Pendekatan Klinis pada Pasien Kejang Andika Prasetyo Arifin 102016244 F2 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 Email:
[email protected]
Abstrak Kehidupan manusia adalah kehidupan yang kompleks dimana banyak faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan itu sendiri. Salah satu seperti yang disebutkan dalam skenario adalah seorang laki-laki mempunyai keluhan kejang-kejang 30 menit yang lalu didiagnosis dengan epilepsi umum tonik-klonik. Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakan diagnosis seperti Pemeriksaan laboratorium, Electroencephalogram, Magnetic Resonance Imaging, Pemeriksaan psikologis dan pskiatris. Kejang merupakan kejadian paroksimal terhadap abnormal, eksesif, hipersinkronisasi pelepasan dari agregasi neuron sistem saraf pusat sedangkan epilepsy adalah kondisi dimana orang mempunyai kejang berulang berdasarkan proses yang kronis dan progresif. Kejang adalah hasil dari pergeseran keseimbangan eksitasi dan penghambatan normal dalam SSP. Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas dari serangan paling sedikit 2 tahun, dan bisa lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Kata Kunci: Kejang, Epilepsi, EEG, Jenis Kejang.
Abstract Human life is a complex life where many factors can affect life itself. One who answered in the scenario was that men who had complaints of seizures 30 minutes ago were diagnosed with tonic-clonic general epilepsy. Investigations that can help establish diagnoses such as laboratory tests, electroencephalogram, magnetic resonance imaging, psychological and psychiatric examinations. Seizures are a paroximal event against abnormalities, excesses, hypersynchronization release from central nervous system aggregation whereas epilepsy is a condition where people have repeated seizures based on an analyzed and progressive process. Seizures are a result of a normal balance and inhibition in the CNS. Epilepsy patients who are treated regularly, 1/3 will be free of attack for at least 2 years, and can be more than 5 years after the last attack is taken, the patient does not need to be detested again, it needs to be approved to renew remission. Keywords: Seizure, Epilepsy, EEG, Type of Seizure.
1
Pendahuluan Kehidupan manusia adalah kehidupan yang kompleks dimana banyak faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan itu sendiri. Salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan manusia adalah faktor dari tubuh manusia itu sendiri. seperti yang telah kita ketahui, tubuh manusia tersusun dari bermilyar-milyar sel yang memiliki bentuk dan fungsi yang berbedabeda.1-3 Semua sel-sel itu akan menyusun suatu bentuk yang lebih kompleks yang dinamakan sebagai sebuah jaringan.4 Semua jaringan itu akan membentuk suatu organ, yang pada akhirnya semua organ itu akan saling berkolaborasi dalam suatu sistem yang sangat teliti dan terampil dalam menjalankan proses kehidupan.4,5 Homeostasis adalah suatu istilah yang merupakan keadaan stasis dan seimbang dimana keadaan inilah yang dapat dianggap sebagai patokan dalam menentukan apakah seseorang dapat dikatakan sehat dan tidak. Keadaan seimbang ini dicapai dengan cara mengkolaborasikan berbagai jenis sistem organ yang kompleks dalam tubuh manusia yang menunjang kehidupan manusia yang bersangkutan.1-3 Sesuai dengan pengertian homeostasis pada umumnya, tentunya terdapat berbagai faktor yang dapat mengganggu homeostasis itu sendiri, baik yang berasal dari dalam atau luar tubuh. Salah satu seperti yang disebutkan dalam skenario adalah seorang laki-laki mempunyai keluhan kejangkejang 30 menit yang lalu. Oleh karena itu, diperlukan suatu intervensi medik dalam rangka mengembalikan keadaan tersebut ke keadaan semula, yang dalam hal ini adalah menghilangkan luka pada kaki tersebut.
Berdasarkan skenario, seorang laki-laki berusia 19 tahun dibawa ke UGD RS oleh temannya setelah mengalami kejang-kejang 30 menit yang lalu. Untuk dapat mendiagnosis sesuai dengan skenario, maka terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu anamnesis yang baik, dimana amnesis akan memberikan data-data yang diperlukan mengenai penyakit tersebut. Kemudian dari hasil anamnesis tersebut kita dapat memperkirakan penyakit yang diderita pasien. Informasi yang dapat diambil tidak hanya dari pembicaraan secara verbal saja, namun dapat pula diambil dari aspek nonverbal, seperti gaya bicara pasien, mimic wajah, dan sebagainya.6-7 Kemudian akan dilakukan berbagai pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang apabila perlu yang akan membantu memastikan diagnosis penyakit yang diderita tersebut. Oleh karena itu, penulis akan membahas lebih dalam lagi mengenai berbagai langkahlangkah diagnosis penyakit sesuai dengan skenario dan berbagai hal terkait.
Anamnesis 2
Mengumpulkan data-data dalam anamnesis biasanya ialah hal yang pertama dan sering merupakan hal yang terpenting dari interaksi dokter dengan pasien. Dokter mengumpulkan banyak data yang menjadi dasar dari diagnosis, dokter belajar tentang pasien sebagai manusia dan bagaimana mereka telah mengalami gejala-gejala dan penyakit, serta mulai membina suatu hubungan saling percaya. Anamnesis dapat diperoleh sendiri (auto-anamnesis) dan atau pengantarnya disebut allo-anamnesis. Ada beberapa cara untuk mencapai sasaran ini. Cobalah untuk memberikan lingkungan yang bersifat pribadi, tenang, dan bebas dari gangguan. Dokter berada pada tempat yang dapat diterima oleh pasien, dan pastikan bahwa pasien dalam keadaan nyaman.
Dengan anamnesis yang baik dokter dapat memperkirakan penyakit yang diderita pasien. Anamnesis yang baik harus lengkap, rinci, dan akurat sehingga dokter bukan saja dapat mengenali organ atau sistem apa yang terserang penyakit, tetapi kelainan yang terjadi dan penyebabnya. Anamnesis dilakukan dan dicatat secara sistematis. Ia harus mencakup semua hal yang diperkirakan dapat membantu untuk menegakkan diagnosis. Ada beberapa point penting yang perlu ditanyakan pada saat anamnesis, antara lain: 1. Identitas Pasien : Nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama. 2. Keluhan Utama: Seorang laki-laki berumur 19 tahun mengalami kejang 30 menit yang lalu 3. Riwayat Penyakit Sekarang -
Waktu dan lama keluhan berlangsung: durasi kejang kurang lebih 1 menit, tidak sadar saat kejang dan ketika selesai kejang pasien tidur, kejangnya pada seluruh tubuh, diawali kaku pada kedua lengan dan tungkai lalu kelojotan dengan mata mendelik ke atas.
-
Keluhan penyerta: tidak ada keluhan penyerta
4. Riwayat Penyakit Dahulu -
Penyakit: sebelumnya pernah mengalami kejang 6 bulan yang lalu.
5. Riwayat Penyakit Keluarga -
Menanyakan apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan yang dialami oleh pasien.
-
Menanyakan apakah saudara pasien ada yang memiliki gejala sama dan perlu terapi?
6. Riwayat Sosial dan Pribadi 7. Riwayat Penggunaan Obat-obatan 3
Secara ringkas hasil anamnesis yang didapatkan sebagai berikut. Seorang laki-laki 19 tahun dibawa ke RS karena mengalami kejang 30 menit yang lalu, durasi kejang kurang lebih 1 menit, pada saat kejang pasien tidak sadar dan setelah kejang selesai pasien tertidur, kejangnya seluruh tubuh, diawali kaku pada kedua lengan dan tungkai lalu kelojotan dengan mata mendelik ke atas, sebelumnya pasien pernah mengalami kejang 6 bulan yang lalu.
Pemeriksaan Fisik Hasil dari pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut. Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan VAS 0, GCS E4M6V5, Tekanan darah 120/80 mmHg, Frekuensi nadi 90x/menit, frekuensi nafas 18x/menit, suhu 36.5 C, pada pemeriksaan saraf kranial, sistem motoric, sistem sensorik semua dalam batas normal.
VAS (Visual Analogue Scale) merupakan instrument yang digunakan untuk menilai tingkat intesitas dari nyeri dengan menggunakan garis 10 cm dengan pembacaan skala 0-100 mm. Penilaian ini dilakukan dengan pasien menandai dengan pensil skala yang sesuai dengan intesitas nyeri yang dirasakan setelah dijelaskan oleh peneliti makna dari skala, penentuan skor VAS dilakukan dengan mengukur jarak antara ujung garis yang menunjukan tidak nyeri hingga ke titik yang ditunjukan pasien. Berikut merupakan skala VAS:8 Skala VAS
Interpretasi
>0 - <10 mm
Tidak Nyeri
10 – 30 mm
Nyeri Ringan
30 – 70 mm
Nyeri Sedang
70 – 90 mm
Nyeri Berat
90 – 100 mm
Nyeri sangat berat
GCS (Glasgow Coma Scale) adalah Penilaian gradasi sederahana dari arousal dan kapasitas fungsional korteks serebral berdasarkan respon verbal, motoric dan mata dari penderita. Nilai tertinggi dari pemeriksaan GCS ini merupakan 15 atau compos mentis dan terendahnya adalah 3. Berikut merupakan indicator penilaian dari respon verbal, motoric serta mata dari pasien:9
Glasgow Coma Score
4
Eye Opening (E)
Verbal Response (V)
Motor Response (M)
4 = Spontaneous
5 = Normal Conversation
6 = Normal
3 = To Voice
4 = Disoriented Conversation
5 = Localizes to Pain
2 = To Pain
3 = Words, but not coherent
4 = Withdraws to pain
1 = None
2 = No Words… Only Sounds
3 = Decorticate Posture
1 = None
2 = Decerebrate 1 = None Total = E+V+M
Berdasarkan nilai GCS, cedera kepala dapat dibagi atas; Cedera kepala ringan (GCS 14-15), Cedera kepala sedang (GCS 8-13), Cedera kepala berat (GCS < 8).
Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan penunjang dapat dibantu dengan pemeriksaan seperti:
A. Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, ureum dalam darah. Yang memudahkan timbulnya kejang ialah keadaan hipoglikemia, hipokalemia, hipomagnesemia, hiponatremia, hipernatremia, hiperbilirubinemia, uremia. Penting pula diperiksa pH darah karena alkalosis mungkin pula disertai kejang
Pemeriksaan cairan otak dapat mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya, toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis tumor ganas, adanya perdarahan otak atau perdarahan subaraknoid.10,11
B. EEG (Electroencephalogram) EEG memberikan konfirmasi konsep epilepsi Hughlings Jackson - bahwa itu mewakili berulang, tiba-tiba, muatan yang berlebihan dari neuron kortikal. EEG tidak diragukan lagi alat yang paling sensitif, memang sangat diperlukan, untuk diagnosis epilepsi; tetapi seperti tes tambahan lainnya, itu harus digunakan bersama dengan data klinis. Pada pasien dengan kejang umum idiopatik dan dalam proporsi tinggi dari kerabat mereka, kelainan lonjakan dan gelombang interiktal tanpa aktivitas kejang klinis adalah umum, terutama jika EEG diulang beberapa kali. Sebaliknya, sebagian pasien epilepsi memiliki EEG interiktal normal; kadang-kadang, menggunakan metode standar 5
pencatatan kulit kepala, EEG bahkan mungkin normal selama kejang parsial sederhana atau kompleks. Selain itu, sejumlah kecil orang sehat (sekitar 2 hingga 3 persen) menunjukkan kelainan EEG paroksismal; beberapa dari mereka memiliki riwayat keluarga epilepsi (terutama kejang yang tidak ada) dan mungkin kemudian mengalami kejang. Abnormalitas EEG yang mencirikan penyebaran fokus epileptogenik dan generalisasi aktivitas kejang, baik tipe grand mal dan tipe absen, telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.11,12
C. MRI (Magnetic Resonance Imaging) MRI adalah alat diagnostik yang paling penting untuk mendeteksi kelainan struktural yang mendasari epilepsi. Sclerosis temporal medial, bekas luka glial, porencephaly, heterotopias, dan kelainan migrasi migrasi lainnya dapat divisualisasikan dengan jelas. Setelah kejang, khususnya dengan komponen fokus, MRI terkadang mengungkapkan pembengkakan kortikal fokal dan perubahan sinyal dalam urutan FLAIR, atau, jika agen kontras diberikan, blush kortikal yang tidak jelas dapat terlihat pada CT atau MRI. Ada hubungan kasar antara durasi aktivitas kejang dan intensitas dan ukuran perubahan kortikal ini.12
D. Pemeriksaan Psikologis atau Psikiatris Untuk diagnosis, bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik turunnya kesadaran, misalnya test Bourdon-Wiersma.10,11
Kejang merupakan kejadian paroksimal terhadap abnormal, eksesif, hipersinkronisasi pelepasan dari agregasi neuron sistem saraf pusat. Berdasarkan distribusi dari pelepasan, aktivitas sistem saraf pusat yang abnormal dapat menyebabkan beberapa manifestasi, mulai dari aktivitas konveksif dramatis hingga fenomena pengalaman yang tidak mudah dilihat oleh pengamat. Epilepsy adalah kondisi dimana orang mempunyai kejang berulang berdasarkan proses yang kronis dan progresif. Epilepsi mengacu pada fenomena klinis daripada entitas penyakit tunggal, karena ada banyak bentuk dan penyebab epilepsi. Menentukan jenis kejang yang telah terjadi sangat penting untuk memfokuskan pendekatan diagnostik pada etiologi tertentu, memilih terapi yang tepat, dan memberikan informasi penting yang potensial
6
mengenai prognosis.12,13 Berikut merupakan klasifikasi dari kejang berdasarkan ILAE (International League against Epilepsy):12
Kejang Parsial a. Kejang Parsial sederhana (dengan motor, sensoris, autonomis, atau tanda fisik) b. Kejang kompleks parsial c. Kejang parsial umum sekunder
Kejang Umum Primer a. Tonik-klonik (grand mal) b. Absen (petit mal) c. Tonik d. Atonik e. Myoklonik
Kejang Tidak Terklasifikasi a. Kejang neonatal b. Spasme infantil
Sistem ini didasarkan pada fitur klinis kejang dan temuan elektroensefalografi terkait. Fitur lain yang berpotensi berbeda seperti etiologi atau substrat seluler tidak dipertimbangkan dalam sistem klasifikasi ini, meskipun hal ini tidak diragukan lagi akan berubah di masa depan karena lebih banyak yang dipelajari tentang mekanisme patofisiologis yang mendasari tipe kejang tertentu. Prinsip dasar adalah bahwa kejang dapat bersifat parsial (identik dengan fokus) atau digeneralisasi. Kejang parsial adalah kejang di mana aktivitas kejang terbatas pada daerah diskrit serebral. Kejang umum melibatkan daerah difus otak secara bersamaan. Kejang parsial biasanya dikaitkan dengan kelainan struktural otak. Sebaliknya, kejang umum dapat terjadi akibat kelainan seluler, biokimia, atau struktural yang memiliki distribusi yang lebih luas. Kejang Parsial Kejang parsial terjadi di daerah diskrit otak. Jika kesadaran sepenuhnya dipertahankan selama kejang, manifestasi klinis dianggap relatif sederhana dan kejang disebut kejang parsial sederhana. Jika kesadaran terganggu, simtomatologinya lebih kompleks dan kejang disebut sebagai kejang parsial yang kompleks. Subkelompok tambahan yang penting terdiri dari kejang-kejang yang dimulai sebagai kejang parsial dan kemudian menyebar secara difus ke seluruh korteks, yaitu kejang parsial dengan generalisasi sekunder. Berikut merupakan jenis dari kejang parsial:12
Kejang parsial sederhana
7
Kejang parsial sederhana menyebabkan gejala motorik, sensorik, otonom, atau psikis tanpa perubahan kesadaran yang jelas. Sebagai contoh, seorang pasien yang mengalami kejang motorik parsial yang timbul dari korteks motorik primer kanan dalam gerakan tangan kontrol sekitarnya akan mencatat timbulnya gerakan tak sadar dari tangan kiri kontralateral, kiri. Gerakan-gerakan ini biasanya bersifat klonik (mis., Gerakan berulang, fleksi / ekstensi) pada frekuensi ~ 2–3 Hz; postur tonik murni dapat dilihat juga. Karena daerah kortikal mengendalikan gerakan tangan segera disesuaikan dekat ke daerah untuk ekspresi wajah, kejang juga dapat menyebabkan gerakan abnormal wajah selaras dengan gerakan tangan. Elektroensefalogram (EEG) yang direkam dengan elektroda kulit kepala selama kejang (mis., EEG iktal) dapat menunjukkan pelepasan abnormal pada daerah yang sangat terbatas pada area korteks sereal yang tepat jika fokus kejang melibatkan koneksitas otak. Namun, aktivitas kejang yang terjadi dalam struktur otak yang lebih dalam sering tidak dicatat oleh EEG standar, dan mungkin memerlukan elektroda intrakranial untuk pendeteksiannya. Tiga fitur tambahan kejang motor parsial perlu dicatat. Pertama, pada beberapa pasien gerakan motorik abnormal dapat dimulai di daerah yang sangat terbatas seperti jari dan secara bertahap berkembang (lebih dari detik ke menit) untuk memasukkan bagian yang lebih besar dari ekstremitas. Fenomena ini, dijelaskan oleh Hughlings Jackson dan dikenal sebagai "pawai Jacksonian," mewakili penyebaran aktivitas kejang di daerah korteks motor yang semakin besar. Kedua, pasien mungkin mengalami paresis lokal (lumpuh Todd) selama beberapa menit hingga berjam-jam di daerah yang terlibat setelah kejang. Ketiga, dalam kasus yang jarang, kejang dapat berlanjut selama berjam-jam atau berhari-hari. Kondisi ini, disebut epilepsia partialis continua, sering refrakter terhadap terapi medis. Kejang parsial sederhana juga dapat bermanifestasi sebagai perubahan sensasi somatik (mis. Parestesia), penglihatan (lampu kilat atau halusinasi yang terbentuk), keseimbangan (sensasi jatuh atau vertigo), atau fungsi otonom (membilas, berkeringat, piloereksi). Kejang parsial sederhana yang timbul dari korteks temporal atau frontal juga dapat menyebabkan perubahan pendengaran, penciuman, atau fungsi kortikal yang lebih tinggi (gejala psikis). Ini termasuk sensasi dari bau yang tidak biasa, intens (mis., Membakar karet atau minyak tanah) atau suara (suara kasar atau sangat kompleks), atau sensasi epigastrium yang naik dari perut atau dada ke kepala. Beberapa pasien menggambarkan perasaan-perasaan internal yang ganjil seperti ketakutan, perasaan akan perubahan yang akan datang, detasemen, depersonalisasi, déjà vu, atau ilusi bahwa objek-objek tumbuh semakin kecil (mikropsia) atau lebih besar 8
(makropsia). Ketika gejala seperti itu mendahului kejang parsial atau sekunder yang kompleks secara umum, kejang parsial sederhana ini berfungsi sebagai peringatan, atau aura.12,13
Kejang Parsial Kompleks Kejang parsial kompleks ditandai oleh aktivitas kejang fokal disertai dengan penurunan sementara kemampuan pasien untuk mempertahankan kontak normal dengan lingkungan. Pasien tidak dapat merespon dengan tepat perintah visual atau verbal selama kejang dan telah mengganggu ingatan atau kesadaran fase fase iktal. Kejang sering dimulai dengan aura (yaitu, kejang parsial sederhana) yang stereotip untuk pasien. Permulaan fase iktal sering kali merupakan penghentian perilaku mendadak atau tatapan tidak bergerak, yang menandai awal periode amnesia. Penangkapan perilaku biasanya disertai dengan otomatisme, yang merupakan perilaku otomatis yang tidak disengaja, yang memiliki jangkauan manusia yang luas. Manifestasi automatis dapat terdiri dari perilaku yang sangat mendasar seperti mengunyah, memukul bibir, menelan, atau "memetik" gerakan tangan, atau perilaku yang lebih rumit seperti tampilan emosi atau berlari. Pasien biasanya bingung mengikuti kejang, dan transisi ke pemulihan penuh kesadaran dapat berkisar dari detik hingga satu jam. Pemeriksaan segera setelah kejang dapat menunjukkan amnesia anterograde atau, dalam kasus yang melibatkan hemisfer dominan, afasia postiktal. Interictal rutin (mis., Antara kejang) EEG pada pasien dengan kejang parsial kompleks sering normal atau dapat menunjukkan pelepasan singkat yang disebut paku epileptiformis, atau gelombang tajam. Karena kejang parsial kompleks dapat timbul dari lobus temporal medial atau lobus frontal inferior, yaitu daerah yang jauh dari kulit kepala, EEG yang direkam selama kejang mungkin nonlokalisasi. Namun, fokus kejang sering dideteksi menggunakan elektroda intrakranial sphenoidal atau ditempatkan dengan operasi. Kisaran perilaku klinis potensial yang terkait dengan kejang parsial kompleks sangat luas sehingga sangat hati-hati disarankan sebelum menyimpulkan bahwa episode stereotipik perilaku aneh atau atipikal bukan karena aktivitas kejang. Dalam kasus seperti itu, studi EEG tambahan yang terperinci mungkin dapat membantu.12
Kejang Parsial umum sekunder
9
Kejang parsial dapat menyebar untuk melibatkan kedua belahan otak dan menghasilkan kejang umum, biasanya dari berbagai tonik-klonik (dibahas kemudian). umum sekunder sering diamati setelah kejang parsial sederhana, terutama yang memiliki fokus di lobus frontal, tetapi juga dapat dikaitkan dengan kejang parsial yang terjadi di tempat lain di otak. Kejang parsial dengan generalisasi sekunder seringkali sulit dibedakan dari kejang tonik-klonik primer yang digeneralisasi, karena pengamat cenderung menekankan fase kejang yang lebih dramatis dan umum dari kejang dan mengabaikan gejala fokal yang lebih halus yang muncul saat onset. Dalam beberapa kasus, onset fokus kejang menjadi jelas hanya ketika riwayat yang cermat mengidentifikasi aura sebelumnya (yaitu, kejang parsial sederhana). Namun, seringkali, onset fokus tidak jelas secara klinis dan hanya dapat dilakukan melalui analisis EEG yang cermat. Meskipun demikian, membedakan antara dua entitas ini sangat penting, karena mungkin ada perbedaan besar dalam evaluasi dan pengobatan gangguan kejang parsial versus umum.13
Kejang umum Kejang umum muncul dari kedua belahan otak secara bersamaan. Namun, tidak mungkin untuk mengecualikan wilayah fokus aktivitas abnormal yang memulai sebelum sebelum generalisasi sekunder cepat. Untuk alasan ini, prosedur umum dapat secara praktis didefinisikan sebagai kejadian klinis dan elektrografi bilateral tanpa onset fokus yang dapat terdeteksi. Berikut merupakan jenis kejang umum:12
Kejang umum tonik-klonik (Grand Mal) Penting untuk membedakan antara tipe kejang primer (umum), dengan kelainan EEG yang luas saat onset, dan tipe genital sekunder, yang dimulai sebagai kejang fokal atau parsial. dan kemudian menjadi umum. Pasien terkadang merasa pendekatan kejang oleh salah satu dari beberapa fenomena subyektif (a prodrome). Selama beberapa jam, Pasien mungkin merasa apatis, depresi, lekas marah, atau, sangat jarang, oposisi – ekstatik. Satu atau lebih sentakan mioklonik pada dada atau anggota badan ketika bangun itu mungkin menunjukkan kejang di kemudian hari. Lebih dari setengah, ada beberapa jenis Gerakan selama beberapa detik sebelumnya kesadaran hilang (berbalik dari kepala dan mata atau seluruh tubuh atau menyentak anggota badan yang
10
intermiten), meskipun pasien gagal membentuk memori ini dan informasi semacam itu hanya diperoleh dari pengamat. Nyeri atau kram perut, perasaan tenggelam, naik, atau mencengkeram epigastrium, pucat atau kemerahan pada wajah, sakit kepala yang berdenyut, sembelit, atau diare juga telah diberi status yang lebih baik, tetapi kami belum menemukan mereka secara konsisten cukup bermanfaat. Paling sering, kejang menyerang "tiba-tiba," yaitu, tanpa peringatan, dimulai dengan kehilangan kesadaran tiba-tiba dan jatuh ke tanah. Tanda-tanda motorik awal adalah fleksi pendek pada batang, mulut dan kelopak mata terbuka, dan penyimpangan mata ke atas. Lengan diangkat, siku setengah fleksi dan tangan pronasi. Ini diikuti oleh fase ekstensi (tonik) yang lebih panjang, pertama melibatkan punggung dan leher, lalu lengan dan kaki. Mungkin ada seruan menusuk ketika seluruh otot diremas dalam kejang dan udara dipancarkan secara paksa melalui pita suara yang tertutup. Karena otot pernapasan terperangkap dalam kejang tonik, pernapasan dihentikan, dan setelah beberapa detik kulit dan selaput lendir dapat menjadi sianotik. Pupil melebar dan tidak reaktif terhadap cahaya. Kandung kemih mungkin kosong pada tahap ini atau lebih lambat, selama koma pascanatal. Ini adalah fase tonik kejang dan berlangsung selama 10 hingga 20 detik. Lalu ada transisi dari tonik ke fase klonik kejang. Awalnya ada getaran umum ringan, yang, pada dasarnya, merupakan relaksasi kontraksi tonik berulang. Itu dimulai pada level delapan per detik dan kira-kira empat per detik; kemudian dengan cepat memberikan cara untuk kejang fleksor pendek dan keras yang datang dalam garam berirama dan menggetarkan seluruh tubuh. Wajah menjadi kasar dan kusut oleh serangkaian senyum, dan seringkali lidah digigit. Tanda-tanda otonom menonjol: denyut nadi cepat, tekanan darah meningkat, pupil melebar, dan air liur melimpah dan berkeringat; Tekanan kandung kemih dapat meningkat enam kali lipat selama fase ini. Sentakan klonik menurun dalam amplitudo dan frekuensi selama sekitar 30 detik. Pasien tetap apnea sampai akhir fase klonik, yang ditandai dengan inhalasi dalam. Selain seluruh rangkaian dramatis yang dijelaskan di atas, kejang dapat dipersingkat atau dibatasi ruang lingkupnya oleh obat antikonvulsif. Pada fase terakhir kejang, semua gerakan telah berakhir dan pasien berbaring diam dan lemas, dalam koma yang dalam. Pupil, sama atau tidak sama, sekarang mulai berkontraksi dengan cahaya. Bernafas mungkin tenang atau kencang. Kondisi ini berlangsung selama beberapa menit, setelah itu pasien membuka matanya, mulai memperhatikan, dan jelas-jelas bingung dan bingung dan mungkin sangat gelisah. Pasien mungkin berbicara dan kemudian tidak ingat apa yang dia katakan. tidak terganggu, ia menjadi mengantuk dan 11
tertidur, kadang-kadang selama beberapa jam, lalu kadang-kadang terbangun dengan sakit kepala berdenyut. Ketika sepenuhnya pulih, pasien seperti itu tidak memiliki memori bagian kejang tetapi tahu bahwa sesuatu telah terjadi karena lingkungan yang aneh (di ambulans atau rumah sakit); perhatian yang jelas dari orang-orang di sekitarnya; dan lidah yang sakit, tergigit, dan otot yang sakit akibat kontraksi yang hebat. Yang terakhir, jika cukup keras, dapat menghancurkan tubuh vertebra atau mengakibatkan cedera serius; fraktur, perdarahan periorbital, hematoma subdural, atau luka bakar mungkin terjadi pada musim gugur.13
Kejang Atonik Kejang atonik ditandai oleh hilangnya tiba-tiba dari tonus otot posisi yang berlangsung 1-2 detik. Kesadaran secara singkat terganggu, tetapi biasanya tidak ada kebingungan pascakonflik. Kejang yang sangat singkat mungkin hanya menyebabkan kepala cepat jatuh atau gerakan mengangguk, sementara kejang yang lebih lama akan menyebabkan pasien kolaps. Ini bisa sangat berbahaya, karena ada risiko besar cedera kepala langsung dengan kejatuhan. EEG menunjukkan lonjakan singkat dan gelombang umum yang segera diikuti oleh gelombang lambat difus yang berkorelasi dengan hilangnya tonus otot. Mirip dengan kejang tonik murni, kejang atonik biasanya terlihat dalam hubungan dengan sindrom epilepsi yang dikenal.12
Kejang Idiopatik Nonkonvulsif (Absence, Petit Mal) Berbeda dengan kejang umum utama, kejang absen (sebelumnya disebut sebagai petit mal atau pykno-epilepsi) terkenal karena singkatnya dan kurangnya aktivitas motorik. Memang, mereka mungkin sangat singkat sehingga pasien sendiri terkadang tidak menyadarinya; bagi penonton, mereka menyerupai saat linglung atau melamun. Serangan itu, datang tanpa peringatan, terdiri atas gangguan kesadaran yang tiba-tiba. Pasien menatap dan berhenti bicara atau berhenti merespons. Hanya sekitar 10 persen pasien yang benar-benar tidak bergerak selama serangan; sisanya, seseorang mengamati semburan singkat gerakan klonik halus pada kelopak mata, otot-otot wajah, atau jari-jari atau gerakan sinkron dari kedua lengan pada kecepatan tiga per detik. Otomatisme ringan — dalam bentuk gerakan bibir-mengunyah, mengunyah, dan meraba-raba jari — umum terjadi selama serangan tetapi tidak dianggap penting. Nada postural mungkin sedikit menurun atau meningkat, dan kadang-kadang ada kelainan vasomotor ringan. Sebagai aturan, pasien seperti itu tidak jatuh; mereka bahkan dapat 12
melanjutkan tindakan rumit seperti berjalan atau naik sepeda. Setelah 2 sampai 10 detik, kadang-kadang lebih lama, pasien membangun kembali kontak penuh dengan lingkungan dan menghitung aktivitas sebelum kejang. Hanya hilangnya utas percakapan atau tempat membaca yang mengkhianati terjadinya periode "kosong" sesaat (absen). Pada banyak pasien seperti itu, hiperventilasi sukarela selama 2 hingga 3 menit adalah cara yang efektif untuk menginduksi serangan absen. Kejang absen yang khas merupakan epilepsi paling khas dari masa kanak-kanak; jarang kejang dimulai sebelum usia 4 tahun atau setelah pubertas. Atribut lain adalah frekuensinya yang luar biasa (oleh karena itu istilah lama pykno, yang berarti "padat" atau "padat"). Sebanyak beberapa ratus dapat terjadi dalam satu hari, kadang-kadang dalam semburan pada waktu tertentu dalam sehari. Paling sering mereka berhubungan dengan periode kurangnya perhatian dan dapat muncul di kelas ketika anak duduk diam daripada berpartisipasi aktif dalam pelajarannya. Jika sering, mereka dapat mengganggu perhatian dan berpikir sampai-sampai kinerja anak di sekolah terganggu. Serangan semacam itu dapat berlangsung selama berjam-jam tanpa interval aktivitas mental yang normal di antara mereka — yang disebut status absen atau kecil. Gerakan mioklonik tiga per detik yang halus dan kecil adalah satu-satunya tampilan motorik (mioklonik petit mal), dan disertai oleh kelainan gelombang spike-gelombang tiga per detik yang terus menerus dalam EEG. Sebagian besar kasus status absen telah dijelaskan pada orang dewasa dengan epilepsi lobus frontal. Serangan seperti itu dapat dimulai atau diakhiri dengan kejang tonik-klonik umum atau ledakan kejang. Absen mungkin satusatunya jenis kejang selama masa kanak-kanak. Serangan-serangan itu cenderung berkurang frekuensinya pada masa remaja dan kemudian sering menghilang, hanya untuk digantikan dalam banyak kasus oleh kejang-kejang umum yang besar. Varian Absen atau Petit Mal Dibedakan dari kejang absen yang khas adalah varietas di mana hilangnya kesadaran kurang lengkap atau di mana mioklonus menonjol, dan lainnya dimana kelainan EEG kurang teratur dari jenis lonjakan-dan-gelombang 3-per-detik (mereka dapat terjadi pada tingkat 2 hingga 2,5 per detik atau mengambil bentuk 4-6 Hz polyspike-and-wave com - pleks). Petit mal atipikal adalah istilah yang diciptakan untuk menggambarkan aktivitas panjang lonjakan-dan-gelombang lambat, biasanya tanpa kehilangan kesadaran yang jelas. Stimulus eksternal seperti meminta pasien untuk menjawab pertanyaan atau menghitung akan mengganggu jalannya aktivitas EEG yang abnormal.12,13
13
Kejang Myoklonik Ditandai dengan kontraksi otot yang kasar, singkat, beberapa sentakan miokonik sangat kecil sehingga hanya melibatkan satu otot atau bagian otot; yang lain begitu besar sehingga melibatkan anggota tubuh pada satu atau kedua sisi tubuh atau seluruh otototot tubuh. Banyak yang singkat, berlangsung 50 hingga 100 ms. Mereka dapat terjadi sesekali dan tidak terduga atau hadir sebagai brengsek tunggal atau salvo singkat. Seperti disebutkan sebelumnya, wabah beberapa tersentak mioklonik ritmis kecil mungkin muncul dengan frekuensi yang bervariasi sebagai bagian dari kejang absen dan sebagai kejadian terisolasi pada pasien dengan kejang klonik-tonik-klonik atau tonik-klonik umum. Sebagai aturan, jenis mioklonus ini cukup jinak dan berespons baik terhadap pengobatan. Sebaliknya, mioklonus diseminata (polymyoclonus), yang mulai muncul pada masa kanak-kanak, meningkatkan kecurigaan ensefalitis virus akut, sindrom mioklonus-opsoklonus-ataksia dari Kinsbourne, litium atau toksisitas obat lain, atau, jika berlangsung beberapa minggu panencephalitis sclerosing subakut. Polymyoclonus progresif kronis dengan demensia menjadi ciri kelompok lipidosis remaja, epilepsi mioklonik familial tipe Lafora, kelainan mitokondria tertentu, atau penyakit degeneratif familial kronis dari tipe yang tidak terdefinisi (multipleks paramyoclonus dari Friedreich, dyssynergia cerebellaris myoclonica Rams). Pada tahun-tahun dewasa pertengahan dan akhir, myoclonus diseminasi bergabung dengan demensia biasanya menunjukkan penyakit Creutzfeldt-Jakob dan jarang penyakit Alzheimer. Beberapa kasus keterlambatan menimbulkan penyakit Lafora telah dilaporkan, tetapi ini terutama tetap merupakan proses masa kanak-kanak, autosom resesif dalam penularan, ditandai oleh trias demensia progresif, mioklonus, dan episode kejang umum, beberapa di antaranya bersifat visual. Myoklonus biasanya merupakan manifestasi utama epilepsi mioklonik remaja, seperti yang dibahas di bawah ini. Uremia pada usia berapa pun menimbulkan miokonus, berkedut, dan kadang-kadang kejang. Juvenile Myoclonic Epilepsy Ini adalah bentuk paling umum dari epilepsi umum idiopatik pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa muda. Itu dimulai pada masa remaja, biasanya sekitar usia 15, dengan kisaran yang pada dasarnya mencakup semua tahun remaja. Pasien datang ke perhatian karena kejang umum, sering saat bangun atau karena tersentak mioklonik di pagi hari yang melibatkan seluruh tubuh; terkadang kejang absen sangat menonjol. Keluarga melaporkan bahwa pasien sesekali tersentak mioklonik lengan dan batang atas yang menjadi menonjol dengan kelelahan, selama tahap awal tidur, atau setelah konsumsi alkohol. Beberapa pasien dalam pengalaman 14
kami hanya memiliki fenomena mioklonik dan kejang abses jarang yang bertahan tanpa diketahui selama bertahun-tahun. Karakteristik EEG menunjukkan semburan aktivitas polispike tidak teratur berderet 4-6 Hz. Suatu hubungan telah ditetapkan untuk kromosom 6 dalam beberapa kasus penyakit ini dan dalam beberapa bentuk lain epilepsi onset remaja, tetapi tidak ada pola pewarisan mendel yang telah ditetapkan. Gangguan tidak merusak kecerdasan dan cenderung tidak progresif, tetapi kecenderungan kejang yang jarang terjadi biasanya berlanjut sepanjang hidup. Asam valproat khususnya dan beberapa anti-kejang lainnya sangat efektif dalam menghilangkan kejang dan mioklonus; mereka harus dilanjutkan tanpa batas.12,13
Kejang Tidak Terklasifikasi Tidak semua jenis kejang dapat digolongkan parsial atau umum. Hal ini tampaknya benar terutama pada kejang yang terjadi pada neonatus dan bayi. Fenomena kejang yang khas pada usia dini ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan fungsi neuronal dan konektivitas pada CNS yang belum matang dengan yang matang.12
Working Diagnosis Epilepsi umum dengan tonik klonik karena pasien memiliki riwayat kejang 6 bulan yang lalu sehingga merupakan kejang yang kronis sehingga dapat dikatakan epilepsy, umum dengan tonik klonik karena pasien mempunyai gejala seperti saat kejang pasien tidak sadar dan setelah kejang pasien tertidur, kejangnya seluruh tubuh dengan diawali kaku pada kedua lengan dan tungkai lalu kelojotan dengan mata menyimpang ke atas.
Diagnosis Banding
Epilepsi parsial kompleks Epilepsi parsial kompleks ditandai oleh aktivitas kejang fokal disertai dengan penurunan sementara kemampuan pasien untuk mempertahankan kontak normal dengan lingkungan. Pasien tidak dapat merespon dengan tepat perintah visual atau verbal selama kejang dan telah mengganggu ingatan atau kesadaran fase fase iktal. Kejang sering dimulai dengan aura (yaitu, kejang parsial sederhana) yang stereotip untuk pasien. Permulaan fase iktal sering kali merupakan penghentian perilaku mendadak atau tatapan tidak bergerak, yang menandai awal periode amnesia. Penangkapan perilaku biasanya disertai dengan otomatisme, yang merupakan perilaku
15
otomatis yang tidak disengaja, yang memiliki jangkauan manusia yang luas. Manifestasi automatis dapat terdiri dari perilaku yang sangat mendasar seperti mengunyah, memukul bibir, menelan, atau "memetik" gerakan tangan, atau perilaku yang lebih rumit seperti tampilan emosi atau berlari. Pasien biasanya bingung mengikuti kejang, dan transisi ke pemulihan penuh kesadaran dapat berkisar dari detik hingga satu jam.12
Kejang Psikogenik Kejang psikogenik non epilepsi (KPNE) atau pseudoseizure merupakan episode paroksismal yang menyerupai dan sering terjadi kesalahan diagnosis sebagai kejang epilepsi tidak dikaitkan dengan elektroensefalogram abnormal (EEG) kegiatan atau gangguan fisiologis utama lainnya. Bagaimanapun, kejang non epilepsi psikogenik berasal dari bagian psikologi (seperti emosional, stress). Episode non epilepsi paroksismal dapat disebabkan oleh faktor organik atau psikogenik. Sinkop, migrain. Kejang psikogenik bisa terjadi pada remaja, anak-anak dan orang tua. Harus diperhatikan dalam mendiagnosis kejang psikogenik terutama jika terjadi pada awal masa kanak-kanak atau usia tua. KPNE dapat terjadi pada kondisi kejiwaan yang khusus, sebagai contoh anak-anak dengan parasomnia dan serangan ketakutan.14
Etiologi Kejang adalah hasil dari pergeseran keseimbangan eksitasi dan penghambatan normal dalam SSP. Mengingat banyak sifat yang mengendalikan rangsangan saraf, tidak mengherankan bahwa ada banyak cara berbeda untuk mengganggu keseimbangan normal ini, dan karena itu banyak penyebab yang berbeda dari kejang dan epilepsi. Tiga pengamatan klinis menekankan bagaimana berbagai faktor menentukan mengapa kondisi tertentu dapat menyebabkan kejang atau epilepsi pada pasien tertentu.12
Otak normal mampu mengalami kejang dalam keadaan yang sesuai, dan ada perbedaan antara individu dalam kerentanan atau ambang batas untuk kejang. Misalnya, kejang dapat disebabkan oleh demam tinggi pada anak-anak yang dinyatakan normal dan yang tidak pernah mengalami masalah neurologis lainnya, termasuk epilepsi. Namun, kejang demam hanya terjadi pada proporsi yang relatif kecil pada anak-anak. Ini menyiratkan ada berbagai faktor endogen yang mendasari yang mempengaruhi ambang batas untuk memiliki kejang. Beberapa faktor ini jelas bersifat genetik, karena telah ditunjukkan
16
bahwa riwayat keluarga epilepsi akan memengaruhi kemungkinan kejang yang terjadi pada orang normal lain. Perkembangan normal juga memainkan peran penting, karena otak tampaknya memiliki ambang kejang yang berbeda pada tahap maturasi yang berbeda.
Ada berbagai kondisi yang memiliki kemungkinan sangat tinggi untuk menghasilkan gangguan kejang kronis. Salah satu contoh terbaik dari ini adalah trauma kepala yang parah dan menembus, yang dikaitkan dengan risiko hingga 50% dari epilepsi berikutnya. perubahan patologis jangka panjang pada SSP yang mentransformasikan jaringan saraf yang diduga normal menjadi jaringan yang abnormal hipereksklusif. Proses ini dikenal sebagai epileptogenesis, dan perubahan spesifik yang menghasilkan ambang kejang yang lebih rendah dapat dianggap sebagai faktor epileptogenik. Proses lain yang terkait dengan epileptogenesis termasuk stroke, infeksi, dan kelainan perkembangan SSP. Demikian juga, kelainan genetik yang terkait dengan epilepsi kemungkinan besarmelibatkan proses yang memicu munculnya serangkaian faktor epileptogenik.
Kejang bersifat episodik. Pasien dengan epilepsi mengalami kejang sebentar-sebentar dan, tergantung pada penyebab yang mendasari, banyak pasien benar-benar normal selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun antara kejang. Ini menyiratkan ada faktor provokatif atau pencetus penting yang menyebabkan kejang pada pasien dengan epilepsi. Demikian pula, faktor pencetus bertanggung jawab untuk menyebabkan kejang tunggal pada seseorang tanpa epilepsi. Endapan termasuk yang disebabkan oleh proses fisiologis intrinsik, seperti stres psikologis atau fisik, kurang tidur, atau perubahan hormon yang terkait dengan siklus menstruasi. Mereka juga termasuk faktor eksogen seperti paparan zat beracun dan obat-obatan tertentu.
Pengamatan ini menekankan konsep bahwa banyak penyebab kejang dan epilepsi dihasilkan dari interaksi dinamis antara faktor endogen, faktor epileptogenik, dan faktor pencetus. Peran potensial masing-masing perlu dipertimbangkan dengan hati-hati ketika menentukan manajemen yang tepat dari pasien dengan kejang. Misalnya, identifikasi faktor predisposisi (misalnya, riwayat keluarga epilepsi) pada pasien dengan kejang demam dapat meningkatkan kebutuhan untuk tindak lanjut lebih dekat dan evaluasi diagnostik yang lebih agresif. Menemukan lesi epileptogenik dapat membantu dalam estimasi kekambuhan kejang dan durasi terapi. Akhirnya, penghapusan atau modifikasi faktor pencetus dapat menjadi metode yang
17
efektif dan lebih aman untuk mencegah kejang lebih lanjut daripada penggunaan profilaksis obat antikejang.12
Epidemiologi Hauser dan kolaborator menunjukkan bahwa kejadian tahunan kejang berulang yang tidak demam di Olmsted County, Minnesota, adalah sekitar 100 kasus per 100.000 orang berusia 01 tahun, 40 per 100.000 orang berusia 39-40 tahun, dan 140 per 100.000 orang berusia 79-80 tahun tahun. Pada usia 75 tahun, kejadian kumulatif epilepsi adalah 3400 per 100.000 pria (3,4%) dan 2800 per 100.000 wanita (2,8%). Studi di beberapa negara maju telah menunjukkan insiden dan prevalensi kejang yang serupa dengan yang ada di Amerika Serikat. Di beberapa negara, infeksi parasit menyebabkan peningkatan insiden epilepsi dan kejang.15
Patofisiologi Kejang adalah manifestasi paroksismal dari sifat listrik korteks serebral. Kejang terjadi ketika ketidakseimbangan tiba-tiba terjadi antara kekuatan rangsang dan penghambatan dalam jaringan neuron kortikal yang mendukung eksitasi neto yang tiba-tiba. Otak terlibat dalam hampir setiap fungsi tubuh, termasuk fungsi kortikal yang lebih tinggi. Jika jaringan kortikal yang terkena berada dalam korteks visual, manifestasi klinisnya adalah fenomena visual. Area lain yang terkena korteks primer menimbulkan manifestasi sensori, gustatory, atau motorik. Otak terdiri dari sekitar milyar sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmitter. Dalam keadaan normal, lalu lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmitter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:16 Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter
GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory neurotransmitter
Golongan neurotransmitter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetilkolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamin, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmitter ini hubungannya dengan epilepsi belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi
18
impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara teoritis, faktor yang menyebabkan hal ini yaitu: Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik. Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak. Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.
Gambar 1: Mekanisme Kejang Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait:
19
Perlu adanya “peacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsik dari sel untuk menimbulkan bangkitan Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke, kelainan herediter, dan lain- lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik, dan lain-lain. Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus, dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike dan wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron (karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion. Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.16 Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu: 1. Non Spesifik Predisposing Factor (NPF) yang membedakan seseorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda. 2. Specific Epileptogenic Disturbaces (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF. 3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
20
Manifestasi Klinis
Kejang parsial simplek
Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:16,17 1. “déjà vu”: perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya
2. Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan 3. Perasaan seperti kebas, tersengat listrik, atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubuh
tertentu 4. Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
5. Halusinasi
Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi: 1. Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
2. Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan
seperti sedang bingung 3. Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang 4. Berbicara tidak jelas seperti menggumam
Kejang Umum tonik klonik (epilepsy grand mal) 1. Tipe kejang yang paling sering, dimana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelojotan 2. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja 3. Biasanya didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan, dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga
21
berdengung 4. Pada tahap tonik pasien dapat kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan, dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah 5. Pada saat fase klonik: terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol, atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih, ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.
Kejang Idiopatik nonkonvulsif16,17 1. Tipikal berawal pada masa anak dan mereda pada masa dewasa
2. Hilangnya kesadaran secara singkat yang berlangsung beberapa detik tanpa kehilangan postur
3. Serangan mungkin disertai oleh kedipan mata, gerakan kepala ringan, atau kedutan singkat otot-otot ekstremitas 4. Segera setelah bangkitan, pasien kembali sadar penuh 5. Serangan dapat terjadi beberapa kali sehari dan menganggu prestasi di sekolah 6. Penyakit ini diwariskan sebagai sifat autosomal dominan dengan penetransi (penetrance) inkomplet
Penatalaksanaan11,18 Tatalaksana epilepsi meliputi tiga bidang:
Penegakan diagnosis yang mengenai jenis bangkitan, penyebabnya dengan tepat
Terapi
Rehabilitasi, sosialisasi, edukasi
Tujuan pokok terapi epilepsi adalah membebaskan penderita dari serangan epilepsi, tanpa menganggu fungsi normal susunan saraf pusat agar penderita dapat menjalani kehidupannya tanpa gangguan. Terapi dapat dibagi dalam dua golongan:
a. Terapi kausal Terapi kausal dapat dilakukan pada epilepsi simptomatik yang sebabnya dapat ditemukan, misalnya: 22
Pada infeksi susunan saraf pusat dan selaputnya, diberikan antibiotik atau obat-obat lain
yang dapat memberantas penyebabnya Pada neoplasma dan perdarahan di dalam rongga intrakranium mungkin diperlukan
tindakan operatif Pada gangguan peredaran darah otak, pemberian oksigen mungkin dapat membantu
mengatasi keadaan hipoksia yang terjadi b. Terapi medikamentosa anti kejang Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:
OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua kali
bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan dan
kemungkinan efek sampingnya
Terapi dimulai dengan monoterapi
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama
Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status epileptikus.
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi:
Meningkatkan neurotransmitter inhibisi (GABA)
Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi konduksi ion Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmitter 23
Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya:
Tipe Bangkitan
OAE Lini Pertama
Lena
Valproat
OAE Lini Kedua
Levetiracetam Topiramate
OAE yang Dihindari Carbamazepine Gabapentin Oxcarbazepine
Topiramate Mioklonik
Valproat Topiramate
Levetiracetam
Carbamazepine Gabapentin Oxcarbazepine
Lamotrigine Fenitoin Tonik klonik
Valproat
Fenobarbital
Carbamazepine
Gabapentin Topiramate Karbamazepin Levetiracetam Fenitoin Parsial
Zonisamid Lamotrigin Tiagabin Valproat Primidon Okskarbanzepin Fenobarbital Felbamat
a) Karbamazepin: blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada reseptor NMDA, monoamine, dan asetilkolin b) Fenitoin: blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida dan
24
neurotransmitter yang voltage dependent c) Fenobarbital: meningkatkan aktivitas reseptor GABA, menurunkan eksitabilitas glutamat, menurunkan konduktan natrium, kalium, dan kalsium d) Valproat: diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang konduktan kalsium (T) dan kalium e) Levetiracetam: tidak diketahui f) Gabapentin: modulasi kalsium channel tipe N g) Lamotrigin: blok konduktan natrium yang voltage dependent h) Okskarbazepin: blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, modulasi aktivitas channel i) Topiramat: blok sodium channel, meningkatkan influx GABA-mediated chloride, modulasi efek reseptor GABA j) Zonisomid: blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi glutamat Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang dewasa penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE, antara lain: Syarat umum yang meliputi: -
Penghentian OAE telah didiskusikan terlebih dahulu dengan pasien atau keluarganya
dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkita
-
Gambaran EEG normal
-
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6 bulan
-
Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang
bukan utama
Kemungkinan kekambuhan setelah penghentian OAE -
Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya
-
Epilepsi simptomatik
25
-
Gambaran EEG abnormal
-
Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan
-
Penggunaan OAE lebih dari 1
-
Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
-
Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
-
Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya bila penderita telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.
Berikut ini adalah pertolongan pertama yang harus dilakukan bila menemukan penderita yang mengalami kejang: -
Jangan takut, jangan panik, utamakan keselamatan dan bertindak tenang. Pindahkan barang-barang berbahaya yang ada di dekat pasien. Jangan pindahkan pasien kecuali berada dalam bahaya. Longgarkan kerah kemeja atau ikat pinggang agar memudahkan pernafasan.
-
Jangan masukkan apapun ke mulut pasien, atau benda keras di antara gigi karena benda tersebut dapat melukai pasien.
-
Bila pasien muntah atau mengeluarkan banyak liur, miringkan kepala pasien ke salah satu sisi.
-
Observasi kondisi kejang. Perhatikan keadaan kesadaran, warna wajah, posisi mata, pergerakan keempat anggota gerak, dan suhu tubuh, waktu saat kejang mulai dan berakhir, serta lamanya kejang.
-
Tetap di samping pasien sampai keadaan pasien pulih sepenuhnya. Bila setelah kejang berakhir tidak ada keluhan atau kelemahan, maka pasien dapat dikatakan telah pulih. Namun bila pasien mengalami sakit kepala, terlihat kosong atau mengantuk, biarkan pasien melanjutkan istirahatnya. Jangan mencoba memberi stimulasi pada pasien jika keadaan pasien belum sepenuhnya sadar. Biarkan pasien kembali pulih dengan tenang.
-
Obat supositoria dapat diberikan untuk menghentikan kejang.
Segera cari pertolongan medis/ rumah sakit bila: -
Kejang berlangsung selama 2-3 menit
-
Kejang yang diikuti kejang berikutnya tanpa ada fase sadar diantaranya
26
-
Pasien terluka saat kejang
Pencegahan Hingga saat ini tidak ada cara untuk mencegah epilepsi, karena kebanyakan kasus terjadi tanpa diketahui penyebabnya.
Prognosis Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas dari serangan paling sedikit 2 tahun, dan bisa lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak mengalami remisi meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik-klonik dan sawan parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi.11 Pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi mental, dan gangguan psikiatri dan neurologik -> prognosis jelek. Penderita epilepsi memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi daripada populasi umum. Penyebab kematian pada epilepsi:11 -
Penyakit yang mendasari dimana gejalanya berupa epilepsi, missal: tumor otak, stroke Penyakit yang tidak jelas kaitannya dengan epilepsi yang ada, missal: pneumonia Akibat langsung dari epilepsi: status epileptikus, kecelakaan sebagai akibat bangkitan epilepsi dan sudden unexpected death
Komplikasi Komplikasi yang dapat timbul saat terjadinya kejang umum tonik klonik adalah:19 Trauma oral Dapat terjadi maserasi lidah, bibir, atau pipi. Trauma kepala Fraktur tengkorak, kontusio, hematoma subdural atau epidural dapat disebabkan oleh jatuh atau karena aktivitas klonik. Fraktur 27
Fraktur kompresi vertebra thorakal atau lumbar dapat terjadi asimptomatik, dan lebih sering pada orang tua. Pneumonia aspirasi Aspirasi bahan sekresi atau muntahan dapat terjadi saat refleks-refleks protektif normal jalan napas mengalami inhibisi post-iktal, dan hal ini dapat berbahaya.
Kesimpulan Berdasarkan kasus dan pembahasan yang telah dijelaskan, seorang laki-laki 19 tahun dengan keluhan mengalami kejang-kejang 30 menit yang lalu, setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan bahwa laki-laki tersebut menderita penyakit Epilepsi umum dengan tonik klonik.
Daftar Pustaka 1. Ramadhani D, Ong HO, editors. Fisiologi manusia: Dari sel ke sistem. 8th ed. Diterjemahkan dari: Sherwood L. Introduction to human physiology. 8th ed. Jakarta: EGC; 2012. P. 4-6. P.326-38. 2. Albert B, Johnson A, Lewis J, Morgan D, Raff M, Robert K, et al. Molecular biology of the cell. 6th ed. New York: Garland Science; 2015. P. 1-4, 963-6. 3. Goodman SR. Medical cell biology. 3rd ed. California: Elsevier; 2012. P. 1-6. 4. Clark DP, Pazdernik NJ. Molecular biology. 2nd ed. Oxford: Elsevier; 2013. P. 3-9. 5. Karp G. Cell and molecular biology. Concepts and experiments. Oxford. P. 19. 6. Netter FH. Atlas of human anatomy. 6th ed. Philadelphia: Saunders; 2014 7. Paulsen F, Washcke J. Sobotta, General Anatomy and Musculoskeletal System. 23rd ed. Munchen: EGC; 2010. 8. Pengukur Kuantitas Nyeri. MedUnhas [seri online] 2016 [diunduh 24 Desember 2018]. Available:https://med.unhas.ac.id/fisioterapi/wpcontent/uploads/2016/12/PENGUKURA N=KUANTITAS-NYERI.pdf
28
9. Satyanegara, Arifin MZ, Hasan RY, Abubakar S, et al. Ilmu Bedah Saraf. Edisi ke-5. Jakarta: PT Gramedia; 2014. Hal. 337. 10. Markam S. Penuntun Neurologi. Jakarta: Binarupa Aksara; 2004. Hal. 41-8. 11. Annegers JF. The epidemiology of epilepsy. In: Wylie E editor. The treatment of Epilepsy. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. P. 131-8. 12. Hauser SL, editors. Harrison’s neurology in clinical medicine. 2nd Ed. United States: McGraw Hill Medical; 2010. P. 222-35. 13. Ropper AH, Brown RH. Adam’s and victor’s principle of neurology. 8th Ed. United States: McGraw Hill Medical; 2005. P. 271-81. 14. Goldstein LH, Chalder T, Chigwedere C, Khondokter MR, Moriarty J, Toone BK, et al. Cognitive-behavioral therapy for psychogenic nonepileptic seizures. [homepage on the internet].2010
June
15
[cited
2018
Dec
24].
Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2905892 15. Ko DY. Epilepsy and Seizures. Medscape [seri online] 5 October 2018 [diunduh 24 December 2018]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1184846overview#a5 16. McPhee SJ, Ganong WF. Penyakit sistem saraf. Dalam: Dany F, penyunting. Patofisiologi penyakit: pengantar menuju kedokteran klinis. Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2010.h.191-4. 17. Ginsberg L. Epilepsi. In: Safitri A, Astikawati R, editor. Neurologi. Jakarta: Erlangga; 2008.h.83 18. Weiner HL, Levitt LP. Kejang. Dalam: Suwono WJ, penyunting. Buku saku neurologis. Jakarta: EGC; 2001.h.95-104. 19. Browne TR, Holmes GL. Handbook of Epilepsy. Edisi 4. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2008.
29