Bab 1-7 Sidang Tugas Akhir.docx

  • Uploaded by: astra yudhaTagamawan
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 1-7 Sidang Tugas Akhir.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,446
  • Pages: 57
HUBUNGAN LAMA FERMENTASI TELU IKAN FURUD ( GARRA SP. ) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI STAPHYLOCOCCUS AUREUS

TUGAS AKHIR

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh: Vani Lusiani NPM: 13700237

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA SURABAYA 2017

HALAMAN PERSETUJUAN

HUBUNGAN LAMA FERMENTASI TELU IKAN FURUD ( GARRA SP. ) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI STAPHYLOCOCCUS AUREUS

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Salah Satu Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh: Vani Lusiani NPM: 13700237

Menyetujui untuk diuji pada tanggal :

Pembimbing,

Dr.dr. Muzaijadah Retno Arimbi,Sp.P NIK 10430-ET

ii

HALAMAN PENGESAHAN

TUGAS AKHIR

HUBUNGAN LAMA FERMENTASI TELU IKAN FURUD ( GARRA SP. ) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI STAPHYLOCOCCUS AUREUS

Oleh: Vani Lusiani NPM: 13700237

Telah diuji pada Hari

: ...............................

Tanggal

: ...............................

Dan dinyatakan lulus oleh :

Pembimbing,

Penguji,

Dr. dr.Muzaijadah Retno Arimbi,Sp.P

dr. Sukendro Sendjaja,MSc,Sp. PD

NIK 10430-ET

NIK 11552-ET

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berbagai kemudahan penulis untuk menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul “HUBUNGAN LAMA FERMENTASI TELU IKAN FURUD ( GARRA SP.) TERHADAP

PERTUMBUHAN

BAKTERI

STAPHYLOCOCCUS

AUREUS”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas akhir ini masih jauh dari kesempurnaan karena menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu demi sempurnanya tugas akhir ini, penulis sangat membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Penyusunan tugas akhir ini berhasil diselesaikan karena bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. Tuhan Yesus 2. Prof. Dr. Soedarto, DTMH, PhD, SpParK Microbiologist Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya yang telah memberi kesempatan kepada penulis menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. 3. Dr.dr.Muzaijadah Retno Arimbi,Sp.P sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta dorongan dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. 4. dr. Sukendro Sendjaja,MSe,Sp.PD sebagai penguji Tugas Akhir. 5. Segenap Tim Pelaksana Tugas Akhir dan Sekretariat Tugas Akhir Fakultas Kedokteran

Universitas

Wijaya

Kusuma

Surabaya

yang

telah

memfasilitasi proses penyelesaian Tugas Akhir. 6. Keluarga tercinta ( Papa Elisa, Mama Rosmiathy, kakak Vivi jhayanti, Andy Gunawan, Desen Arifin, Donny jerry, Dessy Ratnasari, Wani Desdegri, Adik Vellycia ) Terimakasih banyak atas dukungan dan doanya selama Menyelesaikan Tugas Akhir.

iv

7. Kepada yang terkasih Sigar Ricky, Terimakasih sudah mendukung dan mau mendengarkan keluhkesah selama menyelesaikan Tugas Akhir ini. 8. Kepada teman atau saudara yang terkasih Hanastasia Priskila,T.STP, Evy Novita, Christin Merrina lette, Mia Audina, Jetty, Terimakasih karena sudah mendukung penulis selama menyelesaikan Tugas Akhir ini. 9. Kepada 29 orang Teman Seperjuangan dari Kabupaten Malinau dan Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang telah membantu kelancaran dalam penyusunan Tugas Akhir ini.

Penulis mengharapkan segala masukan demi kesempurnaan tulisan dalam Tugas Akhir ini. Semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi berbagai pihak yang terkait. Surabaya, 28 Agustus 2016

Penulis

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................

i

HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................

ii

HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................

iii

KATA PENGANTAR .....................................................................................

iv

DAFTAR ISI ....................................................................................................

vi

DAFTAR TABEL ............................................................................................

viii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................... B. Rumusan Masalah .......................................................................... C. Tujuan Penelitian ........................................................................... D. Manfaat Penelitian .........................................................................

1 3 3 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori ............................................................................. 1. Fermentasi Telu Ikan Furud ( Garra Sp.) ............................... 2. Deskripsi Ikan Furud ............................................................... a. Klasifikasi Ikan Furud ( Garra Sp.) ................................ b. Bakteri ............................................................................. c. Bakteri Pada Ikan ............................................................ 3. Pertumbuhan Bakteri ............................................................... a. Fase Adaptasi .................................................................. b. Fase Pertumbuhan Awal ................................................. c. Fase Pertumbuhan Logaritmik ........................................ d. Fase Pertumbuhan Lambat .............................................. e. Fase Pertumbuhan Tetap ( Statis ) .................................. f. Fase Menuju Kematian atau Fase Kematian ................... 4. Faktor – Faktor Pertumbuhan Bakteri ..................................... 5. Fermentasi Bahan Pangan ....................................................... 6. Pengawetan Makanan .............................................................. 7. Proses Penggaraman ................................................................ a. Penggaraman Kering ( Dry Salting ) ................................. b. Penggaraman Basah ( Wet Salting ) .................................. c. Penggaraman Campuran ( Kench Salting ) ....................... 8. Bakteri Staphylococcus aureus ...............................................

5 5 7 7 8 10 13 14 14 14 15 15 15 16 18 20 23 24 25 25 26

vi

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kerangka Konsep .......................................................................... B. Hipotesis ........................................................................................

31 31

BAB IV METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian .................................................................... B. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... C. Variabel Penelitian ........................................................................ D. Definisi Operasional Variabel ....................................................... E. Bahan dan Alat .............................................................................. F. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ G. Analisa Data ..................................................................................

32 33 33 33 34 35 37

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................

39

vii

DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Jenis-jenis ikan yang biasa digunkan dalam pembuatan Telu Ikan ..............................................................................................

viii

6

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Gambar III.1 Gambar IV.1

Ikan Furud (Garra Sp.) ........................................................ Kerangka Konsep ................................................................... Kerangka Penelitian.................................................................

ix

8 31 33

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Telu merupakan makanan tradisional yang dibuat dari ikan furud, ikan

patin, ikan seluang, ikan lais, ikan baung, dan ikan bandeng, dikomsumsi oleh masyarakat suku Dayak Lundayeh di daerah Kabupaten Malinau. Makanan ini dibuat dari ikan air tawar, diawali dengan proses pembersihan ikan, pemberian garam dan beras atau singkong, kemudian didiamkan selama kurang lebih satu minggu. Metode pengawetan ini sangat praktis dan mudah dikerjakan dengan peralatan yang sederhana, digemari masyarakat karena memiliki aroma dan rasa yang khas serta bernilai ekonomis (Afrianto dan Evi, 2011). Telu ikan merupakan ikan awetan yang diperoleh dengan cara penggaraman dan menggunakan bahan-bahan tambahan misalnya sumber karbohidrat. Hasil fermentasi inilah yang akan menjadi bahan pengawet ikan dan memberikan rasa aroma yang khas (Afrianto dan Evi, 2011). Ikan dikenal sebagai sumber protein hewani yang mempunyai nilai gizi tinggi. Hal ini karena protein ikan lebih mudah dicerna dan mempunyai kandungan asam amino essensial yang lengkap dan seimbang. Bagaimana cara pengolahan ikan yang telah banyak dilakukan antara lain pengaraman, pengeringan, perebusan dan fermentasi. Semuanya bertujuan untuk mengawetkan atau memperpanjang masa simpan ikan tersebut (Rahayu, dkk, 1992) Proses fermentasi ikan furud terjadi secara spontan dengan melibatkan

1

2

aktivitas bakteri dan berlangsung secara alami, dalam arti proses terjadi dengan sendirinya, dengan mengandalkan enzim yang ada pada ikan atau bakteri yang telah ada pada ikan. Penambahan garam dalam proses fermentasi bertujuan untuk memacu pertumbuhan bakteri dan menekan pertumbuhan bakteri pembusuk yang tidak diinginkan selama proses penyimpanan (Afrianto dan Evi, 2011). Diduga pada fermentasi ikan Furud beberapa jenis bakteri ikut berperan aktif sehingga dapat dihasilkan telu yang beraneka ragaman rasa. Berdasarkan fakta ini maka dilakukan penelitan isolasi dan identifikasi bakteri yang berperan di dalam proses fermentasi Telu Ikan Furud (Garra sp.) makanan tradisional suku dayak Lundayeh. Staphylococcus aureus adalah suatu bakteri penyebab keracunan yang memproduksi enterotoksin. Bakteri ini sering ditemukan pada makanan- makanan yang mengandung protein tinggi, misalnya sosis, telur dan sebagainya. Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk kokus dengan diameter 0.7 - 0.9 µm dan termasuk dalam famili Micrococcaceae. Bakteri ini tumbuh secara anaerobik fakultatif dengan membentuk kumpulan sel-sel seperti buah anggur. Staphylococcus aureus tahan garam dan tumbuh baik pada medium yang mengandung 7.5% NaCl, serta dapat memfermentasi manitol. Bakteri ini pada umumnya memproduki koagulase sehingga dapat dibedakan atas beberapa grup berdasarkan sifat imunitas koagulasenya, yaitu koagulase tipe I sampai VIII (Irianto, 2013). Enterotoksin yang diproduksi oleh Staphylococcus aureus bersifat tahan panas, dan masih aktif setelah dipanaskan pada suhu 100OC selama 30 menit.

3

Enterotoksi Staphylococcus aureus dapat dibedakan atas lima tipe, yaitu : Tipe A, Tipe B, Tipe C, Tipe D dan Tipe E. Dalam kasus keracunan makanan, perlu dilakukan identifikasi sampai didapatkan tipe koagulase, tipe toksin dan tipe fage.

B.

Rumusan Masalah Apakah ada hubungan lama fermentasi telu ikan furud (Garra sp.) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus

C.

Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui adanya hubungan lama fermentasi telu ikan furud (Garra sp.) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. 2. Tujuan Khusus a. Menganalisis pertumbuhan bakteri Staphylococcus Aureus Pada telu ikan furud (Garra sp.) yang difermentasi selama 1 hari b. Menganalisis pertumbuhan bakteri Staphylococcus Aureus Pada telu ikan furud (Garra sp.) yang difermentasi selama 2 hari c. Menganalisis pertumbuhan bakteri Staphylococcus Aureus Pada telu ikan furud (Garra sp.) yang difermentasi selama 3 hari d. Membandingkan pertumbuhan bakteri Staphylococcus Aureus pada telu ikan furud (Garra sp.) yang difermentasi selama 1,2 dan 3 hari

4

D.

Manfaat Penelitian Manfaat dilakukan penelitian ini anatara lain :

1.

Sebagai informasi untuk mengetahui proses fermentasi pada Telu ikan Furud (Garra sp.).

2.

Sebagai bahan referensi dan informasi bagi penelitian selanjutnya dan sebagai bahan masukan mata kuliah mikrobiologi pangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.

Landasan Teori

1.

Fermentasi Telu Ikan Furud (Garra sp.) Pengawetan ikan tawar sudah banyak dilakukan dan dikenal oleh sebagian

besar masyarakat Indonesia dengan sebutan yang berbeda-beda. Di daerah Jawa Tengah dan Sumatera Selatan, dengan sebutan bekasam atau bekasem, sedangkan di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat lebih dikenal dengan nama wadi dan pekasam (Margono dan Tri, 1993) dan sebutan telu digunakan oleh masyarakat suku Dayak yang ada di Kabupaten Malinau khususnya Dayak Lundayeh. Pembuatan Telu dilakukan sesuai prosedur sebagai berikut : singkong yang telah dibersihkan dan dijemur sampai kering, selanjutnya diparut dan ditumbuk sampai halus. Tepung singkong sebanyak 300 gram kemudian disangrai tanpa menggunakan minyak goreng. Ikan Furud disiapkan dengan pembersihan isi perut, lalu dipotong-potong sehingga didapatkan 600 gram ikan. Potongan ikan ditiriskan untuk mengurangi kadar air, selanjutnya ditambahkan 150 gram garam dapur pada ikan dan dicampurkan dengan rata. Kemudian tepung singkong yang disangrai dicampurkan secara merata, dengan ikan yang telah digarami, campuran tersebut selanjutnya disimpan dalam toples di ruangan yang lembab dan dijahukan dari cahaya matahari. Fermentasi dilakukan selama kurang lebih 3 sampai 7 hari.

5

6

Semua jenis ikan air tawar dapat digunakan sebagai bahan dalam pembuatan telu, beberapa jenis ikan yang umumnya digunakan disajikan dalam Tabel 1. Tabel II.1. Jenis-jenis ikan yang biasa digunkan dalam pembuatan Telu Ikan No. Nama Ikan Nama Ilmiah 1. Ikan Furud Garra sp 2. Ikan Patin Pangasium sp 3. Ikan Selung Osteochillus schlegeli 4. Ikan Lais Cryptopterus lais 5. Ikan Baung Leiocassis sp 6. Ikan Bandeng Chanos chanos Sumber : Informasi dari Masyarakat (vapublished) Beberapa kelemahan yang membuat ikan cepat membusuk adalah sebagai berikut : a.

Tubuh ikan mengandung air yang kadarnya tinggi (80%) dan pH tubuh mendekati netral. Kondisi demikian merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri pembusukan atau pun mikroorganisme lain.

b.

Daging ikan mengandung asam lemak tak jenuh berkadar tinggi yang sifatnya sangat mudah mengalami proses oksidasi. Kondisi demikian ini sering menimbulkan bau tengik pada ikan. Penyebab kemorosotan mutu atau pembusukan ikan, sebenarnya secara

alam enzim sudah terdapat pada tubuh ikan sendiri, yaitu enzim dari daging ikan (cathepsin) dan enzim pencernaan (trypsin, chymotrypsin dan pepsin) serta enzimenzim dari mikroorganisme itu sendiri. Karena ikan kaya akan protein dan hanya sedikit sekali karbohidrat, maka dalam proses kemunduran mutu, yang berperan penting adalah enzim-enzim yang menguraikan protein (enzim proteolitis) (Moeljanto, 1982).

7

Proses pembusukan pada ikan dapat disebabkan terutama oleh aktivitas enzim yang terdapat di dalam tubuh ikan itu sendiri, aktivitas mikroorganisme atau proses oksidasi pada lemak tubuh oleh oksigen dari udara. Biasanya, pada tubuh ikan yang telah mengalamai proses pembusukan terjadi perubahan seperti, timbulnya bau busuk, daging menjadi kaku, sorot mata pudar, serta adanya lendir pada insang maupun bagian luar (Afrianto dan Evi, 2011).

2.

Deskripsi Ikan Furud Ikan furud termasuk ke dalam famili (cyprinidae) ini merupakan suku ikan

air tawar yang sangat besar dan terdapat hampir disetiap tempat di dunia kecuali Australia, Madagaskar, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Anggota suku ini dibedakan menurut gigi yang terdapat dibagian atas tenggorokan yang dikenal sebagai gigi tekak ya ng berfungsi sebagai gigi pengunyah karena tidak mempunyai gigi geraham (Kottelet, dkk, 1993). Ciri khusus dari ikan furud (Garra sp.) ini adalah mulut inferior, bibir bawah berubah menjadi sebuah cakram penghisap yang lonjong. Ikan ini hanya memakan lumut dan hanya dapat ditangkap menggunkan jaring. Ikan Furud ini dapat kita temukan hanya pada waktu tertentu. a.

Klafikasi Ikan Furud ( Garra sp. ) Kingdom

: Animalia

Phylum

: Cordata

Class

: Actinopterygii

Ordo

: Cypriniformes

Family

: Cyprinidae

8

Genus

: Garra sp

Spesies

: Garra sp (Kottelat, M., dan Whitten, A. J.,1993)

Gambar II.1. Ikan Furud (Garra Sp.)

b.

Bakteri Nama bakteri ini berasal dari kata “bakterion” (bahasa Yunani) yang berarti tongkat dan batang. Sekarang nama itu dipakai untuk menyebut sekolompok mikroorganisme yang bersel satu, tidak berklorofil, berkembang biak dengan pembelahan diri, hanya tampak dengan menggunakan mikroskop (Dwidjoseputro, 2005) Menurut Maksum (2002) bakteri merupakan organisme uniseluler yang relatif sederhana. Karena materi genetik tidak diselimuti oleh selaput membran inti, sel bakteri tersebut dengan sel prokariot. Secara umum, sel bakteri terdiri atas beberapa bentuk, yaitu bentuk basil atau batang, bulat atau spiral. Dinding sel bakteri mengandung kompleks karbohidrat dan protein yang disebut peptidoglikan. Bakteri umumnya bereproduksi dengan cara

9

membelah diri menjadi dua sel yang berukuran sama. Ini disebut dengan pembelahan biner. Untuk nutrisi, bakteri umunya menggunakan bahan kimia organik yang dapat diperoleh secara alami dari organisme yang sudah mati. Beberapa bakteri yang dapat membuat makanan sendiri dengan proses biosintesis, sedangkan beberapa bakteri yang lain memperoleh nutrisi substransi organik. Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal yang tidak terlihat oleh kasat mata, tetapi dengan bantuan mikroskop, mikroorganisme tersebut akan tampak. Bakteri kelompok mikroorganisme yang paling penting dan beraneka ragam, yang berhubungan dengan makanan dan minuman. Adanya bakteri dalam bahan pangan dapat mengakibatkan pembusukan yang tidak diinginkan atau menumbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan atau dapat melangsungkan fermentasi yang menguntungkan (Buckle, dkk.,2007). Berdasarkan pada sifat-sifat morfologi,biokimia,serologi dan genetik beribu jenis bakteri telah diketahui. Ukuran bakteri berkisar 0,5 sampai 10 µ dan lebar 0,5 sampai 2,5 µ tergantung jenis bakteri, tetapi hanya beberapa karakteristik bentuk sel yang ditemukan yaitu : 1) Bentuk bulat atau Cocci ( tunggal= Coccus ) 2) Bentuk bulat atau Baccili (tunggal= Bacillus) 3) Bentuk spiral atau spirilli (tunggal= Spirillum) Sel-sel ini dapat dijumpai dalam keadaan tunggal, berpasangan , tetrad, kelompok kecil, gerombolan atau ranati.(Buckle, dkk, 2007).

10

c.

Bakteri pada ikan Menurut Afrianto dan Evi (2011), dalam keadaan hidup, ikan dapat dianggap tidak mengandung bakteri yang sifatnya merusak, meskipun sebenarnya pada tubuh ikan banyak sekali dijumpai mikroorganisme. Ikan hidup memiliki kemampuan untuk mengatasi aktivitas mikroorganisme sehingga tidak terlihat selama ikan masih hidup. Bakteri merupakan anggota mikroorganisme terbanyak pada tubuh ikan, dapat dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan temperature hidupnya, yaitu : 1) Bakteri Thermophili Bakteri ini merupakan golongan bakteri yang dapat hidup dengan baik pada temperature tinggi (55OC – 80OC). Kemampuan hidup optimal pada temperature 60OC. 2) Bakteri Masophili Bakteri ini merupakan golongan bakteri yang dapat hidup dengan baik pada temperature 20OC-55OC. Kemampuan hidup optimal pada temperature 37OC. 3) Bakteri Cryophili Bakteri ini merupakan golongan bakteri yang dapat hidup dengan baik pada temperature 20OC-55OC. Kemampuan hidup optimal pada temperature 37OC. Bakteri yang sering ditemukan pada tubuh ikan adalah Achromobacter, Pseudomonas, Flavobacter, Micrococcus dan Bacillus. Bakteri-bakteri ini terdapat di seluruh permukaan tubuh ikan, terutama pada ikan bagian inang,

11

kulit dan usus (Afrianto dan Evi, 2011). Beberapa jenis bakteri yang terdapat pada ikan air tawar dan ikan air laut yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia, sebagai berikut : 1) Aeromonas hydrophila telah ditemukan pada berbagai jenis ikan air tawar diseluruh dunia dan ada kalanya pada ikan laut. Terdapat pandangan yang berbeda tentang peran yang tepat dari Aeromonas hydrophila sebagai ikan patogen. Beberapa penelitian menetapkan bahwa organism ini hanya sebagai penyerang sekunder pada inang yang lemah, sedang yang lain menyatakan bahwa Aeromonas hydrophila adalah pathogen utama ikan air tawar ( Floyd, 2002). 2) Vibrio sp. Mempunyai sifat-sifat umumya itu berbentuk batang yang bengkok, mempunyai satu batang cambuk yang terletak pada satu ujung batangnya. Kontaminasi bakteri ini pada manusia dapat terjadi bila mengkontaminasi makanan dan hasil- hasil laut, akibat penanganan dan perlakuan yang keliru. Vibrio sp. Dapat mengakibatkan penyakit gastroenteritis dengan gejala umumya itu diare encer dan sering kali berdarah, muntah, mual, demam dan kram perut (Floyd, 2002). 3) Salmonella adalah penyebab utama dari penyakit yang disebarkan melalui makanan (foodborne disease). Pada umumnya, serotype Salmonella menyebabkan penyakit pada organ pencernaan Salmonella adalah suatu genus bakteri enterbakteria Gram-Negatif berbentuk tongkat yang menyebabkan tifus, paratifus dan penyakit foodborne. Spesiesspesies Salmonella dapat bergerak bebas dan menghasilkan hydrogen

12

sulfide. Ikan laut terserang bakteri Salmonella biasanya berlendir, nafsu makan turun, terdapat bercak-bercak pada tubuhnya, biasanya berwarna merah (Hayes, 2002). 4) Shigella merupakan bakteri gram negative, bersifat fakultatif anerob tapi paling baik tumbuh secara aerob. Organisme Shigella adalah batang pendek, kloninya koveks, bulat transparan, tidak membentuk spora. Pertumbuhan optimum terjadi pada suhu 37OC dalam keadaan aerobik. Shigella termasuk bakteri patogen di usus manusia penyebab Shigella (disentri basher). Tanda-tanda ikan yang terkena bakteri Shigella biasanya tidak terlihat, namun dapat dilihat dari gerakan ikan yang kurang lincah, sisik ikan terlepas dan pengapuran pada mata. Mengkontaminasi ikan laut yang tercemar bakteri tersebut akan mengakibatkan gejala muntah, nyeri husus d an keram (Hayes, 2002). 5) Streptococcus ini kadang-kadang menyebabkan penyakit pada ikan laut yang dibudayakan, seperti kerapu merah dan ikan bero nang. Tandatanda dari infeksi penyakit ini biasanya tidak jelas, namun ikan terkadang terlihat lesu, tidak sehat, berenang tidak teratur dan pendarahan pada cornea. Biasanya penyakit ini diamati lewat pemeriksaan labortorium. Efek keracunan yang ditimbulkan akibat mengkontaminasi ikan yang terkontaminasi bakteri Streptococcus biasanya ringan berupa pusing dan sedikit mual. Namun gejala ini biasa hilang begitu saja (Hayes,2002). Menurut Moeljanto (1982) dalam keadaan hidup ikan dianggap tidak mengandung bakteri yang sifatnya merusak, meskipun di dalam lender yang

13

melapisi badan, dan di dalam insang maupun system penceranan terdapat banyak mikroorganisme. Jumlah mikroorganisme itu tergantung dari tingkat pengotoran perairan dimana ikan itu hidup. Dalam pengawetan ikan dan hasil perikanan lainnya, semua usaha dilakukan untuk memusnahkan atau setidaknya menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri yang merugikan ini termasuk juga jenis-jenis mikroorganisme lainnya. Suhu lingkungan adalah salah satu syarat agar bakteri dapat hidup secara normal. Ikan yang masih hidup, suhunya cukup rendah sehingga mikroorganisme itu belum dapat tumbuh dengan baik, tetapi begitu ikannya mati dan proses autolisa berjalan, suhu ikan berangsur-angsur naik dan pada satu saat memungkinkan bagi pertumbuhan bakteri pembusuk.

3. Pertumbuhan Bakteri Pertumbuhan bakteri dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Pada organisme multiseluler, yang disebut pertumbuhan adalah peningkatan jumlah sel perorganisme, dimana ukuran sel juga menjadi lebih besar. Pada organisme uniseluler (bersel tunggal) pertumbuhan adalah pertumbuhan jumlah sel, yang berarti juga penambahan jumlah organisme, misalnya pertumbuhan yang terjadi pada suatu kultur jasad renik. Pada organisme soenositik (aseluler), selama pertumbuhan ukuran sel menjadi bertambah besar tetapi tidak terjadi pembelahan sel (Fardiaz, 1992). Bakteri mempunyai waktu generasi 20 menit, berarti satu sel bakteri tersebut akan memperbanyak diri menjadi dua sel dalam waktu 20 menit. Jika sel tersebut

14

diinkubasikan di dalam suatu medium pada kondisi yang optimum untuk pertumbuhannya, maka dalam waktu 48 jam sel tersebut akan mengalami pembelahan sebanyak 48 (60)/20 kali atau 144 generasi. Pada kenyataan perkembangan jasad renik tidak terjadi demikian, karena tidak semua sel yang terbentuk akan terus hidup, pertumbuhan jasad renik di dalam kultur statis (Fardiaz, 1992). a. Fase adaptasi jika jasad renik dipindahkan kedalam suatu medium, mula- mula akan mengalami fase adaptasi untuk menyesuaikan dengan substrat dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Pada fase ini belum terjadi pembelahan sel karena beberapa enzim mungkin belum tersintesis. Jumlah sel pada fase ini mungkin tetap, tetapi kadang-kadang menurun. Lamanya fase ini bervariasi, dapat cepat atau lambat terganggu dari kecepatan penyesuaian dengan lingkungan di sekitarnya. b. Fase Pertumbuhan Awal Sel mulai membelah dengan kecepatan yang masih rendah baru selasai tanpa penyesuaian diri. c. Fase Pertumbuhan Logaritmik Pada fase ini sel jasad renik membelah dengan cepat dan konstan, dimana pertambahan jumlahnya mengikuti kurva logaritmik, kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya seperti pH dan kandungan nutrien, juga kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban udara. Pada fase ini sel membutuhkan energi lebih banyak dibandingkan

15

dengan fase lainnya, selain itu sel paling sensitif terhadap keadaan lingkungan. d. Fase Pertumbuhan Lambat Pada fase ini pertumbuhan populasi jasad renik diperlambat karena beberapa sebab, misalnya : zat nutrien di dalam medium sudah sangat berkurang dan adanya hasil - hasil metabolisme yang mungkin beracun atau dapat menghambat sel tidak stabil, tetapi jumlah populasi masih naik karena jumlah sel yang tumbuh masih lebih banyak dari pada jumlah sel yang mati. e. Fase Pertumbuhan Tetap ( Statis ) Pada fase ini jumlah populasi sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Ukuran sel pada fase ini menjadi lebih kecil karena sel tetap membelah meskipun zat nutrisi sudah masih habis. Karena kekurangan zat nutrisi, sel kemungkinan mempunyai komposisi berbeda dengan sel yang tumbuh pada fase logaritmik. Pada fase ini sel-sel menjadi lebih tahan terhadap keadaan ekstrem seperti panas, dingin, radiasi dan bahan kimia. f. Fase Menuju Kematian atau Fase Kematian Pada fase ini sebagian populasi jasad renik mulai mengalami kematian karena beberapa sebab yaitu : 1) Nutrien di dalam medium sudah habis. 2) Energi cadangan di dalam sel habis. Jumlah sel yang mati semakin lama akan semakin banyak dan kecepatan kematian dipengaruhi oleh kondisi nutrien, lingkungan dan jenis jasad renik (Fardiaz, 1992).

16

4. Faktor-Faktor Pertumbuhan Bakteri Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jasad renik, sebagai berikut : a. Nutrien Jasad renik heterotrof membutuhkan nutrien untuk kehidupan dan pertumbuhan yaitu sebagai : 1). Sumber karbon, 2). Sumber nitrogen, 3). Sumber energi dan 4). Faktor pertumbuhan yaitu mineral atau vitamin. Nutrien tersebut dibutuhkan untuk membentuk energi atau menyusun komponen-komponen sel. Setiap renik bervariasi dalam kebutuhannya akan zat-zat nutrien tersebut (Fardiaz, 1992). Nutrien dapat masuk dalam jasad renik melalui beberapa cara yaitu: 1. Difusi pasif Difusi pasif, nutrien masuk secara konsentrasi gradien yaitu dari konsentrasi yang lebih tinggi ke konsentrasi lebih rendah. Sebagai contoh misalnya air yang dapat keluar masuk sel secara bebas. 2. Difusi yang dipercepat Pada difusi dipercepat komponen bergerak dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah, tetapi kecepatannya dapat lebih tinggi dari pada difusi pasif karena dibantu oleh suatu protein pada membran yang tersebut permease. Sifat-sifat permease diantaranya adalah bekerja secara spesifik terhadap komponen tertentu, sifat tereduksi dan mempunyai kecepatan maksimam pada konsentrasi substrat tertentu.

17

3. Transpor aktif Berbeda dengan proses difusi, pada transparan aktif komponen bergerak dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Oleh karena itu, di butuhkan enzim permease dan energi untuk membantu kerja enzim tersebut (Fardiaz, 1992). b. Tersedianya air Sel jasad renik memerlukan air untuk hidup dan berkembang biak. Oleh karena itu, pertumbuhan sen jasad renik di dalam suatu makanan sangat dipengaruhi oleh jumlah air tersedia. Selain merupakan bagian yang terbesar dari komponen sel (70%-80%), air juga dibutuhkan sebagai reaktan dalam berbagai reaksi biokimia. Tidak semua air yang terdapat dalam bahan pangan dapat digunakan oleh jasad renik ( Fardiaz, 1992). c. Nilai pH Nilai pH medium sangat mempengaruhi jenis jasad renik yang dapat tumbuh. Jasad renik pada umumnya dapat tumbuh pada kisaran pH 3-6 unit. Kebanyakan bakteri mempunyai pH optimum, yaitu pH dimana pertumbuhannya maksimum, sekitar pH 6.5-7.5. Pada pH di bawah 5.0 dan di atas 8.5, bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik, kecuali bakteri asam Asetat (Acetobacter suboxydans) dan bakteri oksidasi sulfur. Bebaliknya, khamir mempunyai pH 4-5 dan dapat tumbuh pada kisaran pH 2.5-8.5. oleh karena itu, khamir tumbuh pada pH rendah dimana pertumbuhan bakteri terlambat. Kapang mempunyai pH optimum 5-7, tetapi seperti halnya khamir, kapang masih dapat hidup pada pH 3-8.5

18

(Fardiaz, 1992). d. Suhu Jasad renik mempunyai suhu optimum, minimum dan maksimum untuk pertumbuhannya. Hal ini disebabkan di bawah suhu minimum di atas suhu maksimum, aktivitas enzim akan berhenti bahkan pada suhu yang terlalu tinggi akan terjadi denatursi enzim, jasad renik dapat dibedakan berdasarkan kemampuannya untuk dapat memenuhi pertumbuhan pada kisaran suhu tertentu. Penggolongan tersebut yaitu : 1. Psikrofil, 2). Mesofil dan 3). Termofil, masing- masing dengan kisaran suhu (Fardiaz, 1992). e. Tersedianya oksigen Konsentrasi

oksigen

di

dalam

bahan

pangan

dan

lingkungan

mempengaruhi jenis jasad renik yang dapat tumbuh pada makanan tersebut ( Fardiaz, 1992).

5.

Fermentasi Bahan Pangan Fermentasi sudah dikenal sejak zaman dahulu, dengan kecenderungan

terhadap keberlanjutan lingkungan hidup, dan perkembangan sumber daya yang dapat berpengaruhi, menyebabkan peningkatan upaya dan ketertarikan dalam upaya mengambil kembali produk-produk fermentasi, seperti asam organik, aditif makanan dan bahan kimia (Riadi, 2007). Persiapan atau penyiapan bahan pangan dengan metode fermentasi tergantung pada produksi oleh mikroorganisme tertentu, perubahan- perubahan kimia dan

19

fisik yang mengubah rupa, bentuk dari bahan pangan aslinya. Perubahanperubahan ini dapat memperbaiki gizi dari produk dan umunya menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan. Walaupun fermentasi merupakan salah satu metode pengawetan bahan pangan yang kuno, tetapi pengertian dan penjelasan secara ilmiah dari proses ini baru saja berkembang seratus tahun lalu (Riadi, 2007). Menurut Winarno dan Fardias (1979) banyak hasil-hasil yang diproduksi secara fermentasi mengalami kegagalan tanpa dapat diketahui bagaimana caracara mengatasinya. Hasil yang diperoleh sering tidak tepat mutunya cara yang digunakan

adalah

fermentasi

spontan.

Dalam

rangka

menatar

dan

mengembangkan hasil-hasil tradisional tersebut perlu dipelajari konsep dasar tentang bagaimana proses fermentasi tersebut berlangsung secara biologis (Adawyah, 2007). Sifat-sifat bahan pangan hasil fermentasi ini ditentukan oleh mutu dan sifatsifat asal bahan pangan itu sendiri, perubahan yang terjadi sebagai hasil fermentasi mikroorganisme dan interaksi yang terjadi diantara produk dari kegiatan-kegiatan tersebut dan zat- zat yang merupakan pembentuk bahan pangan tersebut (Adawyah, 2007). Fermentasi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : a. Fermentasi Alkohol Fermentasi alkohol merupakan suatu pengubahan glukosa menjadi etanol (etil alkohol) dan karbondioksida. Organisme yang berperan yaitu Saccaromhyces cerevisae untuk pembuatan tape, roti dan minuman keras.

20

b. Fermentasi Asam Laktat Fermentasi asam laktat adalah respirasi yang terjadi pada hewan atau manusia, ketika kebutuhan oksigen tidak tercukupi akibat bekerja terlalu berat. Di dalam sel otot asam laktat dapat menyebabkan gejala keram dan kelelahan. c. Fermentasi Asam Cuka Merupakan suatu contoh fermentasi yang berlangsung dalam keadaan aerob, fermentasi ini dilakukan oleh bakteri asam cuka Acetobacter acetil dengan substrat etanol. Energi yang dihasilkan 5 kali lebih besar dari energi yang dihasilkan oleh fermentasi alkohol secara aerob (Waluyo, 2004).

6. Pengawetan Makanan Pengawetan makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat makanan memiliki daya simpan yang lama dan mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia makanan. Dalam mengawetkan makanan harus diperhatikan jenis bahan makanan yang diawetkan, keadaan bahan makanan, cara pengawetan, dan daya tarik produk pengawetan makanan. Teknologi pengawetan makanan yang dikembangkan dalam skala industri masa kini berbasis pada cara-cara tradisional yang dikembangkan untuk memperpanjang masa konsumsi bahan makanan. Cara pengawetan bahan makanan dapat disesuaikan dengan keadaan bahan makanan, komposisi bahan makanan, dan tujuan dari pengawetan. Secara garis besar ada dua cara dalam mengawetkan makanan, yaitu fisik serta biologi dan kimia.

21

Pengawetan makanan secara fisik merupakan yang paling bervariasi jenisnya, contohnya adalah : a) pemanasan. Teknik ini dilakukan untuk bahan padat, namun tidak efektif untuk bahan yang mengandung gugus fungsional, seperti vitamin dan protein. b) pendinginan. Dilakukan dengan memasukkan ke lemari pendingin, dapat diterapkan untuk daging dan susu. c) pembekuan, pengawetan makanan dengan menurunkan temperaturnya hingga di bawah titik beku air. d) pengasapan.

Perpaduan

teknik

pengasinan

dan

pengeringan,

untuk

pengawetan jangka panjang, biasa diterapkan pada daging. e) pengalengan. Perpaduan kimia (penambahan bahan pengawet) dan fisika (ruang hampa dalam kaleng). f) pembuatan acar. Sering dilakukan pada sayur ataupun buah. g) pengentalan dapat dilakukan untuk mengawetkan bahan cair h) pengeringan, mencegah pembusukan makanan akibat mikroorganisme, biasanya dilakukan untuk bahan padat yang mengandung protein dan karbohidrat i)

pembuatan tepung. Teknik ini sangat banyak diterapkan pada bahan karbohidrat

j)

Irradiasi, untuk menghancurkan mikroorganisme dan menghambat perubahan biokimia.(Tanty. 2008)

22

Pengawetan makanan secara biokimia secara umum ditempuh dengan penambahan senyawa pengawet, seperti : a) Penambahan enzim, seperti papain dan bromelin b) Penambahan bahan kimia, misalnya asam sitrat, garam, gula. c) Pengasinan, menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk makanan d) Pemanisan, menaruh dalam larutan dengan kadar gula yang cukup tinggi untuk mencengah kerusakan makanan e) Pemberian bahan pengawet, biasanya diterapkan pada bahan yang cair atau mengandung minyak. Bahan pengawet makanan ada yang bersifat racun dan karsinogenik. Bahan pengawet tradisional yang tidak berbahaya adalah garam seperti pada ikan asin dan telur asin, dan sirup karena larutan gula kental dapat mencegah pertumbuhan mikroba. Kalsium propionat atau natrium propionat digunakan untuk menghambat pertumbuhan kapang, asam sorbat menghambat pertumbuhan kapang dalam keju, sirup dan buah kering. (Lesman, 2010)

Prinsip pengawetan pangan ada tiga, yaitu: a) Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan b) Mencegah kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan termasuk serangan hama c) Mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial. Bahan kimia yang digunakan sebagai pengawet juga diharapkan dapat mengganggu kondisi

23

optimal pertumbuhan mikroba. Ditinjau secara kimiawi, pertumbuhan mikroba yang paling rawan adalah keseimbangan elektrolit pada sistem metabolismenya. Karena itu bahan kimia yang digunakan untuk antimikroba yang efektif biasanya digunakan asam-asam organik.

Cara yang dapat ditempuh untuk mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial adalah : 1. mencegah masuknya mikroorganisme (bekerja dengan aseptis) 2. mengeluarkan mikroorganisme, misalnya dengan proses filtrasi 3. menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme, misalnya dengan penggunaan suhu rendah, pengeringan, penggunaan kondisi anaerobik atau penggunaan pengawet kimia 4. membunuh mikroorganisme, misalnya dengan sterilisasi atau radiasi (Syamsir, 2008)

7

Proses Pengaraman Pengaraman merupakan cara pengawetan ikan yang banyak dilakukan

diberbagai negara, termasuk Indonesia. Proses ini menggunakan garam sebagai media pengawet, baik yang terbentuk kristal maupun larutan. Selama proses pengaraman terjadi, terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dari tubuh ikan, partikel garam dan cairan semakin lambat dengan menurunkan konsentrasi garam di luar tubuh ikan dan meningkatnya konsentrasi garam di dalam tubuh ikan. Bahkan pertukaran garam dan cairan tersebut berhenti

24

sama sekali setelah terjadi keseimbangan. Proses ini mengakibatkan pengentalan. Cairan tubuh yang masih tersisa dan penggumpalan protein (denaturasi) serta pengerutan sel-sel tubuh ikan sehingga sifat dagingnya berubah (Adawyah, 2007). Penggunaan garam yang tinggi dalam fermentasi mampu memicu pertumbuhan mikroba terutama bakteri asam laktat (BAL) garam dapat juga mengeluarkan cairan dalam bahan yang mengandung gula, protein, karbohidrat dimana ini merupakan media selektif untuk pertumbuhan mikroba (Enjang, 2003). Secara garis besar, selama proses penggaraman berlangsung terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan ikan karena adanya perbedaan konsentrasi. Cairan ini dengan cepat akan melarutkan kristal garam atau mengencerkan larutan garam. Bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan, bahkan akhirnya pertukaran garam dan cairan tersebut berarti sama sekali setelah terjadi keseimbangan antara konsentrasi garam di dalam tubuh ikan dalam kondisi ikan yang masih tersisa dan menggumpalan protein (denaturasi) serta pengerutan sel-sel tubuh ikan sehingga sifat daging berubah.Pada dasarnya metode penggaraman ikan dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga), yaitu penggaraman kering, penggaraman basah dan penggaraman campuran. a. Penggaraman kering ( Dry Salting ) Metode penggaraman

kering menggunakan

kristal garam

yang

dicampurkan dengan ikan. Pada umumnya, ikan- ikan yang besar dibuang isi perutnya terlebih dahulu dan bila perlu dibelah agar daging menjadi tipis sehingga lebih mudah untuk ditembus oleh garam. Pada proses penggaraman, ikan ditempatkan di dalam wadah yang kedap air, misalnya bak dari kayu

25

atau batu bata yang disemen. Ikan disusun selapis demi di selapis di dalam wadah, diselingi dengan lapisan garam. Jumlah garam yang dipakai umumnya 10-25% dari berat ikan. b. Penggaraman Basah ( Wet salting ) Penggaraman basah menggunakan larutan garam 30-50% (setiap 100 liter larutan garam berisi 20-50 kg garam ). Ikan dimasukan ke dalam larutan dan diberi pemberat agar semua ikan terendam, tidak adayang terapung. Ikan direndam dalam jangka waktu tertentu tergantung pada : 1) Ukuran dan tebal ikan 2) Derajat keasinan yang diinginkan Proses osmosis, kepekatan makin lama makin berkurang karena air dari dalam daging ikan secara berangsur-angsur masuk kedalam larutan garam, sementara sebagian molekul garam masuk ke dalam daging ikan. Karena kecendrungan penurunan kepekatan larutan garam itu, maka proses osmosis akan semakin lembut dan pada akhirnya berhenti. Larutan garam yang lewat jenuh yaitu jumlah garam lebih banyak dari jumlah yang dapat dlarutkan sehingga dapat dipergunakan untuk memperlambat kecendrungan itu. c. Penggaraman campuran ( Kench salting ) Penggaraman Kench pada dasarnya adalah penggaraman kering, tetapi tidak menggunakan bak. Ikan dicampur dengan kristal garam seperti pada penggaraman kering di atas lantai dan di atas geladak kapal. Larutan garam yang terbentuk dibiarkan mengalir dan terbuang. Cara tersebut tidak memerlukan bak, tetapi memerlukan lebih banyak garam untuk mengimbangi

26

larutan garam yang mengalir dan terbuang. Proses penggaraman Kench lebih lambat. Oleh karena itu, pada udara yang panas seperti Indonesia penggaraman campuran kurang cocok karena pembusukan dapat terjadi selama penggaraman (Adawyah, 2007).

8. Bakteri Staphylococcus Aureus Staphylococcus aureus adalah suatu bakteri penyebab keracunan yang memproduksi enterotoksin. Bakteri ini sering ditemukan pada makanan- makanan yang mengandung protein tinggi, misalnya sosis, telur dan sebagainya. Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk kokus dengan diameter 0.7 - 0.9 µm dan termasuk dalam famili Micrococcaceae. Bakteri ini tumbuh secara anaerobik fakultatif dengan membentuk kumpulan sel-sel seperti buah anggur. Staphylococcus aureus tahan garam dan tumbuh baik pada medium yang mengandung 7.5% NaCl, serta dapat memfermentasi manitol. Bakteri ini pada umumnya memproduki koagulase sehingga dapat dibedakan atas beberapa grup berdasarkan sifat imunitas koagulasenya, yaitu koagulase tipe I sampai VIII. (Irianto, 2013). Enterotoksin yang diproduksi oleh Staphylococcus aureus bersifat tahan panas, dan masih aktif setelah dipanaskan pada suhu 100OC selama 30 menit. Enterotoksi Staphylococcus aureus dapat dibedakan atas lima tipe, yaitu : Tipe A. Tipe B, Tipe C, Tipe D dan Tipe E. Dalam kasus keracunan makanan, perlu dilakukan identifikasi sampai didapatkan tipe koagulase, tipe toksin dan tipe fage.

27

Pemeriksaan bakteri Staphylococcus aureus bisa dilakukan dengan uji kuantitatif dan uji kualitatif dimana: a. Uji Kuantitatif Perhitungan jumlah Staphylococcus di dalam contoh dapat dilakukan dengan metode cawan, yang paling baik adalah menggunakan metode permukaan di mana digunakan contoh asli atau contoh yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 24 jam. Untuk menghitung jumlah koloni Staphylococcus aureus yang spesifik digunakan medium selektif, diantaranya adalah sebagai berikut. a) Vogel-Johnson Agar (VJA) Koloni Staphylococcus aureus pada VJA berukuran kecil dan berwarna hitam, dikelilingi oleh areal berwarna kuning yang menunjukan terjadinya fermentasi manitol. Koloni yang tidak menfermentasi manitol mungkin koloni spesies lainnya yaitu Staphylococcus epidermidis. b) Staphylococcus 110 (S 110) Agar Koloni Staphylococcus aureus pada S110 Agar berwarna kuning-oranye, dan jika ditambah inkubator BCP (bromocresol purple) akan mengalami perubahan warna yang berbeda dengan medium tanpa koloni di sekitarnya, yaitu menunjukkan terjadinya fermentasi manitol. Koloni Staphylococcus epidermidis berwarna putih dan tidak menfermentasi manitol. Jika cawan kemudian diberi 5 ml amonium sulfat pekat, dan didiamkan di dalam inkubator selama 5 menit, maka timbulnya areal bening di sekeliling koloni menunjukan gelatinase positif.

28

c) Baird-Parker Agar (BPA) Baird-Parker Agar (BPA) yang diberi Egg Yolk (EY) Tellurite Enrichment (ditambahkan setelah sterilisasi) dapat digunakan untuk mendeteksi dan menghitung jumlah Staphylococcus yang bersifat kougulase positif di dalam contoh. Medium ini mengandung lithium dan kalium tellurit untuk menghambat pertumbuhan mikroba lainnya selain Staphylococcus. Selain itu medium ini juga mengandung piruvat dan glisin untuk merangsang pertumbuhan Staphylococcus. Koloni Staphylococcus aureus pada medium ini berwarna hitam mengkilat, konveks dan dikeliling oleh areal bening jika medium mengandung Egg YolkTellurite. Timbulnya areal bening di sekeliling koloni menunjukan lesitinase positif. Koloni Staphylococcus epidermidis juga berwarna hitam, tetapi tidak dikelilingi oleh areal bening. d) Mannitol Salt Agar (MSA) Koloni Staphylococcus aureus pada MSA dikelilingi oleh areal berwarna kuning,

sedangkan

Staphylococcus

yang

non

patogenik

(yaitu

Staphylococcus epidermidis) membentuk koloni berukuran kecil dengan areal berwarna merah atau ungu di sekitarnya. e) Champman Stone Medium (CSM) Medium ini mempunyai komposisi seperti S110 Agar, hanya bedanya amonium sulfat sebanyak 7.5% sudah ditambahkan kedalam medium, sehingga untuk menguji gelatinase tidak perlu ditambahkan lagi larutan amonium sulfat. Pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus pada

29

Champman Stone Medium seperti S 110 Agar.

b. Uji Kualitatif Uji kualitatif Staphylococcus aureus dapat dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu : a) Tahap “enrichment” pada medium cair selektif. b) Tahap seleksi dan isolasi pada medium padat selektif. c) Tahap identifikasi. d) Typing koagulase dan phage. Pada kasus keracunan makanan, tahap “enrichment” biasanya tidak perlu dilakukan karena untuk dapat menyebabkan keracunan makanan, jumlah Staphylococcus aureus di dalam makanan dan yang tertelan harus tinggi (biasanya lebih dari satu juta sel), sehingga tidak diperlukan tahap perbanyakan sel atau “enrichment”. Typing koagulase dan phage juga jarang dilakukan oleh laboratorium biasa karena bahan-bahan untuk uji tersebut sukar diperoleh. Pada tahap seleksi dapat digunakan medium selektif yang digunakan untuk uji kuantitatif, yaitu VJA, S 110 Agar, BPA,MSA,MSYE, atau CSM. Jika telah dilakukan uji kuantitatif, koloni yang diduga Staphylococcus aureus dapat diseleksi langsung dari cawan petri berisi medium selektif yang ditumbuhi koloni yang spesifik Staphylococcus aureus. Uji koagulase dan uji- uji biokimia terutama ditunjukan untuk membedakan Staphylococcus yang bersifat pathogen ( Staphylococcus aureus ) dengan yang nonpatogen (Staphylococcus epidermidis). Untuk membedakan antara Staphylococcus aureus dengan Staphylococcus epidermidis dapat dilakukan uji pada Phenolphthalein

30

Phospate Agar (PPA) dan DNA Agar. Kultur yang digunakan untuk uji koagulase adalah kultur yang ditambahkan pada Brain Heart Infusion (BHI) selama 16-24 jam pada suhu 37OC, atau suspense di dalam BHI dari kultur yang ditumbuhkan pada agar miring Heart Infusion Agar (HIA) pada suhu 37OC selama 16-24 jam. Sebanyak 0.5 plasma kelinci (plasma koagulase) ditempatkan di dalam tabung Wasermann atau Kebanyakan stapilokoki yang bersifat koagulase positif akan menggumpalkan plasma dalam waktu satu jam. Jika belum terjadi koagulasi, pengamatan dilakukan lagi setelah tiga jam inkubasi pada suhu 37OC, sebelum kultur dinyatakan sebagai kogulase negative. Uji dinyatakan positif meskipun penggumpalan yang terjadi hanya sedikit.(Irinto, 2013)

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Variabel bebas

Variabel terikat

Lama Fermentasi Telu Ikan

Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus

Variabel penganggu 1. 2. 3. 4.

Suhu Inkubasi Lama Inkubasi Kontaminasi Kualitas ikan

Gambar III.1 Kerangka Konsep

B.

Hipotesis Ho

: Terdapat hubungan lama fermentasi telu ikan furud (Garra sp.)

terhadap pertumbuhan bakteri staphylococcus aureus H1

: Tidak terdapat hubungan lama fermentasi telu ikan furud (Garra

sp.) terhadap pertumbuhan bakteri staphylococcus aureus

31

BAB IV METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan design post test only control grup design dengan menggunakan metode simple random sampling. X

O1

O2

O3

Keterangan : X

: Fermentasi Telu Ikan selama 7 hari sebelum perlakuan.

O1

: Pendiaman Telu Ikan setelah perlakuan selama satu hari.

O2

: Pendiaman Telu Ikan setelah perlakuan selama dua hari.

O3

: Pendiaman Telu Ikan selama perlakuan selama tiga hari.

32

33

B. Kerangka Penelitian

Rangkaian kegiatan penelitian identifikasi bakteri staphylococcus aureus pada pembuatan telu dari ikan furud (Garra sp.) sebagai berikut : Telu ikan

Fermentasi 7 Hari

disimpan

Pendiaman Selama 1 hari

Pendiaman Selama 2 hari

Pendiaman Selama 3 hari

Pertumbuhan Bakteri

Pemeriksaan Staphylococcus aureus

Gambar IV.Kerangka Alur Penelitian Hubungan Lama Fermentasi Telu Ikan Furud (Garra Sp.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus Aureus.

C. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2017, bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

34

D. Variabel Penelitian

1.

Variabel bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah lama fermentasi Telu Ikan.

2.

Variabel terikat Variabel

terikat

dalam

penelitian

ini

adalah

Pertumbuhan

bakteri

Stapylococcus aureus. 3.

Variabel pengganggu Variabel penggangu dalam penelitian ini adalah : 1. Suhu Inkubasi 2. Lama Inkubasi 3. Kontaminasi 4. Kualitas ikan

E.

Definisi Operasional Variabel

1.

Variabel bebas Berbagai variasi fermentasi Telu Ikan Furud yaitu, dengan lama penyimpanan fermentasi ikan selama 1 hari, 2 hari dan 3 hari. Satuan : Hari Skala : Rasio.

2.

Variabel

terikat

dalam

Stapylococcus aureus. Satuan : koloni Skala : Rasio 3.

Variabel pengganggu

penelitian

ini

adalah

Pertumbuhan

bakteri

35

a. Suhu inkubasi Adalah temperatur yang digunakan untuk menyimpan media MSA yang telah dilakukan penanaman bakteri. Dikendalikan dengan menyetel suhu inkubator pada 35OC dan dikondisikan stabil. b. Lama inkubasi Adalah waktu yang digunakan untuk menyimpan dan mengisolasi media MSA yang telah ditanam dan diinkubasi selama 2 x 24 jam. c. Kontaminasi Adalah mikroorganisme selain Stapylococcus aureus yang ikut tumbuh pada media MSA yang dapat mengganggu pertumbuhan bakteri tersebut. Dikendalikan menggunakan alat-alat yang steril, teknik kerja aseptik. d.

Kualitas ikan yang digunakan sebagai bahan utama. Dikendalikan dengan memilih ikan yang segar dan tidak busuk.

F.

Bahan dan Alat

1.

Alat Toples, autoclave, inkubator, Erlenmayer, lampu bunsen, lemari es, rak tabung, tabung reaksi, batang pengaduk segitiga, gelas ukur, pipet ukur, safety, timbangan kemampuan sampai 300 gram.

2.

Bahan Telu Ikan Furud, MSA, NaCl 0,85%, Cat Gram, H2O2 10 %.

36

G. Teknik Pengumpulan Data

1.

Cara Pembuatan Telu Ikan Fermentasi Singkong yang telah dibersihkan dan dijemur sampai kering, selanjutnya diparut dan ditumbuk sampai halus. Tepung singkong sebanyak 300 gram kemudian disangrai tanpa menggunakan minyak goreng. Ikan (Garra Sp.) disiapkan dengan pembersihan isi perut lalu dipotong-potong sehingga didapatkan 600 gram ikan. Potongan ikan ditiriskan untuk mengurangi kadar air, selanjutnya ditambahkan 150 gram garam dapur pada ikan dan dicampurkan dengan rata. Kemudian tepung singkong yang disangrai dicampurkan secara merata, dengan ikan yang telah digarami, campuran tersebut selanjutnya disimpan dalam toples di ruangan yang lembab dan dijauhkan dari cahaya matahari. Fermentasi dilakukan selama kurang lebih 3 sampai 7 hari.

2.

Pembuatan Media a.

Pembuatan Media MSA Melarutkan 60 gram dehydrate medium dalam 1000 ml aquadest dingin, kocok dan panasi hingga mendidih samapai larut sempurna.

b.

Larutan NaCl 0,85% Melarutkan 0,85% gram NaCl dengan 100 ml air suling dalam labu erlenmayer 300 ml.

c.

Cara katalase Teteskan 1 tetes H2O2 10 % pada kaca objek, tambahkan koloni bakteri yang akan dipriksa secukupnya, campur dan perhatikan ada tidaknya

37

pembentukan gelembung udara. 3.

Pengenceran sampel Fermentasi Telu Ikan Furud (Garra sp.) Siapkan alat dan bahan yang digunakan, lalu timbang 10 gram telu ikan furud , tambahkan sebanyak 90 cc, kocok baik-baik sebagai pengenceran 10x, ambil 1 cc dari pengenceran 10x masukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 cc NaCl 0,85% kocok, sebagai pengenceran 100x, ambil 1 cc dari pengenceran 100x masukkan ketabung yang berisi 9 cc NaCl 0,85% kocok, sebagai pengenceran 1000x,ambil 1 cc dari pengenceran 1000x masukkan ketabung yang berisi 9 cc NaCl 0,85% kocok, sebagai pengenceran 10.000x, lakukan pengenceran fermentasi pada sempel lama penyimpanan hari kedua dan ketiga seperti yang diatas.

4.

Pemeriksaan MSA Dari sempel yang telah dilakukan pengenceran menjadi 1/10,1/100,1/1000 dan 1/10000 menggunakan NaCl 0,85%, dari pengenceran tersebut dilakukan isolasi pada media MSA dengan cara ambil 200 micron dituangkan kedalam media isolasi MSA lalu disebarkan menggunakan batang pengaduk segitiga, lalu masukkan ke dala m incubator pada suhu 37oC 1 x 24 jam, setelah diinkubasi koloni yang diduga Staphylococcus aureus dari MSA akan dilakukan pewarnaan dan diuji katalase, jika hasil menujukan bakteri Staphylococcus aureus koloni dihitung.

G.

Analisis data Dari data penelitian di peroleh dapat di buat analisis statistiknya. Data

38

penelitiannya adalah data statistik koloni bakteri Staphylococcus aureus dan analisis data di gunakan adalah one-way ANOVA. Dengan menggunakan oneway ANOVA. Maka akan diketahui apakah ada pengaruh lama penyimpanan telu ikan furud terhadap jumlah banyak bakteri Staphylococcus aureus. Dilanjutkan dengan uji Post Hoc Test bila didapat perbedaan nyata antar perlakuan, Test dengan taraf kesalahan 0,5%.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian dengan judul Hubungan Lama Fermentasi Telu Ikan Furud ( Garra sp. ) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus Aureus, Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2017, bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Hasil pada tabel berikut ini : Dalam 1 minggu fermentasi

didiamkan lagi

lalu dilakukan

pemeriksaan pada hari kesatu,kedua dan ketiga didapatkan rata – rata pada hari kesatu dengan rata – rata ...........x........CFU/g, sedangkan pada hari kedua didapatkan rata – rata ...........x........CFU/g dan pada

39

hari ketiga dengan rata – rata ...........x........CFU/g (tabel 2).

Tabel 2. Rata – rata Pertumbuhan Jumlah Bakteri Staphylococcus aureus dengan Metode MSA pada fermentasi Telu Ikan Furud (Garra sp.) Hari

Ulangan

Interval

Waktu Pertumbuhan Jumlah

Ke-

Inkubasi

Bakteri

Rata-Rata

Hari

1

1 x 24 Jam

2,3 x 10

1,2 x 10

Ke 1

2

1 x 24 Jam

5 x 10

CFU/g

3

1 x 24 Jam

3 x 10

Hari

1

1 x 24 Jam

2,5x 10

1,5 x 10

Ke 2

2

1 x 24 Jam

1,3x 10

x 10

3

1 x 24 Jam

5 x 10

CFU/g

Hari

1

1 x 24 Jam

4,2 x 10

2,3 x 10

Ke 3

2

1 x 24 Jam

2,1 x 10

CFU/g

3

1 x 24 Jam

6 x 10

Pada Tabel 2 dapat kita lihat bahawa pada hari kesatu untuk ulangan pertama jumlah koloni yang Tumbuh 27 koloni, ulangan kedua jumlah koloni yang tumbuh yaitu 6 koloni dan ulangan ketiga jumlah koloni 6 koloni, sedangkan pada hari kedua untuk ulangan pertama 28 koloni, ulangan ke dua jumlah koloni yang tumbuh yaitu 17 koloni dan ulangan ketiga jumlah koloni yang tumbuh yaitu 2 koloni, sedeangkan pada hari ketiga untuk ulangan pertama jumlah koloni 35 koloni, sedangkan ulangan kedua jumlah koloni yaitu 23 koloni dan ulangan ketiga jumlah koloni yaitu 4 koloni. Rata-rata pertumbuhan koloni bakteri pada

40

hari kesatu yaitu 1,3 x 105 CFU/g, sedangkan rata-rata pertumbuhan koloni bakteri pada hari kedua yaitu 1,5 x105 CFU/g dan rata-rata pertumbuhan koloni bakteri pada hari ketiga yaitu 2,0 x 105 CFU/g.

Tabel 3. Hasil Bentuk Sel dan Sifat Terhadap Perwarnaan Gram dari Isolat Bakteri pada Fermentasi Telu Ikan Furud (Garra sp) Interval

Waktu Kode Isolat

Pewarnaan gram

Inkubasi +/2 x 24 Jam

Bentuk S1

+

Susunan Sel Coccus

Bergerombol seperti anggur

2 x 24 Jam

S2

+

Coccus

Bergerombol seperti anggur

2 x 24 Jam

S3

+

Coccus

Bergerombol seperti anggur

2 x 24 Jam

S4

+

Coccus

Bergerombol seperti anggur

2 x 24 Jam

S5

+

Coccus

Bergerombol seperti anggur

2 x 24 Jam

S6

+

Coccus

Bergerombol seperti anggur

41

Dari keenam isolate bakteri yang didapat, terlihat bahwa sel bakteri yang didapatkan, terlihat bahwa sel bakteri berbentuk coccus . dari hasil perwarnaan yang dilakukan, semua koloni bakteri S1,S2,S3,S4,S5 dan S6 menunjukan gram positif. Ijong (2003) menyatakan bahwa perbedaan struktur luar dan dinding sel bakteri gram positif dan negatif mengakibatkan terjadinya perbedaan warna pada akhir prosedurperwarnaan gram. Dari hasil uji oksidase bahwa semua dari 6 sampel memberikan reaksi positif. Cappucino dan Sherman (1992) Uji bersifat positif jika koloni berubah warna menjadi merah selanjutnya maron dan akhirnya menjadi kehitaman. Staphylococcus aureus memberikan respon negatif. Isolat

Hasil

Keterangan

Bakteri

Katalase

S1

+

Menghasilkan oksigen dan gelembung

S2

+

Menghasilkan oksigen dan gelembung

S3

+

Menghasilkan oksigen dan gelembung

S4

+

Menghasilkan oksigen dan gelembung

S5

+

Menghasilkan oksigen dan gelembung

S6

+

Menghasilkan oksigen dan gelembung

42

BAB VI PEMBAHASAN

Media MSA ( Mannitol Salt Agar ) dipakai untuk mengidentifikasi bakteri terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus ditunjuk dengan tumbuhnya koloni bakteri Staphylococcus aureus berwarna kuning emas, pengecatan gram untuk memastikan koloni Staphylococcus aureus, gram positif berbentuk bulat seperti anggur dan menguji katalase menghasilkan oksigen dan gelembung dianggap sebagai bakteri Staphylococcus aureus. Berdasarkan dari hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa pengeraman hari keempat dan kelima didapatkan rata-rata hari keempat 1,3 x 105 CFU/g dan pada hari kelima 1,5 x 105 CFU/ sedangkan pengeraman hingga hari ke enam didapat rata-rata 2,0 x 105 CFU/g ( tabel 2 ). Berdasarkan nilai tersebut

43

pada hari keenam memiliki nilai total mikroba tertinggi dari hari yang lainnya ( hari keempat dan kelima ) dan nilai terendah dimiliki oleh pada hari keempat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu pencampuran tidak terhomogen dengan baik atau dikarenakan semakin lamapenyimpanan telu ikan di diamkan bakteri semakin bertambah atau mungkin juga berasal dari tanah pada saat pemotongan, kulit (kotoran pada kulit), isi saluran pencernaan, air, alat-alat yang dipergunakan selama proses mempersiapkan, kotoran, udara dan pekerja atau orang yang menangani pangan. Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri patogen dan biasanya bakteri ini dapat digunakan sebagai indikator dari pengolahanmakanan yang tidak higenis, sehingga mampu menghasilkan enterotoksin yang dapat langsung dideteksi pada makana. Daging merupakan jenis makanan yang banyak ditumbuhi bakteri ini. Toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus akan sulit dihilangkan walaupun makanan yang tercemar toksin tersebut disimpan didalam lemari es dan umumnya toksin tersebut tahan terhadap pemanasan yang digunakan pada pemasakan (Palupi dkk., 2010). Berdasarkan

dari

hasil

uji

mikrobiologi

atau

uji

keberadaan

Staphylococcus aureus pada media MSA, pada suhu 37°C, selama 24 jam ditandai dengan timbulnya perubahan warna media MSA dari merah menjadi kuning atau Terlihatnya koloni yang berwarna kuning . Warna kuning timbul karena fermentasi

mannitol

yang

dilakukan

Staphylococcus

aureus.

Koloni

Staphylococcus aureus dalam cawan terlihat berwarna kuning, bulat, dan cembung (Odunayo et al., 2011).

44

Jumlah total Staphylococcus aureus pada setiap harinya terlihat bahwa seluruh sampel memiliki jumlah cemaran Staphylococcus aureus yang melebihi batas menurut SNI-7388-2009 yaitu sebesar 1 x 103 CFU/g. Namun, semua sampel yang mengandung Staphylococcus aureus tersebut dinyatakan terbebas dari toksin sebab terbentuknya enterotoksin pada produk pangan akan terdeteksi pada jumlah Staphylococcus aureus minimun mencapai 1 x 105 CFU/g (Salasia et al.,2009). Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Karimela (2013) keberadaan bakteri Staphylococcus pada produk olahan ikan asap. Berdasarkan hasil tersebut bakteri Staphylococcus pada produkolahan ikan asap dengan jumlah rata-rata nilai TPC 6,7 x 104 CFU/g – 2,4 x 106CFU/g. Tingginya jumlah Staphylococcus aureus yang melebihi batas cemaran mengindikasikan buruknya konsumsi telu ikan furud ( Garra sp. ) dan tingginya cemaran dapat diakibatkan kurangnya kebersihan pedagang atau orang yang menanganinya dalam mengolah ikan atau singkong atau nasi yang digunakan saat pemrosesan maupun saat pendistribusian. Selain itu, jumlah Staphylococcus aureus dapat pula dijadikan indikator untuk mengetahui kualitas makanan telu ikan furud tersebut (Palupi dkk., 2010). Selain dari lingkungan, kebersihan alat-alat yang digunakan pun sangat berpengaruh terhadap jumlah populasi dari bakteri. Talenan merupakan salah satu jenis peralatan yang sering digunakan untuk memotong daging dan umumnya terbuat dari bahan kayu. Kayu sendiri adalah bahan yang mudah menyerap air sehingga apabila talenan tersebut sudah dicuci, kotorannya masih tersisa dan sulit untuk dilihat dengan kasatmata sehingga alat-alat yang permukaannya terbuat dari kayu tidak dapat dijaga kebersihannya (Setiowati, 2011).Menurut Heruwati

45

(2002) Cara pengolahan yang kurang saniter dan higenis, serta penyimpanan dalam keadaan tidak dilindungi atau dikemas dengan baik pada kondisi tropic, mengakibatkan produk ikan olahan tradisional sangat rentan terhadap kerusakan mikrobiologi. Menurut Ijong (2009), menambahkan Staphlococcus biasanya hidup sebagai parasait pada manusia dan hewan. Kadang-kadang dapat menyebabkan

infeksi

serius.

Staphlococcus

aureus

dapat

memproduksienterotoksin yang menyebabkan keracunan makanan bagi manusia dan hewan. Pemecahan ini dapat menyebabkan daging ikan membusuk yang dipicu karena metabolisme mikroba. Efektivitas rempah atau bahan yang digunakan untuk sebagai antimikroba tergantung dari kandungan bakteri bahan yang diawetkan dan aktivitasnya akan lebih efektif pada produk dengan konsentrasi bakteri awal yang rendah (Singh et al., 2003).

46

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Adanya Staphylococcus aureus penyimpanan hari ke-1 melebihi standar SNI. 2.

Jumlah bakteri dalam ikan telu hari ke-1 dengan jumlah 1,3 x 105 CFU/g, hari ke-2 dengan jumlah 1,5 x 105 CFU/g dan pada hari ke-3 dengan jumlah 2,0 x 105 CFU/g.

B. Saran 1. Bagi ilmu pengetahuan hasil penelitian ini bisa dipakai sebagai bahan masukan dan referensi untuk penelitian selanjutnya.

47

2. Untuk telu ikan furud (Garra Sp.) perlu dilakukan pemasakan atau pemanasan terlebih dahulu dengan tujuan mematikan bakteri.

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara Buckle, Edwards dan wooton. 2007. Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas indonesia Dwidjoseputro, D. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta:Djambatan Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: PT. Gramedia Karimela, J. E. 2013. Staphylococcus sp. Pada Ikan Layang (Decapterus russelii) Asap Pinekuhe Produk Khas Sangihe. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Univerisitas Sam Ratulangi. Manado Kottelat, M., Whitten, A. J., Kartikasari, S. N., dan Wirjoatmodjo, S. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia dan Sulawisi. Penerbit Periplus Editons ( HK) Ltd. EMDI, Kantor Mentri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup.

48

Republik Indonesia. ISBN: 0-945971-60-05 Losarina, V. 2014. Karakteristik dan Identifikasi Bakteri Indigenous dari Telu Ikan

Furud (Garra Sp.) Makanan Asli Suku Dayak Lundaye Malinau Hasil Fermentasi Spontan. Universitas Mulawarman: Samarinda

Margono

dan

Tri.

1993.

http://www.ristek.go.id.

Buku

Panduan

Teknologi

Diakses, pada hari Senin Tanggal

November 2017 Pukul 17:43 . Di

Pangan. 21

Surabaya

Moeljanto, R. 1982. Pengolahan Hasil-hasil Sampingan Ikan. Jakarta: PT. Penebar Swadaya Riadi, I. 2007. Teknologi Fermentasi. Yogyakarta: Graha Ilmu

Rahayu WP, Ma’oen S, Suliantari, Fardiaz S 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Bogor: Insitut Perikanan Bogor Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 08.3-7388-2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Waluyo, I,. 2014. Mikrobiologi Umum. Malang: UMM Press

Related Documents

Sidang Kp.pptx
May 2020 17
Sidang Semprol.pptx
June 2020 14
Data Sidang
May 2020 7
Sidang Video.
May 2020 21

More Documents from ""