B3.metodologi Dan Pendekatan Teori.docx

  • Uploaded by: Nadia Aritya
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View B3.metodologi Dan Pendekatan Teori.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 12,164
  • Pages: 88
BAB 3 PENDEKATAN TEORI DAN METODOLOGI

3.1.

PENDEKATAN STUDI Pendekatan membahas pemahaman konsultan terhadap tujuan kegiatan,

lingkup serta jasa konsultasi yang diperlukan, identifikasi masalah, metodologi serta program kerja yang diusulkan. Setelah mengkaji KAK terutama latar belakang, maksud dan tujuan, serta lingkup, konsultan menyusun beberapa rangkuman konsep dasar, tinjauan teoritis, dan kajian pustaka yang terkait dengan pelaksanaan analisis kawasan rawan bencana dan pengendalian pelaksanaan penanggulangan bencana yang berdampak terhadap jalan, dalam pendekatan ini juga membahas metodologi yang diusulkan dan kesesuaian dengan pendekatan yang digunakan.

3.1.1. PENDEKATAN TEORITIK

Perubahan paradigma tentang bencana memberikan pandangan baru terhadap penanggulangan bencana di Indonesia, dari yang sifatnya responsive menjadi manajemen risiko. Bencana adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari sistem yang ada di muka bumi. Dalam perkembangannya ilmu tentang bencana banyak dikaji. Dalam konsep ilmu bencana penting bagi kita untuk membedakan

B3-1

antara bencana dengan ancaman, sehingga pemahaman ini akan menjadi tolak ukur dalam mengenal apa itu risiko bencana. Bahaya (hazard ) adalah suatu fenomena fisik atau aktivitas manusia yang berpotensi merusak, yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau cidera, kerusakan harta-benda, gangguan sosial dan ekonomi atau kerusakan lingkungan (ISDR, 2004 ), atau kejadian potensial yang merupakan ancaman terhadap kesehatan, keamanan, kesejahteraan masyarakat, fungsi ekonomi, masyarakat atau kesatuan organisasi pemerintah yang lebih luas yang berdampak langsung terhadap aset yang ada di masyarakat. Bahaya merupakan suatu even kejadian ancaman

yang

dapat

berdampak

pada

kehidupan

manusia,

aset-aset

penghidupan dan lingkungannya, bahaya selalu berhubungan dengan risiko bencana (Clark, dkk., 1984 dalam Affeltranger, dkk., 2006). Besarnya suatu bahaya menjadi salah satu unsur dalam penilaian risiko bencana. Pengkajian bahaya adalah suatu analisis untuk mengidentifikasi probabilitas suatu bahaya tertentu, pada suatu waktu tertentu di masa yang akan datang, serta intensitas dan wilayah dampaknya (ISDR, 2004) Pendekatan teori ini dibagi menjadi teori Penanggulangan Bencana yang akan dibahas dalam sub bab berikut

A. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

B3-2

Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sebagaimana didefinisikan dalam

UU

24

Tahun

2007

tentang

Penanggulangan

Bencana,

penyelenggaraan Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Rangkaian kegiatan tersebut apabila digambarkan dalam siklus penanggulangan bencana adalah sebagai berikut :

Gambar 1.1. Siklus Penganggulangan Bencana Pada dasarnya penyelenggaraan adalah tiga tahapan yakni : 1. Pra bencana yang meliputi:  situasi tidak terjadi bencana  situasi terdapat potensi bencana 2. Saat Tanggap Darurat yang dilakukan dalam situasi terjadi bencana B3-3

3. Pascabencana yang dilakukan dalam saat setelah terjadi bencana Tahapan bencana yang digambarkan di atas, sebaiknya tidak dipahami sebagai suatu pembagian tahapan yang tegas, dimana kegiatan pada tahap tertentu akan berakhir pada saat tahapan berikutnya dimulai. Akan tetapi harus dipahami bahwa setiap waktu semua tahapan dilaksanakan secara bersama-sama dengan porsi kegiatan yang berbeda. Misalnya pada tahap pemulihan, kegiatan utamanya adalah pemulihan tetapi kegiatan pencegahan dan mitigasi juga sudah dimulai untuk mengantisipasi bencana yang akan datang. Secara

umum

perencanaan

dalam

penanggulangan

bencana

dilakukan pada setiap tahapan dalam penyelenggaran penanggulangan bencana. Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, agar setiap kegiatan dalam setiap tahapan dapat berjalan dengan terarah, maka disusun suatu rencana yang spesifik pada setiap tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana. 1. Pada tahap Prabencana dalam situasi tidak terjadi bencana, dilakukan penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management Plan), yang merupakan rencana umum dan menyeluruh yang meliputi seluruh tahapan / bidang kerja kebencanaan. Secara khusus untuk upaya pencegahan dan mitigasi bencana tertentu terdapat rencana yang disebut rencana mitigasi misalnya Rencana Mitigasi Bencana Banjir DKI Jakarta. B3-4

2. Pada tahap Prabencana dalam situasi terdapat potensi bencana dilakukan penyusunan Rencana Kesiapsiagaan untuk menghadapi keadaan darurat yang didasarkan atas skenario menghadapi bencana tertentu (single hazard) maka disusun satu rencana yang disebut Rencana Kontinjensi (Contingency Plan). 3. Pada Saat Tangap Darurat dilakukan Rencana Operasi (Operational Plan) yang merupakan operasionalisasi/aktivasi dari Rencana Kedaruratan atau Rencana Kontinjensi yang telah disusun sebelumnya. 4. Pada Tahap Pemulihan dilakukan Penyusunan Rencana Pemulihan (Recovery Plan) yang meliputi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan pada pasca bencana. Sedangkan jika bencana belum terjadi, maka untuk mengantisipasi kejadian bencana dimasa mendatang dilakukan penyusunan petunjuk /pedoman mekanisme penanggulangan pasca bencana Perencanaan penanggulangan bencana disusun berdasarkan hasil analisis risiko bencana dan upaya penanggulangannya yang dijabarkan dalam program kegiatan penanggulangan bencana dan rincian anggarannya. Perencanaan

penanggulangan

bencana

merupakan

bagian

dari

perencanaan pembangunan. Setiap rencana yang dihasilkan dalam perencanaan ini merupakan program/kegiatan yang terkait dengan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan yang dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang B3-5

(RPJP), Jangka Menengah (RPJM) maupun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan. Rencana penanggulangan bencanaditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Penyusunan rencana penanggulangan bencana dikoordinasikan oleh: 1.

BNPB untuk tingkat nasional;

2.

BPBD provinsi untuk tingkat provinsi; dan

3.

BPBD kabupaten/kota untuk tingkat kabupaten/kota.

Rencana penanggulangan bencana ditinjau secara berkala setiap 2 (dua) tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi bencana.

B. Pengenalan Bahaya Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan negara dengan potensi bahaya (hazard potency) yang sangat tinggi dan beragam baik berupa bencana alam, bencana ulah manusia ataupun kedaruratan komplek. Beberapa potensi tersebut antara lain adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran lahan dan hutan, kebakaran perkotaan dan permukiman, angin badai, wabah penyakit, kegagalan teknologi dan konflik sosial. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat B3-6

dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Potensi bahaya utama (main hazard potency) ini dapat dilihat antara lain pada peta rawan bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona gempa yang rawan, peta kerentanan bencana tanah longsor, peta daerah bahaya bencana letusan gunung api, peta potensi bencana tsunami, peta potensi bencana banjir, dan lain-lain. Adapun jenis-jenis ancaman bahaya Rawan Bencana yang berdampak pada jalan di Provinsi Sumatera Utara dan Riau

B.1. Gempa Bumi Bencana yang dapat timbul oleh gempa bumi ialah berupa kerusakan atau kehancuran bangunan (rumah, sekolah, rumah sakit dan bangunan umum lain), dan konstruksi prasarana fisik (jalan, jembatan, bendungan, pelabuhan laut/udara, jaringan listrik dan telekomunikasi, dli), serta bencana sekunder yaitu kebakaran dan korban akibat timbulnya kepanikan.

B.2. Tsunami Tsunami adalah gelombang pasang yang timbul akibat terjadinya gempa bumi di laut, letusan gunung api bawah laut atau longsoran di laut. Namun tidak semua fenomena tersebut dapat memicu terjadinya tsunami. Syarat utama B3-7

timbulnya tsunami adalah adanya deformasi (perubahan bentuk yang berupa pengangkatan atau penurunan blok batuan yang terjadi secara tiba-tiba dalam skala yang luas) di bawah laut.. Terdapat empat faktor pada gempa bumi yang dapat menimbulkan tsunami, yaitu: 1). pusat gempa bumi terjadi di Iaut, 2). Gempa bumi memiliki magnitude besar, 3). kedalaman gempa bumi dangkal, dan 4). terjadi deformasi vertikal pada lantai dasar laut. Gelombang tsunami bergerak sangat cepat, mencapai 600-800 km per jam, dengan tinggi gelombang dapat mencapai 20 m. B.3. Letusan Gunung Api Pada letusan gunung api, bencana dapat ditimbulkan oleh jatuhan material letusan, awan panas, aliran lava, gas beracun, abu gunung api, dan bencana sekunder berupa aliran Iahar. Luas daerah rawan bencana gunung api di seluruh Indonesia sekitar 17.000 km2 dengan jumlah penduduk yang bermukim di kawasan rawan bencana gunung api sebanyak kurang lebih 5,5 juta jiwa. Berdasarkan data frekwensi letusan gunung api, diperkirakan tiap tahun terdapat sekitar 585.000 orang terancam bencana letusan gunung api.

B.4. Banjir Indonesia daerah rawan bencana, baik karena alam maupun ulah manusia. Hampir semua jenis bencana terjadi di Indonesia, yang paling dominan adalah banjir tanah longsor dan kekeringan. Banjir sebagai fenomena alam terkait dengan B3-8

ulah manusia terjadi sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu : hujan, kondisi sungai, kondisi daerah hulu, kondisi daerah budidaya dan pasang surut air laut. Potensi terjadinya ancaman bencana banjir dan tanah longsor saat Ini disebabkan keadaan badan sungai rusak, kerusakan daerah tangkapan air, pelanggaran tata-ruang wilayah, pelanggaran hukum meningkat, perencanaan pembangunan kurang terpadu, dan disiplin masyarakat yang rendah.

B.5. Tanah Longsor Longsoran merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Pemicu dari terjadinya gerakan tanah ini adalah curah hujan yang tinggi serta kelerengan tebing. Bencana tanah longsor sering terjadi di Indonesia yang mengakibatkan kerugian jiwa dan harta benda. Untuk itu perlu ditingkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi jenis bencana ini. Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah atau material laporan bergerak ke bawah atau keluar lereng. Secara geolologis tanah longsor adalah suatu peristiwa geologi dimana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah (Nandi, 2007:6). B3-9

Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari pada gaya penahan. Gaya penahan pada umunya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan daya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, beban serta berat jenis batuan. Proses terjadinya tanah longsor dapat di jelaskan sebagai berikut, air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan luar lereng. Menurut Suripin (2002) tanah longsor merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan atau gerakan masa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif besar. Peristiwa tanah longsor dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan dan sebenarnya merupakan fenomena alam yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah. Kamus Wikipidea menambahkan bahwa tanah longsor merupakan suatu peristiwa geologi dimana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) menyatakan bahwa tanah longsor boleh disebut juga dengan gerakan tanah. Didefinisikan B3-10

sebagai massa tanah atau material campuran lempung, kerikil, pasir, dan kerakal serta bongkah dan lumpur, yang bergerak sepanjang lereng atau keluar lereng karena faktor gravitasi bumi. Gerakan tanah (tanah longsor) adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan ke tempat yang lebih rendah. Gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik tanah dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang lereng. Perubahan gaya-gaya tersebut ditimbulkan oleh pengaruh perubahan alam maupun tindakan manusia. Perubahan kondisi alam dapat diakibatkan oleh gempa bumi, erosi, kelembaban lereng akibat penyerapan air hujan, dan perubahan aliran permukaan. Pengaruh manusia terhadap perubahan gaya-gaya antara lain adalah penambahan beban pada lereng dan tepi lereng, penggalian tanah di tepi lereng, dan penajaman sudut lereng. Tekanan jumlah penduduk yang banyak mengalihfungsikan tanah-tanah berlereng menjadi pemukiman atau lahan budidaya sangat berpengaruh terhadap peningkatan resiko longsor. Menurut Sitorus (2006), longsor (landslide) merupakan suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat yang relatif pendek dalam volume (jumlah) yang sangat besar. Berbeda halnya dengan bentuk-bentuk erosi lainnya (erosi lembar, erosi alur, erosi parit) pada longsor pengangkutan tanah terjadi sekaligus dalam periode yang sangat pendek. B3-11

Sedangkan menurut Dwiyanto (2002), tanah longsor adalah suatu jenis gerakan tanah, umumnya gerakan tanah yang terjadi adalah longsor bahan rombakan (debris avalanches) dan nendatan (slumps/rotational slides). Gaya-gaya gravitasi dan rembesan (seepage) merupakan penyebab utama ketidakstabilan (instability) pada lereng alami maupun lereng yang di bentuk dengan cara penggalian atau penimbunan. Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan

mass wasting yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement), merupakan perpindahan massa batuan, regolith, dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih rendah. Meskipun gravitasi merupakan faktor utama terjadinya gerakan massa, ada beberapa faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya proses tersebut antara lain kemiringan lereng dan air. Apabila pori-pori sedimen terisi oleh air, gaya kohesi antarmineral akan semakin lemah, sehingga memungkinkan partikelpartikel tersebut dengan mudah untuk bergeser. Selain itu air juga akan menambah berat massa material, sehingga kemungkinan cukup untuk menyebabkan material untuk meluncur ke bawah.

a. Tipe longsor

B3-12

Menurut Naryanto (2002), jenis tanah longsor berdasarkan kecepatan gerakannya dapat dibagi menjadi 5 (lima) jenis yaitu : 

Aliran; longsoran bergerak serentak/mendadak dengan kecepatan tinggi.



Longsoran; material longsoran bergerak lamban dengan bekas longsoran berbentuk tapal kuda.



Runtuhan; umumnya material longsoran baik berupa batu maupun tanah bergerak cepat sampai sangat cepat pada suatu tebing.



Majemuk; longsoran yang berkembang dari runtuhan atau longsoran dan berkembang lebih lanjut menjadi aliran.



Amblesan (penurunan tanah); terjadi pada penambangan bawah tanah, penyedotan air tanah yang berlebihan, proses pengikisan tanah serta pada daerah yang dilakukan proses pemadatan tanah.

Penurunan tanah (subsidence) dapat terjadi akibat adanya konsolidasi, yaitu penurunan permukaan tanah sehubungan dengan proses pemadatan atau perubahan volume suatu lapisan tanah. Proses ini dapat berlangsung lebih cepat bila terjadi pembebanan yang melebihi faktor daya dukung tanahnya.ataupun pengambilan air tanah yang berlebihan dan berlangsung relatif cepat. Pengambilan air tanah yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah (pada sistem akifer air tanah dalam) dan turunnya tekanan hidrolik, sedangkan tekanan antar batu bertambah. B3-13

Akibat beban di atasnya menurun. Penurunan tanah pada umumnya terjadi pada daerah dataran yang dibangun oleh batuan/tanah yang bersifat lunak (Sangadji, 2003). Berikut merupakan macam-Macam Bentuk Longsor 

Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai



Longsoran Rotasi Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung



Pergerakan Blok

B3-14

Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.



Runtuhan Batu Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah



Rayapan Tanah Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor B3-15

ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah



Aliran Bahan Rombakan Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak

B3-16

Ditinjau dari kenampakan jenis gerakan tanah longsor dapat dibedakan menjadi beberapa macam/tipe antara lain : 1. Jenis jatuhan Material batu atau tanah dalam longsor jenis ini jatuh bebas dari atas tebing. Material yang jatuh umumnya tidak banyak dan terjadi pada lereng terjal. 2. Longsoran Longsoran yaitu massa tanah yang bergerak sepanjang lereng dengan bidang longsoran melengkung (memutar) dan mendatar. Longsoran dengan bidang longsoran melengkung, biasanya gerakannya cepat dan mematikan karena tertimbun material longsoran. Sedangkan longsoran dengan bidang longsoran mendatar gerakannya perlahan-lahan, merayap tetapi dapat merusakkan dan meruntuhkan bangunan di atasnya. 3. Jenis aliran Jenis aliran yaitu massa tanah bergerak yang didorong oleh air. Kecepatan aliran bergantung pada sudut lereng, tekanan air, dan jenis materialnya. Umumnya gerakannya di sepanjang lembah dan biasanya panjang gerakannya sampai ratusan meter, di beberapa tempat bahkan sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai daerah gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak. 4. Gerakan tanah gabungan

B3-17

Gerakan tanah gabungan yaitu gerakan tanah gabungan antara longsoran dengan aliran atau jatuhan dengan aliran. Gerakan tanah jenis gabungan ini yang banyak terjadi di beberapa tempat akhir-akhir ini dengan menelan korban cukup tinggi. Menurut Dwiyanto (2002), dilihat dari kenampakan bidang gelincirnya terdapat beberapa tipe longsoran yang sering terjadi diantaranya : a. Kelongsoran rotasi (rotational slip). b. Kelongsoran translasi (translational slip). c. Kelongsoran gabungan (compound slip).

B.5.1 Penyebab Terjadinya Tanah Longsor Menurut Nandi (2007:6) gejala umum tanah longsor ditandai dengan munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing, biasanya terjadi setelah hujan, munculnya mata air baru secara tiba-tiba dan tebing rapuh serta kerikil mulai berjatuhan. Faktor lainnya adalah sebagai berikut : 1. Hujan Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan mulculnya pori-pori tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah ke permukaan. Ketika hujan, air akan menyusup kebagian yang retak sehingga tanahdengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang B3-18

tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu yang singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi dibagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. 2. Lereng Terjal Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180o apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsornya datar. 3. Tanah yang Kurang Padat dan Tebal Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dari sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas. 4. Batuan yang Kurang Kuat Batuan endapan gunung api dan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah apabila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal. B3-19

5. Jenis Tata Lahan Tanah longsor banyak terjadi di daerah lahan persawahan, perladangan dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah yang membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

6. Getaran Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkan adalah tanah, bdan jalan, lantai dan dinding rumah menjadi retak.

Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup dan penggunaan lahan pada lereng tersebut, namun secara garis besar dapat dibedakan sebagai faktor alami dan manusia.

B3-20

Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005), tanah longsor dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia sebagai pemicu terjadinya tanah longsor, yaitu : a. Faktor alam Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara lain: 

Kondisi geologi: batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan batu lempung, lereng yang terjal yang diakibatkan oleh struktur sesar dan kekar (patahan dan lipatan), gempa bumi, stratigrafi dan gunung api, lapisan batuan yang kedap air miring ke lereng yang berfungsi sebagai bidang longsoran, adanya retakan karena proses alam (gempa bumi, tektonik).



Keadaan tanah : erosi dan pengikisan, adanya daerah longsoran lama, ketebalan tanah pelapukan bersifat lembek, butiran halus, tanah jenuh karena air hujan.



Iklim: curah hujan yang tinggi, air (hujan. di atas normal)



Keadaan topografi: lereng yang curam.



Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika, susut air cepat, banjir, aliran bawah tanah pada sungai lama).



Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal lahan kosong, semak belukar di tanah kritis.

B3-21

b. Faktor manusia Ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam antara lain : a. Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal. b. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng. c. Kegagalan struktur dinding penahan tanah. d. Perubahan tata lahan seperti penggundulan hutan menjadi lahan basah yang menyebabkan terjadinya pengikisan oleh air permukaan dan menyebabkan tanah menjadi lembek e. Adanya budidaya kolam ikan dan genangan air di atas lereng. f. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman. g. Pengembangan

wilayah

yang

tidak

diimbangi

dengan

kesadaran

masyarakat, sehingga RUTR tidak ditaati yang akhirnya merugikan sendiri. h. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik yang menyebabkan lereng semakin terjal akibat penggerusan oleh air saluran di tebing i.

Adanya retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban massa yang bertambah dipicu beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah kurang padat karena material urugan atau material longsoran lama pada tebing

j.

Terjadinya bocoran air saluran dan luapan air saluran Arsyad (1989) mengemukakan bahwa tanah longsor ditandai dengan

bergeraknya sejumlah massa tanah secara bersama-sama dan terjadi sebagai akibat meluncurnya suatu volume tanah di atas suatu lapisan agak kedap air B3-22

yang jenuh air. Lapisan yang terdiri dari tanah liat atau mengandung kadar tanah liat tinggi setelah jenuh air akan bertindak sebagai peluncur. Longsoran akan terjadi jika terpenuhi tiga keadaan sebagai berikut : a. Adanya lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat bergerak atau meluncur ke bawah, b. Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan lunak, yang akan menjadi bidang luncur, dan c. Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di atas lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh. Lapisan kedap air dapat berupa tanah liat atau mengandung kadar tanah liat tinggi, atau dapat juga berupa lapisan batuan. Penyebab terjadinya tanah longsor dapat bersifat statis dan dinamis. Statis merupakan kondisi alam seperti sifat batuan (geologi) dan lereng dengan kemiringan sedang hingga terjal, sedangkan dinamis adalah ulah manusia. Ulah manusia banyak sekali jenisnya dari perubahan tata guna lahan hingga pembentukan gawir yang terjal tanpa memperhatikan stabilitas lereng. (Surono, 2003). Sedangkan menurut Sutikno (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah antara lain : tingkat kelerengan, karakteristik tanah, keadaan geologi, keadaan vegetasi, curah hujan/hidrologi, dan aktivitas manusia di wilayah tersebut. Tabel 1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor

B3-23

Menurut Barus (1999), gerakan tanah berkaitan langsung dengan berbagai sifat fisik alami seperti struktur geologi, bahan induk, tanah, pola drainase, lereng/bentuk lahan, hujan, maupun sifat-sifat non-alami yang bersifat dinamis seperti penggunaan lahan dan infrastruktur. Berbagai tipe dan jenis luncuran dan longsoran tanah umumnya dapat terjadi bersamaan dengan terjadinya gempa. Pada dasarnya getaran gempa lebih bersifat sebagai pemicu terjadinya longsoran atau gerakan tanah (Noor, 2006). Karnawati (2004) dalam Alhasanah (2006) menjelaskan bahwa terjadinya longsor karena adanya faktor-faktor pengontrol gerakan di antaranya geomorfologi, tanah, geologi, geohidrologi, dan tata guna lahan, serta adanya proses-proses pemicu gerakan seperti : infiltrasi air ke dalam lereng, getaran, aktivitas manusia/ perubahan dan gangguan lahan. Faktor-faktor pengontrol gerakan tanah meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi, hidrogeologi, dan tata guna lahan. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang B3-24

cenderung atau berpotensi untuk bergerak. Kondisi lereng yang demikian disebut sebagai kondisi rentan untuk bergerak. Gerakan pada lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila ada pemicu gerakan. Pemicu gerakan merupakan proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat mengubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak) menjadi mulai bergerak. Darsoatmodjo dan Soedrajat (2002), menyebutkan bahwa terdapat beberapa ciri/karakteristik daerah rawan akan gerakan tanah, yaitu : a. Adanya gunung api yang menghasilkan endapan batu vulkanik yang umumnya belum padu dan dengan proses fisik dan kimiawi maka batuan akan melapuk, berupa lempung pasiran atau pasir lempungan yang bersifat sarang, gembur, dan mudah meresapkan air. b. Adanya bidang luncur (diskontinuitas) antara batuan dasar dengan tanah pelapukan, bidang luncuran tersebut merupakan bidang lemah yang licin dapat berupa batuan lempung yang kedap air atau batuan breksi yang kompak dan bidang luncuran tersebut miring kea rah lereng yang terjal. c. Pada daerah pegunungan dan perbukitan terdapat lereng yang terjal, pada daerah jalur patahan/sesar juga dapat membuat lereng menjadi terjal dan dengan adanya pengaruh struktur geologi dapat menimbulkan zona retakan sehingga dapat memperlemah kekuatan batuan setempat. d. Pada daerah aliran sungai tua yang bermeander dapat mengakibatkan lereng menjadi terjal akibat pengikisan air sungai ke arah lateral, bila daerah B3-25

tersebut disusun oleh batuan yang kurang kuat dan tanah pelapukan yang bersifat lembek dan tebal maka mudah untuk longsor. e. Faktor air juga berpengaruh terhadap terjadinya tanah longsor, yaitu bila di lereng bagian atas terdapat adanya saluran air tanpa bertembok, persawahan, kolam ikan (genangan air), bila saluran tersebut jebol atau bila turun hujan air permukaan tersebut meresap ke dalam tanah akan mengakibatkan kandungan air dalam massa tanah akan lewat jenuh, berat massa tanah bertambah dan tahanan geser tanah menurun serta daya ikat tanah menurun sehingga gaya pendorong pada lereng bertambah yang dapat mengakibatkan lereng tersebut goyah dan bergerak menjadi longsor. Menurut Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1981) faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor antara lain adalah sebagai berikut : a. Topografi atau lereng, b. Keadaan tanah/ batuan, c. Curah hujan atau keairan, d. Gempa /gempa bumi, dan e. Keadaan vegetasi/hutan dan penggunaan lahan. Faktor-faktor penyebab tersebut satu sama lain saling mempengaruhi dan menentukan besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan suatu daerah terhadap bencana tanah longsor ditentukan pula oleh pengaruh dan kaitan faktorfaktor ini satu sama lainnya. B3-26

Kelerengan (Slope) Menurut Karnawati (2001), kelerengan menjadi faktor yang sangat penting dalam proses terjadinya tanah longsor. Pembagian zona kerentanan sangat terkait dengan kondisi kemiringan lereng. Kondisi kemiringan lereng lebih 15º perlu mendapat perhatian terhadap kemungkinan bencana tanah longsor dan tentunya dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mendukung. Pada dasarnya sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah perbukitan atau pegunungan yang membentuk lahan miring. Namun tidak selalu lereng atau lahan yang miring berbakat atau berpotensi longsor. Potensi terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lerengnya, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup, dan penggunaan lahan pada lereng tersebut. Lebih jauh Karnawati (2001) menyebutkan terdapat 3 tipologi lereng yang rentan untuk bergerak/ longsor, yaitu : a. Lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah gembur dialasi oleh batuan atau tanah yang lebih kompak. b. Lereng yang tersusun oleh pelapisan batuan miring searah lereng. c. Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan. Kemantapan suatu lereng tergantung kapada gaya penggerak dan gaya penahan yang ada pada lereng tersebut. Gaya penggerak adalah gaya-gaya yang B3-27

berusaha untuk membuat lereng longsor, sedangkan gaya penahan adalah gayagaya yang mempertahankan kemantapan lereng tersebut. Jika gaya penahan ini lebih besar daripada gaya penggerak, maka lereng tersebut tidak akan mengalami gangguan atau berarti lereng tersebut mantap (Das, 1993; Notosiswojo dan Projosumarto, 1984 dalam Mustafril, 2003). Faktor-faktor yang menyebabkan longsor secara umum diklasifikasikan sebagai berikut (Notosiswojo dan Projosumarto, 1984 dalam Mustafril, 2003) : 1) Faktor-faktor yang menyebabkan naiknya tegangan geser, yaitu : naiknya berat unit tanah karena pembasahan, adanya tambahan beban eksternal seperti bangunan, bertambahnya kecuraman lereng karena erosi alami atau karena penggalian, dan bekerjanya beban goncangan. 2) Faktor-faktor yang menyebabkan turunnya kekuatan geser, yaitu : adanya absorbsi air, kenaikan tekanan pori, beban guncangan atau beban berulang, pengaruh pembekuan atau pencairan, hilangnya sementasi material, proses pelapukan, dan hilangnya kekuatan karena regangan berlebihan pada lempung sensitif. Sitorus (2006) menjelaskan bahwa peningkatan tegangan geser dapat disebabkan oleh banyak faktor lain : a. Hilangnya penahan lateral; karena aktifitas erosi, pelapukan, penambahan kemiringan lereng, dan pemotongan lereng.

B3-28

b. Kelebihan beban; karena air hujan yang meresap ke tanah, pembangunan di atas lereng; karena pengikisan air, penambangan batuan, pembuatan terowongan, dan eksploitasi air tanah berlebihan. c. Getaran; karena gempa bumi atau mesin kendaraan. d. Hilangnya tahanan bagian bawah lereng; karena pengikisan air, e. Tekanan lateral; karena pengisian air di pori-pori antarbutiran tanah dan pengembangan tanah. f.

Stuktur geologi yang berpotensi mendorong terjadinya longsor adalah kontak antarbatuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan, patahan, rekahan, sesar,dan perlapisan batuan yang terlampau miring.

g. Sifat batuan; pada umumnya komposisi mineral dari pelapukan batuan vulkanis yang berupa lempung akan mudah mengembang dan bergerak. Tanah dengan ukuran batuan yang halus dan seragam, kurang padat atau kurang kompak. h. Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air cepat. Saluran air yang terhambat pada lereng menjadi salah satu sebab yang mendorong munculnya pergerakan tanah atau longsor. i.

Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor sangat kompleks. Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mampu menembus sampai lapisan batuan dasar maka tubuhan tersebut akan sangat berfungsi sebagai penahan massa lereng. Di sisi ain meskipun B3-29

tumbuhan memiliki perakaran yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah yang memiliki daya kohesi yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng. Pada kadud tertentu tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan sebagai penambah beban lereng yang mendorong terjadinya longsor. Secara umum bentuk penampang keruntuhan lereng dibedakan atas : (1) berbentuk rotasi lingkaran (circular rotational slips) untuk kondisi tanah homogen, (2) tidak berbentuk lingkaran (non-circular) untuk kondisi tanah tidak homogen, (3) bentuk translasi (translational slip) untuk kondisi tanah yang mempunyai perbedaan kekuatan antara lapisan permukaan dengan lapisan dasar longsoran dan pada umumnya terletak pada lapisan tanah dangkal (shallow depth) serta longsoran yang terjadi berupa bidang datar dan sejajar dengan lereng, dan (4) bentuk kombinasi (compound slip) biasanya terjadi pada lapisan tanah dengan dalam yang besar (greater depth) dan bentuk keruntuhan penampangnya terdiri dari lengkung dan datar (Peck dan Terzaghi, 1987; McKyes, 1989; Craig, 1992; Bhandari, 1995, dalam Mustafril, 2003). Pada dasarnya sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah perbukitan atau pegunungan yang membentuk lahan miring. Lereng atau lahan yang kemiringannya melampaui 20 derajat (40%), umumnya berbakat untuk bergerak atau longsor. Namun tidak selalu lereng atau lahan yang miring berpotensi untuk

B3-30

longsor. Menurut Anwar et al (2001), dari berbagai kejadian longsor, dapat didentifikasi 3 tipologi lereng yang rentan untuk bergerak yaitu: a. Lereng timbunan tanah residual yang dialasi oleh batuan kompak. b. Lereng batuan yang berlapis searah lereng topografi. c. Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan.

Penutupan Vegetasi Menurut Sitorus (2006), vegetasai berpengaruh terhadap aliran permukaan, erosi, dan longsor melalui (1) Intersepsi hujan oleh tajuk vegetasi/tanaman, (2) Batang mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kanopi mengurangi kekuatan merusak butir hujan, (3) Akar meningkatkan stabilitas struktur tanah dan pergerakan tanah, (4) Transpirasi mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Keseluruhan hal ini dapat mencegah dan mengurangi terjadinya erosi dan longsor. Tanaman mampu menahan air hujan agar tidak merembes untuk sementara, sehingga bila dikombinasikan dengan saluran drainase dapat mencegah penjenuhan material lereng dan erosi buluh (Rusli, 2007). Selanjutnya menurut Rusli (1997), keberadaan vegetasi juga mencegah erosi dan pelapukan lebih lanjut batuan lereng, sehingga lereng tidak bertambah labil. Dalam batasan tertentu, akar tanaman juga mampu membantu kestabilan lereng. Namun, terdapat fungsi-fungsi yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh tanaman dalam mencegah longsor. B3-31

Pola tanam yang tidak tepat justru berpotensi meningkatkan bahaya longsor. Jenis tanaman apa pun yang ditanam saat rehabilitasi harus sesuai dengan kondisi geofisik dan sejalan dengan tujuan akhir rehabilitasi lahan. Pohon yang cocok ditanam di lereng curam adalah yang tidak terlalu tinggi, namun memiliki jangkauan akar yang luas sebagai pengikat tanah (Surono, 2003). Penutupan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang

ada

di

permukaan

bumi

(Lillesand

&

Kiefer,

1993).

Penutupan

menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Tiga kelas data secara umum yang tercakup dalam penutupan lahan, yaitu : 1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia. 2. Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian, dan kehidupan binatang 3. Tipe pembangunan Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat, sedangkan informasi tentang kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari penutupan lahannya (Lillesand & Kiefer, 1993).

B3-32

Faktor Tanah Jenis tanah sangat menentukan terhadap potensi erosi dan longsor. Tanah yang gembur karena mudah melalukan air masuk ke dalam penampang tanah akan lebih berpotensi longsor dibandingkan dengan tanah yang padat ( massive) seperti tanah bertekstur liat (clay). Hal ini dapat terlihat juga dari kepekaan erosi tanah. Nilai kepekaan erosi tanah (K) menunjukkan mudah tidaknya tanah mengalami erosi, ditentukan oleh berbagai sifat fisik dan kimia tanah. Makin kecil nilai K makin tidak peka suatu tanah terhadap erosi. (Sitorus, 2006). Kedalaman atau solum, tekstur, dan struktur tanah menentukan besar kecilnya air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah bersolum dalam (>90 cm), struktur gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian besar air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan permukaan. Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat, dan penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi dan sebagian besar menjadi aliran permukaan. (Litbang Departemen Pertanian, 2006). Dalam hal kekritisan stabilisasi lereng menurut Saptohartono (2007) pada intensitas hujan yang sama (127,4 mm/jam), tekstur tanah pasir cenderung lebih cepat mencapai kondisi kritis sekitar 0,023 jam, dibandingkan tekstur tanah lempung, 0,03 jam dan tanah liat sekitar 0,08 jam setelah terjadi hujan. Tabel 2. Klasifikasi Kedalaman Tanah B3-33

Curah Hujan Karnawati (2003) menyatakan salah satu faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor adalah air hujan. Air hujan yang telah meresap ke dalam tanah lempung pada lereng akan tertahan oleh batuan yang lebih kompak dan lebih kedap air. Derasnya hujan mengakibatkan air yang tertahan semakin meningkatkan debit dan volumenya dan akibatnya air dalam lereng ini semakin menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung pasiran untuk bergerak longsor. Batuan yang kompak dan kedap air berperan sebagai penahan air dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan air berperan sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan kompak tersebut. Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan penggelinciran juga semakin cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka semakin mudah tanah tersebut meloloskan air dan semakin cepat air meresap ke dalam tanah. Semakin tebal tumpukan tanah, maka juga semakin besar volume massa tanah yang longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor sering menimbulkan suara B3-34

gemuruh. Hujan dapat memicu tanah longsor melalui penambahan beban lereng dan menurunkan kuat geser tanah. Selanjutnya, menurut Suryolelono (2005), pengaruh hujan dapat terjadi di bagian-bagian lereng yang terbuka akibat aktivitas mahluk hidup terutama berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini dalam memanfaatkan alam berkaitan dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan), kurang memperhatikan pola-pola yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penebangan hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan, sehingga lahan-lahan pada kondisi lereng dengan geomorfologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi rawan longsor. Air permukaan yang membuat tanah menjadi basah dan jenuh akan sangat rawan terhadap longsor. Hujan yang tidak terlalu lebat, tetapi berjalan berkepanjangan lebih dari 1 atau 2 hari, akan berpeluang untuk menimbulkan tanah longsor (Soedrajat, 2007). Selanjutnya, (Litbang Departemen Pertanian, 2006) hujan dengan curahan dan intensitas tinggi, misalnya 50 mm yang berlangsung lama (>6 jam) berpotensi menyebabkan longsor, karena pada kondisi tersebut dapat terjadi penjenuhan tanah oleh air yang meningkatkan massa tanah. Ada dua tipe hujan, yaitu tipe hujan deras yang dapat mencapai 70 mm/jam atau lebih dari 100 mm/hari. Tipe hujan deras sangat efektif memicu longsoran pada lereng-lereng yang tanahnya mudah menyerap air, misalnya pada tanah lempung pasiran dan tanah pasir. Sedangkan tipe hujan normal, curah hujan B3-35

kurang dari 20 mm/hari. Tipe ini dapat menyebabkan longsor pada lereng yang tersusun tanah kedap air apabila hujan berlangsung selama beberapa minggu hingga lebih satu bulan (Anonim, 2007).

Faktor Geologi Faktor geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah struktur geologi, sifat batuan, hilangnya perekat tanah karena proses alami (pelarutan), dan gempa. Struktur geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah kontak batuan dasar dengan pelapukan batuan, retakan/rekahan, perlapisan batuan, dan patahan. Zona patahan merupakan zona lemah yang mengakibatkan kekuatan batuan berkurang sehingga menimbulkan banyak retakan yang memudahkan air meresap (Surono, 2003).

B.5.2 Jenis-jenis Tanah Longsor Menurut (Cruden dan Varnes 1992, dalam Hary, 2006:15) tanah longsor dikelompokkan menjadi jatuhan, robohan, longsoran, sebaran dan aliran. Masing-masing tipe terjadi pada medan dengan karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain, hal ini karena bencana gerakan tanah disebabkan oleh banyak faktor. 1. Jatuhan (falls)

B3-36

Jatuhan (falls) adalah gerakan jatuh material pembentuk lereng (tanah atau batuan) di udara dengan atau tanpa adanya interaksi antara bagian-bagian material yang longsor. Jatuhan terjadi tanpa adanya bidang longsor, dan banyak terjadi pada lereng terjal atau tegak yang terdiri dari batuan yang mempunyai bidang-bidang tidak menerus (diskontinuitas). Jatuhan pada tanah biasanya terjadi bila material mudah tererosi terletak di atas tanah yang lebih tahan erosi, contohnya jika lapisan pasir bersih atau lanau berada di atas lapisan lempung overconsolidated (Bazett et al, 1961; Skempton dan LaRochelle 1965). Jatuhan adalah satu dari mekanisme erosi utama dari lempung

overconsolidated tinggi (heavily overconsolidated). Longsoran pada jenis lempung ini terjadi bila air hujan mengisi retakan di puncak dari lereng terjal. Jatuhan yang disebabkan oleh retakan yang dalam umumnya runtuh miring ke belakang, sedangkan untuk retakan yang dangkal runtuhnya ke depan. Jatuhan batuan dapat terjadi pada semua jenis batuan dan umumnya terjdi akibat oleh pelapukan, perubahan temperatur, tekanan air atau penggalian/penggerusan bagian bawah lereng. Jatuhan terjadi di sepanjang kekar, bidang dasar, atau zona patahan lokal. 2. Robohan (topples)

B3-37

Robohan (topples) adalah gerakan material robohan dan biasanya terjadi pada lereng batuan yang sangat terjal sampai tegak yang mempunyai bidang-bidang ketidakmenerusan yang relatif vertikal. Tipe gerakan hampir sama dengan jatuhan, hanya gerakan batuan longsor adalah mengguling hingga roboh, yang berakibat batuan lepas dari permukaan lerengnya. Faktor utama yang menyebabkan robohan, adalah seperti halnya kejadian jatuhan batuan, yaitu yang mengisi retakan. 2. Longsoran (slides) Longsoran (slides) adalah gerakan material pembentuk lereng yang diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser, di sepanjang satu atau lebih bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecahpecah. Perpindahan material total sebelum longsoran bergantung pada besarnya regangan untuk mencapai kuat geser puncaknya dan pada tebal zona longsornya. Perpindahan total lebih kecil pada lempung normally

consolidated daripada lempung kaku overconsolidated. Berdasarkan geometri bidang gelincirannya, longsoran dibedakan dalam dua jenis yaitu: (Hary, 2006:21) a. Longsoran dengan bidang longsor lengkung atau longsoran rotasional (rotational slides). Longsoran rotasional (rotational slides) mempunyai bidang longsor melengkung ke atas, dan sering terjadi pada massa tanah yang B3-38

bergerak dalam satu kesatuan.longsoran rotasional murni (slump) terjadi pada material yang relatif homogen seperti timbunan buatan (tanggul). b. Longsoran dengan bidang gelincir dasar atau longsoran translasional (translational slides). Longsoran

translasional

merupakan

gerakan

di

sepanjang

diskontinuitas atau bidang lemah yang secara pendekatan sejajar dengan permukaan lereng, sehingga gerakan tanah secara translasi. Dalam tanah lempung, translasi terjadi di sepanjang lapisan tipis pasir atau lanau, khususnya bila bidang lemah tersebut sejajar dengan lereng yang ada. Longsoran translasi lempung yang mengandung lapisan pasir atau lanau, dapat disebabkan oleh tekanan air pori yang tinggi dalam pasir atau lanau tersebut. 3. Sebaran (spreads) Sebaran yang termasuk longsoran translasional juga disebut sebaran lateral (lateral spreading), adalah kombinasi dari meluasnya massa tanah dan turunnya massa batuan terpecah-pecah ke dalam material lunak di bawahnya (Cruden dan Varnes, 1992 dalam Hary, 2006). Permukaan bidang longsor tidak berada di lokasi terjadinya geseran terkuat. 4. Aliran (flows)

B3-39

Aliran (flows) adalah gerakan hancuran material ke bawah lereng dan mengalir seperti cairan kental. Aliran sering terjadi dalam bidang geser relatif sempit. Material yang terbawa oleh aliran dapat terdiri dari berbagai macam pertikel tanah (termasuk batu-batu besar), kayu-kayu, ranting dan lain-lain.

B.5.3 Dampak Tanah Longsor Menurut Nandi (2007:17) banyak dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya tanah longsor baik dampak terhadap kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan maupun dampak terhadap keseimbangan lingkungan. 1. Dampak Terhadap Kehidupan Terjadinya bencana tanah longsor memiliki dampak yang sangat besar terhadap kehidupan, khususnya manusia. Bila tanah longsor itu terjadi pada wilayah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, maka korban jiwa yang ditimbulkan akan sangat besar, terutama bencana tanah longsor itu terjadi secara tiba-tiba tanpa diawali adanya tandatanda akan terjadinya tanah longsor. Adapun dampak yang ditimbulkan dengan terjadinya tanah longsor terhadap kehidupan adalah sebagai berikut. a. Bencana longsor banyak menelan korban jiwa. B3-40

b. Terjadinya kerusakan infrastruktur publik seperti jalan, jembatan dan sebagainya. c. Kerusakan bangunan seperti gedung perkantoran dan perumahan penduduk serta sarana peribadatan. d. Menghambat

proses

aktivitas

manusia

dan merugikan baik

masyarakat yang terdapat di sekitar bencana maupun pemerintahan. 2. Dampak Terhadap Lingkungan Adapun dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan akibat terjadinya tanah longsor adalah sebagai berikut: a. Terjadinya kerusakan lahan. b. Hilangnya vegetasi penutup lahan. c. Terganggunya keseimbangan ekosistem. d. Lahan menjadi kritis sehingga cadangan air bawah tanah menipis. e. Terjadinya tanah longsor dapat menutup lahan yang lain seperti sawah, kebun dan lahan produktif lainnya.

B.5.4 Penelitian Terdahulu Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dari penelitianpenelitian

terdahulu

yang

terkait

bencana

tanah

longsor

serta

penanggulangannya. Penelitian yang pertama dengan peneliti Gunadi,

B3-41

Sunarto dkk berjudul Tingkat Bahaya Longsor di Kecamatan Samigaluh dan Daerah Sekitarnya Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi tingkat longsor dengan cara menyusun peta tingkat bahaya longsor. Persamaan penelitian ini

yaitu

berdasarkan

metode

penelitian

menggunakan

metode

pengharkatan dan pembobotan berdasarkan faktor pemicu dan penyebab tanah longsor. Penelitian terdahulu yang kedua berjudul Analisis Tingkat Kerawanan Longsorlahan dan Mitigasi Bencana Di Kecamatan Karangsambung Kabupaten Kebumen dengan peneliti Rizka Zaenur Rohmah. Tujuannya adalah mengetahui kerawanan longsorlahan di Kecamatan Karangsambung dan mengetahui mitigasi bencana yang dilakukan akibat longsorlahan. Persamaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang dibuat adalah mengkaji tentang bencana tanah longsor dan terkait tindakan mitigasi bencana. Perbedaannya adalah penelitian ini menekankan pada pencegahan bencana bukan langsung ke masyarakatnya. Metode yang digunakan sama yaitu deskripsi spasial dengan metode survey. Penelitian terdahulu yang ketiga adalah Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan Faktor-Faktor Utama Penyebab di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor dengan peneliti Ahmad Danil Efendi dan tujuannya adalah mengetahui lokasi sebaran area kejadian longsor dan B3-42

mengevaluasi dan identifikasi penyebab-penyebab terjadinya longsoran. Penelitian terdahulu memiliki persamaan dalam mengkaji sebaran tingkat kerawanan longsor. Metode yang digunakan sama yaitu metode pengharkatan terhadap faktor pemicu tanah longsor dan metode pemodelan daerah rawan longsor dari DVMBG tahun 2004. Judul penelitian terdahulu yang keempat adalah Studi Kerentanan Longsor Lahan di Kecamatan Samigaluh Dalam Upaya Mitigasi Bencana Alam dengan peneliti Sugiharyanto dkk dan tujuannya adalah Mengetahui tingkat tanah longsor lahan dan mengidentifikasi sebaran daerah rentan longsor lahan di wilayah Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulonprogo. Persamaan metode pada observasi lapangan dan analisis data sekunder.

B3-43

B.5.5 Penentuan zona tingkat kerentanan masyarakat terhadap tanah longsor Analisis AHP digunakan untuk menentukan bobot tiap faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan, dalam analisis digunakan alat analisis expert

choice. Hasil proses analisis AHP digunakan untuk melakukan perhitungan antara bobot masing-masing faktor dengan tingkat kepentingan masing-masing

stakeholder.

Sehingga

menghasilkan

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

kerentanan masyarakat berdasarkan tingkat kepentingan stakeholdernya. Teknik analisa yang digunakan untuk memperoleh zona tingkat kerentanan masyarakat terhadap tanah longsor berdasarkan tingkat kerentanannya adalah menggunakan teknik overlay weighted sum beberapa peta/faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan. Metode analisis ini merupakan analisis spasial dengan menggunakan teknik overlay beberapa peta yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penilaian kerentanan. Alat analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan Geographic Information System (GIS). Proses analisa dengan GIS ini menghasilkan zona tidak rentan dan sangat rentan pada overlay masing-masing faktor Berdasarkan tahapan analisis yang telah dilalui mulai dari analisa deskriptif dan analisa AHP dengan perhitungan dari tingkat kepentingan stakeholder, didapat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan masyarakat terhadap tanah longsor. Berikut tabel faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan masyarakat terhadap tanah longsor. B3-44

Tabel 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kerentanan Masyarakat terhadap Tanah Longsor

Dari tabel diatas diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh/prioritas dalam penentuan tingkat kerentanan terhadap masyarakat dilokasi rentan tanah longsor berdasarkan hasil perhitungan bobot AHP dan kepentingan analisa stakeholder adalah sebagai berikut: 1. Jenis tumbuhan yang menutupi lereng dengan bobot (0,565) 2. Tingginya persentase rumah tangga miskin dengan bobot (0,515)

B3-45

3. Tingginya persentase rumah tangga yang bekerja disektor rentan (petani) dengan bobot (0,485) 4. Supply kebutuhan air berdasarkan jarak potensi longsor yang dekat dengan sungai (bobot 0,435) 5. Tingkat kepadatan bangunan dengan bobot (0,416) 6. Tingginya jumlah penduduk usia tua-balita dengan bobot (0,406) 7. Tingginya kepadatan penduduk dengan bobot (0,317) 8. Panjang jalan yang rusak/tertimbun tanah longsor (0,307) 9. Tingginya persentase laju pertumbuhan penduduk denga bobot (0,277) 10. Tingkat distribusi pelayanan jaringan listrik dengan bobot (0,277) Berdasarkan hasil analisa overlay weighted sum di wilayah penelitian didapat zona sangat rentan dan tidak rentan pada masing-masing kerentanan (kerentanan lingkungan, kerentanan fisik, kerentanan sosial, kerentanan ekonomi) yang

dihasilkan

dari

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

masing-masing

kerentanan. a. Kerentanan Lingkungan Dengan zona sangat rentan berada di Kecamatan Cangkringan (luas kerentanan 4.799 ha), dan zona tidak rentan di Kecamatan Prambanan dengan luas kerentanan 4.135 ha

B3-46

Gambar Peta Kerentanan Lingkungan

b. Kerentanan Fisik Dengan zona sangat rentan berada di Kecamatan Kalasan dengan luas kerentanan 3.584 ha, zona tidak rentan berada di Kecamatan Turi dengan luas 4.309 ha dan Kecamatan Cangkringan dan Pakem dengan luas 9.183 ha.

B3-47

Gambar. Peta Kerentanan Fisik

c. Kerentanan Sosial dengan zona sangat rentan berada di Kecamatan Kalasan dengan luas kerentanan 3.584 ha dan zona tidak rentan berada di

B3-48

Kecamatan Cangkringan, Turi dan Pramabanan dengan luas kerentanan 13.492 ha

Gambar Peta Kerentanan Sosial

d. Kerentanan Ekonomi dengan zona sangat rentan berada di Kecamatan Cangkringan (luas kerentanan 4.799 ha), Kecamatan Turi dan Pakem dengan luas kerentanan 8.693 ha, sedangkan zona tidak rentan berada di Kecamatan Kalasan dengan luas kerentanan 3.584 ha dan Kecamatan Berbah dengan luas kerentanan 2.299 ha

B3-49

Gambar. Peta Kerentanan Ekonomi

Berdasarkan hasil overlay kerentanan total wilayah penelitian diperoleh zona sangat rentan berada di Kecamatan Kalasan dengan luas kerentanan 26,76 km2 dari total wilayah penelitian 274,1125 km2. Sedangkan zona tidak rentan berada di Kecamatan Turi dengan luas kerentan 4.309 ha

B3-50

Gambar. Peta Kerentanan Total Berdasarkan hasil analisis di dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor berpengaruh terhadap tingkat kerentanan masyarakat dilokasi rawan tanah longsor yaitu: faktor jenis tumbuhan yang menutupi lereng, faktor supply kebutuhan air berdasarkan jarak titik longsor yang dekat dengan sungai, faktor tingkat kepadatan bangunan, faktor panjang jalan yang rusak/tertimbun tanah longsor, tingkat distribusi pelayanan jaringan listrik di kawasan rawan longsor, tingkat kepadatan penduduk dilokasi longsor, tingginya persentase laju pertumbuhan penduduk dilokasi longsor, tingginya jumlah penduduk usia tuabalita, tingginya persentase rumah tangga bekerja disektor rentan, dan tingginya persentase rumah tangga miskin Dari hasil faktor tersebut didapatkan zona kerentanan tanah longsor di kabupaten Sleman pada zona sangat rentan berada

B3-51

di Kecamatan Kalasan luas kerentanan 26,76 km2 dari total wilayah penelitian 274,1125 km2. Sedangakan zona kerentanan lingkungan dengan zona sangat rentan berada di Kecamatan Cangkringan (luas kerentanan 4.799 ha), zona kerentanan fisik dengan zona sangat rentan berada di Kecamatan Kalasan dengan luas kerentanan 3.584 ha, zona kerentanan sosial dengan zona sangat rentan berada di Kecamatan Kalasan dengan luas kerentanan 3.584 ha, dan zona kerentanan ekonomi dengan zona sangat rentan berada di Kecamatan Cangkringan (luas kerentanan 4.799 ha), Kecamatan Turi dan Pakem dengan luas kerentanan 8.693 ha.

B.6. Kebakaran Potensi bahaya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia cukup besar. Hampir setiap musim kemarau Indonesia menghadapi bahaya kebakaran lahan dan hutan dimana berdapak sangat luas tidak hanya kehilangan keaneka ragaman hayati tetapi juga timbulnya ganguan asap di wilayah sekitar yang sering kali mengganggu negara-negara tetangga. Kebakaran hutan dan lahan dari tahun ke tahun selalu terjadi. Hal tersebut memang berkaitan dengan banyak hal. Dari ladang berpindah sampai penggunaan HPH yang kurang bertanggungjawab, yaitu penggarapan lahan dengan cara pembakaran. Hal lain yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan adalah kondisi tanah di daerah banyak yang mengandung gambut. Tanah B3-52

semacam ini pada waktu dan kondisi tertentu kadang-kadang terbakar dengan sendirinya.

B.7. Kekeringan Bahaya kekeringan dialami berbagai wilayah di Indonesia hampir setiap musim kemarau. Hal ini erat terkait dengan menurunnya fungsi lahan dalam menyimpan air. Penurunan fungsi tersebut ditengarai akibat rusaknya ekosistem akibat pemanfaatan lahan yang berlebihan. Dampak dari kekeringan ini adalah gagal panen, kekurangan bahan makanan hingga dampak yang terburuk adalah banyaknya gejala kurang gizi bahkan kematian.

C. Pilihan Tindakan Penanggulangan Bencana Pilihan

tindakan

yang

dimaksud

di sini

adalah

berbagai

upaya

penanggulangan yang akan dilakukan berdasarkan perkiraan ancaman bahaya yang akan terjadi dan kemungkinan dampak yang ditimbulkan. Secara lebih rinci pilihan tindakan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: C.1. Pencegahan dan Mitigasi Upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan dan mitigasi yang dilakukan, bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana serta mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh bencana. Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif. B3-53

Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah: 1) Penyusunan peraturan perundang-undangan 2) Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah. 3) Pembuatan pedoman/standar/prosedur 4) Pembuatan brosur/leaflet/poster 5) Penelitian / pengkajian karakteristik bencana 6) Pengkajian / analisis risiko bencana 7) Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan 8) Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana 9) Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum 10) Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain: 1) Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan bencana dsb. 2) Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana. 3) Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat. 4) Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang lebih aman. 5) Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat. B3-54

6) Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika terjadi bencana. 7) Pembuatan

bangunan

struktur

yang

berfungsi

untuk

mencegah,

mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya. Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat non-struktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat struktural (berupa bangunan dan prasarana).

C.2. Kesiapsiagaan Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain: 1) Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya. 2) Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi setiap sektor Penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum). 3) Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan 4) Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik. B3-55

5) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna mendukung tugas kebencanaan. 6) Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning) 7) Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan) 8) Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan) C.3. Tanggap Darurat Tahap Tanggap Darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna menghindari bertambahnya korban jiwa. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi: 1) pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya; 2) penentuan status keadaan darurat bencana; 3) penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; 4) pemenuhan kebutuhan dasar; 5) perlindungan terhadap kelompok rentan; dan 6) pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital. C.4. Pemulihan

B3-56

Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi: 1) perbaikan lingkungan daerah bencana; 2) perbaikan prasarana dan sarana umum; 3) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; 4) pemulihan sosial psikologis; 5) pelayanan kesehatan; 6) rekonsiliasi dan resolusi konflik; 7) pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya; 8) pemulihan keamanan dan ketertiban; 9) pemulihan fungsi pemerintahan; dan 10) pemulihan fungsi pelayanan publik Sedangkan tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik dan sempurna. Oleh sebab itu pembangunannya harus dilakukan melalui suatu perencanaan yang didahului oleh pengkajian dari berbagai ahli dan sektor terkait. 1) pembangunan kembali prasarana dan sarana; B3-57

2) pembangunan kembali sarana sosial masyarakat; 3) pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat 4) penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana; 5) partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat; 6) peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya; 7) peningkatan fungsi pelayanan publik; atau 8) peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 terdapat prinsip-prinsip penanggulangan bencana yaitu sebagai berikut. 1. Cepat dan tepat Penanggulangan bencana harus cepat dan tepat karena kalau terlambat akan menimbulkan kerugian harta benda dan korban manusia yang banyak. 2. Prioritas Penanggulangan harus memprioritaskan penyelamatan nyawa manusia, kemudian harta benda. 3. Koordinasi dan keterpaduan Koordinasi maksudnya dalam penanganan bencana antar instansi pemerintah dan masyarakat harus memiliki koordinasi yang baik dan B3-58

saling mendukung. Keterpaduan maksudnya dalam penanganan bencana harus dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu dan saling mendukung. 4. Berdaya guna dan berhasil guna Berdaya guna dan berhasil guna maksudnya dalam penanganan bencana tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. 5. Transparansi dan akuntabilitas Transparansi penanggulangan bencana harus dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Akuntabilitas maksudnya bahwa penanggulangan bencana harus dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum. 6. Kemitraan Kemitraan maksudnya bahwa penanggulangan bencana tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi harus bersama-sama dengan semua elemen masyarakat. 7. Pemberdayaan Pemberdayaan maksudnya merupakan upaya meningkatkan dan pemahaman masyarakat dalam menghadapi bencana seperti langkah antisipasi, penyelamatan dan pemulihan bencana. 8. Non diskriminatif

B3-59

Dalam penanggulangan bencana tidak boleh diskriminatif dengan memberikan perlakuan yang berbeda berdasarkan jenis kelamin, suku, agama, ras dan paham politik. 9. Non proletisi Non proletisi maksudnya dalam penanggulangan bencana dilarang memanfaatkan keadaan darurat dengan menyebarkan agama atau keyakinan tertentu, misalnya dengan alih pemberian bantuan. Manajemen bencana (Disaster Management) adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari bencana beserta segala aspek yang berkaitan dengan bencana, terutama risiko bencana dan bagaimana menghindari risiko bencana. Manajemen bencana merupakan proses dinamis tentang bekerjanya fungsi-fungsi manajemen yang kita kenal selama ini misalnya fungsi planning, organizing, actuating dan controlling. Cara kerja manajemen bencana adalah melalui kegiatan-kegiatan yang ada pada tiap kuadran/siklus/bidang kerja yaitu pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan, tanggap darurat, serta pemulihan. Sedangkan tujuannya (secara umum) antara lain untuk melindungi masyarakat beserta harta bendanya dari (ancaman) bencana (Nurjanah dkk, 2011:42). Manajemen bencana merupakan suatu proses terencana yang dilakukan untuk mengelola bencana melalui 3 (tiga) tahapan sebagai berikut: 1. Pra Bencana B3-60

Tahapan manajemen bencana pada kondisi sebelum kejadian atau pra bencana meliputi kesiagaan, peringatan dini, dan mitigasi. a. Kesiagaan Kesiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Membangun kesiagaan adalah unsur penting, namun tidak mudah dilakukan karena menyangkut sikap mental dan budaya serta disiplin di tengah masyarakat. Kesiagaan adalah tahapan yang paling strategis karena sangat menetukan ketahanan anggota masyarakat dalam menghadapi datangnya suatu bencana. b. Peringatan Dini Langkah ini diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan terjadi sebelum kejadiaan seperti banjir, gempa bumi, tsunami, letusan gunung api dan tanah longsor. Peringatan dini disampaikan dengan segera kepada semua pihak, khususnya mereka yang potensi terkena bencana akan kemungkinan datangnya suatu bencana di daerah masing-masing. Peringatan didasarkan berbagai informasi teknis dan ilmiah yang dimiliki, diolah atau diterima dari pihak berwenang mengenai kemungkinan akan datangnya suatu bencana.

c. Mitigasi Bencana B3-61

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2008, mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. 2. Saat Kejadiaan Bencana Tahapan yang paling krusial dalam sistem manajemen bencana adalah saat bencana sesungguhnya terjadi. Mungkin telah melalui proses peringatan dini, maupun tanpa peringatan atau terjadi secara tiba-tiba. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah seprti tanggap darurat untuk dapat mengatasi dampak bencana dengan cepat dan tepat agar jumlah korban atau kerugian dapat diminimalkan. a. Tanggap Darurat Tanggap darurat bencana (response) adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan serta pemulihan prasarana dan sarana. b. Penanggulangan Bencana Selama kegiatan tanggap darurat, upaya yang dilakukan adalah menanggulangi bencana yang terjadi sesuai dengan sifat dan jenisnya. B3-62

Penanggulangan bencana memerlukan keahlian dan pendekatan khusus menurut kondisi dan skala kejadian. 3. Pasca Bencana Setelah bencana terjadi dan setelah proses tanggap darurat dilewati, maka langkah berikutnya adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi. a. Rehabilitasi Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadahi pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana. b. Rekonstruksi Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.

3.1.2. PENDEKATAN REGULASI B3-63

A. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan Jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antardaerah, membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Pengaturan penyelenggaraan jalan bertujuan untuk: 1. Mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan jalan; 2. Mewujudkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan; 3. Mewujudkan peran penyelenggara jalan secara optimal dalam pemberian layanan kepada masyarakat; 4. Mewujudkan pelayanan jalan yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat; B3-64

5. Mewujudkan sistem jaringan jalan yang berdaya guna dan berhasil guna untuk 6. Mendukung terselenggaranya sistem transportasi yang terpadu; dan 7. Mewujudkan pengusahaan jalan tol yang transparan dan terbuka.

B. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah. Perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan Negara. Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan berlalu lintas dan penggunaan angkutan yang bebas dari hambatan dan kemacetan di Jalan. Apabila dalam keadaan tertentu sistem Lalu Lintas tidak berfungsi untuk Kelancaran Lalu Lintas yang disebabkan, antara lain, oleh: a. perubahan Lalu Lintas secara tiba-tiba atau situasional; b. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas tidak berfungsi; B3-65

c. adanya Pengguna Jalan yang diprioritaskan; d. adanya pekerjaan jalan; e. adanya bencana alam; dan/atau f. adanya Kecelakaan Lalu Lintas.

C. Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2012 tentang Penanggulangan Bencana Banjir dan Tanah Longsor Dalam rangka penanggulangan bencana banjir dan tanah longsor di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan ini menginstruksikan kepada Gubernur/Bupati/Walikota: 1. Agar membuat pernyataan siaga darurat banjir dan tanah longsor apabila menurut data/informasi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika yang mengindikasikan terjadinya peningkatan frekuensi curah hujan tinggi yang mempunyai potensi menyebabkan banjir dan tanah longsor; 2. Menetapkan masa siaga darurat dan tanggap darurat banjir dan tanah longsor; 3. Mengoptimalkan peran dan fungsi Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebagai koordinator dalam penanggulangan bencana banjir dan tanah longsor;

B3-66

4. Untuk

provinsi/kabupaten/kota

yang

belum

memiliki

Badan

Penanggulangan Bencana Daerah agar mengoptimalkan peran dan fungsi organisasi perangkat daerah yang membidangi penanggulangan bencana sebagai koordinator dalam penanggulangan bencana banjir dan tanah longsor; 5. Mengalokasikan biaya pelaksanaan penanggulangan bencana banjir dan tanah longsor dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi/kabupaten/kota; 6. Memfasilitasi

hubungan

kerjasama

antar

pemerintah

provinsi/kabupaten/kota dalam pelaksanaan penanggulangan bencana banjir dan tanah longsor di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya; 7. Melaporkan pelaksanaan penanggulangan bencana banjir dan tanah longsor di wilayahnya kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

D. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 13/PRT/M/2015 Tentang Penaggulangan Darurat Bencana Akibat Daya Rusak Air Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang B3-67

disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mangakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai acuan bagi BBWS/BWS dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan darurat bencana akibat daya rusak air. Kegiatan penaggulangan darurat bencana akibat daya rusak air dilakukan melalui tahapan: a. penugasan tim teknis kaji cepat; b. penyusunan rencana aksi; c. evaluasi ketersediaan sumber daya; d. pelaksanaan kegiatan; dan e. laporan pertanggungjawaban. Penugasan tim teknis kaji cepat berdasarkan lokasi dan kondisi bencana akibat daya rusak air. Tim teknis kaji cepat bertugas melakukan kaji cepat dampak kerusakan bencana akibat daya rusak air untuk menghasilkan B3-68

rencana aksi kegiatan penanggulangan darurat. Dalam melakukan kaji cepat tim kaji cepat berkoordinasi dengan tim kaji cepat BNPB/BPBD. Kepala BBWS/BWS dapat menambah anggota tim teknis kaji cepat dari luar anggota Satuan Tugas Siaga Penanggulangan Bencana ataupun dari instansi Terkait.

E. Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengamanan Konstruksi Infrastruktur Pekerjaan Umum Dalam Rangka Meminimalisasi Resiko Bencana dan Optimalisasi Fungsi Dalam upaya mencegah menurunnya fungsi/tingkat pelayanan dan kondisi keamanan

konstruksi

infrastruktur

Pekerjaan

Umum

agar

tidak

menimbulkan/meningkatkan resiko bencana bagi lingkungan, termasuk warga masyarakat umum maupun pengguna maka secara khusus saya minta

pengecekan/inspeksi

langsung

dilapangan

dan

segera

melakukanperbaikannya (Rehabilitasi/Rekonstruksi) dengan langkah tindak lanjut sebagai berikut : 1. Melakukan

peningkatan

kegiatan

pengawasan

koordinasi

dan

melaksanakan investarisasi terhadap infrastruktur Pekerjaan Umum baik berstatus Pusat maupun Daerah, dengan melaukan : a. Pendataan bagunan meliputi jenis bangunan (bangunan air seperti jaringan irigasi, bendung, bendungan, reservoir/waduk, situ/danau, B3-69

Jalan/jembatan dan bangunan gedung serta prasarana permukiman lainnya, instalasi pengelolaan air bersih, persampahan/TPA dan drainase dll), nama bangunan, tahun pelaksanaan, lokasi, kegunaan bangunan dan penanggung jawab/pengelola bangunan. b. Pencatatan data kondisi bangunan saat ini seperti dimensi bangunan, manfaat bangunan/fungsional., kerusakan dan data visual berupa foto atau gambar dokumentasi. c. Pengumpulan data dokumen teknis bangunan seperti laporan desain/dimensi bangunan/as built drawing. 2. Melakukan kajian melalui inspeksi langsung di lapangan terhadap kondisi fisik infrastruktur bidang Pekerjaan Umum yang ada saat ini guna memperoleh informasi tentang : a. Sejauhmana bangunan tersebut mengalami penurunan kekuatan konstruksi, kapasitas, kualitas, dan perubahan fungsi dibandingkan dengan desain dan rencana awal; b. Kerusakan bangunan sebagai akibat dari adanya perubahan sistem/perilaku

beban hydrodinamika (untuk bangunan air),

perubahan beban/muatan lalu lintas (untuk jalan dan jembatan), ketidak-cukupan dimensi bangunan untuk mengakomodasikan perubahan beban yang terjadi yang tidak lagi sesuai dengan desain

B3-70

awal, penurunan kapasitas resovoir dll. Yang berindikasi akan menimbulkan bencana/membahayakan lingkungan. c. Perlu diperhatikan dan dianalisa sejauh mana perubahan tata ruang dibagian hulu/daerah tangkapan hujan yang akan berpengaruh terhadap kondisi stabilitas konstruksi infrastruktur dan penurunan kapasitas dan dapat membahayakan dibagian hilir 3. Sebagai tindak lanjut dari hasil kajian tersebut, segera dilakukan perbaikan dengan prioritas penanganan yang meliputi : a. Perbaikan pada tingkat darurat supaya dapat tetap berfungsi dan mengurangi

potensi/memperkecil

peluang

terjadinya

resiko

bencana (remedial works), dan b. Rehabilitasi/rekonstruksi

menyeluruh

untuk

mengoptimalkan

kembali fungsi dan tingkat pelayanannya dan juga keamanan konstruksinya. 4. Peningkatan tata pengelolaan bangunan baik institusi, pendanaan O&P, maupun peningkatan SDM. 3.2.

LOGICAL FRAMEWORK Kerangka pemikiran adalah narasi (uraian) atau pernyataan (proposisi)

tentang kerangka konsep pemecahan masalah yang telah diidentifikasi atau dirumuskan. Kerangka berpikir atau kerangka pemikiran dalam sebuah penelitian

B3-71

kuantitatif, sangat menentukan kejelasan dan validitas proses penelitian secara keseluruhan. Melalui uraian dalam kerangka berpikir, peneliti dapat menjelaskan secara komprehensif variabel-variabel apa saja yang diteliti dan dari teori apa variabel-variabel itu diturunkan, serta mengapa variabel-variabel itu saja yang diteliti. Uraian dalam kerangka berpikir harus mampu menjelaskan dan menegaskan secara komprehensif asal-usul variabel yang diteliti, sehingga variabel-variabel yang tercatum di dalam rumusan masalah dan identifikasi masalah semakin jelas asal-usulnya. Pada dasarnya esensi kerangka pemikiran berisi: (1) Alur jalan pikiran secara logis dalam menjawab masalah yang didasarkan pada landasan teoretik dan atau hasil penelitian yang relevan. (2) Kerangka logika (logical construct) yang mampu menunjukan dan menjelaskan masalah yang telah dirumuskan dalam kerangka teori. (3) Model penelitian yang dapat disajikan secara skematis dalam bentuk gambar atau model matematis yang menyatakan hubungan-hubungan variabel penelitian atau merupakan rangkuman dari kerangka pemikiran yang digambarkan dalam suatu model. Sehingga pada akhir kerangka pemikiran ini terbentuklah hipotesis. Dengan demikian, uraian atau paparan yang harus dilakukan dalam kerangka berpikir adalah perpaduan antara asumsi-asumsi teoretis dan asumsiasumsi logika dalam menjelaskan atau memunculkan variabel-variabel yang diteliti

B3-72

serta bagaimana kaitan di antara variabel-variabel tersebut, ketika dihadapkan pada kepentingan untuk mengungkapkan fenomena atau masalah yang diteliti. Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional II sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor: 20/PRT/M/2016, mempunyai tugas melaksanakan perencanaan, pengadaan, pembangunan dan preservasi jalan dan jembatan, penerapan sistem manajemen mutu dan pengendalian mutu pelaksanaan pekerjaan, penyediaan dan pengujian bahan dan peralatan serta keselamatan dan laik fungsi jalan dan jembatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional II menyelenggarakan fungsi “Pelaksanaan mitigasi dan penanggulangan bencana yang berdampak pada jalan”. Bencana alam yang dapat mengakibatkan kerugian baik berupa jiwa maupun harta benda. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan penelitian inventarisasi daerah rawan bencana. suatu analisa dan pemetaan daerah rawan bencana yang mampu memberikan gambaran kondisi kawasan yang ada berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya bencana. Selain itu juga dapat mengetahui sebaran daerah rawan bencana dan faktor utama penyebabnya sehingga dapat dirumuskan upaya penanggulangannya. Dengan lingkup tugas meliputi wilayah Provinsi Sumatera Utara dan Riau, kebutuhan lancarnya prasarana transportasi dalam mendukung perekonommian serta dengan semakin meningkatnya tanggung jawab pengelolaan anggaran dari B3-73

tahun ke tahun, hal ini menuntut pelaksanaan tugas di Bidang Pelaksanaan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional II untuk lebih professional dan akuntabel. Untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas pokok dan fungsi sebagaimana di atas, Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional II khususnya Bidang Preservasi dan Peralatan sebagai pelaksana merasa perlu adanya bantuan tenaga yang profesional. Berikut adalah diagram logical framework yang dibangun dalam pekerjaan Analisis Dan Penanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Utara dan Riau:

B3-74

Gambar Kerangka Berpikir

B3-75

3.3.

METODOLOGI Berdasarkan paradigma dan pendekatan studi tersebut di atas, suatu

metoda studi dikembangkan untuk memberikan jaminan (assurance) bahwa sasaran atau keluaran studi ini dapat dicapai dengan tepat dan akurat. Oleh karena itu metoda studi ini dirinci berdasarkan alur pemikiran dan strategi pencapaian sasaran studi sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya. Pada bagian ini akan diuraikan mengenai metodologi yang akan digunakan penyedia jasa. Berikut diagram alir pelaksanaan pekerjaan dan metodologi analisis yang akan digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan Analisis Dan Penanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Utara dan Riau.

B3-76

MULAI

MOBILISASI PERSONIL

METODE DAN RENCANA KERJA

KAJIAN LITERATUR

  

STUDI TERDAHULU

Review Data Dasar

Metode dan rencana kerja analisis dan penanggulangan bencana Hasil review kajian literatur dan studi terdahulu Review data dasar PENYUSUNAN LAPORAN PENDAHULUAN

SURVEY LAPANGAN

Pengumpulan data Inventarisasi data kawasan rawan bencana Penyusunan database kawasan rawan bencana Pembuatan peta titik lokasi kawasan rawan bencana

Peta Ancaman

Peta Kerentanan

Peta Kapasitas

Peta Resiko Bencana

Analisis Komprehensif, meliputi : Post Processing ; Digitasi ; GIS Analyst Rekomendasi teknis serta penanggulangan

Penyusunan Laporan Akhir

Gambar Metodologi Pelaksanaan Kegiatan B3-77

1) Tahap persiapan Tahap persiapan ini meliputi mobilisasi, kegiatan konsultasi, penyiapan teknis dan rencana kerja; untuk lebih jelasnya langkah-langkah kegiatan pada tahap ini akan disajikan sebagai berikut. 

Mobilisasi Mobilisasi personil terutama tenaga ahli utama, termasuk juga tenaga

asisten ahli dan tenaga-tenaga pendukung. Bersamaan dengan mobilisasi tenaga ahli, juga dilakukan berbagai persiapan sarana dan prasarana pendukung antara lain, persiapan dukungan administrasi (surat menyurat dll) dan persiapan dukungan teknis (penyiapan kantor dan peralatan kantor). 

Penyiapan Materi/Kajian Literatur Penyiapan materi pekerjaan dilakukan dengan cara desk study melalui

kajian literatur dan studi kebijakan-perundangan. Materi yang dieksplorasi antara lain meliputi teori-teori, konsep-konsep, maupun best practice yang terkait dengan Analisis Dan Penanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Utara dan Riau. Studi kebijakan-perundangan dilakukan melalui pendalaman pemahaman mengenai kebijakan pemerintah maupun peraturan/perundang-undangan yang terkait dengan Penyusunan Materi kompetensi.

B3-78



Pemantapan Materi Berdasarkan hasil penyiapan materi, lalu dikembangkan project design dari

kegiatan kajian ini, yang meliputi penetapan kesepakatan mengenai format, muatan (checklist, teknik sampling dan pengumpulan data), serta nilai (benchmark) yang sesuai. 

Rencana Kerja Pada kegiatan ini disusun secara rinci mengenai rencana kerja serta

tahapan-tahapan yang akan dilaksanakan oleh konsultan. Rencana kerja ini akan dituangkan dalam laporan pendahuluan untuk selanjutnya dikonsultasikan dengan pihak pemberi kerja untuk mendapatkan persetujuan. 2) Tahap Pengumpulan Data Analisis dan Penanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Utara dan Riau Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah pengumpulan data serta melakukan penyusunan database dan peta lokasi titik Rawan Bencana yang berdampak pada jalan yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara dan Riau. a. Review studi pustaka terkait dengan analisis dan penanggulangan bencana yang berdampak pada jalan Penyiapan materi pekerjaan dilakukan dengan cara desk study melalui kajian literature, studi kebijakan-perundangan serta review kajian terdahulu dan review standar teknis terkait dengan analisis dan penanggulangan

B3-79

bencana. Materi yang dieksplorasi antara lain meliputi teori-teori, konsepkonsep, maupun best practice yang terkait dengan analisis dan penanggulangan bencana yang terkhususkan yang berdampak pada jalan. b. Regulasi terkait analisis dan penanggulangan bencana yang berdampak pada jalan Peraturan adalah sesuatu yang disepakati dan mengikat sekelompok orang/ lembaga dalam rangka mencapai suatu tujuan dalam hidup bersama. Regulasi adalah “mengendalikan perilaku manusia atau masyarakat dengan aturan atau pembatasan.” Regulasi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk,

misalnya:

pembatasan

hukum

diumumkan

oleh

otoritas

pemerintah, regulasi pengaturan diri oleh suatu industri seperti melalui asosiasi perdagangan, Regulasi sosial (misalnya norma), co-regulasi dan pasar. Seseorang dapat, mempertimbangkan regulasi dalam tindakan perilaku

misalnya

menjatuhkan

sanksi

(seperti

denda).

Dilakukan

pendekatan dari sisi regulasi dalam analisis dan penanggulangan bencana yang berdampak pada jalan c. Pengumpulan data dengan survey lapangan ke wilayah tujuan Pelaksanaan pengumpulan data juga dilakukan melalui kegiatan survey lapangan guna mengambil data langsung dilapangan dengan wawancara stakeholder terkait atau dengan data terkait dengan analisis dan penanggulangan bencana yang berdampak pada jalan B3-80

3)

Tahap Kompilasi Data Setelah diperoleh data baik itu primer dan sekunder dari lembaga serta instansi yang terkait wilayah sasaran, maka data-data tersebut dikompilasi, distrukturkan, dan diolah sehingga diperoleh gambaran lengkap mengenai kondisi dan karakter sasaran. Gambaran tersebut kemudian akan dijadikan data awal terhadap analisis dan penanggulangan bencana yang berdampak pada jalan.

4)

Tahap Analisis Data Pada tahapan ini terdapat dua jenis analisis data seperti yang telah tergambar dalam alur metode pelaksanaan kegiatan yaitu: analisis secara teknis di setiap titik Rawan Bencana dan evaluasi permasalahan teknis yang berdampak pada jalan di Provinsi Sumatera Utara dan Riau.

5)

Tahap Perumusan Rekomendasi Pada tahapan ini diharapkan penulis akan memberikan rekomendasi teknis penyelesaian

permasalahan,

pengendalian

pelaksanaan

serta

penanggulangan Bencana pada titik-titik Rawan Bencana di wilayah kerja Provinsi Sumatera Utara dan Riau. Secara keseluruhan, tahapan dan lingkup kegiatan sudah tertuang dalam KAK yaitu sebagai berikut:

B3-81

a. Melakukan survey pada lokasi longsor menggunakan alat video imaging berbasis geospasial dalam radius kurang lebih 100 m setiap satu titik lokasi longsor. b. Membuat analisis yang komprehensif dengan melakukan Post Processing, Digitasi dan GIS Analist dari hasil video imaging berbasis geospasial terhadap penyebab terjadinya longsor. c. Membuat rekomendasi pengendalian penyebab bencana longsor dimasa yang akan datang.

B3-82

Tabel Kerangka Kerja Logis No 1

Deskripsi Mobilisasi Tenaga Ahli

Indikator  Draft tenaga ahli sesuai dengan bidang keahlian

Alat Verifikasi 

KAK



Rapat Tim Kajian

Keluaran  Komposisi tim dan

Waktu

Tanggung jawab

Minggu ke-

Konsultan

penugasan serta

1 Pada

dan tim teknis

jadwal penugasan

Bulan ke-1

tenaga ahli 2

Kajian Literatur/ Desk Study

 Regulasi Terkait dengan jalan  Regulasi terkait analisis



KAK



Rapat Tim Kajian

 Kajian awal terkait

Minggu ke-

Konsultan

analisis dan

2&3 Pada

dan tim teknis

penanggulangan

Bulan ke-1

dan penanggulangan

bencana yang

bencana

berdampak pada jalan

 Studi literatur Terkait

 Review regulasi terkait

dengan jalan

jalan serta analisis dan

 Studi literatur terkait

penanggulangan

analisis dan

bencana yang

penanggulangan bencana

berdampak pada jalan

B3-83

No 3

Deskripsi

Indikator

Alat Verifikasi

Keluaran

Waktu

Tanggung jawab

Penyusunan

 Draft Kerangka Kerja Logis



KAK

 Kerangka Kerja Logis

Minggu ke-

Konsultan

Metodologi

 Draft Metodologi Studi &



Rapat Tim

 Metodologi Studi

4 Pada

dan tim teknis

Kajian

 Rencana Kerja

Bulan ke-1

 Laporan Pendahuluan

Minggu ke-

Konsultan

4 Pada

dan tim teknis

Studi &

Rencana Kerja

Rencana Kerja



Rapat Koordinasi

4

Penyusunan Laporan Pendahuluan

 Draft Laporan Pendahuluan



KAK



Rapat tim

yang berisi :

internal

a. Rencana Mutu

dan tim

Kontrak (RMK)

teknis

b. Struktur Organisasi c. Jadwal kegiatan penyedia jasa; d. Jadwal Mobilisasi Personil; e. Rencana kerja dan metodologi pelaksanaan;

B3-84

Bulan ke-1

No

Deskripsi

Indikator

Alat Verifikasi

Keluaran

Waktu

Tanggung jawab

f. Hasil studi literature dan review regulasi terkait dengan analisis dan penanggulangan bencana yang berdampak pada jalan

5

Pelaksanaan

 Pelaksanaan survey berupa



Laporan Bulanan ke-1



Pemetaan titik-titik

Pada Bulan

Konsultan

Ke-2

dan tim teknis



KAK



Rapat tim

lokasi rawan bencana

Survey

penitikan terhadap lokasi

Lapangan

rawan bencana yang

internal

yang berdampak

berdampak pada jalan di

dan tim

pada jalan di Provinsi

Provinsi Sumatera Utara

teknis

Sumatera Utara dan

dan Riau

Riau B3-85

No

Deskripsi

Indikator

Alat Verifikasi

Keluaran 

Waktu

Tanggung jawab

Laporan Bulanan ke2

6

Inventarisasi



Penyusunan dokumen data

Hasil inventarisasi

Pada Bulan

Konsultan

kajian

data base beserta

ke 3

dan tim teknis

Rapat tim

peta lokasi lokasi titik

yang berdampak pada

kajian tim

Rawan Bencana yang

jalan di Provinsi Sumatera

teknis

berdampak pada

Hasil analisis data

Pada bulan

Konsultan

Post Processing,

ke-4

dan tim teknis

data hasil

base beserta peta lokasi

survei

lokasi titik Rawan Bencana





Rapat tim



Utara dan Riau

jalan di Provinsi Sumatera Utara dan Riau 

Laporan Bulanan ke3

7

Pelaksanaan analisis data



Penyusunan analisis data komprehensif dengan



Rapat tim kajian

melakukan Post



Digitasi dan GIS Analyst

B3-86

No

Deskripsi

Indikator Processing, Digitasi dan

Alat Verifikasi 

GIS Analyst

9

Penyusunan



Penyusunan konsep untuk

rekomendasi

rekomendasi dari hasil

teknis

analisis yang sudah dilakukan

Rapat tim

Keluaran 

kajian tim





Waktu

Tanggung jawab

Laporan Bulanan ke4

teknis



Laporan Antara

Rapat tim



Hasil rekomendasi

Pada Bulan

Konsultan

kajian

teknis penyelesaian

ke-5

dan Tim

Rapat tim

permasalahan,

kajian tim

pengendalian

teknis

pelaksanaan serta penanggulangan Bencana pada titiktitik Rawan Bencana di wilayah kerja Provinsi Sumatera Utara dan Riau 

Laporan Bulanan ke5

B3-87

Teknis

No 12

Deskripsi Penyusunan

Indikator  Draft Laporan Akhir

Laporan Akhir

Alat Verifikasi

Keluaran

Waktu

Tanggung jawab



KAK

 Draft laporan akhir

Pada Bulan

Konsultan



Rapat tim

 Draft analisis dan

ke-6

dan tim teknis

Pada Bulan

Konsultan

ke-6

dan tim teknis



Kajian dan

penanggulangan

Tim teknis

bencana

Rapat Koordinasi

13

Penyusunan Laporan

A. Laporan Ringkasan Ekekutif



KAK



Rapat tim

Ringkasan

Kajian dan

Ekekutif

Tim teknis 

Rapat Koordinasi

B3-88

B. Laporan Ringkasan Ekekutif

Related Documents


More Documents from ""