Bab 2 Acc (finish)

  • Uploaded by: kastoto
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 2 Acc (finish) as PDF for free.

More details

  • Words: 5,253
  • Pages: 20
BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Hakekat Persepsi Masyarakat a. Pengertian Persepsi Masyarakat Sejak individu dilahirkan, saat itu pula individu secara langsung berhubungan dengan dunia luarnya. Mulai saat itu individu secara langsung menerima stimulus atau rangsangan dari luar di samping dari dalam dirinya sendiri. Individu mengenali dunia luarnya dengan menggunakan alat inderanya. Persepsi merupakan suatu proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya. Stimulus yang di indera itu oleh individu diorganisasikan, kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang di indera itu (Bimo Walgito, 1977: 53). Persepsi seringkali dimaknakan dengan pendapat, sikap, dan penilaian. Persepsi selalu melibatkan aktivitas manusia terhadap obyek tertentu, sehingga persepsi selalu menggambarkan pengalaman manusia tentang obyek dan peristiwa yang diperoleh dengan cara menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan tentang obyek tersebut. Persepsi itu tidak akan lepas dari peristiwa, obyek, dan lingkungan di sekitarnya, sehingga tercapai komunikasi antara manusia dengan lingkungannya. Persepsi merupakan proses internal yang dilakukan untuk memilih, mengevaluasi, dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Dengan kata lain persepsi adalah cara seseorang untuk mengubah energi–energi fisik lingkungan menjadi pengalaman yang bermakna (Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 2002: 25-26). Setiap

individu

mempunyai

persepsi

yang

berbeda–beda

dalam

menanggapi suatu obyek. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan pengalaman atau lingkungan, maka persepsi dapat berubah–ubah sesuai dengan suasana hati, cara belajar, dan keadaan jiwa (Jalaluddin Rakhmat, 2002: 56). Jadi persepsi itu tergantung pada proses berpikir atau kognitif seseorang, sehingga persepsi akan selalu berubah setiap saat. Perubahan itu tergantung pada kemampuan selektivitas

11

informasi yang diterima setelah diolah ternyata bermakna positif maka seseorang mendukung informasi yang diterima, tetapi bila negatif maka yang terjadi sebaliknya. Dalam bahasa Inggris masyarakat disebut Society, asal katanya Socius yang berarti “kawan”. Kata “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu Syiek, artinya “bergaul”. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk–bentuk akhiran hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai pribadi melainkan oleh unsur–unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan. (Ahmadi, 2003: 200) Bagaimanakah kata masyarakat didefinisikan dalam sosiologi? Marion Levy (Inkeles, 1965) mengemukakan empat kriteria yang perlu dipenuhi agar suatu kelompok dapat disebut masyarakat, yaitu (1) kemampuan bertahan melebihi masa hidup seorang individu, (2) rekruitmen seluruh atau sebagian anggota melalui reproduksi, (3) kesetiaan pada suatu “sistem tindakan utama bersama”, (4) adanya sistem tindakan utama yang bersifat “swasembada”. Inkeles mengemukakan bahwa suatu kelompok dinamakan masyarakat bila kelompok tersebut memenuhi keempat kriteria tersebut, atau bila kelompok tersebut dapat bertahan stabil untuk beberapa generasi walaupun sama sekali tidak ada orang atau kelompok lain di luar kelompok tersebut. Seorang tokoh sosiologi modern, Talcott Parsons (1968), merumuskan kriteria bagi adanya masyarakat. Menurutnya masyarakat ialah suatu sistem sosial yang swasembada (self-subsistent), melebihi masa hidup individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya. Seorang tokoh sosiologi modern lain, Erdward Shils, juga menekankan pada aspek pemenuhan keperluan sendiri (self-sufficiency) yang dibaginya dalam tiga komponen : pengaturan diri (self-regulation), reproduksi sendiri (selfreproduction), dan penciptaan diri (self-generation). Dari berbagai perumusan ini dapat dilihat bahwa konsep masyarakat mempunyai makna khusus, dan berbeda dengan penggunaan kata masyarakat dalam bahasa sehari–hari, dalam sosiologi

12

tidak semua kelompok dapat disebut masyarakat (Prof Dr Kamanto Sunarto, 2004: 54). Menurut Niniek Sri Wahyuni dalam bukunya Manusia dan Masyarakat (2005: 23), objek sosiologi adalah masyarakat (society) yang dilihat dari sudut hubungan antara manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat. Untuk memahami konsep ini biasanya orang akan mengaitkan dengan tempat tinggal, misalnya masyarakat di desa atau masyarakat di kota. Unsur–unsur dalam masyarakat mencakup hal–hal berikut ini : 1) Manusia bukan hidup sendiri–sendiri tetapi hidup bersama 2) Setiap individu sadar bahwa mereka adalah suatu kesatuan 3) Masyarakat hidup bersama 4) Bercampur untuk jangka hidup waktu yang lama Dilihat dari unsur–unsur di atas dapat diberikan sebuah contoh. Keluarga merupakan masyarakat yang paling kecil yang terdiri dari suami dan istri, di mana ada sistem interaksi yang mengatur hubungan di antara mereka dan ada pembagian kerja yang biasanya disesuaikan dengan adat setempat. Masyarakat tidak hanya dipandang sebagai kumpulan individu atau penjumlahan dari individu–individu akan tetapi masyarakat merupakan suatu pergaulan hidup karena manusia itu hidup secara bersama. Setiap manusia dalam masyarakat tersebut masing–masing mempunyai persepsi yang berbeda – beda dalam menanggapi suatu obyek. Namun tidak menutup kemungkinan ada sejumlah individu yang mempunyai persepsi yang sama terhadap suatu obyek, keseluruhan persepsi tersebut termasuk ke dalam persepsi masyarakat. Jadi persepsi masyarakat adalah keseluruhan atau rata–rata persepsi individu terhadap suatu obyek yang kurang lebih mempunyai persepsi yang sama. Kesamaan–kesamaan tersebut biasanya diwujudkan ke dalam pengakuan bersama terhadap suatu obyek, misalnya memakai simbol, tanda–tanda, dan bahasa–bahasa verbal dan non verbal yang sama (Alo Liliweri, 2001: 113). Persepsi masyarakat terhadap suatu obyek merupakan landasan pokok bagi timbulnya perilaku dari masing–masing individu dalam setiap kegiatan. Makna positif dan negatif sebagai hasil persepsi masyarakat terhadap suatu obyek sangat

13

tergantung dari bentuk dan proses interaksinya. Masing–masing individu mempunyai persepsi yang berbeda dalam menanggapi suatu obyek. Kemudian masing–masing individu akan melakukan proses pertukaran persepsi di antara masing–masing individu. Proses pertukaran persepsi tersebut dapat berlangsung antara individu yang tergabung dalam komunitas tertentu. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi masyarakat timbul karena adanya persepsi dari masing–masing individu di mana persepsi dari masing–masing individu tersebut terhadap suatu obyek dikumpulkan menjadi satu sehingga timbullah suatu persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat merupakan proses mengamati obyek melalui indera kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan melalui bentuk–bentuk rangsangan suatu obyek atau peristiwa berdasarkan latar belakang masing–masing individu sehingga tercapai komunikasi antara manusia dengan obyek. b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat Persepsi masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat, yaitu pengalaman, proses belajar, dan pengetahuan. Faktor pengalaman dan proses belajar memberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang dilihat. Sedangkan pengetahuan manusia memberikan inti terhadap obyek psikologi tersebut. Melalui komponen kognisi ini akan timbul ide-ide dan konsep mengenai apa yang dilihat. Persepsi masyarakat Surakarta terhadap seni batik klasik sangat beranekaragam, dimana setiap individu di Surakarta mempunyai persepsi atau pandangan yang berbeda-beda mengenai seni batik klasik tersebut. Persepsi dari masing-masing individu di Surakarta kemudian dikumpulkan menjadi satu sehingga muncullah suatu persepsi masyarakat Surakarta terhadap seni batik klasik, tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan jika suatu saat persepsi dari masyarakat Surakarta tersebut mengalami perubahan.

14

2. Kebudayaan a. Pengertian kebudayaan Secara sosiologis lingkungan budaya merupakan lingkungan sosial. Hal ini disebabkan karena kebudayaan merupakan hasil karya, hasil cipta dan hasil rasa yang didasarkan pada karsa. Dengan demikian maka lingkungan budaya terdiri dari aspek materiil dan spiritual. Aspek spiritual dari lingkungan budaya pada dasarnya berintikan pada nilai–nilai. Suatu nilai merupakan pandangan yang baik atau buruk mengenai sesuatu. Biasanya nilai–nilai itu timbul dari pengalaman interaksi. Dari proses interaksi dengan pihak–pihak lain itu, manusia akan mendapatkan pandangan tertentu mengenai interaksi tersebut. Yang dimaksud dengan kebudayaan itu sendiri dalam arti yang sempit adalah sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia karena kebudayaan itu muncul dari kebiasaan dan perilaku manusia dalam berinteraksi dengan masyarakat pada suatu lingkungan. Apabila ditinjau dari segi bahasa (etimologis) kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “budhaya” yang berarti akal, hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Koentjaraningrat (1981 : 181) yang mengatakan bahwa “budaya berasal dari bahasa Sansekerta ‘budhaya’, kata ini adalah bentuk jamak dari “budhi” yang berarti “budi atau akal”. Kata “budi” sering dirangkaikan dengan “akal” sehingga menjadi akal budi yang mempunyai arti kepandaian. Dari pengertian di atas maka kebudayaan selalu berkaitan dengan tingkah laku manusia karena hanya manusia yang berkebudayaan. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna, yang mempunyai akal budi sejak dilahirkan. Akal budi dan jiwa inilah yang membedakan manusia dari ciptaan Tuhan yang lainnya, misalnya manusia mempunyai jiwa mempunyai pula kebudayaan, sedangkan yang lainnya tidak mempunyai jiwa ataupun kebudayaan. Dengan demikian yang membedakan manusia dengan makhluk Tuhan yang lain adalah jiwa dan perbedaan konkritnya adalah kebudayaan. Kebudayaan menurut Sidi Gazalba (1980 : 12) adalah sebagai cara berfikir (cipta) dan merasa (karsa) yang menyatukan dari dalam sebuah segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk masyarakat dalam suatu ruang dan suatu

15

waktu. Selo Sumarjan (1980: 50) mengartikan kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, karya masyarakat yang dipimpin dan diarahkan oleh karsa. Yang dimaksud dengan cipta adalah proses yang memakai daya pikir, rasa yaitu kemampuan untuk menggerakkan indera dan hati, dan karya adalah keterampilan alat–alat tubuh. Sedangkan batasan–batasan lain tentang kebudayaan juga dikemukakan oleh S. Budi Santoso (1985 : 45) yang mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut: Kebudayaan sebagai suatu pengetahuan, pilihan hidup dan suatu praktek komunikasi dari perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran, perasaan dan kemauan yang bersumber pada budi (luhur) manusia dalam mengelola cipta, rasa dan karsa serta mengungkapkan identitas kemanusiaannya dalam rangka memilih dan merencanakan tanggapan untuk pelaksanaan kegiatan yang mengarah pada tujuan hidup. Kebudayaan menurut C. Kluckhohn yang dikutip oleh Clifford Geertz (1992 : 4-5) adalah sebagai : (1) Keseluruhan cara hidup suatu masyarakat, (2) Warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya, (3) Suatu cara berpikir, merasa dan percaya, (4) Suatu abstraksi dari tingkah laku, (5) Suatu teori pada pihak antropolog tentang cara suatu kelompok masyarakat nyatanya bertingkah laku, (6) Suatu gudang untuk mengumpulkan hasil belajar, (7) seperangkat orientasi–orientasi standar pada masalah–masalah yang sedang berlangsung, (8) Tingkah laku yang dipelajari, (9) Suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku yang bersifat normatif, (10) Seperangkat teknik untuk menyesuaikan baik dengan lingkungan luar maupun dengan orang–orang lain. R. Soekmono (1983 : 17) mengartikan kebudayaan sebagai dimensi manusia dari manusia itu sendiri, artinya kebudayaan manusia terwujud dari perkembangan norma hidup manusia dan lingkungan. Kebudayaan sebagai ciptaan manusia dibedakan menjadi dua segi, yaitu : (1) Segi kebudayaan yang meliputi segala benda buatan manusia sebagai perwujudan dari akalnya. Hasilnya dapat diraba oleh tangan manusia, (2) Segi kerohanian tidak dapat diraba hanya dapat dipahami lewat dengan keagamaan, kesenian dan kemasyarakatan. Sedangkan Koentjaraningrat (1981: 186-187), berpendapat bahwa apabila ditinjau dari wujudnya, maka kebudayaan paling sedikit memiliki tiga wujud yaitu:

16

1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide–ide, gagasan, nilai– nilai, norma–norma, peraturan dan sebagainya. Wujud kebudayaan ini adalah wujud ideal dari kebudayaan yang bersifat abstrak, tidak dapat dirasa dan diphoto. 2) Wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas serta berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan ini disebut sistem sosial mengenai tindakan yang berpola dari manusia itu sendiri. 3) Wujud kebudayaan sebagai benda–benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan ini disebut juga kebudayaan fisik, aktivitas, perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat. Maka sifatnya paling konkrit dan berupa benda–benda yang dapat diraba, dilihat dan diphoto. Selain memiliki wujud sebagai suatu kompleks ide, kompleks aktivitas dan benda–benda, kebudayaan menurut Koentjaraningrat yang dikutip M. Suprihadi (1982) juga mempunyai unsur–unsur universal. Suatu unsur universal artinya bahwa unsur–unsur yang terkandung dalam kebudayaan tersebut dapat ditemukan dimanapun di dunia, baik yang kecil maupun yang besar dan kompleks dengan suatu jaringan yang cukup luas. Unsur–unsur universal tersebut sekaligus merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini yaitu ; (1) Sistem religi, (2) Sistem organisasi kemasyarakatan, (3) Sistem pengetahuan, (4) Bahasa, (5) Kesenian, (6) Sistem mata pencaharian, (7) Sistem teknologi dan peralatan. Dari ketujuh unsur di atas, ada yang mudah berubah dan ada yang sulit untuk mengadakan perubahan. Unsur religi merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sulit sekali untuk mengadakan perubahan sebab religi merupakan

unsur

yang

hakiki

dalam

diri

manusia.

Manusia

dengan

kebudayaannya selalu berkembang, berproses atau menyejarah. Demikian pula cabang–cabang budayanya terus berkembang dan mengalami perubahan– perubahan baik lambat ataupun cepat. Perubahan kebudayaan menurut R. Soekmono (1983) disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor dari dalam dan dari luar. Yang dimaksud dengan faktor dari dalam adalah merupakan faktor–faktor yang berasal dari manusia itu sendiri sebagai pendukung kebudayaan, sedangkan faktor–faktor dari luar yaitu merupakan faktor–faktor yang berasal dari alam,

17

yang bisa berupa gunung meletus dan lain–lain. Kedua faktor tersebut menyebabkan perubahan kebudayaan, baik akan mengakibatkan semakin berkembangnya kebudayaan atau bahkan akan menjadikan kebudayaan itu runtuh. M. Suprihadi (1982), membagi ciri–ciri kebudayaan menjadi tiga yaitu : (1) Kebudayaan itu bersifat menyejarah dan kebudayaan manusia berkembang dan senantiasa berjalan terus, (2) Kebudayaan itu berada dan berkembang dalam ruang geografis tertentu. Dalam hal ini ada kebudayaan Jawa, Batak dan lain–lain, (3) Kebudayaan itu berpusat pada perwujudan nilai–nilai tertentu. Kebudayaan nasional dalam penjelasan UUD 1945 pasal 32 adalah kebudayaan yang timbul sebagai usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya termasuk kebudayaan lama dan asli sebagai puncak kebudayaan daerah–daerah seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan harus merupakan budaya yang menuju ke arah kemajuan, adab, budaya, persatuan dengan tidak menolak bahan– bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan dan memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan Indonesia. Kebudayaan daerah berpuncak pada budaya yang mempunyai nilai–nilai budaya yang bermutu tinggi dan berasal dari kehidupan masyarakat di Indonesia. Kebudayaan tradisional seharusnya mempunyai tujuan memperdalam identitas karena dengan adanya identitas, kebudayaan dapat berkembang dan melahirkan kebudayaan baru. b. Kebudayaan Jawa Lahir dan berkembangnya kesenian tradisional Jawa tidak dapat dilepaskan dari proses perkembangan kebudayaan Jawa. Sebenarnya tidak saja berlangsung secara harmoni tetapi penuh pula dengan berbagai konflik. Secara historis akar konflik kebudayaan Jawa berupa pertentangan budaya antara : 1) Budaya pedalaman dengan budaya pesisiran. 2) Budaya Karaton Mataram dengan budaya rakyat. 3) Budaya santri dengan budaya abangan. Ketiga konflik ini terjadi bersama-sama, saling terkait, dan saling mempengaruhi. Namun dalam hal ini penulis akan lebih menjelaskan tentang

18

pertentangan budaya yang ke dua, yakni Pertentangan antara budaya Karaton dengan budaya rakyat. Perbenturan budaya pesisir dan pedalaman melahirkan konflik budaya baru, yakni budaya tradisional/rakyat dengan budaya karaton. Ini terjadi ketika budaya pedalaman semakin kokoh dan kekuasaan Mataram membuat benteng budaya baru berupa keraton dan pembagian daerah keraton. Karaton merupakan sentrum dan daerah yang lain misalnya mancanegari, brang wetan, pesisiran, dan lain-lain dianggap sebagai kesenian 'resmi' dan adiluhung, sedangkan kesenian lain di luar wilayah karaton dianggap sebagai seni pinggiran yang secara estetis dan etik di bawah kesenian karaton. Kesenian dalam kosmologis karaton merupakan kesenian yang mengalami sofistikasi, perumitan, pecanggihan, sekaligus pensakralisasian. Kesenian karaton menjadi kesenian yang mengambil jarak sedemikian rupa dengan varian kebudayaan dan masyarakat di luar karaton. Masyarakat di luar karaton dianggap tabu untuk menyelenggarakan atau melakukan kesenian produk karaton. Tari bedhaya misalnya, merupakan tarian sakral yang hanya boleh dilakukan, dipentaskan, dan ditonton oleh pihak karaton, yang merupakan penguasa. Tari bedhaya sebagai kreasi kesenian karaton memformulasikan diri sebagai sesuatu yang serba halus, hati-hati, selaras, dan teratur. Karena itu, sangat menutup kemungkinan adanya improvisasi. Kesenian di luar wilayah karaton menemukan tandingannya dengan munculnya kesenian-kesenian baru yang terutama sekali menemukan lahan subur di wilayah pengaruh budaya pesisiran. Muncul kesenian-kesenian rakyat yang merupakan produk dari sistem masyarakat grass-root yang menafikan keteraturan, kecanggihan, dan kerumitan yang menjadi ciri kebudayaan karaton. Timbul kesenian-kesenian seperti tayub, ledek, janger, tandak, ronggeng, dan sejenisnya. Kehalusan, kerumitan, dan keteraturan yang menjadi standar estetika budaya karaton dilawan dengan kebebasan, keekspresifan, dan kebebasan improvisasi. Kesenian karaton yang bersikap tertutup dan mensyaratkan suasana yang

19

khusus, maka kebalikannya kesenian rakyat atau pesisiran berlangsung dengan suasana pesta dan hiruk-pikuk yang kemudian menghadirkan suasana yang serba permisif. Dengan demikian estetika kesenian rakyat atau pesisiran secara sadar mendudukkan dirinya sebagai kesenian atau kebudayaan massa. Kebudayaan karaton juga memunculkan fenomena baru di mana pihak penguasa dapat mensahkan kehadiran seorang kreator seni sebagai abdi atau pegawai karaton (penguasa). Hal ini dapat dilihat dengan munculnya pujangga karaton yang digaji untuk berkarya. Produk-produk sastra kapujanggan seperti misalnya Wedhatama, Tripama, dan serat-serat Ronggowarsito merupakan produk karaton yang isinya hampir semuanya menceritakan dan mengatur perilaku rakyat terhadap penguasa atau perilaku penguasa terhadap rakyat. Pada titik ini kesenian karaton lebih menekankan kesenian atau estetika dalam bingkai politis dan filosofis, sedangkan kesenian rakyat (pesisiran) lebih menekankan pada fungsi ekonomis (www.karatonsurakarta.com/kebudayaanjawa) 1) Kebudayaan Karaton Mataram Kerajaan Mataram didirikan pada abad ke-8 oleh Sanjaya. Selama kurang lebih dua abad lamanya, kerajaan ini mengalami kejayaan dan menguasai seluruh wilayah Jawa Tengah, sebagian Sumatera, dan Bali. Sekitar abad ke-10 kekuasaan Mataram semakin menyusut dan tenggelam di antara kerajaan lain, seperti Majapahit, Demak, dan Pajang. Baru sekitar abad ke-15 kerajaan ini bangkit lagi, dan sempat mengalami kejayaan kembali di bawah pemerintahan Sultan Agung. Sejak berdiri pada abad ke-8, kerajaan Mataram sudah dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu karena Sanjaya sebagai raja pertama menganut agama Hindu. Baru setelah Mataram bangkit kembali di abad ke-15, Senopati sebagai raja pertama ketika itu menganut Islam. Akulturasi antara kebudayaan Jawa, Hindu, dan Islam mendominasi kehidupan tradisi Mataram seperti yang masih dapat kita lihat sampai sekarang. Pada pertengahan abad ke-18, Mataram kembali mengalami kemunduran akibat perpecahan di antara kerabat raja sendiri. Soekmono (1983: 69-70) menulis tentang hal itu, yakni sebagai berikut :

20

“Dalam pertengahan pertama abad ke-18 Mataram sampai tiga kali mengalami peperangan perebutan tahta, yang akhirnya mengakibatkan terpecahnya kerajaan yang sudah sempit itu (sejak tahun 1743 hanya tinggal daerah Bagelen, Kedu, Surakarta, dan Yogyakarta saja) menjadi kerajaan Surakarta dengan Paku Buwono III dan Yogyakarta dengan Hamengku Buwono I, yaitu menurut perjanjian Gianti dalam tahun 1754. Dua tahun kemudian daerah Surakarta malahan dibagi lagi antara Paku Buwono III dan Mangkunegoro I. ...tahun 1812 daerah Yogyakarta dibagi antara Hamengku Buwono I dengan Paku Alam I, sehingga pada masa itu Mataram memiliki 4 buah Karaton yang terpisah.” Karaton Paku Buwono III menempati desa Sala yang terletak di tepi sungai Bengawan Sala, sedangkan Karaton Mangkunegoro I terletak di sebelah barat laut Karaton Paku Buwono III, yaitu di tepi sungai Pepe. Daerah Karaton Paku Buwono, atau lebih dikenal sebagai Kasunanan dan sekitarnya, yang digabung dengan daerah Karaton Mangkunegoro dan sekitarnya, seluruhnya disebut Hing Soera Karta Adiningrat atau sekarang kota Surakarta. Di tempat itulah Karaton Kasunanan dan Mangkunegara kemudian didirikan, sebagian penduduk aslinya bekerja sebagai abdi dalem, dari pengurus karaton, pelayan raja dan keluarganya, pengawal dan prajurit, sampai pembatik karaton. Para pembatik ini membuat batik hanya untuk keperluan lingkungan karaton. Pada masa itulah, yakni sekitar abad ke-18 batik mengalami penyempurnaan dalam teknik pembuatan karena mulai dikerjakan dengan canting yang dapat menghasilkan motif rumit dan halus. Sebelumnya, batik dikerjakan dengan sepotong bambu yang dihaluskan pada bagian ujungnya untuk memindahkan malam panas ke permukaan kain (Darsiti Soeratman, 1989). Setiap karaton memiliki pembatik yang memberikan ciri khas pada batiknya. Mengenai pembuatan motif batik pada masa kejayaan Mataram itu, Hardjonagoro dalam bukunya Batik Tradisional Selayang Pandang mengatakan : “Di zaman Mataram berjaya, tidak sembarang orang boleh menciptakan motif batik. Penciptaan motif harus atas perintah raja atau pejabat tinggi kerajaan yang diberi wewenang untuk itu. Si pencipta, yaitu pembatik Karaton yang ditugaskan untuk menciptakan motif, mencari ilham dengan melalui beberapa tahap membersihkan diri, seperti semedi, doa dan puasa, mutih.”

21

Karena proses penciptaan motif yang tidak sembarang itulah, kalangan karaton pada khususnya, dan masyarakat yang mengerti adat istiadat karaton pada umumnya, sungguh-sungguh mematuhi aturan pemakaian batik tradisi. Ciri khas yang terdapat pada batik karaton, seperti di Karaton Kasunanan pada umumnya adalah penggunaan motif tumbuhan pola ceplok dan warna soga, dan di Karaton Mangkunegara umumnya penggunaan motif tumbuhan pola semen dan warna kekuningan. Batik tersebut kemudian banyak ditiru oleh pembatik di luar karaton, khususnya para pengusaha. 2) Kebudayaan Rakyat. Setelah Mataram tidak lagi mempunyai kekuasaan politik di sekitar tahun 1930-an, sebagian besar kegiatannya, termasuk membatik, berubah menjadi kegiatan berdagang. Hubungan dagang antara wilayah Surakarta dan sekitarnya, terutama wilayah pesisir, banyak berpengaruh terhadap perkembangan usaha batik di Surakarta. Setelah pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, yang menyebabkan

kegiatan

batik

berhenti

sesaat,

memunculkan

ide

untuk

menggiatkan kembali usaha batik melalui berbagai upaya yang antara lain, menggabungkan motif tradisi Surakarta dengan warna batik pesisir. Upaya ini dipelopori oleh Hardjonagoro, dan hasilnya dikenal sebagai ‘batik Indonesia’ sekitar tahun 1950-an. Upaya yang dilakukan Hardjonagoro banyak ditiru oleh pengusaha batik Surakarta, di samping muncul pula batik buketan khas Pekalongan, yang umumnya dibuat oleh pengusaha batik Surakarta keturunan Cina. Penggabungan motif tradisi Surakarta dengan warna batik pesisir ini terutama memberikan pengaruh terhadap batik modern Surakarta. Menurut Hardjonagoro dalam bukunya Batik Tradisional Selayang Pandang, ada tiga jenis batik Surakarta yang mendapat pengaruh batik pesisir, yaitu: a)

Batik dengan gabungan motif tradisi dan motif baru, menggunakan warna-warni pesisir, serta masih memiliki arti perlambangan.

22

b) Batik yang sama dengan di atas, tetapi tidak lagi memiliki arti perlambangan apapun. c) Batik dengan motif yang meniru batik buatan petani, menggunakan warna gabungan tradisi dan pesisir. Ketiga jenis batik di atas dikerjakan dengan teknik tulis dan dalam jumlah terbatas. Motif baku batik pesisir yang mendapat pengaruh kebudayaan asing, seperti Cina, Belanda, Arab, juga digunakan pada beberapa batik Surakarta. Contohnya batik naga raja dan batik sapanti nata yang dibuat oleh R.A Partini Partaningrat pada tahun 1964. Kedua batik tersebut menggunakan motif baku yang diambil dari mitos Cina, yang juga banyak digunakan pada batik pesisir. (Hardjonagoro, 1991) 3. Batik Menurut sejarahnya batik merupakan barang seni yang memiliki nilai – nilai kultural yang unik. Semula batik hanya digunakan sebagai pakaian eksklusif keluarga Keraton (Edward Soaloon Simanjuntak, 1982: 73). Pada awal perkembangannya batik hanya dimonopoli oleh kerabat keraton baik dalam pembuatannya ataupun dalam hal pemakaian. Batik merupakan salah satu seni budaya keraton dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan agama yang berkembang di keraton. Batik di keraton Surakarta sangat dipengaruhi oleh berbagai latar belakang budaya Hindu dan Jawa. Hal ini tercermin pada seni batik di daerah ini baik ragam hias dan warna, serta aturan atau tata cara pemakaiannya (Nian S. Djoemena, 1990: 10). Keberadaan batik selain terpengaruh oleh latar belakang budaya keraton ternyata tidak lepas dari pengaruh budaya asing. Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa batik adalah suatu cara untuk melukis di atas kain (mori, katun, teteron, ada kalanya kain sutera dan lain – lain) dengan cara melapisi bagian – bagian yang tidak berwarna dengan lilin yang disebut malam (bahasa Jawa : lilin) yang sering dicampur dengan parafin, damar atau colophonium (Sri Hastuti, 2003: 12).

23

Menurut Achmad Sanusi dalam bukunya Batik (2000), kata batik semula dari kata “tik” yang artinya titik. Membuat titik sebagai kata kerja dapat menggunakan kata “matik” (“ma” sebagai kata awal yang artinya mengerjakan sesuatu). Kata “mataik” berkembang menjadi mbatik...........batik. Jadi pekerjaan membuat titik – titik dengan cara meneteskan cairan lilin pada kain (mori) disebut membatik (mbatik, bahasa Jawa). Menurut Soedardjo (1990 : 1) dapat pula diartikan sebagai suatu cara pembuatan ragam hias permukaan kain yang berprinsip penolakan atau riset, dimana bagian yang dikehendaki tidak terkena tinta atau warna ditutup dengan lilin dengan memakai alat canting atau cap. Sedangkan Clifford Geerzt (1983 : 385) mendefinisikan batik sebagai berikut : “Batik adalah lukisan kain yang kebanyakan bersifat abstrak, dengan menggunakan canting serta warna biru tinta atau coklat, kadang kuning atau coklat kemerah – merahan”. Batik secara etimologi dihubungkan dengan suku kata “tik” yang diartikan sebagai akhiran kata yang bersifat kecil. Salah satu contoh misalnya bagian yang terkecil dari jari disebut “jentik”. Bila dilihat dalam Kamus Bahasa Jawa Kawi yang terdapat kata “tikan” yang berarti huruf atau lebih tepatnya sebagai “serat” berarti menulis. Sedangkan “baya” yang mempunyai arti suatu kain atau pola. Bila digabung menjadi satu terjadilah kata “bayantikan” yang mempunyai arti sebagai kain atau pola yang ditulis, bermakna sebagai seratan. Dalam perkembangannya kain tersebut menjadi “batikan” yang merupakan kata seperti istilah sekarang. Pengertian batik juga dikenal di lingkungan keraton di Jawa sebagai “mbatik” atau seratan yang merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh subur. Dalam kesusastraan Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan kain batik dengan proses tulis tangan ini semula dibahasakan sebagai “serat nitik”. Baru kemudian setelah pindahnya Keraton Kartasura ke Surakarta muncul istilah “mbatik” yaitu gabungan dua kata Jawa Ngoko (Jawa Kasar) “mbat” yang artinya memainkan dan “tik” dari kata “nitik” yang artinya memberi titik (Sofwandi, 1980: 3 dalam Sri Hastuti, 2003: 13).

24

Perkataan batik merupakan penegasan kata mbatik yang berlaku di Jawa, adalah suatu proses pembuatan ragam hias permukaan kain dengan teknik pengalaman yang semula sebagai meditasi dan konsentrasi oleh putri – putri keraton. Pengertian batik juga dijelaskan oleh Hamzuri dalam bukunya yang berjudul Batik Klasik sebagai berikut : ........pengertian batik adalah lukisan atau gambaran pada mori dengan menggunakan alat bernama canting. Orang melukis atau menggambar pada kain mori memakai canting inilah yang disebut membatik (bahasa Jawa : mbatik). Membatik menghasilkan batik atau batikan berupa macam –macam motif dan mempunyai sifat–sifat khusus yang dimiliki batik itu sendiri (Hamzuri, 1981: 6). Batik adalah sehelai wastra yakni sehelai kain yang dibuat secara tradisional, yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam atau lilin batik sebagai bahan perintang warna. Dengan demikian, suatu wastra dapat disebut batik bila mengandung dua unsur pokok : teknik celup rintang yang menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas batik (Doellah, 2002: 10). Dari berbagai pendapat di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa batik merupakan suatu lukisan di atas kain mori dengan rangkaian titik hingga membentuk suatu pola atau ornamen tertentu dan proses tertentu pula serta canting sebagai alat lukisannya. Meskipun pada perkembangan sekarang batik dapat juga dilakukan dengan alat selain canting, misalnya cap maupun alat – alat lainnya. Batik telah lama sekali dikenal di Indonesia, khususnya di Jawa dan Sumatra. Batik mengalami perkembangan yang pesat, hal itu dilihat dari pola-pola batik yang masih ada dan bermunculan motif-motif baru walaupun belum bisa dikategorikan klasik karena motif-motif tersebut sangat variatif, maka perlu adanya pendekatan, yaitu melalui pendekatan jenis-jenis motifnya, antara lain sebagai berikut :

25

a. Batik Klasik Arti klasik adalah merupakan suatu karya (umumnya dari masa lampau) yang bernilai seni serta ilmiah tinggi berkadar keindahan dan tidak luntur sepanjang masa (Shadily, 1991: 1793). Berdasarkan pengertian di atas maka batik klasik merupakan suatu karya seni yang bersifat kuno atau tradisi yang memiliki kadar keindahan tinggi. Berkembang pesat dan mencapai puncaknya serta tidak luntur sepanjang masa, karena bermakna filosofis, yaitu mengandung unsur-unsur ajaran hidup yang banyak digunakan, khususnya oleh masyarakat Jawa. Keindahan batik klasik ada 2 macam, yaitu : 1) Keindahan visual, yaitu rasa indah yang diperoleh karena perpaduan yang harmoni dari susunan bentuk dan warna melalui penglihatan panca indera. 2) Keindahan jiwa atau filosofi, yaitu rasa indah yang diperoleh karena susunan arti atau lambang yang membuat gambar sesuai dengan paham yang dimengerti (Susanto, 1980: 179). Keindahan batik klasik terletak pada susunan motif, warna, pola dan teknik pembuatannya yang sangat sempurna, motifnya banyak yang menerapkan motif gubahan (slitiran) baik bentuk binatang, batu-batuan, awan, air, tumbuhan, gunung api dan sebagainya (Hamzuri, 1981: 36). Pada batik klasik susunan motifnya selalu terikat oleh suatu ikatan tertentu dan isen-isen tertentu, apabila menyimpang dari ikatan yang sudah menjadi tradisi itu dikatakan menyimpang dari ikatan tradisi dari batik klasik (Susanto, 1980: 15). Batik di Indonesia telah mengalami perkembangan desain sebagai akibat dari perpaduan dengan berbagai budaya yang pernah masuk ke Nusantara. Daerah penghasil kain batik yang paling menonjol adalah pulau Jawa yang berpusat, antara lain di Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, Cirebon, Tasikmalaya dan Garut. Berdasarkan sejarah batik berkembang dengan pesatnya kira-kira tahun 1755, yaitu zaman Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Pada waktu itu masingmasing Keraton mengembangkan gayanya sehingga kaya akan motif, corak maupun pewarnaannya. Keraton bukan hanya sekedar kediaman raja, namun juga

26

merupakan

pusat

pemerintahan,

agama

dan

kebudayaan.

Keadaan

ini

mempengaruhi ragam hias warna serta aturan (tatacara) pemakainya. b. Batik Kontemporer (Modern) Menurut Bambang Utoro dan Kuwat, dalam bukunya yang berjudul “PolaPola Batik dan Pewarnaan” arti kata kontemporer adalah dewasa ini atau masa kini. Maka motif-motif batik kontemporer yaitu motif-motif batik dewasa ini. Batik kontemporer sebagian besar dibuat oleh para seniman, juga para desainer batik. Batik kontemporer dibuat bukan untuk dipakai, tetapi untuk keperluan dekorasi atau hiasan dinding. Motif yang dibuat dalam batik kontemporer sangat bebas tergantung seniman atau desainernya. Memang pada batik ini dibuat dengan teknik seperti melukis, dan terikat pada alat yang biasa dipakai, yaitu canting. Pelaksanaannya persis seperti melukis, hanya teknik dan proses pewarnaannya sama dengan proses batik (Utoro, Kuwat, 1979: 101). Menurut Sewan Susanto dalam bukunya Teknik Membuat Batik Tradisional dan Batik Modern, yang dimaksud dengan “Batik Kontemporer” ialah semua jenis batik yang motif dan gayanya tidak seperti batik klasik. Pada batik klasik susunan motifnya terikat oleh suatu aturan tertentu dan dengan isen – isen tertentu. Bila menyimpang dari ikatan atau aturan yang sudah menjadi tradisi itu, dikatakan menyimpang dari batik, maksudnya menyimpang dari batik klasik. Mulai tahun 1967 mulailah ada usaha perubahan dan pembaruan dalam motif batik dan gaya motif batik, dan ternyata pada tahun 1970 perubahan ini mendapat sambutan dari beberapa seniman dan dapat diterima oleh masyarakat. Pada tahun-tahun berikutnya, para tokoh batik yang dinamis dan beberapa seniman turut serta mengambil bagian dalam pengembangan batik bukan klasik atau batik kontemporer ini. Maka timbullah beberapa jenis batik dalam batik kontemporer ini antara lain : 1) Gaya abstrak dinamis, misalnya menggambarkan burung terbang, ayam tarung atau beradu, garuda melayang, ledakan senjata, loncatan panah, rangkaian bunga dan sebagainya.

27

2) Gaya gabungan, yaitu pengolahan dan penggabungan motif-motif dari berbagai daerah menjadi suatu rangkaian yang indah. 3) Gaya lukisan, jenis ini menggambarkan yang serupa lukisan, seperti pemandangan, bentuk bangunan dan sebagainya, diisi dengan isen yang diatur rapi sehingga menghasilkan suatu hasil seni yang indah. 4) Gaya khusus dari ceritera lama, misalnya diambil dari Ramayana, atau Maha Bharata. Gaya ini kadang-kadang seperti campuran antara riil dan abstrak. (Susanto, 1975: 19) Dengan pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa batik kontemporer merupakan variasi dalam perkembangan batik, dengan motif-motif yang masih dapat dibedakan menjadi unsur-unsurnya, tetapi ornamen di dalamnya tidak lagi berupa ornamen-ornamen tradisional melainkan sudah diadakan modifikasi atau perubahan.

Begitu

pula

dengan

pewarnaannya,

yaitu

dengan

cara

mengkombinasikan warna-warna batik tradisional. B. Kerangka Berpikir Kebudayaan

Kesenian

Kontemporer

Bentuk kesenian lain

Seni Batik

Klasik

Pengembangan Batik Klasik

Persepsi Masyarakat

28

Keterangan : Kebudayaan itu memiliki unsur–unsur universal yang dapat menunjang perkembangannya, yakni diantaranya ; (1) Sistem religi dan upacara keagamaan, (2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) Sistem pengetahuan, (4) Bahasa, (5) Kesenian, (6) Sistem mata pencaharian, (7) Sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 2004: 2). Unsur–unsur di atas, dapat dilihat bahwa unsur kesenian atau seni mempunyai fungsi yang penting yakni sebagai cermin masyarakat Indonesia, yaitu sebagai suatu bentuk kesenian yang diekspresikan untuk menopang identitas dan pola perilaku pada masyarakat. Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan yang merupakan perintis dari perkembangan manusia baik sosial maupun individual. Setiap kebudayaan mengembangkan suatu jenis seni. Dalam hal ini, salah satu bentuk atau hasil seni adalah batik klasik. Batik merupakan karya adiluhung yang unik karena di dalam prosesnya membutuhkan waktu yang panjang, perlu kesabaran, ketelitian, serta ketekunan. Sebagai suatu hasil seni, batik mengutamakan seni keindahan dari sudut lain, dimana batik berkembang sebagai suatu kebutuhan sandang sehingga dalam perkembangannya mencari cara yang lebih praktis. Batik itu sendiri secara umum dibedakan menjadi dua jenis yaitu batik klasik dan batik multi warna atau batik kontemporer. Perbedaannya adalah dalam pembuatan batik klasik terdapat empat aspek yang harus diperhatikan, yakni : motif, warna, teknik pembuatan, dan fungsinya. Batik klasik memiliki keindahan visual karena semua ornamen, isian dalam pola atau “carik” tersusun dengan rapi dan harmonis. Pola batik klasik merupakan suatu pola yang sudah pakem, seperti pola : truntun, sido mukti, dan wahyu tumurun. Batik yang diproduksi atau yang dibuat merupakan suatu kesatuan yang runut karena sudah ada pakemnya, aturan– aturannya serta mempunyai maksud tersendiri. Sedang batik kontemporer pembuatannya sesuai dengan kreatifitas atau sesuka pembatik yakni dengan cara penggabungan motif-motif yang sudah ada atau murni kreasi sendiri. Pertimbangan dibuatnya batik kontemporer dari segi kebebasan ekspresi dan disesuaikan dengan pangsa pasar.

29

Pada masa sekarang, batik dapat dipakai oleh semua jenis golongan masyarakat, bangsawan, ningrat maupun rakyat biasa. Batik digunakan tidak hanya dalam upacara ataupun kegiatan–kegiatan resmi, namun sering juga digunakan dalam kegiatan harian. Masalah yang kemudian timbul adalah telah terjadi pergeseran makna dari batik itu sendiri. Dahulu, batik itu memiliki nilai, makna dan fungsi yang sakral, namun sekarang ini masyarakat umumnya hanya menilai batik hanya sebagai busana atau pakaian dalam acara–acara resepsi belaka. Salah satu penyebab dari pergeseran makna ini menurut penulis adalah disebabkan oleh era zaman yang telah berganti. Sehingga mengakibatkan pada masa sekarang ini semakin minim pengetahuan dan pengenalan masyarakat tentang makna dan fungsi batik itu sendiri. Hal ini semakin diperparah dengan munculnya batik printing atau cap yang menguasai pasar perbatikan. Sehingga menyebabkan semakin berkurangnya apresiasi atau penghargaan masyarakat yang masih awam terhadap batik klasik yang merupakan aset dan warisan budaya yang wajib dikaji dan dilestarikan. Dari latar belakang di atas mendorong penulis untuk mengadakan penelitian tentang “Persepsi Masyarakat Surakarta Terhadap Seni Batik Klasik”. Penulis ingin mengetahui persepsi masyarakat Surakarta terhadap seni batik klasik sebagai upaya melestarikan kebudayaan bangsa dan mendukung pengembangan budaya klasik yang ada di Surakarta.

30

Related Documents

Bab 2 Acc (finish)
May 2020 35
Bab 2 Acc Aamiin.docx
November 2019 35
Bab Iv Acc-dikonversi.docx
December 2019 23
Finish
May 2020 37
Bab I Acc
November 2019 22
Acc Bab I .docx
November 2019 23

More Documents from "Mawar Puspita Ningrum"

Konferensi Genewa
June 2020 37
Dbs
June 2020 40
Bab 2 Acc (finish)
May 2020 35
Bab1-1
May 2020 35
Situasi Politik1
June 2020 22