BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Rumah dan Rumah Adat Budihardjo (1994:57) rumah adalah aktualisasi diri yang diejawantahkan dalam bentuk kreativitas dan pemberian makna bagi kehidupan penghuninya. Selain itu rumah adalah cerminan diri, yang disebut Pedro Arrupe sebagai "Status Conferring Function", kesuksesan seseorang tercermin dari rumah dan lingkungan tempat huniannya. Rumah Adat adalah bangunan yang memiliki ciri khas khusus, digunakan untuk tempat hunian oleh suatu suku bangsa tertentu. Rumah adat merupakan salah satu representasi kebudayaan yang paling tinggi dalam sebuah komunitas suku/masyarakat. Keberadaan rumah adat di Indonesia sangat beragam dan mempunyai arti yang penting dalam perspektif sejarah, warisan, dan kemajuan masyarakat dalam sebuah peradaban. Rumah adat merupakan bangunan rumah yang mencirikan atau khas bangunan suatu daerah. Di Indonesia rumah adat adalah salah satu yang melambangkan kebudayaan dan ciri khas masyarakat setempat. Indonesia dikenal sebagai Negara yang memiliki keragaman dan kekayaan budaya. Rumah adat merupakan salah satu ciri khas suatu daerah untuk melambangkan budayanya, agar dapat membedakan antara budaya daerah tersebut dengan budaya daerah yang lain. Menurut Spiro (dalam Koentjaraningrat 2000: 212) mengatakan bahwa fungsi yakni pemakaian yang "dalam karya ilmiah ada cara pemakaian fungsi yakni pemakaian yang menerangkan fungsi itu sebagai hubungan guna antara penguna dengan sesuatu tujuan yang tertentu. Misalnya Rumah adat berfungsi sebagai pelengkap suatu kebudayaan tertentu yang mengungkapkan nilai budaya serta aspek lain yang berhubungan dengan kebudayaan daerah adat tersebut. 2.2. Pengertian Kebudayaan Berikut ini beberapa pendapat para ahli tentang definisi kebudayaan yakni: Tylor (dalam Maran 2007: 26), Tylor menggunakan kata kebudayaan untuk menunjuk "keseluruhan kompleks dari ide dan segala sesuatu yang dihasilkan manusia dalam pengalaman historisnya". Termasuk di sini ialah pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan dan kemampuan serta perilaku lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Lowie (dalam Maran 2007: 26) kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan keahlian yang diperoleh bukan karena kreativitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal Kluckhohn (dalam Maran 2007: 26) mendefinisikan "kebudayaan sebagai total dari cara hidup suatu bangsa, warisan sosial yang diperoleh individu dari grupnya".
Gillin (dalam Maran 2007: 26) beranggapan bahwa "kebudayaan terdiri dari kebiasaankebiasaan yang terpola dan secara fungsional saling bertautan dengan individu tertentu yang berbentuk grup-grup atau kategori sosial tertentu" Keesing (dalam Maran 2007: 26) mengemukakan kebudayaan adalah sotalitas pengetahuan manusia, pengalaman yang terakumulasi dan yang ditransmisikan secara sosial", atau singkatnya, "Kebudayaan adalah tingkah laku yang diperoleh melalui proses sosialisasi". Koentjaraningrat (dalam Maran2007: 26) "kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar". Suparlan (dalam Hakim dan Mubarok 2000: 28) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep -resep, rencana-rencana, dan Strategistrategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dimiliki manusia, dan yang digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah laku dan tindakan-tindakannya. Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh kesimpulan mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social, religi seni dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. 2.3. Arsitektur Vernakular dan Arsitektur Tradisional 2.3.1. Pengertian Vernakular dan Tradisional Istilah vernakular berasal dari bahasa Latin vernaculus, berarti domestic (domestic), native (asli), indigenous (asli/pribumi), dari verna, berarti native slave (budak/asli) atau home-bom slave (rumah kelahiran budak). Kata tersebut mungkin berasal dari bahasa Etruscan yang paling tua. (Sumber:www.wikipedia.com) "Vernacular architecture is a term used to categorize methods of construction which use locally available resources to address local needs. Vernacular architecture tends to evolve over time to reflect the environmental, cultural and historical context in which it exists. It has often been dismissed as crude and unrefined, but also has proponents who highlight its importance in current design. (Sumber:www.wikipedia.com) Ungkapan diatas memiliki makna:
Arsitektur vernakular adalah suatu istilah untuk menggolongkan sistim pembangunan yang menggunakan sumber daya lokal untuk kebutuhan lokal. Arsitektur vernakular berkembang dari masa ke masa dan selalu mencerminkan konteks lingkungan, sejarah dan budaya setempat.
Arsitektur tradisional dibuat dengan cara yang sama secara turun temurun dengan sedikit atau tanpa adanya perubahan-perubahan yang signifikan pada bentuk bangunannya dan biasa disebut dengan arsitektur kedaerahan Allsop (1980), Gokhan (2002) dalam Ali (2008), menyatakan bahwa arsitektur vernakular termasuk tradisional yang cocok dengan lingkungannya yang memperkuat ciri kuat identitas lokal. Menurut Turan (1990), arsitektur vernakular berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan berjangkar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan pengalaman (trial and error), menggunakan teknik dan material lokal serta merupakan jawaban atas setting lingkungan tempat bangunan tersebut berada dan selalu membuka untuk terjadinya transformasi. Menurut Oliver arsitektur vernakular yaitu rumah rakyat terkait dengan konteks lingkungan mereka, sumber daya lokal, teknologi setempat, dibangun untuk memenuhi kebutuhan spesifik untuk mengakomodasi nilai-nilai, ekonomi dan cara hidup budaya yang berkembang. Menurut Brunskill arsitektur vernacular yaitu bangunan tanpa arsitek, teknologi lokal, meskipun primitif namun nilai estetika yang dominan dan bahannya lokal. Menurut Wright arsitektur vernacular yaitu bangunan folk, tanpa ahli/arsitek, primitif desain, kurang berpikir cerdas, lebih berharga daripada akademik (sadar-diri) di Eropa. 2.3.2. Ciri Arsitektur Vernakular Menurut Wikantari (2008), ciri-ciri arsitektur vernakular dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu : a) Proses pembentukan 1) Dibangun berdasarkan intuisi dan naluri Pola pemikiran tidak mendasarkan pada teori ilmiah dalam ilmu pengetahuan, melainkan pada konsep abstrak kepercayaan yang dianut yang bersifat spiritual, ritual, magis, dan religious yang sulit dijelaskan dengan penalaran. 2) Terbentuk oleh adat kebiasaan secara empiris Tipe ruang dan bentuk terjadi oleh ikatan/hubungan sosial dalam masyarakat yang hidup di suatu tempat/area tertentu, diwariskan turun temurun dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi dalam suatu kelompok masyarakat tertentu dalam kurun waktu yang panjang. 3) Bahan langsung diambil dari alam Penggunaan bahan berdasarkan ketersediaan dalam area yang terjangkau, serta diolah secara sederhana sehingga obyek arsitektur cenderung menyatu dengan alam setempat. 4) Proses pembentukan, perkembangan, dan perubahannya sulit dipastikan waktunya Awal proses pembentukan sulit ditentukan secara persis, perkembangan dan perubahan berlangsung sangat lambat dan sulit dipastikan tahap-tahap terjadinya, sehingga dinilai bukan bagian dari sejarah, tetapi lebih sebagai bagian dari ilmu antropologi (ilmu yang mempelajari kebudayaan manusia).
b) Pembangunan 1) Proses konstruksi/pembangunan tanpa melibatkan banyak orang Keterlibatan terbatas pada anggota keluarga, biasanya dibantu para tetangga terdekat (bila ada), dan (bila ada) dipimpin seorang yang dianggap ahli membangun di dalam kelompok masyarakat tersebut. 2) Upacara ritual menyertai proses konstruksi Kepala keluarga atau pemuka spiritual dalam kelompok masyarakat yang bersangkutan memimpin rangkaian ritual yang dilakukan pada setiap tahap pembangunan c) Pengunaan 1) Fungsi majemuk Keseluruhan bangunan dan bagian-bagiannya termasuk ornamentasi dan dekorasi mempunyai fungsi majemuk antara lain: fungsi spiritual, simbolis, dan sosial. 2) Kehidupan sosial sangat dominan Kegiatan pemakaian/penghunian bangunan dan lingkungan sarat dengan interrelasi dan interdependensi sosial antar anggota masyarakat 3) Wujud arsitektural sarat dengan simbolisme Wujud mempunyai makna-makna yang sulit dijelaskan dengan penalaran, yang menandai segitiga hubungan antara manusia dengan sang pencipta dan alam semesta (mencerminkan status sosial, kesuburan, gender, kesejahteraan, pola horizontalvertikal, pola kepala-badan-kaki, dan lain-lain). 2.4. Arsitektur Tradisional sebagai Evolusi Arsitektur Vernakular Menurut Tribinuka (2008), secara naluriah dengan mempergunakan nalarnya kelompok masyarakat etnik tersebut berusaha menyelesaikan masalah kehidupan, termasuk dalam berarsitektur. Namun demikian, tidak ada satupun permasalahan yang dimasa hidupnya dapat diselesaikan secara tuntas, sehingga mungkin saja masalah tersebut perlu diselesaikan oleh keturunannya. Tradisi merupakan suatu budidaya manusia yang diwariskan dan arsitektur tradisional berhubungan dengan budaya yang diwariskan secara turun temurun tersebut. Dewi menyatakan, para peneliti asing cenderung menamakan arsitektur tradisional sebagai arsitektur primitif untuk membedakan dengan yang modern (Enrico Guidoni, 1975): "Who have only relatively recently begun to realize that architecture plays a central role in the economic, social, and cultural life population we think of as primitive", atau arsitektur vernakular dimana kata vernakular sebenarnya lebih mengacu kepada konsep struktur sosial dan ekonomi seperti yang dikatakan oleh Colquhoun (1989): “The word vernacular is equally derived from social and economic concepts. Verna meant slave, and vernacular signified a person residing in the house of his master”
Sebagian lagi ada yang menyebutnya dengan arsitektur etnik yang sebenarnya penekanannya pada kesukuan atau suku bangsa tertentu. Tetapi pada dasarnya inti dari beragam pemahaman tersebut hanyalah satu, yaitu bahasan tentang kebudayaan yang diteruskan secara turun temurun. Menurut Hidayatun (2008). arsitektur tradisional memang sebuah gejala tentang bagaimana manusia dapat berdiam dengan tenang terlindung dari gangguan alam (hujan dan panas) serta bagaimana manusia dapat mengaktualisasikan dirinya dalam menjalankan kehidupan sehariharinya. Perjalanan panjang evolusi arsitektur tradisional membawa pada suatu kesimpulan bahwa semua arsitektur tradisional sudah pasti vernakular tetapi arsitektur vernakular belum tentu tradisional, hal ini terkait dengan keberadaan arsitektur tradisional yang pernah berjaya di masa lalu dan kalaupun ada di masa kini, tetap lekat dengan tradisi nenek moyang yang masih hidup tanpa adanya perubahan-perubahan yang signifikan pada bentuk bangunannya sedangkan tradisi arsitektur vernakular yang selalu berevolusi dari jaman primitif hingga dimasa sekarang ini berkembang mengikuti peradaban menerapkan pengetahuan dan teknik membangun yang telah dikenal sesuai keyakinan filosofis dan keterampilan teknologis yang dimiliki dalam peradabannya tanpa meninggalkan tradisi dan berusaha sedapat mungkin menghadirkan citra dan bayang-bayang 2.5. Pengertian Karakter, karakteristik dan Makna 2.5.1. Karakter dan Karakteristik Menurut Maxwell, karakter jauh lebih baik dari sekedar perkataan. Lebih dari itu, karakter merupakan sebuah pilihan yang menentukan tingkat kesuksesan. Menurut Wyne, karakter menandai bagaimana cara atau pun teknis untuk memfoukuskan penerapan nilai kebaikan ke dalam tindakan atau pun tingkah laku. Menurut Kamisa, pengertian karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, dan budi pekerti yang dapat membuat seseorang terlihat berbeda dari orang lain. Berkarakter dapat diartikan memiliki watak dan juga kepribadian. Menurut Kusuma, karakter merupakan ciri, gaya, sifat, atau pun katakeristik diri seseorang yang berasal dari bentukan atau pun tempaan yang didapatkan dari lingkungan sekitarnya. Menurut Saunders, karakter merupakan sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu. Karakter dapat dilihat dari berbagai macam atribut yang ada dalam pola tingkah laku individu. Menurut Gulo Pengertian karakter adalah kepribadian yang dilihat dari titik tolak etis atau pun moral (seperti contohnya kejujuran seseorang). Karakter biasanya memiliki hubungan dengan sifat-sifat yang relatif tetap. Menurut Alwisol, karakter merupakan penggambaran tingkah laku yang dilaksanakan dengan menonjolkan nilai (benar - salah, baik - buruk) secara implisit atau pun eksplisit. Karakter berbeda dengan kepribadian yang sama sekali tidak menyangkut nilai-nilai.
Karakteristik menurut Kamus Bahasa Indonesia edisi elektronik (2008) mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu. Secara etimologis, Istilah karakteristik diambil dari bahasa Inggris yakni characteristic, yang artinya mengandung sifat khas. Ia mengungkapkan sifat-sifat yang khas dari sesuatu. Dalam kamus lengkap psikologi karya Chaplin, dijelaskan bahwa karakteristik merupakan sinonim dari kata karakter, watak, dan sifat yang memiliki pengertian di antaranya: 1) Suatu kualitas atau sifat yang tetap terus-menerus dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasikan seorang pribadi suatu objek atau suatu kejadian. 2) Intergrasi atau sintese dari sifat-sifat individual dalam bentuk suatu untas atau kesatuan. 3) Kepribadian seeorang, dipertimbangkan dari titik pandangan etis atau moral. 2.5.2. Makna Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, makna adalah hubungan antara lambang bunyi dengan acuannya. Makna merupakan bentuk responsi dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki. Ujaran manusia itu mengandung makna yang utuh. Keutuhan makna itu perpaduan dari empat aspek, yakni pengertian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan amanat (intension). Memahami aspek itu dalam seluruh konteks adalah bagian dari usaha untuk memahami makna dalam komunikasi. Baca Shipley, (1962;263) Makna adalah arti atau maksud yang tersimpul dari suatu kata, jadi makna dengan bendanya sangat bertautan dan saling menyatu. Jika suatu kata tidak bisa dihubungkan dengan bendanya, peristiwa atau keadaan tertentu maka kita tidak bisa memperoleh makna dari kata itu (Tjiptadi, 1984:19). Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Pateda, 2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian. Dalam hal ini Saussure (dalam Chaer, 1994:286) mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik. Adapun beberapa jenis makna, berikut uraiannya: • Makna leksikal adalah makna kata atau leksem sebagai lambang benda, peristiwa, objek, dan lain-lain. Makna ini dimiliki unsur bahasa lepas dari penggunaan atau konteksnya. • Makna langsung, konseptual atau denotatif adalah makna kata atau leksem yang didasarkan atas penunjukkan yang langsung (lugas) pada suatu hal atau objek di luar bahasa. Makna langsung atau makna lugas bersifat objektif, karena langsung menunjuk objeknya. • Makna denotatif ialah makna dasar, umum, apa adanya, netral tidak mencampuri nilai rasa, dan tidak berupa kiasan (Maskurun 1984:10). Makna denotatif adalah makna dalam alam wajar
secara eksplisit maka wajar, yang berarti mkna kat ayang sesuai dengan apa adanya, sesuai dengan observasi, hasil pengukuran dan pembatasan (Perera, 1991:69). Makna denotatif didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu diluar bahasa atau didasarkan atas konvensi tertentu (Kridalaksana, 1993:40). • Makna kiasan atau asosiatif adalah makna kata atau leksem yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul pada penyapa dan manusia yang disapa. Makna ini muncul sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai bahasa terhadap leksem yang dilafalkan atau didengarnya. 2.6. Makna Filosofi dalam Arsitektur 2.6.1. Pengertian dan Teori tentang Filsafat dalam Arsitektur Filosofi adalah suatu cara berfikir yang mendalam tentang ilmu filsafa yang di dalam kamus besar bahasa Indonesia (1994), kata filsafat berarti: "1 pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya; 2 teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan; 3 ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemology; 4 falsafah", sedangkan falsafah sendiri berarti: "anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat; pandangan hidup". Menurut Siregar (2005), secara lahiriah kegiatan manusia dilakukan di dalam tempat yang terlindungi sehingga manusia dapat berkegiatan secara aman tanpa diganggu oleh iklim setempat, seperti panas, hujan, dan angin, juga terhindar dari bahaya. Tempat yang dimaksud itu adalah suatu ruang yang diwujudkan melalui pengamatan berbagai kegiatan manusia berdasarkan gerak tubuh yang dilakukannya. Tempat yang dimaksud tidak hanya untuk kebutuhan manusia secara lahiriah saja,tetapi juga untuk batiniahnya, sehingga untuk mewujudkan tempat itu perlu pemahaman yang mendalam dan luas. Dengan demikian perwujudan akan tempat itu bertanggung jawab terhadap kehidupan manusia secara keseluruhan. Wujud ini dapat berupa sosok massa (karya arsitektur) yang tentu saja memengaruhi kehidupan sehari-hari manusia dan menyebabkan munculnya suatu fenomena di dalam lingkungan hidup manusia, sehingga untuk memahami lebih jauh tentang fenomena yang terjadi, diperlukan suatu pemikiran kritis dan mendalam guna menggali makna dari fenomena melalui sebuah pemikiran filosofis, yaitu fenomenologi yang sekaligus juga merupakan sebuah metode yang dikaitkan dengan suatu hasil karya empiris yaitu arsitektur. Pemikiran pertama oleh Gaston Bachelard, seorang filsuf Perancis (1884-1962): "I must show that the house is one of the greatest powers of integration for the thoughts, memories and dreams of mankind" Dikatakannya lebih lanjut bahwa di dalam kehidupan manusia, rumah membisikan kebenaran yang tak terduga. Ini adalah nasihat yang tak henti-hentinya dari sesuatu yang
dipertahankan. Tanpa itu manusia akan menjadi sesuatu yang berantakan (dispersed). Selanjutnya Bachelard juga menyatakan: "The house we were born in has engraved within us the hierarchy of the various functions of inhabiting. We are the diagram of the functions of inhabiting that particular house, and all the other house are but variations on a fundamental theme". Artinya "Rumah dimana kita dilahirkan dan dibesarkan, mengukir dalam diri kita hirarki dari bermacam-macam fungsi dari cara mendiami. Kita merupakan diagram dari fungsi cara mendiami dari rumah yang khusus itu dan rumah-rumah yang lain, tetapi dalam variasi atas tema yang fundamental". Menurut Siregar (2005), makna yang tersirat dalam pemikiran pemikiran tersebut adalah suatu kehidupan yang nyaman di bawah naungan rumah sebagai tempat hunian dimana kehidupan adalah penyebab bentuk dan bentuk adalah hunian dari kehidupan. Bachelard mengadopsi pendekatan fenomenologi untuk mempelajari: rumah sebagai instrumen untuk menganalisis jiwa manusia. Pemikiran kedua oleh Heidegger, seorang filsuf Jerman (1889-1978), menurutnya menjadi manusia berarti berada di bumi sebagai mahluk yang artinya menghuni.Karakter dasar dari penghunian adalah menyelamatkan, melindungi. Menghuni ditempatkan dalam kedamaian, berarti tetap dalam damai di dalam kebebasan, perlindungan, lingkungan bebas yang melindungi, berada dalam permukiman dan tinggal dengan mahluk hidup di bumi. Hidup "di bumi" sudah berarti "di bawah langit". Kedua hal ini berarti "tetap berada di hadapan Tuhan" dan mencakup "sesuatu" termasuk kemanusiaan satu dengan yang lain. Ungkapan di atas memberi gambaran didalam bermukim terdapat suatu kesatuan dari empat hal utama: bumi dan langit, ke-Tuhanan dan mahluk hidup yang menyatu, dimana keempat hal yang menyatu ini disebut fourfold (empat lipatan) yang lebih jauh lagi dijelaskan oleh Heidegger sebagai berikut: "Bumi dan langit adalah penyangga dan batas yang melayani, bersemi berbuah, menyebar pada batu dan air, tumbuh pada tanaman dan hewan ke Tuhanan merupakan kurir pemberi isyarat dari Tuhan.Mahluk hidup dalam hal ini manusia berada dalam fourfold dengan menghuni yang berarti menyelamatka dan melindungi". Hakikat tentang fourfold ini menurut Siregar (2005), tersirat disini bahwa Heidegger mengetengahkan tentang kosmologi dan hal yang metafisik, di luar hal-hal yang nyata melingkupi hakekat bermukim manusia dan menganggap suatu bangunan tidak menggambarkan apa apa jika tidak mempunyai jiwa", karena suatu bangunan karya arsitektur akan memiliki makna karena fungsi yang dikandungnya memberinya jiwa, sebagai sesuatu yang "hidup". Pemikiran ketiga oleh Gadamer (murid Heidegger), seorang filsuf kelahiran Jerman tahun 1900, menyatakan bahwa arsitektur berhubungan dengan suatu seni dalam menciptakan ruangan, memberinya bentuk atau membiarkannya bebas. Arsitektur tidak hanya menyangkut aspek dekoratif dari pembentukan ruangan, termasuk ornamen, tetapi memiliki ciri dekoratif sendiri yaitu untuk menarik perhatian bagi yang memandangnya, memuaskan seleranya, dan untuk memberi
arah baru bagi keseluruhan yang lebih besar dalam konteks kehidupan yang menyertainya. Sebuah bangunan harus merupakan solusi suatu problem artistik dan menarik pada keajaiban dirinya dan pengagungan bagi yang memandangnya. Menurut Siregar (2005), pemikiran Gadamer tersebut menyatakan adanya hubungan yang tak terelakkan antara suatu bangunan dengan kehidupan manusia. Hal ini menggambarkan suatu pemikiran yang luas dari suatu bangunan yang dirancang, sehingga dalam melayani kegiatan kehidupan manusia, bangunan tersebut dapat menimbulkan rasa bahagia npada manusia, baik yang menghuni maupun yang mengamati. Pemikiran keempat oleh Lefebvre, filsuf kelahiran Perancis tahun 1901, menyatakan adanya kecenderungan melakukan pengurangan makna ruangan menuju ke tampak bangunan (facade) yang dibuat untuk dilihat berupa pengukuhan ruang visual. Hal yang dapat dilihat secara visual ini selalu merupakan status sosial dan prestise manusia yang memiliki/menghuninya. Berdasarkan hal itu, representasi wujud arsitektur sangat tergantung pada status sosial dan prestise dari pemilik/penghuni bangunan. Status sosial yang dimaksud adalah merupakan ungkapan yang manusiawi akan ide-ide dan konsep-konsep di dalam kehidupan pemilik/penghuni bangunan yang sukar direpresentasikan melalui hal-hal yang ilmiah dan terukur secara geometris. Dari keempat pemikiran tersebut tergambar bahwa manifestasi arsitektur sangat dipengaruhi oleh konteks kehidupan manusia yang mengingatkan adanya kekuatan-kekuatan lain yang tidak teraga sebagai pembentuk jiwa dari sebuah karya arsitektur sehingga kelahirannya akan sarat dengan makna dan memberi napas lain bagi karya-karya tersebut yang bukan sekedar tempat yang berfungsi/berdayaguna dengan benar, tetapi juga menunjukkan kekayaan pemikiran manusia yang menciptakannya (Siregar, 2005:70). 2.6.2. Simbolisme dalam Arsitektur sebagai Perwujudan Makna Filosofi Manusia pada hakekatnya dapat disebut mahluk budaya. Kebudayaan itu sendiri memuat gagasan, simbol, nilai-nilai sebagai hasil karya perilaku manusia, sehingga tidaklah berlebihan bila manusia juga disebut mahluk bersimbol (Ronald, 2005), kemudian Smith (1979) dalam Ronald melanjutkan, kalau kemudian dinyatakan manusia selalu mengekspresikan dirinya dalam bentuk simbol, maka tampak meyakinkan bahwa arsitektur adalah salah satu yang paling efisien untuk mewujudkan gagasan berbentuk simbol. Menurut Saliya (1990), pendekatan Hegelian yang memandang arsitektur sebagai ideasi (ideation) tata nilai ke dalam ujud baru sangat popular dalam arsitektur. Bersamaan dengan itu, kemampuan manusia melakukan simbolisasi melalui beberapa langkah abstraksi, membuka banyak wawasan dan kemungkinan baru dalam upaya mengupas rahasia (misteri) arsitektur. Norberg (1971) dalam Piaget dalam Saliya (1990) dapat juga menyatakan, arsitektur sebagai konfigurasi ruang-ruang dipandang sebagai ungkapan adaptif, suatu keseimbangan antara akomodasi dan asimilasi, yang sekaligus merupakan bukti eksistensi penghuninya. Penerapan unsur-unsur simbolik dalam suatu hunian masyarakat merupakan wujud ekspresi perasaan penghuninya dan sarana untuk mengomunikasikan perasaan mereka menyangkut nilai dasar (filosofis) yang menyangkut ke banyak hal dan dapat juga
menjadikesimpulan dari banyak hal, sebab tidak dipahaminya nilai dasar atau filosofis darisuatu aliran arsitektur inilah yang menyebabkan yang kemudian ditangkap adalah ciri-ciri fisik dan kebendaan saja atau apa yang dapat dicerap (diapresiasi) oleh indra. Padahal, ketika dari bentuk sudah tidak dapat dibedakan satu jenis paham dengan paham yang lainnya, dari kaidah dan konsep yang diterapkan tampaknya sama saja, maka pembeda yang paling hakiki dari tiap paham adalah pada ideologi filosofisnya ini (Rahman, 2003:8). 2.7. Sejarah Terbentuknya Wilayah Kerajaan Gorontalo-Limboto 2.7.1. Kerajaan Gorontalo Asal mula terbentuknya wilayah Gorontalo dituturkan dalam beberapa versi, hal mana dapat dibenarkan atau disalahkan sulit dipastikan karena masing-masing menyatakan bukti kebenaran penuturan tersebut. Dalam buku wulito tahun 1960-an di perpustakaan pusat universitas Leiden, Belanda dikatakan tradisi tulisan kita relatif kurang, jika dibandingkan dengan tradisi lisan (Amin, 2012:48). Keterangan yang diperoleh dari buku kuno Kaluku yang menyatakan 1756 Masehi sebagai padanan 1140 Hijriyah sebagai tahun lahirnya ibu kota atau bendar Gorontalo tampak lebih (mungkin) benar (Amin, 2012:50). Pertama; terjadinya masyarakat Gorontalo diawali dengan terjadinya daratan Gorontalo dimana masyarakat bermukim. Menurut penuturan Djafar dalam Daulima (2006). pada zaman purba semua daratan Gorontalo yang ditempati sekarang ini, masih berupa lautan, terdapat suatu kelompok masyarakat yang menamakan diri bangsa Weda dan berhulu disuatu tempat yang sekarang dikenal sebagai dataran gunung Boliyohuto. Tentang bangsa ini belum diperoleh suatu over levering (penuturan) mengenai asal-usulnya, corak kebudayaannya dan lain-lain sebagainya. Djafar melanjutkan, dalam buku lontara kerajaan Luwu yang dikarang oleh La galigo yang hanya terdapat suatu catatan mengenai suatu bangsa to wading yang berkedudukan di sebelah utara Sulawesi, yang diketahui dari tutur kata (over levering) hanyalah semasa dataran Gorontalo ini lambat laun menjadi kering, akibat perkerutan kulit bumi (upward presure), bangsa Weda tersebut kelompok demi kelompok meninggalkan basis induknya dan memencar didaerah Gorontalo yang kedapatan kering itu. Sebagian ke timur tenggara, sebagian ke barat dan sebagian ke selatan. Proses perpindahan tidak terjadi sekaligus dan setiap yang meninggalkan basis induknya dikepalai oleh pemimpin masing-masing. Menurut penuturan, jumlah kelompok yang terpencar adalah 21 kelompok dan dari 21 kelompok itu 17 kelompok yang mempersatukan diri menjadi Kerajaan Kesatuan Hulontalo. Ketujuh belas kelompok tersebut lahir dari perpecahan-perpecahan kelompok asli sedang empat yang lainnya hilang kedudukannya sebagai kelompok yang berpengaruh
Ruang merupakan elemen yang sangat penting dalam arsitektur. Secara harfiah, ruang ( space ) berasal dari bahasa Latin, yaitu spatium yang berarti ruangan atau luas (
extent ). Jika dilihat dalam bahasa Yunani dapat diartikan sebagai tempat ( topos ) atau lokasi ( choros ) yaitu ruang yang memiliki ekspresi kualitas tiga dimensi. Menurut Aristoteles, ruang adalah suatu yang terukur dan terlihat, dibatasi oleh kejelasan fisik, enclosure yang terlihat sehingga dapat dipahami keberadaanya dengan jelas dan mudah. Dalam arsitektur, ruang terbagi menjadi ruang dalam dan ruang luar. Salah satu ruang yang ada dalam arsitektur adalah ruang terbuka publik. Ruang terbuka publik sendiri terbagi menjadi ruang eksterior dan ruang interior. Untuk ruang eksterior (Alexander et al, 1977), terdapat dua bagian tipe ruang, yaitu: 1.
Positif: yaitu ruang yang mempunyai batas yang pasti dan jelas. Ruang ini dapat dirasakan dan dapat diukur dengan seksama. Sebagai bayangan, ruangan ini dapat diisi oleh air untuk menunjukan keberadaannya. Ruang ini dibentuk dari bangunan yang berada disekitarnya. 2.
Negatif: yaitu ruang yang tidak mempunyai bentuk yang jelas. Jenis ruang ini sulit dibayangkan serta keberadaannya sulit dirasakan. Di dalam buku Public Places – Urban Spaces , ruang positif dibagi menjadi dua jenis, yaitu: a. Streets (road, path, avenue, lanes, boulevard, alleys, malls) Streets adalah tipe ruang terbuka publik yang bersifat dinamik dan mempunyai kuantitas perpindahan yang lebih tinggi. b. Squares (plazas, circuses, piazzas, places, courts) Squares adalah tipe statis dimana orang lebih sering untuk berdiam diri dalam waktu lama di ruang terbuka publik ini. Kedua jenis ini dapat bersifat formal maupun informal.
Sehingga keduanya dapat ditempatkan sebagai ruang terbuka publik dimanapun berada. Namun untuk Negara
berkembang seperti Indonesia, tipe streets lebih sering dijadikan sebagai ruang terbuka publik daripada squares
Ruang merupakan elemen yang sangat penting dalam arsitektur. Secara harfiah, ruang (space) berasal dari bahasa Latin, yaitu spatium yang berarti ruangan atau luas (extent). Jika dilihat dalam bahasa Yunani dapat diartikan sebagai tempat (topos) atau lokasi (choros) yaitu ruang yang memiliki ekspresi kualitas tiga dimensi. Menurut Aristoteles, ruang adalah suatu yang terukur dan terlihat, dibatasi oleh kejelasan fisik, enclosure yang terlihat sehingga dapat dipahami keberadaanya dengan jelas dan mudah. Dalam arsitektur, ruang terbagi menjadi ruang dalam dan ruang luar. Salah satu ruang yang ada dalam arsitektur adalah ruang terbuka publik. Ruang terbuka publik sendiri terbagi menjadi ruang eksterior dan ruang interior. Untuk ruang eksterior (Alexander et al, 1977), terdapat dua bagian tipe ruang, yaitu: 1. Positif: yaitu ruang yang mempunyai batas yang pasti dan jelas. Ruang ini dapat dirasakan dan dapat diukur dengan seksama. Sebagai bayangan, ruangan ini dapat diisi oleh air untuk menunjukan keberadaannya. Ruang ini dibentuk dari bangunan yang berada disekitarnya. 2. Negatif: yaitu ruang yang tidak mempunyai bentuk yang jelas. Jenis ruang ini sulit dibayangkan serta keberadaannya sulit dirasakan. Di dalam buku Public Places – Urban Spaces, ruang positif dibagi menjadi dua jenis, yaitu: a. Streets (road, path, avenue, lanes, boulevard, alleys, malls) Streets adalah tipe ruang terbuka publik yang bersifat dinamik dan mempunyai kuantitas perpindahan yang lebih tinggi. b. Squares (plazas, circuses, piazzas, places, courts) Squares adalah tipe statis dimana orang lebih sering untuk berdiam diri dalam waktu lama di ruang terbuka publik ini. Kedua jenis ini dapat bersifat formal maupun informal. Sehingga keduanya dapat ditempatkan sebagai ruang terbuka publik dimanapun berada. Namun untuk Negara berkembang seperti Indonesia, tipe streets lebih sering dijadikan sebagai ruang terbuka publik daripada squares.