pasiennya. Status gizi yang kurang akan menyebabkan timbulnya dampak penyakit lain, seperti infeksi saluran kemih dan infeksi pernafasan. Resiko status gizi berkurang akan lebih tinggi pada penderita gangguan menelan atau disfagia. Karena hal tersebut akan menyebabkan kurangnya asupan pasien, dehidrasi, dan juga komplikasi seperti pneumonia (wijayanti, 2012). Pada penelitian Puspaningrum dkk tahun 2013 mengatakan bahwa penurunan status gizi pada pasien stroke akan meningkat dikarenakan susah menelan yang dialami dan juga mual muntah pasien. Kekurangan nutrisi pada pasien stroke akan menyebabkan terjadi dekubitus atau luka yang diakibatkan karena tulang tulang yang menonjol pada pasien. Penelitian pada 104 pasien stroke akut saat masuk rumah sakit, menunjukkan 16,3% pasien sudah mengalami malnutrisi, jumlahnya meningkat menjadi 26,4% setelah hari ketujuh perawatan dan terus meningkat menjadi 35% setelah dirawat selama 14 hari di rumah sakit. Terjadinya malnutrisi tidak hanya selama pasien di rawat di rumah sakit tetapi juga selama masa rehabilitasi di rumah. Tingginya prevalensi malnutrisi pada pasien pasca stroke berhubungan dengan outcome klinis yang buruk (Suwita, 2015). 2.5 Tatalaksana Stroke 2.5.1 Tatalaksana Farmakologi dan Pembedahan Terapi dari stroke hemoragik bertujuan ganda yaitu meminimalkan cedera otak dan membatasi komplikasi sistemik dari cedera otak yang terjadi. Terapi ditujukan pada penghentian perdarahan, mencegah kerusakan neurologis lanjut,

pengontrolan

tekanan

darah,

terapi

simtomatik

dan

mencegah

kekambuhan. Manajemen awal, perhatian tertuju pada keadaan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya harus diusahakan dalam keadaan baik. Mencegah kerusakan neurologis lebih lanjut. Diberikan terapi osmotik

15

seperti manitol 0,25-1 g/kgBB bolus dan elevasi kepala 40 derajat untuk membantu mengurangi tekanan intrakranial. Mencegah kekambuhan dengan memberikan obat antihipertensi. Indikasi pembedahan pada stroke hemoragik adalah jika perdarahan yang terjadi dengan diameter lebih dari 3 cm atau adanya tanda klinis terjadinya kompresi batang otak (Suwita, 2015). 2.5.2

Tatalaksana Nutrisi Tujuan dari tatalaksana nutrisi pada pasien stroke adalah untuk

mencegah malnutrisi, mempertahankan asupan energi dan nutrien yang adekuat akibat terjadinya disfagia, penurunan kesadaran dan depresi dapat mempersulit asupan nutrisi pasien. Pemantauan status hidrasi sangat penting untuk mempertahankannya tetap dalam kondisi yang seimbang. Keseimbangan elektrolit perlu dijaga. Faktor risiko stroke juga perlu diperhatikan dalam tatalaksana nutrisi yang diberikan. Asupan natrium perlu dibatasi untuk mengontrol tekanan darah, mengurangi asupan lemak jenuh dan menjaga status gizi tetap normal (Suwita. 2015). 2.5.2.1 Skrining gizi Hasil survei menunjukkan tingginya prevalensi malnutrisi pasien yang dirawat di rumah sakit (RS) yaitu berkisar 10-60%. Malnutrisi terjadi pada sekitar 24% dari pasien stroke. Oleh karena itu skrining nutrisi perlu dilakukan pada pasien stroke. Nutritional risk screening (NRS) 2002 adalah metode skrining yang sesuai digunakan untuk situasi akut pada pasien stroke tetapi beberapa metode skrining nutrisi lainnya seperti subjective global assessment (SGA), malnutrition universal screening tool (MUST), malnutrition screening tool (MST) dan mini nutritional assessment (MNA) juga dapat digunakan (Wirth R et al . 2013) 2.5.2.2 Kebutuhan Mikronutrien Pada pasien stroke diperlukan pembatasan asupan Na sebesar <2400 mg/hari dengan asupan garam dapur 5−6 g untuk kebutuhan satu hari. Kebutuhan folat yang direkomendasikan adalah 400 µg/hari dari bahan makanan sumber, sementara batas maksimum suplementasi adalah 1000 µg/hari. Mikronutrien seperti vitamin B6, B12, dan folat mempunyai peran yang penting pada metabolisme homosistein. Kadar homosistein yang tinggi dapat

16

diturunkan dengan pemberian 2,5 mg asam folat, B-kompleks (50 mg vitamin B6,and 1 mg vitamin B12) sehingga dapat mencegah stroke (Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, Redon J, Zanchetti A, Bohm M, et al. 2013).



Kondisi Disfagia Jalur enteral atau tube feeding dapat digunakan untuk pemberian nutrisi

jika terjadi disfagia. Jika pemberian secara enteral merupakan suatu kontra indikasi maka nutrisi parenteral dapat diberikan (Wirth R et al . 2013). National Dysphagia Diet (NDD) merupakan tatalaksana nutrisi pada pasien yang mengalami disfagia yang disesuaikan dengan tingkat keparahan disfagia pasien, yaitu terdapat 4 tingkat cairan yang kekentalannya diturunkan bertahap dan 3 tingkat makanan padat, yang dimulai dari bubur kemudian ditingkatkan secara bertahap. Cairan dapat dikentalkan dengan menggunakan susu bubuk tanpa lemak atau tepung maizena (Remig VM, 2008). Tingkat satu diberikan pada pasien dengan disfagia sedang sampai berat, terdapat gangguan bicara, terjadi gangguan menelan pada fase oral dan menurunnya kemampuan untuk melindungi jalan napas. Maka pasien diberikan bubur, dan makanan yang memiliki tekstur seperti puding. Makanan dengan tekstur kasar seperti kacang-kacangan, buah-buahan mentah, dan sayuran tidak diizinkan. Cairan yang dapat diberikan dengan tingkat kekentalan spoon-thick (Corrigan ML, Escuro AA, Celestin J, Kirby DF. 2011) Tingkat dua, diberikan makanan transisi dengan tekstur yang lebih padat daripada bubur, tetapi masih memiliki tekstur yang lembut. Pasien memiliki kemampuan mengunyah dan mengalami disfagia orofaringeal derajat ringan sampai sedang. Semua bentuk diet yang diberikan pada NDD tingkat satu dapat juga diberikan pada tingkat ini. Cairan yang dapat diberikan sampai tingkat kekentalan nectar-thick (Corrigan ML, Escuro AA, Celestin J, Kirby DF. 2011

17

BAB III NUTRION CARE PROCESS (NCP) 3.1 Identitas Pasien Nama Pasien

: Ny. W

Jenis Kelamin

: Perempuan

Usia

: 85 Tahun ( 07/02/1934)

Alamat

: Sukun, malang

Status

: Janda

Agama

: Hindu

Pendidikan

: SD

Pekerjaan

: Tidak bekerja

Pembayaran

: BPJS Non PBI

Ruang

: Ruang Cempaka Kamar 2 bed 1

No. RM

: 250xxx

DPJP

: dr Rahayu Sp.P

Diagnosa Medis Tanggal MRS

:CVA+HCF+AF+TB : 01-03-2019

Tanggal Pengamatan : 06/02/2019 – 09/02/2019 Diet RS

: Sonde TETP

Keluhan Merasa pusing sebelum masuk rumah sakit, batuk tidak berhenti, sakit pada bagian dada hingga ke punggung, sulit untuk beraktivitas, mudah Lelah.

18

3.2 Assessment (06/02/2019) 3.2.1 Data Antropometri LILA

= 21 cm

%LLA

=

LLA AKTUAL X 100 Nilai Standar(baku Harvard)

=

21 cm X 100 328.41

= 73% (Status Gizi Kurang) (Handayani D, dkk., 2015) TL

= 46 cm

TB Est

= 84,88 – (0,24 x Umur) + (1,83 x TL) cm = 84,88 – (0,24 x 85) + (1,83 x 46) cm = 148.66 cm (Handayani D, dkk., 2015)

BBI

= (TB – 100) = (148.66 -100) = 45,18 kg (RSSA, 2014)

Hasil interpretasi data : Berdasarkan presentase LILA status gizi pasien dalam kategori status gizi kurang

3.2.2 Data Biokimia Tabel 3.1 Data Laboratorium Pasien pada Tanggal 03 Februari 2019 Data Lab GDS Kreatinin Ureum HGB Leukosit Trombosit PCV Natrium Kalium Chloride

Data 06/02/19 207 (↑) 1.15mg/dL 43 mg/dL 13.1 g/dL 5440/uL 260000/uL 37.3 124.3 mmol/L (↓) 3.8mmol/L (N) 92 mmol/L (↓) 19

Nilai Normal <140 mg/ DL 0.7-1.4 mg/ DL 15-45mg/DL 12,3 – 15,3 g/DL 4,5 – 11,5. 103/uL 15 –396. 103/ uL 33-43% 136-145 mmol/ L 3,5-5,1 mmol/ L 98-107 mmol/L

Hasil interpretasi data: Dari data di atas dapat dilihat bahwa nilai gula darah sesaat mengalami peningkatan hingga diatas batas normal, namun dilihat dari riwayat pasien bahwa pasien tidak memiliki riwayat penyakit diabetes dan tidak ada turunan penyakit diabetes dari keluarga terdahulu Keseimbangan elektrolit Ny. W tidak seimbang karena nilai Na dan Cl rendah, hal ini dapat disebabkan karena pasien mengalami masalah mual muntah dan juga diare. (Handayani dkk, 2015). 3.2.3 Data Fisik/Klinis Tabel 3.2 Data Fisik/Klinis Pasien pada Tanggal 24 Februari 2019 Data Fisik / Klinis Keadaan umum Kesadaran

Hasil Lemah Sophor

Nilai Normal Baik CM (Compos

110/70 mmHg 102x/menit 22x/menit 36oC

Mentis) 120/80 mmHg 60-100 x/menit 14-20x/menit 36oC (untuk

Mual

(+)(+)

lansia) (-)

Tidak terdapat

Muntah

(+)(+)

(-)

Mual Tidak Terdapat

(+)(+)(+)

(-)

Muntah Terdapat

Tekanan Darah Nadi RR Suhu

Nafsu makan menurun

Kategori Lemah Sophor Normal Normal Normal Normal

penurunan

nafsu makan Lemas (+)(+) (-) Lemas Diare (+) (-) Diare ringan Pasien juga mengalami kesulitan menelan dengan gejala sering mengeluarkan air liur, sulit untuk mengunyah, sakit saat menelan Hasil interpretasi data: Dari hasil pemeriksaan fisik klinis pada pasien, dapat dilihat bahwa keadaan umum pasien ketika MRS adalah lemah dengan keluhan lemas, hal ini merupakan salah satu tanda fisik klinis bahwa pasien sedang mengalami penyakit stroke. Pasien mengalami penurunan nafsu makan dan juga mual 20

muntah, pada tanda gejala dari penderita stroke adalah adanya mual muntah dan susah menelan yang menyebabkan penurunan nafsu makan serta diare (Suwita, 2015). 3.2.4 Dietary Assessment 1) Riwayat Gizi Sekarang Pasien mendapat Diet sonde TETP 1500 kkal dari RST Malang Tabel 3.3 Hasil Recall 24 jam Asupan Makan Pasien (06-02-19)

Asupan dari makanan Kebutuhan Tingkat konsumsi Kategori

Energi

Energi dan Zat Gizi Protein Lemak

(kkal)

(gram)

(gram)

(gram)

1376

48.84

48.69

190.9

1459

58.32

40.55

215.4

94%

83%%

120%

88.6%%

Normal

Defisit ringan

Kelebihan

KH

Defisit ringan

Tabel 3.4 Tabel Klasifikasi Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Kebutuhan Kelebihan Normal Defisit tingkat ringan Defisit tingkat sedang Defisit tingkat berat (Depkes RI, 1996)

Nilai < 120% 90 – 119% 80 – 90 % 70 – 80 % < 70 %

Hasil interpretasi data: Dari table dapat diketahui bahwa asupan energi normal. protein serta karbohidrat defisit tingkat ringan, dan aasupan lemak berlebihan dari anjuran, yakni 25% dari kebutuhan . (Depkes RI, 1996) 2) Riwayat Gizi Dahulu 

Keterangan Alergi makanan : Ikan laut, ayam negri.

21



Pasien memiliki kebiasaan makan utama hanya 2x sehari, yaitu makan



pagi dan makan sore Konsumsi makanan pokok yang paling sering adalah nasi putih 2x/ hari



dengan setiap kali makan hanya 1.5 centong peres (+ 150 gr) Konsumsi lauk nabati jarang, semenjak gigi bagian depan tanggal. Namun ketik masih muda konsumsi lauk nabati yang paling sering adalah

   

tahu @1 potong kecil (+ 30 gr), namun paling sering hanya 5x/ minggu Pengolahan lauk nabati digoreng, ditumis, dan disantan Lauk Hewani yang dikonsumsi hanya ayam kampung, ikan air tawar. Konsumsi lauk hewani 1-2x/hari @1 potong sedang (+45gr) Hanya menyukai sayur sawi dan kangkong, selalu ada tiap kali makan

  

@0,5 penukar Pengolahan sayur hanya di tumis atau rebus Makan buah jarang 2-3x/minggu Buah yang paling sering dimakan adalah papaya sebanyak 1 potong



sedang tiap kali makan Camilan yang sering dikonsumsi adalah jenis polo pendem, atau hasil



olahan kacang kacangan, singkong, ubi, yang direbus 1x/ hari @1ptg sdg Jarang mengkonsumsi teh manis, karena tidak begitu menyukai manis,



sehingga yang dikonsumsi setiap pagi adalah teh tawar Selalu mengkonsumsi kopi di malam hari denga gula 1 sdm untuk mencegah rasa ngantuk karena harus bekerja (memasak makanan) dari



sore hingga dini hari Selalu mengkonsumsi air putih cukup, karena selalu merasa haus sebagai faktor akibat dari pekerjaannya yang selalu berada didepan kompor Tabel 3.5 Tabel Semi Qualitative Food Frequency Questioner (SQ-FFQ)

Daftar

URT

makanan

Berat (gr)

Harian

Frekuensi Mingguan

Bulan an

Rata-rata

Rata-

frekuensi/

rata

hari

gram/ha

Nasi putih

1.5

150

2

2

ri (gr) 300

Singkong

centong 1 ptg

100

1

1

100

Tahu Daging ayam Jerohan Ikan-ikan

sdg 1 ptg kcl 1 ptg kcl 1 ptg

30 45 40

5/7 1 1

21.4 45 40

segar tawar

5 1 1

sdg

22

-

-

Kangkung

½ gls

50

1

1

50

sawi

½ gls

50

1

1

50

pepaya

1 ptg

100

3/7

42

Minyak kelapa

sdg 2 sdt

10

1

1

10

sawit Teh tawar Kopi manis

1 gls 1 gls

0 12 gr

1 1

1 1

0 12

-

(gula) -

-

-

-

Susu Minuman

3

-

-

kemasan

Tabel 3.6 Tabel Hasil Semi Qualitative Food Frequency Questioner (SQ-FFQ) Energi dan Zat Gizi

Asupan dari makanan Kebutuhan Tingkat konsumsi Kategori

Energi

Protein

Lemak

KH

(kkal)

(gram)

(gram)

(gram)

862.8

31.9

20.9

136.3

5.4

1459

58.32

40.55

215.4

25

59%

55%

50%

63%

25%

Defisit

Defisit

Defisit

Defisit

Defisit

berat

berat

sedang

berat

berat

Hasil interpretasi data:

23

Serat (gram)



Dilihat dari data riwayat kebiasaan makanan pasien terdahulu memiliki pola makan yang kurang baik dari segi frekuensi, karena hanya makan 2x sehari (tidak teratur), dan juga sering makan hasil masakannya setiap kali



habis memasak. Kebiasaan setiap kali makan juga kurang tepat karena menu yang diasup tidak lengkap, karena lauk nabati tidak selalu ada dalam porsi makannya,



dan buah hanya konsumsi 3x/ minggu Pemilihan bahan makanan juga kurang beragam, untuk lauk nabati yang selalu dimakan adalah tahu, kemudian pemilihan sayur juga yang paling sering hanya kangkong dan sawi, sedangkan untuk lauk hewani konsumsi



2x sehari dengan pilihan ikan segar atau ayam kampung. Untuk pemilihan buah juga kurang beragam karena hanya mengkonsumsi

 

pepaya Pengolahan lauk nabati terkadang menggunakan santan. Kebiasaan konsumsi kopi setiap hari juga meunjukkan kebiasaan yang



kurang tepat Dari tabel Hasil Semi Qualitative Food Frequency Questioner (SQ-FFQ dapat diketahui bahwa kebiasaan makan pasien sehari-hari yang meliputi energi, protein, karbohidrat, serat, masih rendah dan tergolong defisit berat, sedangkan asupan lemak merupakan defisit tingkat sedang.

3.2.5 Obat yang Digunakan Tabel 3.7 Tabel Jenis Obat-Obat yang digunakan pasien Obat

yang

Jenis obat

Fungsi

Efek

digunakan

samping

terkait Interaksi

Infus

Sodium

Choliride

Cairan natrium

infus klorida

yang

mengganti

20 elektrolit

garam

dan

cairan tubuh

dapur dalam 500 Injeksi 2x1

Ranitidin

ml Anti-refluks/

Menurunkan

Antisida

sekresi lambung

24

asam dan

Obat

dan Makanan -

keseimbangan atau

mengandung gram

Untuk memelihara

gizi/

menekan

mual

dan muntah

Merepenem 2x1

Antibiotik

(Handayani

dkk,

2015) Sebagai

obat

yang

-

dapat

menginaktivasi bakteri Digoxin

Obat Jantung

(Baldwin,

2008) Mengobati denyut

-

jantung yang tidak Injeksi

Antbiotik

Metronidazole 3x1

Injeksi ISDN

beraturan 3 Antibiotik untuk

-

mengobati

Obat Angina

berbagai

infeksi

akibat

bakteri

(FDA, 2013). Obat yang digunaan

-

untuk

mengatasi

CPG

Anti platelet

berbagai

infeksi

bakteri

(FDA,

2013) Obat

untuk

-

memberikan efek hilang pada nyeri dan

menurunkan

demam

yang

mengandung natrium metamizole

3.2.6 Sosial Ekonomi  

Pasien memiliki 2 anak Pasien tinggal Bersama cucu, karena suami dan anak anaknya sudah



meninggal dunia Pendidikan terakhir pasien SD

25

 

Dahulu sebelum sakit tidak bekerja Pasien belum pernah mendapatkan edukasi gizi terkait Stroke dan juga



cara membuat makanan sonde sendiri Pasien tidak pernah mengontrol tekanan darahnya dan juga pasien jarang dating ke pusat kesehatan

3.2.7 Riwayat Penyakit 1) Riwayat Penyakit Sekarang 

Pasien mengeluh badannya lemas dan lemah, dengan rasa nyeri pada kaki kiri karena terdapat luka pada telapak kaki kiri sejak 2 minggu lalu



sebelum MRS. Ketika MRS pasien mengeluh kaki kiri semakin nyeri, mual, terjadi



muntah serta penurunan nafsu makan Pasien tidak memiliki riwayat penyakit lainnya

2) Riwayat Penyakit Dahulu 

Pasien mengalami penyakit TBC 5 tahun lalu, namun obat yang diberi selama 6 bulan tidak dikonsumsi sesuai anjuran, sehingga TBC yang

  

diderita tidak sembuh dengan total Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi Pasien tidak memiliki riwayar Diabetes militus Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit hipertensi, DM, maupun Stroke

3.3 DIAGNOSA 3.3.1 Daftar Masalah Masalah Gizi Sekarang 1) Status gizi pasien didapatkan dari %LILA, yaitu 73,% atau status gizi kurang. 2) Dari hasil recall 24 jam, diketahui bahwa asupan energi, protein, lemak, karbohidrat 

Asupan protein 83% dari total kebutuhan (101,2 gram)



Asupan lemak 120% dari total kebutuhan ( 45 gram)

26



Asupan karbohidrat 88.6% dari total kebutuhan (190.15 gram)

3) Pasien memiliki pola makan terdahulu yang kurang tepat (2x/ hari) 4) Pasien memiliki kebiasaan makan yang kurang tepat, menyukai lauk hewani yang itu itu saja, pemilihan lauk nabati yang kurang beragam, pengolahan makanan yang kurang beragam karena digoreng dan disantan, selalu minum kopi manis (1 sdm gula) setiap hari, selain itu buah yang dikonsumsi hanya papaya dan hanya 3x/minggu 5) Pasein memiliki kebiasaan konsumsi lauk-pauk sumber protein yang rendah sehingga membuat pemenuhan zat besi rendah 6) Pasien belum pernah mendapatkan edukasi gizi terkait stroke 7) Pasien tidak pernah mengkontrol tekanan darahnya dan jarang dating ke pusat kesehatan 8) Pasien tidak memiliki kebiasaan olahraga sebelum sakit Masalah Fisik Klinis Dari hasil fisik klinis, diketahui bahwa keadaan umum pasien masih lemah, lemas, masih merasa mual dan muntah, serta mengalami penurunan nafsu makan. Masalah Medis Didapatkan bahwa nilai biokimia Na, Cl, dibawah normal. Dapat diartikan bahwa keseimbangan elektrolit Ny.W tergang

27

3.3.2 Analisa Masalah AF

usia

Infark Miokard

CHF

Kerusakan jaringan otak

Elektrolit tidak seimbang

Mual, muntah, diare

Kebiasaan mengkonsumsi makanan di goreng dan disantan

Stroke

Penurunan nafsu makan

disfagia Tidak pernah control tekanan darah

Tuberkulosis

Penurunan asupan oral

Pemecahan protein

Status gizi kurang

Tidak memiliki kebiasaan olahraga

Gambar 3.1 Analisa Masalah

28

Belum pernah mendapat edukasi terkait gizi dan makanan

Factor usia merupakan salah satu penyebab terbentuknya atrial fibrilasi (Suwita, 2015). Pada pasien Ny. W, pasien berumur 85 tahun, sehingga memungkinkan usia sebagai faktor dari terjadinya atrial fibrilasi. Tidak pernahnya terpapar dukasi terkait gizi dan makanan dapat menyebabkan kebiasaan makan pasien buruk sehingga ini merupakan factor resiko dari penyebab terjadinya stroke, karena Ny.W tidak pernah melakukan olahraga, mengontrol tekanan darah, dan memiliki kebiasaan konsumsi gorengan dan makanan yang di santan. Mual muntah merupakan tanda dan gejala dari adanya penyakit stroke yang disertai dengan disfagia, hal ini menyebabkan adanya penurunan nafsu makan yang akan berdampak pada kondisi status gizi pasien. (wijayanti, 2012). Paien juga mengalami infeki TB sehingga memperparah kemungkinan untuk terjadinya malnutrii akibat adanya pemecah protein sebagai sumber energi yang digunakan pasien. Pada pasien TB seringkali ditemui masalah penurunan status gizi, bahkan pada penderita TB jika tidak diimbangi dengan status gizi, akan menjadi mal nutrisi. Kecukupan energi dan protein pada pasien TB berhubungan langsung dengan status gizi pasien. Infeksi akan mengabitkan meningkatnya metabolism tubuh, pada pasien yang tidak seimbang asupannya maka akan terjadi pemecahan protein menjadi energi. Hal ini akan mengakibatkan pasien terlihat kurus (puspita Dkk, 2016). Atrial fibrilasi adalah salah satu kelainan jantung dimana detak atau irama jantung tidak sesuai ritme semestinya. Atrial fibrilasi ini dapat menyebabkan terjadinya infark miokard. Infark miokard dapat juga menjadi gagal jantung kongestif. Mekanisme terjadinya kelainan jantung ini karena tersumbatnya aliran pembuluh darah. penyumbatan pembuluh darah dapat menyebabkan oksigen tidak dapat diantarkan menuju otak (caplan,2009). Akibat adanya infark miokard, maka suplai oksigen berkurang dan tidak adekuat sehingga akan terjadi kerusakan pada

jaringan otak, sehingga kerusakan jaringan tersebut dapat

menyebabkan terjadinya stroke. Pada penderita stroke biasanya dibarengi dengan adanya disfagia, keadaan ini dapat mengganggu menelan pasien, sehingga pasien yang mengalami disfagia, sehingga pasien tidak dapat mendapatkan asupan oral, dan juga hidrasi yang kurang (wijayanti, 2012). Pada penelitian Puspaningrum dkk tahun 2013 mengatakan bahwa penurunan status gizi pada pasien stroke akan meningkat dikarenakan susah menelan yang dialami dan juga mual muntah pasien.

29

3.3.3 Diagnosa Gizi 

NI 5.1

Peningkatan kebutuhan zat gizi (protein) disebabkan karena penyakit TBC yang diderita pasien ditandai dengan hasil SQ FFQ hanya 55% kebutuhan 

NI 5.4

Penerunan zat gizi spesifik lemak jenuh disebabkan karena pasien mengalami CVA, yang ditandai dengan hasil recall 120% dari kebutuhan 

NC 1.1

Kesulitan Menelan disebabkan karena pasien mengalami disfagia akibat penyakit stroke ditandai dengan pasien sering mengeluarkan air liur dan makanan sering tertunda di mulut serta penurunan berat badan sebesar 16% dalam lebih dari 6 bulan yakni sebesar 6 kilogram 

NC 3.2

Kehilangan berat badan yang tidak diinginkan diebabkan pasien mengalami penyakit tuberculosis dan stroke yang ditandai dengan kesadaran pasien delirium 

NB 1.1

Kurangnya pengetahuan terkait gizi disebabkan karena pasien belum pernah mendapatkan edukasi gizi ditandai dengan riwayat makan terdahulu yang kurang tepat seperti makan utama hanya 2x/ hari, setiap hari minum kopi manis dengan gula 1 sdm, sering mengolah makanan dengan cara digoreng dan di santan 3.4 RENCANA INTERVENSI 3.4.1 Terapi Diet 3.4.1.1 Tujuan Diet 

Memberikan asupan makanan oral yang sesuai dengan kebutuhan, penyakit penyerta, dan bentuk yang disesuaikan dengan kondisi pasien sehingga tidak memperparah keadaan pasien dan dapat memenuhi kebutuhan pasien



Memberikan asupan tinggi protein untuk mengatasi keadaan infeksi TB dan juga stroke yang diderita

30

3.4.1.2 Prinsip Diet Sonde stroke TETP rendah lemak. 3.4.1.3 Syarat Diet 

Energi diberikan cukup sebesar 30 kkal/ kg BBI sebesar 1459.8kkal



Protein diberikan tinggi sebesar 1.2gram/KG BBI dari total Energi sebesar 58.32 gram untuk mempercepat kesembuhan jaringan yang terdapat infeksi TB. Sumber protein yang diutamakan adalah yang memiliki nilai biologis tinggi, seperti protein hewani yaitu daging sapi, ayam, telur, dan ikan, dan lauk nabati seperti tahu dan tempe



Lemak sedang yaitu 25% dari kebutuhan energi total sebesar 40.55 gram sebagai alternatif agar protein tidak dipecah menjadi Energi, dimana < 10% berasal dari lemak jenuh (SFA) seperti minyak kelapa sawit, kulit ayam, dan kuing telur serta 15% lemak tidak jenuh (PUFA dan MUFA), dan asupan kolesterol <300 mg/ hari



Karbohidrat diberikan cukup sisa protein dan lemak dari kebutuhan total, yaitu 59% dari total kebutuhan yaitu 215.4 gram.



Serat cukup 25 g/hari untuk menghindari konstipasi dan untuk menjaga kesehatan pasien serta untuk membantu mengikat kolesterol bebas dan lemak dalam darah



Cairan cukup sebanyak 800ml, 750ml dari makanan sonde dan 50ml dari oral



Bentuk makanan sonde cair kental, pemberian 3x/hari sebanyak 250ml sekali pemberian

Perhitungan Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Intervensi LILA : 26,5 cm TL : 44,5 cm TB Est

= 84,88 – (0,24 x Umur) + (1,83 x TL) cm = 84,88 – (0,24 x 85) + (1,83 x 46) cm = 148.66 cm (Handayani D, dkk., 2015)

BBI

= (TB – 100)

31

= (148.66 -100) = 48,66 kg (RSSA, 2014) Kebutuhan energi

= 30 x BBI = 30 x 45.18 = 1459.8kkal

Protein

= 1.2 x BBI =1.2 x 48.66 = 58.32gr

Lemak

= 25% x 1459.8 =364.95 kkal/9 = 40.55gr

Karbohidrat

= 59% x 1459.8 = 861.3 kkal/4 = 215.4gr

3.4.2 Terapi Edukasi 1. Tujuan 

Meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga pasien tentang pentingnya pola makan yang baik untuk mengatasi penyakit stroke dan TB yang diderita



Memberikan alternatif kepada keluarga pasien agar makanan pasien saat nanti telah keluar dari rumah sakit

2. Sasaran keluarga pasien 3. Waktu dan Tempat Tanggal 06 dan 09 februari 2019 di Ruang cempaka kamar 2 selama 15 menit 4. Metode Edukasi individu dengan ceramah dan diskusi interaktif 5. Materi Edukasi 1 Menjelaskan

kandungan

makanan

sonde

dan

manfaat

dari

pemberiannya Edukasi 2 Menjelaskan cara membuat makanan sonde dirumah dengan bahan makanan biasa dan susu

32

6. Media : Leaflet sonde, leaflet stroke, gambar makanan

3.5

Rencana Monitoring dan Evaluasi Tabel 3.8 Tabel Rencana Monitoring dan Evaluasi

INDIKATOR

FREKUENSI

TARGET

Cara Mendapatkan

 100%

diasup

melalui NGT  Asupan

Protein

100% melalui NGT Dietary

Setiap hari

 KH

100%

Data Melalui

hasil

weight

food

record

(WFR)

dan recall 24h

diasup

melalui NGT  Lemak 100% diasup melalui NGT Fisik/Klinis

Setiap hari

 Mual - muntah tidak ada  Keadaan

umum

naik menjadi baik

Melihat

data

rekam

medis

pasien

dan

observasi langsung

 Tidak ada lemas  Kemampuan Edukasi

Pada saat setiap kali edukasi

menelan meningkat  keluarga memahami mengenai

materi

yang disampaikan  Pasien

dan

keluarga dapat

pasien mengulangi

materi yang telah disampaikan BAB IV

33

 Melalui

hasil

tanya

jawab

pada

saat

edukasi

HASIL 4.1 Monitoring dan Evaluasi Konsumsi Energi dan Zat Gizi Pengamatan dilakukan selama 3 hari terhitung dari tanggal 6 februari hingga tanggal 9 februari. Pada tanggal 6 februari dilakukan pengamatan asupan makanan dan juga fisiki klinis. Pada Ny. W sudah dipasang selang NGT untuk jalur pemberian makanan. Makanan yang diberikan adalah diet TETP yang berformulasikan susu skim, susu isokal, mentega, tepung mezena, putih telur, dan gula. Asupan makanan pasien adalah 100% karena pasien diberi makanan melalui jalur NGT atau sonde Tabel 4.1 Data Energi dan Zat Gizi Sebelum Intervensi Energi

&

Zat

Gizi Energi (kkal) Protein (gram) Lemak (gram) KH (gram)

Kebutuhan 1459.8 58.32 40.55 215.4

06-02-2019 Intake 1376 48.84 48.69 190.9

% 94% 83% 120% 88.6%

Kategori normal Defisit ringan Berlebih Defisit ringan

Tabel 4.2 Data Energi dan Zat Gizi Saat Intervensi Energ i

&

Zat Gizi Energi (kkal) Protei n (gram) Lemak (gram) KH (gram)

Hari 1 (07 februari

Hari 2 (08 februari

Hari 3 (09 februari

2019)

2019)

2019)

Kebutuha

kategor

n

Intake

1459.8

1411. 2

% 96%

i normal

kategor Intake 1411. 2

% 96%

normal 58.32

54.18

40.55

43.23

215.4

204.1 5

92% 106 % 94%

normal

normal

1411. 2

% 96%

normal 54.18

normal

i

kategor Intake

43.23 204.1 5

92% 106 % 94%

normal

43.23 204.1 5

92% 106

normal

% 94%

Tabel 4.2 diatas merupakan tabel yang menunjukkan hasil monitoring dan evaluasi asupan NGT pasien terhadap energi dan zat gizi, dimana pengamatan dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi bersamaan dengan pelaksanaan

34

normal normal

54.18 normal

i

normal

intervensi, hanya saja monev dilakukan setiap kali intervensi selesai dilakukan. Makanan yang diasup oleh pasien 100% kaena melalui jalur NGT. Dapat dilihat asupan pasien selalu normal, karena keluarga menginjeksikan sonde selalu habis. Persentase tingkat asupan makan pasien tersebut dihitung berdasarkan asupan pasien yang diandingkan dengan standar kecukupan energi dan zat gizi menurut Depkes RI tahun 1996. Tabel 4.3 Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Kebutuhan Kelebihan Normal Defisit tingkat ringan Defisit tingkat sedang Defisit tingkat berat (Depkes RI, 1996)

Nilai < 120% 90 – 119% 80 – 90 % 70 – 80 % < 70 %

4.1.1 Asupan Energi Energi yang dibutuhkan pasien adalah sebesar 1459.8 kkal, dimana energi tersebut berfungsi untuk memberikan kekuatan tubuh pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari, paling tidak energi dapat digunakan untuk mempertahankan kebutuhan basal tubuh pasien. Asupan energi pasien selama 3 hari pelaksanaan intervensi disajikan kedalam gambar 4.1 dibawah ini.

Asupan Energi 1480 1460 1440 1420 1400 1380 1360 1340 1320 SEBELUM INTERVENSI

Hari 1

Ha ri 2

Kebutuhan

35

As upa n

Ha ri 3

Gambar 4.1 Asupan Energi (kkal) Berdasarkan gambar 4.1 diatas, dapat diketahui bahwa asupan energi pasien selama sebelum intervensi hingga pelaksanaan intervensi meningkat, hal ini disebabkan oleh pergantian formula yang diberikan. Sebelum dilakukan intervensi, energi yang diasup oleh Ny. W sebesar 1376. Intervensi dilakukan dengan memberi formula baru sehingga energi yang diasup oleh pasien meningkat dan hamper memenuhi kebutuhan sehari. 4.1.2 Asupan Protein Kebutuhan protein yang dibutuhkan pasien dalam 1 hari sebesar 1,2 gr / KG BBI yakni sebesar 58.32, hal ini disebabkan karena pada penderita TB ada kemungkinan resiko pemecahan protein untuk menjadi energi. Gambar 4.2 Asupan Protein (gram)

Asupan Protein 60 58 56 54 52 50 48 46 44 25-Ma r-18

Ha ri 1

Hari 2

Kebutuha n

As upan

Hari 3

Ber

dasarkan gambar 4.2 diatas, dapat diketahui bahwa asupan protein pasien pada tanggal 06 februari 2019 mengalami peningkatan, hal ini disebabkan karena pasien mendapatkan formula sonde yang baru, yang memiliki kandungan protein

36

lebih banyak. Kandungan protein yang lebih banyak ini disebabkan karena menggunakan 2 putih telur. Asupan protein yang masuk sebesar 54.18 dan masuk 100% selama 3 hari, sehingga hasil kurva berjalan sejajar.

4.1.3 Asupan Lemak Berikut adalah kebutuhan lemak pasien yang dapat dilihat pemenuhannya selama sebelum intervesi (06 februari 2019) dan selama 3 hari proses intervensi. Kebutuhan lemak pasien adalah sebesar 40.55 gram, dan grafik perubahannya dapat dilihat pada gambar 4.3 berikut ini. Gambar 4.3 Asupan Lemak (gram)

Asupan Lemak 60 50 40 30 20 10 0 25-Ma r-18

Ha ri 1

Hari 2

Kebutuhan

a s upa n

Hari 3

Berda

sarkan gambar 4.3 diatas, dapat dilihat dari table diatas, bahwa asupan lemak pasien sebelum intervensi mencapai 48.69gr atau sebesar 120%, sehingga pada intervensi dibuat formula baru yang dapat memenuhi kabutuhan lemak pasien dengan batas yang disesuaikan. Pada pasien ini lemak yang diberikan adalah 43.23 gram, hal ini diasup pasien sebanyak 100% oleh pasien setiap harinya karena menggunakan jalur NGT. 4.1.4 Asupan Karbohidrat Kebutuhan karbohidrat yang dibutuhkan oleh pasien adalah sebesar 215.4 gram, dimana karbohidrat ini dibutuhkan tubuh juga sebagai energi utama tubuh dalam melakukan aktivitas fisik. Berikut adalah gambar 4.4 yang memaparkan asupan karbohidrat pasien.

37

Asupan Karbohidrat 220 215 210 205 200 195 190 185 180 175 SEBELUM INTERVENSI

Hari 1

Hari 2

Kebutuhan

Hari 3

As upan

Gambar 4.4

Asupan Karbohidrat (gram) Berdasarkan gambar 4.4 diatas, dapat dilihat bahwa asupan karbohidrat saat sebelum intervensi yakni sebesar 190.3 gram, setelah intervensi asupan karbohidrat naik menjadi 204.15, hal ini disebabkan karena pada formula baru kadar karbohidrat ditingkatkan. Asupan karbohidrat pasien statis selama 3 hari. 4.2 Monitoring dan Evaluasi Pemeriksaan Fisik/ Klinis Tabel 4.4 Data Hasil Pengamatan Fisik/ Klinis Pasien Data

Hasil

Nilai

Fisik /

06 februari

07 februari

08 februari

09 februari

Klinis

2019

2019

2019

2019

Lemah

Lemah

Lemah

Lemah

Sophor

Delirium

Normal

(sebelum intervensi) Keadaan

Baik

umum Kesadaran

Delirium

Delirium

CM (Compos Mentis)

Tekanan Darah

110/70

100/70

110/70

100/70

120/80

mmHg (N)

mmHg (↑)

mmHg (↑)

mmHg (↑)

mmHg

38

Nadi RR Suhu

102x/menit

70 x/menit

80 x/menit

80 x/menit

60-100

(N)

(N)

(N)

(N)

x/menit

22x/menit (↑)

22x/menit

20x/menit

20x/menit

(↑)

(N)

(N)

o

o

o

o

36 C (N)

36,6 C (N)

36,5 C (N)

14-20x/ menit

36,4 C (N)

36oC (untuk lansia)

Mual

(+)

(-)

(-)

(-)

(+)

Muntah

(+)

(-)

(-)

(-)

(+)

Diare

(+)

(-)

(-)

(-)

(-)

Nafsu

(-)

(-)

(-)

(-)

(+)

(+)(+)

(+)

(+)

(+)

(-)

makan menurun Lemas

Berdasarkan tabel 4.4 diatas, dapat diketahui bahwa monitoring dan evaluasi dari keadaan fisik/ klinis pasien dilakukan pada tanggal 06-02-2019 ketika pasien MRS, kemudian tanggal 07-09 februari 2019, dimana monitoring dan evaluasi dilakukan pada data keadaan umum (KU), kesadaran, tekanan darah, nadi, RR, Suhu, rasa mual, muntah serta nafsu makan yang dirasakan pasien serta ada tidaknya rasa lemah pada pasien. Dari 10 indikator diatas, bahwa yang terlihat tidak normal adalah keadaran pasien rasa mual muntah di hari sebelum intervensi, nafsu makan yang menurun, dan rasa lemah pasien. 4.3 Monitoring dan Evaluasi Pemeriksaan Antropometri Tabel 4.5 Data Hasil Pengamatan dan Pengukuran Antropometri Pasien Data

06

Antropometri

februari

LiLA (cm) Tinggi Lutut (cm)

2019 21 44

07

08 februari

09 februari

februari

2019

2019

2019 -

-

21 44

Berdasarkan tabel 4.5 diatas, dapat dilihat bahwa tidak ada perubahan antropometri pada pasien Ny.W. pengamatan ini dilakukan 4 hari, yakni 1 hari sebelum intervensi dan 3 hari saat intervensi.

39

4.4 Monitoring dan Evaluasi Pemeriksaan Laboratorium Tabel 4.6 Data Hasil Pengamatan Laboratorium Pasien Data

Sebelum intervensi

Saat intervensi

Nilai Normal

Lab

06

07

08

09

februari

februari

februari

februari

GDS

2019 207 (↑)

2019 -

2019 -

2019 -

<140 mg/ DL

Kreatinin

1.15mg/d

-

-

-

0.7-1.4 mg/ DL

Ureum

L 43 mg/dL

-

-

-

15-45mg/DL

HGB

13.1 g/dL

-

-

-

12,3 – 15,3 g/DL

Leukosit

5440/uL

-

-

-

4,5 – 11,5. 103/uL

Trombos

260000/u

-

-

-

15 –396. 103/ uL

it PCV

L 37.3 (↓)

-

-

-

40-50 %

Natrium

124.3

-

-

-

136-145 mmol/ L

mmol/L Kalium

(↓) 3.8mmol/

-

-

-

3,5-5,1 mmol/ L

Kalium Chloride

L (N) 4 (N) 92

-

-

-

98-107 mmol/L <140 mg/ DL

mmol/L (↓) Berdasarkan tabel 4.6 diatas tidak ada hasil lab terbaru terkait pemeriksaan Ny.W. data lab yang tidak normal hanya GDS yang tinggi dan PCV rendah. Data PCV yang rendah menandakan bahwa pasien mengalami mual muntah. Sedangkan GDS tinggi dapat saja disebabkan karena sesaat sebelum pemeriksaan darah, pasien makan terlebih dahulu sehingga gula darah meningkat melebihi batas normal, karena setelah ditanyakan kepada keluarga pasien bahwa pasien tidak memiliki riwayat diabetes. Perawat yang bertugas juga menyatakan bahwa data dari GDS tidak akan diambil

4.5 Monitoring dan Evaluasi Edukasi

40

Monitoring dan evaliuasi edukasi dilakukan sebagai bentuk intervensi penunjang

selain

diberikannya

intervensi

berupa

pemberian

diet

yang

dsesuaikan dengan kebutuhan pasien. Edukasi ini berisikan pengetahuan tentang penyakit dari pasien dan juga hubungannya dengan gizi. Selain itu edukasi juga berisikan tentang resiko dari malnutrisi yang dapat disebabkan dari penyakit stroke dan TB. Selain memberikan edukasi berupa informasi, edukasi ini juga bersifat diskusi yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah apa yang dialami pasien sehingga terjadi peningkatan berat badan pasien. Metode edukasinya adalah diskusi interaktif, dengan tanya jawab seputar pertanyaan yang dibingungkan oleh pasien dan keluarga. Edukasi 1 dilakukan dengan memberikan materi terkait gambaran umum dari penyakit yang diderita pasien dan resiko malnutrisi yang dapat terjadi akibat dari penyakit pasien. Selain itu dilakukan edukasi terkait jadwal pemberian makanan sonde agar tidak terjadi refluks dari lambung pasien. Edukasi 2 dilakukan dengan edukasi terkait makanan sonde yang dapat dibuat dirumah dan juga cara pembuatan. Makanan sonde yang dapat dibuat dapat berupa milk based dan makanan keluarga. Selain hal itu, materi juga berisikan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan bagi pasien stroke.

BAB 5

41

PEMBAHASAN Pasien berusia 85 tahu masuk rumah sakit pada tanggal 3 februari 2019. Pasien ini dirawat diruang cempaka kamar 2, yang sebelumnya dirawat di ruang ICU. Pasien tersebut didiagnosa dengan penyakit CVA + TB + CHF + AF , pada pasien ini mengalami stroke iskemik karena pada pasien ini mengalami serangan stroke secara mendadak dan tidak memiliki riwayat stroke sebelumnya. Atrial fibrilasi juga merupakan factor resiko terjafdinya stroke. Selain itu umur pasien yakni 85 tahun sehingga kemungkinan terjadinya stroke meningkat, kejadian peningkatan resiko bermulai dari usia diatas 55 tahun, hal ini disebabkan karena pada usia tersebut pembuluh darah menjadi lebih kaku karena adanya aterosklerosis. Aktivitas fisik pasien yang kurang juga dapat menyebabkan terjadinya stroke, menurut kementrian kesehatan, aktivitas fisik yang dianjurkan minimal 30 menit perhari, sedangkan Ny. W tidak melakukan aktivitas fisik semasa sehatnya. Makanan juga mempengaruhi terjadinya stroke, pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan yang digoreng dan juga disantan, sehingga

resiko

penumpukan

dalam

pembuluh

darah

tinggi,

tingginya

penumpukan ini akan menyebabkan aterosklerosis atau penyumbattan pembuluh darah. Stroke dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi pernafasan (wijayanti, 2012). Pada pasien Ny.W memiliki riwayat TB sehingga dengan adanya stroke ini infeksi pernafasan tersebut akan muncul kembali dan menjadi salah satu penyakit penyerta. Arteri fibrilasi merupakan salah satu penyebab terjadinya

stroke,

karena

dengan

adanya

arteri

fibrilasi

maka

terjadi

penyumbatan pada pembuluh darah, sehingga suplai oksigen menuju otak akan berkurang dan terjadi kerusakan jaringan otak yang menyebabkan terjadinya stroke. Pada pasien yang dikategorikan berusia lanjut maka salah satu penyebab juga dapat dikarenaka dari pengentalan darah dan pembuluh darah yang kaku. Darah yang kental dan pembuluh darah yang kaku akan menghambat suplai oksigen menuju otak. Saat pertama kali mengambil data pasien, pasien sudah diberikan diet TETP oleh Rumah sakit, diet ini memiliki kandungan energi sebesar 1376 kkal, protein 48.84 gram, lemak 48.69 gram , dan karbohidrat sebesar 190.9 gram. Jika dibandingkan maka asupan energi pada pasien sudah memnuhi hingga 94% akan tetapi lemak yang diberikan berlebih sebesar 120%, protein yang diberikan

42

mencapai 84%, karbohidrat yang diberi mencapai 88.6%. diagnosa yang ditegakan pada kasus ini yang pertama adalah peningkatan zat gizi protein, hal ini berkaitan dengan penyakit stroke yang dibarengi dengan penyakit TB yang diderita pasien. Selain itu diagnose yang ditegakkan adalah kesulitan menelan, yang nantinya diagnose ini akan diintervensi dengan jalur pemberian makan pasien. Diagnose yang tegakkan setelahnya adalah kurangnya pengetahuan terkait gizi dan makanan, hal ini karena pasien belum pernah mendapatkan edukasi terkait gizi dan makanan sebelumnya.Intervensi diberikan makanan dengan kandungan energi

sebesar 1417.2 kkal, protein 54.18 gram, lemak

diberikan 43.23 gram, dan karbohidrat diberikan sebesar 204.15 gram. Pemberian makanan diberikan melalui jalur NGT, ini disebabkan karena pasien mengalami disfagia dan tidak sadarkan diri. Pasien diberikan makanan melalu jalur NGT dengan jumlah sekali pemberian yakni 250 ml, sehingga dalam 3 kali pemberian, maka cairan yang diasup adalah 750ml. pasien hanya mendapatkan makanan enteral yang padat energi, karena jika diberikan tambahan makanan selingan dikhawatirkan kapasitas lambung berlebih dan akan terjadi refluks dari lambung. Pada pasien geriatric, kapasitas lambung sudah menurun jika disbanding dengan manusia yang berusia dewasa. Pasien diberikan makanan enteral modisikasi, yakni dengan penambahan jumlah putih telur, tepung maezina, dan tidak menggunakan margarin serta kuning telur. Hal ini dikarenakan margarin dan kuning telur banyak mengandung lemak, ehingga harapannya dengan formula baru ini, keseimbangan kebutuhan zat gizi paien dapat terpenuhi dengan sempurna.. Setelah intervensi dihari pertama, monev yang dilakukan menunjukan hasil yang sama, yakni pasien masih dalam keadaan yang sama tanda tanda vital dalam batas normal, asupan yang diberikan diasup 100% oleh pasien, kesadaran pasien meningkat menjadi delirium, namun keadaan umum masih lemah. Diagnose yang ditegakkan tetap eperti diagnose sebelumnya.Intervensi yang dilakukan dihari berikutnya tetap sama seperti intervensi di hari 1. Pada monev di hari kedua dan ketiga terlihat peningkatan GCS pasien. Maka dari itu disarankan kepada keluarga boleh memberikan cairan melalui oral sebanyak 50 ml seharinya. Pada hari sebelum pasien diintervensi, pasien mengalami diare kurang lebih 3 kali sehari. Intervensi hari 1 diare sudah tidak ada.

43

Intervensi dilakukan selama 3 hari atau 9 kali makan. Intervensi yang dilakukan adalah mengganti formula enteral yang telah disesuaikan perhitungan energi dan zat gizinya. Pada formula yang dibuat rumah sakit memilki energi sebesar 1376 kkal dan diganti menjadi 1411.4 kkal, kandungan protein yang sebelumnya 48.84 gram ditingkatkan menjadi 54.18 gram, asupan lemak yang ebelumnya 48.69 gram diturunkan menjadi 43.23 gram, dan kandungan karbohidrat yang ebelumnya 190.9 gram ditingkatkan menjadi 204.15 gram. Perbedaan formula RS dan intervensi dari mahasiswa terletak di komposisi bahan yang tidak menggunakan mentega dan penambahan putih telur serta maezena. Dengan menggunakan NGT maka sedikit menguntungkan bagi pasien, karena dengan itu asupan pasien terasup 100% setiap harinya. Sehingga paling tidak energi basal pasien terpenuhi dan dapat memecahkan masalah resiko malnutrisi. Lemak diberikan sedang, yakni sebesar 25% atau setara dengan 40.55 gram. Sebelum intervensi, lemak yang diberikan sebesar 48.69 gram sehingga persentase menjadi 120%. Pemberian lemak yang cukup juga penting bagi penderita stroke dengan komplikasi TB, karena lemak sebagai alternatif agar proein tidak dipecah menjadi energi. Tujuan utama atau prinsip asuan lemak pada pasien adalah untuk membatasis asupan lemak jenuh dan kolesterol tinggi dari makanan sehingga pemberiannya adalah <10% berasal dari lemak jenuh (SFA) seperti minyak kelapa sawit, kulit ayam, dan kuning telur serta 15% berasal dari lemak tidak jenuh (PUFA dan MUFA) yang dapat berasal dari minyak jagung atau alpukat serta asupan kolesterol <300 mg/ hari, kolesterol biasanya berasal dari jerohan (James K dan Shikany, 2006 dalam Suwita 2015). Karbohidrat yang diberikan pada pasien merupakan sisa dari kebutuhan lemak dan protein, yakni sebesar 59% atau sebesar 215.4 gram. Sumber karbohidrat pada pasien menggunakan bahan dari gula susu, dan tepung maezena. Hal ini dilakukan agar formula enteral yang dibuat mudah masuk melalui pipa sonde yang terpasang pada pasien. Kebutuhan karbohidrat sangat penting untuk diberikan kepada pasien, hal ini dikarenakan karbohidrat merupakan sumber energi utama yang digunakan sebagai energi basal pasien (Almatsier, 2014). Pada sebelum intervensi karbohidrat yang diberikan sebesar 190.9 dan di tingkatkan menjadi 204 gram atau setara dengan 94% kebutuhan.

44

Data lab pasien didapatkan pada tanggal 6 februari, data tersebut dilakukan pengecekan pada tanggal 3 februari. Dari data lab terlihat yang tidak normal GDS. GDS pasien mengalami peningkatan, hal ini dapat disebabkan karena sebelum mengambil sampel darah, pasien mengkonsumsi makanan. Pasien tidak memiliki riwayat diabetes dan tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat diabetes. Tidak ada hasil lab terbaru hingga pengamatan selesai dilakukan. Pada Ny.W dapat diketahu bahwa data Na dan Cl rendah, hal ini mengidentifikasikan bahwa pasien mengalami kekurangan elektrolit (Handayani, 2015) Pada kajian fisik klinis pasien, pasien mengalami mual dan muntah sehingga nafsu makan menurun. Menurut suwita pada tahun 2011 mengatakan bahwa pada penderita stroke, akan mengalami gejala dan tanda mual muntah, selain itu disfagia juga dapat diidentifikasikan melalui tanda gejala ini. Pasien mengalami disfagia, hal ini merupakan tanda gejala dari penyakit stroke. Pasien mengalami disfagia dengan ditandai tidak mampu mengunyah dan menelan makanan, selain itu pasien juga mengularkan liur tanpa dikehendaki sehingga ini dapat menjadi tanda gejala disfagia, maka dari itu pasien diberikan makanan via NGT. NGT adalah kependekan dari Nasogastric tube. alat ini adalah alat yang digunakan untuk memasukkan nutsrisi cair dengan selang plasitic yang dipasang melalui hidung sampai lambung. Indikasi pemasangan NGT adalah kepada pasien yang tidak sadar, susah menelan dan pre maupun post operasi daerah mulut dan tenggorokan (Suwigno, 2008). Pada pasien ini mengalami ketidaksadaran dan gangguan menelan atau disfagia, sehingga penting sekali untuk memasang NGT agar kebutuhan basal pasien terpenuhi. Pada pengamatan antropometri yang diambil pada pengamatan pertama dan akhir tidak terdapat perubahan lingkar lengan maupun tinggi lutut, karena pengamatan dilakukan hanya 4 hari.

45

BAB 6 PENUTUP 6.1 Kesimpulan  

Pasien mendapat diagnosa medis CVA + CHF + AF + TB Berdasarkan hasil assessment gizi diketahui: a. Antropometri : status gizi kurang beradarkan persen lila menurut umur (%) b. Biokimia c. Fisik Klinis

: terdapat penurunan nilai Na dan Cl : keadaan umum pasien masih lemah, pasien memiliki

kesadaran yang lemah d. Dietary : memiliki riwayat asupan makan yang kurang sebelum MRS dan 

pasien memilki pola makan yang tidak tepat. Diagnosa gizi yang ditegakkan adalah: NI. 5.1 peningkatan kebutuhan zat gizi protein NC 1.1 Kesulitan menelan NC 3.2 Kehilangan berat badan tidak diinginkan NB 1.1 Kurangnya pengetahuan terkait gizi dan makanan

 

Intervensi yang diberikan adalah memberikan makanan dalam bentuk enteral, diberikan melalui NGT dengan 3 x pemberian 250ml. Dari hasil monitoring evaluasi: a. Antropometri: tidak ada perubahan lingkar lila b. Biokimia: tidak ada hasil terbaru c. Fisik Klinis: Keadaan umum masih lemah, tidak ada mual muntah maupun diare, kesadaran pasien yang sebelumnya sophor meningkat menjadi delirium. d. Dietary: asupan makan pasien terasup 100%

6.2

Saran 1. Untuk mahasiswa Pre-DI  Melakukan penggalian data terkait pola makan dengan lebih 

dalam, agar bisa mengetahui dan memberikan edukasi yang tepat Makanan enteral yang diberikan harus padat energi dan tidak



terlalu kental agar mudah dimasukan melalu pipa NGT Melakukan kunjungan dan diskusi minimal di setiap waktu makan untuk mengevaluasi asupan makanan utama dan perkembangan menelan pasien

46



Pemberian edukasi secara menyeluruh lebih awal terutama mengenai bahan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan bisa mencegah pemilihan makanan yang salah. Dan memberi



tahukan tips dan trik untuk membuat makanan enteral dirumah Pendekatan kepada pasien dan keluarga pasien penting untuk mengkaji permasalahan dan membantu pemecahan masalah yang dialami pasien. Dengan diskusi, pemahaman pasien dan keluarga akan lebih meningkat, serta intervensi yang diberikan



sesuai dengan kondisi pasien secara individu Memaksimalkan komunikasi dengan ahli gizi ruangan dan CI



terkait rencana dan pelaksanaan intervensi setiap harinya Memaksimalkan komunikasi dengan pihak distribusi makanan



agar penyajian makanan tidak tertukar. Memaksimalkan komunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya seperti perawat untuk lebih mengetahui perkembangan keadaan

pasien 2. Untuk Tenaga Kesehatan RSUD Kabupaten Sidoarjo Untuk ahli gizi kedepannya dapat lebih memotivasi agar pasien dan keluarga tetap dapat menjalankan diet yang diberikan saat sudah pulang dari rumah sakit. Pemberian diet juga harus diperhatikan, apakah diet stroke atau diet TETP yang diberikan, karena pasien diberikan lemak hingga 120%

47

DAFTAR PUSTAKA

Alamtsier, Sunita. 2010. Penuntun Diet. Jakarta : Pt Gramedia Pustaka Almatsier S. Penuntun Diet. Mangunkusumo

Dan

Asosiasi

Instalasi Gizi Perjan Rs Dr. Cipto

Dietisien

Indonesia.

Jakarta:

Gramedia.

2010.P.196-200. Anwar Et Al, 2007. Left Atrial Frank–Starling Law Assessed By Real‐Time, Three‐Dimensional Echocardiographic Left Atrial Volume Changes Anwar T. B., 2004. Kelainan Jantung Sebagai Faktor Risiko Stroke. Avaiable From: Http://Repository.Usu.Ac.Id. Brown Ct. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price Sa, Wilson Lm. 2006 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: Egc, P.576612. Caplanl.R. 2009. Stroke A Clinical Approach.4 Th Edition. Saunders Elsevier. Usa. Corrigan Ml, Escuro Aa, Celestin J, Kirby Df. Nutrition In The Stroke Patient. Nutr Clin Pract 2011;26:242. Damayanti, 2014,. Hubungan Antara Hipertensi Dan Hipertrofi Ventrikel Kiri Pada Pasien Lansia Dengan Atrial Fibrilasi. Semarang, Universitas Diponogoro. Fajar, 2010. Handboook (Buku Saku Saku Gizi). S.A.F Fathoni, M., 2011. Penyakit Jantung Koroner. Surakarta : Universitas Sebelas Maret . Press Goldstein B Larry., Cheryl D. Bushnell Et Al. 2011.Guidelines For The Primary Prevention Of Strokea Guideline For Healthcare Professionals From The American Heartassociation/American Stroke Association. Aha Stroke.Pp518-520 Goldszmidt, Adrian J., 2010. Stroke Essentials, Second Edition. Jones And Bartlett Publisher, Llc 40 Tall Pine Drive, Sudbury, Ma 01776 Gutierrez And Blanchard, 2011. Atrial Fibrillation: Diagnosis And Treatment. Us, Pubmed.Gov Handayani, Dian Dkk. 2015. Nutrition Care Process (Ncp). Yogyakarta : Graha Ilmu

48

Januar, R. 2009. Faktor-Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Kejadian Stroke Pada Usia Muda Kurang Dari 40 Tahun. Skripsi Fkm-Usu Medan Kemenkes Ri., 2014 Infodatin Situasi Dan Kesehatan Jantung, Jakarta, Pusat Data Informasi Kemenkes Ri Kementrian Kesehatan Ri. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta: Kemenkes RI Kumalasari, E. Y. (2013).Angka Kematianpasien Gagal Jantung Kongestif Di Hcudan Icu Rsup Dr. Kariadisemarang. Diperoleh Tanggal 15 Februari 2019 Dari Http://Eprints.Undip.Ac.Id/43854/1/Etha_Yosy_K_Lap.Kti_Bab_0.Pdf Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, Redon J, Zanchetti A, Bohm M, Et Al. 2013 Esh/Esc Guidelines For The Management Of Arterial Hypertension. Journal Of Hypertension 2013;31:1281-357. Muttaqin, Arif. 2011.

Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan

Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika Price Sa, Wilson Lm. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: Egc, 2006.P.576-612 Puspita Dkk. 2016. Gambaran Status Gizi Pada Pasien Tuberkulosis Paru (Tb Paru) Yang Menjalani Rawat Jalan Di Rsud Arifin Achmad Pekanbaru. Jom Fk Vol 3 Puspita, Dkk. 2016. Gambaran Status Gizi Pada Pasien Tuberkulosis Paru (Tb Paru) Yang Menjalani Rawat Jalan Di Rsud Arifin Achmad Pekanbaru Remig Vm. Medical Nutrition Therapy For Neurologic Disorders. In: Mahan Lk, Escott-Stump S, Editor. Krause’s Food And Nutrition Therapy 12th Ed.St.Louis: Elsevier Saunders; 2008.P.1067-101. Simon Rp, Greenberg Da, Aminoff Mj, 2009. Clinical Neurology. Edisi Ke-7. New York: The Mc Graw Hill; Suwigno, 2008. Ketepatan Posisi Naso Gastric Tube (Ngt) Menggunakan Metode Aspirasi, Metode Auskultasi, Dan Metode Merendam Ujungselang Ngt Kedalam Air Dengan Konfirmasi Rontgen Di Ugd Rs Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jakarta, Universitas Indonesia Suwita, 2015. Tatalaksana Nutrisi Pada Pasien Stroke Hemoragik Dengan Berbagai Faktor Risiko. Jakarta: Universitas Indonesia

49

Wirth R, Smoliner C, Jager M, Warnecke T, Leischker Ah, Dziewas R. Guideline Clinical Nutrition In Patients With Stroke. Experimental & Translational Stroke Medicine 2013;5:1-11. Yuniadi. Dkk. 2014. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium Edisi: 1 : Jakarta, Centra Communication

50

Related Documents

Bab 2 Dan Dafpus.docx
April 2020 15
Bab I Dan Bab 2 Uas Mpk.docx
December 2019 28
Bab I Dan Bab 2 Semkas.docx
November 2019 19
Bab 1 Dan Bab 2.docx
October 2019 26
Revisi Bab 1 Dan Bab 2.docx
October 2019 17

More Documents from "Lola Amelia"