BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah yang mencakupspektrum kondisi klinis
yang
ditandai
ketidakseimbangan
dengan
antara
iskemia
ketersediaan
miokard oksigen
secara
akut,diakibatkan
dengankebutuhannya.
ACS
karena dapat
diklasifikasikan menurut perubahanelectrocardiographic (ECG) yaitu mulai dari Non STElevasi Miocard Infraction(NSTEMI), ST-Elevasi Miocard Infraction (STEMI) sampai ke unstable angina(UA). ACS merupakan salah satu subset akut dari penyakit jantung koroner (PJK)dan saat ini telah menempati angka prevalensi 7,2% pada tahun 2007 di Indonesia.Walaupun
angka
prevalensi
PJK
tidak
setinggi
penyakit
lain
seperti
penyakitinfeksi, PJK masih dianggap sebagai penyumbang angka kematian tertinggi diIndonesia (Kementrian Kesehatan, 2008). Menurut laporan Rumah Sakit di Yogyakarta pada tahun 2009, penyakitjantung dan pembuluh darah yang merupakan penyakit kardiovaskular menunjukandominasi kematian mencapai 80%. Penyakit kardiovaskular menempati urutanteratas dari penyebab kematian dan jumlah kematiannya dari tahun ke tahun jugasemakin meningkat. Hal ini dapat disebabkan karena peningkatan status ekonomi,perubahan gaya hidup dan efek samping modernisasi. Setiap tahun, lebih dari satu juta penduduk Amerika menderita AcuteCoronary Syndrome (ACS). Faktor risiko Acute Coronary Syndrome (ACS)meliputi jenis kelamin (pria sedikit lebih tinggi risikonya), usia (pria > 45 tahun danwanita > 55 tahun), riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler, dan faktorrisiko yang dimodifikasi. Faktor risiko yang dimodifikasi meliputi hipertensi,hiperlipidemia, diabetes melitus, gaya hidup, dan kebiasaan merokok. Berbagai pedoman dan standar terapi telah dibuat untuk penatalaksanaanpenderita ACS. Perlu adanya suatu sistem yang secara terus –menerus memonitorterapi yang diterima pasien agar pengobatan serta penatalaksanaan pasien ACSberlangsung secara optimal, efektif, dan efisien sesuai dengan pedoman ataustandar terapi yang telah ditetapkan. Kebutuhan pasien akan terapi obat meliputi ketepatan indikasi, keefektifan,keamanan, dan kesesuaian. Apabila kebutuhan akan pengobatan atau drug relatedneeds tersebut tidak tercapai, maka hal tersebut didefinisikan sebagai drug relatedproblems (DRPs). DRPs 2
merupakan kejadian atau pengalaman tidakmenyenangkan yang dialami pasien yang melibatkan atau diduga berkaitan denganterapi obat dan secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien. Pelaksanaan secara optimal Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)dalam penatalaksanaan pasien PJK, yang meliputi manajemen DRPs adalah pilihanyang tepat dan strategis. Dalam upaya menunjang tenaga kesehatan bekerjasamauntuk mencapai dan menjamin proses terapi medis yang optimal. Prosespengobatan juga diharapakan dapat berjalan sesuai dengan standar pelayananprofesi dan kode etik yang telah ditetapkan.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Acute Coronary Syndrome 2.1.1 Definisi Acute Coronary Syndrome (ACS) atau yang lebih dikenal dengan sindrom koroner akut (SKA) merupakan manifestasi klinis dari fase kritis pada penyakit arteri koroner. Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah rupturnya plak atau erosi
karena
serangkaian pembentukan trombus sehingga menyebabkan penyumbatan parsial ataupun total
pada
pembuluh
darah.
Berdasarkan pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan
marker biokimia jantung, makaAcute Coronary Syndrome (ACS) dibedakan menjadi STsegment elevation myocardial infarction (STEMI), Non ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI), serta unstable angina pectoris. Pasien dikatakan mengalami UA apabila tidak ditemukan peningkatan biomarker kardiak didarah beberapa jam setelah onset awal nyeri dada iskemia. Presentasi klinis UA dapat berupa angina saat istirahat (biasanya berlangsung > 20 menit), onset baru suatu angina yang berat, dan pola angina crescendo (mengalami peningkatan dalam hal intensitas, durasi, atau kombinasinya). Pada NSTEMI iskemia yang terjadi cukup berat menyebabkan kerusakan miokard sehingga terjadi pelepasan penanda nekrosis miokard (Troponin T/I spesifik kardiak, atau fraksi creatinin kinase myocardial band (CKMB)) namun belum memberikan gambaran perubahan EKG berupa elevasi segmen ST, sedangkan pada STEMI terjadi infark pada daerah miokard yang luas sehingga memberikan gambaran elevasi segmenST pada EKG disertai suatu pelepasan penanda nekrosis miokard. Guidelines dari European Society of Cardiology (ESC) tahun 2012 mendefinisikan IMA sebagai kondisi dimana terdapat bukti nekrosis miokardial pada pasien yang menunjukkan gambaran klinis iskemia miokard yang akut. Deteksi infark miokard berdasarkan adanya peningkatan biomarker kardiak (yaitu CKMB dan atau troponin) di atas nilai normal dengan salah satu dari kondisi berikut : keluhan iskemia, adanya perubahan segmen ST dan atau gelombang T atau adanya gambaran left bundle branch block (LBBB),
4
adanya gelombang Q pada rekaman EKG, gambaran abnormalitas pergerakan dinding regional, dan identifikasi adanya trombus intrakoroner dengan angiografi atau autopsi. 2.1.2Epidemiologi Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian terbanyak diseluruh dunia. Pada tahun 2012, penyakit jantung iskemia bertanggung jawab terhadap sekitar 7,4 juta kematian diseluruh dunia. Berdasarkan data American Heart Association (AHA) pada tahun 2003 dilaporkan sekitar 71,3 juta penduduk Amerika menderita penyakit jantung dan menyebabkan sebanyak 1 juta kematian. Studi oleh Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) yang melibatkan populasi pasien di Amerika Serikat (AS) menemukan 38% penderita ACS mengalami STEMI sedangkan Euro Heart Survey on ACS-II (EHS-ACS-II) melaporkan sebanyak 47% pasien dengan STEMI. Kejadian SKA meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dimana didapatkan insiden yang tinggi pada laki-laki sampai usia 70 tahun. Wanita yang telah mengalami menopause selama 15 tahun memiliki resiko yang sama dengan laki-laki untuk mengalami ACS. Angka mortalitas penyakit kardiovaskular (KV) di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya, mencapai angka 30% pada tahun 2004 dibandingkan sebelumnya hanya sekitar 5 % pada tahun 1975. Data terakhir dari National Heart Survey , menunjukkan bahwa penyakit serebro-kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian di Indonesia. Studi kohort selama 13 tahun di tiga daerah di provinsi Jakarta menunjukkan bahwa PJK merupakan penyebab utama kematian di Jakarta. Data registri dari Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) dari tahun 2008-2009 mencatat sebanyak 2013 orang menderita SKA, dimana sebanyak 654 orang mengalami STEMI. 2.1.3 Faktor Resiko Sekitar 80 % pasien dengan infark miokard akut (IMA) dilaporkan memiliki setidaknya 1 dari faktor risiko major, termasuk diantaranya merokok, dislipidemia, hipertensi, diabetes melitus (DM) , dan obesitas abdomen. Faktor resiko major dari SKA diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan umur 2. Jenis Kelamin : Laki-laki 3. Dislipidemia 5
4. Diabetes Melitus 5. Merokok 6. Hipertensi 7. Obesitas Boudi and Ali (2008) mengklasifikasikan faktor resiko PJK menjadi : faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu : umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu: merokok, hipertensi, diabetes melitus, obesitas, hiperkolesterolemia, diet tinggi lemak jenuh, dan faktor hemostatik. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), faktor risiko PJK yang ikut berperan menyebabkan kematian adalah tingginya tekanan darah (13% dari kematian global), diikuti oleh konsumsi tembakau (9%), peningkatan gula darah (6%), rendahnya aktivitas fisik (6%), dan kelebihan berat badan atau obesitas (5%).
2.1.4 Patofisiologi Pembentukan plak aterosklerotik a. Inisiasi proses aterosklerosis: peran endotel Aterosklerosis merupakan proses pembentukanplak di tunika intima arteri besar danarteri
sedang.
Proses
ini
berlangsung
terusselama
hidup
sampai
akhirnya
bermanifestasisebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadimelalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasikolesterol LDL (low-density lipoprotein) kedalam tunika intima, respons inflamatorik, danpembentukan kapsul fibrosis. Beberapa faktor risiko koroner turut berperandalam proses aterosklerosis, antara lain hipertensi,hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok. Faktorrisiko ini dapat menyebabkan kerusakanendotel dan selanjutnya menyebabkandisfungsi endotel. Disfungsi endotel memegangperanan penting dalam terjadinya prosesaterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan proliferasi sel,kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, danakhirnya menyebabkan pertumbuhan plak. b. Perkembangan proses aterosklerosis: peran proses inflamasi Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutamamonosit, bermigrasi menuju ke lapisansubendotel dengan cara berikatan denganmolekul adhesif endotel. Jika sudah beradapada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami differensiasi menjadi makrofag.
6
Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi dan juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadisel foam dan selanjutnya membentuk fattystreaks. Makrofag yang teraktivasi ini melepaskanzat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnyamonocyte chemoattractant protein1, tumornecrosis factor α, IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactiveprotein) yang makin mengaktifkan proses inidengan merekrut lebih banyak makrofag, selT, dan sel otot polos pembuluh darah (yangmensintesis komponen matriks ekstraseluler)pada tempat terjadinya plak. c. Disrupsi plak, trombosis, dan SKA Beberapa penelitian menunjukkanbahwa inti lipid yang besar, kapsul fibrosayang tipis, dan infl amasi dalam plak merupakanpredisposisi untuk terjadinya ruptur.Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel,matriks subendotelial akan terpapardarah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkanadhesi trombosit yang diikuti aktivasidan agregasi trombosit, selanjutnya terbentuktrombus.
2.1.5 Manifestasi Klinis Riwayat perjalanan nyeri dada sangat penting untuk membedakan ACS dengan sejumlah penyakit lainnya. Gejalanya berupa gejala khas angina, yaitu nyeri dada tipikal yang berlangsung selama 10 menit atau lebih yang terasa seperti ditusuk-tusuk, ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, rasa diperas dan terpelintir.
Nyeri
tidak
sepenuhnya
dicetus
oleh
hilang
dengan
istirahat
atau
obat
nitrat
serta
dapat
serangkaian faktor seperti latihan fisik, stress, emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Nyeri juga bisa terjadi pada daerah-daerah yang independen dari nyeri dada. pasien dengan NSTE-ACS juga bisa timbul dengan diaphoresis, dyspnea, mual, sakit perut, atau sinkop. Dyspnea saat aktivitas adalah yang paling umum saat angina equivalent tanpa gejala nyeri. Faktor-faktor resiko lain yang harus menjadi pertimbangan adalah probabilitas usia yang lebih tua, jenis kelamin laki-laki, riwayat keluarga positif CAD, dan adanya penyakit arteri perifer, diabetes mellitus, insufisiensi ginjal, MI sebelumnya, dan revaskularisasi koroner sebelumnya. Meskipun pasien yang lebih tua (≥75 tahun) dan perempuan biasanya hadir dengan gejala khas ACS, namun frekuensi presentasi atipikal meningkat pada kelompokkelompok ini serta pada pasien dengan diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal, dan demensia. Gejala atipikal, termasuk nyeri epigastrium, gangguan pencernaan, nyeri pleuritik, dan meningkatkan dyspnea dengan tidak adanya nyeri dada harus meningkatkan kepedulian
7
terhadap ACS. Gejala lain termasuk masalah kejiwaan (misalnya, gangguan somatoform, serangan panik, gangguan kecemasan).
Gambar 1. Patofisiologi terjadinya sindroma koroner akut 2.1.6 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Pemeriksaan fisis pada pasien SKA dapat normal, namun tanda-tanda gagal jantung harus dievaluasi dalam menegakkan diagnosis dan tatalaksana SKA. Ronkhi halus dapat ditemukan pada kedua lapangan paru pada keadaan suatu gagal jantung akut. Suatu IMA dapat menyebabkan paradoxical splitting dari S2 atau murmur baru regurgitasi mitral akibat adanya disfungsi muskulus papilaris. Pemeriksaan fisis penting dilakukan untuk membedakan suatu SKA dengan diagnosis banding lainnya yang dapat meniru suatu SKA, seperti diseksi aorta, perikarditis akut, pneumothorax, atau aneurisme aorta abdominalis. Pemeriksaan EKG Berdasarkan guidelines ESC terbaru, perubahan EKG pada pasien dengan nyeri dada yang persisten dibagi menjadi 2 yaitu (Hamm, Bassand, et al., 2011): Pasien nyeri dada dengan elevasi segmen ST > 20 menit yang persisten, disertai inversi gelombang T dan atau ada gelombang Q. Perubahan EKG ini terjadi pada pasien STEMI. ST elevasi yang tipikal pada STEMI adalah bila didapatkan elevasi ST pada 2 sadapan yang berdekatan (contigous leads) ≥ 0,25 millivolts (mV) pada laki-laki < 40 tahun, dan ≥ 0,2 mV pada laki-laki > 40 tahun atau ≥ 0,15 mV pada wanita di sadapan V2-V3 dan atau ≥ 0,1 mV pada sadapan yang lain (bila tidak ada hipertropi ventrikel
8
kiri/left ventricle hypertrophy (LVH) atau LBBB,termasuk sadapan V3R , V4R dan sadapan V7-V9. Pasien nyeri dada tanpa disertai elevasi segmen ST dan bisa berupa depresi segmen ST yang persisten ataupun transient, inversi gelombang T, dan/atau gelombang T yang datar. Perubahan EKG ini terjadi pada pasien APTS/UA dan NSTEMI. Maka untuk membedakan keduanya digunakan petanda biomarker kardiak serial. Penanda Biokimia Kardiak/ Cardiac Marker Sel miokard yang mengalami injuri akan melepaskan protein dan enzim yang dikenal dengan penanda biokimia kardiak ke dalam darah. Penanda biokimia ini membantu para dokter untuk mementukan apakah pasien mengalami suatu IMA. Manfaat dari berbagai penanda kimia ditentukan oleh waktu dan durasi peningkatan kadarnya didarah. Troponin T dan troponin I merupakan penanda biokimia kadiak yang paling spesifik. Protein ini dalam keadaan normal tidak ditemukan diserum darah oleh karena itu peningkatan kadar diserum kedua penanda biokimia ini dapat memprediksi derajat pembentukan trombus dan embolisasi mikrovaskular yang berkaitan dengan lesi koroner. Kadar troponin I dan T mengalami peningkatan dalam empat sampai enam jam dari injuri miokard. Kadar troponin I tetap meningkat selama 4-7 hari sedangkan troponin T tetap meningkat dalam 10-14 hari. Troponin kardiak merupakan penanda biokimia pilihan dalam mendiagnosis SKA karena peningkatan kadarnya berkaitan dengan diagnosis yang lebih akurat, prediksi risiko tinggi kejadian KV yang akan datang bahkan bila kadar CKMB normal atau meningkat ringan. Selain itu troponin mengurangi positif palsu ketika terjadi suatu injuri muskuloskeletal (contohnya trauma atau pembedahan). Apabila pada laboratorium tidak tersedia troponin maka CKMB dapat dipilih sebagai alternatifnya, dimana CKMB merupakan enzim spesifik kardiak yang dilepaskan dalam empat sampai enam jam setelah injuri dan tetap meningkat selama 48 sampai 72 jam setelah injuri. Penanda kardiak lainnya adalah mioglobin yang merupakan suatu protein heme, tidak bersifat spesifik kardiak namun masih dapat dipertimbangkan sebagai penanda biokimia yang bermakna karena meningkat pertama kali setelah terjadi kerusakan miokard. Apabila onset gejala SKA pasien kurang dari 3 jam, CKMB dan troponin dapat belum mengalami peningkatan , maka pada kedaan ini pemeriksaan mioglobin dapat membantu diagnosis awal suatu IMA dan menentukan terapi segera.
9
2.1.7 Diagnosis Diagnosis infark miokard akut didasarkan atas sejumlah hal,dimulai dari anamnesa gejala klinis yang khas, pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG), serta pemeriksaan biomarker jantung. Sebagian besar pasien ACS datang dengan keluhan nyeri dada, rasa berat, atau rasa seperti ditekan, rasa seperti dicengkram di belakang sternum bias menjalar ke rahang, bahu, punggung atau lengan, nyeri dada tipikal yang berlangsung selama ± 20 Nyeri tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat atau obat nitrat. Maka, nyeri dada tersebut dicurigai sebagai suatu nyeri dada pada ACS. Selanjutnya segera lakukan pemeriksaan EKG, jika dijumpai adanya ST elevasi atau adanya suatu LBBB (Left Bundle Branch Block) baru, maka diagnosanya adalah STEMI, namun jika tidak dijumpai adanya ST elevasi namun dijumpai adanya ST depresi, T inverted atau gambaran EKG yang normal, maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan biomarker jantung, yaitu Troponin I atau Troponin T. Jika terdapatnya peningkatan nilai biomarker tersebut maka diagnosanya adalah NSTEMI, namun jika nilai biomarker normal, maka diagnosanya menjadi Unstable Angina (UAP).Pada pemeriksaan laboratorium, perbedaan antara angina pectoris tidak stabil dengan infark miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI) adalah pada beratnya iskemik.
Pada
NSTEMI,
iskemia
yang
terjadi
cukup
berat
sehingga
mengakibatkan kerusakan miokard ditandai dengan peningkatan enzim petanda jantung (CK-MB, troponin). Pada pasien yang datang dalam 4 jam setelah awitan gejala, diagnosis APTS dan STEMI sulit dibedakan karena peningkatan troponin T dan CK-MB baru terdeteksi 4-6 jam setelah gejala.
Gambar2. EKG, Seorang pria berusia 54 tahun dengan dua jam nyeri dada, tampak ST elevasi Lead V6 dan ST depresi di I, aVL, dan V1-V4.(3)
10
2.1.8 Penatalaksanaan Secara umum tatalaksana STEMI dan NSTEMI hampir sama baik pra maupun saat di rumah sakit hanya berbeda dalam strategi reperfusi terapi, dimana STEMI lebih ditekankan untuk segera melakukan reperfusi baik dengan medikamentosa (trombolisis) atau intervensi percutaneus coronary intervention (PCI). Berdasarkan
rekomendasi
AHA/ACC tahun 2013, sangat ditekankan waktu efektif reperfusi terapi. Tatalaksana ACS dibagi atas: 1.
Prehospital
Monitoring dan amankan ABC, persiapkan RJP dan defibrilasi
Berikan
Aspirin
dan
pertimbangkan
oksigen,
nitrogliserin
dan morfin jika
diperlukan
Pemeriksaan EKG 12 sadapan dan interpretasi
Lakukan pemberitahuan ke Rumah sakit untuk persiapan penerimaan pasien dengan STEMI
2. Hospital
Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen
Pasang intravena
Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang singkat dan terarah
Lengkapi check list fibrinolitik, cek kontraindikasi
Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit dan pembekuan darah
Pemeriksaan sinar X (<30 menit setelah pasien sampai IGD)
Berikan Aspirin 160-325 mg dikunyah
Nitrogliserin sublingual
Morfin IV jika nyeri dada tidak berkurang
3. Terapi Reperfusi Terapi reperfusi merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan STEMI tahap awal karena fase inilah yang menentukan progresivitas perburukan area infark. Bagi pasien dengan manifestasi klinis STEMI <12 jam dengan ST elevasi persisten atau adanya LBBB (Left Bundle Branch Block) baru, maka Percutaneous Coronary Intervention (PCI) primer atau terapi reperfusi secara farmakologi harus dilakukan sesegera mungkin. Penanganan reperfusi STEMI dalam 24 jam pertama sebelum pasien tiba di rumah sakit. Terapi PCI primer diindikasikan dilakukan dalam dua jam pertama 11
terhitung jarak pertama sekali pasien mendapatkan terapi (first medical contact). Dalam dua jam pertama tersebut terapi reperfusi dengan PCI primer lebih diutamakan dibandingkan dengan terapi dengan menggunakan fibrinolisis. Sebelum dilakukan PCI primer maka dianjurkan pemberian dual antiplatelet therapy (DAPT) meliputi aspirin dan adenosine diphosphate (ADP). 4. Terapi Non-reperfusi Terapi non reperfusi ini dilakukan jika onset serangan sudah melibihi 12 jam. Obat-obat yang digunakan meliputi antitrombotik, meliputi aspirin, clopidogrel, serta agen antithrombin seperti UFH, enoxaparin, atau fondaparinux harus diberikan sesegera mungkin. 5. Terapi STEMI untuk Jangka waktu yang lama terdiri dari : -
Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko, meliputi berhenti merokok, kontrol diet dan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, kontrol tekanan darah, intervensi faktor psikososial.
-
Terapi Antiplatelet, meliputi pemberian aspirin dan clopidogrel
-
Pemberian Beta-Blocker.
-
Pemberian agen untuk merendahkan kadar lemak tubuh serta nitrat sebagai anti angina.
2.1.9 Komplikasi 1. Gangguan Hemodinamik 1.1 Gagal Jantung Beberapa derajat kelainan pada saat fungsi ventrikel kiri terjadi pada lebih dari separuh pasien dengan infark miokard. Tanda klinis yang paling umum adalah ronki paru dan irama derap S3 dan S4. Kongesti paru juga sering terlibat pada foto thoraks dada. Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan tekanan arteri pulmonalis merupakan temuan hemodinamik karakteristik, namun sebaiknya diketahui bahwa temua ini dapat disebabkan oleh penurunan pemenuhan diastolik ventrikel dan atau penurunan isi
sekuncup
mengurangi
dengan kongesti
dilatasi jantung paru-paru
sekunder.
dengan
adanya
Diuretik sangat efektif karena gagal
jantung
sistolik
dan
diastolik.Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut berdasarkan suara ronkhi dan S3 gallop: -
Derajat I : tidak ada rhonki dan S3 gallop 12
-
Derajat II : Gagal jantung dengan ronkhi di basal paru (setengah lapangan paru bawah), S3 galopdan peningkatan tekananvena pulmonalis.
-
Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru di seluruh lapangan paru.
-
Derajat IV :Gagal jantung berat dengan edema paru di seluruh lapangan paru disertai dengan syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik ≤ 90mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis).
a. Hipotensi Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik menetap dibawah 90 mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun juga dapat disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut hipotensi dapat menyebabkan gangguan ginjal, nekrosis tubuler dan berkurangnya output urin. b. Kongesti paru Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada rontgen dada dan perbaikan klinis terhadap diauretik dan/atau terapi vasodilator. c. Syok Kardiogenik Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi selama perawatan.
Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik
mempunyai penyakit arteri koroner multivesel. 1.2 Aritmia dan Gangguan Konduksi a. Aritmia Supraventrikular Fibrilasi atrium merupakan komplikasi dari 6-28% infark miokard dan sering dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan gagal jantung. Fibrilasi atrium juga meningkatkan resiko stoke iskemik selama perawatan tetapi juga selama follow up, bahkan pada AF paroksismal yang telah kembali pada irama sinus daat pasien dipulangkan. 2
Komplikasi Kardiak 2.1 Regurgitasi Katup Mitral Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi ventrikel kiri, gangguan m. Papilaris atau pecahnya ujung m. Papilaris atau chordae tendinae. Keadaan ini biasanya ditandai dengan perburukan hemodinamis dengan dispnea akut, kongesti paru dan murmur sistolik baru yang biasanya tidak diperhatikan dalam konteks ini , diagnosis ini dicurigai dengan pemeriksaan dan perlu segera
13
dikonfirmasi dengan ekokardiografi darurat. Edema paru dan syok kardiogenik dapat terjadi dengan cepat. 2.3 Ruptur Jantung Ruptur bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut setelah infark transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba tiba dan kolaps kardiovaskular dengan disosiasi elektromekanis. Hemoperikardioneum dan tamponade jantung kemudian akan terjadi secara cepat dan bersifat fatal. Diagnosis dikonfirmasi dengan ekokardiografi . apabila tersumbat oleh formasi trombus, ruptur dinding subakut yang terdeteksi dengan cepat dapat dilakukan perikardiosentesis dan operasi segera. 2.1.10 Prognosis Prognosis dapat diperkirakan dengan menggunakan klasifikasi Killip dan TIMI score (Thrombolysis in Myocardial Infarction). Klasifikasi Killip adalah alat klinis sederhana untuk penentuan keadaan klinis pasien dengan ST-elevasi miokard infark (STEMI). Menurut Killip dan Kimball kriteria pasien dikelompokkan ke dalam 4 kelas selama pemeriksaan fisik. Pasien di Killip I menunjukkan tidak ada bukti gagal jantung (HF). Pasien di Killip II memiliki temuan klinis konsisten ringan sampai sedang HF, Kelas III menunjukkan edema paru yang jelas dan pasien kelas IV berada di kardiogenik syok. Risiko pasca-MI stratifikasi yang telah diturunkan dari beberapa uji klinis penting untuk mengatur pengobatan dan prognosis yang tepat. Pasien dengan kelas Killip tinggi memiliki gambaran angiografi yang lebih berat penyakit arteri koroner serta insiden yang lebih tinggi adanya disfungsi ventrikel, dan infark miokard yang luas. TIMI risk score berfungsi untuk mengidentifikasi STEMI signifikan gradien dari risiko
kematian
dengan
menggunakan
variabel yang
menangkap
sebagian
besar
informasi prognostik yang tersedia di multivariabel model. Kapasitas prediksi risiko ini skor stabil selama beberapa titik waktu, pada pria dan wanita, dan pada perokok dan bukan perokok. Selain itu,TIMI skor risiko dilakukan baik dalam data eksternal yang besar ditetapkan pasien dengan STEMI.
14
Gambar 2. TIMI Risk Score Klasifikasi grace mencantumkan beberapa variabel seperti. klasifikasi ini bertujuan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakti dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit
15
Gambar 3. Grace Risk Score
16
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Acute coronary syndrome (ACS) saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Sejak tahun 1990 prevalensi ACS terus meningkat, pada tahun 2004 American Heart Association (AHA) memperkirakan prevalensi ACS di Amerika Serikat mencapai 13.200.000 jiwa. Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013, ACS menjadi penyebab kematian terbanyak dengan mencapai jumlah 7 juta jiwa kematian setiap tahunnya di seluruh dunia, hal ini terutama terjadi di negara berkembang (WHO, 2013). Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 di Indonesia, prevalensi ACS mencapai 9,3% dan menempati peringkat ke-3 sebagai penyebab kematian terbanyak setelah stroke dan hipertensi (Depkes RI, 2008)
17
DAFTAR PUSTAKA
1. PERKI. 2014. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Edisi Ketiga. Perhimpunan Dokter Spesialid Kardiovaskular: Centra Communications 2. Overbaugh, Kristen J. 2009. Acute Coronary Syndrome. AJN : May 2009 Vol 109 No.5 3. Kunadian, Babu. 2016. Guideline for The Management of Patients with Non-ST Segment Elevation Acute Coronary Syndrome (NSTEACS) Including Unastable Angina And Non-Q Wave Myocardial Infraction. The NHS Constitution 4. Harun S, Alwi I. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing; 2009. Hlm 1757-1766 5. KEMENKES. 2013. Riset Kesehatan Dasar.
1