Bab 1.docx

  • Uploaded by: Eka Ama PutriJayanti
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,096
  • Pages: 11
BAB 1 TINJAUAN TEORI

1.1. DEFINISI Edema paru merupakan suatu keadaan terkumpulnya cairan patologi di ekstravaskuler dalam paru, yang disebabkan oleh dua keadaan, yaitu: peningkatan tekanan hidrostatis dan peningkatan permeabilitas paru (Muttaqin, 2008). Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia (Harun S, 2009). Jadi edema paru akut merupakan keadaan terkumpulnya cairan abnormal di dalam rongga paru, baik di rongga intertisial maupun dalam alveoli. 1.2. ETIOLOGI a. Sindroma Kongesti Vena: edema paru dapat terjadi karena kelebihan cairan intravaskuler. Sindroma ini sering terjadi pada klien yang mendapat cairan kristaloid atau darah intravena dalam jumlah besar terutama pada klien dengan gangguan fungsi ginjal (Muttaqin, 2008). b. Udema Neurogenik: keadaan ini terjadi pada klien dengan gangguan system saraf pusat. Diduga dasar mekanisme edema paru neurogenik adalah adanya rangsangan hipotalamus yang menyebabkan rangsangan pada sistem adrenergik, yang kemudian menyebabkan pergeseran volume darah dari sirkulasi sistemik ke sirkulasi pulmonal dan penurunan komplien ventrikel kiri (Muttaqin, 2008). c. Perubahan permeabilitas kapiler Infeksi (bakteri atau virus), pneumonia, reaksi imunologis dapat terjadi peningkatan permeabilitas kapiler paru sehingga terjadi pergesaran cairan intravaskuler ke ekstravaskuler (Price, 2005). d. Peningkatan tekanan vaskuler paru (Price, 2005) 1. Penyebab jantung Gagal jantung kiri, stenosis mitral, subakut endokarditis bakterial. 2. Penyebab bukan jantung Fibrosis vena pulmonalis, stenosis vena pulmonalis congenital, penyakit oklusi vena pulmonalis.

e. Penurunan tekanan onkotik Penyakit gagal Ginjal, gangguan hati dapat terjadi hipoalbumin sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler (Price, 2005). f. Penyebab campuran atau tidak diketahui Emboli paru, bypass kardiopulmoner, kelebihan dosis narkotik (Price, 2005). g. Keracunan inhalasi Edema paru yang disebabkan karena inhalasi bahan kimia toksik dapat menyebabkan lesi paru. Zat yang bersifat toksik seperti klorin, oksida nitrogen, ozon, sulfur dioksida, oksida metalik, uap asam dan lain-lain (Muttaqin, 2008).

1.3. FISIOLOGI Secara harafiah pernapasan berarti pergerakan oksigen dari atmosfer menuju ke selsel dan keluarnya karbon dioksida dari sel-sel ke udara bebas. Proses pernapasan terdiri dari beberapa langkah di mana sistem pernapasan, sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskuler memegang peranan yang sangat penting. Pada dasarnya, sistem pernapasan terdiri dari suatu rangkaian saluran udara yang menghantarkan udara luar agar bersentuhan dengan membran kapiler alveoli, yang merupakan pemisah antara sistem pernapasan dengan sistem kardiovaskuler. Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus atau bronkiolus terminalis. Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel goblet. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paruparu, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari (1) bronkiolus respiratorius, yang terkadang memiliki kantung udara kecil atau alveoli pada dindingnya, (2) duktus alveolaris, seluruhnya dibatasi oleh alveoli, dan (3) sakusalveolaristerminalis, merupakan struktur akhir paru-paru. Alveolus pada hakekatnya merupakan suatu gelembung gas yang dikelilingi oleh suatu jalinan kapiler, maka batas antara cairan dan gas membentuk suatu tegangan permukaan yang cenderung mencegah suatu pengembangan pada waktu inspirasi dan cenderung kolaps pada waktu ekspirasi. Tetapi, untunglah alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi terhadap pengembangan pada waktu inspirasi, dan mencegah kolaps alveolus pada waktu ekspirasi.

Ruang alveolus dipisahkan dari interstisium paru oleh sel epitel alveoli tipe I, yang dalam kondisi normal membentuk suatu barrier yang relatif non-permeabel terhadap aliran cairan dari interstisium ke rongga-rongga udara. Fraksi yang besar ruang interstisial dibentuk oleh kapiler paru yang dindingnya terdiri dari satu lapis sel endotel di atas membran basal, sedang sisanya merupakan jaringan ikat yang terdiri dari jalinan kolagen dan jaringan elastik, fibroblas, sel fagositik, dan beberapa sel lain. Faktor penentu yang penting dalam pembentukan cairan ekstravaskular adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen kapiler dan ruang interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, solut, dan molekul besar seperti protein plasma. Faktor-faktor penentu ini dijabarkan dalam hukum starling (Price, 2005). 1.4. KLASIFIKASI Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus (Harun S, 2009): a. Ketidakseimbangan “Starling Force” 1. Peningkatan tekanan vena pulmonalis Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain: (1) tanpa gagal ventrikel kiri (mis: stenosis mitral), (2) sekunder akibat gagal ventrikel kiri, (3) peningkatan tekanan kapiler paru sekunder akibat peningkatan tekanan arterial paru (sehingga disebut edema paru overperfusi). 2. Penurunan tekanan onkotik plasma Hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menimbulkan edema paru. Hipoalbuminemia dapat menyebabkan perubahan konduktivitas cairan rongga interstitial sehingga cairan dapat berpindah lebih mudah diantara sistem kapiler dan limfatik. 3. Peningkatan negativitas dari tekanan intersisial Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural. Kedaaan yang sering menjadi etiologi adalah: (1) perpindahan yang cepat pada pengobatan pneumothoraks dengan tekanan negatif yang besar. Keadaan ini disebut “edema paru re-ekspansi‟. Edema biasanya terjadi unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran radiologis dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan “edema paru re-ekspansi‟ ini berat dan membutuhkan tatalaksana yang cepat dan ekstensif, (2) tekanan negatif pleura yang

besar akibat obstruksi jalan nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma bronkhial). b. Gangguan permeabilitas membran kapiler alveoli: (ARDS = Adult Respiratory Distress Syndrome) Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu yang berhubungan dengan

edema

paru

akibat

kerusakan

pembatas

ini

daripada

akibat

ketidakseimbangan ”Starling Force”. 1. Pneumonia (bakteri, virus, parasit) 2. Terhisap toksin (NO2, asap) 3. Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi 4. Aspirasi asam lambung 5. Pneumonitis akut akibat radiasi 6. Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin) 7. Dissemiated Intravascular Coagulation 8. Immunologi: pneumonitis hipersensitif 9. Shock-lung pada trauma non thoraks 10. Pankreatitis hemoragik akut c. Insuffisiensi sistem limfe 1. Pasca transplantasi paru 2. Karsinomatosis, limfangitis 3. Limfangitis fibrotik (siilikosis) d. Tidak diketahui atau belum jelas mekanismenya 1. “High altitude pulmonary edema” 2. Edema paru neurogenik 3. Overdosis obat narkotik 4. Emboli paru 5. Eklamsia 6. Pasca anastesi 7. Post cardiopulmonary bypass

1.5. MANIFESTASI KLINIS Gejala paling umum dari edema paru adalah sesak nafas. Ini mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari edema paru akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak nafas daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), nafas yang cepat

(takipnea), kepeningan atau kelemahan (Alasdair et al, 2008; Lorraine et al, 2005; Maria I, 2010). Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, seperti rales atau crakles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernafas (Alasdair et al, 2008) Manifestasi klinis edema paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium : a. Stadium 1 Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inpsirasi karena terbukanya saluran nafas yang tertutup saat inspirasi. b. Stadium 2 Pada stadium ini terjadi edema paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial, akan lebih memperkecil saluran nafas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdengar takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan interstisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja. c. Stadium 3 Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right to left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapsia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada leadaan ini morphin harus digunakan dengan hati-hati (Ingram dan Braunwald,1988). Edema paru yang terjadi setelah infark miokard akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteriakoronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan menghambat cyclooxgenase atau cyclic nucleotide phosphodiesterase akan mengurangi edema paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler. Pada manusia masih memerlukan penelitian

lebih lanjut. Kadang-kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler parunya normal. Hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolus kapiler parus ekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung. Edema paru kardiogenik ini merupakan spektrum klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai: munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang tidak normal. European Society of Cardiology (ESC) membagi AHFS menjadi 6 klasifikasi yaitu: a. ESC 1 : Acute decompensated Heart Failure b. ESC 2 : Hypertensive acute heart failure c. ESC 3 : Pulmonary oedema d. ESC 4 : Cardiiogenik shock e. ESC 5 : High output failure AHF pada sepsis f. ESC 6 : Right heart failur Bila edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik maka sebaiknya, edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkaan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam interstisial paru dan alveolus. Cairan edemaa paru nonkardiogenik memiliki kadar protein kadar proein tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh protein plasma. Akumulasi cairan edema ditentukan oleh keseimbangan antara kecepatan filtrasi cairan ke dalam paru dan kecepaan cairan tersebu dikeluarkan dari alveoli dan interstisial (Maria I, 2010). 1.6. PATOFISIOLOGI Perubahan yang dini pada edema paru adalah peningkatan aliran limfatik. Karena saluran limfatik terjalin dalam jaringan ikat longgar yang mengelilingi arteriol paru dan saluran nafas yang kecil, pembengkakan saluran limfatik ini akan memberi dampak pada struktur disekitarnya dengan akibat perubahan hubungan tekanan pada struktur tersebut. Salah satu akibatnya adalah obstruksi pada saluran nafas kecil yang telah dibuktikan merupakan perubahan fisiologis dini pada penderita dengan gagal jantung kiri. Karena lesi ini tidak merata disaluran paru, timbullah dalam distribusi ventilasi dan perfusi yang kemudian menyebabkan hipoksemia ringan. Terkenanya arterior kecil juga dapat menyebabkan gambaran radiologis dini pada gagal jantung kiri yaitu suatu redistribusi aliran darah dari basis ke apek paru pada penderita dalam posisi tegak. Jika terbentuknya cairan intertensial melebihi kapasitas sistem limfatik, akan terjadi edema di dinding alveolar. Pada fase ini compliance (pemenuhan) paru bekurang. Hal ini

akan menyebabkan takipnea, yang mungkin merupakan tanda klinik dini penderita edema paru. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan aliran darah menyebabkan pemburukan hipoksemia. Namun demikian ekskresi karbon dioksida tidak terganggu, dan penderita akan menunjukkan keadaan hiperventilasi dengan alkalosis respiratori. Selain hal yang telah disebutkan diatas, defek fungsi juga mempunyai andil, dan pada fase ini mungkin akan terjadi peningkatan pintas kanan ke kiri melaui alveoli yang tidak mengalami ventilasi. Pada fase alveolar flooding, semua gambaran menjadi lebih berat, compliance akan menurun dengan nyata. Karena alveoli terisi dengan cairan, sementara aliran darah ke daerah tersebut tetap berlangsung, pintas kanan ke kiri aliran darah akan menjadi lebih berat dan menyebabkan hipoksemia yang rentan terhadap peningkatan konsentrasi peningkatan, konsentrasi oksigen yang diinspirasi. Kecuali pada keadaan yang amat berat, hiperventilasi dan alkalosis respiratori akan tetap berlangsung. Secara radiologis akan tampak infiltrat alveolar yang tersebar diseluruh paru, terutama didaerah perihilar dan basal. Kongesti paru terjadi bila vaskuler paru menerima darah yang berlebihan dari ventrikel kanan, yang tidak mampu diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri. Sedikit ketidakseimbangan antara aliran masuk pada sisi kanan dan aliran keluar pada sisi kiri jantung mengakibatkan konsekuensi yang berat. Perkembangan edema paru menunjukkan bahwa fungsi jantung sudah sangat tidak adekuat, peningkatan tekanan akhir diastole ventrikel kiri dan peningkatan tekanan vena pulmonal dapat terjadi. Hal meningkatkan tekanan hidrostatik yang mengakibatkan cairan merembes keluar. Gangguan limfatik berperan dalam penimbunan cairan di dalam jaringan paru. Kapiler paru yang membesar oleh darah yang berlebih akibat ketidakmampuan ventrikel kiri untuk memompa, tidak mampu lagi mempertahankan zat yang terkandung didalamnya. Cairan, mula-mula serous dan kemudian mengandung darah, lolos kejaringan alveoli disekitarnya melalui hubungan antara bronkhioli dan brnkhi. Cairan ini kemudian bercampur dengan udara dan terkocok selama pernafasan, dan dikeluarkan melalui mulut dan hidung. Karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat mengembang dan udara tidak dapat masuk, akibatnya adalah hipoksia berat (Price, 2005). 1.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG a. EKG: untuk melihat apakah terdapat sinus takikardi dengan hipertropi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebap gagal jantung, gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia b. Laboratorium 1. Analisa gas darah: pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah kemudian hiperkapnea. 2. Enzim jantung: meningkat jika penyebap gagal jantung adalah infark miokard.

3. Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, urinalis, Enzim jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner. c. Foto thorak 1. Gambaran radiologisnya berupa: a) Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskuler di hilus) b) Corakan paru meningkat (> 1/3 lateral) c) Kranialisasi vaskuler d) Hilus suram (batas tidak jelas) 2. Echokardiography: gambaran penyebab gagal jantung: kelainan katup, hipertopi ventrikel (hipertensi), segemental wall motion abnormally (PJK) umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri/atrium kiri. d. Pulmonary Artery Catheter: Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis (kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan melalui ruang-ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure. Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema, sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-cardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU) (Carpenito,2007).

1.8. PENATALAKSANAAN a. Medis 1. Pemberian oksigen tambahan Oksigen diberikan dalam konsentrasi yang adekuat untuk menghilangkan hipoksia dan dispnea. 2. Farmakoterapi a) Diuretik 1) Furosemide (lasix) Diberikan secara intravena untuk memberi efek diuretik cepat. Furosemide juga mengakibatkan vasodilatasi dan penimbunan darah di pembuluh darah perifer yang pada gilirannya mengurangi jumlah darah yang kembali kejantung, bahkan sebelum terjadi efek diuretic. 2) Bumetanide (Bumex) dan diuril (sebagai pengganti furosemide)

b) Digitalis 1) Digoksin 2) Digokain Untuk

meningkatkan

kontraktilitas

jantung

dan

curah

ventrikel

kiri.Perbaikan kontraktilitas jantung akan meningkatkan curah jantung, memperbaiki dieresis dan menurunkan tekanan diastole, jadi tekanan kapiler paru dan transudasi atau perembesan cairan ke alveoli akan berkurang. c) Aminofilin Bila pasien mengalami wheezing dan terjadi bronkospasme yang berarti untuk merelaksasi bronco spasme. Aminofilin diberikan secara IV secara terus menerus dengan dosis sesuai berat badan. 3. Pemasangan Indelwing catheter Kateter dipasang dalam beberapa menit karena setelah diuretic diberikan akan terbentuk sejumlah besar urin. 4. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik Jika terjadi gagal nafas meskipun penatalaksanaan telah optimal, perlu diberikan intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik (PEEP = Tekanan Ekspirasi Akhir Positif) 5. Pemantauan hemodinamika invasif Pemasangan kateter swan-ganz untuk pemantauan CVP, tekanan arteri pulmonalis dan tekanan baji arteri pulmonalis, suhu, SpO2. Dapat dipergunakan untuk menentukan curah jantung, untuk pengambilan contoh darah vena dan arteria pulmonalis, dan untuk pemberian obat. Jalur vena ini dapat digunakan untuk pemberian cairan. Asupan cairan selalu terpantau. 6. Pemantauan hemodinamika Suatu metode yang penting untuk mengevaluasi volume sekuncup dengan penggunaan kateter arteri pulmonal multi-lumen. Kateter dipasang melalui vena cava superior dan dikaitkan ke atrium kanan. Balon pada ujung kateter lalu dikembangkan, sehingga kateter dapat mengikuti aliran darah melalui katup trikuspidalis, ventrikel kanan, katup pulmonal, ke arteri pulmonalis komunis dan kemudian ke arteri pulmonal kanan atau kiri, akhirnya berhenti pada cabang kecil arteri pulmonal. Balon kemudian dikempiskan begitu kateter telah mencapai arteri pulmonal, kemudian diplester dengan kuat. Tekanan direkam dengan balon pada posisi baji pada dasar pembuluh darah pulmonal. (tekanan baji kapiler rata-rata 14 dan 18 mmHg menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang optimal). Pembacaan bentuk gelombang dan tekanan dicatat selama pemasangan untuk mengidentifikasi letak kateter dalam jantung.

b. Keperawatan 1. Berikan dukungan psikologis a) Menemani pasien b) Berikan informasi yang sering, jelas tentang apa yang sedang dilakukan untuk mengatasi kondisi dan apa makna respons terhadap pengobatan. 2. Atur posisi pasien Pasien diposisikan dalam posisi tegak, dengan tungkai dan kaki dibawah, sebaiknya kaki menggantung disisi tempat tidur, untuk membantu arus balik vena ke jantung. 3. Auskultasi paru. 4. Observasi hemodinamik non invasive/tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi napas, tekanan vena jugularis). 5. Pembatasan asupan cairan pada klien. 6. Monitor intake dan output cairan tubuh klien. 7. Catat tekanan yang direkam dengan balon kateter arteri pulmonal multi-lumen pada posisi baji pada pembuluh darah pulmonal (Price, 2005).

1.9. KOMPLIKASI Pada pasien dengan Edema paru kemungkinan untuk terjadi Gagal napas sangat tinggi jika tidak dilakukan penatalaksanaan dengan tepat. Hal ini dikarenakan terjadinya akumulasi cairan pada alveoli yang menyebabkan ketidakmampuan paru untuk melakukan pertukaran gas O2 dan CO2 secara adekuat, sehingga mengakibatkan pasokan Oksigen ke jaringan paru menjadi sedikit. (Menurut Baughman, Diane C. 2006).

1.10. PENCEGAHAN Dalam hal tindakan-tindakan pencegahan, tergantung pada penyebab dari pulmonary edema, beberapa langkah-langkah dapat diambil. Pencegahan jangka panjang dari penyakit jantung dan serangan-serangan jantung, kenaikan yang perlahan ke ketinggian-ketinggian yang tinggi, atau penghindaran dari overdosis obat dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan. Pada sisi lain, beberapa sebab-sebab mungkin tidak sepenuhnya dapat dihindari atau dicegah, seperti ARDS yang disebabkan oleh infeksi atau trauma yang berlimpahan (Price, 2005).

Pneumonia

1.11. PATHWAY

Infeksi pada alveoli Gagal ginjal dan gg. hepar Peningkatan permeabilitas membran alveolokapiler

Gangguan Endotelium Kapiler

Peningkatan tekanan hidrostatik

hipoalbuminemia

Kerusakan Ephitelium alveolar

Akumulasi cairan di paru-paru

Peningkatan permeabilitas membarane alveokapiler

Gagal jantung kiri

Ketidakmampuan memompa darah ke ventrikel kiri

Kebocoran cairan kapiler Darah terhenti di atrium kiri

Hubungan inter endotelial tegang

Cairan bocor ke alveoli

Protein darah mengalir ke interstisial

Gg. endothelium kapiler

Cairan bocor ke intersisialis

Penumpukan cairan pada alveoli

Kerusakan epitelium alveolar

Darah kembali ke paru-paru

Cairan bocor ke alveoli

Edema paru

MRS

Hospitalisasi

MK: Ansietas

Gangguan difusi O2 & CO2

Peningkatan usaha bernapas, tachipneu

Kapasitas vital dan volume paru menurun

Sekresi yang kental atau berlebihan Napas sesak dan berbuhi kemerahan MK: Ketidakefektifan pola napas MK: Ketidakefektifan bersihan jalan napas

Kontraksi jantung ↓

Tekanan pengisian diastolic ↓

Peristaltik usus menurun

Distensi abdomen

Volume sekuncup ↓

Peningkatan asam lambung

MK: Penurunan curah jantung

Mual, muntah

MK: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87

More Documents from "Indrastika Wulandari"

Bab 2.docx
May 2020 22
4. Bab 3 Askep.docx
May 2020 30
Bab 1.docx
May 2020 27
Sap Anemia Baru.docx
November 2019 28
Berita Acara.docx
November 2019 35
Eka.docx
May 2020 12