Bab 1 Ampe 2 Skripsi Idan.docx

  • Uploaded by: WildanZou
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 1 Ampe 2 Skripsi Idan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,189
  • Pages: 21
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi bakteri yang banyak terjadi pada anak di berbagai belahan dunia seperti, Benua India, Asia Tenggara, Asia Timur, Afrika, Amerika Tengah serta Amerika Selatan.1-3 Penyakit ini juga, merupakan salah satu penyakit sistemik akut yang masih menjadi endemik di beberapa Negara berkembang lainnya termasuk Indonesia.3 Dihubungkan dengan status sanitasi yang tidak adekuat terhadap kebersihan diri dan lingkungan di Negara tersebut, seperti air dan makanan yang pada dasarnya menjadi sarana transmisi agen penyebab demam tifoid, yaitu Salmonella enteric serovar typhi (Salmonella typhi) 4-6 Tahun 2009, WHO memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahunnya. Insidensi demam tifoid di Asia Tenggara pada tahun 2010 rata-rata 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Angka insidensi demam tifoid di Indonesia sendiri masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000 - 1.500.000 penderita. Insidensi demam tifoid di daerah Jawa Barat, terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk.7 Usia terbanyak pada kasus demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun dengan prevalensi 91%, dan kejadiannya meningkat pada usia setelah 5 tahun.8,9

2

Berdasarkan laporan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, demam tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15%, setelah diare.10 Hasil data yang diperoleh untuk kasus demam tifoid di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan angka morbiditas cenderung meningkat setiap tahunnya dengan rata-rata 500 per 100.000 penduduk. Sedangkan untuk angka

mortalitasnya

didapatkan

sekitar

0,6-5%

sebagai

akibat

dari

ketidaktepatan dan keterlambatan terapi yang diberikan, disamping tingginya biaya pengobatan.11 Pengobatan yang tidak diberikan secara tepat dan cepat, akan mengakibatkan perdarahan saluran cerna atau perforasi usus dapat terjadi setelah 1 minggu dari munculnya gejala, tifoid ensefalopati, meningitis hingga syok septik yang dapat berujung pada kematian.8,12 Sasaran terapi demam tifoid adalah membasmi bakteri penyebab infeksi yaitu Salmonella thypi, dengan cara menggunakan antibiotik sebagai kunci utama pengobatan.12 Sejak tahun 1948,

antibiotik Chloramphenicol mulai digunakan sebagai first line therapy untuk menangani demam tifoid yang dapat menurunkan angka mortalitas kurang dari 1% dan angka kesakitan akibat demam dari 14 – 28 hari menjadi 3 – 5 hari. Namun pada akhir tahun 1980, dilaporkan terdapat 3 antibiotik yang mengakibatkan multidrug resistant, yaitu Chloramphenicol, Ampicillin, dan Cotrimoxazole yang disebut dengan Multidrug Resistant Salmonella typhi (MDRST) atau Multidrug Resistant typhoid fever (MDRTF). Ketiga antibiotik

3

tersebut merupakan first line therapy yang direkomendasikan untuk menangani demam tifoid pada saat itu. Penggunaan Chloramphenicol mengakibatkan resistensi obat kepada penggunanya, akibat adanya plasmid yang memproduksi enzim

Chloramphenicol

Acetyltransferase

(CAT)

yang

mengaktivasi

Chloramphenicol. Hal inilah yang mengakibatkan, para ahli untuk mencari alternatif obat lain yang yang lebih efektif dalam mengobati demam tifoid khususnya pada MDRST, antara lain Ceftriaxone.5,6,13-17 Ceftriaxone menjadi antibiotik golongan Cephalosporin generasi ke tiga yang direkomendasikan sebagai first line therapy untuk demam tifoid, terutama pada anak karena minimnya efek samping yang dapat ditimbulkan dibandingkan

Chloramphenicol yang dapat menimbulkan depresi sumsum tulang belakang pada anak, seperti anemia aplastik, granulositopenia, trombositopenia.18,19 Namun ada pula beberapa studi yang menyatakan bahwa Chloramphenicol tetap menjadi first line therapy sedangkan Ceftriaxone merupakan second line therapy untuk demam tifoid.13 Hingga saat ini, Chloramphenicol masih banyak digunakan dalam pengobatan demam tifoid di berbagai sarana kesehatan di Indonesia, karena efektivitasnya pada Salmonella thypi masih tinggi disamping harga obat yang relatif murah.14,18

Efektivitas antibiotik yang tinggi pada suatu penyakit dapat dilihat dari cepatnya gejala menghilang, efek samping yang ringan, dan cepatnya waktu perawatan, begitupun sebaliknya.3,20 Gejala yang tak kunjung hilang diikuti dengan munculnya efek samping obat, akan membuat waktu yang diperlukan untuk perawatan semakin lama. Oleh sebab itu, salah satu tolak ukur utama

4

untuk penilaian efektivitas suatu antibiotik terhadap suatu penyakit dapat dinilai berdasarkan LOS (Length Of Stay) atau lamanya pasien dirawat.3 Berdasarkan hal – hal yang diuraikan diatas peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang Perbandingan Efektifitas Penggunaan Chloramphenicol

Dengan Ceftriaxone Pada Pasien Demam Tifoid Anak Berdasarkan Length Of Stay Di RSUD Al-Ihsan Kabupaten Bandung 2012 sampai 2013.

1.2. Rumusan Masalah 1) Bagaimana efektivitas penggunaan dari Chloramphenicol pada pasien demam tifoid anak berdasarkan Length Of Stay atau lama dirawat di RSUD Al-Islam Bandung tahun 2016-2017? 2) Bagaimana efektivitas penggunaan dari Ceftriaxone pada pasien demam tifoid anak berdasarkan Length Of Stay atau lama dirawat di RS AlIslam Bandung tahun 2016-2017?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum 1) Untuk membandingkan efektivitas antara penggunaan Chloramphenicol dan Ceftriaxone pada pasien demam tifoid anak berdasarkan Length Of Stay atau lama dirawat di RS Al-Islam Bandung tahun 2016 sampai 2017.

5

1.3.2

Tujuan Khusus

1) Untuk mengetahui efektivitas penggunaan dari Chloramphenicol pada pasien demam tifoid anak berdasarkan Length Of Stay atau lama dirawat di RS Al-Islam Bandung tahun 2016 sampai 2017. 2) Untuk mengetahui efektivitas penggunaan dari Ceftriaxone pada pasien demam tifoid anak berdasarkan Length Of Stay atau lama dirawat di RS Al-Islam Bandung periode 2016 sampai 2017.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1 Aspek Teoritis 1) Sebagai referensi ilmiah di bidang farmakologi anak. 2) Sebagai dasar penelitian lanjutan.

1.4.2

Aspek Praktis

1) Memberikan informasi kepada para dokter tentang antibiotik mana yang lebih efektif penggunaannya antara Chloramphenicol atau Ceftriaxone untuk pasien demam tifoid anak berdasarkan Length Of Stay atau lama dirawat.

6

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Kajian Pustaka 2.1.1 Demam Tifoid 2.1.1.1 Definisi Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada usus halus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi) dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.21,22

2.1.1.2 Etiologi Penyebab demam tifoid 96% adalah S. typhi, sisanya disebabkan oleh S. paratyphi.8 Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen

(K)

yang

terdiri

polisakarida.

Mempunyai

makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. S. typhi juga dapat memperoleh plasmid factor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.22,23

7

2.1.1.3 Patogenesis S. typhi masuk melalui makanan atau minuman lalu tertelan, bakteri tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan mencapai usus halus bagian ileum terminalis. Di usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian berpenetrasi melalui barier usus. Setelah itu, Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik yang disebut bakteria primer.24 Pada tahap ini, terjadilah periode inkubasi selama 7 sampai 14 hari, dimana gejala belum muncul dan kultur darah masih negatif.24,25 Lalu, bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh untuk berkolonisasi di dalam organ-organ sistem retikuloendotelial,

seperti

hati,

limpa,

dan

sumsum

tulang.

Setelah

bermultiplikasi, bakteri akan masuk kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi dan munculnya gejala klinis.24,26 Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik.27

2.1.1.4 Gejala klinis Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi khususnya pada anak. Semakin muda usia anak semakin tidak khas pula gejala klinisnya. Walaupun gejela klinis demam tifoid anak bervariasi, secara garis besar gejala yang timbul dapat dikelompokan menjadi, demam satu minggu atau lebih, gangguan pencernaan, dan gangguan kesadaran. 24,26

8

Usia di atas 10 tahun gejala klinisnya hampir sama dengan orang dewasa yaitu panas tinggi hingga kekurangan cairan dan perdarahan usus yang dapat terjadi perforasi.28 Awalnya, demam hanya samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh turun naik yakni pada pagi hari lebih rendah atau normal, sementara sore dan malam hari lebih tinggi. 24,26 Demam dapat mencapai 39-40 ºC. Intensitas demam akan makin tinggi disertai gejala lain seperti sakit kepala, diare, nyeri otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual, muntah, hepatomegali, splenomegali atau keduanya, hingga penurunan kesadaran pada anak. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang.28 Penderita anak lebih sering mengalami diare, sementara dewasa cenderung mengalami konstipasi.24,28 Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau makulopapular yaitu bintik kemerahan pada kulit (rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta menetap selama 2-3 hari.24

2.1.1.4 Diagnosis Diagnosis awal dilihat dari munculnya demam yang naik secara bertahap tiap harinya, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, dan selanjutnya pada minggu kedua demam terus menerus akan tinggi terutama sore hingga malam hari (step-ladder temperature chart).8,28 Kemudian anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung, hepatomegali, dan sebagian besar anak

9

yang mengalami demam tifoid menunjukan lidah tifoid, yaitu pada bagian lidah tengah kotor, bagian pinggir hiperemis dan tremor saat dijulurkan. Pada demam tifoid yang parah, dapat pula dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan ikterus.8 Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memperoleh diagnosis pasti dari demam tifoid, Pada permulaan penyakit, dapat dijumpai pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri, sedangkan pada stadium lanjut terjadi pergeseran darah tepi ke kanan (limfositosis relatif), leukopenia, trombositopenia, dan anemia.8 Gold standart diagnosis dari demam tifoid yaitu apabila ditemukan S. typhi pada biakan darah, urin atau feses dan atau pemeriksaan serologis didapatkan titer O Ag ≥ 1/200 atau meningkat lebih dari 4 kali dalam interval 1 minggu (titer fase akut konvalesens).22,26,28

2.1.1.5 Terapi Tujuan terapi demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian.26 Terdapat 3 prinsip penatalaksanaan demam tifoid, yaitu istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang, serta pemberian antibiotik. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi S. typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia. Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas S. typhi setempat, diisebabkan munculnya S. typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik (MDRST) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan dan juga

10

berdasarkan keparahan penyakit.26,29 Pada pasien demam tifoid ringan tanpa komplikasi dapat diobati di rumah dengan tirah baring, pemenuhan kebutuhan cairan dan nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat dirumah sakit.26 Chloramphenicol masih merupakan pilihan utama untuk pengobatan demam tifoid karena efektif, murah, mudah didapat, dan dapat diberikan secara oral.30 Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10 sampai 14 hari atau sampai 5 sampai 7 hari setelah demam turun. Umumnya perbaikan klinis sudah tampak dalam waktu 72 jam dan suhu akan kembali normal dalam waktu 3-6 hari. Namun, dalam lima tahun terakhir telah dilaporkan kasus demam tifoid berat pada anak bahkan fatal yang disebabkan oleh adanya resistensi obat ganda terhadap Salmonella typhi (MDRST).18,30 Disamping itu pemakaian chloramphenicol dapat menimbulkan efek samping berupa supresi sumsum tulang dan yang paling ditakuti terjadinya anemia aplastik.30 Cephalosporin 3rd generation (ceftriaxone, cefotaxime, cefixime),

fluoroquinolon

(ciprofloxacin,

ofloxacin,

perfloxacin)

dan

azythromycin saat ini sering digunakan untuk mengobati demam tifoid MDRST.13,14 Ampicilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan dengan chloramphenicol. Amoxicilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian peroral memberikan hasil yang setara dengan chloramphenicol walaupun penurunan demam lebih lambat.

11

Kombinasi trimethoprim sulfametoksazol (TMP-SMZ) memberikan hasil yang kurang baik dibanding chloramphenicol.22

Tabel 2.1. Terapi antibiotik demam tifoid ringan tanpa komplikasi Terapi lini pertama Antibiotik Demam tifoid ringan tanpa komplikasi Sensitif

Multidrug resistance

Quinolone resistance

Fluoroquinolone (ofloxacin atau ciprofloxacin) Fluoroquinolone Atau Cefixime Azithromycin Atau Ceftriaxone

Dosis harian (mg/kg)

Pemberian (hari)

15

5-7

15

5-7

15-20

7-14

8-10

7

75

10-14

Dikutip dari : WHO, 2003.31

Tabel 2.2. Terapi antibiotik demam tifoid ringan tanpa komplikasi Terapi lini kedua Antibiotik Demam tifoid ringan tanpa komplikasi Sensitif

Multidrug resistance

Chloramphenicol Amoxicillin TMP-SMX Azithromycin Cefixime

Dosis harian (mg/kg)

Pemberian (hari)

50-75 75-100 8-40 8-10 15-20

14-21 14 14 7 7-14

Quinolone resistance

Cefixime

Dikutip dari : WHO, 2003.31

15-20

7-14

12

Tabel 2.3. Terapi antibiotik demam tifoid berat dengan komplikasi Terapi lini pertama Antibiotik Demam Tifoid Berat Membutuhkan Terapi Parenteral Sensitif

Multidrug resistance

Quinolone resistance

Fluoroquinolone (ofloxacin atau ciprofloxacin) Fluoroquinolone

Ceftriaxone atau Cefotaxime

Dosis harian (mg/kg)

Pemberian (hari)

15

10-14

15

10-14

15-20

7-14

60

10-14

80

Dikutip dari : WHO, 2003.31

Tabel 2.4. Terapi antibiotik demam tifoid berat dengan komplikasi Terapi lini kedua Antibiotik Demam Tifoid Berat Membutuhkan Terapi Parenteral Sensitif

Multidrug resistance

Quinolone resistance

Dosis harian (mg/kg)

Pemberian (hari)

Chloramphenicol Ampicilin TMP-SMX Ceftriaxone atau Cefixime

100 100 8-40 60

14-21 14 14 10-14

Fluoroquinolone

20

Dikutip dari : WHO, 2003.31

80

14

13

2.1.1.6 Komplikasi Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada pasien yang sudah terdiagnosis selama lebih dari 2 minggu.25,26 Komplikasi yang sering dijumpai adalah perdarahan usus dan perforasi.13 Perdarahan usus umumnya ditandai keluhan nyeri perut, perut membesar, nyeri tekan, seringkali disertai dengan penurunan tekanan darah dan shock, diikuti perdarahan saluran cerna sehingga muncul melena ataupun mengakibatkan peritonitis. Komplikasi lainnya adalah reaktif hepatitis, pneumonia, pankreatitis, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada sistem tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen.25

2.1.2 Chloramphenicol Diisolasi pertama kali pada tahun 1947 dari Streptomyces venezuelae oleh David Gottlieb dari sampel tanah di Venezuela. Merupakan golongan antibiotik broad spectrum yang bersifat bakteriostatik, namun dapat pula menjadi bakterisidal pada Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis, dan Bacteroides. Chloramphenicol efektif digunakan untuk melawan bakteri gram negatif ataupun gram postif terutama pada anaerobic organisms.32-34 Resistensi pada chloramphenicol terjadi ketika organisme memediasi plasmid yang diperantarai oleh factor-R acetyltransferases.33,34

mengakibatkan inaktifasi dari

14

2.1.2.1 Mekanisme Kerja Menghambat sintesis protein bakteri dengan cara berikatan dengan ribosom subunit 50s pada bakteri sehingga dapat menghambat transpeptidasi melalui enzim peptidyl transferase.33,34

2.1.2.2 Indikasi Demam tifoid, meningitis, pneumonia, riketsiosis.34,35

2.1.2.3 Kontraindikasi pasien neonatus, pasien dengan gangguan faal hati, dan pasien yang hipersensitif pada chloramphenicol. Jika terpaksa diberikan pada neonatus, dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB sehari.34,35 2.1.2.4 Dosis dan Aturan Pakai32-34 1) Dewasa: 50mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap 6 jam. 2) Anak: 50-75 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap 6 jam. 3) Bayi < dari 2 minggu: 25mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap 6 jam. 2.1.2.5 Farmakokinetik32-34 1) Absorbsi Setelah pemberian oral,

diserap secara cepat di gastrointestinal

tract. Bioavailability 75% sampai 90%. Kadar puncak dalam darah

15

tercapai hingga 2 jam dalam darah. Untuk anak biasanya diberikan dalam bentuk ester, palmitat atau stearat yang rasanya tidak pahit. Bentuk ester ini akan mengalami hidrolisis dalam usus .Untuk pemberian secara parenteral diberikan dalam bentuk suksinat yang akan dihidrolisis dalam jaringan. 2) Distribusi Chloramphenicol berdifusi secara cepat dan dapat menembus sawar plasenta dan air susu ibu. Kosentrasi tertinggi terdapat pada hati dan ginjal, dan terendah pada otak dan CSF (Cerebrospinal Fluid). 3) Metabolisme Dimetabolisme di hati dan ginjal. Masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50% chloramphenicol dalam darah terikat dengan albumin.32-34 4) Eliminasi Dalam waktu 24 jam, 80-90% chloramphenicol yang diberikan secara oral akan diekskresikan melalui ginjal. Dari seluruh chloramphenicol yang diekskresi hanya 5-10% yang berbentuk aktif. Sisanya terdapat dalam bentuk glukoronat atau hidrolisat lain yang tidak aktif. Bentuk aktif kloramfenikol diekskresi terutama melalui filtrat glomerulus sedangkan metabolitnya dengan sekresi tubulus. 32-34 5) Efek samping

16

a. Reaksi hematologik Terdapat 2 bentuk, yaitu reaksi toksik dengan manifestasi depresi

sumsum

tulang

belakang

seperti,

anemia,

retikulositopenia, peningkatan serum iron, dan iron binding capacityserta vakuolisasi seri eritrosit muda. Reaksi ini terlihat bila kadar kloramfenikol dalam serum melampaui 25 µg/ml, karena dosis yang progresif dan pulih jika pemberian obat dihentikan. Bentuk ke dua adalah anemia aplastik dengan pansitopenia yang irreversibel dan memiliki prognosis yang sangat buruk. Timbulnya tidak tergantung dari besarnya dosis atau lama pengobatan. Insiden berkisar antara 1: 24000 – 50000. Diduga karena efek idiosinkrasi dan mungkin disebabkan oleh kelainan genetik. 32-34 b. Reaksi saluran cerna Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare, dan enterokolitis.32 c. Gray baby syndrome Pada neonatus, terutama pada bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200mg/kg BB) dapat timbul gray baby syndrome, biasanya antara hari ke-2 sampai hari ke-9 masa terapi, rata-rata hari ke 4. Bayi akan terlihat sakit berat, lalu diawali dengan munculnya muntah, tidak mau menyusu, pernapasan cepat dan tidak teratur, distensi abdomen, sianosis, Pada hari selanjutnya

17

tubuh bayi menjadi lemas dan berwarna keabu-abuan, dapat pula terjadi hipotermia. Angka kematian kira-kira 40%, sedangkan sisanya sembuh sempurna. Efek toksik ini diduga disebabkan akibat dari sistem konjugasi oleh enzim glukoronil transferase pada bayi belum sempurna dan chloramphenicol yang tidak terkonjugasi belum dapat diekskresi dengan baik oleh ginjal.32-34 d. Reaksi neurologik Bermanifestasi dalam bentuk depresi, bingung, delirium dan sakit kepala.32

2.1.3 Ceftriaxone Diisolasi pertama kali oleh Brotzu pada tahun 1948, yang berasal dari jamur Cephalosporium acremonium.

Ceftriaxone merupakan golongan

cephalosporin generasi ke III berspektrum luas, semisintetik yang diberikan secara IM atau IV. Ceftriaxone bersifat bakteriosidal.33 Antibiotik ini memiliki aktivitas yang sangat kuat untuk melawan bakteri gram negatif dan gram positif dan

beberapa

bakteri

anaerob

lain

termasuk

Streptococcus

pneumoniae, Hemophilus inlfluenzae, dan Pseudomonas.35

2.1.3.1 Mekanisme Kerja Menghambat sintesis dinding sel mikroba dengan cara berikatan dengan PBPs (Penicillin-Binding Proteins) pada membran sel mikroba yang akan menghambat proses transpeptidase pada pembentukan peptidoglikan dinding mikroba, sehingga sintesis dinding bakteri menjadi terganggu.34

18

2.1.3.2 Indikasi Infeksi-infeksi berat yang disebakan oleh bakteri gram positif maupun gram negative yang resisten terhadap antibiotika lain36 : 1) Infeksi saluran pernapasan 2) Infeksi saluran kemih 3) Infeksi gonore 4) Sepsis 5) Meningitis 6) Infeksi tulang dan jaringan lunak 7) Infeksi kulit

2.1.3.3 Kontraindikasi Hipersensitif terhadap ceftriaxone dan golongan cephalosporin lainnya. Ceftriaxone tidak boleh diberikan pada neonatus dibawah 28 hari atau diatas 28 hari dengan keadaan hiperbilirubinemia., karena berkompetisi dengan bilirubin untuk berikatan dengan albumin serum, sehingga dapat menyebabkan ensefalopati bilirubin. 36 2.1.3.4 Dosis dan aturan pakai36 Tiap vial ceftriaxone mengandung ceftriaxone sodium setara dengan ceftriaxone 1 gram. Diberikan secara intramuskular atau intravena. 1) Dewasa dan anak-anak diatas 12 tahun : 1-2 g sekali sehari secara intravena Dosis lebih dari 4 g sehari harus diberikan dengan interval 12 jam.

19

2) Bayi dan anak-anak di bawah 12 tahun : a. Bayi 14 hari : 20 – 50 mg/kg berat badan sekali sehari b. Bayi 15 hari s/d 12 tahun : 20 – 80 mg/kg berat badan sekali sehari c. Anak-anak dengan berat badan 50 kg atau lebih : dapat digunakan dosis dewasa melalui infus paling sedikit > 30 menit. 2.1.3.5 Farmakokinetik33,34,36 1) Absorbsi Ceftriaxone terikat protein plasma 85 hingga 95%. Absorbsi ceftriaxone di saluran cerna buruk, karena itu diberikan secara parenteral. Konsentrasi plasma sekitar 80µg/mL telah dilaporkan 2 jam setelah injeksi IM 1 gr ceftriaxone. Waktu paruh eliminasi tidak berubah

pada

pasien

dengan

gangguan

ginjal,

tetapi mengalami penurunan terutama ketika ada gangguan hati.36 2) Distribusi Di distribusikan secara luas dalam jaringan tubuh dan cairan. Umumnya mencapai konsentrasi terapeutik dalam CSF. Melintasi plasenta dankonsentrasi rendah telah terdeteksi dalam ASI konsentrasi tinggi dicapai dalam empedu. 3) Metabolisme Ceftriaxone tidak di melewati first pass metabolisme, karena bekerja secara sistemik.

20

4) Eliminasi Sekitar 33 hingga 67 % diekskresikan dalam urin, terutama oleh filtrasi glomerulus, sisanya diekskresikan dalam empedu dan feses. 5) Efek samping a. Gangguan pencernaan : diare, mual, muntah, stomatitis, glositis. b. Reaksi kulit : dermatitis, pruritus, urtikaria, edema, eritema multiforma, dan reaksi anafilaktik. c. Hematologi

: eosinofil

anemia

hemolitik,

trombositosis,

leukopenia, granulositopenia. d. Gangguan sistem saraf pusat : sakit kepala. e. Efek samping lokal : iritasi akibat dari peradangan dan nyeri pada tempat yang diinjeksi. f. Gangguan fungsi ginjal : untuk sementara terjadi peningkatan BUN. g. Gangguan fungsi hati : untuk sementara terjadi peningkatan SGOT atau SGPT.

21

2.2. Kerangka Pemikiran

Penggunaan Antibiotik

Demam Tifoid Anak

Chloramphenicol

Ceftriaxone

Menghambat sintesis protein Salmonella thypi

Merusak dinding sel Salmonella thypi

Efektivitas

Penurunan demam

LOS (Length Of Stay) atau lamanya dirawat Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

Keterangan : =

Variabel yang diteliti.

=

Variabel yang tidak diteliti.

Efek samping obat

Related Documents

Skripsi Baabullah Bab 2
November 2019 16
Skripsi Baabullah Bab 1
November 2019 32
Bab Skripsi
August 2019 54

More Documents from "Ilfin Maghfirotillah"

Sidang Up Idaaan.pptx
April 2020 18
Anatomi Ginjal.docx
April 2020 14
Bst Wildaan Dr Reti.pptx
April 2020 15
Bab I Fix Billa.docx
April 2020 26
Diuretik.docx
April 2020 2
Minicex Wildan.pptx
April 2020 10