SEKILAS TENTANG INFEKSI JAMUR SUPERFISIAL
Spesies
dermatofit
terdapat
dalam
tiga
genus:
Epidermophyton,
Microsporum, dan Trichophyton. Spesies tersebut dikelompokkan lebih lanjut berdasarkan tiga habitat alami (manusia, hewan, dan tanah).
Dermatofit menginfeksi jaringan yang mengandung keratin termasuk kulit, rambut, dan kuku.
Pemeriksaan mikroskopik, kultur, evaluasi lampu Wood dan histopatologi dapat berguna dalam mengkonfirmasi suatu dermatofitosis.
Trichophyton merupakan spesies yang paling sering ditemukan pada isolasi di Amerika Serikat.
Beberapa sediaan topikal (imidazole dan alilamin) dan agen oral (griseofulvin, itrakonazol, flukonazol, dan terbinafin) berperan sebagai pilihan terapi antijamur yang efektif untuk dermatofitosis.
Tinea nigra merupakan infeksi dermatofit superfisial yang dapat menyerupai melanoma lentiginosa pada akral.
Piedra, yang terdiri atas bentuk putih dan hitam, merupakan infeksi jamur superfisial pada batang rambut yang bersifat asimptomatik.
MIKOSIS Mikosis terbagi menjadi tiga bentuk: (1) superfisial, melibatkan stratum korneum, rambut, kuku, (2) subkutan, melibatkan dermis dan/ atau jaringan subkutan, dan (3) dalam/ sistemik, menandakan adanya penyebaran organisme secara hematogen termasuk patogen oportunistik pada pejamu yang mengalami imunokompromais. Fokus pada bab ini adalah mikosis superfisial dan cakupan pola infeksinya (Tabel 188-1). Glosarium istilah yang digunakan dalam bab ini tercantum di Tabel 188-2.
1
Tabel 188-1 Pola Cakupan Infeksi Mikosis Superfisial Genus
Kulit
Rambut
Kuku x
Trichophyton
x
x
Microsporum
x
x
Epidermophyton
x
Tinea Nigra
x
x
Piedra hitam
x
Piedra putih
x
Tabel 188-2 Glosarium Istilah Antropofilik – lebih memilih manusia dibandingkan hewan lain sebagai habitat alami Artrokonidia – spora aseksual yang dihasilkan dari segmentasi hifa Dematiakus – melanin dalam dinding sel konidia, hifa, atau keduanya yang menyebabkan jamur berwarna gelap Ektotriks – pola pertumbuhan dermatofit dengan spora membentuk lapisan mengelilingi bagian luar batang rambut Endotriks – pola pertumbuhan dermatofit dengan pembentukan spora di dalam batang rambut Favus – pola pertumbuhan dermatofit dengan hifa dan rongga udara dalam batang rambut Geofilik – lebih memilih tanah dibandingkan manusia atau hewan sebagai habitat alami Hifa – sel jamur yang panjang, berfilamen, membentuk rangkaian cabang yang disebut miselium Makrokonidia – spora aseksual ukuran besar yang berinti banyak, dihasilkan dari reproduksi vegetative Mikrokonidia – spora aseksual ukuran kecil yang dihasilkan dari reproduksi vegetatif Zoofilik – lebih memilih hewan dibandingkan manusia sebagai habitat alami
DERMATOFIT Keseluruhan jamur mencakup lebih dari 1,5 juta spesies di seluruh dunia. Dermatofitosis (istilah berasal dari bahasa Yunani untuk “tumbuhan kulit”) termasuk dalam famili arthrodemateceace dan diwakili sekitar 40 spesies yang terbagi dalam tiga genus: Epidermophyton, Microsporum, dan Trichophyton. Di Amerika Serikat, spesies Trichophyton, yaitu T. rubrum dan T. interdigitale, mewakili sebagian besar spesies yang terisolasi. Dermatofit dikelompokkan berdasarkan habitat aslinya yaitu manusia, hewan, atau tanah. Kemampuan dermatofit untuk melekat dan menginvasi jaringan keratin pada hewan dan
2
manusia serta untuk memanfaatkan produk terdegradasi sebagai sumber nutrisi membentuk dasar molekuler untuk infeksi jamur superfisial pada kulit, rambut, dan kuku disebut dengan dermatofitosis.
TAKSONOMI DAN EPIDEMIOLOGI Modifikasi terkini terhadap sistem taksonomi dari dermatofit yang berdampak pada praktik klinik dapat dijelaskan. Sementara taksonomi sebelumnya, sebagian besar didasarkan oleh karakteristik fenotip dermatofit, inklusi terkini terhadap analisis genotip mengharuskan penggabungan kembali beberapa takson karena banyak perbedaan genotip tidak tercermin secara fenotip, dan sebaliknya. Taksonomi saat ini mencakup sintesis data baru berdasarkan pengurutan (sequencing) dari wilayah genom yang bervariasi seperti wilayah internal transcribed spacer (ITS) pada DNA ribosom jamur serta karakterisasi fenotip klasik. Kesulitan dalam merancang sistem taksonomi dermatofit tersebut berkaitan dengan penurunan keragaman genetik akibat spesiasi saat ini dan populasi dari ekologi niche yang sama. Secara fenotip, hal ini tercermin dari manifestasi klinis serupa yang disebabkan oleh berbagai spesies dermatofit yang berbeda secara taksonomi. Perlu diperhatikan, walaupun demikian, kerangka kerja terkini merupakan pekerjaan yang masih berlangsung dan taksonomi tersebut kemungkinan besar akan menjalani perbaikan lebih lanjut di masa mendatang. Tabel 188-3 menyebutkan patogen dermatofit yang paling sering ditemukan termasuk taksonomi baru berdasarkan habitat alami dan perantara. Literatur kedokteran terkini mengenai dermatofit dan infeksi, tetapi tidak secara ketat mengikuti taksonomi baru.
3
Tabel 188- 3 Habitat dan pejamu dermatofit yang sering ditemukan Habitat Antropofilik
Dermatofit
Pejamu
Trichophyton rubrum
Manusia
Trichophyton tonsurans Trichophyton
interdigitale
(sin:
Trichophyton
mentagrophytes var. interdigitale) Trichophyton schoenleinii Trichophyton rubrum (sin: Trichophyton megninii, Trichophyton gourvilli) Trichophyton soundanense Trichophyton
violaceum
(sin:
Trichophyton
yaoundel) Trichophyton concentricium Microsporum audouinii Microsporum ferrugineum Epidermophyton floccosum Zoofilik
T. mentagrophytes (sin: T. mentagrophytes var.
Tikus
quinckeanum) T. interdigitale (sin: T. mentagrophytes var. mentagrophytes,
T.
mentagrophytes
Tikus
var.
granulosum) Trichophyton erinacei
Landak
Trichophyton simii
Primata
Trichophyton verrucosum
Hewan ternak
Microsporum canis (sin: Microsporum distortum,
Kucing, anjing, kuda
Microsporum equinum)
Geofilik
Microsporum amazonicum
Tikus
Microsporum gallinae
Unggas
Microsporum nanum
Babi
Microsporum persicolor
Tikus
Microsporum gypseum Microsporum cookie Microsporum persicolor
Tanah
Trichophyton vanbreusghemii Trichophyton eboreum Trichophyton terrestre
4
Untuk menghindari kekeliruan terhadap status taksonomi yang dinamis dan agar tetap mencerminkan tata nama terkini dalam literatur tersebut, bab ini akan menggunakan kedua tata nama tersebut, sehingga menghasilkan kontradiksi yang jelas. Penulis berharap bahwa tata nama yang disatukan dapat diterima di edisi yang akan datang dari bab ini. Klasifikasi tambahan dari jamur superfisial berdasarkan habitat alami secara klinis relevan karena dermatofitosis antropofilik, zoofilik, dan geofilik memberikan informasi penting terkait sumber infeksi dan mendemonstrasikan gambaran klinis yang bervariasi.
ANTROPOFILIK Spesies umumnya terbatas pada pejamu manusia dan ditularkan melalui kontak langsung. Kulit atau rambut yang terinfeksi, sebagai contoh terdapat pada pakaian, sisir, topi, kaos kaki, dan handuk, juga berperan sebagai perantara. Berbeda dengan infeksi geofilik dan zoofilik yang sporadik, infeksi antrofilik seringkali bersifat epidemik secara alami. Dermatofit tersebut telah beradaptasi dengan manusia sebagai pejamu sehingga menimbulkan respon inflamasi ringan hingga tidak tampak respon inflamasi dari pejamu.
ZOOFILIK Spesies ini ditularkan ke manusia dari hewan. Kucing, anjing, marmut, burung, kuda, hewan ternak dan hewan lainnya menjadi sumber infeksi yang sering ditemukan. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan tersebut, atau secara tidak langsung melalui rambut hewan yang terinfeksi. Area yang terpajan seperti kulit kepala, jenggot, wajah, dan lengan merupakan area predileksi infeksi. Microsporum canis sering kali ditularkan ke manusia melalui kucing dan anjing, sedangkan marmut dan kelinci menjadi sumber infeksi strain zoofilik T. interdigitale yang sering ditemukan pada manusia. Walaupun adaptasi pejamu dari dermatofit zoofilik dapat berujung pada infeksi yang relatif tidak tampak, dermatofit tersebut cenderung menghasilkan respon inflamasi akut dan intens pada manusia.
5
GEOFILIK Fungi yang menyebabkan infeksi sporadik pada manusia akibat kontak langsung dengan tanah. Microsporum gypseum adalah dermatofit geofilik tersering yang diperoleh pada kultur dari manusia. Terdapat potensi penyebaran epidemik akibat virulensi strain geofilik yang lebih tinggi serta kemampuan untuk membentuk spora dengan masa hidup panjang yang dapat menetap di selimut atau alat perawatan diri. Serupa dengan infeksi zoofilik, dermatofit geofilik umumnya menimbulkan respon inflamasi yang berat. Manifestasi klinis dermatofitosis tidak hanya bergantung pada sumbernya, tetapi juga pada faktor pejamu. Individu yang imunokompromais lebih rentan mengalami infeksi dermatofit refrakter atau mengalami mikosis dalam. Menariknya, hanya tingkat keparahan dermatofitosis yang tampak meningkat dengan infeksi HIV, tidak dengan peningkatan prevalensi. Faktor lain pada pejamu seperti usia, jenis kelamin, dan ras tampaknya menjadi faktor epidemiologi tambahan dari infeksi, walaupun hubungan faktor-faktor tersebut dengan kerentanan terhadap dermatofit masih belum jelas. Sebagai contoh, infeksi dermatofit lima kali lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan. Infeksi jamur superfisial menjadi masalah di seluruh dunia yang mengenai lebih dari 20% - 25% populasi. Beberapa populasi menunjukkan distribusi yang luas sementara infeksi lainnya terbatas secara geografi. Oleh karena itu, spesies utama mencerminkan perbedaan geografis yang cukup besar, seperti pada kasus tinea kapitis. Di Amerika Serikat, Trichophyton tonsurans telah menggantikan Mycrosporum audouinii sebagai penyebab tersering tinea kapitis pada pertengahan kedua abad ke-20, dan M. canis saat ini telah menjadi penyebab tersering kedua. Di Eropa, M. canis tetap menjadi penyebab tersering tinea kapitis walaupun terdapat peningkatan insiden T. tonsurans yang signifikan. Profil etiologi sedikit berbeda dengan di Afrika di mana M. audouinii, Trychophyton soundanense, dan Trychophyton violaceum merupakan patogen yang paling umum. Walaupun demikian, perjalanan dan migrasi manusia menghasilkan pola dinamis pada infeksi. Sebagai contoh, T. soundanense dan T. violaceum,
6
umumnya terbatas di Afrika, terisolasi dari kasus tinea kapitis di Amerika Serikat pada 2007. Akhirnya, kebiasaan lokal juga dapat mempengaruhi laju dan pola dermatofitosis. Penggunaan alas kaki yang menimbulkan maserasi, sebagai contoh, pada negara industri membuat tinea pedis dan onikomikosis menjadi lebih sering ditemukan di wilayah tersebut.
PATOGENESIS Dermatofit memperlihatkan armamentarium yang luas dari enzim (keratinolitik protease, lipase, dll) yang berperan sebagai faktor virulensi untuk memungkinkan pelekatan dan invasi ke kulit, rambut, dan kuku, serta untuk memanfaatkan keratin sebagai sumber nutrisi untuk bertahan hidup. Tahap awal infeksi dermatofit adalah pelekatan ke keratin, diikuti oleh invasi dan pertumbuhan elemen miselia. Akibat degradasi keratin dan dilanjutkan pengeluaran mediator proinflamasi, pejamu memunculkan respon inflamasi dengan tingkat beragam. “Ringworm” klasik atau morfologi anular pada tinea korporis berasal dari respon inflamasi pejamu terhadap dermatofit yang menyebar, diikuti dengan reduksi atau pembersihan elemen jamur dari dalam plak dan pada banyak kasus disebabkan resolusi spontan dari infeksi.
PERLEKATAN Dermatofit melalui beberapa lini pertahanan pejamu sebelum hifa mulai berkembang pada jaringan keratin. Langkah pertama adalah perlekatan artrokonidia yang sukses, spora aseksual yang terbentuk dari fragmentasi hifa, ke permukaan jaringan keratin. Lini awal pertahanan non spesifik pejamu termasuk asam lemak fungistatik dalam sebum serta koloni bakteri yang berkompetisi. Dasar dari serangan bersama tersebut dapat dijelaskan sebagian dengan peningkatan regulasi spesifik terhadap gen multipel yang diinduksi oleh kontak dengan keratin, seperti yang ditunjukkan pada analisis diferensial ekspresi gen T. rubrum. Setelah beberapa jam dari pelekatan yang sukses, spora mulai mengalami germinasi sebagai persiapan untuk tahap selanjutnya pada rantai kejadian infektif, invasi.
7
INVASI Trauma dan maserasi memfasilitasi penetrasi dermatofit melalui kulit. Invasi elemen jamur yang mengalami germinasi dicapai lebih lanjut melalui sekresi protease, lipase, dan seramidase spesifik, produk pencernaan yang juga berfungsi sebagai nutrisi jamur. Menariknya, komponen dari dinding sel jamur, menunjukkan efek inhibisi terhadap proliferasi keratinosit dan imunitas seluler.
RESPON PEJAMU Dermatofit menghadapi beragam respon pejamu dari beberapa lini mekanisme nonspesifik termasuk asam lemak fungistatik, peningkatan proliferasi epidermis, dan sekresi mediator inflamasi hingga imunitas seluler. Pada lini mekanisme pertahanan, keratinosit mewakili perbatasan pertama dari sel hidup untuk menghadapi elemen jamur yang menginvasi. Posisi kunci keratinosit tergambar oleh
respon
kompleksnya
terhadap
invasi
termasuk
proliferasi
untuk
meningkatkan peluruhan serta sekresi peptida antimikroba yang mencakup β defensin-2 serta sitokin proinflamasi (IFN-α, TNF-α, IL-1β, 8, 6, dan 17) yang mengaktivasi sistem imun lebih lanjut. Ketika lapisan epidermis yang lebih dalam terlibat, pertahanan non spesifik baru seperti kompetisi untuk mendapatkan zat besi dari transferrin tidak tersaturasi muncul. Derajat reaksi inflamasi pejamu bergantung pada status imun pejamu dan habitat alami spesies dermatofit yang terlibat. Menariknya, dermatofit antropofilik menginduksi sekresi profil sitokin terbatas dari keratinosit in vitro dibandingkan spesies zoofilik. Perbedaan tersebut dapat menggambarkan respon inflamasi bertambah yang secara umum terlihat dari spesies zoofilik. Pertahanan tingkat berikutnya yaitu imunitas seluler yang menyebabkan respon spesifik hipersensitivitas tipe lambat terhadap jamur yang menginvasi. Respon inflamasi terkait hipersensitivitas tersebut berhubungan dengan resolusi klinis, sementara imunitas selular yang kurang baik dapat menyebabkan dermatofitosis kronik atau berulang. Respon Th2 tampaknya tidak protektif, sebab pasien dengan peningkatan titer antibodi terhadap antigen jamur menunjukkan adanya infeksi jamur yang menyebar luas. Kemungkinan peran respon Th17
8
terhadap infeksi dermatofit diajukan oleh penemuan terkini terhadap pengikatan elemen hifa ke Dectin-2, suatu reseptor pengenalan lektin tipe C pada sel dendrit, penting untuk menginduksi respon Th17. Namun, kepentingan relatif respon imun Th17 terhadap dermatofitosis masih perlu dijelaskan.
GENETIK Walaupun pengamatan epidemiologis mengajukan adanya predisposisi genetik terhadap infeksi jamur, pemahaman molekuler yang mengkonfirmasi hipotesis tersebut masih kurang. Saat ini, walaupun demikian, dua keluarga dengan kerentanan yang lebih tinggi terhadap infeksi jamur dan mutasi pada jalur reseptor pengenalan lektin tipe C telah dijelaskan. Selain itu, mutasi pada CARD9, suatu molekul adaptor downstream Dectin-1 dan Dectin-2, yang menyebabkan kegagalan aktivasi Th17, berkaitan dengan kerentanan terhadap kandidiasis mukokutan kronik bersamaan dengan infeksi dermatofit kronik.
PROSEDUR DIAGNOSTIK Diagnosis
klinis
infeksi
dermatofit
dapat
dikonfirmasi
dengan
deteksi
mikroskopik dari elemen jamur, melalui identifikasi spesies dari kultur, atau dengan bukti histologik adanya hifa pada stratum korneum. Selain itu, pola efloresensi di bawah pemeriksaan dengan lampu Wood dapat mendukung dugaan klinis.
PEMERIKSAAN MIKROSKOPIK Walaupun pemeriksaan mikroskopik dari kerokan sampel yang diberikan kalium hidroksida (KOH) tidak memungkinkan spesiasi dan karakterisasi dari profil kerentanan, metode tersebut digunakan (jarang) sebagai metode yang cepat dan murah untuk memberikan bukti adanya dermatofitosis. Pada dermatofitosis yang melibatkan kulit, rambut atau kuku, hifa bersepta dan bercabang tanpa konstriksi (Gambar 188-1) dapat dilihat di bawah pemeriksaan mikroskop menggunakan sediaan KOH 10%-20%. Seluruh dermatofit superfisial tampak identik jika dilihat menggunakan cara tersebut. Karena pemeriksaan KOH dapat menyebabkan hasil
9
negatif palsu pada hampir 15% kasus, pasien yang diduga mengalami dermatofitosis dari kesan klinis sebaiknya ditatalaksana. Konfirmasi dengan kultur harus dipertimbangkan ketika tata laksana sistemik dibenarkan, seperti pada kasus tinea kapitis. Kerokan kulit sebaiknya diambil dengan menggores daerah yang terlibat dengan tepi tumpul ke arah luar dari tepi aktif. Hasil guntingan kuku harus melibatkan bagian distrofi, seproksimal mungkin dari distal tepi tanpa menimbulkan luka. Rambut sebaiknya dicabut (tidak digunting), ditempatkan di atas kaca preparat dan diberikan KOH 10%-20% dan ditutup dengan kaca penutup. Sedikit pemanasan pada sediaan menggunakan api kecil memungkinkan penetrasi larutan KOH yang lebih baik ke dalam keratin. Mikroskopis lapang pandang kecil akan menunjukkan tiga kemungkinan pola infeksi (Gambar 188-2): (1) ektotriks- artrokonidia kecil atau besar membentuk lapisan mengelilingi batang rambut, (2) endotriks- atrokonidia dalam batang rambut, atau (3) favushifa dan rongga udara dalam batang rambut.
Gambar 188-1 Pemeriksaan mikroskopik dari kerokan kulit menunjukkan hifa bersepta dan bercabang
Tabel 188- 4 Metode laboratorium yang sering digunakan dalam identifikasi dermatofit Pemeriksaan
Metode
Fungsi
Temuan
Kerokan dari tepi aktif,
Larutan
debris bawah kuku, atau
sedikit
rambut yang terinfeksi
yang
dicabut dan ditempatkan
keratin dan mewarnai
Laboratorium Sediaan hidroksida
kalium
KOH
dan
pemanasan melunakkan
Hifa
bersepta
dan
bercabang panjang dan sempit
10
pada
kaca
preparat.
KOH
10%
diteteskan
pada
specimen
dan
dengan
kaca
ditutup
dermatofit
penutup. Bagian bawah kaca
preparat
dapat
dipanaskan
sedikit
dengan api kecil. Kultur
Medium saboraud (4%
Memfasilitasi
Morfologi mikroskopik
pepton,
pertumbuhan
mikrokonidia
dermatofit
makrokonidia,
1%
glukosa,
agar, air)
dan
bersamaan
dengan
gambaran
kultur
termasuk
topografi
permukaan
dan
pigmentasi.
Pembaca
mengacu
pada
http://www.mycology.a delaide.edu.au
untuk
karakterisasi
koloni
jamur
yang
komprehensif. umum
Koloni
dikarakterisasi
pada Tabel 188-5 Medium
sabouraud
Memfasilitasi
modifikasi (penambahan
pertumbuhan
kloramfenikol,
dermatofit
sikloheksimid,
dan
gentamisin)
dan
menghambat pertumbuhan Candida
non albicans,
Cryptococcus, spesies Prothotheca, werneckii,
P. spesies
Scytalidium, Ochroconis gallopava Medium dermatofit
tes
Kerokan dari tepi aktif,
Medium mengandung
Inkubasi
debris bawah kuku atau
indikator
ruang selama 5-14 hari
pH
fenol
pada
suhu
11
rambut terinfeksi yang
merah.
Dermatofit
menghasilkan
tertanam dalam medium
memanfaatkan protein
perubahan
sehingga
medium dari kuning ke
menyebabkan
merah
lingkungan dengan ion
terdapat dermatofit.
warna
terang
jika
ammonium dan alkalin berlebih. Pewarnaan
Jaringan dapat diperoleh
Mewarnai dinding sel
Pink (PAS) atau hitam
khusus
dari teknik biopsi kulit
jamur
untuk
(GMS), warna elemen
histopatologi:
atau kuku
mendeteksi
elemen
jamur yang terlihat di
periodic
acid-
Schiff
dan
jamur
di
potongan
stratum korneum.
jaringan
Gorcott methenamine silver
Gambar 188- 2 Gambar peragaan dari keterlibatan rambut ektotriks (kiri) dan endotriks (kanan)
KULTUR Spesiasi dari jamur superfisial didasarkan pada karakteristik makroskopik, mikroskopik, dan metabolik dari organisme tersebut. Walaupun beberapa dermatofit segera teridentifikasi dengan berdasarkan kultur isolasi primer, sebagian besar dermatofit memerlukan diferensiasi lebih lanjut dengan subkultur pada media spesifik (kultur identifikasi) atau melalui pemeriksaan biokimia spesifik. Saboraud dextrose agar (SDA) merupakan medium isolasi yang paling sering digunakan untuk dermatofit dan berperan sebagai medium yang menjadi 12
dasar sebagian besar deskripsi morfologi. Eliminasi jamur, ragi, dan bakteri kontaminan diperoleh dengan penambahan sikloheksimid dan kloramfenikol (+/gentamisin) ke medium sehingga menjadi sangat selektif terhadap isolasi dermatofit. Perkembangan koloni dapat memakan waktu 5-7 hari pada kasus Epidermophyton floccosum dan 4 minggu pada Trichophyton verrucosum. Kultur diinkubasi pada suhu ruang (20°C - 25°C) selama minimal 4 minggu sebelum diselesaikan karena tidak ada pertumbuhan. Medium tes dermatofit (DTM) merupakan medium isolasi alternatif yang mengandung indikator pH fenol merah. Medium tersebut berubah menjadi merah ketika aktivitas proteolitik dermatofit menaikkan pH ke 8 atau lebih tinggi, dan tetap berwarna kuning dengan pertumbuhan sebagian besar saprofit. Produk sampingan non dermatofit yang bersifat asam mengubah medium menjadi kekuningan. Walaupun DTM berperan sebagai alternatif yang baik dalam isolasi dermatofit, medium tersebut tidak memungkinkan identifikasi dermatofit secara langsung akibat perubahan pertumbuhan dan dengan demikian morfologi dermatofit pada DTM Tabel 188-5 dijelaskan sebagai gambaran mikroskopik secara umum berupa mikrokonidia dan makrokonidia dari tiga genus dermatofit, sementara Tabel 188-6 menjelaskan koloni dan gambaran mikroskopik dari sebagian besar spesies dermatofit. Tabel 188- 5 Gambaran mikroskopik mikrokonidia dan makrokonidia dermatofit Genus Trichophyton
Mikrokonidia Berdinding licin. Digunakan
Makrokonidia Tidak ada atau non diagnostik
untuk identifikasi. Microsporum
Tidak ada atau nondiagnostik
Berdinding
kasar.
Digunakan
untuk identifikasi Epidermophyton
Tidak ada
Berdinding
licin.
Digunakan
untuk identifikasi
13
Tabel 188- 6 Gambaran koloni dan morfologi mikroskopik dermatofit yang sering ditemukan Organisme
Morfologi Koloni
Tampilan Mikroskopik
Epidermophyton
Koloni
floccosum
berambut
datar dengan
Banyak makrokonidia
lipatan di tengah
berdinding tebal dan
dan pigmen kuning
tipis, berkelompok.
hingga
hijau
keabuan
kusam.
Pigmen
kuning
hingga
cokelat
berkebalikan. Microsporum audouinii
Gepeng
dan
berwarna hingga
putih keabuan
Hifa
terminal
chlamikonidia
dan
pectin (seperti sisir)
dengan alur radial berjarak
lebar.
Pigmen
pink
salmon pada PDA. Tidak
ada
pertumbuhan pada beras. Microsporum canis
Gepeng, hingga pucat,
putih kuning berambut
Banyak makrokonidia berdinding tebal dan
kasar, dengan alur
spora
berbentuk
radial
berjarak
spindle dengan ujung
dekat.
Pigmen
terminal dan lebih
kuning
hingga
dari 6 sel.
jingga berkebalikan. Kuning pada PDA. Pertumbuhan pada beras.
14
Microsporum gypseum
Datar dan granular
Banyak
disertai
makrokonidia
pigmen
gelap dan berkilap,
berdinding
tebal
tidak ada pigmen
berbentuk acar tanpa
berkebalikan.
terminal dan kurang dari 6 sel.
Trichophyton
Putih
interdigitale
dengan permukaan
berbentuk
berkapas,
berkelompok seperti
bergunduk. Pigmen
anggur,
berkebalikan tidak
makrokonidia
ada hingga cokelat
berbentuk
muda. Tidak ada
terkadang ditemukan
pigmen pada PDA.
hifa spiral. Perforasi
Urease
rambut
Trichophyton rubrum
kental
positif,
Mikrokonidia bulat
jarang
rokok,
positif,
membantu
membantu
membedakan
membedakan dengan
dengan T. rubrum.
T. rubrum.
Bagian
tengah
Sedikit mikrokonidia
menonjol
dengan
berbentuk tetesan air,
berwarna
jarang makrokonidia
tepi marun.
Pigmen
berbentuk
pensil.
berkebalikan
Perforasi
rambut
berwarna
negatif.
marun.
Merah ceri pada PDA.
Urease
negatif Trichophyton
Bertumpuk
atau
Hifa
berbentuk
schoenleinii
menonjol
dan
tanduk (lampu lilin),
berwarna
banyak
keputihan. Pigmen
chlamidokonidia.
berkebalikan tidak berwarna
hingga
kuning gelap.
15
Trichophyton
Bagian
tengah
tonsurans
seperti
beludru
dengan
tepi
Banyak mikrokonidia multiformis
dan
berambut,
warna
sedikit makrokonidia
putih
hingga
berbentuk rokok.
kuning atau marun. Pigmen berkebalikan umumnya
marun
gelap,
terkadang
tidak
berwarna
hingga
kuning.
Memerlukan thiamin parsial. Trichophyton
Kecil
dan
Rantai
verrucosum
bertumpuk,
chamydokonidia
walaupun
pada SDA. Panjang
terkadang gepeng,
dan
putih hingga abu
makrokonidia
kekuningan.
“buntut-tikus”
Pigmen
dengan thiamin.
tipis,
berkebalikan tidak berwarna kuning.
hingga Biasanya
membutuhkan thiamin
dan
inositol
untuk
tumbuh. Trichophyton
Licin
dan
violaceum
bertumpuk, merah-
chlamidokonidia
keunguan
interkalar. Tidak ada
gelap.
Hifa ireguler dengan
Pigmen
mikro
atau
berkebalikan
makrokonidia
pada
berwarna
ungu.
SDA, jarang mikro
Memerlukan
dan
makrokonidia
thiamin sebagian.
dengan thiamin.
16
Tabel 188- 7 Kebutuhan nutrisi pertumbuhan Trichophyton Tes urease
Membedakan
Trichophyton
interdigitale
(hasil
positif)
dengan
(hasil
positif)
dengan
Trichophyton rubrum (hasil negatif) Tes perforasi rambut
Membedakan
Trichophyton
interdigitale
Trichophyton rubrum (hasil negatif) Kebutuhan nutrisi
Membedakan spesies Trichophyton Thiamin
Trichophyton tonsurans Trichophyton concentricum Trichophyton violaceum
Pertumbuhan beras
pada
Thiamin + inositol
Trichophyton verrucosum
Asam nikotinik
Trichophyton equinum
Histidin
Trichophyton megninii
Membedakan spesies Microsporum Pertumbuhan baik
Microsprorum canis
Pertumbuhan buruk
Microsprorum audouinii Microsprorum distortum
Identifikasi jamur hasil isolasi difasilitasi oleh subkultur pada media spesifik seperti potato dextrose agar (PDA) atau Borelli’s lactrimel agar (BLA) yang menstimulasi sporulasi, produksi pigmen, dan perkembangan dari morfologi umum. Pada akhirnya, dermatofit dapat berdiferensiasi lebih lanjut dengan kemampuannya untuk tumbuh pada beras yang telah diautoklaf, perforasi di batang rambut pendek in vitro atau menghidrolisis urea (tes urease), atau membutuhkan suplemen nutrisi untuk pertumbuhan (Tabel 188-7).
HISTOPATOLOGI Pada umumnya, pemeriksaan biopsi kulit jarang dikerjakan dalam mendiagnosis dermatofitosis. Erupsi kulit terlokalisasi diduga mewakili dermatofitosis dengan pemeriksaan KOH samar sering kali ditatalaksana walaupun kurang terkonfirmasi. Biopsi dapat mengkonfirmasi diagnosis ketika agen sistemik dipertimbangkan dalam tata laksana dari erupsi yang sulit atau lebih menyebar luas. Biopsi dapat digunakan untuk membantu diagnosis granuloma Majocchi di mana pemeriksaan KOH kulit pada permukaan lebih sering menunjukkan hasil negatif. Biopsi juga
17
terkadang bermanfaat dalam mengkonfirmasi keberadaan hifa yang melibatkan batang rambut di kulit kepala pada kasus tinea kapitis, walaupun kultur diperlukan untuk memungkinkan spesiasi patogen. Jika ditemukan, hifa dapat terlihat di stratum korneum pada pewarnaan hematoksilin dan eosin. Walaupun pewarnaan khusus, paling sering pewarnaan periodic acid-Schiff (PAS) dan methenamine silver, menandai hifa yang sebaliknya tampak samar pada pewarnaan rutin. Meski kultur menjadi pemeriksaan paling spesifik untuk onikomikosis, pemeriksaan PAS dari guntingan kuku merupakan yang paling sensitif dan tidak perlu menunggu berminggu-minggu untuk memperoleh hasil.
Tabel 188- 8 Pola infeksi rambut dan fluorosensi Pola
Dermatofit
Fluorosensi
Endotriks
Trichophyton soundanense
Tidak ada
Trichophyton violaceum
Tidak ada
Trichophyton tonsurans
Tidak ada
Trichophyton gourvilli
Tidak ada
Trichophyton yaoundel
Tidak ada
Microsporum canis
Hijau kekuningan
Microsporum audouinii
Hijau kekuningan
Microsporum distortum
Hijau kekuningan
Microsporum ferrugineum
Hijau kekuningan
Microsporum fulvum
Tidak ada
Microsporum gypseum
Tidak ada
Trichophyton megninii
Tidak ada
Trichophyton interdigitale
Tidak ada
Trichophyton rubrum
Tidak ada
Trichophyton verrucosum
Tidak ada
Trichophyton schoenleinii
Abu kebiruan, terkadang
Ektotriks
Favus
FLUORESENSI LAMPU WOOD Pemeriksaan dari area berambut yang terlibat, seperti kulit kepala atau jenggot, menggunakan lampu Wood (365 nm) mampu memperlihatkan fluorosensi pteridin dari rambut yang terinfeksi oleh patogen jamur tertentu. Rambut yang
18
berfluorosensi sebaiknya diseleksi untuk pemeriksaan lebih lanjut, termasuk kultur. Sementara organisme ektotriks M. canis dan M. audouinii akan berfluoresensi pada pemeriksaan lampu Wood, organisme endotriks T. tonsurans tidak akan berfluorosensi. Spesies T. tonsurans, yang saat ini menjadi penyebab tersering tinea kapitis di Amerika Serikat, dengan demikian membatasi penggunaan pemeriksaan lampu Wood. Tabel 188-8 menyusun pola umum keterlibatan rambut dan fluorosensi dermatofit.
19