Bab 123.docx

  • Uploaded by: Andre
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 123.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,086
  • Pages: 16
BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini disajikan latar belakang penelitian, rumusan masalah dalam penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta ruang lingkup penelitian dalam hal ini penelitian pada campur kode pada mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK.

A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu masyarakat Indonesia. Sesuai dengan ikrar sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928 yang berbunyi “kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Sejak diikrarkannya sumpah pemuda bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa nasional dan sebagai bahasa pemersatu masyarakat Indonesia. Selain bahasa Indonesia, bahasa daerah juga memegang peranan penting di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Alasannya, bahasa daerah juga memiliki kedudukan dan fungsi yang penting. Selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah, terdapat pula bahasa yang bukan milik masyarakat Indonesia, yakni bahasa asing. Bahasa asing ini, seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa negara lain. Bahasa ini sering pula digunakan masyarakat Indonesia. Keragaman bahasa yang terjadi pada masyarakat Indonesia ini menyebabkan timbulnya masyarakat bilingualisme atau bahkan multilingualisme. Bilingualisme atau dwibahasa adalah penguasaan dua bahasa atau lebih secara berdampingan. oleh sebab itu, masyarakat bilingual ini harus memilih bahasa atau variasi bahasa mana yang harus digunakan dalam suatu situasi. Pada situasi masyarakat bilingual, tidak menutup kemungkinan menyebabkan terjadinya kontak bahasa yang saling memengaruhi antara bahasa satu dengan bahasa lainnya yang hidup berdampingan, kontak bahasa ini seperti campur kode dan alih kode.

1

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti menemukan banyak mahasiswa yang menggunakan bahasa daerah . Faktor penggunaan campur kode dan alih kode dapat berupa pembicara atau penutur, pendengar atau lawan tutur, maupun perubahan topik pembicaraan. Suwito berpendapat bahwa campur kode adalah suatu keadaan berbahasa bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain, unsur-unsur yang menyisip tersebut tidak lagi memunyai fungsi sendiri. Peristiwa campur kode dan alih kode sering dijumpai dalam tuturan masyarakat Indonesia.

B. Pembatasan Masalah Berdasaran identifikasi masalah diatas dengan fenomena kebahasaan campur kode yang ditemukan, penulis mencoba meneliti campur kode bahasa daerah kedalam bahasa Indonesia dalam diskusi kelompok mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK.

C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagaimanakah bentuk campur kode dan alih kode pada Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK.

2. Bagaimana faktor penyebab terjadinya campur kode dan alih kode pada Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK.

3. Bagaimana dampak campur kode dan alih kode yang terjadi dalam diskusi kelompok Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK. 2

D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk campur kode dan alih kode pada Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK.

2. Mendeskripsikan faktor penyebab terjadinya campur kode dan alih kode pada Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK.

3. Mendeskripsikan dampak campur kode dan alih kode yang terjadi dalam diskusi kelompok Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK.

E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat menambah khazanah ilmu dan referensi kajian bidang ilmu sosiolinguistik dan alih kode dan campur kode. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, yaitu : a. memberikan pengetahuan kepada pengajar mengenai deskripsi campur kode sebagai sumber belajar pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia;

b. memberikan pengetahuan kepada penulis dan pembaca mengenai deskripsi campur kode pada Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK.

F. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada aspek sebagai berikut. 1. Bentuk tuturan Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK yaitu bentuk campur kode wujud kata. 3

2. Faktor penyebab terjadinya tuturan Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK bentuk campur kode identifikasi ragam, keinginan menjelaskan dan menafsirkan, dan identitas pribadi..

4

BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Kode Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak) Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.

B. Alih Kode Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (languagedependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu 1. alih kode ekstern bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya dan 2. alih kode intern bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama. 5

Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah: 1. Penutur seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. 2. Mitra Tutur mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa. 3. Hadirnya Penutur Ketiga untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. 4. Pokok Pembicaraan Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa takbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya. 5. Untuk membangkitkan rasa humor biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara. 6. Untuk sekadar bergengsi walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.

C. Campur Kode Campur kode (code-mixing) merupakan wujud penggunaan bahasa lainnya pada seorang dwibahasawan. Berbeda dengan alih kode, dimana perubahan bahasa oleh seorang dwibahasawan disebabkan karena adanya perubahan situasi, pada campur 6

kode perubahan bahasa tidak disertai dengan adanya perubahan situasi (Hudson, 1996:53). Menurut Istiati (dalam Mutmainnah 2008:46), campur kode dilakukan oleh penutur bukan semata-mata karena alasan situasi pada saat terjadinya interaksi verbal, melainkan oleh sebab-sebab yang bersifat kebahasaan. Sumber dari campur kode bisa datang dari kemampuan berbahasa, bisa pula datang dari kemampuan berkomunikasi, yakni tingkah laku. Jika gejala itu hadir karena penutur telah terbiasa menggunakan bahasa campur demi kemudahan belaka sebagai hasil dari sistem budaya, sistem sosial atau sistem kepribadian secara terus menerus, maka gejala itu datang dari sistem tingkah laku. Artinya, gejala ini bersumber dari kemampuan berkomunikasi. Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, dan rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence). Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: campur kode ke dalam (innercodemixing), merupakan campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya dan campur kode ke luar (outer code-mixing), merupakan campur kode yang berasal dari bahasa asing. Adapaun latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sikap (attitudinal type), merupakan latar belakang sikap penutur dan kebahasaan (linguistik type) merupakan latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Beberapa wujud campur kode antara lain berupa penyisipan kata, frasa, klausa, ungkapan atau idiom, dan penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing). 7

D. Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan. Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.

E. Kedwibahasaan Penelitian sosiolinguistik yang mengkaji masalah kode dan sosialisasi bahasa tentu sangat erat kaitannya dengan kedwibahasaan. Batasan konsep kedwibahasaan itu sendiri selalu mengalami perubahan. Istilah ini kali pertama diperkenalkan pada abad ke-20 oleh Bloomfield dalam bukunya Language (1933, diindonesiakan oleh Sutikno, 1995:54) yang mengartikan kedwibahasan sebagai penguasaan dua bahasa seperti penutur asli. Definisi yang diberikan oleh Bloomfield ini mengimplikasikan pengertian bahwa seorang dwibahasawan adalah orang yang menguasai dua bahasa dengan sama baiknya. Definisi yang diberikan oleh Bloomfield tersebut dirasa sangat berat karena

8

dapat diartikan bahwa seseorang baru bisa dikatakan seorang dwibahawan jika bahasa kedua yang dikuasainya sama baiknya dengan bahasa pertama. Definisi selanjutnya diberikan oleh Haugen (dalam Pujihastuti 2010:12) bahwa dwibahasa adalah tahu dua bahasa. Seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, penguasaan bahasa kedua secara pasif pun dipandang cukup menjadikan seorang itu disebut dwibahasawan. Hal ini berarti bahwa seorang dwibahasawan tidak perlu menguasai bahasa kedua secara aktif, produktif sebagaimana dituntut Bloomfield melainkan cukup apabila ia memiliki kemampuan reseptis dalam bahasa kedua. Mackey (dalam Mutmainnah 2008:47) menggambarkan kedwibahasaan sebagai penggunaan bahasa secara bergantian dua bahasa atau lebih oleh seseorang yang sama. Kondisi dan situasi yang dihadapi seorang dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa-bahasa yang dipakai. Berdasarkan beberapa pendapat tentang kedwibahasaan di atas dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan dua bahasa, baik bahasa pertama (bahasa ibu) maupun bahasa kedua dalam berkomunkasi.

F. Multikulturalisme Istilah multikulturalisme umumnya digunakan untuk menjelaskan suatu heterogenitas budaya, atau merujuk pada eksistensi pluralitas etnik dan berbagai kelompok budaya dalam masyarakat (Sundrijo 2007). Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa setiap orang dengan berbagai latar belakang kebudyaan yang berbeda dapat hidup secara damai tanpa mengorbankan kekhasan budayanya dan tidak menimbulkan konflik akibat perbedaan budaya di antara mereka. Tilaar (dalam Ekoati 2010) menyatakan bahwa multkulturalisme merupakan upaya untuk menggali potensi budaya sebagai capital yang membawa suatu komunitas dalam menghadapi masa depan yang penuh resiko. Oleh karena proses pendidikan adalah proses pembudayaan, maka masyarakat multikultural hanya dapat diciptakan melalui proses pendidikan. Penanaman pengakuan terhadap keragaman etnis dan 9

budaya masyarakat Indonesia di era globalisasi saat ini merupakan upaya merespons fenomena konflik etnis dan sosial-budaya yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Tilaar (2004:29) menggambarkan masyarakat multikultural adalah masyarakat yang penuh resiko karena masyarakat itu berubah dengan cepat sehingga meminta manusia untuk mengambil sikap dan melakukan pilihan yang tepat untuk hidupnya atau hanyut bersama perubahan itu. Multikulturalisme mencoba membantu pihak-pihak yang saling berbeda untuk dapat membangun sikap saling menghormati satu sama lain terhadap perbedaanperbedaan dan kemajemukan yang ada agar tercipta perdamaian dan dengan demikian akan tercipta kesejahteraan umat manusia (Nugroho 2009:15).

G. Penelitian Yang Relevan Penelitian tentang fenomena campur kode sudah pernah dilakukan di antaranya, yaitu penelitian dengan judul “ Campur Kode dalam Pemakaian Bahasa Bali pada Etnik Jawa di Desa Tegallinggah Buleleng” penelitian oleh I Gusti Putu Antara dan Ni Nyoman Garminah. Penelitian tersebut membahas masalah campur kode dalam pemakaian bahasa Bali yang dikaitkan dengan ranah bahasa, topik pembicaraan, serta partisipan yang dilibatkan dalam komunikasi. Penelitian ini juga pernah dilakukan oleh R. Jamaluddin dalam tesisnya di program Pascsarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, berjudul ”Peristiwa Campur Kode dalam Komunikasi Lisan Masyarakat Multilingual (Studi Kasus di Pesantren Pabelan Magelang)”. Hasil analisis menunjukkan di Pondok Pesantren Magelang banyak digunakan campur kode dalam wujud kata, frasa, idiom, pengulangan kata, dan klausa. Penelitian ini juga pernah dilakukan oleh Hanifatul Hijriati dengan judul ”Alih kode dan campur kode dalam Pembelajaran English Conversation pada siswa kelas X program ICT SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ” Penelitian ini membahas masalah wujud alih kode dan campur kode dalam kegiatan pembelajaran English Conversation dan faktor-faktor penentu peristiwa alih kode dan campur kode 10

yang menonjol dalam kegiatan belajar mengajar English Conversation di kelas X program ICT SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. Dalam hal ini ada persamaan dengan penelitian yang tersebut di atas dengan penelitian yang akan penulis teliti, yaitu sama-sama membahas tentang alih kode dan campur kode, penelitian yang penulis teliti juga terdapat perbedaan dibandingkan ketiga penelitian tersebut di atas. Penelitian yang pernah dilakukan I Gusti Putu Antara dan Ni Nyoman Garminah, membahas masalah campur kode dalam pemakaian bahasa Bali yang dikaitkan dengan ranah bahasa, topik pembicaraan, serta partisipan yang dilibatkan dalam komunikasi. Sementara R. Jamaluddin membahas tentang campur kode dalam wujud kata, frasa, idiom, pengulangan kata, klausa, dan faktor utama penggunaan campur kode. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Hanifatul Hijriati Penelitian ini membahas masalah wujud alih kode dan campur kode dalam kegiatan pembelajaran English Conversation dan faktor-faktor penentu peristiwa alih kode dan campur kode yang menonjol dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini tentu saja berbeda dengan penelitian yang akan penulis teliti yaitu penulis lebih fokus membahas “Alih Kode dan Campur Kode yang digunakan Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK dalam diskusi kelompok”. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh penulis ini belum pernah diteliti sebelumnya.

11

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Metode Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian ini dilakukan dengan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif pada dasarnya dilakukan untuk menyusun teori, bukan menguji teori, atau dengan kata lain, kajian kualitatif ini untuk menemukan pengetahuan baru, atau merumuskan teori baru berdasarkan data yang dikumpulkan. Metode penelitian deskriptif kualitatif dipilih karena cocok dengan karakteristik masalah penelitian ini, yakni campur kode dan alih kode dalam diskusi kelompok pada Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK. Selain itu, metode penelitian ini membantu penulis untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena campur kode dalam diskusi kelompok pada Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK.

Penelitian ini menggunakan metode observasi, wawancara dan

dokumentasi karena objek yang diteliti diperoleh saat diskusi kelompok berlangsung dan data mengenai campur kode dan alih kode diperoleh melalui observasi, wawancara, langsung dengan Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK. Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Secara luas desain penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Metode penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya, penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama yaitu, menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.

12

B. Lokasi Penelitian Lokai penelitian adalah lokasi proses studi yang digunakan untuk memperoleh pemecahan masalah penelitian berlangsung. Dalam rangka mendapatkan data-data yang akurat, penulis mengadakan penelitian di Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK. Kegiatan diskusi kelompok di Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK dilakukan pada sore hari dari mulai pukul 15.30 sampai dengan pukul 17.00. Penelitian ini dimulai dengan pengumpulan data dan proses penelitian dilakukan pada bulan November – Desember 2018.

C. Sumber dan Data Penelitian Sumber dalam penelitian ini adalah Mahasiswa Fkip Untan Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK pada saat diskusi kelompok. Data Penelitian dalam penelitian ini adalah campur kode dan alih kode dalam diskusi kelompok Mahasiswa FKIP Untan Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas B 2017 PPAPK

D. Prosedur Pengumpulan Data 1. Observasi Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain. Observasi adalah “tindakan yang merupakan penafsiran dari teori. Metode ini juga digunakan dalam suatu studi yang disengaja dan sistematis tentang keadaan/fenomena sosial dan gejala-gejala dengan mengamati. Pengamatan ini dapat dibantu dengan catatan atau rekaman. Pencatatan selama proses observasi tidak dapat di lakukan secara sempurna oleh penulis, dalam arti penulis tidak mampu mencatat semua peristiwa yang berlangsung saat observasi. Rekaman dapat digunakan sebagai bahan rujuk silang atas ketepatan hasil pencatatan.

13

Hal-hal yang tidak sempat di catat selama pencatatan akan di konfirmasikan dan di sempurnakan melalui hasil rekaman.

2. Wawancara Dalam pengumpulan data, penulis juga menggunakan metode wawancara mengenai campur kode dan alih kode dalam proses diskusi kelompok. Wawancara adalah suatu percakapan dengan tujuan untuk memperoleh konstruksi yang terjadi sekarang tentang orang, kejadian, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, pengakuan, kerisauan dan sebagainya, rekonstruksi keadaan tersebut berdasarkan pengalaman masa lalu. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara secara bebas, Pedoman wawancara tidak terstuktur ini digunakan agar memperoleh data atau jawaban dari narasumber secara mendalam dan sesuai dengan data yang diharapkan penulis. Sehubungan dengan pengertian tersebut, maka dalam penelitian ini penulis berperan sebagai orang yang memberikan pertanyaan yang disebut pewawancara, sedangkan informan dalam hal ini adalah mahasiswa yang berperan sebagai orang yang memberi jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh penulis.

3. Dokumentasi Dokumentasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dalam bentuk rekaman. Teknik rekam ialah pemerolehan data dengan cara merekam pemakaian bahasa lisan yang bersifat spontan. Perekaman ini dilakuan pada saat proses berlansungnya diskusi kelompok.

E. Analisi Data Analisis data yaitu kegiatan setelah data terkumpul dari seluruh narasumber atau sumber data lain yang terkumpul. Sementara analisis data melibatkan pengerjaan organisasi data, pemilihan menjadi satuan-satuan tertentu, sintesis data, pelacakan pola, penemuan hal-hal yang penting dan dipelajari, dan penentuan apa yang harus 14

dikemukakan pada orang lain. Dalam penelitian ini, data yang di analisis adalah data yang di peroleh dari hasil observasi dan wawancara.

15

DAFTAR PUSTAKA

16

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"

Format Laporan Kasus.docx
October 2019 72
Bahan Lo 1.docx
October 2019 44
Hubungan Dna Dan Rna.docx
October 2019 61
May 2020 4