Bab 1 2 & 3 Pm.docx

  • Uploaded by: indridwi71
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 1 2 & 3 Pm.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,534
  • Pages: 41
PROPOSAL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH TERAPI SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT) TERHADAP TEKANAN DARAH PADA LANSIA YANG MENGALAMI HIPERTENSI DI WILAYAH RANDU AGUNG RW 08 KELURAHAN SIDOTOPO WETAN KECAMATAN KENJERAN SURABAYA

Oleh :

PUTRI MARTALIA HENNI PRATIWI 16.11.055

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN AKADEMI KEPERAWATAN ADI HUSADA SURABAYA 2018

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Usia lanjut adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di

mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup (Darmojo, 2010). Lansia cenderung mengalami masalah kesehatan yang disebabkan oleh penurunan fungsi tubuh akibat proses penuaan. Proses penuaan merupakan proses yang mengakibatkan perubahan-perubahan meliputi perubahan fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Pada perubahan fisiologis terjadi penurunan sistem kekebalan tubuh dalam menghadapi gangguan dari dalam maupun luar tubuh. Salah satu gangguan kesehatan yang paling banyak dialami oleh lansia adalah pada sistem kardiovaskuler (Teguh, 2009). Seiring pertambahan usia akan terjadi penurunan elastisitas dari dinding aorta. Pada lansia umumnya juga akan terjadi penurunan ukuran dari organ-organ tubuh tetapi tidak pada jantung. Jantung pada lansia umumnya akan membesar. Hal ini nantinya akan berhubungan kelainan pada sistem kardiovaskuler yang akan menyebabkan gangguan pada tekanan darah seperti hipertensi (Fatmah, 2010). Salah satu gangguan kesehatan yang paling banyak dialami oleh lansia adalah pada sistem kardiovaskuler yaitu terjadi penurunan elastisitas dinding aorta, katup jantung menebal dan menjadi kaku, serta penurunan kemampuan jantung untuk memompa darah. Hal ini menurunya kontraksi dan volume darah, kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, serta terjadinya hipertensi akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer (Ismayadi, 2014). Data dari World Health Organization (WHO) didapatkan penderita hipertensi di seluruh dunia sekitar 972 juta orang (26,4%) dan akan terus meningkat hingga 29,2% di tahun 2025. Jumlah penderita hipertensi di negara berkembang, termasuk Indonesia adalah sekitar 333 juta orang (Yonata, 2016). Penyakit terbanyak pada usia lanjut berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 adalah hipertensi. dengan prevalensi 45,9% pada usia 55-64 tahun, 57,6% pada usia 65,74% dan 63,8% pada usia ≥ 75 tahun (Infodatin Kemenkes RI, 2016). Prevalensi hipertensi di Jawa Timur mencapai 26,2%, dimana sebanyak

62,4% prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok usia ≥ 75 tahun. Sedangkan prevalensi hipertensi di kota Surabaya mencapai 22,0% (Hestriantica & Rachmayanti, 2017) Berdasarkan hasil survey awal yang telah di lakukan di Wilayah Randu Agung RW 08 Kelurahan Sidotopo Wetan Kecamatan Kenjeran Surabaya, didapatkan 30 orang lansia yang mengalami hipertensi. Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah, tekanan darah sistolik lebih tinggi dari 130 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih tinggi dari 80 mmHg (AHA, 2017). Hipertensi sering kali tidak menimbulkan gejala, sementara tekanan darah yang terus-menerus tinggi dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan komplikasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, aktivitas fisik, faktor genetik (keturunan), asupan makan, kebiasaan merokok, dan stres (Rosta, 2011). Secara alamiah lansia akan mengalami penurunan fungsi organ dan mengalami labilitas tekanan darah (Mubarak dkk, 2006). Jika sirkulasi darah menjadi tidak memadai lagi, maka terjadilah gangguan pada sistem transportasi oksigen, karbondioksida, dan hasil-hasil metabolisme lainnya. Di lain pihak fungsi organ-organ tubuh akan mengalami gangguan seperti gangguan pada proses pembentukan air seni di dalam ginjal. Pada usia lansia, hipertensi terjadi akibat adanya perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh perifer yang bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya aorta dan arteri besar kurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung, mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer & Bare, 2013). Pengelolaan penyakit hipertensi ada dua cara, yaitu terapi farmakologis dan terapi non-farmakologis. Terapi farmakologis merupakan terapi obat yang diberikan kepada pasien guna membantu menurunkan tekanan darah yang tinggi (Bandiyah, 2009). Sedangkan terapi non farmakologis adalah terapi yang tidak menggunakan obat-obatan. Terapi non farmakologis tersebut meliputi relaksasi, olahraga, pijat, doa, hypnotherapy, dan lain-lain (Perry, 2010). Kendala utama

pada lansia yang mempunyai riwayat hipertensi biasanya sering mengalami rasa pusing dan tidak dapat mengontrol rasa sakitnya tersebut. Namun untuk mengurangi rasa sakit tersebut dapat diatasi dengan mengikuti terapi. Terapi yang akan digunakan yaitu terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT). Selain dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas tidur, pada penelitian sebelumnya oleh Puji lestari dkk (2018) di Desa Gondoriyo Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang dengan judul “Pengaruh Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Terhadap Peningkatan Kualitas Tidur Pada Lansia”. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa terapi SEFT dapat mempengaruhi peningkatan kualitas tidur pada lansia. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil perubahan tekanan darah yang telah diobservasi sebelum dilakukan intervensi dan sesudah dilakukan intervensi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terapi SEFT efektif untuk mengatasi peningkatan tidur yang dialami seseorang (Yassin, 2017). Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) adalah teknik penyembuhan yang memadukan keampuhan energi psikolog dengan kekuatan doa dan spiritualitas. Energi psikolog adalah ilmu yang menerapkan berbagai prinsip dan teknik berdasarkan konsep sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku seseorang. Efek doa dan spiritualitas terhadap kesembuhan penyakit telah diteliti secara mendalam oleh Dr. Larry Dossey, MD. Hasilnya menunjukkan adanya bukti ilmiah bahwa doa dan spiritualitas berpengaruh positif terhadap kesehatan dan juga dapat berpengaruh terhadap tekanan darah. Pada penyakit yang umum sekalipun, kondisi pikiran, emosi, tekanan darah, sikap kesadaran, dan doa-doa yang dipanjatkan oleh pasien sangat berpengaruh bagi kesembuhannya (Junaidi, 2004). Berdasarkan latar belakang di atas, Perubahan tekanan darah dapat dipengaruhi oleh terapi non-farmakologis. Adanya terapi tersebut berharap terdapat perubahan tekanan darah yang dialami pada lansia. Oleh sebab itu, Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia Hipertensi Di Wilayah Randu Agung RW 08 Kelurahan Sidotopo Wetan Kecamatan Kenjeran Surabaya”.

1.2

Rumusan Masalah Adakah Pengaruh Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique

(SEFT) Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia Hipertensi Di Wilayah Randu Agung RW VIII Kelurahan Sidotopo Wetan Kecamatan Kenjeran Surabaya”.

1.3

Tujuan

1.3.1

Tujuan Umum Mengetahui efektivitas Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique

(SEFT) Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia Hipertensi Di Wilayah Randu Agung RW 08 Kelurahan Sidotopo Wetan Kecamatan Kenjeran Surabaya”. 1.3.2

Tujuan Khusus 1.

Mengidentifikasi karakteristik responden di Wilayah Randu Agung RW 08 Kelurahan Sidotopo Wetan Kecamatan Kenjeran Surabaya.

2.

Mengobservasi tekanan darah pada lansia yang mengalami hipertensi di Wilayah Randu Agung RW 08 Kelurahan Sidotopo Wetan Kecamatan Kenjeran Surabaya, sebelum dilakukan terapi SEFT.

3.

Mengobservasi tekanan darah pada lansia yang mengalami hipertensi di Wilayah Randu Agung RW 08 Kelurahan Sidotopo Wetan Kecamatan Kenjeran Surabaya, setelah dilakukan terapi SEFT.

4.

Menganalisis pengaruh Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia Hipertensi di Wilayah Randu Agung RW 08 Kelurahan Sidotopo Wetan Kecamatan Kenjeran Surabaya.

1.4

Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu :

1.4.1

Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi referensi atau

masukan bagi perkembangan ilmu kesehatan dan menambah kajian ilmu kesehatan khususnya ilmu keperawatan untuk mengetahui bagaimana strategi pengelolaan yang dapat diterapkan pada lansia yang mengalami hipertensi.

1.4.2

Manfaat Praktis Secara praktis, diharapkan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan

masukan bagi : 1. Institusi Pendidikan Menambah referensi kepustakaan yang dapat digunakan untuk melakukan penelitian lebih lanjut. 2. Tempat Peneliti Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi pada lahan penelitian terkait dengan pengaruh terapi SEFT terhadap perubahan tekanan darah pada lansia yang mengalami hipertensi. 3. Responden Upaya untuk memperbaiki pengelolaan masalah hipertensi sekaligus untuk pencegahan peningkatan tekanan darah pada lansia. 4. Peneliti Dapat menambah informasi dan pengalaman baru tentang pengaruh terapi SEFT terhadap perubahan tekanan darah pada lansia yang mengalami hipertensi.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dikemukakan tentang konsep dasar atau teori yang dirumuskan dalam judul sebagai bahan acuan dalam melaksanakan penelitian.

2.1

Konsep Dasar Lansia

2.1.1

Pengertian Lansia Lansia (usia lanjut) secara umum adalah seseorang yang apabila usianya

65 tahun keatas (Effendi dan Mukhfudli, 2009). Lanjut usia (lansia) merupakan salah satu fase kehidupan yang dialami oleh individu yang berumur panjang. Lansia tidak hanya meliputi aspek biologis, tetapi juga meliputi psikologis dan sosial. Perubahan yang terjadi pada lansia dapat disebut sebagai perubahan “senses dan perubahan “senilitas’’. Perubahan senses adalah perubahan-perubahan normal dan fisiologik akibat usia lanjut. Sedangkan perubahan senelitas adalah perubahan-perubahan patologik permanen dan disertai dengan semakin memburuknya kondisi badan pada usia lanjut. Sementara itu, perubahan yang dihadapi lansia pada umumnya adalah pada bidang klinik, kesehatan jiwa, dan masalah dibidang sosial dan ekonomi. Oleh karena itu lansia dikelompokkan dengan resiko tinggi dengan masalah fisik dan mental (Murwani, 2010). Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa dan akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Lansia merupakan suatu proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir. Dimasa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap (Azizah, 2011).

2.1.2

Pengelompokan Lansia Pengelompokan lansia berdasarkan batasan umur menurut beberapa pendapat yaitu: (Maryam, 2008).

1.

Menurut organisasi kesehatan dunia, WHO ada 4 tahap yaitu: 1) Usia pertengahan (middle age), adalah kelompok usia 45-59 tahun. 2) Lanjut usia (elderly) antara usia 60-74 tahun 3) Usia tua (old) antara 75-90 tahun 4) Usia sangat tua (very old ) diatas 90 tahun

2.

Batasan umur lansia menurut Depkes RI (2003) meliputi : 1) Pra lansia (presenalis): antara usia 45-59 tahun 2) Lansia: berusia 60-69 tahun 3) Lansia berisiko: Usia diatas 70 tahun.

2.1.3

Tipe-Tipe Lansia

Tipe-tipe lansia menurut (Azizah, 2011). di bagi menjadi : 1.

Tipe arif bijaksana Kaya dengan hikmah pengalaman menyesuaikan diri dengan perubahan jaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sesederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.

2.

Tipe mandiri Mengganti kegiatan-kegitan yang hilang dengan kegiatan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, teman pergaulan, serta memenuhi undangan.

3.

Tipe tidak puas Konflik lahir batin menentang proses ketuaan, yang menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik jasmaniah, kehilangan kekuasaan, status, teman yang disayangi, pemarah, tidak sabar, mudah tersingung, menuntut, sulit dilayani dan pengkritik

4.

Tipe pasrah Menerima dan menunggu nasib yang baik, mempunyai konsep habis gelap datang terang, mengikuti kegiatan ibadah, ringan kaki, pekerjaan apa saja dilakukan.

5.

Tipe bingung Kaget kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, merasa minder, menyesal, pasif, mental, sosial dan ekonominya. Tipe ini antara lain: 1) Tipe optimis. 2) Tipe konstruktif. 3) Tipe ketergantungan ( dependen ). 4) Tipe defensive. 5) Tipe marah dan frustasi (the agry man). 6) Tipe putus asa ( benci pada diri sendiri ) atau self heating man.

2.1.4

Proses Menua Proses menua (aging process) adalah suatu proses menghilangnya secara

perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantindes, 1994; Darmojo, 2004). Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Sebenarnya tidak ada batasan yang tegas pada usia berapa penampilan seseorang mulai menurun. Pada setiap orang, fungsi fisiologis alat tubuhnya sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak maupun saat menurunnya. Hal ini juga sangat individu, namun umumnya fungsi fisiologis tubuh mencapai puncaknya pada usia antara 20 dan 30 tahun. Setelah mencapai fungsi, alat tubuh akan berada dalam kondisi tetap utuh beberapa saat, kemudian menurun sedikit demi sedikit sesuai dengan bertambahnya umur (Azizah, 2011). 2.1.5 1.

Perubahan- Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia Perubahan Fisik 1) Sistem Indra. Sistem pendengaran; Prebiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60 tahun (Akmadi, 2016).

2) Sistem Integumen Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat padakulit dikenal dengan liver spot (Akmadi, 2016). 3) Sistem Muskuloskeletal Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia: Jaringan penghubung (kolagen dan elastin), kartilago, tulang, otot dan sendi. Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur. Kartilago: jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi, sehingga permukaan sendi menjadi rata. Kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progresif, konsekuensinya kartilago pada persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan. Tulang: berkurangnya kepadatan tulang setelah diamati adalah bagian dari penuaan fisiologi, sehingga akan mengakibatkan osteoporosis dan lebih lanjut akan mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur. Otot: perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi, penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek

negatif. Sendi;

pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan fasia mengalami penuaan elastisitas

(Akmadi, 2016).

4) Sistem Kardiovaskuler. Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia adalah massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi sehingga peregangan

jantung

perubahan

jaringan

penumpukan

berkurang, ikat.

lipofusin,

kondisi

Perubahan

klasifikasi

SA

ini

ini

terjadi

karena

disebabkan

Node

dan

konduksi berubah menjadi jaringan ikat (Akmadi, 2016).

oleh

jaringan

5) Sistem Respirasi. Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah untuk mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang mengalir ke paru berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak mengakibatkan gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan toraks berkurang (Akmadi, 2016). 6) Pencernaan dan Metabolisme. Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti penurunan produksi

sebagai

kemunduran

fungsi

yang

nyata

karena

kehilangan gigi, indra menurun, rasa lapar menurun (kepekaan rasa lapar menurun), liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan, dan berkurangnya aliran darah (Akmadi, 2016). 7) Sistem Perkemihan. Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan.

Banyak

fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal (Akmadi, 2016). 8) Sistem Saraf. Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (Akmadi, 2016). 9)

Sistem Reproduksi.

Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki testis masih

dapat

memproduksi

spermatozoa,

meskipun

penurunan secara berangsur-angsur (Akmadi, 2016). 2.

Perubahan Kognitif 1) Memory (Daya ingat, Ingatan). 2)

Intellegent Quotient (IQ).

3) Kemampuan Belajar (learning).

adanya

4) Kemampuan Pemahaman (comprehension). 5) Pemeahan Masalah (problem solving). 6) Pengambilan Keputusan (decision making). 7) Kebijakan (wisdom). 8) Kinerja (performance) 9) Motivasi 3.

Perubahan Mental 1) Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa. 2) Kesehatan umum. 3) Tingkat Pendidikan. 4) Keturunan (hereditas). 5) Lingkungan. 6) Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian. 7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan. 8) Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan teman. 9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri.

4.

Perubahan Spiritual Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya. Lansia semakin matang (mature) dalam kehidupan keagamaan, hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak sehari-hari (Akmadi, 2016).

5.

Perubahan Psikososia 1) Kesepian. Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal terutama jika lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti menderita penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama pendengaran. 2) Duka Cita Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh

pada lansia. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan kesehatan. 3) Depresi Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu diikuti dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi suatu episode depresi. Depresi juga dapat disebabkan karena stres lingkungan dan menurunnya kemampuan adaptasi. 4) Gangguan cemas. Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan cemas umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif kompulsif, gangguangangguan tersebut merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek samping obat, atau gejala penghentian mendadak dari suatu obat. 5) Parafrenia. Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham (curiga), lansia sering merasa tetangganya mencuri barangbarangnya atau berniat membunuhnya. Biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi/diisolasi atau menarik diri dari kegiatan sosial. 6) Sindroma Diogenes. Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan perilaku sangat mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena lansia bermain-main dengan feses dan urin nya, sering menumpuk barang dengan tidak teratur. Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut dapat terulang kembali. 2.1.6

Penyakit Yang Sering Dijumpai Pada Lansia

Dikemukakan adanya empat penyakit yang sangat erat hubungannya dengan proses menua, yakni : 1.

Gangguan sirkulasi darah, seperti ; hipertensi, kelainan pembuluh darah, gangguan pembuluh darah di otak (koroner), dan ginjal.

2.

Gangguan

metabolisme

hormonal,

seperti;

klimakterium, dan ketidakseimbangan tiroid.

diabetes

mellitus,

3.

Gangguan pada persendian, seperti : osteoartritis, gout artritis, ataupun penyakit kolagen lainnya.

4.

Berbagai macam neoplasma.

2.2

Konsep Hipertensi

2.2.1

Pengertian Hipertensi

Hipertensi merupakan keadaan ketika tekanan darah sistolik lebih dari 120 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 80 mmHg. Hipertensi sering menyebabkan perubahan pada pembuluh darah yang dpat mengakibatkan semakin tingginya tekanan darah (muttaqin, 2009). 2.2.2

Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan penyebabnya esensial hipertensi terbagi menjadi dua golongan.

1.

Hipertensi esensial atau hipertensi primer Merupakan 90% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi esensial

yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang tidak diketahui penyebabnya

(idiopatik).

Beberapa

faktor

berkembangnya hipertensi esensial seperti berikut

diduga

berkaitan

dengan

ini.

1) Genetik : individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi, berisiko tinggi untuk mendapatkan penyakit ini. 2) Jenis kelamin dan usia : laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita pasca menopause berisiko tinggi atau mengalami hipertensi. 3) Diet: konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung berhubungan dengan berkembangnya hipertensi. 4) Berat badan; obesitas (> 25% diatas BB ideal ) dikaitkan dengan berkembangnya hipertensi. 5) Gaya hidup; merokok dan konsumsi alkohol dapat meningkatkan tekanan darah bila gaya hidup menetap. 2.

Hipertensi Sekunder Hipertensi sekunder merupakan 10% dari seluruh kasus hipertensi, yang

didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah karena suatu kondisi fisik yang ada sebelumnya seperti penyakit ginjal atau gangguan tiroid. Faktor pencentus munculnya hipertensi sekunder antara lain: penggunaan kontrasepsi oral,

coarction aorta, neurogenik (tumor otak, ensefalitis, gangguan psikiatris), kehamilan, peningkatan volume intravaskuler, luka bakar, dan stress. (Muttaqin, 2009). 2.2.3

Manifestasi Klinis Hipertensi

Menurut Adinil, 2004 gejala klinis yang dialami oleh para penderita hipertensi biasanya berupa: pusing, mudah marah, telinga berdengung, sukar tidur, sesak napas, rasa berat ditengkuk, mudah lelah, mata berkunang-kunang, dan mimisan (jarang dilaporkan). Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahun-tahun. Sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intracranial. Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus optikus). Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Triyanto, 2014). 2.2.4

Komplikasi Hipertensi

1)

Stroke ; dapat timbul akibat perdarahan tekanan darah tinggi di otak, atau

akibat embolus yang telepas dari pembuluh non otak yang terpajan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik

apabila

tekanan

arteri-arteri

yang

dapat memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang. 2)

Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis

tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila berbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut. Hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. 3)

Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progesif akibat tekanan tinggi

pada kapiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan

mengalir keunit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Ketidakmampuan jantung memompa darah yang kembalinya ke jantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul diparu, kaki dan jaringan lain sering disebut edema. Tekanan yang tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Neuron – neuron disekitarnya kolap dan terjadi koma (Triyanto, 2014). 2.2.5

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi

Faktor-faktor hipertensi ada yang dapat dikontrol dan tidak dapat di kontrol dan tidak dapat dikontrol: 1.

Faktor yang dapat dikontrol : Faktor penyebab hipertensi yang dapat dikontrol pada umumnya

berkaitan dengan gaya hidup dan pola makan (Suiraoka, 2012). Faktor-faktor tersebut antara lain : 1) Kegemukan (Obesitas) Dari hasil penelitian, diungkapkan bahwa orang yang kegemukan mudah terkena hipertensi. Wanita yang sangat gemuk pada usia 30 tahun mempunyai resiko terserang hipertensi 7 kali lipat dibandingkan dengan wanita pada usia yang sama. 2) Kurang Olahraga Orang yang kurang aktif melakukan olahraga pada umumnya cenderung mengalami kegemukan dan akan menaikkan tekanan darah. Dengan olahraga kita dapat meningkatkan kerja jantung. Sehingga darah bisa dipompa dengan baik ke seluruh tubuh. 3) Konsumsi garam berlebihan Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi adalah melalui peningkatan volume plasma atau cairan tubuh dan tekanan darah. 4) Merokok dan mengkonsumsi alkohol Nikotin

yang

terdapat

dalam

rokok

sangat

membahayakan

kesehatan selain dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam

pembuluh darah, nikotin dapat menyebabkan pengapuran pada dinding

pembuluh

darah.

Mengkonsumsi

alkohol

juga

membahayakan kesehatan karena dapat meningkatkan katekholamin. Adanya katekholamin memicu kenaikan tekanan darah. 5) Stress Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara. Jika ketakutan, tegang atau dikejar masalah maka tekanan darah kita dapat meningkat. Tetapi pada umumnya, begitu kita sudah kembali rileks maka tekanan darah akan turun kembali. Hubungan stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis (saraf yang bekerja ketika beraktivitas) yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Hal tersebut belum terbukti secara pasti, namun pada binatang percobaan yang diberikan stres memicu binatang tersebut menjadi hipertensi (Susanto, 2010). 2.

Faktor yang tidak dapat dikontrol: 1) Keturunan (Genetika ) Faktor keturunan memang memiliki peran yang besar terhadap munculnya hipertensi. Hal tersebut terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak terjadi pada kembar monozigot ( berasal dari satu telur) dibanding heterozigot (berasal dari sel telur yang berbeda). Jika seseorang termasuk orang yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) dan tidak melakukan penanganan atau pengobatan makan ada kemungkinan lingkungannya akan menyebabkan hipertensi berkembang dan dalam waktu sekitar tiga puluhan tahun akan muncul tanda-tanda dan gejala hipertensi dengan berbagai komplikasinya (Susanto, 2010). 2) Jenis kelamin Pada umumnya pria lebih terserang hipertensi dibandingkan dengan wanita. Hal ini disebabkan pria banyak mempunyai faktor yang mendorong terjadinya hipertensi seperti kelelahan, perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan, pengangguran dan makan tidak

terkontrol. Biasanya wanita akan mengalami peningkatan resiko hipertensi setelah masa menopause. 3) Umur Dengan semakin bertambahnya usia, kemungkinan seseorang menderita hipertensi juga semakin besar. Hilangnya elastisitas jaringan dan arterosklerosis serta pelebaran pembuluh darah adalah faktor penyebab hipertensi pada usia tua (Susanto, 2010). 4) Status Ekonomi Dari data epidemiologi menunjukan bahwa angka tekanan darah dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi terdapat pada golongan sosioekonomi rendah. Hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan, penghasilan dan pekerjaan. 2.2.6

Kategori Hipertensi Tabel 2.1 klasifikasi hipertensi No.

Kategori

Sistolik (mmHg)

Diastolik (mmHg)

1.

Normal

< 120

< 80

2.

Prehipertensi †

120 – 139

80 – 89

3.

Hipertensi stadium 1

140 – 159

90 – 99

4.

Hipertensi stadium 2

≥ 160

≥ 100

Sumber : American Heart Association News (AHA), 2017. 2.2.7

Penatalaksanaan Hipertensi

1.

Terapi Farmakologis Tujuan terapi dari hipertensi adalah menurunkan morbidiatis dan

mortalitas

terutama

yang

terkait

dengan

komplikai

hipertensi

seperti

kardiovaskuler, ginjal, cerebrovaskuler dan gagal jantung 1) Diuretik: klorotiazid, hidroflumetiazid, politiazid Diuretik merupakan terapi dasar antihipertensi pada sebagian besar penelitian.

Pada

penelitian-penelitian

tersebut,

termasuk

Antihypertensive And Lipid Lowering Treatment To Prevent Heart Attack Trial, diuretik lebih baik dalam mencegah komplikasi

kardiovaskular akibat penyakit hipertensi. Diuretik menambah keampuhan obat-obat hipertensi, berguna untuk mengontrol tekanan darah dan lebih terjangkau dari pada obat-obat antihipertensi lain. 2) Antagonis adrenergik: fenilefrin, fenobarbital Beta blocker berguna pada penatalaksanaan takiaritmia arteri/fibrilasi, migraine, tirotoksikosis (jangka pendek), tremor esensial, atau hipertensi perioperatif. Beta blocker biasanya dihindari pada pasien yang memiliki riwayat asma, penyakit saluran pernafasan reaktif atau blok jantung derajat dua atau tiga. Digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Gol ini lebih efektif pada pasien usia muda dan kurang efektif pada pasien usia lanjut. 3) Vasodilator direct: prasosin, hidralasin Vasodilator yang bekerja langsung adalah obat yang bekerja dengan merelaksasi otot otot polos dari pembuluh darah, terutama arteri, sehingga menyebabkan vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi tekanan darah akan turun dan natrium serta air tertahan, sehingga terjadi edema perifer. Diuretik dapat diberikan bersama-sama dengan vasodilator yang bekerja langsung untuk mengurangi edema. Refleks takikardia disebabkan oleh vasodilatasi dan menurunnya tekanan darah. Penghambat beta seringkali diberikan bersama-sama dengan vasodilator arteriola untuk menurunkan denyut jantung. 4) Penghambat ACE: zofenopril, lisinopril, fosinopril, enalapril Efektif untuk hipertensi ringan, sedang,maupun berat. ACE inhibitor terpilih untuk hipertensi dengan gagal jantung kongestif. Juga sangat berefek positif terhadap lipid darah dan mengurangi resistensi insulin sehingga baik untuk hipertensi pada diabetes, dislipidemia dan obesitas. 5) Antagonis saluran kalsium: nifedipin, diltiasem, dan veramapil Antagonis kalsium telah menjadi salah satu golongan AH tahap pertama.Terbukti efektif pada hipertensi dg kadar renin yang rendah

seperti pada usia lajut. Tidak dianjurkan untuk hipertensi dengan Penyakit Jantung Koroner. 2.

Terapi Non-Farmakologis Terapi

non-farmakologis

merupakan

terapi

yang digunakan

tanpa

menggunakan obat-obatan. Terapi ini antara lain adalah :

1) Mengurangi konsumsi garam. Pembatasan konsumsi garam sangat dianjurkan, maksimal 2 g garam dapur untuk diet setiap hari. 2) Menghindari kegemukan (obesitas). Hindarkan kegemukan (obesitas) dengan menjaga berat badan (b.b) normal atau tidak berlebihan. Batasan kegemukan adalah jika berat badan lebih 10% dari berat badan normal. 3) Membatasi konsumsi lemak. Membatasi konsumsi lemak dilakukan agar kadar kolesterol darah tidak terlalu tinggi. Kadar kolesterol darah yang tinggi dapat mengakibatkan

terjadinya

endapan

kolesterol

dalam

dinding

pembuluh darah. Lama kelamaan, jika endapan kolesterol bertambah akan menyumbat pembuluh nadi dan menggangu peredaran darah. Dengan demikian, akan memperberat kerja jantung dan secara tidak langsung memperparah hipertensi. 4) Olahraga teratur. Olahraga secara teratur dapat meyerap atau menghilangkan endapan kolesterol dan pembuluh nadi. Olahraga yang dimaksud adalah latihan menggerakkan semua sendi dan otot tubuh (latihan isotonik atau dinamik), seperti gerak jalan, berenang, naik sepeda. Tidak dianjurkan melakukan olahraga yang menegangkan seperti tinju, gulat, atau angkat besi, karena latihan yang berat bahkan dapat menimbulkan hipertensi. 5) Makan banyak buah dan sayuran segar. Buah dan sayuran segar mengandung banyak vitamin dan mineral. Buah yang banyak mengandung mineral kalium dapat membantu menurunkan tekanan darah.

6) Tidak merokok dan minum alkohol. 7) Latihan relaksasi atau meditasi. Relaksasi atau meditasi berguna untuk mengurangi stress atau ketegangan jiwa. Relaksasi dilaksanakan dengan mengencangkan dan mengendorkan otot tubuh sambil membayangkan sesuatu yang damai, indah, dan menyenangkan. Relaksasi dapat pula dilakukan dengan mendengarkan musik, atau bernyanyi. 8) Berusaha membina hidup yang positif. Dalam kehidupan dunia modern yang penuh dengan persaingan, tuntutan atau tantangan yang menumpuk menjadi tekanan atau beban stress (ketegangan) bagi setiap orang. Jika tekanan stress terlampau besar sehingga melampaui daya tahan individu, akan menimbulkan sakit kepala, suka marah, tidak bisa tidur, ataupun timbul hipertensi. Agar terhindar dari efek negative tersebut, orang harus berusaha membina hidup yang positif.

2.3

Konsep Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)

2.3.1

Pengertian Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Spiritual Emotional Freedom Technique adalah teknik penyembuhan

yang memadukan keampuhan energi psikolog dengan kekuatan doa dan spiritualitas. Energi psikolog adalah ilmu yang menerapkan berbagai prinsip dan teknik berdasarkan konsep sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku seseorang. Efek doa dan spiritualitas terhadap kesembuhan penyakit telah diteliti secara mendalam oleh Dr. Larry Dossey, MD. Hasilnya menunjukkan adanya bukti ilmiah bahwa doa dan spiritualitas berpengaruh positif terhadap kesehatan. Pada penyakit yang umum sekalipun, kondisi pikiran, emosi, tekanan darah, sikap kesadaran, dan doa-doa yang dipanjatkan oleh pasien sangat berpengaruh bagi kesembuhannya (Junaidi, 2004). SEFT merupakan sistem terapi non farmakologis dengan cara melakukan tapping (menekan) pada 18 titik yang ada pada bagian atas kepala, wajah, tangan dan dada dengan menggunakan satu atau dua jari. Studi ilmiah menunjukkan bahwa SEFT mampu dengan cepat mengurangi dampak emosional dari kenangan

dan insiden yang memicu distres emosional. Setelah kesedihan berkurang atau dihapus,

tubuh

sering

mendapat

keseimbangan

diri

dan

mempercepat

penyembuhan. SEFT merupakan kombinasi dari efek fisiologis dan pengobatan akupresur yang berfokus pada pikiran penyebab trauma gejala masalah. Metode ini banyak digunakan untuk mengurangi berbagai gangguan psikologis seperti cemas, stress fobia, trauma, menumbuhkan rasa percaya diri, motivasi serta dapat menurunkan tekanan darah (Zainuddin, 2011). 2.3.2

Manfaat Terapi (SEFT) Spiritual Emotional Freedom Technique Manfaat SEFT menurut (Zainuddin, 2011) adalah :

1.

Mengatasi berbagai masalah fisik: sakit kepala, nyeri punggung, hipertensi, maag, asma, sakit jantung, kelebihan berat badan, alergi,dan sebagainya.

2.

Mengatasi berbagai masalah emosi: takut (phobia), trauma, depresi, cemas, kecanduan rokok, stress, sulit tidur, mudah marah, atau sedih, gugup menjelang ujian, atau presentasi, latah, kesurupan, kesulitan belajar, tidak percaya diri, dan sebagainya.

3.

Mengatasi berbagai masalah keluarga dan anak-anak: ketidak harmonisan keluarga, selingkuh, masalah seksual, di ambang perceraian, anak nakal, anak malas belajar, anak mengompol, dan sebagainya.

4.

Meningkatkan prestasi: meningkatkan prestasi olahRaga, prestasi di tempat

kerja,

prestasi

belajar,

meningkatkan

omset

penjualan,

meningkatkan performa sales, memperlancar negosiasi, mencapai goals dan target yang di tetapkan. 5.

Meraih kesuksesan hidup, meningkatkan pendapatan, menjadi money magnet.

6.

Mendapatkan pencerahan spiritual, meningkatkan kedamaian hati dan kebahagiaan diri.

2.3.3

Kelebihan Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Kelebihan SEFT menurut (Zainuddin, 2011) adalah :

1.

Terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) terbukti efektif

2.

Mudah dipelajari dan mudah dipraktikkan oleh siapa saja

3.

Cepat dirasakan hasilnya

4.

Sekali belajar bisa digunakan untuk selamanya pada berbagai masalah

5.

Efektifitasnya relatif permanen

6.

Jika dipraktikkan dengan benar, tidak ada rasa sakit atau efek samping, jadi sangat aman dipraktikkan oleh siapapun

7.

Bisa diterapkan untuk masalah fisik dan emosi apapun

8.

Konselor sekolah dapat bekerja jauh lebih efektif dan efisien dengan mempraktikkan terapi SEFT.

2.3.4

Cara Melakukan Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Menurut Zainuddin, 2011 terapi SEFT terdiri dari 3 langkah, yaitu: The Set-Up, The Tune-In dan yang terakhir The Tapping.

1.

The Set-Up “The Set-Up” bertujuan untuk memastikan agar aliran energi tubuh kita

terarahkan dengan tepat. Langkah ini kita lakukan untuk menetralisir “Psychological reversal” atau “perlawanan psikologis” (biasanya berupa pikiran negatif spontan atau keyakinan bahwa sadar negatif). Contoh kata-kata yang ditulis pada teori sebelumnya dalam tahap The Set-Up, yaitu beberapa kata yang perlu anda ucapkan dengan penuh perasaan untuk

menetralisir

psychological

reversal (keyakinan dan pikiran negatif). Dalam bahasa religius, the set-up words adalah “doa

kepasrahan” kita pada Allah swt. Bahwa apapun masalah dan rasa

sakit yang kita alami saat ini, kita ikhlas menerimanya dan kita pasrahkan kesembuhan nya pada Allah swt. “The Set-Up” sebenarnya terdiri dari 2 aktivitas, yang pertama adalah mengucapkan kalimat seperti yang dituliskan pada teori sebelumnya dengan penuh rasa khusyu’, ikhlas dan pasrah sebanyak 3 kali. Dan yang kedua

adalah

sambil mengucapkan dengan penuh perasaan, kita menekan dada kita , tepatnya di bagian “Sore Spot” (titik nyeri = daerah di sekitar

dada atas yang jika ditekan

terasa agak sakit) atau mengetuk dengan dua ujung jari di bagian “Karate Chop”. Setelah menekan titik nyeri atau mengetuk karate chop sambil mengucapkan kalimat Set-Up, kita melanjutkan dengan langkah kedua, “The Tune-In”. 2.

The Tune-In

Untuk masalah fisik seperti pusing, nyeri, hipertensi, insomnia dll, kita melakukan tune-in dengan cara merasakan rasa sakit yang kita alami, lalu mengarahkan pikiran kita ke tempat rasa sakit dan sambil terus melakukan 2 hal tersebut, hati dan mulut kita mengatakan, “saya ikhlas, saya pasrah… yaa Allah..” Untuk masalah emosi, kita melakukan “Tune-In” dengan cara memikirkan sesuatu atau peristiwa spesifik tertentu yang dapat membangkitkan emosi negatif yang ingin kita hilangkan. Ketika terjadi reaksi negatif (marah, sedih, takut, dsb.) hati dan mulut kita mengatakan, “Yaa Allah.. saya ikhlas…. Saya pasrah…” Bersamaan dengan Tune-In ini kita melakukan langkah ke 3 (tapping). Pada proses inilah (Tune-In yang dibarengi tapping) kita menetralisir emosi negatif atau rasa sakit fisik. 3.

The Tapping Tapping adalah mengetuk ringan dengan dua ujung jari pada titik-titik

tertentu di tubuh kita sambil terus Tune-In. Titik-titik ini adalah titik-titik kunci dari “The Major Energy Meridians”, yang jika kita ketuk beberapa kali akan berdampak pada ternetralisirnya gangguan emosi atau rasa sakit yang kita rasakan. Karena aliran energi tubuh berjalan dengan normal dan seimbang kembali. Titiktitik tapping dapat dilihat pada pembahasan teori sebelumnya. Terdapat 18 titik tapping yang dilakukan pada terapi SEFT. Tapping tidak harus dilakukan secara berurutan, tapping bisa dilakukan secara acak asal dilakukan semua, dan kita boleh melakukannya pada sisi sebelah kiri atau sebelah kanan atau kedua-duanya. Tetapi dianjurkan untuk melakukannya secara berurutan dari bagian tubuh atas kebagian bawah agar mudah dihafal. Setelah melakukan 3 tahap tersebut, kemudian diakhiri dengan mengambil nafas panjang dan menghembuskannya, sambil mengucap rasa syukur, “Alhamdulillah”. 2.3.5 1.

Contoh Kalimat Pengucapan Dalam Tahap Set-Up Terdapat beberapa contoh kalimat pengucapan dalam tahap set-up menurut (Zainuddin, 2011) diantaranya adalah : Saya tidak bisa mencapai impian saya

2.

Saya tidak dapat bicara di depan publik dengan percaya diri

3.

Saya adalah korban pelecehan seksual yang malang

4.

Saya tidak bisa menghindari rasa bersalah yang terus menghantui hidup saya

5.

Saya marah dan kecewa pada istri/suami saya karena dia tidak seperti yang saya harapkan

6.

Saya kesal dengan anak-anak, karena mereka susah diatur

7.

Saya tidak bisa melepaskan diri dari kecanduan rokok

8.

Saya tidak termotivasi untuk belajar, saya pemalas

9.

Saya tidak mungkin bisa memenangkan pertandingan ini

10.

Saya menyerah, saya tidak mampu melakukannya.

11.

Saya… Saya… Saya…

CONTOH KALIMAT SET-UP (DOA) UNTUK MASALAH EMOSI Ya Allah… Meskipun saya merasa sakit hati karena dilecehkan, saya ikhlas menerima sakit hati saya ini, saya pasrahkan pada-Mu kedamaian hati saya. Ya Allah… Meskipun saya takut ular, saya ikhlas menerima ketakutan saya ini, saya pasrahkan pada-Mu keberanian saya. Ya Allah… Meskipun saya terluka karena suami/istri saya selingkuh, saya ikhlas menerima luka hati saya ini, saya pasrahkan pada-Mu kebahagiaan saya. CONTOH KALIMAT SET-UP (DOA) UNTUK MASALAH FISIK Ya Allah… Meskipun kepala saya pusing karena darah tinggi, saya ikhlas menerima rasa pusing saya ini, saya pasrahkan pada-Mu kesembuhan saya. Ya Allah… Meskipun detak jantung saya tidak teratur, saya ikhlas menerima sakit saya ini, saya pasrahkan pada-Mu kesembuhan saya. Ya Allah… Meskipun leher saya kaku, saya ikhlas, saya pasrah. Jika keyakinan atau pikiran negatif seperti contoh di atas terjadi, maka berdo’a dengan khusyu’, ikhlas dan pasrah: “Yaa Allah… meskipun saya _______ (keluhan anda), saya ikhlas, saya pasrah pada-Mu sepenuhnya” 2.3.6

Titik Tapping Pada Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Berikut adalah titik-titik tapping yang akan dilakukan pada terapi seft menurut (Zainuddin, 2011).

1.

Cr = Crown, Pada titik dibagian atas kepala

2.

EB = Eye Brow, Pada titik permulaan alis mata

3.

SE = Side of the Eye, Di atas tulang disamping mata

4.

UE = Under the Eye, 2 cm dibawah kelopak mata

5.

UN = Under the Nose, Tepat dibawah hidung

6.

Ch = Chin, Di antara dagu dan bagian bawah bibir

7.

CB = Collar Bone, Di ujung tempat bertemunya tulang dada, collar bone dan tulang rusuk pertama

8.

UA = Under the Arm, Di bawah ketiak sejajar dengan putting susu (pria) atau tepat di bagian tengah tali bra (wanita)

9.

BN = Bellow Nipple, 2,5 cm di bawah putting susu (pria) atau di perbatasan antara tulang dada dan bagian bahwa payudara

10.

IH = Inside of Hand, Di bagian dalam tangan yang berbatasan dengan telapak tangan

11.

OH = Outside of Hand, Di bagian luar tangan yang berbatasan dengan telapak tangan

12.

Th = Thumb, Ibu jari disamping luar bagian bawah kuku

13.

IF = Index Finger, Jari telunjuk di samping luar bagian bawah kuku (dibagian yang menghadap ibu jari)

14.

MF = Middle Finger, Jari tengah samping luar bagian bawah kuku (di bagian yang menghadap ibu jari)

15.

RF = Ring Finger, Jari manis di samping luar bagian bawah kuku (di bagian yang menghadap ibu jari)

16.

BF = Baby Finger, Di jari kelingking di samping luar bagian bawah kuku (di bagian yang menghadap ibu jari)

17.

KC = Karate Chop, Di samping telapak tangan, bagian yang kita gunakan untuk mematahkan balok saat karate

18.

GS = Gamut Spot, Di bagian antara perpanjangan tulang jari manis dan tulang jari kelingking

(Gambar 2.1)

2.3.7

Contoh Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Terhadap Penderita Hipertensi

1.

The Set-Up Pertama pasien disuruh memejamkan mata terlebih dahulu, kemudian

sambil tarik nafas lalu hembuskan sebanyak 3 kali. Setelah itu pasien dituntun untuk menyebutkan kalimat “Ya Allah… Meskipun saya mempunyai riwayat hipertensi, tekanan darah saya selalu tinggi, kepala saya pusing karena darah tinggi saya, saya ikhlas menerima rasa pusing saya ini, saya pasrahkan pada-Mu kesembuhan saya”. Kalimat tersebut diucapkan sambil memejamkan mata dengan penuh rasa khusyu’, ikhlas dan pasrah sebanyak 3 kali. Dan yang kedua adalah pasien mengucapkan kembali kalimat tersebut dengan penuh perasaan, sambil kita menekan atau mengetuk “Sore Spot” pasien (titik nyeri = daerah di sekitar dada atas yang jika ditekan terasa agak sakit) dengan menggunakan dua ujung jari.

2.

The Tune-In Pada tahap tune-in ini kita mengarahkan pasien untuk membayangkan

penyakitnya yaitu hipertensi, dengan cara merasakan rasa sakit yang dialaminya, lalu mengarahkan pikiran pasien ke tempat rasa sakit dan sambil terus melakukan ucapan kalimat dalam hati dan mulut “Ya Allah… Meskipun saya mempunyai riwayat hipertensi, tekanan darah saya selalu tinggi, kepala saya pusing karena darah tinggi saya, saya ikhlas menerima rasa pusing saya ini, saya pasrahkan pada-Mu kesembuhan saya, saya ikhlas, saya pasrah… yaa Allah..” 3.

The Tapping Pada tahap terakhir ini, kita menggunakan metode tapping (mengetuk) 18

titik tertentu pada tubuh pasien menggunakan 2 jari. Titik-titik tapping dapat dilihat pada pembahasan teori sebelumnya. Saat kita melakukan tapping pada tubuh pasien, kita terus membimbing pasien untuk terus berkonsentrasi tentang penyakit yang dialaminya, sambil terus mengulang ucapkan kalimat “Ya Allah… Meskipun saya mempunyai riwayat hipertensi, tekanan darah saya selalu tinggi, kepala saya pusing karena darah tinggi saya, saya ikhlas menerima rasa pusing saya ini, saya pasrahkan pada-Mu kesembuhan saya, saya ikhlas, saya pasrah… yaa Allah..” dalam hati dan mulut. Setelah melakukan 3 tahap tersebut, kemudian diakhiri dengan mengambil nafas panjang dan menghembuskannya, sambil mengucap rasa syukur, “Alhamdulillah”.

2.4

Kerangka Konsep Faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi 1. Umur 2. Jenis kelamin 3. Kegemukan 4. Merokok

5. Mengkonsumsi alkohol 6. Mengkonsumsi garam berlebihan 7. Kurang berolahraga 8. Stress 9. Status Ekonomi Renin

Angiotensinogen

Angiotensin 1 ACE

Angiotensin 2 (vasokonstriktor) Sekresi aldosteron Peningkatan

Reabsorbsi Na dan air

vol cairan ekstrasell

Peningkatan Tekanan Darah Penyakit yang sering dijumpai pada lansia

Penatalaksanaan Hipertensi 1. Farmakologis 2. Non-Farmakologis 1) Mengurangi konsumsi garam. 2) Menghindari kegemukan (obesitas). 3) Membatasi konsumsi lemak. 4) Olahraga teratur. 5) Latihan relaksasi atau meditasi 6) Makan banyak buah dan sayuran segar. 7) Tidak merokok dan minum alkohol. 8) Berusaha membina hidup yang positif

Keterangan : : Diteliti : Tidak Diteliti

1. Gangguan sirkulasi darah 2. Gangguan metabolisme hormonal 3. Gangguan pada persendian, 4. Berbagai macam neoplasma. Terapi spiritual emotional freedom technique (SEFT) 1. The Set-Up 2. The Tune-In 3. The Tapping

Tekanan Darah

Pre Hipert ensi

Hipert ensi Tahap 1

Hipert ensi Tahap 2

Bagan 2.1 Kerangka Konseptual Pengaruh Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia Hipertensi Di Wilayah Randu Agung RW 08 Kelurahan Sidotopo Wetan Kecamatan Kenjeran Surabaya. Penjelasan Kerangka Konsep : Berdasarkan gambar yang diuraikan diatas, faktor yang mempengaruhi tekanan darah meningkat yaitu kegemukan, kurang olahraga, mengkonsumsi garam berlebihan, merokok dan mengkonsumsi alkohol, stress, keturunan, jenis kelamin, dan umur. Adanya penyakit yang sering dijumpai pada lansia yaitu: Gangguan sirkulasi darah, seperti ; hipertensi, kelainan pembuluh darah, gangguan pembuluh darah di otak (koroner), dan ginjal. Gangguan metabolisme hormonal, seperti; diabetes mellitus, klimakterium, dan ketidakseimbangan tiroid. Gangguan pada persendian, seperti : osteoartritis, gout artritis, ataupun penyakit kolagen lainnya. Berbagai macam neoplasma. Penyakit hipertensi adalah salah satu penyakit yang sering muncul pada lansia. Secara non farmakologis ada beberapa penatalaksanaan hipertensi yaitu: mengurangi konsumsi garam, menghindari kegemukan (obesitas), membatasi konsumsi lemak, olahraga teratur, makan banyak

buah dan sayur segar, tidak merokok dan minum alkohol,

berusaha membina hidup yang positif dan salah satunya adalah latihan relaksasi atau meditasi.

Pada penelitian ini saya memfokuskan penatalaksanaan non

farmakologi berupa terapi spiritual emotional freedom technicque (SEFT). Sebelum dilakukan terapi spiritual emotional freedom technicque (SEFT) para responden diobservasi tekanan darahnya, kemudian dilakukan terapi spiritual emotional freedom technicque (SEFT) selama 15 menit dalam 1 minggu. Setelah dilakukan terapi spiritual emotional freedom technicque (SEFT) selama satu minggu para lansia akan diobservasi kembali tekanan darahnya. Kemudian terdapat kesimpulan akhir dengan pre hipertensi (120-139/80-89mmHg), hipertensi tahap 1 (140-159/90-99mmHg), hipertensi tahap 2 (>160/100mmHg), untuk mengetahui ada pengaruh atau tidak adanya pengaruh terapi spiritual emotional freedom technicque (SEFT) terhadap tekanan darah pada lansia hipertensi di Wilayah Randu Agung RW 08 Surabaya.

2.5

Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah : “ Ada pengaruh terapi spiritual

emotional freedom technicque (SEFT) terhadap tekanan darah pada lansia penderita hipertensi di Wilayah Randu Agung RW 08 Kelurahan Sidotopo Wetan, Kecamatan Kenjeran Surabaya.

BAB 3 METODE PENELITIAN Pada bab ini akan diuraikan tentang jenis penelitian, waktu dan tempat penelitian, kerangka penelitian, populasi, sampel dan sampling, indentifikasi variabel, definisi operasional, pengumpulan data dan analisa data, etika penelitian, keterbatasan 3.1

Desain Penelitian

Desain penelitian adalah suatu strategi untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau penuntun peneliti pada seluruh proses penelitian (Nursalam, 2016). Berdasarkan tujuan penelitian, desain penelitian ini menggunakan rancangan penelitian pra-eksperimental dengan pendekatan one-group pre-post test design, yaitu mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok

subjek

diobservasi

sebelum

dilakukan

intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah intervensi (Nursalam, 2016). Pada penelitian ini responden diobservasi tekanan darahnya sebelum diberikan intervensi terapi

Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) kemudian

diobservasi lagi tekanan dara satu minggu setelah diberikan intervensi terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT). 3.2

Waktu Dan Tempat Penelitian

Rencana penelitian akan dimulai pada Bulan Februari 2019 dengan waktu kurang lebih sebulan di Wilayah Randu Agung RW 08 Kelurahan Sidotopo Wetan, Kecamatan Kenjeran, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur.

3.3

Kerangka Penelitian Kerangka penelitian adalah pertahapan (langkah-langkah dalam aktifitas

ilmiah) mulai dari penerapan populasi, sampel dan seterusnya yaitu kegiatan sejak awal penelitihan akan dilaksanakan (Nursalam, 2013). Populasi : Seluruh lansia di Wilayah Randu Agung RW 08, Kelurahan Sidotopo Wetan, Kecamatan Kenjeran Surabaya N=36

Total Sampling Sampel : Lansia dengan gangguan hipertensi di Wilayah Randu Agung, Kelurahan Sidotopo Wetan Kecamatan Kenjeran Surabaya n=30

Pre Test : Observasi Tekanan Darah sebelum dilakukan Terapi SEFT

Intervensi : Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Freedom Technique (SEFT) Post Test : Observasi Tekanan Darah sesudah dilakukan Terapi SEFT

Metode pengumpulan data : Lembar observasi

Analisa data : Uji statistik Wilcoxon

Penyajian hasil dan pembahasan

Simpulan dan Saran Bagan 3.1 Kerangka Penelitian Pengaruh Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia Hipertensi Di Wilayah Randu Agung RW 08 Kelurahan Sidotopo Wetan, Kecamatan Kenjeran Surabaya. .

3.4

Populasi, Sampel Dan Sampling

3.4.1

Populasi

Populasi adalah keseluruan obyek penelitian atau obyek yang diteliti (Notoadmojo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang menderita hipertensi di Wilayah Randu Agung RW 10 Kelurahan Sidotopo Wetan, Kecamatan Kenjeran, Kota Surabaya yang berjumlah 30 orang. 3.4.1.1 Kriteria Populasi Kriteria dalam penelitian ini adalah : (1)

Lansia yang mengalami hipertensi di Wilayah Randu Agung RW 08 Kelurahan Sidotopo Wetan Kecamatan Kenjeran Surabaya.

3.4.2

(2)

Lansia usia ≥ 60 tahun

(3)

Lansia dengan kemampuan kognitif baik

(4)

Lansia yang kooperatif

Sampel

Sampel adalah terdiri atas bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam,2016). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah lansia yang menderita hipertensi yang ada di Wilayah Randu Agung RW 08 Kelurahan Sidotopo Wetan Kecamatan Kenjeran Surabaya. 3.4.2.1 Besar Sampel Untuk menentukan besar sampel yang digunakan, dapat menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan : n = Besar Sampel d = Tingkat Signifikansi ( 0,05 ) N = Jumlah Populasi (Nursalam, 2016) Maka, besar sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah n=

33

33

= = 30,48  30 Responden 1+33 (0,05)2 0,0825

3.4.3

Teknik Sampling

Sampling adalah proses menyeleksi populasi untuk dapat mewakili populasi. Teknik sampling merupakan cara- cara yang ditempuh dalam

pengambilan sampel agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2008). Pada penelitian ini pengambilan sampel menggunakan teknik Total Sampling dimana peneliti akan mengambil sampel yang jumlah sampel sama dengan jumlah populasi (Sugiyono,2011). Alasan mengambil total sampling karena menurut (sugiyono, 2011) jumlah populasi yang kurang dari 100, seluruh populasi dijadikan sampel penelitian semuanya.

3.5

Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

3.5.1

Identifikasi Variabel Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda

terhadap suatu benda, manusia, dan lain-lain (Nursalam, 2013). Pada penelitian ini menggunakan variabel independen dan variabel dependen. 1.

Variabel Independen

Variabel yang mendahului disebut variabel independen. Variabel independen dalam hubungan kausal merupakan variabel sebab atau sesuatu yang mengkondisikan terjadinya perubahan dalam variabel lain (Heriyanto, 2017). Variabel independen dalam penelitian ini adalah terapi spiritual emotional freedom technique (SEFT). 2.

Variabel Dependen

Variabel dependen merupakan variabel yang dipenggaruhi oleh variabel independen.Variabel dependen atau terikat bergantung pada variabel independen atau bebas. Ia merupakan hasil dari pengaruh variabel bebas (Heriyanto, 2017). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah tekanan darah.

3.6

Definisi Operasional

Defisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik, sehingga memungkinkan peneliti melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek (Hidayat, 2010). Dengan mendefinisikan variabel secara operasional, mempermudah peneliti dalam

mengembangkan

instrumen

penelitian,

menentukan

bagaimana

metode

pengumpulan data dan jenis data/skala pengukurannya (Dharma, 2017) Tabel 3.1 Definisi Operasional Pengaruh Terapi Spiritual Emotional Freedom

Technique (SEFT) Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia Hipertensi Di Wilayah Randu Agung RW 10 Kelurahan Sidotopo Wetan, Kecamatan Kenjeran Surabaya. Variael

Definisi Operasional

Parameter

Alat Ukur

Independen:

Sistem terapi non

Standar

Buku

Terapi

farmakologis dengan

operasional

pedoman

spiritual

cara melakukan

prosedur

terapi

emotional

tapping (menekan)

terapi

spiritual

freedomb

pada 18 titik yang

spiritual

emotional

technique

ada pada bagian

emotional

freedom

(SEFT)

kepala, wajah, tangan freedom

technique

dan dada dengan

technique

(SEFT)

menggunakan satu

(SEFT)

Skala

Skor

-

-

atau dua jari. Yang dapat berpengaruh terhadap kondisi pikiran, emosi, tekanan darah Lembar

Skala

Pre

darah

observasi

Ordinal

Hipertensi:

sistole

dan

Dependen:

Suatu nilai yang

1.Tekanan

Tekanan

dinyatakan dalam

Darah

satuan mmHg dan terdiri dari dua angka

2.Tekanan

yaitu sistole dan

darah

diastole. Untuk

diastole

lansia tekanan sistolik nilai

120139/80–89

spignoma

mmHg

nometer

Hipertensi Tahap 1: 140159/90-99 mmHg

normalnya 140

Hipertensi

mmHg sedangkan

Tahap 2:

untuk tekanan

>160/100

diastolik nilai normalnya 90 mmHg.

mmHg

3.7 3.7.1

Pengumpulan Data dan Analisa Data Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2016). Dalam pengumpulan data langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti adalah melakukan survey pendahuluan dan menentukan populasi dalam penelitian yaitu lansia yang menderita hipertensi di Wilayah Randu Agung RW 08 Kelurahan Sidotopo Wetan Kecamatan Kenjeran Surabaya. Langkah kedua peneliti harus mendapatkan izin dari direktur Akademi Keperawatan Adi Husada Surabaya, kemudian peneliti mengajukan izin ke BAKESBANGPOL LINMAS selanjutnya peneliti mengajukan permohonan kepada Kecamatan dan Kelurahan setelah itu penelitian mengajukan izin penelitian kepada RT dan RW ditempat yang diteliti. Langka ketiga yaitu melakukan pendekatan kepada responden dan menjelaskan tujuan dari penelitian sekaligus memberikan lembar persetujuan dengan menandatangani informed consent berdasarkan prinsip etis terhadap hak responden tanpa adanya unsur pemaksaan. Langkah keempat yaitu jika responden bersedia maka peneliti akan melakukan penelitian dengan melakukan pengukuran tekanan darah dengan menggunakan lembar observasi. Instrumen yang digunakan dalam

mengumpulkan

data

penelitian

ini

adalah

alat

tensimeter

(spygnomanometer), stetoskop, serta jam. Langkah kelima responden diberikan terapi SEFT selama 15 menit, kemudian di lakukan pengukuran tekanan darah ulang setelah dilakukan terapi. Dari hasil pengukuran yang didapat akan dihitung untuk mengetahui pengaruh terapi SEFT terhadap perubahan tekanan darah pada lansia yang menderita hipertensi di Wilayah Randu Agung RW 08 Kelurahan Sidotopo Wetan Kecamatan Kenjeran Surabaya. 3.7.2

Instrumen Penelitian Pada penelitian ini instrument yang digunakan dalam pengumpulan data

menggunakan : 1)

Variabel indipenden istrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data menggunakan SOP Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT).

2)

Variabel dependen instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah skala ordinal menggunakan lembar observasi Tekanan Darah. Dari hasil observasi akan disajikan dalam bentuk tabel kemudian digolongkan menjadi 3 yaitu Pre Hipertensi dengan hasil tekanan darah (120-139/80-89 mmHg), Hipertensi Tahap 1 dengan hasil tekanan darah (140-159/90-99 mmHg), Hipertensi Tahap 2 dengan hasil tekanan darah (>160/100mmHg). Hasil tersebut yang telah digolongkan menggunakan skala ordinal menurut hasil observasi digunakan untuk mengetahui adanya pengaruh Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) terhadap Tekanan Darah terhadap Lansia yang mengalami Hipertensi.

3.7.3

Analisa Data

Analisa data merupakan bagian yang penting untuk mencapai tujuan, dimana tujuan pokok penelitian adalah menjawab pertanyaan penelitian dalam mengungkapkan fenomena (Nursalam, 2008). Setelah dilakukan pengumpulan data, maka selanjutnya data tersebut direncanakan akan diolah secara komputerisasi menggunakan perangat lunak pengolahan data dengan tahapan : 1.

Editing Editing merupakan suatu kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir atau kuesioner tersebut (Heriyanto, 2017). Kegiatan dalam langkah editing dalam penelitian ini antara lain : 1) Mengecek nama dan kelengkapan identitas pengisi/responden. 2) Mengecek kelengkapan data, artinya memeriksa isi instrumen pengumpulan data (termasuk pula kelengkapan lembaran instrumen apabila ada yang sobek atau terlepas). 3) Mengecek isian data.

2.

Coding Untuk memudahkan dalam pengolahan data, maka untuk setiap hasil observasi diberi kode dengan karakter masing-masing. Coding, yakni merubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan. Dalam penelitian ini menggunakan code pada variabel untuk menyimpulkan hasil (Notoatmodjo, 2012).

1) Untuk Kode pada Tekanan Darah pada lembar Observasi, adalah mmHg : 2) Untuk Kode pada Jenis Kelamin pada Lembar Data Demografi, adalah: Jenis Kelamin Laki-laki = 1 Jenis Kelamin Perempuan =2 3) Untuk Kode pada Umur Responden pada Lembar Data Demografi, adalah : Umur 60 – 74 Tahun = 1 Umur 75 – 90 Tahun = 2 4) Untuk Kode pada Pekerjaan Responden pada Lembar Data Demografi, adalah : Tidak Bekerja = 1 Pedagang = 2 Wiraswasta = 3 Lain-lain = 4 5) Untuk Kode pada Riwayat Penyakit Responden pada Lembar Data Demografi, adalah : Penyakit Penyerta = 1 Tidak Memiliki Penyakit Penyerta = 2 3.

Scoring Scoring adalah suatu proses pengubahan jawaban instrumen menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari suatu jawaban terhadap item dalam instrumen (Djaali & Muljono, 2004). Dimana lembar observasi yang berisi tentang data beserta kode yang berbentuk cheklist.

4.

Tabulating Yakni membuat tabel-tabel, data sesuai dengan tujuan penelitian atau yang diinginkan oleh peneliti (Nursalam, 2013). SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) adalah salah satu program yang paling banyak digunakan untuk analisis statistika ilmu sosial. Dalam pengujian inferensial, uji yang digunakan harus sesuai dengan rancangan

penelitian. Pengujian statistik yang tidak sesuai akan menimbulkan penafsiran yang salah dan hasil yang tidak dapat digeneraisasi (Windu Purnomo, 2002 dikutip oleh (Nursalam, 2013). 5.

Uji Statistik Analisa

Uji

Statistik

:

Pada

penelitian

ini

menggunakan

uji

statistik non parametric test. Untuk menguji hipotesa dilakukan analisis statistik dengan menggunakan rumus uji statistik wilcoxon signed rank test pada taraf kepercayaan 95% (alfa= 0,05) sehingga dapat diketahui ada tidaknya perbedaan pada variabel independen dan variabel dependen yang bermakna secara statistik dengan menggunakan program perangkat lunak pengolahan data. Data masing-masing variabel dimasukkan kedalam tabel, kemudian tabel dianalisa untuk membandingkan antara nilai P value dengan nilai α = (0,05) dengan ketentuan, Ha diterima jika P value< 0,05 artinya ada perbedaan pada variabel independen dan variabel dependen.

3.8

Etika Penelitian Penelitian yang menggunakan objek manusia tidak boleh bertentangan

dengan etika agar hak responden dapat terlindungi, penelitian dilakukan dengan menggunakan etika sebagai berikut (Nursalam, 2013). 3.8.1

Informed consent (lembar persetujuan) menjadi responden Informed consent diberikan kepada orang tua atau keluarga subyek yang

akan diteliti dan dijelaskan tujuan dari penelitian, jika disetujui maka diminta untuk menandatangani informed consent tersebut, dan apabila tidak bersedia maka tidak akan dipaksa dan peneliti tetap akan menghormati dan menghargai hak klien. 3.8.2

Anonimity (tanpa nama) Untuk menjaga kerahasiaan identitas subyek penelitian, peneliti tidak

mencantumkan nama pada format pengisian dan hanya diberi kode tertentu. 3.8.3

Confidentiality (kerahasian) Kerahasiaan subyek penelitian dijamin oleh peneliti, hanya data tertentu

saja yang akan disajikan pada hasil penelitian.

3.8.4

Justice (Keadilan) Pada penelitian ini yang akan diberikan informasi untuk terapi dzikir

dengan perubahan kualitas tidur lansia dengan gangguan tidur. 3.8.5

Beneficience (Manfaat) Manfaat dari hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat dalam

meningkatkan kualitas tidur dengan terapi dzikir pada lansia dengan ganggua tidur. 3.8.6

Veracity (Kejujuran) Responden diminta mengisi kuisioner dengan sejujur-jujurnya dan hasil

yang didapatkan selama pengumpulan data merupakan hasil sesuai kenyataan dan jujur.

Related Documents

Bab 1 Bab 2 Bab 3.docx
October 2019 58
Bab 1 2 & 3 Pm.docx
April 2020 14
Bab 1, 2, 3.docx
April 2020 11
Bab 1 2 3.docx
April 2020 11
Bab 1 2 3.docx
May 2020 22

More Documents from "meli"