PENGARUH EXPERIENTAL LEARNING TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TENTANG PENCEGAHAN PENULARAN TUBERKULOSIS PARU DI DESA PLALANGAN KECAMATAN KALISAT KABUPATEN JEMBER
SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Keperawatan (S.Kep)
Oleh : Nanang Qosim NIM. 15010125
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr.SOEBANDI JEMBER YAYASAN PENDIDIKAN JEMBER INTERNATIONAL SCHOOL(JIS) 2019
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberculosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus Mycobacterium tuberculosis yang masih menjadi masalah kesehatan dunia saat ini. Berbagai macam penanganan yang sudah dilakukan untuk mengatasi penyakit tersebut. Saat ini inseiden dan kematian yang disebabkan oleh tuberculosis dianggap telah menurun. akan tetapi, tuberculosis masih menyerang sekitar 9,6 juta orang diseluruh dunia dan 1,2 juta orang mengalami kematian pada tahun 2014. Berdasarkan laporan WHO 9,6 juta kasus TB paru tersebut terdiri dari 5,4 juta jiwa pria, 3,2 juta jiwa wanita, dan 1 juta jiwa anak-anak (WHO 2014) Indonesia merupakan Negara beban TB paru terbesar diantara 5 negara yang diantaranya India, Indonesia, China, Philippina dan Pakistan. Di Indonesia angka prevalensi TB paru pada tahun 2016 sebesar 628 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2017 sebesar 619 per 100.000 penduduk. Angka tersebut menurun jika dibandingkan dengan tahun 2014 sebesar 647 per 100.000 penduduk. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah laki-laki 1,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Menurut kelompok umur pada tahun 2017 terbanyak ditemukan pada kelompok umur 23-34 tahun sebesar 17,2%, diikuti umur 45-54 tahun sebesar 17,1%, dan pada kelompok umur 35-44 tahun 16,4% (Kemenkes RI 2018) Provinsi jawa timur menempati urutan kedua terbanyak Indonesia pada tahun 2015 dalam penemuan penderita TB BTA dan kasus baru sebanyak 23.183 jiwa (Dinkes jatim 2016). Dikabupaten jember jumlah penderita TB paru terus meningkat dari tahun ke tahun.130,29 / 100.000 jiwa tahun 2013, 130,37 / 100.000 jiwa tahun 2014, 129,91 / 100.000 jiwa tahun 2015, dan 137,04 / 100.000 jiwa tahun 2015. Dari hasil pemeriksaan dahak disarana pelayanan kesehatan kabupaten jember, selama tahun 2016 ditemukan 2.145 BTA positif, yang terdiri dari 2.130 penderita yang diperiksa diseluruh puskesmas di jember dan 15 orang yang dari rumah sakit. Dari
2,121 orang yang periksa di puskesmas, seluruhnya sudah mendapat pengobatan intensif. Dikecamatan kalisat merupakan salah satu kecamatan yang angka keberhasilan pengobatannya cukup rendah dibandingkan dengan kecamatan lainnya yaitu 85% (dinkes jember 2016). Sejak tahun 1995 indonesia sudah menerapkan strategi baru untuk penanggulan penyakit TB paru yang direkomendasikan oleh WHO. Strategi tersebut menerapkan panduan obat efektif dan konsep DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). Salah satu implementasi DOTS ialah digunakan pengobatan jangka pendek yang ampuh membunuh virus tuberculosis dan diberikan dengan pengawasan (PMO) pengawas minum obat dan jaminan ketersediaan obat tersebut. Strategi ini cukup berhasil karena tingkat keberhasilan pengobatan TB paru dari 83 % (tahun 2004) menjadi 91% (tahun 2005). Selain itu, seluruh provensi di Indonesia mengalami kemajuan dalam pengobatan TB paru dan peningkatan penemuan kasus TB paru menular pada tahun 2004-2006. (Rizka Tri, 2013). Dilaporkan bahwa sebagian besar keluarga pernah mendengar tentang Tb Paru akan tetapi hanya 26% yang dapat menyebutkan dua tanda dan gejala utama Tb Paru (Kemenkes, 2011). Cara penularan Tb Paru dipahami oleh 51% keluarga dan hanya 19% yang mengetahui bahwa tersedia obat Tb gratis (Kemenkes, 2011). Dari hasil survey tersebut menunjukkan bahwa masih ada keluarga yang belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang penyakit Tb Paru. Hasil wawancara yang sudah dilakukan dengan 4 orang penderita TB paru di desa plalang kecamatan kalisat bahwa tidak semua pasien mengenal betul tentang TB paru. 2 orang menyebutkan penularan bisa terjadi karena terkena asap rokok, dua orang lainnya menyebutkan pencegahan penularan bisa dilakukan dengan menggunakan masker. Dari hasil wawancara tersebut bisa disimpulkan bahwa penderita TB paru yang ada di desa plalangan kalisat tidak sepenuhnya menjawab terkait apa saja yang bisa dilakukan untuk pencegahan penularan.
Dengan demikian pengetahuan terkait cara penularan TB paru perlu ditingkatkan dengan model pembelajaran experiental learning. Berdasarkan fenomena yang disebutkan diatas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Experiantal Learning Terhadap Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Pencegahan Penularan TB Paru di Desa Plalangan Kecamatan Kalisat” 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah sebagai berikut “Apakah Ada Pengaruh Model Pembelajaran Experiantal Learning Terhadap Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Pencegahan Penularan TB Paru di Desa Plalangan Kecamatan Kalisat”?. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum Mengetahui Pengaruh Model Pembelajaran Experiantal Learning
Terhadap Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Pencegahan Penularan TB Paru. 1.3.2
Tujuan Khusus a) Mengetahui
Pengaruh
Model
Pembelajaran
Experiantal
Learning Terhadap Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Pencegahan Penularan TB Paru.. b) Mengetahui perubahan Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Pencegahan Penularan TB Paru.. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Bagi Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan
informasi untuk pengembangan ilmu keperawatan terkait dengan Pengaruh Model Pembelajaran Experiantal Learning Terhadap Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Pencegahan Penularan TB Paru.
1.4.2
Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan
perbandingan untuk melakukan penelitian selanjutnya terkait dengan Pengaruh Model Pembelajaran Experiantal Learning Terhadap Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Pencegahan Penularan TB Paru diharapkan dapat dimanfaatkan dalam ilmu kesehatan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberculosis 2.1.1 Devinisi Tubculosis merupakan penyakit infeksi paru yang disebabkan oleh microbacterium tuberculosis yang ditularkan melalui udara dengan percikan ludah (droplet) dari satu individu ke individu lainnya, dan membentuk kolonisasi di bronkiolus atau alveolus. Apabila virus tuberculosis dalam jumlah yang besar berhasil menembus system pertahanan pernafasan dan berhasil menempati saluran nafas bawah tubuh akan melakukan respon imun dan terjadi inflamasi yang kuat. Karena respon yang berat ini, terutama diperantarai sel-T yang hanya sekitar 5% orang yang terpajan basil tersebut akan menderita tuberculosis aktiv. Hanya individu yang mengidap TB aktiv yang dapat menularkan terhadap individu lainnya. (Corwin, Elizabeth
J.2009.Buku
Saku
Patofisiologi.Jakarta:Buku
Kedokteran EGC) 2.1.2 Epidemiologi Tuberculosis
merupakan
penyakit
menular
yang
disebabkan oleh virus Mycobacterium tuberculosis yang masih menjadi masalah kesehatan dunia saat ini. Saat ini inseiden dan kematian yang disebabkan oleh tuberculosis dianggap telah menurun. akan tetapi, tuberculosis masih menyerang sekitar 9,6 juta orang diseluruh dunia dan 1,2 juta orang mengalami kematian pada tahun 2014. Berdasarkan laporan WHO 9,6 juta kasus TB paru tersebut terdiri dari 5,4 juta jiwa pria, 3,2 juta jiwa wanita, dan 1 juta jiwa anak-anak (WHO 2014). Indonesia merupakan Negara beban TB paru terbesar diantara 5 negara yang diantaranya India, Indonesia, China,
Philippina dan Pakistan. Di Indonesia angka prevalensi TB paru pada tahun 2016 sebesar 628 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2017 sebesar 619 per 100.000 penduduk. Angka tersebut menurun jika dibandingkan dengan tahun 2014 sebesar 647 per 100.000 penduduk. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah laki-laki 1,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Menurut kelompok umur pada tahun 2017 terbanyak ditemukan pada kelompok umur 23-34 tahun sebesar 17,2%, diikuti umur 45-54 tahun sebesar 17,1%, dan pada kelompok umur 35-44 tahun 16,4% (Kemenkes RI 2018). 2.1.3
Etiologi Agen infeksius utama, mikrobakterium tuberkulosis adalah
batang aerolik tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet. Mikrobakterium bovis dan mikrobakterium avium pernah, pada kejadian yang jarang, berkaitan dengan terjadinya infeksi tuberkulosis. (Wijaya, Andra
Saferi,
Skep
dan
Yessie
Mariza
Putri,
Skep.2013.Keperawatan Medikal Bedah Jilid I.Yogyakarta:Nuha Medika) 2.1.4
Phatofisiologi Tempat masuknya kuman tuberkulosis adalah saluran
pernapasan, pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Namun kebanyakan infeksi terjadi melalui udara yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel dari orang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya berada di bagian bawah lobus atas paru-paru atau di bagian atas lobus bawah dan membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear (PMN) memfagosit bakteri namun tidak membunuhnya. Selanjutnya leukosit diganti oleh makrofag, alveoli yang terserang mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Gejala ini dapat sembuh
dengan sendirinya. Proses dapat terus berlanjut dan bakteri terus difagosit dan berkembangbiak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar limfe regional. Lesi berkembang dan terbentuk jaringan parut yang mengelilingi tuberkel yang disebut fokus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar limfe regional dengan fokus ghon disebut kompleks ghon. Fokus ghon dapat menjadi nekrotik dan membentuk masa seperti keju, dapat mengalami kalsifiksi membentuk lapisan protektif sehingga kuman menjadi dorman. Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respons inadekuat dari sistem imun. Penyakit aktif dapat juga terjadi akibat infeksi ulang atau aktivasi bakteri dorman. Hanya sekitar 10% yang awalnya terinfeksi yang mengalami penyakit aktif. Basil TB dapat bertahan lebih dari 50 tahun dalam keadaan dorman. Penyakit dapat juga menyebar melalui kelenjar limfe dan
pembuluh
darah
yang
dikenal
denga
penyebaran
limfohematogen ke berbagai organ lain seperti usus, ginjal, selaput otak, kulit dan lain-lain. (Corwin, Elizabeth J.2009). 2.1.5
Klasifikasi Klasifikasi Klasifikasi tuberkulosis dibagi menjadi dua
yaitu tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru (PDPI, 2011). A. Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam : 1. Tuberkulosis Paru BTA (+) a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.
b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik
menunjukkan
gambaran
tuberkulosis aktif. c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.
2. Tuberkulosis Paru BTA (-) a. Hasil
pemeriksaan
dahak
3
kali
menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan
radiologik
menunjukkan
tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas. 14 b. Hasil
pemeriksaan
dahak
3
kali
menunjukkan BTA negatif dan biakan Mycobacterium tuberculosis positif. c. Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa. Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Berdasarkan tipe penderita TB paru dibagi dalam : 1) Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian). 2) Kasus
kambuh
penderita sebelumnya
(relaps)
Adalah
tuberkulosis
yang
pernah
mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. 3) Kasus
pindahan
Adalah
(Transfer
penderita
yang
In)
sedang
mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah. Kasus lalai berobat
Adalah
penderita
yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya
penderita
tersebut
kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 4) Kasus Gagal Adalah penderita BTA positif yang
masih
tetap
positif
atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan (PDPI, 2011). 2.1.6
Tuberkulosis Ekstra Paru Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu:
1. TB di luar paru ringan Misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal. 2. TB diluar paru berat Misalnya: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang 17 belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin (PDPI, 2011). 2.1.7
Gejala Klinis Keluhan
yang
dirasakan
pasien
tuberkulosis
dapat
bermacammacam atau malah tanpa keluhan sama sekali (PDPI, 2011). Keluhan yang terbanyak adalah: TB TB paru TB ekstra paru TB paru BTA (+) TB paru BTA (-) Tipe penderita TB paru Kasus baru Kasus kambuh Kasus pindah Kasus lalai berobat Kasus gagal pengobatan Kasus kronik Kasus bekas TB (PDPI, 2011). 1.
Demam Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 4041oC. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, kemudian dapat timbul kembali begitu seterusnya.
2.
Batuk/ Batuk Darah Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk
nonproduktif
kemudian
setelah
timbul
peradangan menjadi produktif. Keadaan lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. 3.
Sesak nafas
Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. 4.
Nyeri dada Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan nafasnya.
5.
Malaise Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia. Gejala malaise 19 sering ditemukan berupa tidak ada nafsu makan, berat badan menurun, nyeri otot, keringat malam, dan lain lain.Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Amin, 2014)
2.1.8
Diagnosis Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya (PDPI, 2011). 1. Diagnosis TB Paru a. Gejala Klinik Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejalagejala tersebut di atas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
b. Pemeriksaan Dahak Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan 20 menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan
mengumpulkan
3
spesimen
dahak
yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS): 1) S (sewaktu) Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek
membawa
sebuah
pot
dahak
untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. 2) P (pagi) Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK. 3) S (sewaktu) Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua,
saat
menyerahkan
dahak
pagi.
c.
Pemeriksaan Foto Toraks Pada sebagian besar TB paru,
diagnosis
terutama
ditegakkan
dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi (PDPI, 2011).
Tersangka Penderita TB
Periksa Dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)
Periksa Ronsen Dada
Hasil Mendukun g TB
Hasil BTA ---
Hasil BTA +--
Hasil BTA +++ ++-
Hasil Tidak Mendukun g TB
Beri Antibiotik Spektrum Luas
Tidak Ada Perbaikan
Ada Perbaikan
Ulangi Periksa Dahak SPS
Penderita TB BTA (+)
Hasil BTA +++ ++-
Hasil BTA ---
Periksa Ronsen Dada
Hasil Mendukung TB TB BTA (-) Ronsen Pos
Hasil Ronsen Negatif Bukan TB, Penyakit lain
Gambar 1. Alur Diagnosis TB Paru (Kementerian Kesehatan RI, 2016)
2.1.9
Penatalaksanaan 1. Prinsip Pengobatan Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah : A. Menghindari
penggunaan
monoterapi.
Obat
Anti
Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT. B. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat,
pengobatan
dilakukan
dengan
pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO). C. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. 1) Tahap Intensif a) Pada
tahap
intensif
(awal)
penderita
mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. b) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita 23 menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. c) Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. 2) Tahap Lanjutan
a) Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persister
(dormant)
sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan (PDPI 2011). 2.1.10
Faktor Resiko Faktor-faktor yang memungkinkan orang mudah terinfeksi
penyakit TB paru ada beberapa karakteristik golongan penduduk yang mempunyai risiko mendapat TB paru lebih besar daripada golongan lainnya. Status sosial ekonomi yaitu berupa pekerjaan, pendidikan, pendapatan, kelas sosial individu/rumah tangga dan hubungan di dalam masyarakat akan mempengaruhi akses perawatan kesehatan, ketahanan pangan, kondisi hidup dan kerja, pengetahuan
sikap
dan
perilaku
kesehatan
yang
akan
mempengaruhi risiko kontak dengan penderita TB, paparan tinggi terhadap M. Tuberculosis, infeksi, progresi terhadap penyakit, diagnosis tertunda, dan hasil buruk seperti hasil pengobatan TB yang buruk, hasil kesehatan yang buruk, biaya tak terduga, dan konsekuensi sosial yang merugikan (Manalu, 2010; Lönnroth K, 2011). 2.2 Experiental learning 2.2.1 Pengertian mengemukakan bahwa model pembelajaran experiential adalah belajar sebagai proses mengkontruksi pengetahuan melalui transformasi pengalaman. Belajar dari pengalaman mencakup keterkaitan antara berbuat dan berpikir. Jika seseorang berbuat aktif maka orang itu akan belajar jauh lebih baik. Hal ini disebabkan dalam proses belajar tersebut pembelajar secara aktif berpikir tentang apa yang dipelajari dan
kemudian bagaimana menerapkan apa yang telah dipelajari dalam situasi nyata. pembelajaran experiential adalah suatu model proses belajar belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajaran untuk membangun pengetahuan dan keterampilan melalui pengalaman secara langsung. Pengalaman tersebut sebagai katalisator untuk menolong
pembelajar
mengembangkan
kapasitas
dan
kemampuannya dalam proses pembelajaran (Abdul 2015).
2.2.2 Konsep Model Experiential Learning Konsep Model Experiential Learning merupakan gaya belajar yang sesuai dengan tahapan dalam Model Pembelajaran Experiential, yaitu: 1. Assimilator, (AC/RO), kombinasi dari berfikir dan mengamati (thinking and watching). Anak pada tipe assimilator memiliki kelebihan dalam
memahami
berbagai
sajian
informasi
serta
merangkumnya ke dalam suatu format yang logis, singkat, dan jelas. Biasanya anak tipe ini kurang perhatian kepada orang lain dan lebih menyukai ide serta konsep yang abstrak. 2. Converger, (AC/AE). Kombinasi dari berpikir dan berbuat (thinking and doing).
Anak
dengan
tipe
converger
unggul
dalam
menemukan fungsi praktis 16 dari berbagai ide dan teori. Bisanya mereka punya kemampuan yang lebih baik dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Mereka juga cenderung lebih menyukai tugas-tugas teknis (aplikatif) dari pada masalah soaial atau hubungan antar pribadi. 3. Accommodator, (CE/AE). Kombinasi dari perasaan dan tindakan (feeling and doing).
Anak
dengan
tipe
accommodator
memiliki
kemampuan belajar yang baik dari hasil pengalaman nyata yang dilakukan sendiri. Mereka suka membuat rencana dan melibatkan dirinya dalam berbagai pengalaman baru dan menantang. Mereka cenderung bertindak berdasarkan analisis logis. Dalam usaha memecahkan masalah, mereka biasanya mempertimbangkan faktor manusia (untuk mendapatkan masukan/informasi) dibanding dengan analisis teknis. 4. Diverger, (CE/RO). Kombinasi dari perasaan dan pengamatan (feeling and watching). Anak dengan tipe diverger unggul dalam melihat situasi konkret dari banyak sudut pandang yang berbeda. Pendekatannya pada setiap situasi adalah “mengamati” dan bukan “bertindak”. Anak seperti ini menyukai tugas belajar yang menuntunnya untuk menghasilkan ide-ide, biasanya juga menyukai isu budaya serta suka sekali mengumpulkan berbagai informasi. Kolb (dalam Abdul, 2015) 2.2.3 Kelebihan Model Experiential Learning kelebihan
model
pembelajaran
experiential
secara
individual dan kelompok. Kelebihan model pembelajaran experiential secara individual yaitu: 1. Meningkan kesadaran dan kepercayaan diri. 2. Meningkatkan kemampuan berkomunikasi. 3. Menumbuhkan dan meningkatkan kemampusan untuk menghadapi situasi buruk. 4. Menambahkan dan meningkatkan komitmen serta tanggung jawab Muhammad (Abdul, 2015)
2.3 Pengetahuan Pengetahuan
merupakan
dasar
dari
pengambilan
tindakan
pencegahan dan pengobatan tuberkulosis. Ketidaktahuan masyarakat akan
menghalangi sikap dan tindakan terhadap pencegahan dan pemberantasn penyakit TB paru sebagai orang sakit hingga akhirnya dapat menjadi sumber penular dan penyebaran penyakit TB paru bagi orang yang berada di sekelilingnya. Pada penelitian sebelumnya didapatkan pengetahuan pasien TB paru terhadap upaya pengendalian penyakit TB di Puskesmas Sidomulyo Kota Pekanbaru, sebagian besar masuk dalam kategori baik yaitu sebanyak 12 orang (38,7 %), cukup sebanyak 16 orang ( 51,6 %) dan sisanya memiliki pengetahuan kurang sebanyak 3 orang (9,7 %). Dari penelitian ini dapat disimpilkan bahwa tingkat pengetahuan pasien sangat berperan besar terhadap pencegahan penularan TB paru. Refica (Dewita Sarmen, Surya Hajar, FD Suyanto 2017).
DAFTAR PUSTAKA World Health Organization (WHO). 2014. WHO Global Tuberculosis Report 2014. Jember: World Health Organization [diunduh 19 Maret 2019]. Tersedia dari: https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/137094/9789241564809_eng.pd %20f.?sequence=1 Kementrian kesehatan Indonesia 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jember: kementrian kesehatan Indonesia [diunduh 19 maret 2019] tersedia dari: http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatanindonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-tahun-2017.pdf Dinas kesehatan kabupaten jember 2018. Profil kesehatan kabupaten jember tahun 2018. Jember: dinas kesehatan kabupaten jember [diunduh 19 maret 2019] tersedia dari: http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi%20pra%20rakerkesnas%202018/04_%20Paparan%20Kadinkes%2 0Kab%20Jember.pdf Tri, Rizka YA. 2013. Analisis Distribusi dan Faktor Resiko Tuberkulosis Paru melalui Pemetaan berdasarkan Wilayah di Puskesmas Candilama Semarang Triwulan Terakhir Tahun 2012. Semarang. Dinas kesehatan provinsi jawa timur 2016. Profil kesehatan provinsi jawa timur tahun 2016. Jember: dinas kesehatan provinsi jawa timur [diunduh 19 maret 2019] tersedia dari: http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2 016/15_Jatim_2016.pdf Corwin, Elizabeth J.2009.Buku Saku Patofisiologi.Jakarta:Buku Kedokteran EGC Wijaya, Andra Saferi, Skep dan Yessie Mariza Putri, Skep.2013.Keperawatan Medikal Bedah Jilid I.Yogyakarta:Nuha Medika Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011. Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. [diunduh 21 maret 2019] tersedia dari: http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf Amin Z, Bahar A. 2014. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Aiwi I, Simadibrata KM, Setiati S, jilid I. Edisi ke-6. Jakarta: Internal Publishing. Manalu HSP. 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru Dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan. 9(4): 1340–6.
Abdul. 2015. Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Refica Dewita Sarmen, Surya Hajar, FD Suyanto 2017. Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Pasien Tb Paru Terhadap Upaya Pengendalian Tb Di Puskesmas Sidomulyo Kota Pekanbaru : Jurnal Kesehatan.