1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, serta bersifat persisten dan irreversibel (Mansjoer, 2008). Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh manusia, yang mengatur fungsi kesejahteraan dan keselamatan untuk mempertahankan volume, komposisi dan distribusi cairan tubuh, sebagian besar dijalankan oleh ginjal. Kerusakan pada ginjal membuat sampah metabolisme dan air tidak dapat lagi dikeluarkan. Dalam kadar tertentu, sampah tersebut dapat meracuni tubuh, kemudian menimbulkan kerusakan jaringan bahkan kematian (Lubis, 2009). Perubahan pola penyakit tanpa disadari telah memberi pengaruh terhadap terjadinya transisi epidemiologi, dengan semakin meningkatnya kasus-kasus penyakit tidak menular. Menurut WHO (World Health Organization), pada tahun 2005 proporsi kesakitan dan kematian di dunia yang disebabkan oleh penyakit tidak menular sebesar 47% kesakitan dan 54% kematian, dan diperkirakan pada tahun 2020 proporsi kesakitan ini akan rneningkat menjadi 60% dan proporsi kematian menjadi 73%. Menurut WHO, pada tahun 2008 terdapat 57 juta kematian di dunia, dimana Proportional Mortality Rate (PMR) penyakit tidak menular di dunia adalait sebesar 36 juta (63%) (WHO, 2011). Angka penyakit tidak menular juga terus mengalami peningkatan. Salah satu penyakit tidak menular yang juga mengalami peningkatan adalah Gagal Ginjal Kronik (GGK) (Bustan, 2015). 1
2
Menurut data dari United States Renal Data System (USRDS) prevalensi kejadian gagal ginjal kronik di Amerika Serikat dari tahun ke tahun semakin meningkat tercatat pada tahun 2011 ada 2,7 juta jiwa dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 2,8 juta jiwa.Data dari Indonesia Renal Registry (IRR) pada tahun 2008 prevalensi penderita gagal ginjal kronik yaitu sekitar 200-250 per satu juta penduduk dan yang menjalani hemodialisis mencapai 2.260 orang. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 2.148 orang pada tahun 2007. Di Indonesia prevalensi kejadian gagal ginjal kronik melalui data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yaitu 0,2%. Kelompok umur ≥ 75 tahun mempunyai prevalensi kejadian gagal ginjal kronik lebih tinggi dari pada kelompok umur lainnya yaitu 0,6%. Prevalensi kejadian gagal ginjal kronik menurut jenis kelamin, laki-laki lebih banyak dengan angka 0,3% sedangkan perempuan hanya 0,2%. Dan prevalensi kejadian gagal ginjal kronik pada Provinsi SUMUT yaitu 0,3%.(Riskesdas, 2013). Di Medan di RSUP Haji Adam Malik dijumpai 154 orang kasus gagal ginjal, di RSUD Dr. Pirngadi dijumpai sebanyak 109 orang kasus gagal ginjal, di RS Swasta (RS Rasyida) sebanyak 78 orang kasus gagal ginjal yang secara rutin menjalani pengobatan hemodialisa (Aroem, 2011). Penyebab kejadian gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis baru menurut data yang dikumpulkan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) pada tahun 2011 hasilnya yaitu penyakit hipertensi berada pada urutan pertama sebesar 34%, urutan kedua yaitu diabetes melitus sebesar 27% dan selanjutnya ada glomerulonefritissebesar 14%, nefropati obstruksi sebesar 8%, pielonefritis kronik sebesar 6%, ginjal polikistik sebesar 1%, penyebab yang tidak diketahui sebesar
3
1% dan penyebablainnya sebesar 9%. Berbeda pada tahun 2000, penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia urutan pertama dan kedua yaitu glomerulonefritis sebesar 46,4% dan diabetes melitus sebesar 18,7%, selanjutnya ada obstruksi dan infeksi sebesar 12,9%, hipertensi sebesar 8,5% dan penyebablainnya sebesar 13,7%. Sedangkan menurut United States Renal Data System (USRDS) yang bertanggung jawab terhadap kejadian gagal ginjal kronik urutan pertama dan kedua yaitu diabetes melitus sebesar 34% dan hipertensi sebesar 21%, kemudian diikuti glomerulonefritis sebesar 17%, pielonefritis kronik sebesar 3,4%, ginjal polikistik sebesar 3,4% dan lain-lain sebesar 21%. Dengan banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian gagal ginjal kronik, sebaiknya terdapat upaya pencegahan terhadap penyakit – penyakit yang dapat mengakibatkan kejadian gagal ginjal kronik dengan segera memeriksakan diri atau berobat jika ada keluhan yang dapat mengakibatkan suatu penyakit (Mailani, 2015). Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai “Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Gagal Ginjal Kronik Pada Pasien Hemodialisis”
1.2 Rumusan masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis.
4
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan umum Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian gagal ginjal
kronik pada pasien hemodialisis. 1.3.2
Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui faktor umur berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis. 2. Untuk mengetahui faktor jenis kelamin berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis. 3. Untuk
mengetahui
faktor
riwayat
penyakit
Diabetes
Mellitus
berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis. 4. Untuk mengetahui faktor riwayat penyakit Hipertensi berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat bagi responden penelitian Bagi penderita penyakit ginjal kronik, hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi diri dalam menghadapi permasalah kesehatan yang sedang dialami. 1.4.2
Manfaat bagi tempat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan
informasi bagi tenaga medis untuk dapat mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis.
5
1.4.3
Manfaat Bagi Masyarakat Umum Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi
masyarakat agar masyarakat lebih waspada terhadap risiko-risiko yang dapat menyebabkan penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa. 1.4.4
Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya Memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian penyakit ginjal kronik pada pasien yang menjalani terapi Hemodialisis.
6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik 2.1.1
Definisi
Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan struktur dan penurunan fungsi ginjal
yang
dapat
berpengaruh
pada
ketidakmampuan
ginjal
untuk
mempertahankan keseimbangan dan integritas tubuh yang terjadi secara bertahap hingga mencapai fase penurunan fungsi ginjal tahap akhir atau merupakan penurunan semua fungsi ginjal secara bertahap disertai penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan keseimbangan cairandan elektrolit. (Utami, 2014). Penyakit ginjal kronis (PGK) atau gagal ginjal kronis (GGK) adalah kondisi saat fungsi ginjal menurun secara bertahap karena kerusakan ginjal. Secara
medis, gagal
ginjal
kronisdidefinisikan
sebagai
penurunan
laju
penyaringan atau filtrasi ginjal selama 3 bulan atau lebih. (Thomas Et,al 2008). Gagal ginjal kronik merupakan disfungsi ginjal selama lebih dari 3 bulan dan diklasifikasikan sesuai dengan tingkatan gangguan fungsional dalam laju filtrasi glomerulus (LFG), pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus yang normal terdapat kelainan sedimen urin persisten, struktur ginjal yang abnormal pada pemeriksaan radiografi dan biopsi ginjal yang abnormal yang dikategorikan sebagai derajat 1 gagal ginjal kronik (Levey et,al 2010).
6
7
Penyakit ginjal kronis diidentifikasi oleh tes darah untuk
kreatinin.
Tingginya tingkat kreatinin menunjukkan jatuh laju filtrasi glomerulus dan sebagai akibat penurunan kemampuan ginjal mengekskresikan produk limbah. Kadar kreatinin mungkin normal pada tahap awal CKD, dan kondisi tersebut ditemukan jika urine (pengujian
sampel
urin)
menunjukkan
bahwa
ginjal
adalah
memungkinkan hilangnya protein atau sel darah merah ke dalam urin. Untuk menyelidiki penyebab kerusakan ginjal, berbagai bentuk pencitraan medis, tes darah dan sering ginjal biopsi (menghapus sampel kecil jaringan ginjal) bekerja untuk mencari tahu apakah ada sebab reversibel untuk kerusakan ginjal . pedoman profesional terbaru mengklasifikasikan tingkat keparahan penyakit ginjal kronis dalam lima tahap, dengan tahap 1 yang paling ringan dan biasanya menyebabkan sedikit gejala dan tahap 5 menjadi penyakit yang parah dengan harapan hidup yang buruk jika tidak diobati . 'Stadium akhir penyakit ginjal (ESRD ), Tahap 5 CKD juga disebut gagal ginjal kronis (CKF) atau kegagalan kronis ginjal (CRF) (Levey et,al 2010). 2.1.2. Klasifikasi Pada pasien gagal ginjal kronik, klasifikasi derajat ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu derajat yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus
yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi
gagal ginjal kronik dalam lima derajat. Derajat pertama adalah kerusakan ginjal dengan faal ginjal yang masih normal, derajat kedua kerusakan ginjal dengan penurunan faal ginjal yang ringan, derajat ketiga kerusakan ginjal dengan penurunan faal ginjal yang sedang, derajat keempat kerusakan ginjal dengan penurunan faal ginjal yang berat, dan derajat kelima adalah gagal ginjal.
8
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar laju filtrasi glomerulus, yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut : LFG (ml/mnt/1,73m2)
= (140 – umur) X berat badan 72 X kreatinin plasma (mg/dl)
pada perempuan dikalikan 0,85 Klasifikasi gagal ginjal kronik dapat dibedakan menurut derajat penyakit : Derajat
Deskripsi
Nama lain
I
Kerusakan ginjal dengan GFR normal Kerusakan ginjal dengan GFR ringan Penurunan GFR tingkat sedang Penurunan GFR tingkat berat Gagal ginjal
Risiko
II
III IV V
GFR (ml/menit/1,73m2) >90
Chronic renal 60-89 insufisiensi Chronic renal 30-59 failure (CRF) CRF 15-59 End-stage renal <15 disease(ESDR)
Sumber: (Levey et,al 2010) Berdasarkan
gambaran
umum
perjalanan
klinis,
GGK
dapat
dibagi menjadi tiga stadium, yaitu: a. Stadium I Stadium ini dinamakan penurunan cadangan ginjal, selama stadium ini kreatinin serum dan kadar nitrogen urea darah (BUN) normal dan penderita asimtomatik atau tanpa gejala yang berarti. Gangguan faal ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut seperti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan melakukan tes LFG yang teliti.
9
b. Stadium II Stadium ini disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi sudah mengalami kerusakan. LFG besarnya 25% dari normal. Pada stadium ini kadar nitrogen urea darah (BUN) dan kadar kreatinin serum mulai meningkat di atas batas normal. Pada stadium ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria mulai timbul. Gejala ini muncul sebagai respons terhadap stres dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Nokturia didefinisikan sebagai gejala pengeluaran kemih pada malam hari yang menetap sampai sebanyak 700 ml atau penderita terbangun untuk berkemih beberapa kali pada malam hari. Nokturia disebabkan oleh hilangnya pola pemekatan kemih diurnal normal sampai tingkat tertentu di malam hari. Dalam keadaan normal perbandingan antara jumlah kemih siang hari dan malam hari yaitu 3:1 atau 4:1. Poliuria berarti peningkatan volume kemih yang terus menerus. Normalnya pengeluaran kemih sekitar 1500 ml per hari dan dapat berubah – ubah sesuai jumlah cairan yang diminum. Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang merusak
tubulus, meskipun biasanya poliuria bersifat sedang dan
jarang melebihi 3 liter per hari (Wilson, 2006). c. Stadium III Stadium ini disebut gagal ginjal stadium akhir atau uremia. Tahap ini timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron telah hancur atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin sebesar 5-10 ml per menit atau
10
kurang. Pada stadium ini kadar kreatinin serum dan kadar nitrogen urea darah (BUN) akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak mampu lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya mengalami oligurik yaitu pengeluaran kemih kurang dari 500 ml per hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit awalnya menyerang tubulus ginjal (Wilson, 2006). 2.1.3. Faktor yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel dari berbagai penyebab dan antara negara yang satu dengan
negara
lain
sangat
bervariasi.
Berikut ini faktor-faktor yang
berhubungan dengan gagal ginjal kronik: 1. Umur Menurut Pranandari (2015) secara klinik pasien usia >60 tahun mempunyai risiko 2,2 kali lebih besar mengalami penyakit ginjal kronik dibandingkan dengan pasien usia <60 tahun. Hal ini disebabkan karena semakin bertambah usia, semakin berkurang fungsi ginjal dan berhubungan dengan penurunan kecepatan ekskresi glomerulus dan memburuknya fungsi tubulus. Penurunan fungsi ginjal dalam skala kecil merupakan proses normal bagi setiap manusia seiring bertambahnya usia, namun tidak menyebabkan kelainan atau
11
menimbulkan gejala karena masih dalam batas-batas wajar yang dapat ditoleransi ginjal dan tubuh. Namun, akibat ada beberapa faktor risiko dapat menyebabkan kelainan dimana penurunan fungsi ginjal terjadi secara cepat atau progresif sehingga menimbulkan berbagai keluhan dari ringan sampai berat, kondisi ini disebut penyakit ginjal kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD). 2. Jenis Kelamin Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin laki- laki dan jenis kelamin perempuan dengan kejadian penyakit ginjal kronik pada pasien hemodialisis. Secara klinik laki-laki mempunyai risiko mengalami penyakit ginjal kronik 2 kali lebih besar daripada perempuan.
Hal
ini
dimungkinkan
karena
perempuan
lebih
memperhatikan kesehatan dan menjaga pola hidup sehat dibandingkan laki-laki, sehingga laki-laki lebih mudah terkena penyakit ginjal kronik dibandingkan perempuan (Pranandari, 2015) 3. Diabetes mellitus Tingginya kadar gula dalam darah pada penderita diabetes melitus membuat ginjal harus bekerja lebih keras dalam proses panyaringan darah,
dan
mengakibatkan
kebocoran
pada
ginjal.
Awalnya, penderita akan mengalami kebocoran protein albumin yang dikeluarkan oleh urine, kemudian berkembang dan mengakibatkan fungsi penyaringan ginjal menurun. Pada saat itu, tubuh akan mendapatkan banyak limbah karena menurunnya fungsi Apabila hal
ini
berlangsung terus
menerus maka
ginjal. akan
12
mengakibatkan diabetes
terjadinya
melitusjuga
gagal
ginjal
mempunyai
kronik. kadar
Pada penderita kolesterol
dan
trigliserida plasma yang tinggi, sedangkan konsentrasi HDL (high density lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya sangat rendah. Sirkulasi yang buruk ke beberapa organ mengakibatkan hipoksia dan cedera jaringan, yang akan merangsang reaksi peradangan yang dapat menimbulkan aterosklerosis. Patogenesis aterosklerosis dimulai dengan adanya inflamasi pada pembuluh darah. Dengan adanya hiperglikemia yang kronis, insulin dapat secara langsung menstimulasi pembentukan aterosklerosis. Aterosklerosis akan menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah yang akan berakibat pada berkurangnya suplai darah ke ginjal. Hal ini akan mengakibatkan gangguan pada proses filtrasi di glomerulus yang dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal. (Sue et al., 2003). 4. Hipertensi Menurut American Kidney Fund, hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya gagal ginjal kronik. Peningkatan tekanan dan regangan yang berlangsung kronis pada arteriol kecil dan glomeruli akan menyebabkanpembuluh ini mengalami sklerosis. Lesi – lesi sklerotik pada arteri kecil, arteriol dan glomeruli menyebabkan terjadinya nefrosklerosis. Lesi ini bermula dari adanya kebocoran plasma melalui membran intima pembuluh-pembuluh ini, hal ini mengakibatkan terbentuknya deposit fibrinoid di lapisan media pembuluh,
yang
disertai dengan penebalan progresif pada dinding pembuluh yang
13
nantinya akan membuat pembuluh darah menjadi vasokonstriksi dan akan menyumbat pembuluh darah tersebut. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak, yang menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronik. (Saad, 2014). 2.1.4 Patofisiologi Patofisiologi gagal ginjal kronik pada mulanya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi struktural dan
fungsional
nefron
yang
masih
tersisa
sebagai
upaya kompensasi,
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat dan akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Kemudian diikuti penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progesifitas gagal ginjal kronik yaitu albuminuria, hipertensi, hiperglikemia dan dislipidemia (Noer, 2009). Pada stadium paling dini gagal ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadangan ginjal pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat.Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Hingga LFG sebesar 60%, penderita masih belum merasakan keluhan, tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada
14
LFG sebesar 30% mulai timbul keluhan pada penderita seperti, nokturia, mual, nafsu makan kurang, badan lemah dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30% penderita memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, hipertensi, ganguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lainnya. Dan pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala yang serius dan penderita sudah membutuhkan terapi pengganti fungsi ginjal antara lain dialisis atau transplantasi ginjal (Noer, 2009).. 2.1.5. Manifestasi klinis Menurut Smeltzer dan Bare (2008) tanda dan gejala penyakit ginjal kronik didapat antara lain : 1. Kardiovaskuler yang ditandai dengan adanya hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital, friction rub pericardial, serta pembesaran vena leher 2. Integumen yang ditandai dengan warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh serta rambut tipis dan kasar 3. Pulmoner yang ditandai dengan krekeis, sputum kental dan liat, napas dangkal seta pernapasan kussmaul 4. Gastrointestinal yang ditandai dengan napas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare, serta perdarahan dari saluran Gastrointestinal 5.
Neurologi yang ditandai dengan kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, serta perubahan perilaku
15
6. Muskuloskletal yang ditandai dengan kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang serta foot drop 7. Reproduktif yang ditandai dengan amenore dan atrofi testikuler. 2.1.6 Pendekatan diagnosis Diagnosis gagal ginjal kronik dapat ditegakkan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut (Sukandar, 2006). a. Kerusakan
ginjal
yang
terjadi
lebih
dari
3
bulan,
berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG),
yang ditandai dengan adanya:
kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urine, atau kelainan radiologi. b. Laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 ml/menit/1,73m 2
selama 3
bulan,dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Pendekatan diagnosis dapat dilakukan dengan cara melihat gambaran klinis, gambaran laboratoris, gambaran radiologis, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal. 1. Gambaran klinis Gambaran klinis penderita gagal ginjal kronik meliputi: 1). Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti DM, infeksi traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus eritematosus sistemik, dan lain- lain. anoreksia,
2).
Sindrom
uremia
yang
terdiri
dari
lemah,
mual, muntah, letargi, nokturia, kelebihan volume cairan,
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. 3). Gejala komplikasinya yaitu, hipertensi, payah jantung,
16
anemia, osteodistrofi
renal,
asidosis
metabolik,
gangguan
keseimbangan elektrolit (Sukandar, 2006). 2. Gambaran laboratories Gambaran laboratorium gagal ginjal kronik meliputi: 1). Sesuai dengan penyakit
yang mendasarinya.
2).
Penurunan
faal
ginjal
berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG. 3). Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiper atau hipokloremia, hiponatremia, hipokalsemia, hiperfosfatemia, asidosis metabolik. 4). Kelainan urinalisis meliputi, proteinemia, leukosituria, hematuria, cast, isostenuria. 3. Gambaran radiologis Gambaran radiologi gagal ginjal kronik meliputi: 1). Foto polos abdomen dapat tampak batu radio-opak. 2). Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak dapat melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. 3). Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. 4). Ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, kalsifikasi, massa. 5). Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi (Sukandar, 2006).
17
4. Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal Biopsi dan pemeriksaan hitopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk
mengetahui
etiologi,
menetapkan
terapi,
prognosis,
dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasikontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas. (Sukandar, 2006). 2.1.7 Penatalaksanaan Perencanaan tatalaksana gagal ginjal kronik sesuai derajat penyakitnya, dapat dilihat pada tabel 2.2. Table 2.2 . rencana tatalaksana GGK sesuai dengan derajatnya No. 1.
2. 3. 4. 5.
Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2
Rencana tatalaksana
>90
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi pemburukan fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular 60-89 Menghambat pemburukan fungsi ginjal 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal <15 Terapi pengganti ginjal Sumber: (12) Sukandar, 2006). Terapi gagal ginjal kronik dibagi menjadi dua, yaitu terapi non
farmakologi dan terapi farmakologi.
18
1. Terapi non farmakologi a. Pengaturan asupan protein: mulai dilakukan pada LFG ≤60 ml/mnt sedangkan di atas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8 kgBB/hari b. Pengaturan asupan kalori: 30-35 kkal/kgBB/hari c. Pengaturan
asupan
lemak:
30-40%
dari
kalori
total
dan
mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh d. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total e. Garam (NaCl): 2-3gram/hari f. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari g. Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari (pasien HD: 17 mg/hari) h. Kalsium: 1400-1600 mg/hari i. Besi: 10-18 mg/hari j. Magnesium: 200-300 mg/hari k. Asam folat pasien HD: 5 mg l. Air: jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss) 2. Terapi farmakologi a. Kontrol tekanan darah Penghambat Enzim Konverting Angiotensin (ACE inhibitor) dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal, bila terdapat peningkatan kreatinin >35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.
19
b. Penghambat kalsium c. Diuretik d. Untuk pasien diabetes melitus, kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk diabetes melitus tipe 1 yaitu 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk diabetes melitus tipe 2 yaitu 6%. e. Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl f. Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), kalsitrol g. Koreksi asidosis metabolik dengan target HC03 20-22 mEq/l h. Koreksi hiperkalemia Kontrol dislipidemia dengan target LDL 100 mg/dl dianjurkan golongan statin i. Terapi ginjal pengganti (Sukandar, 2006).
2.2 Hemodialisa 2.2.1 pengertian Ada 3 jenis terapi pengganti ginjal untuk klien dengan end-stage renal disease yaitu, hemodialisis (HD), peritonieal dialysis, dan transplantasi ginjal, lamanya menjalani terapi hemodialisis dapat mempengaruhi terapi (Campell Walsh,2012). Hemodialisa adalah pengganti ginjal modern menggunakan dialysis untuk mengeluarkan zat terlarut yang tidak diinginkan melalui difusi dan hemofiltrasi
20
untuk mengeluarkan air yang membawa serta zat terlarut yang tidak diinginkan (O’callaghan, 2007). Hemodialisi dapat didefenisikan sebagai salah satu proses pengubahan komposisi solute darah oleh larutan lain (larutan dialysis). Tetapi pada prinsipnya, hemodialisis adalah suatu proses pemisah atau penyaringan atau pembersih darah melalui suatu membrane semipermiabel yang dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal baik akut maupun kronik (Suhardjono,2014). 2.2.2 Tujuan Tujuan dilaksanakanya terapi Hemodialisis adalah untuk menghilangkan gejala yaitu untuk mengendalikan uremia, kelebihan cairan dan ketidak seimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien penyakit ginjal tahap akhir. Selain itu,memungkinkan kehidupan untuk menjalani dan membarikan kehidupan yang layak untuk dijalani,tidak hanya menjaga pasien agar tetap hidup dengan dialysis (Tallis, 2005). 2.2.3 Prinsip dialysis Jika darah dipisahkan dari suatu cairan membran semipermeabel,maka elektrolit dan zat lain akan berdifusi melewati membrane sampai tercapai keseimbangan, pada hemodialisis,digunakan membran sintetik,sedangkan pada dialysis peritoneal digunakan membrane peritoneal ( O’callagan, 2007). Terdapat 3 komponen utama yang terlibat dalam proses hemodiaisis yaitu alat dialyzer, cairan dialisat dan sistem penghantar darah. Dialyzer adalah alat dalam proses dialysis yang mampu mengalirkan darah dan dialisat dalam kompartemen-kompartemen di dalamnya, dengan dibatasi membrane semi permeable ( Depner,2010).
21
Hemodialisis merupakan gabungan dari proses difusi dan ultrafiltrasi difusi adalah perpindahan zat terlarut melalui membrab semipermeabel. Laju filtrasi terbesar terjadi pada perbedaan konsentrasi molekul terbesar. Ini adalah mekanisme utama untuk mengeluarkan molekul kecil seperti urea, kreatinin, elektrolit, dan untuk menambahakan serum bikarbonat. Zat terlarut yang terikat dengan protein tidak dapat dibuang melalui difusi karena proten yang terikat tidak dapat menembus membrane ( Suhardjono,2014). 2.2.4 Indikasi dan Kontraindikasi Kidney
Disiase
outcome
Quality
(KDOQI)
tahun
2015
merekomendasikan untuk mempertimbangkan manfaat serta resiko terapi pengganti ginjal pada pasien dengan LFG <30/mL/menit/1.73m2 ( tahap 4). Edukasi mengenai penyakit ginjal kronik dan pilihan terapi dialysis mulai diberikan kepada pasien dengan penyakit ginjal kronik tahap 4, termasuk pasien yang mamiliki kebutuhan segera untuk dialysis, keputusan untuk memulai perawatan dialysis pasien harus didasarkan pada penilaian tanda atau gejala uremia pada pasien,tanda kekurangan energy-protein,bukan pada pasien dengan stadium tertentu tanpa adanya tanda-tanda atau gejala tersebut ( Rocco et,al 2015). Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik tahap 5 inisiasi hemodialisa dimulai dengan indikasi sebagai berikut : 1. Kelebihan (Overload ) cairan yang sulit dikendalikan dan/hipertensi 2. Hiperkalemia yang refrakter terhadap restriksi diit dan terapi farmakologis 3. Asidosis metabolic yang refrakter terhadap pemberian bikarbonat 4. Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi pengikat posfat
22
5. Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropotein dan besi 6. Adanya penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup tanpa alasan yang jelas. 7. Penurunan barat badan atau malnutrisi,terutama apabila disertai gejala mual,muntah,atau adanya bukti lain gastroduodenitis. 8. Adanya gangguan Neurologis (neuropati ensefalopati, gangguan psikiatri), pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh penyakit lain serta diathesis hemoragik dengan pemanjangan waktu perdarahan. Hemodialisis diindikasikan pada pasien dalam keadaan akut yang memerlukan terapi dialysis jangka pendek (beberapa hari atau beberapa minggu) atau pasien dengan gagal ginjal tahap akhir
yang memerlukan terapi jangka
panjang/permanen (Smeltzer et,al .2008). Secara umum indikasi dilakukan hemodialisis pada penderita gagal ginjal adalah : 1. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 15ml/menit 2. Hiperkalemia 3. Kegagalan terapi konservatif 4. Kadar ureum lebih dari 200mg/ml 5. Kreatinin lebih dari 65mEq/L 6. Anuria berkepanjangan lebih dari 5 kali Kontraindikasi dilakukanya hemodialisis dibedakan menjadi 2 yaitu, kontraindidkasi absolut dengan kontraindikasi relatif . kontraindikasi absolut adalah
apabila
tidak
didapatkanya
akses
vascular.
Sedangkan
untuk
23
kontraindidkasi relatif adalah apabila ditemukanya kesulitan akses vascular, fobia terhadap jarum, gagal jantung dan koagulopati (Suhardjono,2014). 2.2.5 Adekuasi Hemodialisis Adekuasi atau kecukupan dosis hemodialisis dicapai setelah proses hemodialisis tercapai apabila pasien merasa nyaman dan keadaan menjadi lebih baik. Dan dapat menjalani hidup lebih panjang meskipun harus dengan penyakit gagal ginjal kronik (Smeltzer et,al .2008). Kecukupan dialysis ditentukan berdasarkan kriteria klinis atas dasar formula Kxt/V ,seperti yang direkomendasikan oleh KDOQI .K adalah klirens urea dari dialyzer,t adalah lama dialysis dan V adalah volume distribusi urea (Rocco et,al.2015). Dosis hemodialisis merupakan jumlah bersihan fraksi urea dalam satu sesi dialysis yang dipengaruhi oleh ukuran tubuh pasien. Fungsi ginjal sisa, asupan protein dalam makanan,derajat anabolisme atau katabolisme,dan adanya komorbid .kecukupan (adecuacy) dialysis menjadi target dosis dialysis saat ini dipakai juga URR (% Urea Reduction Rate) atau besarnya ureum dalam persen. URR= 100%x (1-(ureum sebelum/ureum sesudah dialysis), pada hemodialisis yang dilakukan 3 kali seminggu dianjurkan target URR setiap kali hemodialisis adalah diatas 65% (Suhardjono, 2014). Untuk setiap sesi hemodialisis,status Fsikologis pasien harus dinilai sehingga resep dialysis dapat disejajarkan dengan tujuan setiap terapinya (Himmelfarb & Ikizler, 2010).
24
2.2.6 Komplikasi Komplikasi akut pergerakan darah keluar sirkulasi menuju sirkut dialysis dapat menyebabkan hipotensi. Dialysis awal terlalu agresif dapat menyebabkan disequilibrium ( ketidakseimbangan) dialysis. Nyeri kepala selama dialysis dapat disebabkan oleh efek vasodilstor asesat. Gatal selama atau sesudah hemodialisis dapat merukan gatal pada gagal ginjal kronik yang dieksaserbasi oleh pelepasan histamin akibat reaksi alergi ringan terhadap membrane dialysis. Kram pada dialysis mungkin mencerminkan pergerakan elektrolit melewati membrane otot. Hipoksemia selama dialysis disebabkan oleh pengeluaran bikarbonat atau pembentukan pirau dalam paru akibat perubahan vasomotor yang diinduksi oleh zat yang diaktivasi oleh membrane dialysis ( O’Challaghan , 2007). Komplikasi kronik atau komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa antar lain,penyakit kardiovaskular (Suhardjono, 2014). Salah satu kesulitan utama pada pasien dialysis jangka panjang adalah mortalitas
yang
berhubungan
dengan
infrak
miokard
dan
penyakit
serebrovaskuler. Hal ini mungkin diakibatkan oleh faktor risiko yang umum pada pasien uremik seperti, hipertensi, hiperlipidemi, klasifikasi varkuler, akibat hipertiroidisme dan curah jantung yang tinggi akibat anemia atau faktor lain (Harrison, 2014). 2.2.7 Lama Terapi Hemodialisis KDOQI merekomendasikan bahwa pasien dengan residual kidney function rendah (kurang dari 2 ml/menit) menjalani hemodialisis tiga kali seminggu dengan durasi 3 jam setiap kali hemodialisis (Roccoet al., 2015).
25
Membagi lama terapi henodialisis menjadi 3 yaitu, kurang dari 12 bulan, 12-24 bulan, dan lebih dari 24 bulan(Pranoto, 2010). Pasien yang menjalani hemodialisis selama lebih dari 10 tahun kemudian melakukan transplantasi ginjal memiliki outcome yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang melakukan transplantasi ginjal yang sebelumnya melakukan terapi hemodialisis dalam waktu yang lebih singkat (Campbell Walsh, 2012). 2.2.8 Peran perawat hemodialisa Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang. Sesuai kedudukanya dalam sebuah sistem dan dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar profesi keperawatan yang bersifat konstan (Farida, 2010). Peran perawat dalam meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit, serta memandang klien secara konferhensif. Peran perawat sebagai pemberi perawatan, membuat keputusan klinik, pelindung dan advokad, manejer kasus, rehabilitator, komunikatator, dan pendidik (Potter & Perry, 2005). Penyedian pelayanan yang konferehensif
untuk pasien yang membutuhkan
perawatan yang komperehensif telah berkembang menjadi upaya multidisiplin komplek yang melibatkan perawat (Rajeswari & Sivamani, 2010). Kallenbach (dikutip dalam dewi 2010) menyatakan bahwa peran dan fungsi perawat hemodialisa adalah sebagai care provider, educator dan researcher. Perawat dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai care provider dan educator sesuai dengan tahap proses hemodialisa. Tahapan tersebut dimulai dengan persiapan hemodialisis, pre hemodialisis, intra hemodialisis, post hemodialisis.
26
1. Persiapan hemodialisis Tahap ini perawat dapat member edukasi atau pendidikan kesehatan mengenai penyakit ginjal tahap akhir dan manfaat terapi hemodialisis. Perawat member dukungan kepada pasien dalam mengambil keputusan untuk mengikuti perapi hemodialisis dengan memfasilitasi pasien untuk bertemu dan berdiskusi dengan pasien yang telah mengikuti terapi hemodialisis, selanjutnya perawat memberikan penjelasan tentang cara pemasangan akses vascular sementara dan permanen (kolaborasi dengan dokter), perawatan akses dan penanganan komplikasi penanganan akses vascular. 2. Intra hemodialisis Peran perawat dalam tahap ini yang terpenting adalah penanganan komplikasi akut yang sering terjadi misalnya hipotensi, hipertensi, mual muntah, sakit kepala, kejang kram, demam disertai menggigil, nyeri dada dan gatal-gatal. Perawat melakukan kolaborasi dengan tim dokter penanganan komplikasi intra hemodialisis antara lain pengaturan Quick Blood, pemberian oksigen, pemberian medikasi, dan pemantauan cairan dialisat. 3. Post hemodialisis Tahap ini perawat melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah lengkap (ureum,kreatinin) , dan elektrolit darah,. Perawat dapat memberikan edukasi tentang diet, intake cairan dan pencapaian berat badan yang ideal selama pasien dirumah sebelum menjalani terapi hemodialisis selanjutnya. Setelah selesai hemodialisis pastikan akses tidak terjadi perdarahan sebelum membiarkan pasien pulang dan melakukan aktivitas kembali ( Rajewsawi & Sivamani 2010).
27
Perawat dapat menghabiskan waktu dengan pasien sehingga dengan hal itu pasien akan dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Hal ini tidak hanya cukup untuk memperpanjang umur pasien tetapi juga penting untuk merehabilitasi pasien sebaik mungkin. Penting bahwa perawat dapat mengidentifikasi area rejimen pengobatan
yang
dapat
mempengaruhi
kualitas
hidup
pasien
dang
mengembangkan strategi untuk mengurangi kualitas hidup yang negatif (Tallis,2005). Headley & Wall (dikutip dalam Farida, 2010). Praktek keperawatan hemodialisa merupakan keperawatan lanjutan yang dilakukan oleh perawat dialysis yang terdiri dari perawat pratisi dan perawat spesialis klinik dan memiliki sertifikat pelatihan dialysis.praktik keperawatan di Indonesia, unit hemodialisa umumnya diberikan oleh perawat tingkat diploma baik yang sudah maupun yang belum melakukan pelatihan dialysis. Peran perawat adalah menangani prosedur dialysis seluruhnya dengan sedikit pengawasan langsung dari dokter. Perawat yang paling sering kontak langsung dengan pasien yang sedang menjalani terapi hemodialisis. Dengan demikian perawat harus memiliki pengetahuan yang lebih banyak dan memyeluruh tentang patofisiologi gagal ginjal, mekanik dan aspek dialyzer dari hasil yang diharapkan dan komplikasi hemodialisis khususnya kebutuhan pasien mengenai hemodialisis. Perawat yang bekerja di unit hemodialisa dapat menikmati dalam kepuasan dalam membantu pasien hemodialisis mempertahankan kehidupanya yang produktif dan dapat hidup dalam jangka panjang dengan gagal ginjal kronik, perawat dapat merubah kehidupan pasien ( Rajeswari dan Sivamani 2010).
28
Perawat mempunyai tanggung jawab untuk semua bentuk terapi hemodialisis. Asuhan keperawatan berfokus pada penilaian dan pemantauan selama proses dialysis (Rajeswari dan Sevamani, 2010).berapa prioritas keperawatan dalam kaitannya dalam asuhan keperawatan pasa pasien hemodialisis yaitu, promosi heomestasis, menjaga kenyamanan, mencegah komplikasi, dan memberikan informasi tentang proses penyakit, prognosis dan pengobatan (Rajeswari dan Sivamani, 2010).
29
2.3 Kerangka Teori Hipertensi
Diabetes melitus
hiperglikemia
Peningkatan tekanana pembuluh darah
Filtrasi darah lebih berat
Kebocoran kapiler glomerulus
Lesi sklerotik
nefrosklerosis
Gagal ginjal kronik
Jenis kelamin
Umur
Skema 1. Kerangka teori penelitian
30
2.4 Kerangka konsep Variabel Dependen
Variabel Indevenden
Umur
Jenis kelamin Gagal ginjal kronik Diabetes mellitus
Hipertensi
Skema 2. Kerangka konsep
31
2.5 Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian , patokan duga, atau dalil sementara yang kebenarannya akan di buktikan dalam penelitian tersebut (Notoadmodjo, 2010 ) Adapun Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Ha : Ada hubungan umur dengan kejadian gagal ginjal kronik. Ho : Tidak ada hubungan umur dengan kejadian gagal ginjal kronik. Ha : Ada hubungan jenis kelamin kronik dengan kejadian gagal ginjal kronik. Ho : Tidak ada hubungan jenis kelamin kronik dengan kejadian gagal ginjal kronik. Ha : Ada hubungan diabetes melitus dengan kejadian gagal ginjal kronik. Ho : Tidak ada hubungan diabetes melitus dengan kejadian gagal ginjal kronik Ha : Ada hubungan hipertensi dengan kejadian gagal ginjal kronik. Ho : Tidak ada hubungan hipertensi dengan kejadian gagal ginjal kronik
32
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian observasi analitik, dengan desain case control.
Case
control
adalah
penelitian
yang
dilakukan
dengan
cara
membandingkan antara dua kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol
(Notoatmodjo,
2010).
Studi
kasus
kontrol
dilakukan
dengan
mengindentifikasi kelompok kasus dan kelompok kontrol, kemudian secara retrospektif diteliti factor-faktor risiko yang mungkin dapat menerangkan apakah kasus dan kontrol dapat terkena paparan atau tidak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian
gagal
ginjal
kronik pada pasien hemodialisis. 3.2 Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di unit hemodialisis RSUD Padangsidimpuan, 3.3 Waktu Penelitian Waktu penelitian dimulia dari bulan September 2018 sampai bulan April 2019 . berikut adalah tabel mengenai jadwal penelitian : Table 1. Jadwal Penelitian Kegiatan
Sep 2018
Okt 2018
Nov 2018
Pengajuan Judul Pembuatan proposal Ujian Proposal Pelaksanaan penelitian Penulisan hasil laporan Ujian hasil
33
Des 2018
Jan2 019
Feb Mar Apr 2019 2019 2019
33
3.4 Populasi Populasi merupakan seluruh subjek dan objek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti ( Nursalam, 2008 ). Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita gagal ginjal kronik yang sedang menjalani hemodialisa di ruang hemodialisa RSUD kota padangsidimpuan, sebanyak 42 orang. 3.5 Sampel Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang ingin diteliti,dengan menggunakan total sampling. Sampel dianggap sebagai perwakilan dari populasi yang hasilnya mewakili keseluruhan gejala yang di amati. Besar sampel dari penelitian ini adalah semua populasi yang berjumlah 42 orang. 3.6 Alat Pengumpulan Data Pada penelitian ini alat pengambilan data yang digunakan berupa panduan checklist observasi dengan mengacu pada landasan teori. Cara pengambilan data melalui observasi yang digunakan dalam bentuk checklist yaitu mengenai gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa. 3.7 Prosedur Pengumpulan Data Prosedur dalam pengumpulan data penelitian ini memerlukan beberapa tahap diantaranya: 1. Meminta surat pengantar dari Stikes Aufa Royhan Padangsidimpuan untuk melakuan penelitian setelah proposal disetujui oleh pembimbing. 2. Mengajukan surat permohonan izin kepada direktur RSUD Kota Padangsidimpuan. 3. Mengajukan surat permohonan izin kepada calon responden yang bersedia berpasrtisipasi dalam penelitian.
34
4. Menjelaskan tentang
manfaat
penelitian, tujuan penelitian, dan
kerahasiaan informasi yang akan diperoleh dari responden serta meminta kerja sama responden untuk bersedia di observasi di ruang HD RSUD Kota Padangsidimpuan. 5. Melakukan observasi di ruang HD RSUD Kota Padangsidimpuan. 6. Data yang didapat dari observasi diproses dan dianalisis. 3.8 Definisi operasional Tabel 3.1. Definisi operasional Variabel penelitian Dependent Umur
Jenis kelamin
Diabetes mellitus
Definisi
Alat ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
secara klinik pasien usia >60 tahun mempunyai risiko 2,2 kali lebih besar mengalami penyakit ginjal kronik dibandingkan dengan pasien usia <60 tahun
Rekam Medik
Diagnosis dokter
0 = tidak terdiagnosis gagal ginjal kronik
Ordinal
Secara klinik lakilaki mempunyai risiko mengalami penyakit ginjal kronik 2 kali lebih besar daripada perempuan.
Rekam Medik
Suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl) yang terjadi
Rekam Medik
1= terdiagnosis gagal ginjal kronik
Diagnosis dokter
0 = tidak terdiagnosis gagal ginjal kronik
Ordinal
1= terdiagnosis gagal ginjal kronik Diagnosis dokter
0 = tidak terdiagnosis gagal ginjal kronik 1= terdiagnosis gagal ginjal
Ordinal
35
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua – duanya.Dan diketahui dari diagnosis dokter di rekam medis. hipertensi
Variabel penelitian Independen Penyakit Gagal ginjal kronik
Tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg atau bila pasien memakai obat antihipertensi. Dan diketahui dari diagnosis dokter di rekam medis. Definisi Keadaan dimana terdapat kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional dengan atau tanpa penurunan LFG atau keadaan dimana LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Dan diketahui dari diagnosis dokter di rekam medis.
kronik
Rekam Medik
Diagnosis dokter
0 = tidak terdiagnosis gagal ginjal kronik
Ordinal
1= terdiagnosis gagal ginjal kronik
Alat ukur Panduan Observasi
Cara Ukur Observasi
Hasil Ukur 1. Ya 2.
tidak
Skala Ukur Ordinal
36
3.9 Pengolahan Dan Analisis Data 3.9.1 Pengolahan Data Data yang diperoleh kemudian dilakukan pengolahan data dengan cara editing, coding, processing dan cleaning dengan menggunakan komputer. Langkah – langkah pengolahan data sebagai berikut: 1.
Editing Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan kelengkapan dari data rekam medik yang akan diolah.
2. Coding Merupakan
kegiatan
untuk
mengklasifikasikan
data
berdasarkan
kategorinya masing – masing. Pemberian kode dilakukan setelah data diedit untuk mempermudah pengolahan data. a. Gagal ginjal kronik 1. Gagal ginjal kronik 2. Gagal ginjal terminal b. Hipertensi 1. Hipertensi 2. Tidak hipertensi c. Diabetes mellitus 1. Diabetes mellitus 2. Tidak diabetes mellitus d. Nefropati obstruksi 1. Nefropati obstruksi 2. Tidak nefropati obstruksi
37
e. Pielonefritis kronik 1. Pielonefritis kronik 2. Tidak pielonefritis kronik f. Processing Merupakan kegiatan memproses data yang dilakukan dengan cara mengentry (memasukan data) ke dalam program computer. g. Cleaning Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dientry apakah ada kesalahan atau tidak. 3.9.2
Analisis data 1. Analisis Univariat Analisis univariat merupakan analisis data yang dilakukan untuk memperoleh gambaran pada masing – masing variabel yang dinilai dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. 2.
Analisis Bivariat Analisis bivarat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Teknik analisis yang digunakan adalah uji statistik Chi Square. Derajat kepercayaan yang digunakan adalah 95% (α = 0,05). Jika p-value lebih kecil dari α (p < 0,05) maka terdapat hubungan yang bermakna dari kedua variabel yang diteliti. Apabila p- value lebih besar dari α (p > 0,05) maka tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kedua variabel yang diteliti.
38