B - 17620129 - Iqbal Fatkhul Akbar - .pdf

  • Uploaded by: Ahmad Panji Baihaqi
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View B - 17620129 - Iqbal Fatkhul Akbar - .pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 51,847
  • Pages: 132
MAKALAH JASA EKOSISTEM PERTANIAN

Di susun oleh :

Iqbal Fatkhul Akbar (17620129)

Jurusan Biologi Fakultas sains dan teknologi Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang 2010

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT sebab karena limpahan rahmat serta anugerah dari-Nya kami mampu untuk menyelesaikan makalah kami dengan judul “Jasa Ekosistem Pertanian” ini.

Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi agung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.

Selanjutnya dengan rendah hati kami meminta kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini supaya selanjutnya dapat kami revisi kembali. Karena kami sangat menyadari, bahwa makalah yang telah kami buat ini masih memiliki banyak kekurangan.

Kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak yang telah mendukung serta membantu kami selama proses penyelesaian makalah ini hingga rampungnya makalah ini. Demikianlah yang dapat kami haturkan, kami berharap supaya makalah yang telah kami buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.

Kediri, 17 Mei 2018

Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Daftar Isi BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan 1.3 Manfaat BAB II. PEMBAHASAN 2.1 Kajian Keislaman Ekosistem Pertanian 2.2 Pengertian Jasa Ekosistem 2.3 Karakteristik Ekosistem Pertanian 2.4 Jasa Ekosistem Pertanian 2.5 Analisis Jasa Ekosistem Pertanian 2.6 Keberlanjutan Ekosistem Pertanian BAB III. KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sistem pertanian di berbagai belahan dunia telah mengalami evolusi sepanjang abad sebagai dampak kemajuan teknologi dan meningkatnya pengetahuan manusia. Diawali dengan kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan sistem pertanian berkembang menjadi pertanian primitif, pertanian tradisional,

hingga

ke

pertanian

modern. 1

Kelompok

ilmu-ilmu

pertanian mengkaji pertanian dengan dukungan ilmu-ilmu pendukungnya. Karena pertanian selalu terikat dengan ruang dan waktu, ilmu-ilmu pendukung, seperti ilmu tanah, meteorologi, teknik pertanian, biokimia, dan statistika juga dipelajari dalam pertanian. Usaha tani (farming) adalah bagian inti dari pertanian karena menyangkut sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budidaya. "Petani" adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan usaha tani,

2

pertanian merupakan hal penting dalam suatu negara sektor pertanian menempati posisi sangat penting dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja (yang sustainable ) dalam kerangka pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan. 3

Jasa ekosistem pertanian selain berfungsi untuk menopang ekonomi dan pangan, juga memiliki karakteristik yang unik dan berbeda pada beberapa tempatnya, baik organisme yang tinggal di tempat tersbut atau pemanfaatnya yang berbeda beda. Akan tetapi hal ini harus dibarengi dengan penjagaan terhadap ala supaya jasa ekosisem pertanian ini dapat terus dimanfaatkan, sifat semena mena 1

https://pertanian.pontianakkota.go.id/artikel/29-bersahabat-dengan-lingkungan-melalui-pertanianberkelanjutan.html 2 https://id.wikipedia.org/wiki/Pertanian 3 Iwan Nugroho, 2005 Aspek Kelembagaan dalam Kebijakan Sektor Pertanian1

yang kita lakukan dapat merusak alam. Revolusi pertanian gelombang pertama yang dicirikan oleh sistem pertanian menetap namun masih bersahabat dengan alam, memiliki titik lemah karena pencapaian produktivitas yang masih rendah. Terjadinya krisis pangan yang melanda negara-negara Asia (1950-1960-an) telah menimbulkan respon yang kurang terencana dan bersifat spontan. Upaya mengatasi krisis pangan dilakukan dengan Program Padi Sentra, yang merupakan awal revolusi hijau (green revolution) di Indonesia atau disebut Revolusi Pertanian Gelombang Kedua. Pada periode hingga 1979 pengelolaan pertanian khususnya hama serangga didekati dengan obatobatan kimia pembunuh masal, yang merupakan produk impor dari luar. Dampak negatif yang sangat dirasakan adalah munculnya hama biotipe baru dari famili serangga, seperti kasus serangan wereng4 1.2

Tujuan pembuatan makalah ini diantaranya adalah sebagai berikut 1. Mengetahui kajian keislaman ekosistem pertanian 2. Mengetahui pengertian jasa ekosistem 3. Mengetahui karakteristik ekosistem pertanian 4. Mengetahui jasa ekosistem pertanian 5. Menganalisis jasa ekosistem pertanian 6. Mengetahui keberlanjutan ekosistem pertanian

1.3

Manfaat Manfaat yang diperoleh dalam pembuatan makalah ini, semoga tulisan

ini dapat memberikan wawasan baru kepada pembaca pada khususnya dan umumnya bermanfaat bagi bertambahnya ilmu pengetahuan akan jasa ekositem pertanian

4

Tri Pranadji dan Saptana (2005) PENGELOLAAN SERANGGA DAN PERTANIAN ORGANIK BERKELANJUTAN DI PEDESAAN : Menuju Revolusi Pertanian Gelombang Ketiga di Abad 2

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Kajian Keislaman Ekosistem Pertanian Saat ini tampaknya sistem pertanian kita sudah masuk dalam jebakan kompleksitas yang sejak awal tidak terbayangkan, terutama kompleksitas dalam ”pengelolaan serangga”. Seolah sudah menjadi masalah rutin bahwa saat inovasi pertanian dikembangkan, maka saat itu pula masalah pengelolaan serangga hampir selalu membuntutinya. Dengan gambaran itu, seolah-olah dalam sistem pertanian kita tidak ada lagi ruang bebas dari kerumitan mengatasi ”pengelolaan serangga”. Seakanakan berlaku rumus bahwa keberhasilan pengembangan teknologi atau inovasi pertanian identik dengan ”keberhasilan” menghasilkan kerumitan baru dalam pengelolaan masalah serangga. Menjadi hal yang lebih rumit lagi, saat muncul atau menghadapi masalah serangga selalu diselesaikan dengan jurus pamungkas, yaitu pembasmian serangga dengan bahan kimia. Saat masyarakat dunia menuntut produk pertanian organik dan perbaikan terhadap ekosistem pertanian, maka saat itu kita seperti orang kebingungan dan tidak tahu pasti harus berbuat apa.5 Islam sebenarnya telah mengajarkan kepaad kita untuk senantiasa menjaga alam agar hal tersebut tidak terjadi kerusanan sehingga dapat tercapai kebahagiaan bersama Alquran menjelaskan dalam surat al an’am 99 Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan

55

Tri Pranadji dan Saptana (2005) PENGELOLAAN SERANGGA DAN PERTANIAN ORGANIK BERKELANJUTAN DI PEDESAAN : Menuju Revolusi Pertanian Gelombang Ketiga di Abad 2

(perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman. Terkadang secara tidak sadar kita disibukan dan seolah diarahkan untuk mencari ilmu yang baru kita dengar justru di internet, buku, majalah dan sebagainya dan terlupa bahwa di dalam Al Quran terdapat banyak ayat-ayat yang menceritakan hal yang berkaitan dengan semua jenis ilmu dan turunannya yang ada di dunia ini. Termasuk ilmu mengenai pertanian, perkebunan, kehutanan dan perternakan, semua itu sudah tertulis di dalam Al Quran yang isinya sungguh lengkap, hanya saja perlu pendalaman lagi untuk menafsirkannya 6 2.2 Pengertiaan jasa Ekosistem Petani Indonesia pada umumnya menguasai lahan yang relatif sempit, sehingga pendapatan dari usahatani saja sering tidak mencukupi kebutuhan dasar rumah tangga. Selain itu, sifat pertanian yang musiman dan terbatasnya pendapatan dari sektor pertanian menyebabkan rumah tangga di pedesaan mencari pekerjaan di luar sektor pertanian. Bahkan ada kecenderungan kegiatan ekonomi sebagian masyarakat di pedesaan beralih dari sektor pertanian ke luar sektor pertanian 7 Konsep dasar pengelolaan sumberdaya yang kaya dengan biodiversity adalah serupa dengan pengelolaan sumberdaya publik ( public resources ). Sumberdaya publik memiliki karakteristik non-rivalry in consumption , artinya konsumsi seseorang tidak mengurangi benefit dari sumberdaya publik untuk orang lain. Karakteristiknya adalah aggregate demand merupakan penjumlahan vertikal permintaan individu dan dilukiskan dengan kenaikan harga dan jumlah penyediaan konstan. Implikasinya, sekali ditetapkan harganya maka benefit dari sumberdaya publik dengan mudah mengalir kepada orang-orang lain secara gratis ( free-rider ) 6

7

http://labib-alghozy.blogspot.com/2013/07/ayat-ayat-al-quran-mengenai-pertanian.html

Saad Murdy dan Saidin Nainggolan : ANALISIS KEBERAGAMAN USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BEBERAPA TIPE LAHAN USAHATANI DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI

sehingga berpeluang terjadi pelanggaran alokasi. Dalam kebijakan pembangunan nasional, manfaat gratis atau tepatnya murah tersebut tercermin dari pricing policy komoditi pertanian yang lebih rendah dari seharusnya ( undervalue ). Akibatnya, sebagian besar orang kota dan sektor manufaktur turut menikmati limpahan 8 dari penjelasan tersebut

dapat ditarik kesimpulan bahwa Jasa ekosistem

merupakan manfaat yang diperoleh manusia dari berbagai sumberdaya dan proses alam yang secara bersama-sama diberikan oleh suatu ekosistem.. Berdasarkan Millenium Ecosystem Assesment (2005), jasa ekosistem diklasifikasikan menjadi empat kelompok besar yakni: 1. Jasa penyediaan (provisioning) berupa produksi pangan, air bersih, serat, energy dan sumberdaya genetik. 2. Jasa pengaturan (regulating) berupa pengaturan pengendalian iklim, tata aliran air dan banjir, pencegahan dan perlindungan dari bencana, pemurnian air, pengolahan dan penguraian limbah, pemeliharaan kualitas udara, pengaturan penyerbukan alami, serta pengendalian hama dan penyakit. 3. Jasa pendukung (supporting), seperti pendukung siklus nutrient, produksi primer, biodiversitas serta pembentukan lapisan tanah dan pemeliharaan kesuburan. 4. Jasa kultural (cultural), yaitu manfaat spiritual dan rekreasional.

9

2.3 Karakteristik Ekosistem Pertanian

8

9

Iwan Nugroho, 2005 Aspek Kelembagaan dalam Kebijakan Sektor Pertanian1

Belinda Duhita Puspita Areal dengan Potensi Penyediaan Pangan Tinggi dan Sangat Tinggi berdasarkan analisis Peta Daya Dukung Jasa Ekosistem Penyediaan Pangan

Ekosistem pertanian adalah berbagai unit dasar aktivitas pertanian yang terkait secara ruang dan fungsi, yang mencakup komponen biotik dan abiotik dan interaksinya. Sebuah

ekosistem

dari ekosistem kovensional.

pertanian Ekosistem

dapat pertanian

dipandang berada

sebagai di

bagian

tengah-tengah

aktivitas pertanian manusia. Namun ekosistem pertanian tidak terbatas pada lokasi tempat aktivitas pertanian berada (lahan usaha tani), namun juga wilayah yang terpengaruh oleh aktivitas pertanian karena siklus kimiawi maupun rantai makanan. Biasanya ekosistem pertanian, khususnya yang dikelola secara intensif, dicirikan dengan memiliki komposisi spesies yang tidak beragam, rantai energi dan aliran nutrisi yang lebih sederhana dibandingkan yang terjaid di ekosistem alami. Sehingga ekosistem pertanian seringkali dikaitkan dengan peningkatan penggunaan nutrisi yang mengakibatkan eutrofikasi pada ekosistem terkait yang tidak terlibat langsung dalam aktivitas pertanian10 Di bawah ini merupakan ciri-ciri ekosistem buatan (pertanian) sebagai berikut: 1. Terdiri dari tanaman-tanaman utama (monokultur). Spesies lain di sekitar disebut gulma dan petani menggunakan bahan kimia untuk menghancurkan gulma. 2. Keanekaragaman genetik sangat rendah dan jenis tanaman lainnya dimatikan dengan menggunakan rumput pestisida 3. Sinar matahari adalah sumber energi utama untuk autotrof atau tanaman tetapi pupuk buatan, pupuk alam dan nutrisi lainnya secara eksternal dipasok ke tanah. 4. Sederhana dan sering tidak lengkap sebagai spesies lainnya 5. Tidak ada suksesi ekologi

10

https://id.wikipedia.org/wiki/Ekosistem_pertanian

6. Tidak lengkap siklus haranya. Pemanenan tanaman menghilangkan sejumlah besar nutrisi dari tanah membuat tanah yang kurang subur setiap kali setelah panen. 7. Dirancang untuk produktivitas tinggi 8. Tidak berkelanjutan sebagai mayoritas pupuk berasal dari bahan bakar fosil yang tidak terbarukan dan semakin menambah polusi air dan gangguan ekologi lainnya. Contoh ekosistem buatan: sawah dan kebun11

2.4

Jasa ekosistem pertanian Disekitar kita banyak orang yang mengartikan pertanian secara sempit, yaitu

Cuma menganggap sebagai kegiatan bercocok tanaman saja. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang pertanian mengakibatkan pertanian hanya kegiatan untuk mendapatkan kebutuhan pangan saja. Padahal jika kita telusuri, banyak aspek yang sangat berkaitan dengan pertanian, salah satunya aspek lingkungan. Contoh manfaat pertanian dalam lingkungan adalah sebagai penyedia oksigen bagi makhluk hidup. Kebutuhan ini sangat mendasar dan sangat penting dalam keberlangsungan kehidupan makhluk hidup. Seseorang mungkin bisa bertahan beberapa hari tidak makan dan minum akan tetapi mereka tak akan kuat menahan nafas dan bisa bertahan lebih dari 7 menit. Selain itu manfaat lainnya dari pertanian adalah sebagai penyedia air yang bersih melalui siklus hidrologi, hujan yang turun akan ditangkap airnya oleh akar pohon-pohon, kemudian disimpan dalam tanah lalu dikeluarkan melalui mata air yang jernih dari pegunungan. Contoh diatas merupakan sebagian manfaat pertanian bagi lingkungan, jika kita mau mempelajarinya sungguh banyak sekali manfaat pertanian bagi lingkungan. Maka 11

https://tatangsma.com/2015/09/sebutkan-ciri-ekosistem-buatan-pertanian-besertacontohnya.html

dari itu kita sebagai manusia kita seharusnya sadar akan pentingnya pertanian, sehingga setidaknya manusia mau merawat dan mencegah kerusakan dari tumbuhtumbuhan disekitar kita. Bahkan dalam agamapun kita disuruh untuk menjaga lingkungan, dan kalau lingkungan di sekitar rusak maka yang akan menanggung kerugian adalah kita sendiri sebagai makhluk hidup. Dan terdapat lebih banyak manfaat pertanian akan tetapi masyarakat masih belum bisa memanfaatkannya dengan sebaik mungkin oleh karenanya dibutuhkan peran pemerintah dalam pengelolaan lahan pertanian12 Diharapkan pemerintah terus memberikan motivasi dan dukungan kepada para petani dengan memberikan bantuan-bantuan yang di perlukan oleh petani. 2. Diharapkan kepada pemerintah untuk mendukung petani dengan memberikan kebijakan pembangunan infrastruktur dan layanan masyarakat dengan dibangun di areal pertanian sehingga makin terjadinya perluasan lahan padi sawah. 13

2.5

Analisis jasa ekosistem pertanian Jasa ekosistem pertanian bagi manusia sangat banyak ragamnya Yang paling

utama yaitu kebutuhan primer, semuanya bersumber dari pertanian. Sandang Sandang adalah pakaian yang diperlukan oleh manusia sebagai mahluk berbudaya. Pada awalnya manusia memanfaatkan pakaian dari kulit kayu dan hewan yang tersedia di alam. Kemudian manusia mengembangkan teknologi pemintal kapas menjadi benang untuk ditenun menjadi bahan pakaian. Pakaian berfungsi sebagai pelindung dari panas dan dingin. Lama kelamaan fungsi pakaian berubah, yakni untuk memberi kenyamanan sesuai dengan jenis-jenis kebutuhan seperti pakaian kerja, pakaian rumah, untuk tidur dan sebagainya. 14 Pangan

12

Ranita rope KARAKTERISTIK SISTEM PERTANIAN ALAMI ( Natural Farming ) PADI LADANG DI KECAMATAN MOROTAI TIMUR 13 Eka, 2012ANALISIS TINGKAT PENGETAHUAN PETANI TERHADAP MANFAAT LAHAN PADI SAWAH DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI 14 http://indaharitonang-fakultaspertanianunpad.blogspot.com/2013/05/apa-yang-dapat-diberikanoleh-pertanian.html

Pangan adalah kebutuhan paling utama manusia. Pangan dibutuhkan manusia secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Usaha mencukupi kebutuhan pangan di negaranegara berkembang dilakukan secara tradisional atau dengan cara memperluas lahan pertanian yang disebut ekstentifikasi, sedangkan di negara maju, sistem pertanian telah dilakukan dengan cara intensifikasi yaitu cara mengolah pertanian dengan lebih baik dan moderen. Hal itu menyebabkan produksi pertanian negara maju lebih banyak dibanding negara berkembang. Di berbagai masyarakat, bahan makanan pokok memegang peranan utama dalam memenuhi kebutuhan penduduk. Contohnya orang di Sumatera dan Jawa sebagian besar mengkonsumsi nasi sedangkan masyarakat Maluku dan Papua mengkonsumsi sagu.

Papan adalah kebutuhan manusia untuk membuat tempat tinggal. Pada awalnya fungsi rumah hanya untuk bertahan diri. Namun lama kelamaan berubah menjadi tempat tinggal keluarga. Karena itu kebutuhan akan memperindah rumah semakin ditingkatkan.

Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan. Bagian terbesar penduduk dunia bermata pencaharian dalam bidang-bidang di lingkup pertanian, namun pertanian hanya menyumbang 4% dari PDB dunia. Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor - sektor ini memiliki arti yang sangat penting

dalam menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk meskipun hanya menyumbang sekitar 17,3% dari total pendapatan domestik bruto. Kelompok ilmu-ilmu pertanian mengkaji pertanian dengan dukungan ilmu-ilmu pendukungnya. Inti dari ilmu-ilmu pertanian adalah biologi dan ekonomi. Karena pertanian selalu terikat dengan ruang dan waktu, ilmu-ilmu pendukung, seperti ilmu tanah, meteorologi, permesinan pertanian, biokimia, dan statistika, juga dipelajari dalam pertanian. Usaha tani (farming) adalah bagian inti dari pertanian karena menyangkut sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budidaya. Petani adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan usaha tani, sebagai contoh "petani tembakau" atau "petani ikan". Pelaku budidaya hewan ternak (livestock) secara khusus disebut sebagai peternak15

2.6

Keberlanjutan ekosistem pertanian Pertanian berkelanjutan adalah gerakan pertanian menggunakan prinsip ekologi,

studi hubungan antara organisme dan lingkungannya Pertanian berkelanjutan telah didefinisikan

sebagai

sebuah

sistem

terintegrasi

antara praktik

produksi

tanamandan hewan dalam sebuah lokasi dan dalam jangka panjang memiliki fungsi sebagai berikut:[2] 

Memenuhi kebutuhan pangan dan serat manusia



Meningkatkan kualitas lingkungan dan sumber daya alam berdasarkan kebutuhan ekonomi pertanian



Menggunakan sumber daya alam tidak terbarukan secara sangat efisien



Menggunakan sumber daya yang tersedia di lahan pertanian secara terintegrasi, dan memanfaatkan pengendalian dan siklus biologis jika memungkinkan

15

http://indaharitonang-fakultaspertanianunpad.blogspot.com/2013/05/apa-yang-dapat-diberikanoleh-pertanian.html



Meningkatkan kualitas hidup petani dan masyarakat secara keseluruhan

Namun tahap menuju pertanian berkelanjutan seringkali dipandang sebagai sebuah tahapan dan bukan sebagai akhir. Beberapa menganggap bahwa pertanian berkelanjutan yang sebenarnya adalah yang berkelanjutan secara ekonomi yang dicapai dengan: penggunaan energi yang lebih sedikit, jejak ekologi yang minimal, barang berkemasan yang lebih sedikit, pembelian lokal yang meluas dengan rantai pasokan

pangan

singkat, bahan

pangan

terproses yang

lebih

sedikit, kebun

komunitas dan kebun rumah yang lebih banyak, dan sebagainya 16

Keberlanjutan pertanian.

[6]

Praktik

bisa yang

dianggap bisa

sebagai

menyebabkan

pendekatan

ekosistem

kerusakan

jangka

dalam panjang

terhadap tanah, termasuk pengolahan tanah berlebih yang mampu memicu erosi, dan irigasitanpa drainase yang cukup yang mampu menyebabkan salinisasi tanah.

Faktor yang paling penting dalam pendayagunaan sumber daya alam di suatu lahan adalah cahaya matahari, udara, tanah, dan air. Faktor tanah dan air, baik kualitas maupun kuantitasnya, merupakan yang paling mudah dipengaruhi aktivitas pertanian manusia. Meski udara dan cahaya matahari tersedia di berbagai tempat di bumi, tanaman juga bergantung pada nutrisi tanah dan keberadaan air. Ketika petani menanam dan memanen tanaman, mereka memindahkan nutrisi tanah. Tanpa pengembalian, lahan akan menderita kekurangan nutrisi dan menjadi tidak bisa digunakan atau mengalami pengurangan hasil pertanian. Pertanian berkelanjutan amat bergantung

pada

pengembalian

nutrisi

ke

tanah

dengan

meminimalisasi

penggunaan sumber daya alam non-terbarukan seperti gas alam (yang digunakan sebagai bahan baku pupuk) dan mineral (seperti fosfat). Sumber nitrogen bisa didapatkan dengan cara:  16

mendaur ulang sampah seperti kotoran hewan ternak https://id.wikipedia.org/wiki/Pertanian_berkelanjutan



menumbuhkan

tanaman legum dan

tanaman

lain

yang

bersimbiosis

dengan bakteri pengikat nitrogen 

produksi

nitrogen

industri

dengan

menggunakan proses

Haber menggunakan hidrogen yang biasanya didapatkan dari gas alam, namun gas hidrogen sesungguhnya bisa didapatkan dengan elektrolisis air menggunakan listrik dari sumber terbarukan seperti sel surya dan kincir angin 

merekayasa genetika tanaman non-legum untuk membentuk simbiosis dengan bakteri pengikat nitrogen, atau mengikat nitrogen tanpa simbiosis sama sekali

BAB II KESIMPULAN Kesimpulan yang didapat pada pembuatan makalah ini adalah 1. Islam mewajibkan manusia untuk senantiasa menjaga alam hal tersebut termaktub dalam surat 2. Jasa ekosistem dapat diartikan sebagai pemamfaatan hasil yang bermanfaat dari bumi untuk keberlangsungan hidup manusia 3. Karakteristik pada lahan pertanian saling berbeda di setiap tempat, misalnya tanaman jagung yang cocok berada bertempat yang kering dan padi yang bertempat pada tempat lembab sampai tergenang air 4. Jasa ekosistem sangat berguna bagi masyarakat akan tetapi pemanfaatannya harus lebih diaawasi sehinga pemanfaatan dapat dilakukan terus menerus da tidak terjadi kerusakan 5. Keberlanjutan ekosistem dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa cara yang ramah lingkungan seperti mengurangi penggunaan bahan kimia dan beralih ke bahan alami

DAPUS

Belinda Duhita Puspita Areal dengan Potensi Penyediaan Pangan Tinggi dan Sangat Tinggi berdasarkan analisis Peta Daya Dukung Jasa Ekosistem Penyediaan Pangan

Eka, 2012ANALISIS TINGKAT PENGETAHUAN PETANI TERHADAP MANFAAT LAHAN PADI SAWAH DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI Vol.2 No. 2

https://pertanian.pontianakkota.go.id/artikel/29-bersahabat-dengan-lingkunganmelalui-pertanian-berkelanjutan.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Pertanian

http://labib-alghozy.blogspot.com/2013/07/ayat-ayat-al-quran-mengenaipertanian.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Ekosistem_pertanian https://tatangsma.com/2015/09/sebutkan-ciri-ekosistem-buatan-pertanian-besertacontohnya.html

http://indaharitonang-fakultaspertanianunpad.blogspot.com/2013/05/apa-yang-dapatdiberikan-oleh-pertanian.html

http://indaharitonang-fakultaspertanianunpad.blogspot.com/2013/05/apa-yang-dapatdiberikan-oleh-pertanian.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Pertanian_berkelanjutan Iwan Nugroho, 2005 Aspek Kelembagaan dalam Kebijakan Sektor Pertanian1

Tri Pranadji dan Saptana (2005) PENGELOLAAN SERANGGA DAN PERTANIAN ORGANIK BERKELANJUTAN DI PEDESAAN : Menuju Revolusi Pertanian Gelombang Ketiga di Abad 2 Payumo Dkk, 2018 Managing Agricultural Research for Prosperity and Food Security in 2050: Comparison of Performance, Innovation Models and Prospects

Ranita rope KARAKTERISTIK SISTEM PERTANIAN ALAMI ( Natural Farming ) PADI LADANG DI KECAMATAN MOROTAI TIMUR Vol. 3. N0 1 Saad Murdy dan Saidin Nainggolan : ANALISIS KEBERAGAMAN USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BEBERAPA TIPE LAHAN USAHATANI DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI Vol. 2. NO. 1

Takaew dkk, Molecular diversity of tomato thrips, Ceratothripoides claratris (Shumshur) (Thysanoptera: Thripidae) populations found in Thailand using PCRSSCP

LAMPIRAN

KARAKTERISTIK SISTEM PERTANIAN ALAMI (Natural Farming) PADI LADANG DI KECAMATAN MOROTAI TIMUR Ranita Rope Staf Pengajar FAPERTA UMMU-Ternate, e-mail: -

ABSTRAK Trand dunia dengan konsep back to nature, terutama negara maju dengan korbanan triliun nilainya, hanya ingin mengembalikan lahan-lahan pertanian yang telah tercemar akibat penggunaan teknologi revolusi hijau. Apabila secara alami di lestarikan Konsep pertanian alami, maka sistem pertanian alami memiliki karakteristik sangat ekonomis, karena meminimalkan penggunaan input (hanya terdirir dari benih dan tenaga kerja). Motivasi petani untuk tetap melestarikan sistem pertanian alami padi ladang karena nilai yang melekat pada hasil panen (beras) yang disebut Tamo Majou. Tamo artinya beras, Majou adalah Tuhan, yang dipahami oleh petani bahwa Tuhan adalah Penguasa Segalanya tidak ada yang bisa Menyamai-Nya, sehingga nilai pangan yang dihasilkan dari hasil panen pertanian alami padi ladang adalah beras nomor satu yang tidak ada bandingnya. Istilah lain yang dikenal adalah Tamo Maloha yang artinya beras terbaik. Nilai tradisi lainnya yang melekat pada produk (beras) yang dihasilkan oleh sistem pertanian alami padi ladang adalah merupakan bahan baku olahan untuk sajian adat seperti Waji, isi proco sigi, dll. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem pertanian padi ladang yang dikembangkan oleh petani di desa Mira memiliki karakteristik sistem pertanian alami yang dijadikan model sistem pertanian masa depan. Kata Kunci: Jagung Pulut dan Pupuk Kalium I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Morotai Timur pulau Morotai kabupaten Halmahera Utara Propinsi Maluku Utara memilki Luas wilayah 362,8 km2 dari 2314,9 km2 luas wilayah pulau Morotai, terletak antara 128° 15' – 128° 48' BT dan 2 °00' – 2 ° 40' LU. Morotai Timur terdiri dari desa Sabatai Tua, Daeo, Jububu, Sambiki, Sangowo, Rahmat, Mira dan Wewemo dengan ibukota kecamatan berada di desa Sangowo. Keadaan topografi kurang dari 300 meter DPL dengan jenis tanah aluvial dan berbukit. Ciri iklim tropis dengan temperatur yang tinggi dan merata karena berada dibawah garis katulistiwa, jumlah kelembaban udara yang tinggi, kekuatan angin yang rendah, curah hujan rata-rata 1500-2000 mm per tahun. Curah hujan tertinggi pada bulan Mei dan terendah pada bulan Oktober. Sedangkan bulan

Agustus, September dan Oktober adalah bulan kering. (BPS, 2008). Secara umum pulau Morotai mengalami curah hujan yang senantiasa turun sepanjang tahun dan dapat dikatakan konstan, dilihat dari terdapat hutan-hutan yang hijau atau hutanhutan hujan (rain-forest) yang subur dan hijau. Tipe hutan tropis pulau Morotai mirip dengan Sulawesi Utara dengan jenis phisionomi, terdiri dari hutan-hutan heterogen dengan pepohonan tinggi, hijau dan lebat pada tanah-tanah subur dan lembab, misalnya di Minahasa terdapat sekitar 600 jenis pohon, 200 jenis tetumbuhan menjalar, 400 jenis semak ditambah lagi dengan 100 jenis pepohonan yang tumbuh pada tempat-tempat pegunungan sampai pada pepohonan tinggi kurang lebih 40-50 meter. Bahkan pohon menjalar seperti rotan tingginya dapat mencapai 1000-1500 meter.

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

Tanaman-tanaman hutan yang pokok untuk kebutuhan produksi dan konsumsi bagi manusia adalah damar, rotan, beberapa jenis kayu seperti kayu besi, sagu, kelapa, bambu, cengkih, pala, dan tanaman pangan diantaranya padi ladang, pisang, ubi kayu, ubi jalar dan gandum yang seluruhnya bejenis variatas lokal. Di pesisir pantai juga dihiasi berbagai karakteristik tumbuhan hutan sebagai pagar hijau dengan jenis rhizophora, combretacceae, meliaceae, rubiceae, acathaceaedan palmae (Baretta,1917). Padi (Oriza sativa L) adalah jenis tanaman serealia yang dibudidayakan di lahan kering, sawah dan lahan pasang surut, dengan syarat tumbuh pada ketinggian lahan sampai 1300 meter di atas permukaan laut, dan membutuhkan suhu rata-rata 28-38 0 C dan membutuhkan sinar matahari yang cukup.(Soemartono dalam Sianipar,2000). Dalam berbagai literatur dijelaskan juga bahwa tanaman padi apakah padi sawah maupun padi ladang membutuhkan cukup air pada fase-fase tertentu, sehingga dalam tahap penanaman padi biasanya dilakukan pada musim hujan. Biasanya untuk padi ladang dilakukan penanaman sekali dalam setahun dan menurut Visser (1984) bahwa para petani di Sahu Kecamatan Morotai Timur biasanya melakukan penanaman pada bulan Agustus dan September, sejalan dengan itu Baretta (1917) sebelumnya juga telah menjelaskan bahwa suku Alifuru yang merupakan penduduk asli Halmahera dan Morotai biasanya masuk hutan pada bulan Agustus dan September untuk melakukan kegiatan bercocok tanam baik tanaman pangan maupun lainnya. Padi sawah dapat dilakukan tiga kali dalam setahun, misalnya dilakukan oleh petani di kabupaten Sragen, sebagaimana yang diuraikan oleh Abdullah(2007) bahwa pada penanaman musim I, berlangsung dari bulan November hingga Februari, sedangkan pada musim II biasanya berlangsung dari bulan Maret hingga Juni , dan pada musim III, biasanya berlangsung pada bulan Juli hingga Oktober, dan ini berlangsung setiap tahun. Secara fisiologi tanaman padi dalam tahapan-tahapan pertumbuahan dikenal dengan beberapa fase, yakni fase vegetatif dan generatif. Ditandai dengan munculnya

Volume 6 Edisi 1 (Mei 2013)

berbagai organ tanaman, seperti akar,batang, daun,bunga dan biji. Fukuoka (1978) menjelaskan bahwa ada teori tentang tanaman padi jika terdapat daun ke empat yang menunjukan paling panjang berarti tanaman itu paling baik pertumbuhannya dan akan memberikan produksi yang baik, tetapi kenyataannya di lapangan menjelaskan lain bahwa pada daun kedua atau jika menunjukan paling panjang diantara yang lain berarti tanaman itulah yang memperlihatkan pertumbuhan yang baik dengan demikian hasilnya juga pasti baik dengan melihat jumlah batang per tanaman dan jumlah butir per malai yang terbanyak. Kondisi alam khususnya topografi daratan kecamatan Morotai Timur, sangat mendukung para petani padi ladang tetap eksis melastarikan system pertanian alami padi ladang hingga saat ini. Dibandingkan daerah lain yang cenderung mengembangkan tanaman tanaman yang rakus hara, sehingga menciptakan system pertanian yang tidak alami dan sangat tergantung pada unsure-unsur kimia. Kecenderungan Petani di kecamatan Morotai perlu mendapat perhatian untuk terus dikembangkan dan dilestarikan. Trand dunia saat ini dengan konsep back to nature, terutama Negara maju dengan korbanan triliun nilainya, hanya ingin mengembalikan lahan-lahan pertanian yang telah tercemar akibat penggunaan teknologi revolusi hijau. Oleh Fukuoka (1978) seorang professor mikrobiologi yang berasal dari Jepang, jauh sebelumnya dalam bukunya “The One Straw Revolution, An Introduction to Natural Farming”, telah memperkenalkan konsep pertanian alami. Fukuoka dianggap sebagai ilmuan anti teknologi. Konsep pertanian alami sebenarnya sangat ekonomis, karena meminimalkan penggunaan input (benih dan tenaga kerja). Hasil penelitian membuktikan bahwa sistem pertanian alami padi ladang sangat minimal dalam penggunaan input jika dibandingkan dengan sitem pertanian anorganik ataupun organik. (Tabel 1). Dengan demikian, sistem pertanian alami penting untuk dikaji tentang karakteristiknya sebagai model sistem pertanian masa depan.

38

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

1.2. Tujuan Penulisan Penulisan ini bertujuan untuk membahas tentang karakteristik sistem pertanian alami padi ladang. II. PEMBAHASAN 2.1. Potensi Petani Dan Pertanian Petani di Indonesia lebih dekat dalam pengertian peasant seperti yang didefinisikan oleh Eric R. Wolf (Abar,2002) yakni orang desa yang bercocok tanam dan beternak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka dan menunaikan surplus sosial dan Tabel 1.

Volume 6 Edisi 1 (Mei 2013)

ritualnya. Surplus yang dimiliki oleh petani, yakni hasil yang tidak dikonsumsi untuk kebutuhan keluarga, apabila dijual ke pasar hasilnya tetap dalam konteks untuk pemehuhan kebutuhan dasar mereka yang lain seperti, minyak tanah, garam, lauk-pauk, dll. Apabila petani bergeser menjadi farmer atau pengusaha pertanian yang terlibat dalam proses komersialisasi, petani tetap menjadi pihak yang dirugikan bahkan menjerumuskan petani kedalam kemiskinan yang semakin parah (Penny dalam Abar, 2002).

Penggunaan jumlah dan jenis input pada produksi pertanian alami padi ladang dan padi sawah yang tidak alami

Uraian Total produksi per hektar jumlah benih perhektar jumlah pupuk jumlah pestisida jumlah tenaga kerja pengalaman berusahatani

Mean Padi Ladang

Padi Sawah

Standar Deviasi Padi Padi Sawah Ladang

t hitung

Sig

3629.6528

6354.4376

67.98472

2110.01821

-7.961

0.00

29.1875 0 0 361.18

35.3297 127.8122 0.6852 534.6145

1.76438 0 0 51.21735

5.28492 258.37029 0.27309 165.34588

-7.092 -3.476 -15.322 -6.514

0.00 0.01 0.00 0.00

16.5417

16

11.40727

0

0.195

0.85

Sumber: data primer diolah

Sutriono dkk., (2006) menyatakan bahwa petani adalah manusia yang berusaha mengatur atau mengusahakan tumbuh-tumbuhan dan hewan serta memanfaatkan hasilnya. Mosher (Suratiyah,2006) menggolongkan petani sebagai pelaku usahatani kedalam tiga golongan, diantaranya petani sebagai menejer, sebagai juru tani dan petani sebagai manusia biasa. Petani sebagai menejer akan berhadapan dengan berbagai alternatif yang harus diputuskan mana yang harus dipilih untuk diusahakan. Petani harus menentukan jenis tanaman atau ternak yang akan diusahakan, menentukan cara-cara berproduksi, menentukan cara-cara pembelian sarana produksi, dan pengalaman yang akan berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Petani sebagai juru tani harus dapat mengatur, melaksanakan dan mengawasi kegiatan usahataninya, baik secara tekhnis maupun ekonomis. Di samping itu, tersedianya sarana produksi dan peralatan akan menunjang keberhasilan petani sebagai juru

tani. Petani sebagai anggota masyarakat yang hidup dalam suatu ikatan keluarga akan selalu berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya. Di samping itu, petani juga harus berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat atas diri dan keluarganya. Sebaliknya, petani juga membutuhkan bantuan masyarakat sekelilingnya. Besar kecilnya kebutuhan bantuan terhadap masyarakat sekelilingnya tergantung pada teknologi yang digunakan dan sifat masyarakat setempat. Dalam prakteknya, peranan-peranan tersebut saling kait mengkait, tetapi pasti ada salah satu yang menonjol. Sebagai contoh, pada suatu daerah tidak terdapat jenis komoditi a,b,c, padahal sebetulnya sangat cocok dengan iklim dan jenis tanah setempat dan harganya pun cukup tinggi. Setelah diteliti ternyata komoditas a,b,c tersebut tidak umum diusahakan, bahkan tabu bagi daerah tersebut. Hal ini menunjukan bahwa peranan petani sebagai menejer sangat lemah, tetapi peranan petani sebagai anggota masyarakat yang menonjol. Oleh karena itu, 39

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

petani selalu dihadapkan pada berbagai permasalahan dalam pengambilan keputusan secara tepat. Suratiyah (2006) menjelaskan bahwa petani biasanya melakukan berbagai alternatif dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam pengambilan keputusan diantaranya, 1) secara intuisi yaitu berdasarkan pada keyakinan dan perasaan sendiri, 2) memohon kepada kekuatan gaib misalnya jika ditimpa kesulitan air meminta hujan dengan melakukakn sembahyang, 3) memohon kekuatan duniawi seperti memohon bantuan dukun, 4) secara akal sehat yaitu mendasarkan diri pada pengetahuan dan kemampuan sendiri yang menurut pendapatnya merupakan keputusan yang paling tepat tanpa mendengar pendapat orang lain, 5) secara logika murni, yaitu dengan kemampuan sendiri, membuat beberapa alternatif lalu menimbang-nimbang dan akhirnya mengambil satu keputusan yang tepat dan sesuai. Hal-hal tersebut masih dilakukan oleh sebagian besar petani di Indonesia, karena disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya; 1) kurangnya pengetahuan petani mengenai perubahan harga baik harga faktor produksi maupun produksinya, 2) kurang pengetahuan mengenai teknologi mutakhir, 3)kurangpengetahuanmengenai pemasaran, 4) kurang pengetahuan mengenai pembiayaan jangka pendek maupun jangka panjang, 5).Kurang pengetahuan mengenai; factorroduc trelationship,facto-rfactor relationship ,product-product relationship dan timerelationship. Kaitannya dengan kurangnya pengetahuan bagi petani, berhubungan langsung dengan tingkat pendidikan yang telah dilalui oleh petani, menurut Sukirno(1978) ada beberapa faktor yang menyebabkan perlunya mengembangkan tingkat pendidikan dalam usaha untuk membangun suatu perekonomian. Pertama, pendidikan yang lebih tinggi akan dapat memperluas pengetahuan masyarakat dan mempertinggi rasionalitas pemikiran mereka. Hal tersebut memungkinkan masyarakat mengambil langka yang lebih bijaksana dalam bertindak atau mengambil keputusan, Kedua, pendidikan memungkinkan masyarakat mempelajari pengetahuan-pengetahuan teknik

Volume 6 Edisi 1 (Mei 2013)

yang diperlukan untuk memimpin dan menjalankan perusahaan modern dan kegiatankegiatan modern lainnya, Ketiga, pengetahuan yang lebih baik yang diperoleh dari pendidikan dapat menjadi perangsang untuk menciptakan pembaharuan pembaharuan dalam bidang teknik, ekonomi dan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat lainnya. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan dapat menjamin perbaikan yang terus berlangsung pada tingkat teknologi yang digunakan masyarakat. Akan tetapi, sesungguhnya setinggi apapun tingkat pendidikan, dan seluas apapun pengetahuan seseorang tentang sesuatu hal, ada keterbatasan yang mengungkap bahwa manusia, termasuk para ilmuwan dan petani, adalah makhluk yang sesungguhnya tidak dapat memahami alam secara baik atau seutuhnya, sehingga pemahaman terhadap alam selama ini hanya sepotong-sepotong, yang pada akhirnya dalam pengambilan keputusan terhadap penggunaan sumberdaya alam pun tidak seutuhnya (Fukuoka,1978). Sesunguhnya esensi yang harus diperhatikan adalah tujuan utama petani dalam pertanian, bagaimana memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan memperhatikan aspek sosial budaya, ekologi dan ekonomi. Memahami serta menerapkan tiga aspek tersebutpun masih banyak permasalahan yang tidak terselesaikan hingga saat ini. Sistem pertanian terus mengalami perubahan, baik pengalaman bertambah, jumlah penduduk meningkat dan menurun, peluang dan aspirasi baru muncul, maupun basis sumberdaya alam memburuk atau membaik, sehingga usaha terus-menerus dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang baru. Penyesuaian ini tidak selalu tepat dan akibatnya berbagai budaya secara keseluruhan mengalami disintegrasi. Reijntjes dkk., (1992) mendapatkan bahwa banyak masyarakat pertanian yang terus bertahan hidup dalam beberapa kasus, berkembang pesat dengan mengeksploitasi basis sumberdaya alam yang telah dimanfaatkan oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi. Melalui suatu proses pembaruan dan adaptasi, petani asli setempat telah mengembangkan berbagai macam sistem pertanian, dimana-mana tiap sistem pertanian 40

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

tersebut sering disesuaikan dengan lingkungan ekologis, ekonomi, sosiokultural dan politis, dengan harapan dapat mencapai hasil maksimum, baik produktivitas, keamanan, kesinambungan maupun identitas sebagai petani dalam melakukan aktivitas pertaniannya. Sejumlah contoh-contoh sistem pemanfataan lahan lokal setempat yang di jelaskan oleh Reinjtjes dkk., (1992) yang merupakan bentuk-bentuk pertanian yang menjadi kekuatan petani yang pernah dikembangkan, yakni diantaranya: 1) Kebun hutan, misalnya hutan masyarkat desa telah ada di Jawa sejak abad ke 9 dan terdiri atas 15 % 50% dari total lahan desa yang dibudidayakan. Hutan jenis ini menghasilkan berbagai macam produk dengan nilai gizi yang tinggi (misalnya buah-buahan, sayuran, daging, telur), dan produk-produk lainnya seperti kayu bakar, kayu untuk bangunan dan obat-obatan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam satu desa bisa mencapai 250 spesies yang dikembangkan secara tumpangsari oleh masyarakat desa tersebut. Selain tumbuhan ada juga hewan yang dikembangkan secara bersama dalam sebuah lahan tertentu misalnya kambing dan digembalakan secara lepas maupun ada yang dikandangkan. Sejalan dengan itu Michon (Reijntjes dkk.,1992) menjelaskan bahwa sistem pertanian seperti itu adalah merupakan suatu proses alami daur dari air dan bahan organik yang dipertahankan, karena daun-daun dan ranting yang berguguran dibiarkan membusuk hingga tetap menjaga lapisan atas tanah dengan seresah dan humus sebagai tempat daur ulang unsur hara. Kompos, lumpur kolam ikan dan pupuk hijau secara umum dimanfaatkan pada lahan pertanian. Bentuk-bentuk daur ulang ini cukup memadai untuk mempertahankan kesuburan tanah tanpa pemanfaatan pupuk buatan. Para warga desa mengatur atau memodifikasikan berfungsinya dan dinamika tiap tanaman serta hewan didalam sistem itu, 2) Ladang berpindah. Sistem pertanian berpindah merupakan sistem yang telah dan masih dipraktekan di seluruh dunia, untuk mengelola kesuburan tanah. Ladang berpindah mencakup suatu pergiliran antara tanaman musiman dan masa bera panjang dengan hutan. Lebih lanjut dijelaskan oleh Reijntjes bahwa

Volume 6 Edisi 1 (Mei 2013)

prinsip perladangan yang khas adalah hutan ditebang, dan dibakar untuk membuka lahan dan menyediakan “pupuk” atau “kapur” untuk tanaman. Ladang berpindah ini seringkali bercirikan urutan tanaman dari musim ke musim yang berbeda kebutuhan unsur haranya dan kerentanannya terhadap gulma dan hama. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Conklin (Reijntjes dkk.,1992) bahwa suku hanunoo di Filipina menanam padi dan jagung pada tahun pertama setelah hutan dibuka, kemudian tanaman umbi umbian seperti ubi jalar, singkong, dan umbi lain dan akhirnya pisang, yakni pisang manila (Musa textilis), bambu dan buah-buahan. Lebih lanjut di jelaskan oleh Reijntjes dkk., (1992) bahwa dalam praktek-praktek ladang berpindah di seluruh dunia sangatlah beragam, namun pada dasarnya ada dua sistem, diantaranya : 1) sistem parsial, yang berkembang khususnya di mana kepentingan ekonomi produsen tinggi, misalnya dalam bentuk pertanian dengan tanaman perdagangan, transmigrasi maupun penempatan lahan secara liar, 2) sistem integral, yang berasal dari cara hidup yang lebih tradsional yang menjamin keberlangsungan sepanjang tahun. Dalam dunia pertanian bila tekanan penduduk tidak melampaui daya dukung suatu daerah dengan tingkat teknologi yang ada, maka ladang berpindah dengan sistem integral akan memberikan keseimbangan yang baik antara manusia dan lingkungannya. Mubyarto(1995) mengakui bahwa memang banyak persoalan yang dihadapi dalam dunia petani dan pertanian, namun pertanian bagi petani bukan lagi sekedar way of life (cara hidup), tetapi lebih dari itu merupakan bagian dari hidupnya. 2.2.

Prinsip Pertanian Alami Dan Sistem Perladangan Ada yang beranggapan bahwa istilah antara sistem pertanian alami dan organik adalah sama. Sutanto (2002) menjelaskan istilah antara pertanian alami dengan pertanian organik, prinsipnya sangat berbeda. Prinsip pertanian alami mengisyaratkan kekuatan alam mampu mengatur pertumbuhan tanaman. Pertanian organik campur tangan manusia lebih intensif untuk memanfatkan lahan dan 41

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

berusaha meningkatkan hasil berdasarkan prinsip daur-ulang yang dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat. Metode pertanian alami memerlukan lebih sedikit tenaga daripada metode lain manapun. Metode dimaksudkan tidak menimbulkan polusi dan tidak memerlukan penggunaan bahan bakar fosil. Oleh sebab itu, ada empat azas (prinsip) pertanian alami menurut Fukuoka (1978), yaitu : 1) Tanpa olah tanah. Pada prinsipnya tanah mengolah sendiri, baik menyangkut masuknya perakaran tanaman maupun kegiatan mikrobia tanah, mikro fauna dan cacing tanah. Sebagaimana dijelaskan oleh Utomo (Evizal dkk.,1997) bahwa sistem tanpa olah tanah lebih mampu mempertahankan kesuburan tanah sehingga dalam jangka panjang mampu mempertahankan produktivitas lahan. Manfaat ekonomis yang diperoleh dari sistem ini adalah penggunaan tenaga kerja dan biaya produksi berkurang serta memperpendek periode penyiapan lahan, sehingga produktivitas lahan meningkat. 2) Tidak digunakan sama sekali pupuk kimia. Tanah dibiarkan begitu saja dan tanah dengan sendirinya akan memelihara kesuburannya. Hal ini mengacu pada proses daur-ulang tanaman dan hewan yang terjadi di bawah tegakan hutan, karena pertanian alami adalah sistem pertanian yang tanpa pupuk walaupun pupuk organik sekalipun, sistem pertanian alami meyakini bahwa lahan yang memiliki sejumlah organisme tanah yang dibutuhkan oleh tanaman akan berfungsi mengembalikan tingkat kesuburan tanah secara alami. Dan itu dianggap sebagai kodrat alam (sunatullah). Jadi unsur hara yang ada dalam tanah tidak akan pernah habis, sekalipun telah diserap oleh tanaman dalam satu periode hidup tanaman tertentu, sehingga tidak perlu ada penambahan pupuk sekalipun pupuk organik. 3) Tidak dilakukan pemberantasan gulma baik melalui pengolahan tanah maupun penggunaan herbisida. Pemakaian mulsa jerami, tanaman penutup tanah maupun menggenangan sewaktu-waktu akan membatasi dan menekan pertumbuhan gulma. 4) Sama sekali tidak tergantung pada bahan kimia. Sinar matahari, hujan dan tanah merupakan kekuatan alam yang secara langsung akan mengatur keseimbangan kehidupan alami.

Volume 6 Edisi 1 (Mei 2013)

Pandangan tersebut tidak berarti petani harus pasif terhadap kehendak alam akan tetapi pertanian harus tunduk pada alam dan bukan sebaliknya. Petani harus menanam jenis tanamannya tiap tahun atau bulan disesuaikan perubahan-perubahan cuaca, populasi serangga, kondisi tanah dan banyak faktor alam lainnya. Karena alam di mana-mana berubah terus, kodisinya tidak pernah persis sama setiap tahun bahkan bulan. Hal ini berimplikasi pada bagaimana mengelola kearifan lokal yang didukung oleh kebijakan desentralisasi pertanian di daerah. Prinsip-prinsip pertanian alami tersebut sebenarnya merupakan tradisi sistem pertanian dunia yang hingga saat ini masih diterapkan di beberapa negara Asia dan Afrika, seperti di Laos, India, Tanzania dan beberapa negara lainnya termasuk Indonesia. Sistem pertanian tersebut dikenal dengan sistem perladangan, atas kepentingan ilmiah yang semakin menitik beratkan pada sistem pertanian dan teknologi yang dikembagkan di daerah setempat. Sistem pertanian dan teknologi tersebut dilihat sebagai suatu sumber gagasan yang pantas, kultivar yang beradaptasi serta praktek-praktek yang bisa mengarah pada pemanfaatan sumberdaya setempat secara berkelanjutan. Menurut Reijnjtes dkk.,(1992) pengetahuan lokal pada suatu masyarakat tani yang tinggal dalam suatu daerah khusus berasal dari pengalaman masyarakat setempat dalam bertani masa lalu, baik itu diturunkan dari generasi sebelumnya maupun dari generasi yang sekarang. Ketika teknologi yang dikembangkan di tempat lain telah dipadukan oleh petani setempat sebagai suatu bagian integral sistem pertanian mereka, maka akan menjadi satu bagian pengetahuan lokal setempat, seperti teknologi yang dikembangkan mereka sendiri. Pengetahuan praktis petani tentang ekosistem setempat, tentang sumberdaya alam dan bagaimana mereka berintegrasi tercermin dalam teknik pertanian mereka dan dalam keterampilan mereka memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun, pengetahuan lokal setempat lebih dari apa yang tercermin dalam metodemetode teknis. Pengetahuan lokal juga memerluan wawasan, persepsi, dan intuisi 42

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

yang berhubungan dengan lingkungan meteorologi dan geologi. Ini merupakan kebijaksanaan rakyat dan biasanya menyatu dengan sistem kepercayaan dan norma budaya serta terungkap dalam tradisi dan mitos. Selain itu, metode komunikasi tradisional, misalnya melalui nyanyian atau peribahasa, serta struktur organisasi tradisional dan kerja sama sosial membentuk bagian sistem pengetahuan setempat. Sistem pengetahuan seperti ini tidak mudah dipahami oleh orang yang telah terlatih dengan ilmu pengetahuan barat (Thrupp dalam Reijnjtes dkk.,1992). Sistem perladangan yang pernah ada di Indonesia, yang kini hampir punah, karena pemerintah lebih cenderung memberikan perhatian penuh pada sistem sawah beririgasi, sebenarnya adalah tradisi dunia yang masih terpelihara pada daerah-daerah tertentu di Indonesia. Morotai misalnya, adalah salah satu daerah yang hingga kini masih dikembangkan sistem perladangan secara turun temurun yang masih terpelihara keasliannya hingga kini. Menurut Bareta(1917) sistem perladangan yang dikembangkan di Halmahera dan Morotai oleh suku Alifuru adalah tidak menganut metode perkebunan. Ini kemudian di jelaskan secara detail oleh Heuting (Bareta, 1917) bahwa sistem perladangan tersebut dilakukan pada bulan Agustus atau September, para petani masuk ke hutan untuk membuat kebun. Pohon-pohon ditebang lalu di bakar, atau membersihkan bekas kebun yang lama yang sudah ditumbuhi kembali dengan semak-semak. Pada areal lahan yang dibakar setelah dibersihkan ditanami jagung. Setelah jagung di panen lahan kemudian dibersihkan kembali untuk melanjutkan penanaman padi ladang. Lebih lanjut dijelaskan oleh Bareta (1917) bahwa Belanda telah berusaha meningkatkan cara berfikir orang Alifuru, tetapi perubahan yang dirasakan hanya pada bidang perkebunan tanaman keras, yang pada umum sudah mengalami kemajuan. Tetapi pada sistem perladangan boleh dikata sangat lambat bahkan hampir tidak mengalami perubahan. Dengan demikian, sistem perladangan yang dikembangkan di Morotai hingga kini benarbenar tidak terjamah oleh tehnologi revolusi hijau. Pada beberapa daerah lainnya di Indonesia juga masih tetap dilakukan sistem

Volume 6 Edisi 1 (Mei 2013)

pertanian padi ladang, tetapi ada yang sudah terjamah oleh teknologi modern seperti di Sumatera (Sianipar, 2000). 2.3. Deskripsi Sistem usahatani secara umum Usahatani tidak terlepas dari budaya dan sejarah. Peluang dan hambatan ekologis dan geografis mengenai lokasi, iklim, tanah, tumbuhan, dan hewan setempat tercermin dalam budaya setempat. Hal ini kemudian tercermin dalam pertanian setempat yang merupakan hasil dari suatu proses interaksi antara manusia dan sumber daya setempat. Nilai-nilai masyarakat pedesaan, pengetahuan, ketrampilan, teknologi dan institusi sangat mempengaruhi jenis budaya pertanian yang telah dan terus berkembang (Reijntjes dkk.,1992). Usahatani pada prinsipnya sama dalam berbagai sistem pertanian. Namun setiap usahatani perseorangan memiliki sumberdaya fisik, bilogis, dan manusia yang berbeda, sehingga Reijnjtes dkk., (1991) menyatakan bahwa tiap-tiap usahatani itu merupakan suatu sistem usahatani yang unik yang memiliki ciri khas baik dari aspek tata letak biofisik, dan tata letak manusia. Maksud dari tata letak biofisik adalah bahwa sumberdaya genetik, teknik dan strategi yang bisa dipilih oleh petani dalam menciptakan, mempertahankan, dan mengembangkan sistem usahatani, sebagian besar ditentukan oleh ciri khas dari ekosisitemnya, seperti ekosistem pegunungan, dangkal, asin, dan lain-lain. Petani pada umumnya telah meneliti dengan sebaikbaiknya pilihan-pilihan yang disesuaikan dengan keadaan setempat dan memanfaatkannya dengan baik, sehingga sistem pertanian yang serasi telah berkembang dan mampu bertahan dari generasi ke generasi. Dengan demikian jika dalam memperluas pengembangan sistem pertanian berkelanjutan ke daerah kritis, terpencil, beragam dan pinggiran, harus memahami implikasi kekhasan biofisik yang ada. Terlepas dari tata letak biofisiknya, sistem usahatani juga memiliki ciri khas tata letak manusia, yakni yang digambarkan oleh Reijnjtes dkk., (1992) bahwa suatu sistem pertanian juga ditentukan oleh ciri-ciri sosioekonomi, budaya dan politik, lebih-lebih 43

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

yang berhubungan dengan kerumahtanggaan petani. Setiap rumahtangga merupakan sebuah gabungan yang unik antara laki-laki dan perempuan, orang dewasa dan anak-anak yang semuanya memberikan penggolongan, pengetahuan, tenaga kerja, modal, dan lahan untuk usahatani dan yang mengkonsumsi paling tidak sebagian dari hasil usahataninya. Jadi rumahtangga petani merupakan pusat alokasi sumberdaya, produksi dan konsumsi. Lebih lanjut, dijelaskan oleh Reijntjes dkk., (1992) bahwa rumahtangga itu bisa terdiri dari beberapa subsistem yang kurang lebih otonom, seperti istri dengan subrumahtangga dan atau usahatani. Melalui hubungan luarnya, rumahtanga berfungsi dalam konteks sistem ekonomi, sosial, budaya dan politik yang lebih luas, tetapi juga mempengaruhi sistem sistem ini. Hubungan luar ini, misalkan lewat pasar atau media massa, juga mempengaruhi rumahtangga dan berikutnya sistem usahataninya. Ikatan dengan masyarakat bisa kuat, misalnya, ikatan keluarga, persahabatan, sejarah, dan budaya umum serta pengawasan umum terhadap wilayah bisa saling menghubungkan sistem usahatani perorangan. Anggota masyarakat sering memanfatkan lahan bersama dan saling memberi dukungan dengan saling berbagi dan menukar tenaga kerja, hewan,lahan atau hasil-hasil pertanian. Interaksi ini berfungsi sebagai pembendung risiko dan merupakan bagian dari strategi keluarga atau individu untuk mempertahankan hidup. Anggota keluarga yang lain bisa saja terlibat dalam berbagai jaringan kerja dalam masyarakatnya sendiri maupun antarmasyarakat, sehingga tata letak manusia bersifat dinamis. Oleh karena itu, untuk memahami sistem usahatani, perlu mengetahui apa yang telah dan sedang berubah yaitu perkembangan sejarah dan penyebab serta pengaruhnya. Prisip-prinsip ekonomi dalam ilmu ekonomi juga telah memberikan dasar perencanaan usahatani dan pemilihan alternatif usaha. Agar dapat memperoleh kemampuan dalam mengelola hidup secara baik. Konsep Law of comparative advantage, misalnya, yaitu konsep tentang keunggulan dalam perbandingan. Konsep ini menjelaskan bahwa langkah pertama yang harus diambil petani

Volume 6 Edisi 1 (Mei 2013)

dalam berusaha adalah mempelajari dan menemukan faktor-faktor fisik dan ekonomi yang memberikan keunggulan kepada desa atau daerahnya secara umum dan pada tanahusahanya secara khusus,dibandingkan dengan daerah lain, dengan usaha lainnya. Keunggulan ini mungkin timbul karena kedudukan geografi, kedudukan topografi, atau hubungannya dengan faktor-faktor ekonomi maupun sosial. Langkah selanjutnya yang akan diambil oleh petani adalah dengan memahami hukum Prinsip Substitusi yakni mengajarkan pada petani agar dalam berusahatani untuk mencapai tujuan tertentu menggunakan caracara yang membutuhkan biaya yang paling murah dalam memperoleh hasil yang sama. Karena tiap tujuan usaha dapat dicapai melalui lebih dari satu dengan mendatangkan hasil yang sama, akan tetapi masing-masing cara mempunyai pola dan taraf pembiayaan yang berbeda antara satu dengan lainnya. 2.4. Karakteristik Sistem Pertanian Alami Padi Ladang Penduduk Morotai Timur sebagian besar bekerja sebagai petani dan nelayan, lainnya adalah pekerja srabutan, pegawai negeri dan swasta. Tradisi atau kebiasaan yang dilakukan dalam berusahatani alami hampir sama dengan tradisi bertani alami padi ladang yang digambarkan dalam referensi-referensi dibeberapa negara seperti Philipina, Afrika, laos dan India. Beberapa ritual yang mencirikan sistem pertanian alami juga hampir sama dengan sistem ladang berpindah yang dilakukan oleh masyarakat adat suku dayak. Motivasi petani untuk tetap melestarikan sistem pertanian alami padi ladang karena nilai yang melekat pada hasil panen (beras) yang disebut Tamo Majou. Tamo artinya beras, Majou adalah Tuhan, yang dipahami oleh petani bahwa Tuhan adalah Penguasa Segalanya tidak ada yang bisa MenyamaiNya, sehingga nilai pangan yang dihasilkan dari hasil panen pertanian alami padi ladang adalah beras nomor satu yang tidak ada bandingnya. Istilah lain yang dikenal adalah Tamo Maloha yang artinya beras terbaik. Nilai tradisi lainnya yang melekat pada produk (beras) yang dihasilkan oleh sistem pertanian alami padi 44

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

ladang adalah merupakan bahan baku olahan untuk sajian adat seperti Waji, isi proco sigi, dll. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam tradisi sistem pertanian alami padi ladang yang dikembang oleh petani di kecamatan Morotai Timur yaitu persiapan benih (gisisi), pembersihan lahan, penanaman, perawatan dan panen. 2.4.1. Persiapan Benih (gisisi) Benih adalah simbol dari kehidupan bagi tanaman. Benih juga merupakan salah satu input terpenting dalam proses produksi tanaman. Tanpa benih walau input lainnya tersedia namun tidak akan terjadi proses produksi suatu usahatani tanaman. Begitu pentingnya peran benih maka setiap petani sadar akan arti pentingnya ketersediaan benih. Bagi petani pertanian alami padi ladang di Morotai Timur dan beberapa daerah di Halmahera menyebut benih sebagai gisisi. Gabah padi dari hasil panen yang diperuntukan untuk kebutuhan konsumsi bukan merupakan gisisi tetapi disebut tamo. Gisisi memiliki beberapa jenis yang semuanya adalah tergolong varietas lokal diantaranya gisisi menyan, thathua maboro, malewa, pulo Irian, siang, dodore, campaka dan lain-lain. Semua jenis varietas bukan saja dibedakan oleh jenis nama tetapi nilai yang melekat pada jenis benih tertentu. Nilai yang melekat pada jenis benih tertentu karena didasari atas jenis rasa beras yang dihasilkan dari budidaya benih tersebut, dan mudah tidaknya ditumbuk pada saat hasil panen gabah menjadi beras. Petani memiliki ketrampilan dalam memilih benih yang berkualitas. Bagi petani pemula memperoleh benih dari petani lain dengan cara dibeli atau dipinjam dengan perjanjian yang mengikat. Petani yang bukan pemula biasanya menyediakan benih sendiri dari hasil budidaya sebelumya. Pemilihan benih dari tanaman padi yang siap panen dilakukan sejak masa pertumbuhan. Petani telah mengamati dari awal pertumbuhan vegetatifnya hingga masuk fase generatif. Petani punya keahlian dalam menghubungkan jenis pertumbuhan vegetatif seperti apa bakal menghasilkan bulir gabah yang padat dan berkualitas untuk dijadikan benih. Benih yang berkualitas menurut petani responden adalah

Volume 6 Edisi 1 (Mei 2013)

benih yang gabahnya padat berisi, mengkilap dan tidak ada bekas gigitan serangga atau jenis hama. Areal yang menjadi sumber benih tidak dipanen oleh tenaga luar, tetapi dilakukan oleh petani dalam keluarga agar tetap terjaga untuk tidak tercampur dengan gabah lainnya. Benih yang sudah dipanen dan dilepaskan gabah dari batang bulirnya, kemudian dijemur dalam beberapa jam lalu disimpan dalam kaleng atau petani menyebutnya dengan blek hitam besar. Atau sesuai jumlah benih yang tersedia. Masa penyimpanan hingga kurang lebih 7 bulan mendatang. 2.4.2. Persiapan Lahan Tahapan selanjutnya dalam tradisi bertani alami padi ladang adalah persiapan lahan yang terdiri dari tahap paras, bakar, dan pembersihan. Kegiatan persiapan lahan yang selama ini berlangsung pada petani responden adalah hanya dilakukan dengan tenaga kerja keluarga. Petani sudah harus merencanakan pada saat musim hujan tiba, maka 2 bulan sebelumnya petani sudah harus masuk kebun untuk mulai melakukan aktifitas persiapan lahan tanam. Dengan mengandalkan tenaga kerja keluarga yang biasanya hanya terdiri dari suami istri dengan proporsi pekerjaan yang suda turun temurun melekat dalam tradisi persiapan lahan. Paras dilakukan oleh laki-laki, setelah paras dilakukan dibiarkan 1-2 hari kemudian dilakukan kegiatan bakar rumput bisa dilakukan oleh laki-laki atau perempuan atau dilakukan bersama-sama. Setelah kegiatan bakar rumput selesai dilakukan pembersihan rumput sisa-sisa pembakaran biasanya perempuan lebih ahli dalam melakukan tahapan pembersihan tetapi untuk mempercepat proses pembersihan jika waktu tanam sudah tiba maka biasanya dilakukan bersama-sama . Tetapi jika musim tanam diperkirakan masih lama maka biasanya yang menyelesaikan adalah perempuan atau istri. Suami biasanya melakukan aktifitas lain seperti mempersiapkan bahan "Pola" atau sebutan lumbung tradisional untuk penampungan dan penyimpanan hasil panen. Setelah pembersihan, lahan siap untuk dilakukan penanaman. Alat yang digunakan dalam persiapan lahan tanam hanya golok yang disebut parang atau taito untuk laki-laki dan kuda-kuda atau 45

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

sionga untuk perempuan, kuda-kuda adalah sejenis golok yang berbeda bentuknya dengan parang (lihat gambar lampiran). 2.4.3. Penanaman Kegiatan penanaman dilakukan dengan kebiasaan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Untuk kebutuhan tenaga kerja bervariasi tetapi rata-rata kebutuhan 1 hektar membutuhkan tenaga kerja Laki-laki 15 orang bertugas membuat lubang tanam dengan sebatang kayu yang berdiameter kurang lebih 3-4 cm dengan panjang kurang lebih 1.50 m hingga 2 m. Perempuan berjumlah 7 orang yang mengisi benih dilubang-lubang tanam yang tersedia. Jumlah benih biasanya antara 4 – 6 butir per lubang tanam. Alat yang dibutuhkan selain kayu untuk membuat lubang tanam juga tempat benih. Tetapi tempat benih tidak terlalu dipersolkan jenisnya yang terpenting benih tidak berserakan akibat rusaknya tempat benih tersebut. Yang menjadi kebiasaan dan hingga kini tetap dilakukan petani adalah ada ritual yang dilakukan pada saat penanaman. Dahulu bagi suku alifuru yang beragama animisme percaya bahwa masyarakat asli morotai adalah yang kini disebut "orang moro” akibat dibunuh secara massal sehingga arwahnya bergentayangan dan memiliki tempat sendiri yang abstrak oleh penglihatan manusia. Mereka percaya bahwa arwah-arwah ini akan membantu mereka dalam melakukan aktivitas bertaninya, tetapi telah terjadi perubahan ketika masyarakat telah menganut agama terutama agama Islam ritualnya sudah berbeda dengan yang dilakukan dahulu. Ritualnya ketika proses tanam dilakukan harus ada seseorang yang dituahkan yang dianggap mampu atau dipercaya harus melakukan kegiatan tanam dahulu dengan membaca doa tertentu (ayat-ayat alquran), setelah itu serentak bersama-sama melakukan tradisi bertanam. Laki-laki membuat lubang tanam dan diikuti oleh perempuan yang mengisi benih dilubang tanam tersebut. Ada kepercayaan pada masyarakat tersebut, jika salah memilih orang yang dituahkan untuk mendahului melakukan aktifitas penanaman tersebut maka biasanya yang terjadi adalah proses penanaman tidak bisa selesai dalam sehari dan tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan merasa cepat

Volume 6 Edisi 1 (Mei 2013)

lelah dan benih juga biasanya tidak cukup dalam proses penanaman tersebut. Akibatnya tanaman mungkin akan tumbuh tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tahapan penanaman membutuhkan tenaga kerja luar namun tidak diupah secara tunai, tetapi tradisi yang berlangsung dan dilakukan hingga penelitian dilakukan adalah hanya memberikan makan pada tenaga kerja yang ikut membantu. Ada kesepakatan bahwa kebiasaan ini dikenal dengan aturan "pinjam tangan" artinya petani lain yang pernah membantu dalam proses penanaman maka petani yang telah dibantu harus balik memberikan bantuan yang sama. 2.4.4. Perawatan Setelah benih ditanam, kegiatan selanjutnya adalah perawatan, biasanya jika benih yang ditanam itu baik maka dalam seminggu benih sudah mulai tumbuh. Tahap ini yang membedakan juga dengan sistem pertanian lainnya, pada sistem pertanian lain ada perlakuan-perlakuan lain seperti pemupukan dan pemberian pestisida, tetapi pada sistem pertanian alami padi ladang tidak dilakukan kegiatan tersebut. Apabila terjadi serangan hama seperti hama wereng, petani biasanya sudah lebih awal tahu karena senantiasa mengamati pertumbuhan tanaman padi yang sudah tumbuh. Petani dalam sholat shubuhnya membaaca doa qunut dan diniatkan agar cara yang dilakukan nantinya diridhoi oleh Allah SWT. Setelah sholat shubuh biasanya petani ada yang membawa pasir putih dari pantai, setelah tawaf pada kebun ladang tersebut, petani melemparkan pasir tersebut sebagai syarat mengusirnya, dan sebagian petani lagi menangkap hama tersebut dan melepaskan racun atau bisa yang dimiliki hama wereng tersebut kemudian dilepas tanpa membunuh hama tersebut dengan kepercayaan hama wereng tersebut tidak akan mampu merusak padi mereka karena tidak lagi memiliki kemampuan merusak. Timbul pertanyaan zat apa yang dikandung oleh pasir putih yang diambil petani dari pantai sehingga selama ini dipercaya ampuh membunuh hama wereng?racun atau bisa apa yang dimiliki oleh hama tersebut sehingga dengan melepaskan racun atau bisa maka hama tersebut tidak mempunyai kemampuan merusak. Mungkin 46

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

perlu ada penelitian dari pihak hama penyakit untuk melihat manfaat kegitan yang biasa dilakukan oleh petani tersebut. Pengamatan secara ekstra dilakukan pada saat tanaman padi sudah masuk pada fase generatif. Selanjudnya petani terus menjaga dan mengamati pada lahan yang sudah memasuki fase generatif tersebut, pihak perempuan sambil menunggu masa panen sudah mempersiapkan alat penampungan hasil saat panen seperti pigu dan tatapa (lihat gambar dokumentasi penelitian). Tidak ada tenaga kerja luar yang digunakan dalam tahap kegiatan perawatan. 2.4.5. Panen Panen adalah puncak kegiatan berusahatani. Tahapan ini membutuhkan tenaga kerja luar yang disesuaikan dengan luas lahan yang ditanami padi ladang. Suku alifuru yang beragama animisme biasanya melakukan ritual pada saat panen dengan menyediakan sesajian tertentu, dan hal ini masih melekat dan dilakukan hingga saat ini. Bagi mereka ini adalah wujud rasa syukur atas nikmat Tuhan. Bagi yang beragama Islam hanya membuat sesajian untuk dimakan bersama-sama tenaga kerja luar yang ikut kegiatan panen, sebelumnya dilakukan baca doa bersama-sama. Tetapi bagi yang percaya pada arwah orang moro maka sesajian diletakan di tempat tertentu, kemudian kegiatan panen dilakukan. Alat yang dibutuhkan adalah ani-ani (gugutu), pigu, dan tatapa. 2.5. Karakteristik Petani Padi ladang Penduduk Desa Mira berjumlah 292 kepala keluarga, dan aktif berusahatani padi ladang alami musim tanam Desember 2007 – Mei 2008 hanya 48 petani. Total luas lahan 64.5 ha dengan produksi total mencapai 232,250 kg. Produktivitas padi ladag alami mencapai 3.63 ton/ha Tingkat produktivitas yang dicapai sudah merupakan prestasi luar biasa bagi sistem pertanian yang tetap menggunakan input alami, diantaranya benih varietas lokal dan tidak menggunakan teknologi modern seperti benih unggul, bahan kimia baik Urea,Kcl,Tsp dan pestisida yang merupakan paket revolusi hijau. Hal ini didukung oleh karakteristik petani dalam berusahatani alami

Volume 6 Edisi 1 (Mei 2013)

padi ladang. Karakteristik petani responden yang mencakup umur, pendidikan formal, pengalaman berusahatani, jumlah anggota keluarga dan luas lahan. Sebagai nilai kontrol yang dijadikan pembanding dalam melihat aktifitas bertani alami padi ladang maka usahatani padi sawah yang dikenal sebagai usahatani yang tingkat ketergantungannya terhadap teknologi moderen sangat tinggi, dijadikan sebagai sampel pembandingnya, berjumlah 17 responden dari desa Wewemo. 2.5.1. Umur Umur seseorang menentukan prestasi kerja, sebagaimana dijelaskan Suratiyah (2006), bahwa prestasi kerja atau kinerja orang dipengaruhi oleh umur. Semakin berat pekerjaan secara fisik maka semakin tua tenaga kerja akan semakin turun pula prestasinya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam hal memenuhi tanggungjawab maka semakin tua umur tenaga kerja tidak akan berpengaruh karena justru semakin berpengalaman. Sisi lain, ada yang mengklasifikasikan menjadi umur produktif dan tidak produkstif. Budiyono (1990) menggolongkan kisaran umur antara 10 hingga 60 tahun masih merupakan umur produktif jika dilihat dari prestasi kerja dalam lamanya melakukan aktifitas berusahatani. Karakteristik petani responden padi ladang alami yang diwawancarai rata-rata terbanyak diatas umur 45 hingga 66 tahun. Keadaan umur petani responden terlihat dalam Tabel 2. Keadaan umur yang menjadi karakteristik petani ladang alami tersebut tidak bisa diinterpretasi karena perlu ada penelitian lanjutan kearah tersebut. Kenyataan dilapangan yang terjadi bahwa petani dengan kisaran umur rata-rata bervariasi tersebut dapat melakukan usahatani sesuai kebiasaan bartani yang berlangsung. Ukuran fisik dapat dijelaskan bahwa topografi lahan pertanian yang berbukit tidak menjadi masalah bagi petani responden dengan kisaran umur 56-66 tahun. Dari aspek produktivitas yang dicapai juga tidak dapat dijadikan penilaian spesifik. Umur lebih berkaitan pada aspek ketrampilan pengambilan keputusan karena lamanya berusahatani dan hal ini akan dijelaskan pada bagian pengalaman berusahatani.

47

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

Volume 6 Edisi 1 (Mei 2013)

usahatani secara serius dan benar, dengan tetap mengharapkan hasil yang terbaik. Hal ini didukung oleh status pendidikan formal yang dicapai oleh petani responden. Petani responden desa Mira rata-rata melalui pendidikan formal, walau terbanyak pada tingkat pendidikan SD, tetapi dapat dijelaskan bahwa petani terbebas dari buta huruf. Data pendidikan formal petani responden terlihat dalam Tabel 3. 2.5.3. Pengalaman Berusahatani Data tabel 4.3. terlihat bahwa pengalaman petani responden padi ladang alami bervariasi dari 2 hingga 43 tahun, dan persentase yang juga bervariasi. Data terlihat pada Tabel 4.

2.5.2. Pendidikan formal Aktivitas manapun dilakukan, status pendidikan formal yang dicapai amat berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk menjadi yang terbaik. Demikian halnya dalam berusahatani padi ladang alami. Produksi padi ladang yang menggunakan variatas lokal pada beberapa daerah menggambarkan hasil produksi yang rendah, dan tidak dikelola dengan baik karena biasanya setelah tanam lahan dibiarkan hingga pada saat tiba waktu panen kemudian petani kembali ke kebun untuk memanen hasilnya.Daerah Mira petani responden tidak melakukan hal demikian tetapi mengelola Tabel 2. Keadaan umur petani responden

Petani padi ladang

Umur

Jumlah (orang)

Petani padi sawah

Persentase (%)

Jumlah (orang)

Persentase (%)

23 – 33

7

14,58

1

5,88

34 – 44

11

22,92

8

47,06

45 – 55

16

33,33

6

35,29

56 – 66

14

29,17

2

11,76

Total

48

100

17

100

Sumber: data primer diolah Tabel 3. Data pendidikan formal petani responden

Pendidikan formal

Petani padi ladang Jumlah (orang) Persentase (%)

Petani padi sawah Jumlah (orang) Persentase (%)

SD SMP SMA SARJANA

20 14 13 1

41,67 29,17 27,08 2,08

11 1 5 0

64,71 5,88 29,41 0

Total

48

100

17

100

Sumber: data primer diolah Tabel 4. Data pengalaman berusahatani petani responden

Petani padi ladang

Petani padi sawah

Pengalaman berusahatani

Jumlah (orang)

Persentase (%)

Jumlah (orang)

Persentase (%)

2-15 tahun

26

54,17

0

0

16-29 tahun

12

25,00

17

100

30-43 tahun

10

20,83

0

0

Total

48

100

17

100

Sumber: data primer diolah

Hasil wawancara menggambarkan bahwa semakin lama petani dalam menjalankan usahataninya maka petani makin terbiasa dalam menggunakan keputusan yang diambil

dalam berusahatani. Terbiasa dalam pengambilan keputusan baik penggunakan benih yang berkualitas, keputusan dalam menggunakan tenaga kerja luar yang terampil 48

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

pada tahap penanaman dan panen. Kemampuan memprediksi jumlah alat dan bahan yang digunakan. Semua ini merupakan kebiasaan yang diperoleh dari pengalaman berusahatani yang berulang, rutin dan sudah bertahun-tahun dijalaninya. Pengambilan keputusan penggunaan benih misalnya, jika petani pemula maka benih bersumber dari petani lainnya yang dalam pemilihannya tergantung pada benih yang tersedia. Bagi petani yang sudah pernah melakukan dan hendak melakukan yang kesekian kalinya maka petani yang bersangkutan sudah mampu mengambil keputusan mana sumber benih berkualitas yang digunakan untuk berusahatani berikutnya agar hasil yang dicapai maksimal. Pengalaman petani dalam keputusan menggunakan tenaga luar yang terampil kaitannya dengan pengalaman, bahwa jumlah benih yang sama tetapi kadang cukup bagi musim tanam tertentu dan tidak cukup pada musim tanam yang lain menimbulkan kecurigaan pada tenaga kerja yang kurang terampil dalam menaruh jumlah benih pada lubang tanam. Pada saat memanenpun petani yang kurang terampil dapat menggunakan waktu panen yang cukup lama karena kurang terampil dalam menggunakan ani-ani. Dan yang terpenting dari semua keputusan adalah

Volume 6 Edisi 1 (Mei 2013)

keputusan petani tetap dan terus dalam berusahatani dengan pengalaman yang dialaminya. 2.5.4. Jumlah Anggota Keluarga Hal lain yang amat menentukan petani responden dalam berusahatani adalah jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Semakin banyak jumlah anggota keluarga yang terdapat dalam sebuah keluarga petani maka kebutuhan akan keluarga tersebut semakin banyak. Suratiyah (2006) menjelaskan bahwa hal yang amat menentukan dalam prestasi kerja tenaga kerja keluarga yang tidak diupah adalah besarnya kebutuhan keluarga yang wajib dipenuhi. Dapat dijelaskan bahwa semakin banyak anggota keluarga yang terdapat dalam keluarga petani maka petani sebagai tenaga kerja keluarga akan berfikir untuk bagaimana memenuhi kebutuhan keluarganya dengan melakukan aktivitas ektra untuk menyediakan kebutuhan tersebut. Anggota keluarga yang sudah dewasa diatas umur 20 tahun atau yang sudah menikah dapat menjadi tambahan tenaga kerja keluarga, sehingga jumlah anggota keluarga yang banyak dapat mengurangi tenaga kerja luar yang dibutuhkan pada tahap penanaman dan panen. Data jumlah anggota keluarga petani responden terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Data jumlah anggota keluarga petani responden

Jumlah anggota keluarga 2-6 Orang 7-11 Orang Total

Petani padi ladang Jumlah (orang) 37 11

Persentase (%) 77,08 22,92

48

100

Petani padi sawah Jumlah (orang) Persentase (%) 14 82,35 3 17,65 17

100

Sumber: data primer diolah Tabel 6. Data luas lahan petani responden

Luas lahan

Petani padi ladang Jumlah (orang) Persentase (%)

< 0.5 0.5 – 1 1.5 – 2 >2 Total

Petani padi sawah Jumlah (orang) Persentase (%)

0 32 15 1

0,00 66,67 31,25 2,08

1 14 2 0

5,88 82,35 11,76 0,00

48

100

17

100

Sumber: data primer diolah

49

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

2.5.5. Luas Lahan Lahan merupakan input terpenting dalam berusahatani. Usahatani tertentu sangat ditentukan oleh luas lahan. Lahan yang semakin luas mampu memberikan produksi yang tinggi jika diikuti oleh jumlah tenaga kerja dan modal yang sesuai. Lahan yang luas juga dapat menjadi masalah bagi petani jika jumlah tenaga kerja yang kurang tersedia dan modal yang tidak cukup untuk mengelolanya. Semakin luas lahan semakin tinggi produksi yang dicapai jika diikuti oleh jumlah tenaga kerja dan modal yang sesuai, dan semakin luas lahan dapat juga menurunkan nilai produksi yang dicapai jika tidak diikuti oleh jumlah tenaga kerja dan modal yang tepat karena kurang tepat dalam mengelola lahan tersebut. Data luas lahan yang dimiliki petani

Volume 6 Edisi 1 (Mei 2013)

responden bervariasi. Untuk petani usahatani alami padi ladang memiliki lahan sempit 1 hektar dan terluas 3 hektar. Petani responden padi sawah memiliki luas lahan sempit kurang dari 0,5 hektar dan terluas 2 hektar. Data luas lahan terdapat pada Tabel 6. III. PENUTUP Melestarikan sistem pertanian alami padi ladang di kecamatan Morotai Timur, tidak membutuhkan biaya milyaran atau triliun sebagaimana yang dilakukan oleh negaranegara maju saat ini dalam mengembalikan tingkat kesuburan lahan-lahan pertanian yang sudah tidak produktif akibat penggunaan teknologi yang rakus hara. Sistem pertaniannya memiliki karakteristik alami yang dapat dijadikan model pertanian masa depan.

DAFTAR PUSTAKA Abar, A.Z., 2002. Petani Dalam Perspektif Antropologi Ekonomi, Agro-Ekonomi, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta. 9(1):38-39 Abdullah,W.G.,2007. Studi Komparatif Perilaku Petani Terhadap Resiko Usahatani Padi Non Organik dan Organik di Kabupaten Sragen, Tesis S2 Ekonomi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,Karya tidak dipublikasikan. Adian,D.G.,2006. Pertanian dan Pengetahuan Lokal, dalam Tim Kompas, Revitalisasi Pertanian; Dan Dialog Peradaban. Cet.I;PT, Media Kompas Nusantara, Jakarta. Anonim, 2005. Prospek Dan Arah Pengembangan Agribisnis Padi ; Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Jakarta. Anonim,2011, Materi Kementrian daerah tertinggal pada workshop, Penyusunan Perda Perencanaan Pembangunan Daerah Maluku Utara, BAPEDA Propinsi Maluku Utara. Bareta,J.M., 1917. Halmahera En Morotai, Bewerk near memorie van den Kapitein van den Generalen Staf, Nederland. Beratha, I.N., 1982. Desa, Masyarakat Desa Dan Pembangunan Desa, penerbit Balai Aksara Yudhistira dan Saadiyah Budiyono,A.,1990. Modernisasi Pertanian Kaitannya Dengan Keamanan Ekonomi Pedesaan 19701989: Suatu studi kasus tentang perubahan lembaga hubungan pertanahan dan lembaga hubungan kerja pertanian di Desa Rahayu Yogyakarta, Laporan untuk Toyota Foundation. BPS,2007. Halmahera Utara Dalam Angka, Tobelo. Clarke,W.C., 1978. Kemajuan Masa Lampau:Suatu Sistem Pertanian Tradisional Yang Menunjang Lingkungan, dalam J. Metzner, dan N. Daldjoeni, (Penyunting), Ekoforming, Bertani selaras alam, Yayasan Obor Indonesia Jakarta. Dillon,J.L., and Hardaker,J.B., 1986. Farm Manajemen Research For Small Development, diterjemahkan oleh Soekartawi dan Soeharjo,A., dengan judul Ilmu Usahatani dan penelitian untuk pengembangan petani kecil. Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS), Jakarta. Djuwari, 2003. Ilmu Usaha Tani, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Evizal,R.,Sulastri,R.,dan Sugiatno,1997. Sistem Olah Tanah di Sela Perkebunan Kelapa Untuk Penanaman Padi Gogo, Tanah Tropis, Lampung ,4;145-150. 50

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate)

Volume 6 Edisi 1 (Mei 2013)

Fukuoka, M., 1978. Revolusi Sebatang Jerami; sebuah pengantar menuju pertanian alami,.Judul asli The One-straw revolution :an introduction to natural farming, alih bahasa, Yayasan obor Indonesia , Cet.I; Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Geertz, C. 1974. Involusi Pertanian, Diterjemahkan Oleh : Supomo S. , Bhatara Karya Aksara – Jakarta. Husodo S.Y. 2003. Pemberdayaan Ekonomi Petani melalui LEISA. Makalah seminar nasional :pemberdayaan ekonomi masyarakat petani melalui penerapan konsep LEISA, Fakultas Pertanian UKSW Salatiga. Janzen, D. H., 1973. Ekosistem Pertanian Tropis, dalam Metzner, J., dan Daldjoeni,N.,(penyunting) Ekoforming, Bertani selaras alam, , Yayasan Obor Indonesia Jakarta. Luanne, L., and Timothy A. P.,2006. Agricultural and Resource Ekonomic Review;35,2 ProQuest Agriculture Jurnal.diakses pada thn 2007. Mubyarto, 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian, Edisi ketiga,LP3ES, Jakarta. Planck, U 1989. Sosiologi Pertanian, diterjemahkan oleh : Soentoro S. dan Soeyanto, Yayasan Obor Indonesia Jakarta. Rahardjo 1999. Pengantar sosiologi Pedesaan dan pertanian, Gadja Mada University Press Yogyakarta Redfield,R.,tanpa tahun. The little Community, Peasant Society and Culture, diterjemahkan oleh Dhekidae,D.,1982., Penerbit CV Rajawali, Jakarta. Reijntjes, C.Haverkort B, and ann Waters-bayer 1992. Farming For The future; and instroduction to low- eternal-input and sustainable agriculture, edisi Indonesia, oleh Sukoco, Y., Kanisius Yogyakarta. Rope,R., 2007. Konsep Pertanian Alami: Sebuah Perpektif, Jurnal Sains, edisi I Volume 1, ISSN Universitas Muhammadiyah Maluku Utara. -----------,2008a. Analisis Usahatani Pada Sistem Pertanian Alami Padi ladang Di Kabupaten Halmahera Utara, Tesis, S2 UGM, Yogyakarta -----------,2008b. Analisis Usahatani Pada Sistem Pertanian Alami Padi ladang Di Kabupaten Halmahera Utara, Jurnal AGRIKAN ISSN 1979-6072 volume 2, Edisi 1. Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Maluku Utara. Sianipar, J 2000. Efisiensi Usahatani Padi Ladang dan Jagung di lahan kering Kabupaten Karo, Tesis S2 UGM Yogyakarta. Sianipar J. E. 2001. Efisiensi Produksi pada system usaha pertanian jagung di desa Randuacir kota Salatiga, Tesis S2 UGM Yogyakarta. Suhartini 2007. Kajian Keberlanjutan Sistem Usahatani Padi Semi Organik di Kabupaten Sragen, Disertasi S3 UGM Yogyakarta. Soekardono,2006. Teori Eonomi Produksi Pertanian dan Peternakan,Mataram University Press, cetakan pertama, Yogyakarta. Soetriono,2006 Daya Saing Pertanian Dalam Tinjauan Analisis, edisi Pertama, Bayumedia Publishing, Malang. Soetriono, Suwandari,A., dan Rijanto,2006. Pengantar Ilmu Pertanian, Agraria, Agrobisnis, dan Industri, Edisi Revisi, Bayumedia Publishing, Malang. Sukirno,S.,1978. Ekonomi Pembanguan;Proses,Masalah dan Dasar Kebijaksanan, Penerbit Bota Gorat, Medan. Sutanto,R., 2006. Pertanian Organik; Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan, Cet,V; Kanisius.Yogyakarta. Visser,L.E.,1984., Mijn Tuin Is Mijn Kind., Een antropologische studie van de droge rijstteelt in sahu (Indonesia-halut)., diterjemahkan dalam bahasa inggris dengan judul My Rice Field Is My Child, Social And Territorial Aspect of Swidden Cultivation in sahu, eastern Indonesia., oleh De Coursey, R., Foris publications Dorrecht-Holland/ Providenc U.S.A.

51

PENGELOLAAN SERANGGA DAN PERTANIAN ORGANIK BERKELANJUTAN DI PEDESAAN : Menuju Revolusi Pertanian Gelombang Ketiga di Abad 21 Tri Pranadji dan Saptana Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor 16161

ABSTRACT First Phase Agricultural Revolution was characterized by environmentally-friendly settled farming with its weakness of low productivity. Food crisis hampering Asian countries (1950-1960' s) raised spontaneous responses. Measures to overcome food crisis began with Central Rice Program also called as green revolution in Indonesia or Second Phase Agricultural Revolution. Until 1979, pests control was mainly approached using mass killing chemicals imported from abroad. Negative impact of chemical application was rise of new biotypes of pests such as rice plant hoppers’ attack. Progress in chemical innovation was left behind compared with new biotypes of pests Agricultural practices are managed toward monoculture pattern or single variety to some extent. Based on those problems, it is necessary to manage agricultural system and pests control using a new approach called as Ecological Based Pest Management (EBPM). This approach will be more effective if it is applied along with Third Phase Agricultural Revolution, namely highly competitive organic farming development. Key words : ecological based pest management, organic farming, agricultural revolution, rural areas ABSTRAK Revolusi pertanian gelombang pertama yang dicirikan oleh sistem pertanian menetap namun masih bersahabat dengan alam, memiliki titik lemah karena pencapaian produktivitas yang masih rendah. Terjadinya krisis pangan yang melanda negara-negara Asia (1950-1960-an) telah menimbulkan respon yang kurang terencana dan bersifat spontan. Upaya mengatasi krisis pangan dilakukan dengan Program Padi Sentra, yang merupakan awal revolusi hijau (green revolution) di Indonesia atau disebut Revolusi Pertanian Gelombang Kedua. Pada periode hingga 1979 pengelolaan pertanian khususnya hama serangga didekati dengan obatobatan kimia pembunuh masal, yang merupakan produk impor dari luar. Dampak negatif yang sangat dirasakan adalah munculnya hama biotipe baru dari famili serangga, seperti kasus serangan wereng. Sampai-sampai kecepatan inovasi bahan kimia pembunuh serangga tidak mampu mengimbangi perkembangan biotipe baru serangga tersebut. Sistem pertanian digiring ke arah pola monokultur dan bahkan monovarietas. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diperlukan pengelolaan sistem pertanian dan pengelolaan serangga dengan pendekatan baru, yaitu dengan pendekatan EBPM (Ecologycal Based Pest Management). Pendekatan ini akan lebih efektif jika dikaitkan dengan dijalankannya Revolusi Pertanian Gelombang Ketiga yang visinya adalah pembangunan pertanian organik yang berdaya saing tinggi. Dukungan kebijakan politik pemerintah yang baik, dan kepemimpinan negara yang kuat untuk menjalankan Revolusi Pertanian Gelombang Ketiga secara terarah dan efektif sangatlah dibutuhkan. Kata kunci : pengelolaan serangga berbasis ekologi, pertanian organik, revolusi pertanian, pedesaan

PENDAHULUAN Tulisan ini bertolak dari satu pertanyaan pokok, yaitu mengapa kehidupan kita, terutama pertanian, memasuki permasalahan pengelolaan serangga serumit sekarang ini? Tampaknya ada kesalahan dalam meletakkan visi pembangunan pertanian ke depan. Terkesan kuat bahwa visi pembangunan pertanian Indonesia kurang dilandaskan pada kekuatan alam atau modal alam yang telah

ada. Para pakar dan perancang pembangunan pertanian terlalu hanyut dalam paradigma yang dibangun dari khasanah empirik, hasil penelitian dan kepentingan Barat. Kekuatan alam yang sangat besar yang kita punyai, yang bisa untuk membangun pertanian organik terkemuka di dunia, tampak masih kurang mendapat pertimbangan. Andaikata pemimpin negara ini sejak awal mempunyai mimpi besar bahwa Indonesia akan dijadikan pusat pertanian organik sedunia, atau setidaknya menjadikan pertani-

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 38 - 47

38

an sebagai back-bone seluruh kehidupan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan (Pranadji, 2004), sangat mungkin materi pembicaraan tentang ”pengelolaan serangga” hari ini secara substansial akan sangat berbeda. Kekayaan biodiversitas hutan tropis, berbagai varietas tanaman pangan lokal, dan berbagai jenis hewan dan tanaman (makro dan mikro organisma) bukan saja sangat memungkinkan untuk mewujudkan mimpi tersebut, melainkan dalam pengelolaan serangga kita juga tidak akan banyak membutuhkan bahan kimia berharga mahal yang berasal dari impor. Sayang sekali visi pemimpin negara dalam pembangunan nasional dan pertanian kita selama ini masih jauh dari upaya untuk mewujudkan ”mimpi” tersebut.

saat itulah kita telah ”mengelola serangga” secara manual. Cablek-an tadi menghasilkan pengelolaan yang efektif, karena tidak mengganggu ”sistem kehidupan serangga” dan kehidupan mahluk lain yang berkepentingan dengan nyamuk tadi. Namun jika yang menyerbu puluhan nyamuk, metoda cablek-an tadi tidak akan efisien. Pasang kelambu mungkin suatu pilihan yang lebih baik. Saat itu kita dapat tidur nyenyak, sementara cicak dapat menikmati kehadiran nyamuk di sekitar kita saat tidur. Inilah gambaran Revolusi Pertanian Gelombang (RPG) Pertama, yang dicirikan adanya pertanian yang menetap namun masih bersahabat dengan alam. Kelemahan utamanya adalah tingkat produktivitas yang dicapai relatif rendah.

Saat ini tampaknya sistem pertanian kita sudah masuk dalam jebakan kompleksitas yang sejak awal tidak terbayangkan, terutama kompleksitas dalam ”pengelolaan serangga”. Seolah sudah menjadi masalah rutin bahwa saat inovasi pertanian dikembangkan, maka saat itu pula masalah pengelolaan serangga hampir selalu membuntutinya. Dengan gambaran itu, seolah-olah dalam sistem pertanian kita tidak ada lagi ruang bebas dari kerumitan mengatasi ”pengelolaan serangga”. Seakanakan berlaku rumus bahwa keberhasilan pengembangan teknologi atau inovasi pertanian identik dengan ”keberhasilan” menghasilkan kerumitan baru dalam pengelolaan masalah serangga. Menjadi hal yang lebih rumit lagi, saat muncul atau menghadapi masalah serangga selalu diselesaikan dengan jurus pamungkas, yaitu pembasmian serangga dengan bahan kimia. Saat masyarakat dunia menuntut produk pertanian organik dan perbaikan terhadap ekosistem pertanian, maka saat itu kita seperti orang kebingungan dan tidak tahu pasti harus berbuat apa. Tidak percaya diri (atau rendah diri) dan kurang tanggap terhadap kemungkinan munculnya tuntutan baru dari masyarakat pasar global merupakan bagian dari kegamangan pakar pertanian kita. Gejala rasa ”rendah diri” ini juga terlihat sebagai titik lemah yang masih sangat sulit kita atasi sendiri.

Dengan dalih kemajuan, sekarang ini kita tidak mau pusing dengan kehadiran serangga atau mahluk lain yang kita anggap mengganggu. Sebelum nyamuk atau jenis serangga lain menyerbu, kita sudah siapkan berkaleng-kaleng obat (kimia) pembunuhnya. Obat dan alat pengelola ”nyamuk” tadi sangat mudah didapat. Inilah gambaran masuknya RPG Kedua, yang dicirikan mulai adanya campur tangan berlebihan dan keserakahan manusia untuk menaklukkan alam yang serba kompleks dan besar. Kepentingan mengejar peningkatan produksi, keuntungan ekonomi dan keenakan jangka pendek merupakan ciri menonjol RPG Kedua.

Bagi orang awam seperti penulis, ”mengelola serangga” seperti mengelola kehidupan kita sendiri. Saat ada seekor nyamuk mendekat yang mau menghisap darah kita lalu kita cablek (kita pukul dengan tangan), maka

Gambaran kita dalam mengelola pertanian saat ini berdasarkan imaginasi bahwa ”kehadiran serangga penggangu” telah kita posisikan sebagai ”teroris” yang harus kita hadapi dengan segala cara. Penyediaan obat dan alat pembunuh ”teroris” sudah menjadi bagian bisnis sehari-hari dan mendatangkan keuntungan besar bagi pabrik, pemodal besar, bahan bakunya kita datangkan dari luar negeri, dan pelaku sistem distribusi obat pembunuh ”teroris” tersebut. Dengan mengatas-namakan akan memerangi ”teroris” tanpa disadari kita telah mengarahkan mesin pembunuh serangga untuk menikam sistem pertanian kita dari segala penjuru. Ini adalah satu awal dari rangkaian ancaman ”kematian pertanian” kita di masa datang. Saat ini perkembangan pertanian kita dihadapkan pada dua tuntutan sekaligus, yaitu pasar pertanian global yang menekankan produk sistem pertanian organik di satu sisi,

PENGELOLAAN SERANGGA DAN PERTANIAN ORGANIK BERKELANJUTAN DI PEDESAAN : Menuju Revolusi Pertanian Gelombang Ketiga di Abad 21 Tri Pranadji dan Saptana

39

dan mengembalikan kekuatan alam menjadi bagian utama ”pengelolaan” kehidupan kita secara holistik, termasuk sistem pertanian kita. Dalam hal ini pertanian tidak bisa diserahkan sepenuhnya dalam pengaturan masyarakat pasar (market society), melainkan harus ditempatkan sebagai bagian utama pengatur kehidupan kita sekarang dan (kehidupan generasi) masa datang. Peran pemerintah yang kuat untuk mengendalikan sistem usaha pertanian yang lebih sehat masih sangat dibutuhkan. Pengelolaan serangga harus menjadi bagian dari sistem pengelolaan kekayaan sistem pertanian berbasis biodiversitas tanaman tropis. Untuk itu, pengelolaan serangga ini juga sangat perlu mendapat dukungan partisipasi masyarakat petani dan keseluruhan civil society di pedesaan. Inilah sebagian dari gambaran RPG Ketiga. SERANGGA DAN KRISIS PANGAN Respon yang kurang terencana dan terlalu spontan terhadap krisis pangan bisa dipandang sebagai titik awal ”kesalahan” dalam pengelolaan masalah serangga. Di era 1950-an dan 1960-an negara-negara Asia, termasuk Indonesia, mengalami krisis pangan yang gawat (Rosegrant and Hazell, 2001). Saat itu upaya mengatasi masalah kekurangan pangan dan kemiskinan merupakan hal yang mendesak dan dijadikan prioritas utama program pemerintah. Dalam keadaan terancam oleh kemiskinan dan kelaparan massal, mengelola masalah serangga dengan mempertimbangkan aspek kualitas biodiversitas bagi negara merupakan hal yang terlalu mewah. Di luar gegap gempitanya dinamika politik, akibat rembesan perang dingin antara blok Barat dan Timur, pada masa itu Indonesia telah melakukan upaya mengatasi masalah krisis pangan melalui program Padi Sentra. Inilah awal diterapkannya Revolusi Hijau (Green Revolution) di Indonesia (RPG Pertama), yang utamanya berupa usaha meningkatkan produktivitas tanaman pangan (khususnya padi). Pada RPG Pertama ini kerumitan masalah serangan serangga mulai menjadi bagian dari masalah pertanian, yang untuk mengatasinya waktu itu dilakukan penyemprotan dengan bahan kimia sejenis DDT. DDT digunakan untuk pembasmi hama serangga

yang menyerang tanaman petani dan serangan nyamuk (malaria). Pada masa Orde Baru, di bawah ”payung” atau dominasi blok Barat, program mengatasi krisis pangan terus berlanjut. Dengan payung stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, pada periode 1965/19661978/1979, Program Bimas dan Inmas menjadi andalan untuk memacu produksi pangan (padi) nasional. Pada periode ini serangan hama, khususnya serangga, menjadi ancaman serius. Selain bibit unggul, pupuk kimia, irigasi dan kelembagaan (penyuluhan dan koperasi), penggunaan obat kimia pembunuh serangga semakin tinggi. Bahkan obat-obatan kimia pembunuh serangga secara massal telah menjadi bagian dari paket kredit Bimas. Gambaran ini terus berlanjut hingga pasca swasembada pangan nasional (1984) dan bahkan hingga dilaksanakannya program Supra-Insus akhir 1980-an. Hampir menjadi rumus baku petani, bahwa penanaman padi sawah atau tanaman semusim (terutama hortikultura) secara intensif adalah identik dengan penyemprotan dengan bahan kimia impor. Sampai dengan akhir 1970-an pengelolaan serangga didekati dengan alat pembunuh massal, yaitu bahan aktif atau obat-obatan kimia yang diimpor dari luar. Jangan harap petani yang ikut program Bimas bisa panen jika tidak mengunakan alat penyemprot dan bahan kimia pembunuh serangga. Sampaisampai kecepatan inovasi bahan kimia pembunuh serangga tidak mampu mengimbangi perkembangan berbagai biotipe baru dari famili serangga. Misalnya kasus serangan serangga jenis wereng, selain bahan kimia juga diperlukan pemuliaan varietas baru yang tahan wereng (Varietas Unggul Tahan Wereng atau VUTW). Sulit dibedakan, apakah program Bimas itu sendiri yang menghasilkan biotipe wereng baru ataukah karena adanya varietas padi atau tanaman semusim lain yang menjadi makanan lezat bagi beberapa jenis wereng yang telah tersedia di alam? Akibat sangat agresifnya pemerintah dalam menjalankan program Bimas, lahan petani yang terkena program Bimas seolaholah sudah menjadi ”milik” aparat pemerintah. Jika petani tidak menanam jenis padi unggul nasional yang harus bisa disemprot dengan bahan kimia impor, maka aparat pemerintah boleh secara sepihak membumihanguskan-

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 38 - 47

40

nya. Seakan-akan pemerintah kapan saja bisa memerintahkan ”wereng hijau” untuk membasmi tanaman padi petani yang tidak menanam VUTW atau varietas instruksi pemerintah. Pada periode itu, secara bertahap dan mantap petani telah dididik dan dibiasakan memandang serangga sebagai musuh atau ”teroris besar” yang harus dibunuh di mana saja, kapan saja, dan dengan cara apa saja. Sistem pertanian digiring bukan saja ke pola monokultur, melainkan juga mendekati pola mono varietas. Secara teoritis pola ini sangat rentan terhadap eksplosi serangan hama serangga dan makhluk pengganggu lainnya. Sayangnya waktu itu kita diposisikan untuk menerima begitu saja apa yang telah diputuskan pemerintah pusat. Tampaknya beberapa jenis serangga tertentu bisa menikmati iklim sentralisme program pertanian (Bimas) masa Orde Baru. Pada masa itu pembelajaran petani untuk menggunakan bahan kimia (impor) diintegrasikan dalam sistem administrasi pemerintahan, keamanan dan slogan ideologi anti komunis. Tampaknya waktu itu hampir tidak ada celah untuk membangun kreativitas di luar asas tunggal Bimas. Pertanyaan yang tabu diajukan pada waktu itu adalah: ”Apakah program Bimas satu-satunya jalan pemecahan krisis pangan?” atau ”Apakah tidak ada minat pemerintah memperhatikan sistem pertanian non-Bimas yang potensial untuk mendukung mengatasai krisis pangan?”. Wacana tentang kekayaan keragaman sistem pertanian di berbagai daerah dan etnis tampaknya tidak diijinkan berkembang dan dijadikan pertimbangan penting upaya mengatasi krisis pangan waktu itu. Kerugian besar yang tampak adalah tidak dibukanya pemikiran kreatif untuk pengembangan pertanian masa depan berbasis sumberdaya genetik setempat, indigenous knowledge, dan pengendalian biologis setempat. Agak mengherankan karena banyak pakar luar, antara lain Reijntjes, Haverkort and Waters-Bayer (1999) dan Pelzer (1982), mengagumi kekayaan keragaman sistem pertanian Indonesia, yang umumnya sangat akrab dengan ekosistem atau alam setempat. Sebaliknya, kebanyakan pakar pertanian kita jarang bicara tentang pertanian organik atau pertanian yang bersahabat dengan alam. Banyak daerah, baik di Jawa maupun luar Jawa, memiliki kekayaan sistem pertanian yang ber-

sahabat dengan serangga, misalnya untuk penyerbukan dan musuh alami terhadap jenis serangga lain yang mengganggu. Padi varietas lokal, seperti Rajalele dan Cianjur, sedikit sekali menggunakan bantuan bahan kimia pembunuh serangga secara berlebihan. Sistem pertanian sonor di delta Sungai Musi dan pertanian yang dikembangakan orang Bugis dan Dayak Pedalaman juga bisa dijadikan gambaran kekayaan sistem pertanian yang menggunakan input luar rendah dan tanpa bahan kimia. Sistem pertanian non-padi juga banyak ditemui di berbagai etnis dan agroekosistem (dataran rendah dan tingggi) di daerah. Gambaran yang tidak kalah memprihatinkan, karena alasan penumpukan devisa, kekayaan hutan tropis harus dikorbankan. Hutan tropis yang mengandung kekayaan hayati sangat tinggi menjadi obyek pemuas kebijakan pemacuan pertumbuhan ekonomi. Jalinan tiga aktor besar (pengusaha, aparat pengambil keputusan dan elit masyarakat lokal) dalam operasi illegal logging, hampir terjadi di setiap tempat mengikuti kemajuan program peningkatan produksi pangan. Dengan gambaran ini, kekuatan utama ekosistem sebagai pengendali serangga secara alami seakan-akan telah kita eliminasi sendiri secara sistematik dan berkelanjutan. Kerugian bukan saja pada nilai intrinsik kekuatan alam yang hilang, namun juga nilai rupiah yang harus dibelanjakan masyarakat pedesaan untuk membeli bahan kimia impor dan input pertanian lain dari luar. KE ARAH REVOLUSI PERTANIAN GELOMBANG KETIGA Memperhatikan dinamika perkembangan perundingan di tingkat WTO, ketimpangan perhatian dunia terhadap pertanian dan sistem perdagangan antar negara, maka negara berbasis sumberdaya pertanian sangat besar (seperti Indonesia) hendaknya segera mengubah kebijakannya secara fundamental. Mengandalkan perkembangan sistem pertanian berbasis pengelolaan serangga berlandaskan kriris pangan di masa lalu, yang bersifat reaktif dan jangka pendek, akan sangat membahayakan masa depan pertanian dan kehidupan petani Indonesia. Pemerintah baru hasil Pemilu 2004 semestinya mulai memikir-

PENGELOLAAN SERANGGA DAN PERTANIAN ORGANIK BERKELANJUTAN DI PEDESAAN : Menuju Revolusi Pertanian Gelombang Ketiga di Abad 21 Tri Pranadji dan Saptana

41

kan pertanian Indonesia di masa datang (2025) yang lebih kompetitif, adil dan akrab dengan lingkungan. Pengembangan pertanian organik yang dilandaskan pada pengelolaan serangga secara ekologis harus menjadi visi utama pembangunan pertanian Indonesia di masa datang. Ini menjadi bagian dari makna RPG Ketiga. Saat ini telah berkembang pemikiran yang secara filosofis bisa membantu mengarahkan pembangunan pertanian organik di Indonesia secara lebih komprehensif. Dalam kaitan itu sistem pengelolaan serangganya pun harus dirombak ke arah yang bersifat lebih komprehensif dan berkelanjutan. Perubahan pengelolaan serangga tidak hanya dalam aras instrumental lapangan, melainkan juga pada landasan filosofisnya, yang oleh Lewis et al. (1997) disebut sebagai ”A total system approach to sustainable pest management”. Basis pengetahuan yang digunakan dalam pendekatan komprehensif tersebut adalah interaksi multi-tropik level (multitropic level interactions) untuk membangun sistem pertanian berkelanjutan. Sistem menyeluruh ini diharapkan menggantikan sistem pengelolaan serangga terdahulu yang dinilai sangat parsial dan sudah tidak sesuai lagi dengan tantangan dan perkembangan pengetahuan mutakhir. Dalam kaitan merancang gagasan menyeluruh yang dimaksud, bisa jadi kita tidak lagi menggunakan gambaran pendekatan lama seperti yang dikemukakan oleh Demont et al. (2001) tentang revolusi pertanian. RPG Pertama digambarkan sebagai perubahan dalam sistem usahatani ke arah yang lebih massal dengan menggunakan hasil rekayasa genetik baru, alat pertanian, dan bersifat monokultur. Sedangkan RPG Kedua digambarkan sebagai pertanian yang mengunakan motorisasi, mekanisasi skala besar (mencakup robotisasi), inovasi bahan kimia (pupuk, obatobatan dan produk sanitarinya), dan selebihnya sebagai kelanjutan RPG Pertama. Mengikuti pendapat Kuhn (1967), konsep RPG Ketiga seharusnya merupakan lompatan pemikiran (”revolusioner”) jauh ke depan, yang sebagian besar merupakan kritik mendasar dan sekaligus (mungkin) bersebarangan dengan konsep RPG Pertama dan Kedua. Untuk lebih mempertajam pemahaman terhadap RPG Ketiga dapat dilakukan analisis

perbedaan terhadap RPG Pertama dan Kedua. Dengan beberapa penciri tertentu perbedaan secara mendasarnya dapat diikuti pada Tabel 1. Kogan (1999) menyebutkan bahwa pengelolaan serangga di masa datang harus mengalami revisi menyeluruh, yaitu dari pendekatan IPM menjadi EBPM. Pendekatan chemcically intensive yang digunakan dalam IPM umumnya hanya terkait dengan tujuan pencapaian skala dan keuntungan ekonomi jangka pendek. Ukuran usahatani tidak mendapat tekanan perhatian, dan biasanya berupa petakan-petakan berukuran sempit. Pada pendekatan EBPM, tujuan akhir sistem produksi yang akan dicapai adalah ’rancangan’ agroekosistem yang secara ekonomi menguntungkan, memiliki keberpihakan yang sangat kuat terhadap peningkatan taraf hidup petani, dan secara ekologis memiliki keberlanjutan. Pengembangan sistem usaha pertanian dengan pendekatan EBPM tidak didasarkan pada plotplot kecil skala rumah tangga, melainkan dalam hamparan besar (lintas agroekosistem atau sub DAS). Itulah sebabnya mengapa pengembangan sistem usaha pertaniannya harus diintegrasikan bukan saja dengan aspek atau komponen agroekosistem lainnya, melainkan juga dengan aspek kehidupan masyarakat petani atau pedesaan secara berkelanjutan. Belajar dari pelaksanaan program Bimas padi dan Pemerintah Hindia Belanda dalam mengelola wilayah kekuasaannya berdasarkan agro-region sebagai penghasil komoditi pasar dunia, kelestarian lingkungan dan sumber tenaga kerja (Hall, 1988), perlu dikembangkan gagasan bahwa pelaksanaan RPG Ketiga menjadi bagian dari akuntabilitas pemerintahan. Instrumen pengukurannya adalah sejauh mana seorang kepala daerah, khususnya Bupati atau Wali Kota, telah mengembangkan sistem pertanian organik di wilayah kekuasaannya. Dahulu keberhasilan seorang Gubernur atau Bupati diukur dengan kemampuannya melaksanakan program Bimas di wilayahnya. Selain itu, posisi petani secara sistematik harus dikuatkan atau diberdayakan, sehingga memiliki representasi atau pengaruh yang kuat dalam sistem pengam-bilan keputusan politik di tingkat pusat, daerah dan desa.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 38 - 47

42

Tabel 1. Perbedaan antara RPG Pertama dan Kedua dengan Ketiga menurut Beberapa Pencirinya. RPG Pertama dan Kedua Integrated Pest Management (IPM)

Penciri Basis pengelolaan serangga

RPG Ketiga dan seterusnya Ecologically Based Pest Management (EBPM)

Tidak harus multi-disiplin

Pendekatan disiplin

Harus multi-disiplin

Tidak menjadi keharusan

Integrasi dengan aspek ekosistem lainnya

Menjadi keharusan

Nilai langsung dari usaha pertanian yang diusahakan Tidak harus pertanian organik

Andalan out put

Harus mencakup juga jasa lingkungan dan ekosistem Seluruhnya pertanian organik

Jika secara ekonomis untung akan dijadikan pilihan utama

Bahan kimia

Hanya digunakan saat sangat mendesak

Satu-dua komoditas unggulan

Sasaran nilai ekonomi

Mencakup produk lainnya

Tidak harus diutamakan untuk dikembangkan

Penggunaan indigenous knowledge & people

Harus diutamakan untuk dikembangkan

Tidak menjadi prioritas perhatian

Keterbukaan pengetahuan organik

Menjadi prioritas perhatian

Tidak diutamakan dan hanya seperlunya jika memang dibutuhkan

Relevansi dengan kehidupan pedesaan berkelanjutan

Harus diutamakan dan sangat penting untuk diimplementasikan

Tidak perlu dan cukup diukur secara akademik

Instrumen akuntabilitas pemerintahan (dan sosial)

Sangat diperlukan dan harus terukur secara publik

Relatif rendah dan tidak menjadi prioritas utama

Representasi politik petani di pedesaan

Tinggi dan harus menjadi prioritas utama

Pertanian organik/ anorganik

Kaitan antar aspek yang digunakan dalam pendekatan EBPM relatif lebih kompleks dibanding dengan pendekatan IPM. Bisa dipahami jika dalam menjalankan EBPM diperlukan pendekatan multi disiplin. Alasan lain, karena produk yang dihasilkan oleh sistem usaha pertanian dengan pendekatan EBPM tidak semata-mata berupa satu-dua komoditas unggulan setempat, melainkan mencakup juga produk lain (misalnya berupa jasa lingkungan dan keseimbangan ekosistem mikro dan makro), maka akan sulit jika tidak didekati secara multidisiplin. Patut dicatat di sini bahwa penyelenggaraan EBPM bukan saja harus terbuka terhadap perkembangan pengetahuan pertanian organik yang dinamis, melainkan juga harus mengutamakan penggunaan pengetahuan (indigenous knowledge) dan berpihak pada masyarakat lokal yang akan menjalankannya. Dari Tabel 1 juga terlihat bahwa EBPM dan dijalankannya RPG Ketiga erat kaitannya dengan upaya mewujudkan kehidupan masya-

rakat pedesaan secara berkelanjutan. Hal ini menegaskan bahwa mendahulukan kepentingan kehidupan masyarakat pedesaan secara berkelanjutan merupakan tujuan pokok dari ”pengelolaan serangga”. Makna RPG Ketiga berimpit dengan EBPM dan kehidupan masyarakat yang lebih baik. FAKTOR PENDUKUNG DAN INTERVENSI PEMERINTAH Di muka telah dijelaskan bahwa peran negara atau pemerintah dalam mewujudkan pengelolaan serangga dalam perspektif RPG Ketiga sangat besar. Jika posisi pemerintah tidak didudukan secara jelas, maka peran pemerintah bisa bersifat kontra produktif dengan pengelolaan serangga dalam prespektif RPG. Dalam RPG Ketiga, pencapaian kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera dan adil, pertanian yang memiliki daya saing yang tinggi di pasar global, dan keberlanjutan

PENGELOLAAN SERANGGA DAN PERTANIAN ORGANIK BERKELANJUTAN DI PEDESAAN : Menuju Revolusi Pertanian Gelombang Ketiga di Abad 21 Tri Pranadji dan Saptana

43

ekologis merupakan tujuan komposit yang tidak boleh dipisah-pisah. Oleh sebab itu, peran masyarakat dalam mengawasi penyelenggaraan EBPM dan pemerintahan harus ditingkatkan. RPG Ketiga sangat menentukan masa depan pertanian Indonesia di abad 21, apakah Indonesia akan bisa menjadi salah satu negara pertanian terbesar di dunia, ataukah justeru sistem pertaniannya tereliminasi oleh negara lain. Dalam beberapa tahun terakhir, kenyataan sehari-hari pada masyarakat pertanian di pedesaan terlihat seperti mengalami kekurangan energi untuk menjadikan pertaniannya sebagai kekuatan ekonomi utama pedesaan. Oleh sebab itu, EBPM perlu segera dikembangkan bersama-sama dengan RPG Ketiga. EBPM dan RPG Ketiga harus diposisikan sebagai upaya menemukan “kekuatan pertanian yang hilang” atau suatu upaya “revitalizing of sustainable agricultural development in rural areas”. Dalam rangka menatap pertanian ke depan (abad 21), agar pertanian menjadi andalan kehidupan masyarakat Indonesia, harus ada semacam gerakan nasional untuk menyegarkan kembali bahwa kita perlu RPG Ketiga. Jika ini bisa diwujudkan, peran ahli entomologi Indonesia dalam pembangunan pertanian akan semakin dibutuhkan. Pemilu 2004 harus dipandang sebagai titik tolak upaya melakukan revitalisasi pertanian organik di Indonesia. Oleh sebab itu, antara pemerintah dan segenap elemen bangsa harus terjalin semacam kesatuan jiwa. Salah satu indikator terjadinya kesatuan jiwa ini adalah bahwa antara pemerintah dan seluruh elemen bangsa sejauh mungkin tidak terjadi mutual distrust. Sehubungan dengan EBPM dan RPG Ketiga, ada beberapa faktor pendukung yang harus diperhatikan, antara lain: (1) Terbentuknya sistem pemerintahan yang memiliki kredibilitas dan kepercayaan tinggi di mata rakyat. (2) Menempatkan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang antara lain dicirikan pentingya menjunjung tinggi asas transparansi, akuntabilitas, sistem pengambilan keputusan yang demokratis dan open auditable secara publik; sebagai

bagian penting pembangunan pertanian organik pada abad 21. (3) Terwujudnya sistem kepemimpinan nasional yang kuat dan berwibawa di mata rakyat. Ciri penting terwujudanya sistem kepemimpinan ini adalah: terpilihnya pemimpin nasional yang memiliki integritas tinggi (terpercaya, jujur dan adil), adanya kejelasan visi (ke depan) pemimpin yang jelas dan implementatif, pemimpin yang mampu memberi inspirasi (inspiring) dan mengarahkan (directing) semangat rakyat secara kolektif, memiliki semangat altruistik, komunikatif terhadap rakyat, mampu membangkitkan semangat solidaristik (solidarity maker) atau conflict resolutor, dan mengajarkan penggunaan akal sehat dan cara demokratik dalam pengambilan keputusan. (4) Terbentuknya sistem kelembagaan legislatif yang merepresentasikan aspirasi dan kepentingan dan kehidupan masyarakat petani di pedesaan. Ciri penting yang mencerminkan hal ini adalah terbukanya saluran aspirasi masyarakat pertanian lapisan bawah di pedesaan, sensitivitas yang tinggi lembaga legislatif terhadap gejala ketidak-adilan yang dialami masyarakat pertanian tingkat bawah dan integritas yang tinggi anggota legislatif di mata pelaku pertanian di pedesaan. (5) Adanya kemauan politik (political will) ke arah terwujudnya sistem pertanian modern berbasis EBPM dan penegakkan hukum (law enforcement) yang kuat. Sejalan dengan itu, perlu upaya agar terbentuk civil society yang kuat di tingkat desa. Pada gilirannya masyarakat pertanian dan pertaniannya diharapkan bisa memperoleh advokasi publik dan perlindungan hukum yang lebih baik. Diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah atau otonomi daerah tingkat II (kabupaten/kota) bisa dipandang sebagai terbukanya pintu gerbang untuk mengaktualisasikan kedaulatan masyarakat pertanian di pedesaan secara lebih baik. Terbukanya pintu gerbang ini tidak otomatis bisa melancarkan aliran aspirasi petani dalam pengambilan keputusan dan pengontrolan penyelenggaraan pemerintah daerah secara langsung oleh masyarakat.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 38 - 47

44

Otonomi ini juga bisa diartikan sebagai pemberian kesempatan pada elit politik dan pejabat pemerintah kabupaten dan kota untuk berbuat semena-mena tanpa bisa dikontrol secara efektif pejabat pemerintah pusat dan masyarakat luas secara normal. Oleh sebab itu, pelaksanaan otonomi daerah di masa datang harus disesuaikan dengan pencapaian tujuan penyelenggaraan EBPM dan RPG Ketiga untuk kemakmuran dan kemajuan bangsa di awal abad 21. Hingga kini pelaksanaan otonomi daerah masih terbatas hingga penyelenggaraan pemerintahan tingkat kabupaten/kota. Penyelenggaraan otonomi akan lebih baik jika bisa diturunkan lagi hingga tingkat kecamatan dan desa (Pranadji, 2003). Jika otonomi seperti ini bisa diwujudkan, maka jaminan aspirasi masyarakat petani lapisan bawah dapat tersalur dalam sistem pengambilan keputusan tingkat daerah (dan pusat) menjadi lebih tinggi. Dengan cara demikian, keputusan kolektif tingkat daerah bisa dipandang sebagai representasi dari kedaulatan masyarakat petani lapisan bawah di tingkat kampung dan dukuh. Dengan adanya saluran kelembagaan aspirasi masyarakat petani yang efektif hingga tingkat desa, EBPM dan RPG Ketiga bisa mendapat dukungan partisipasi masyarakat bawah yang kuat. Mustahil EBPM dan RPG Ketiga bisa berjalan efektif tanpa dukungan partisipasi masyarakat pertanian lapisan bawah. Semangat otonomi sebaiknya juga diterapkan dalam sistem pemilihan kepala daerah, seperti halnya Pilpres dan Pemilihan Kepala Desa. Dengan sistem pemilihan demikian, makna otonomi bukan saja menjadi lebih lengkap, melainkan secara fungsional bisa meningkatkan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pembangunan pertanian organik di tingkat daerah. EBPM dan RPG Ketiga akan berdampak (timbal-balik) positif dengan penerapan semangat otonomi ini. Dalam kaitan ini sistem kepartaian hendaknya mencerminkan bangunan civil society pertanian yang kuat. Oleh sebab itu, di masa datang sistem kepartaian perlu disinergikan dengan asas keterwakilan masyarakat pertanian secara fungsional, tidak hanya secara struktural seperti yang selama ini dijalankan. Hingga kini kesenjangan antara harapan dan kenyataan dalam otonomi daerah masih lebar (Sudarsono, 2003).

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Sejarah pengelolaan serangga di Indonesia hingga kini masih jauh dari gambaran ideal, terlebih lagi jika dikaitkan dengan pendekatan EBPM dan RPG Ketiga. Visi pembangunan pertanian yang belum mengarah pada terwujudnya sistem pertanian yang berdaya saing tinggi, berkeadilan dan berkelanjutan merupakan titik awal mengapa perkembangannya hingga kini belum menggembirakan. Selain masih jauh dari menjawab tantangan masyarakat global, sistem pertanian yang kini berkembang juga belum menjamin kehidupan masyarakat petani di pedesaan meningkat. Era 1950-an sampai 1960-an bisa dipandang sebagai titik awal adanya perhatian terhadap masalah pengelolaan serangga pada perkembangan pertanian padi sawah. Hanya saja, pengetahuan pengelolaan serangga (sebagai hama tamanan padi) belum diintegrasikan secara menyeluruh dengan kahasanah sistem pertanian organik yang telah berkembang di masyarakat petani di berbagai agroekosistem dan daerah. Pengetahuan pengelolaan serangga dengan menggunakan bahan kimia lebih berkembang dibanding khasanah pengetahuan pertanian organik yang ada di masyarakat petani. Hal ini terjadi karena pengetahuan pengelolaan serangga yang disponsori pemerintah diintegrasikan dengan pencapaian program Bimas dalam rangka swasembada pangan. Berkembangnya pengelolaan serangga yang terintegrasi dengan program Bimas, hal ini bukan saja menghalangi berkembangnya pengetahuan lokal tentang pertanian organik, melainkan juga menciptakan ketergantungan masyarakat petani terhadap bantuan program pemerintah dan bahan kimia impor. Petani bukan saja tidak memiliki otoritas penuh untuk mengelola lahan pertaniannya, melainkan juga sulit untuk mengembangkan pengetahuan pengelolaan serangga berdasar interaksinya dengan khasanah pengetahuan lokal. Dalam jangka panjang pendekatan pemerintah dalam pengelolaan serangga di samping ”mahal” juga menyulitkan masyarakat pedesaan dalam mengembangkan kehidupannya ke tingkat yang lebih baik secara berkelanjutan.

PENGELOLAAN SERANGGA DAN PERTANIAN ORGANIK BERKELANJUTAN DI PEDESAAN : Menuju Revolusi Pertanian Gelombang Ketiga di Abad 21 Tri Pranadji dan Saptana

45

Saat ini pengelolaan serangga memerlukan pendekatan baru, yaitu dengan pendekatan EBPM (Ecologically Based Pest Management). Pendekatan ini akan lebih efektif jika dikaitkan dengan dijalankannya Revolusi Pertanian Gelombang (RPG) Ketiga, yang visinya adalah pertanian organik yang berdaya saing tinggi, berkeadilan dan berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan EBPM dengan RPG Ketiga, peluang Indonesia mewujudkan sistem pertaniannya menjadi lima terbesar di dunia bukanlah suatu impian tanpa dasar. Dalam kaitan ini peran ahli entomologi, bersamasama dengan pakar pertanian lainnya, dalam membantu mewujudkan Indonesia sebagai lima negara pertanian terbesar di dunia semakin dibutuhkan. Terselenggarakannya Pemilu 2004 secara demokratis bukan saja merupakan modal bangsa untuk mewujudkan impian Indonesia menjadi bangsa yang lebih beradab dalam pergaulan masyarakat dunia, melainkan juga bisa menjadi modal untuk mewujudkan Indonesia sebagai lima negara pertanian terbesar di dunia. Dalam kaitannya dengan ”butir 4 dan 5” beberapa faktor pendukung yang melibatkan peran pemerintah, masyarakat luas dan pelaku pertanian di pedesaan menjadi sangat penting. Beberapa faktor pendukung tersebut adalah: 1. Adanya kemauan politik pemerintah, yang didukung kuat oleh lembaga legislatif, untuk mewujudkan sistem pertanian sebagai tulang punggung kehidupan masyarakat luas di Indonesia. Pengembangan pertanian organik seyogyanya dijadikan pilihan strategis untuk mewujudkan kehidupan masyarakat pedesaan di masa datang yang lebih baik. 2. Perlunya dikembangkan civil society yang kuat di pedesaan, dan otonomi daerah harus diarahkan juga agar representasi masyarakat pedesaan dalam pengambilan keputusan politik benar-benar terwujud. Dengan gambaran ini kontrol masyarakat pertanian di tingkat paling bawah terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa, sampai dengan pusat bisa lebih efektif. 3. Kepemimpinan negara yang mampu menggerakkan pertanian dan pedesaan sebagai penggerak perekonomian nasio-

nal, sehingga ketergantungan terhadap input dari luar, terutama bahan kimia (untuk obat-obatan serangga) bisa dikurangi. Untuk itu, dalam penyelenggaraan pembangunan pertanian ke depan, pemerintah perlu mendengarkan saran dari kalangan pakar entomologi. DAFTAR PUSTAKA Altieri, M.A., P.M. Rosset and C.I. Nicholls. 1997. Biological Control and Agricultural Modernization: Toward Resolution of Some Contradictions. Agriculture and human Values, (14):303-310, 1997.Kluwer Academic Publishers. Netherlands. http;// agroeco.org/doc/biocontradictions1.pdf. [03/09/2004]. Bie, S.W. 1997. The Missing Scientific Links to Plan Sustainable Land Management at Farm Level: Past and Future. ITC Journal, 3(4):284-286. http://114.16.93.203/energy/ HC270799/LM/SUSLUP/KeySpeakers/ABi e.pdf. Borlaug,

Demont, M., E. Mathijs and E. Tollens. 2001. Impact of New Technologies on Agricultural Production Systems: The Cases of Agricultural Biotechnology and Automatic Milking. Paper Prepared for Presentation at the First Conference of the Belgische Vereniging voor Landbouweconomie, Brussell, 24 Oktober 2001. Hall,

D.G.E. 1988. Sejarah Asia Tenggara. (Penerjemah I.P. Soewarsha dan Penyunting M.H. Mustopo). Penerbit Usaha Nasional. Surabaya.

Kogan, M. 1999. Integrated Pest Management: Constructive Criticism or Revisionism?. (Guest Editorial). Phytoparasitica, 27(2):16, 1999. http://www.phytoparasitica. org/phyto/pdfs/1999/isu2/guest.pdf. [02/09/2004]. Kuhn, T.S. 1967. The Structure of Scientific Revolutions. Phoenix Books, The University of Chicago Press. Chicago. Lewis, W.J., J.C. van Lenteren, S.C. Phatak and J.H. Tumlinson. 1997. A Total System Approach to Sustainable Pest Management. Proceeding of National Academy of

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 23 No. 1, Juli 2005 : 38 - 47

46

N.E. and C. Dowswell. 2001. The Unfinished Green Revolution: The Future Role of Science and Technology in Feeding Developing World. http://www. usembassy.org.uk/fazs/pdf_repots/borlaug. pdf. [03/09/2004].

Science, USA, (94):12243-12248, November 1997. http://www.cpes.pechnet.ddu/ lewis/lewist1.pdf. [02/09/2004].

untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Penerbit Kanisius. Jakarta.

Pelzer, K.J. 1982. Peran Manusia Mengubah Wajah Alam Asia Tenggara. Penerbit C.V. Rajawali. Jakarta.

Rosegrant, M.W. and P.B.R. Hazell. 2001. A 2020 Vision for Food, Agriculture, and the Environment in Transforming the Rural Asian Economy: The Unfinished Revolution. International Food Policy Research Institute. Washington D.C. www.ifpri.org. (02/09/2004).

Pranadji, T. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Pranadji, T. 2004. Kerangka Kebijakan SosioBudaya Menuju Pertanian 2025: Ke Arah Pertanian Pedesaan Berdaya Saing Tinggi, Berkeadilan dan Berkelanjutan. Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE), 22(1):121, Juli 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Reijntjes, C, B. Haverkort and A. Waters-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan: Pengantar

Stone, G.D. (tanpa tahun). Agricultural Change Theory, 329-333. http://www.artci. wustl.edu/”anthro/research/58s48cpg.pdf. [03/09/2004]. Sudarsono, H. 2003. Otonomi Daerah: Antara Harapan dan Kenyataan. Makalah Seminar Nasional Ikatan Sosiologi Indonesia: “Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Tinjauan Sosiologis”, 5 Agustus 2003. Jakarta.

PENGELOLAAN SERANGGA DAN PERTANIAN ORGANIK BERKELANJUTAN DI PEDESAAN : Menuju Revolusi Pertanian Gelombang Ketiga di Abad 21 Tri Pranadji dan Saptana

47

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/295080192

Aspek Kelembagaan dalam Kebijakan Sektor Pertanian Article · July 2005

CITATION

READS

1

3,370

1 author: Iwan Nugroho Universitas Widyagama 71 PUBLICATIONS   146 CITATIONS    SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Visitor perception, management and sustainable tourism View project

All content following this page was uploaded by Iwan Nugroho on 19 February 2016. The user has requested enhancement of the downloaded file.

2

Aspek Kelembagaan dalam Kebijakan Sektor Pertanian1 Iwan Nugroho2 Abstract The development of agricultural sector is facing a serious problems, i.e. a plant production system is levelling off and an economic value relative to labor force share is being relatively low. Such problems have yielded unsustainability of agricultural production system, poverty threat and food security instability. Conceptual framework of sustainable agricultural development is reliability of investment accumulation. The investment covers social, economical, natural and human capital in an institutional building approach. Implementation of the approach is an effective public policy in agricultural sector. In this case, bureaucracy system operates in transparency, accountable and participative management. Private sector is highly active to find opportunity and realize an economic growth. Meanwhile, people and farmer interest is accommodated in a rational problem solving methodology. As a result, investment flows would be realized to support agricultural development programs, poverty alleviation, and disparity elimination. Keywords: Agriculture, investment, sustainability

Pendahuluan Kerangka aksi bagi pembangunan pertanian berkelanjutan telah dirumuskan. Konperensi Rio (United nation Conference on Environment and Development, UNCED) pada tahun 1992 telah menghasilkan agenda 21, yang merupakan pernyataan kongkrit masyarakat dunia menghadapi keadaan dan tantangan pada abad 21. Sektor pertanian memperoleh perhatian dalam section 2 bab 14, yakni promoting sustainable agriculture and rural development. Terakhir, dalam World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johanesburg, 2 hingga 4 September 2002, sektor pertanian menjadi sorotan di antara lima (diberi akronim WEHAB) kerangka aksi, yakni water, energy, health, agriculture dan biodiversity. Secara umum, untuk mencapai sasaran pembangunan dalam abad ke depan (millenium development goal, MDG), sektor pertanian menempati posisi sangat penting dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja (yang sustainable) dalam kerangka pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan. Namun demikian, kerangka aksi tersebut mungkin menjadi paradoks bagi pembangunan pertanian. Keadaan ekonomi, sosial dan lingkungan di Indonesia untuk mendukung implementasi aksi-aksi pembangunan pertanian berkelanjutan menyimpan tanda tanya besar. Terlalu lebar gap antara fakta dan harapan kesejahteraan yang ingin dicapai. Secara nasional sektor pertanian menyumbang 20 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dan 37 persen tenaga kerja (Anonim, 2002; data Tabel IO diolah, Lampiran 1). Data tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian beroperasi tidak efisien, karena jumlah tenaga kerjanya terlalu banyak dibanding proporsi pendapatan atau nilai tambahnya (PDB). Hal ini berimplikasi bahwa sektor pertanian menyimpan permasalahan yang besar dan sangat kritikal bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Tercermin bahwa petani bukan 1 Naskah diterbitkan pada majalah LINTASAN EKONOMI, Majalah Ilmiah FE- UNIBRAW (Juli 2005) XXII(2):162-176. ISSN 0216311X. 2 Dr. Ir. Iwan Nugroho, MS adalah dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang. Email: [email protected]

3 hanya miskin, namun tidak ada insentif berinvestasi bagi keberlanjutan produksi. Hal tersebut sejalan dengan bukti-bukti empiris (Lampiran 2). Pada komoditi padi dan jagung yang menampung jumlah petani cukup signifikan, pertumbuhan produksi nasional telah mengalami kejenuhan, bahkan produksi tebu dan kedele mengalami penurunan lebih drastis. Ilustrasi singkat tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian menghadapi permasalahan sustainability sistem produksi, ancaman kemiskinan, dan terganggunya upaya-upaya peningkatan ketahanan pangan. Tulisan ini mencoba menelaah kebijakan pembangunan sektor pertanian berkelanjutan dalam sudut pandang kelembagaan.

Sektor Pertanian dan Sumberdaya Publik Konsepsi pembangunan berkelanjutan yang dikembangkan Bank Dunia adalah apa yang dikenal sustainability as opportunity. Konsep ini berangkat dari definisi (Serageldin, 1996):

sustainability is to leave future generations as many opportunities as we ourselves have had, if not more. Maknanya, pembangunan akan sustainable jika di dalamnya memberikan generasi mendatang income disertai opportunity pertumbuhan capital (minimal sama dengan generasi sekarang) yang dapat diperlihatkan dengan relatif lebih tinggi capital per kapita dibanding generasi sekarang (Gambar 1). Modal-modal itu dapat dilukiskan sebagai human capital (investasi dalam pendidikan, kesehatan, atau gizi), social capital3 (fungsi dan keberadaan kelembagaan dan budaya dalam masyarakat), natural capital (fungsi dan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan) dan man-made capital (investasi dalam aspek fisik).

Social Natural time Capital Capital Man-made Capital

Human Capital

Natural Capital Man-made Capital

Capital Social

Human Capital

Gambar 10.1. Sustainability dan kenaikan stock capital per kapita (Serageldin, 1996) Yang menarik untuk dikaji dari modal-modal tersebut dan menentukan tingkat sustainability adalah tidak terhindarkannya substitusi dari salah satu diantaranya. Pergeseran komposisi modal khususnya pada negara berkembang memiliki gambaran spesifik. Pada tahap awal pembangunan, kenaikan aset-aset fisik dan human capital adalah fenomena paling umum. Pembangunan fisik di wilayah kota dan peningkatan tingkat pendidikan sebagian penduduk bahkan teramat cepat. Namun demikian hal ini berjalan eksklusif hanya mendukung perluasan mekanisme pasar dibanding memberi pengaruh kepada kesejahteraan. Modal sosial mengalami degradasi sehingga menurunkan community enforcement. Menurut 3

Social capital merupakan jalinan ikatan-ikatan budaya, governance, dan social behaviour yang membuat sedemikian rupa sehingga fungsi dan tatanan sebuah masyarakat adalah lebih dari sekadar jumlah individunya. Social capital dan wujudnya sebagai kelembagaan inilah sumber dari legitimasi berfungsinya tatanan masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan pembangunan, maupun untuk kepentingan mediasi terhadap konflik dan kompetisi (Serageldin, 1996). Upaya membangun social capital adalah cermin peningkatan equity, social cohesiveness, dan partisipasi masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun kerjasama dan koordinasi bersama yang kuat antar individu-individu dari beragam disiplin, organisasi kemasyarakatan (misalnya LSM), private sector, dan pemerintah pada tingkat lokal, regional hingga nasional, sehingga membentuk sinergi dalam mendukung keberlanjutan pembangunan pertanian.

4 Hoff and Stiglitz (2001), yang muncul adalah penyeragaman institusional, yang sesungguhnya berlawanan dengan kaidah-kaidah konservasi biodiversity dalam sistem produksi pertanian. Konsep dasar pengelolaan sumberdaya yang kaya dengan biodiversity adalah serupa dengan pengelolaan sumberdaya publik (public resources). Sumberdaya publik memiliki karakteristik non-rivalry in consumption, artinya konsumsi seseorang tidak mengurangi benefit dari sumberdaya publik untuk orang lain. Karakteristiknya adalah aggregate demand merupakan penjumlahan vertikal permintaan individu dan dilukiskan dengan kenaikan harga dan jumlah penyediaan konstan. Implikasinya, sekali ditetapkan harganya maka benefit dari sumberdaya publik dengan mudah mengalir kepada orang-orang lain secara gratis (free-rider) sehingga berpeluang terjadi pelanggaran alokasi. Dalam kebijakan pembangunan nasional, manfaat gratis atau tepatnya murah tersebut tercermin dari pricing policy komoditi pertanian yang lebih rendah dari seharusnya (undervalue). Akibatnya, sebagian besar orang kota dan sektor manufaktur turut menikmati limpahan benefit yang harusnya menjadi hak petani. Pengambilan keputusan ekonomi terhadap sumberdaya publik tidak dapat mengandalkan kepada efisiensi berdasarkan kriteria pareto optimality mengikuti pandangan ekonomi neoklasik—yang menyatakan bahwa pertukaran kepuasan senantiasa menghasilkan loss di satu pihak akibat kenaikan kepuasan di pihak lain. Sebaliknya, basis pengambilan keputusan sumberdaya publik lebih didasarkan kepada pendekatan kelembagaan. Dalam pendekatan ini, kepentingan individu dan publik tidak dapat saling terpisah (inextricably linked) (Cullis and Jones, 1992). Definisi sederhana kelembagaan adalah pola perilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur berdasarkan suatu kerangka nilai yang relevan. Kelembagaan adalah sebagian dari social capital yang merupakan sumber legitimate berfungsinya tatanan masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan pembangunan, maupun untuk kepentingan mediasi terhadap konflik dan kompetisi (Serageldin, 1996). Dengan demikian pendekatan ini menjadi relevan dengan pemikiran pembangunan berkelanjutan dan diharapkan akan dapat melindungi dan memelihara sistem produksi sektor pertanian. Menurut Williamson (1995), upaya-upaya menuju peningkatan aktivitas perekonomian, setidaknya mencakup oleh tiga hal. Pertama upaya-upaya meningkatkan investasi. Kebijakan investasi diarahkan untuk membenahi sistem produksi sektor pertanian (mode of organization) dan menekan ketidakpastian (uncertainty). Menurut Fuglie (1999), investasi pemerintah pada sektor pertanian berada dalam keadaan kritikal. Dengan kesepakatan liberalisasi perdagangan, muncul insentif bagi swasta untuk melakukan kegiatan riset dan proses alih teknologi. Hal ini memberi dampak luar biasa bagi kesejahteraan petani secara keseluruhan melalui dua aspek: (a) biaya input akan naik sehingga benefit yang diperoleh petani akan menurun; dan (b) kegiatan riset swasta akan terkonsentrasi pada kebutuhan petani/pengusaha besar dan mengabaikan petani kecil. Besarnya insentif ekonomi dalam kegiatan riset swasta dikhawatirkan dapat menarik (membajak) SDM peneliti, kecuali ada reformasi institusional pada lembaga penelitian pemerintah. Ketidak pastian yang mempengaruhi investasi dalam sektor pertanian dihadapi pula oleh sektor-sektor lain. Hal tersebut meliputi praktek biaya transaksi yang tinggi (investment hazard)—termasuk administration cost, demoralization cost (korupsi dan rent seeker). Namun tingkat ketidak pastian sektor pertanian diyakini lebih tinggi karena risiko ‘gangguan alam dan sosial’. Suasana ekonomi berisiko tinggi menyebabkan pelaku underestimate terhadap nilai masa mendatang. Inilah yang mengakibatkan keserakahan dan perusakan yang signifikan terhadap sumberdaya alam pendukung sektor pertanian, misalnya penggundulan hutan. Kedua upaya meningkatkan kontrak. Kontrak jangka panjang (long-term contracting) memerlukan kekuatan hukum untuk menstabilisasi, melindungi dan memelihara benefit yang ada di dalamnya. Kontrak jangka panjang dapat membawa tingkat perekonomian ke arah yang mapan (high performing economy); dibanding spot market trading yang berorientasi

5 jangka pendek. Sektor pertanian rakyat identik dengan pelaku ekonomi usaha kecil yang informal, tidak pasti, dan tidak stabil. Perlu kreativitas memunculkan kelembagaan ekonomi yang dapat menarik mereka. Lembaga kredit mikro pola Grameen Bank (Bangladesh) dapat fleksibel beroperasi menyesuaikan dengan ragam usaha kecil. Kepercayaan terhadap usaha kecil ini memiliki pengaruh yang kokoh bagi bangunan landasan ekonomi jangka panjang. Selain itu, formalisasi aktivitas ekonomi akan menekan perilaku rent-seeker yang biasa beroperasi memanfaatkan keadaan asymmetric information di kalangan petani. Sementara itu pelaku ekonomi corporate perlu mengapresiasi kontrak agar sektor pertanian menjadi andalan pertumbuhan. Menurut World Bank (1995), kontrak pada badanbadan usaha negara meliputi kontrak pemerintah dengan karyawan (performance contract), kontrak swasta dengan pemerintah (management contract), dan kontrak pemerintah dengan swasta dalam regulated monopoli (regulatory contract). Sekalipun mengandung risiko dan karenanya perlu kehati-hatian, kontrak-kontrak tersebut sejalan dengan komitmen peningkatan efisiensi, berkompetisi, tertib anggaran, dan perbaikan sistem isentif yang selama ini menjadi titik lemah kinerja perusahaan. Perlu keberanian luar biasa bagi pemerintah untuk membuka peluang tersebut dalam rangka peningkatan produktivitas sektor pertanian. Tabel 1. Derajat Spesifikasi dan Sifat Pengaruh Berbagai Aktivitas Ekonomi Aktivitas Umum Accounting Perencana Manajemen keuangan Manajemen SDM Training Legal Administrasi umum

Derajat spesifikasi

Sifat Pengaruh

Tujuan

Metode

Kontrol

Waktu

Subtotal

Intensitas

Waktu

Sebaran

kumulasi

subtotal

Total

4 3 4 3 4 4 4

4 3 4 2 3 5 4

4 2 4 2 3 5 4

4 3 3 2 3 4 4

16 11 15 9 13 18 16

4 2 4 3 2 4 3

3 3 3 2 3 5 4

4 2 3 4 4 4 3

5 3 4 2 2 5 4

16 10 14 11 11 18 14

32 21 19 20 24 36 30

11 11 15 7 12 12 11 19 15 15 19

23 27 30 19 26 22 24 39 31 31 39

Spesifik Perladangan 4 3 3 2 12 3 2 4 2 Perkebunan 4 4 4 4 16 3 2 3 3 Lahan beririgasi 4 4 4 3 15 4 4 3 4 Pendidikan dasar 4 2 3 3 12 2 1 2 2 Pendidikan teknik 4 3 3 4 14 3 3 3 3 Penyuluhan pertanian 3 3 2 2 10 4 3 3 2 Pelayanan kesehatan 4 3 3 3 13 3 3 2 3 Pemeliharaan pesawat jet 5 5 5 5 20 5 5 4 5 Transportasi jalan 4 5 4 3 16 4 4 3 4 Bengkel mobil 4 4 4 4 16 4 4 3 4 Pemeliharaan reaktor nuklir 5 5 5 5 20 5 5 5 4 1= spesifikasi rendah, 5= spesifikasi tinggi Derajat spesifikasi Tujuan: dinyatakan secara detil dan rinci (5) atau umum/kabur (1) Metode: dinyatakan secara pasti sebelum aktivitas (5) atau tidak pasti dan memerlukan adaptasi dalam operasinya (1) Kontrol: dilakukan secara ketat dan mudah (5) atau sulit (1) Waktu: lama waktu perumusan tujuan, metode dan kontrol terskedul pasti tanpa perubahan (5) atau selalu berubah (1) Sifat Pengaruh Intensitas: semakin banyak (5) atau sedikit (1) orang atau aset terlibat Waktu: berdampak segera (5) atau lama (1) setelah operasi Spread: berdampak kepada banyak orang, dengan intensitas heterogen (5) atau sedikit orang dengan intensitas seragam (1) Kumulasi: berdampak efek kumulasi dan tidak mudah ditangani (5) atau mudah diisolasi Sumber: Israel (1987)

Ketiga upaya meningkatan credible commitment. Credible commitment akan mendatangkan kontrak dan investasi tidak hanya dalam jumlah, tetapi juga ragam investasi yang mencerminkan kecenderungan spesialisasi dan aktivitas yang berproduktivitas tinggi (high-technology industry) dalam jangka yang lebih panjang. Pembangunan sektor pertanian yang komprehensif memerlukan strategi atau sistem yang terencana mengarah kepada transformasi ekonomi yang berkeadilan. Proses tersebut mutlak memerlukan kebijakan yang

6 konsisten dan terintegrasi untuk menghasilkan benefit bagi seluruh stakeholder. Pengalaman dan komitmen Taiwan dapat diteladani sehingga berhasil mengembangkan industri agribisnis melalui tahapan kebijakan substitusi impor, promosi ekspor dan penanaman modal ke luar negeri (Aggarwal and Agmon, 1990). Komitmen kepada sektor pertanian sangat relevan di dalam pembangunan kelembagaan. Hal tersebut bukan hanya atas dasar alasan politik ekonomi, tetapi karena sektor pertanian memuat aktivitas ekonomi dengan derajat spesifikasi rendah (Tabel 1). Aktivitas ekonomi derajat ekonomi rendah mencerminkan produktivitas rendah (Israel, 1987). Aktivitas ekonomi juga tidak menghasilkan pengaruh atau benefit yang signifikan terhadap aktivitas ekonomi lain. Pada kondisi itu, infrastruktur belum sepenuhnya optimal mendukung aktivitas ekonomi. Dengan kata lain infrastruktur berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan aktivitas ekonomi derajat rendah ke derajat tinggi.

Kebijakan Pembangunan Pertanian 1. Pembangunan infrastruktur Pembangunan infrastruktur dalam pengertian luas meliputi enam bidang: pendidikan, teknologi, finansial, infrastruktur komunikasi dan transportasi, perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan, dan infrastruktur sosial (social safety net). Infrastruktur berfungsi memecahkan kemacetan sekaligus menstimulasi aliran manfaat (WSSD, 2002) sehingga sektor swasta lebih optimal berperan dalam pembangunan pertanian dan perdesaan (Gambar 3). Infrastruktur diperlukan agar gap dalam (a) tenaga kerja; (b) akses dan kesempatan; dan (c) informasi; dapat diperbaiki, dipertemukan dan dipertukarkan dalam pasar yang berfungsi secara efektif. Dengan demikian petani memperoleh kesempatan yang sama dalam hal meningkatkan ketrampilan, memperoleh kredit, akses terhadap sarana produksi dan informasi harga. Tabel 2. Nilai ICOR dan Kebutuhan Investasi Kumulatif Sektor Pertanian 1999 hingga 2004 Subsektor Pertanian

Skenario 1

2

3 4 Tanaman pangan ICOR 1,309 1,092 0,786 0,57 Investasi kumulatif (miliar rp) 994512 877581 683403 524299 Perkebunan ICOR 1,59 1,529 1,463 1,402 Investasi kumulatif (miliar rp) 373841 365045 354958 345266 Peternakan ICOR 1,338 1,312 1,175 1,149 Investasi kumulatif (miliar rp) 190251 187891 174705 172072 Perikanan ICOR 4,798 3,98 -1,971 -2,7891 Investasi kumulatif (miliar rp) 827314 696259 -382855 -549455 Investasi kumulatif pertanian (miliar rp) 2385918 2126776 tth tth 1 angka bertanda negatif tidak dapat digunakan; tth: tidak terhitung Skenario 1= pertumb ekonomi normal (existing policy), 2 = pertumb ekonomi sektor pendukung pertanian 8 persen, 3 = pertumb ekonomi sektor pertanian prioritas 8 persen, 4 = kombinasi skenario 2 dan 3 Sumber: Anonim (2002)

Pembangunan infrastruktur berpengaruh sangat signifikan terhadap keragaan sektor pertanian secara umum. Hasil penelitian Anonim (2002) menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur (yang terukur dari pertumbuhan sektor-sektor pendukung sektor pertanian, skenario 2) akan mengefisenkan kebutuhan investasi sektor pertanian. Adanya infrastruktur tersebut menghasilkan nilai ICOR (incremental capital output ratio) dan investasi kumulatif

7 pada skenario 2 yang lebih rendah dibanding skenario 1 (Tabel 2). Efisiensi paling tinggi diperoleh pada skenario 4, di mana selain adanya pembangunan infrastrurktur pelaku ekonomi juga memiliki ekspektasi (terukur dari pertumbuhan) yang tinggi terhadap sektor pertanian. Lebih jauh, subsektor pertanian dengan efisiensi investasi semakin tinggi berturut-turut adalah perikanan, perkebunan, peternakan dan tanaman pangan. Lebih jauh, hubungan komoditi pertanian dan investasi atau pembangunan infrastruktur dapat menghasilkan pilihan-pilihan sumber-sumber (stakeholder) pendanaan. Pemerintah dapat berkonsentrasi pada subsektor tanaman pangan, terutama sektor padi (karena alasan politik ekonomi padi); dan menyerahkan subsektor lainnya kepada investasi swasta, konsumsi langsung rumah tangga atau ekspor. Sektor sayur dan buah-buahan atau tanaman pangan lainnya dapat diserahkan kepada usaha tani rakyat karena menampung tenaga kerja sangat besar. Sementara pada sektor perikanan, perkebunan dan peternakan, sektor swasta perlu diberi peluang menanamkan investasi untuk penguasaan teknologi dan menggali pertumbuhan nilai tambah. Investasi pada komoditi karet, unggas, dan tanaman perkebunan juga relevan karena menampilkan pengganda yang relatif tinggi. 2. Kebijakan ekonomi makro Kebijakan ekonomi makro memfokuskan kepada tiga sasaran secara simultan dan berkesinambungan: (a) pengendalian berjalannya mekanisme pasar; (b) pengembangan industri secara bertahap dan konsisten—memuat tahapan-tahapan substitusi impor (import substitution), promosi ekspor (export promoting), dan penanaman investasi ke luar negeri (foreign direct investment, FDI) (Aggarwal and Agmon, 1990); dan (c) perbaikan nilai tukar (term of trade) yang memberikan insentif bagi petani. Dengan kebijakan ini diharapkan tercapai antara lain kemandirian untuk mengantisipasi liberalisasi perdagangan, berjalannya proses transformasi struktur ekonomi menjadi lebih konvergen, serta terselamatkannya sumberdaya-sumberdaya publik (common and public resources) dan kontinyuitas produksinya. Program pengembangan agribisnis sangat relevan untuk merealisasikan sasaran-sasaran tersebut di muka. Gunawan (2001) mencoba menyusun pilihan-pilihan subsistem agribisnis berdasarkan komoditi yang memiliki prospek tertentu (Tabel 3). Secara umum investasi dalam subsistem agribisnis prosesing dan pemasaran menyajikan prospek yang baik. Hal ini dapat dimengerti karena keadaan aktivitas ekonominya menyajikan spesifikasi derajat rendah. Masih banyak economic rent belum tertangkap untuk menghasilkan nilai tambah dan kaitan benefit (linkage) terhadap aktivitas ekonomi lainnya. Secara spesifik, propek pemasaran komoditi gula (tebu) tergolong sedang. Hal ini menunjukkan bahwa tata-niaga gula tidak menyajikan insentif yang menarik. Oleh karena itu, munculnya kasus lenyapnya gula di pasar mengindikasikan persaingan yang tajam dalam membagi economic rent gula melalui cara-cara yang tidak transparan. Importir dan distributor gula berebut keuntungan sesaat memanfaatkan lemahnya aturan dan kondisi geografis yang luas dan berat. Lepas dari itu, komitmen pemerintah (pusat) juga dipertanyakan karena mempunyai pandangan yang berbeda (mungkin tidak konsisten) dengan kepentingan petani (daerah) dalam menetapkan kesejahteraan. Hal ini nampaknya masih perlu dielaborasi dalam wacana yang mendalam. Pemerintah seyogyanya berani menolak unfair trade dalam bentuk dumping yang disinyalir terjadi pada komoditi gula atau padi. Sejak diundangkannya UU No 7 tahun 1996 tentang Ketahanan Pangan4, wewenang itu dimungkinkan agar kepentingan konsumsi domestik senantiasa tersedia, terjangkau dan handal. Ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, merata dan terjangkau. Sementara definisi pada World Food Conference Human Right 1993 dan World Food Summit 1996 adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi setiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat. Sistem ketahanan pangan dikatakan mantap apabila mampu memberikan jaminan bahwa semua penduduk setiap saat pasti memperoleh makanan yang cukup sesuai dengan norma gizi untuk kehidupan yang sehat, tumbuh dan produktif. Ancaman risiko atau peluang kejadian sebagian penduduk 4

8 Tabel 3. Prospek Investasi Komoditi Berdasarkan Subsistem Agribisnis Komoditi Tanaman Pangan • Padi • Jagung • Kedele • Cassava • Ubi jalar Buah-buahan • Mangga • Durian • Rambutan • Manggis • Jeruk • Salak • Pisang Sayuran • Kentang • Kubis • Cabe • Shallot • Tomat Bunga • Anggrek Tanaman Perkebunan • Kopi • Kakao • Karet • Buah sawit • The • Tembakau • Tebu (gula) • Patchouli • Biji mete Ternak • Ayam Lokal • Sapi • Kambing • Bebek

Input

Produksi

Prosesing

Pemasaran

X X XX X X

X X XXX XXX XX

XXX XXX XXX XXX XXX

XXX XXX XXX XXX XXX

XX XX XX XX XX XX XX

XX XX XX XX XX XX XX

XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX

XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX

XX XX XX XX XX

XX XX XX XX XX

XXX XXX XXX XXX XXX

XXX XXX XXX XXX XXX

X

X

XXX

XXX

XX XX XX XX XX XX XX XXX XXX

XX XX XX XX XX XXX XXX XXX XXX

XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX

XXX XXX XXX XXX XXX XXX XX XXX XXX

XXX XXX XX XXX

XXX XX XX XXX

XXX XX X X

XXX XXX XX XXX

Keterangan prospek Komoditi: X = kurang, XX = sedang, XXX = bagus Sumber: Gunawan (2001)

3. Penataan ruang Kebijakan penataan ruang diilhami oleh prinsip material balance yang bertujuan untuk mengendalikan dan mengoptimalkan aliran energi pada sumberdaya lahan pertanian sehingga terjaga kelestarian dan pemanfaatannya. Kebijakan ini dalam Pelita IV, V, dan VI memfokuskan kepada sektor transmigrasi, pembangunan perumahan perkotaan dan konsolidasi tanah perkotaan. Berlandaskan kepada UU 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, mekanisme penataan ruang hendaknya disusun lebih konsepsional dan terintegrasi diarahkan untuk bukan saja menyerasikan pembangunan wilayah kota-desa dan melestarikan lingkungan tetapi juga mengurangi kesenjangan kepemilikan lahan pertanian. Program yang menderita kurang pangan merupakan indikator keragaan akhir dari sistem ketahanan pangan. Oleh karena itu ketahanan pangan ditentukan oleh tiga indikator kunci, yaitu ketersediaan pangan (food availability), jangkauan pangan (food access) dan kehandalan (reliability).

9 kontekstual adalah transmigrasi dan landreform. Tersedianya hutan konversi seluas 30 juta ha perlu dire-evaluasi untuk lebih memprioritaskan program transmigrasi dan menempatkan penggunaan lahan lainnya: perkebunan, HPH, atau HPHTI dalam kerangka program transmigrasi. Sementara program landreform sekaligus merupakan 'safety valve' akibat munculnya kasus-kasus pertanahan antara rakyat dengan negara, badan-badan usaha milik negara atau swasta. Diversifikasi ruang dan aktivitas ekonomi selain menghasilkan konfigurasi ekologi lebih stabil, juga memberi benefit dalam aspek sosial, ekonomi dan lingkungan secara simultan. Sektor pariwisata nampaknya menjadi agenda utama yang menjanjikan pertumbuhan yang tinggi. Pariwisata dalam bentuk agro-tourism, rural tourism, eco-tourism atau etno-ecotourism secara langsung menginjeksi aktivitas ekonomi perdesaan. Produk dan jasa perdesaan yang dapat dijual antara lain budaya tradisional, keindahan alam, fasilitas rekreasi dan beraneka suvenir. Proses produksi pariwisata perdesaan boleh dikatakan relatif bersih lingkungan, namun menghasilkan peningkatan pendapatan yang signifikan bagi penduduk lokal. Sejauh ini obyek wisata agro telah dibuka oleh BUMN yang proses produksinya menyatu dengan keindahan alam, misalnya kebun teh, kopi, tembakau dan tebu. Dari sektor swasta yang sudah terlibat mengandalkan pesona kebun apel. 4. Pengembangan partisipasi masyarakat Kebijakan ini sangat kental dengan kaidah-kaidah dalam bidang sosiologi dan ilmu sosial lainnya sekalipun tujuan akhirnya adalah benefit ekonomi. Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang memberi kesempatan kepada masyarakat sendiri untuk menentukan pilihanpilihannya menuju kesejahteraan. Hal ini menjadi relevan karena dapat mengembangkan social capital sekaligus mencegah opportunity cost akibat distorsi (the tragedy unmanaged common) akibat intervensi berlebihan oleh pemerintah. Pendekatan ini secara umum menghasilkan pengaruh yang signifikan bagi upaya-upaya pembangunan perdesaan dan pengentasan kemiskinan. Partisipasi masyarakat dapat diarahkan untuk mendukung iklim investasi dan peran sektor swasta dalam sektor pertanian. Mereka diharapkan mampu menghasilkan nilai tambah dalam berbagai subsistem agribisnis dari hulu hingga hilir dan seluruh subsektor pendukungnya. Peluang partisipasi swasta yang disarankan, khususnya dalam subsektor perkebunan, antara lain (Gunawan, 2001): a. Koperasi perkebunan (state cooperative model), model yang 100 persen sahamnya dikuasai koperasi. b. Usaha bersama koperasi dan swasta (investor-cooperative joint venture model), model dengan komposisi saham koperasi dan swasta berbanding 65 persen dan 35 persen. c. Usaha bersama koperasi dan swasta (investor-cooperative joint venture model), model dengan kepemilikan saham swasta 80 persen dan koperasi 20 persen, namun saham koperasi dinaikkan secara bertahap d. BOT (build, operate, and transfer), model dimana pembangunan dan operasional usaha (kebun dan pabrik) menjadi tanggungjawab swasta hingga suatu pada saat diserahkan ke koperasi e. BTN: model kerjasama dimana kebun dan pabrik dibangun swasta dan kemudian diserahkan kepada anggota koperasi yang berminat. Lebih jauh, pengembangan partisipasi masyarakat perlu diarahkan untuk menggali dan mengidentifikasi potensi ekonomi menuju peningkatan produktivitas dan pelestarian lingkungan. Dengan memberikan perhatian kepada peran kaum wanita, bantuan teknologi dan manajemen dipastikan pencapaian sasaran kesejahteraan masyarakat perdesaan lebih efektif sesuai dengan norma dan tata nilainya. Lebih dari itu, peningkatan partisipasi masyarakat akan menghasilkan aliran informasi, benefit dan akses yang setara terhadap

10 produk dan jasa dari sistem produksi pertanian. Masyarakat petani di wilayah manapun dengan mudah menjangkau kebutuhannya tanpa kendala dan distorsi. Menurut WSSD (2002), hal tersebut sejalan dengan tujuan meningkatkan ketahanan pangan dan keberlanjutan kenaikan kesejahteraan orang-orang miskin. 5. Membangun kelembagaan Pembangunan kelembagaan bertujuan mengarahkan aliran investasi secara efektif (tidak bocor), menjamin proses transaksi maupun investasi sesuai kontrak, dan mencegah incredible commitment. Dua hal yang menjadi perhatian (Williamson, 1995). Pada level makro, yaitu institutional environment, aturan-aturan yang menyangkut aspek sosial, politik, dan aspek legal lainnya yang mendasari sistem produksi, konsumsi dan distribusi, harus ditegakkan oleh semua pihak dalam kedudukan yang sama di muka hukum. Pada level mikro, yaitu institutional arrangement, aturan-aturan atau mekanisme di antara unit-unit ekonomi yang mengendalikan operasi, koordinasi dan kompetisi ditekankan kepada partisipasi dan utility untuk mencapai suatu transaksi secara de facto. Berjalannya mekanisme kelembagaan yang efektif menuntut adanya kesatuan sistem hukum antara yang lebih tinggi dengan yang di bawahnya. Ketidakharmonisan ini akan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan malapetaka (chaos) akibat terjadinya benturan sistem. Untuk itu diperlukan kesungguhan, kejujuran, dan kearifan untuk menghargai indigenous institution, property right, dan aturan kontrak dalam rangka mengembangkan perekonomian sekaligus meningkatkan modal sosial (social capital) di dalamnya. Menurut Grindle (2001), faktor kepemimpinan sangat penting dalam perubahan institusional menuju perekonomian yang lebih bersih. Pemimpin mutlak memiliki komitmen dan visi yang jelas (melawan kekuatan status quo), menguasai permasalahan dan mengomunikasikannya dengan kekuatan politik ekonomi. Mungkin dapat dibenarkan merekayasa ketidakimbangan jangka pendek dalam rangka menuju keseimbangan jangka panjang (Eriyatno, 1998). Ketidakseimbangan memerlukan biaya (yang harus dibayar) dalam rangka meningkatkan efektivitas lembaga. Pemimpin harus mampu mengidentifikasi dan mengisolasi permasalahan kritis. Setelah itu harus diarahkan kepada logika permasalahan yang rasional. Implementasi pembangunan kelembagaan adalah terciptanya kepemerintahaan yang efektif di dukung kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang memadai. Mekanisme pembinaan SDM yang transparan dan mengandung insentif adalah kunci penting bagi pengembangan aparatur yang profesional dan perbaikan administrasi publik (Israel, 1987). Mereka diharapkan menjadi aparat yang independen, kaya dengan gagasan dan kreativitas, konsisten dan credible, serta menghasilkan produk jasa yang nyata dan dapat dinikmati masyarakat secara keseluruhan. Pengenalan terhadap manajemen bisnis swasta sangat perlu agar paradigma dan momentum reformasi dalam sektor-sektor publik senantiasa terpelihara. Menurut Moore (1996), pendekatan manajemen publik baru (new public management atau public service orientation, Tabel 4) memiliki karakteristik: (a) profesional dan akuntabel; (b) ukuran kinerja berciri kuantitatif; (c) terjadi mekanisme pengendalian pada input, proses dan output; (d) otonomi/desentralisasi dan networking; (e) kompetisi; dan (f) disiplin menuju efisien. Pendekatan baru tersebut diyakini sangat kondusif bagi berkembangnya partisipasi masyarakat. Tabel 4. Pendekatan dalam Pengelolaan Sektor Publik

Prinsip dasar/prioritas

Classical Public Administration (CPA)

New public management (NPM)

Public service orientation (PSO)

Sektor publik itu sendiri

Manajemen bisnis

Pelayanan publik

11 Organisasi

Birokratik, seragam, kaku

Akuntabilitas

Proses politik, demokrasi perwakilan User sebagai subyek, loyalitas, produsen sebagai birokrat profesional Paternalistik, kolektif, jenjang karir sangat birokratis

Hubungan dengan user Hubungan ketenaga-kerjaan

Desentralisasi, bervariasi, fleksibel Pasar, pilihan publik (user) User sebagai konsumen, loyalitas, produsen sebagai pemuas kebutuhan user Berorientasi kinerja, individual, jenjang karir fleksibel dan kompetitif

Desentralisasi, bervariasi dalam kebersamaan Proses politik, demokrasi langsung User sebagai subyek, loyalitas, produsen sebagai partner dengan user Partisipatif, kolegial, jenjang karir fleksibel dan kolektif

Sumber: Moore (1996)

Penutup Implementasi dari pendekatan kelembagaan adalah terselenggaranya kebijakan publik sektor pertanian yang efektif. Pada keadaan tersebut, seluruh stakeholder berperan secara efektif dilindungi oleh suatu sistem hukum yang kaya insentif. Aparatur pemerintah bekerja secara profesional didukung dengan manajemen publik yang transparan, accountable dan partisipatif. Sektor swasta berperan aktif menemukan peluang dan merealisasikan potensi ekonomi menjadi keuntungan dan pertumbuhan. Sementara aspirasi masyarakat dan sebagain besar petani terakomodasi melalui metode pemecahan masalah yang rasional. Sebagai akibatnya, harapan mengalirnya investasi akan menjadi kenyataan untuk mendukung programprogram pembangunan pertanian, pengentasan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan. Investasi dalam aspek sosial, ekonomi, manusia dan sumberdaya alam diperlukan dalam rangka mendukung pembangunan sektor pertanian berkelanjutan. Keempat jenis investasi pada dasarnya merupakan kompromi dari penerapan mekanisme pasar dan sistem organisasi (non-pasar) yang dapat melindungi sektor pertanian dari dampak sosial dan perekonomian.

Daftar Pustaka Aggarwal, R. and T Agmon. 1990. The international success of developing country firms: role of government-directed comparative advantage. Management International Review. 30(2): 163-180 Anonim. 2002. Perumusan Kebijakan Rasionalisasi Anggaran Pembangunan Pertanian. Kerjasama Deptan dengan Pusat Pengembangan Agribisnis Unibraw Cullis, J. and P. Jones. 1992. Public Finance And Public Choice: Analitical perspectives. International Editions. McGraw-Hill, Singapore. Eriyatno. 1998. Manajemen pada situasi krisis: aplikasi pada kelembagaan sistem distribusi. Perencanaan Pembangunan, Bappenas Jakarta:12 (Juni-Juli): 3-8 Fuglie, K. O. 1999. Investing in agricultural productivity in Indonesia. Forum Agro Ekonomi. 19(2): 1-16 Grindle, M. S. 2001. In quest of the political: the political economy of development policy making. In: Meier, G and J. E. Stiglitz (eds.). Future Development: Economic perspectives. Oxford Univ Press, Oxford. Gunawan, M. 2003. Agribusiness Investment Opportunity in Indonesia. www.deptan.go.id [5 Mei 2003]

12 Hoff, K. and J. E. Stiglitz. 2001. Modern economic theory and development. In: Meier, G and J. E. Stiglitz (eds.). Future Development: Economic perspectives. Oxford University Press, Oxford. Israel, A 1987. Institutional Development: incentives to performance. The John Hopkins University Press for The World Bank, Baltimore and London. Moore, C. 1996. Human resources in the public sector. In: Towers, B (ed.). The Handbook of Human Resources Management. Blackwell Business, Massachussett. Serageldin, I. 1996. Sustainability and the Wealth of Nations, First steps in an ongoing journey. Environmentally Sustainable Development (ESD) Studies and Monographs Series No. 5. Williamson, O. E. 1995. The institutions and governance of economic development and reform. Proceeding of the World Bank Annual Conference on Development Economics 1994. IBRD-World Bank, Washington, DC. World Bank. 1995. Bureaucrats in Bussiness: The economics ang politics of government ownership. A World Bank Policy Research Report. The World Bank, Washington, D. C. WSSD (World Summit on Sustainable Development). 2002. WEHAB: Agriculture. www. johannesburgsummit.org.

13 Lampiran 1. Distribusi Output, Pendapatan, Tenaga Kerja dan Nilai Tambah pada Sepuluh Sub-Sektor Pertanian Dominan Sub Sektor

Output miliar rp persen

Sub Sektor

Padi Sayur dan buah-2an Perikanan Kayu Pemotongan hewan Karet Kelapa Sawit Unggas dan hasil-2nya Peternakan Tanaman Ubi-2an Pertanian (23 sektor) Total (66 sektor)

50258.6 48988.7 31482.4 20022.1 16399.8 13630.2 11816.1 11809.2 11713.2 9708 272309.3 1948844

Padi Sayur dan buah-2an Perikanan Kayu Karet Pemotongan hewan Peternakan Kelapa Sawit Tebu Tanaman lainnya Pertanian (23 sektor) Total (66 sektor)

2.6 2.5 1.6 1.0 0.8 0.7 0.6 0.6 0.6 0.5 14 100

Tenaga Kerja

Sub Sektor

ribu orang

Sayur dan buah-2an 10101.7 Padi 7918.2 Jagung 3061.8 Tanaman Ubi-2an 2265.6 Tanaman kacang-2an 1699.5 Perikanan 1207.1 Peternakan 839.2 Karet 709.1 Unggas dan hasil-2nya 753.1 Kelapa Sawit 604.3 Pertanian (23 sektor) 32527.8 Total (66 sektor) 88617 Sumber Anonim (2002), Tabel IO diolah

persen 11.4 8.9 3.5 2.6 1.9 1.4 0.9 0.8 0.8 0.7 37 100

Pendapatan miliar rp persen 9185,8 6508,4 5535,6 2779,2 2746,9 2271 2264,8 2012,2 1421,6 1313,3 43302,1 348630

2,6 1,9 1,6 0,8 0,8 0,7 0,6 0,6 0,4 0,4 12 100

Nilai Tambah

Sub Sektor Sayur dan buah-2an Padi Perikanan Kayu Tanaman Ubi-2an Kelapa Sawit Peternakan Tanaman kacang-2an Jagung Unggas dan hasil-2nya Pertanian (23 sektor) Total (66 sektor)

miliar rp

persen

45958,3 44264,4 26095,8 15542,8 9169,6 8600 9027,9 7611,9 8037,6 7434,7 218225,2 1107291

4,2 4.0 2,4 1,4 0,8 0,8 0,8 0,7 0,7 0,7 20 100

Lampiran 2. Produksi Tanaman Pangan dan Perkebunan Utama, 1990 hingga 2001 Tahun

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Sumber:

View publication stats

Padi

Jagung

juta ton ribu ton GKG 45.18 6734 44.69 6256 48.24 7995 48.18 6460 46.64 6869 49.74 8246 51.10 9307 49.38 8771 49.20 10169 50.87 9204 51.90 9677 50.46 9347 51.38 9527 51.40 9662 BPS (2003)

Kedele

Karet

Buah Sawit

Kakao

Kopi

Teh

ribu ton

ribu ton

ribu ton

ribu ton

ribu ton

ribu ton

1487 1555 1870 1709 1565 1680 1517 1357 1306 1383 1018 827 653 740

315.3 330.1 335.0 335.0 326.4 341.0 334.6 330.5 332.6 303.6 336.2 328.3

2096.9 1843.6 2186.0 2288.3 1930.3 2476.4 2569.5 4081.1 4013.1 4024.8 4094.1 4152.6

41.5 30.6 39.5 42.7 43.7 46.4 48.8 65.9 60.9 58.9 60.6 65.3

25.5 26.4 23.9 20.9 19.7 20.8 28.5 30.6 28.5 27.5 29.5 28.7

129.1 125.0 113.0 100.0 98.0 111.1 132.0 121.0 132.7 130.5 127.9 129.3

Tebu ribu ton gula 2173.2 2233.3 2344.6 2336.1 2420.7 2104.7 2160.1 2187.2 1928.7 1907.4 1896.7 2025.1

Tembakau

Serat

ton

ton

3.500 4.900 7.500 3.100 5.100 9.900 7.100 7.800 7.700 5.797 6.312 5.116

14.80 5.30 9.30 18.40 16.40 12.70 4.90 9.60 3.70 2.34 2.69 2.15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/259264210

Journal of Agricultural Technology Article · January 2011

CITATION

READS

1

3,126

4 authors, including: Hugo Alfried Volkaert Kasetsart University 30 PUBLICATIONS   195 CITATIONS    SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

population genetics of Xylia View project

All content following this page was uploaded by Hugo Alfried Volkaert on 12 December 2013. The user has requested enhancement of the downloaded file.

Journal of Agricultural Technology 2011 Vol. 7(2): 307-320 Journal of Agricultural Technology 2011, Vol.7(3): 307-320 Available online http://www.ijat-aatsea.com ISSN 1686-9141

Molecular diversity of tomato thrips, Ceratothripoides claratris (Shumshur) (Thysanoptera: Thripidae) populations found in Thailand using PCR-SSCP

Thakaew, U.1,2*, Engkhaninun, J.3, Volkaert, H.1,2,4 and Attathom, T.5 1

Center for Agricultural Biotechnology, Kasetsart University, Kamphaeng Saen Campus, Nakhon Pathom 73140, Thailand. 2 Center for Excellence on Agricultural Biotechnology: (AG-BIO/PERDO-CHE), Bangkok, Thailand. 3 Department of Plant Pathology, Faculty of Agriculture Kamphaeng Saen, Kasetsart University, Kamphaeng Saen Campus, Nakhon Pathom 73140, Thailand. 4 Plant Research Group, National Center for Genetic Engineering and Biotechnology (BIOTEC), Thailand Science Park, Khlong Luang, Pathum Thani 10120, Thailand. 5 Department of Entomology, Faculty of Agriculture Kamphaeng Saen, Kasetsart University, Kamphaeng Saen Campus, Nakhon Pathom 73140, Thailand. Thakaew, U., Engkhaninun, J., Volkaert, H. and Attathom, T. (2011). Molecular diversity of tomato thrips, Ceratothripoides claratris (Shumshur) (Thysanoptera: Thripidae) populations found in Thailand using PCR-SSCP. Journal of Agricultural Technology 7(2): 307-320. The thrips mitochondrial gene Cytochrome Oxidase I (COI), the nuclear genes Elongation Factor1α (EF1α) and Arginine Kinase (ARGK) genes were amplified and cloned using degenerate primers designed based on sequences from other insect species. The obtained thrips DNA sequences of each gene were used to develop locus specific primers. The specific primer sets that were developed and the published primers for the internal transcribed spacer (ITS) could successfully amplify specific DNA fragments from Ceratothripoides claratris in all populations studied. Intraspecific variation of twenty-six accessions of C. claratris collected from different areas in Thailand was determined by molecular analysis using SSCP techniques. SSCP analysis showed little polymorphism of specific amplified products. The amplified EF1α gene product was apparently monomorphic and only 5, 3 and 7 banding patterns were detected for COI, ITS and ARGK loci. UPGMA cluster analysis of all populations distinguished 15 groups at 0.75 of similarity coefficient with 0.98408 cophenetic correlation, using polymorphic bands pattern generated from 4 primer amplifications separated on polyacrylamide gel. Key words: Ceratothripoides claratris, polymorphism, diversity, SSCP

*

Corresponding author: Urakorn Thakaew; e-mail: [email protected]

307

Introduction Ceratothripoides claratris (Shumsher) is a major pest in tomato production and the predominant thrips species on field and greenhouse-grown tomatoes in Thailand, especially in the central plain area (Murai et al., 2000; Rodmui, 2002). Apart from Thailand, C. claratris has also been recorded in India (Jangvitaya, 1993) and Malaysia (S. Okajima cited in Murai et al., 2000). Both larvae and adults of C. claratris damage tomatoes by voraciously feeding on the foliage, stems and fruits; in addition, oviposition by females on fruits leads to scarification and malformation of tomatoes (Murai et al., 2000; Premachandra et al., 2004). Moreover, C. claratris is apparently a vector for tomato necrotic spot virus (TNSV) (Premachandra et al., 2004). To date little information is available on the genetic diversity of thrips in Thailand. No molecular studies have assessed genetic diversity among populations of C. claratris. The study of genetic diversity is important for understanding species diversity, phylogenetic patterns and evolutionary processes. In pest species, this is also important for the development of the effective and sustainable control strategy. No biotype differentiation has been reported in C. claratris. Morphological characterization alone does not provide sufficient information to fully understand the genetic diversity within a species. At present a number of DNA-based molecular marker techniques are available and widely used to provide information about the diversity of genotypes in plants and animals such as RFLPs (restriction fragments length polymorphism) (Botstein et al., 1980), AFLPs (amplified fragments length polymorphism) (Vos et al., 1995), RAPDs (random amplified polymorphic DNA) (Williams et al., 1990; Kazan et al., 1993) and SSCP (single-strand conformation polymorphism) (Orita et al., 1989). Single strand conformation polymorphism (SSCP) electrophoresis enables one to detect polymorphism in a DNA fragment due to as little as a single base substitution (Orita et al., 1989). The differentiation of DNA fragments of the same length differing in their sequences is based on a sequence dependent mobility shift of single-stranded DNA during electrophoresis. Examples of the use of SSCP analysis in taxonomic investigations have been reported. In most of these studies (Hiss et al., 1994; Tokue et al., 1995; Travis & Keim, 1995; Walsh et al., 1995; Stothard et al., 1998; Koekemoer et al., 1999) single gene loci were used, though multiple gene loci have also been investigated (Ohsako et al., 1996; Nakamura et al., 1998). The objectives of this study were 1) to develop specific primers for tomato thrips, C. claratris and 2) to study genetic diversity and determining genetic relationships among and 308

Journal of Agricultural Technology 2011, Vol.7(3): 307-320

within C. claratris populations in Thailand, using Polymerase Chain ReactionSingle Strand Conformation Polymorphism (PCR-SSCP). Materials and methods Thrips collection Thrips populations were collected from major tomato growing provinces in different geographical regions in Thailand. Thirty-two adult thrips were collected from each of 26 locations (Table1) making a total of 832 samples. The adult thrips were examined and morphologically identified under a stereo microscope. All samples were stored in 70% ethanol at -20 ºC until use. DNA Extraction DNA was extracted by crushing individual adult thrips in 10 µl of commercial PCR buffer with 1% Tween 20 and 1µg/µl of Proteinase K (QIAGEN). The DNA lysate was then incubated at 60 ºC for 1 hour and then incubated at 95°C for 10 min to inactivate proteinase K. Centrifugation and transfer of supernatants to new tube. Design of degenerate primers PCR primer pairs for Cytochrome oxidase I (COI), Elongation factor1α (EF1α) and Arginine kinase (ARGK) genes were designed based on information of DNA sequences obtained from other insect species. Sequences from different insect species were retrieved from publicly accessible DNA databases (GeneBank) by keyword and BLAST searching. The sequences were aligned using the ClustalW program (http://www.ebi.ac.uk/clustalW/index.html). The resulting alignments were improved by visual inspection using the GeneDoc program. The degenerated primer pairs were used to amplify the target genes. Each PCR amplification reaction in 10 µl volume contained 2 µl of template DNA, 10 pmol of each of the primers, 200 µM of each dNTPs (Promega), 1x PCR buffer (NH4SO4, 2mM MgCl2 and 0.5U of Taq DNA polymerase (Fermentas). Amplification was performed on a T1 Thermocycler (Biometra) or on a PTC100 (MJ Research). Cycling started with an initial 94°C for 3 min, then followed by 35 cycles of 94°C for 45 sec, the appropriate annealing temperature for 45 sec, 72°C for 2 min and final extension at 72°C for 5 min. After amplification, the reaction products were electrophoresed on 1% agarose gels. The reproducible PCRs were selected for cloning using the pGEM -T Easy 309

vector (Promega, USA). Individual clones were picked, and plasmid DNA was purified and sent for sequencing. Table 1. Sites of collection of tomato thrips, Ceratothripoides claratris in different regions of Thailand. Site of collection Region Northern

Province

Accession no.1_/

Chiang Rai Chiang Mai Phayao Lamphun Lampang

P19 P20 P22 P23 P24

Nakhon Pathom Nakhon Sawan Phichit Kamphaeng Phet Uthai Thani Chai Nat Sing Buri Ang Thong

P14 P25 P26 P27 P28 P29 P30 P31

Nong Khai Sakon Nakhon Mukdahan Amnat Charoen Ubon Ratchathani Buri Ram Nakhon Ratchasima Yasothon

P1 P2 P4 P5 P6 P8 P9 P10

Ratchaburi Phetchaburi PrachuapKhiri Khan Kanchanaburi Tak

P15 P16 P17 P18 P21

Central

North-Eastern

Western

1_/

P = Thrips population Missing accession numbers were thrips populations in which the collected number were less than 32 individuals and were excluded from this study.

Design of specific primers The DNA sequences obtained from the cloned fragments were integrated in the alignments containing the sequences of other insect species. The intron310

Journal of Agricultural Technology 2011, Vol.7(3): 307-320

exon boundaries (GT-AG) were determined in the C. claratris sequences. The conserved region of C. claratris sequences were chosen to design specific primers. In addition, the published specific primer pair (Ruman-Jones et al., 2006) for the amplification of the internal transcribed spacer (ITS) gene was also used for PCR-SSCP analysis. PCR-SSCP To detect polymorphism, genomic DNA samples of the collected C. claratris were amplified by using the specific primer pairs in 96-well plates. A total reaction mixture of 15 µl contained 200 µM dNTPs (Promega), 2.5 mM MgCl2 (Fermentas), 5 pmole of each primers, 1x PCR buffer with (NH4)2SO4 (Fermentas), 0.3 unit of Taq DNA polymerase (Fermentas) and 20 ng of genomic DNA template. Amplification was carried out at 94°C for 3 min, followed by 35 cycles of 45 sec at 94°C, 45 sec at the appropriate annealing temperature, 90 sec at 72°C, and a final extension at 72°C for 5 min. PCR products were checked for quality and size by electrophoresis on 1% agarose gel using 1xTBE buffer at 100 V for 20 min. The amplified products from four specific primers were analyzed using the SSCP method. SSCP was performed by denaturing the double-stranded DNA products as follows: 1.5 µl of each PCR product were added to 3.5 µl loading dye (95% formamide, 10 mM NaOH, 0.025% xylene cyanole and 0.025% bromophenol blue). The mixture was denatured at 98°C for 10 min and immediately placed on ice water to stabilize single strands. 2 µl of these samples were loaded on 30 cm × 40 cm × 0.4 mm polyacrylamide gel using non-denaturing conditions (Single-Strand DNA Polymorphism, Orita et al., 1989). Polyacrylamide gel composed of 12 ml Sequagel MD solution (National Diagnostics, U.S.A.), 7.2 ml 5X TBE (10.8% Tris, 5.5% Boric, 0.02M EDTA pH8), 40 ml distilled water, 50 µl NNNN-Tetramethylene diamine (TEMED), 500 µl 10% APS (Ammonium peroxide sulphate). The samples were subjected to electrophoresis using a Hoefer SQ3 vertical electrophoresis apparatus (Amersham Pharmacia Biotech, U.S.A.), in 0.5X TBE buffer operated at 300 mA, 10 Watt in refrigerator at 4°C. The length of running time depended on the size of the DNA fragment being analyzed (Table 2). The SSCP patterns were visualized by silver staining. Cluster analysis All bands revealed by each primer set were visually recorded as binary data by 1 (present) or 0 (absent). The binary data was analyzed with the computer program NTSYSpc version 2.02 (Rohlf, 1993). An unweighted pair 311

group arithmetic mean method (UPGMA) cluster analysis was performed using the JACCARD’s similarity coefficient. The dendrogram was generated with the tree option (TREE) and cophenetic value distance matrix was derived from dendrogram with a COPH program in NTSYSpc. The cophenetic value distance matrix was compared for correlation with the original matrix with the MXCOMP NTSYS program. Bootstrap values were calculated with 1000 replicates by winboot program (Yap and Nelson, 1996). Table 2. Conditions for SSCP analysis of PCR amplified gene products. DNA region Cytochrome oxidase I (COI) Internal transcribed spacer (ITS) Elongation factor1α (EF1α) Arginine kinase (Argk)

Watt 10 10 10 10

Running time (hr) 16.30 16.30 14 11

Results and discussion Design of degenerate primers Sequences coding for COI, EF1α and ARGK genes representing various insect species were obtained from GenBank databases. The retrieved sequences consisted of partial and complete cDNAs, EST and genomic DNA fragments. The sequence alignment allowed the design of primer set of general usability among insects. The primer sequences of each gene are shown in Table 3. The PCR reactions using COI, EF1α and ARGK primer set amplified a fragment in all collected thrips populations, producing a single band on agarose gel. Two sequences from eight positive clones of COI gene, four sequences from seven positive clones of EF1α gene and three sequences from thirty-one positive clones of ARGK gene, were obtained. The sequences of COI, EF1α and ARGK genes from C. claratris clones were compared to GenBank databases using BLAST for verification of gene identity. After alignment with COI gene from other insect species, the two obtained COI gene sequences were both found to be 529 bp in length without intron. The four obtained EF1α gene sequences were 459, 459, 437 and 515 bp in length respectively and two intron of size 78 bp and 456 bp is present. The obtained ARGK gene sequences were 327, 409 and 455 bp in length including one intron of size 81 bp. Design of specific primers Based on the obtained sequences of COI, EF1α and ARGK, specific primers were designed flanking the introns or extending into the introns in such 312

Journal of Agricultural Technology 2011, Vol.7(3): 307-320

a way that different loci could be amplified individually for each gene. All of the target sequences had introns, except COI sequence. The designed ARGK specific primer for C. claratris had one intron. The designed EF1α specific primer for C. claratris had two introns. The sequences of the C. claratris specific primer that were designed from sequences and the published primer of ITS gene are shown in Table 4. Table 3. Sequences of degenerate primers. Gene name Cytochrome oxidase I(COI)

Degenerate Primer (5'→3') Forward: CCT ATT ATA ATT GGA GGA TTY GG Reverse: GAG GCA AGA TTA AAA TAT AAA CTT CTG

Elongation factor1α (EF1α)

Forward: AAG ATG CCC TGG TTC AAG GGN TGG Reverse: CCG TTG GAG ATC TGR CCA GGR TG

Arginine kinase (Argk)

Forward: GAT CCC ATC ATT GAR GAY TAY CA Reverse: TCA CCC TCC TTG AAC AGR AAR TG H=(A/C/T), N=(A/G/C/T), R=(A/G), Y=(C/T)

Table 4. Sequence of the specific primers. Primer name Cytochrome oxidase I (CerCOI)

Primer sequence F) TTG GAA ACT GAC TTG TAC CTT T R) GAG GCA AGA TTA AAA TAT AAA CTT CTC

Reference Present study Present study

Elongation factor1α (CerEF1α)

F) GAC GCC ATC TTG CCG CCC AG R) TCG CCG GGA ACA GCT TCG GT

Present study Present study

Arginine kinase (CerArgk)

F) CAA GCA CCC TCC CAA GAA CTG G R) CAC CTC CTT GGT CAT GCC CT

Present study Present study

Internal transcribed spacer (ITS)

F) TGT GAA CTG CAG GAC ACA TG R) GTT RGT TTC TTT TCC TC

Ruman-Jones et al., 2006 Ruman-Jones et al., 2006

PCR-SSCP The specific primers of COI, EF1α, ARGK and ITS genes successfully amplified a fragment from all C. claratris populations. On agarose gel, a single band of approximate 550, 400, 300 and 500 bp were visible respectively. Different alleles could not be distinguished. However, using SSCP, several alleles could be identified in all populations. The PCR-SSCP analysis indicated that all of the amplified EF1α gene fragments gave an identical band pattern. Therefore this gene cannot be used to differentiate C. claratris populations from different locations. However, the PCR-SSCP analysis of COI, ITS and ARGK gene fragments revealed 5, 3 and 7 313

different band patterns respectively. For the mitochondrial COI marker, 88% of the individuals had one haplotype and 11% had an alternate haplotype while just a few individuals were observed for the other 3 haplotypes. Similarly for the nuclear ITS and ARGK loci, one allele was extremely common, while only some isolated individuals had the alternate alleles. The COI locus combined with the nuclear genes can therefore be used to clarify C. claratris populations collected from different locations. The SSCP patterns of COI fragment of the gene, five alleles were observed. Three different SSCP patterns were identified for the ITS fragment and seven different SSCP patterns for the ARGK locus. The SSCP assays indicated a low genetic diversity in C. claratris collected from different locations in Thailand. The SSCP markers from four specific loci in the present study may not be suitable for estimating genetic similarity between very closely related accessions of C. claratris. In order to be useful for genetic diversity research, the gene specific primer must contain regions where the sequence varies at high rate among populations. Therefore, C. claratris collections should be analyzed with a larger number of loci and more accessions from broader geographic range to obtain duplicated genetic diversity estimation in this thrips. Even though the SSCP-PCR technique sometimes can reveal single nucleotide substitutions, this study revealed limited genetic polymorphisms among C. claratris populations collected from different locations in Thailand. Still, different alleles in each population could be distinguished and counted. This may suggest that thrips populations collected from different geographical regions of Thailand are more than one group. This approach provides more information available for the study of genetic diversity of insects. Cluster analysis A total fifteen banding patterns were scored according to their presence and absence of shared polymorphism bands across the COI and three nuclear loci. One hundred and forty-one thrips representing each of the multilocus genotypes found in each of the 32 C. claratris populations were selected for further clustering analysis. All polymorphic bands were used to construct the dendrogram by the unweighted pair-group method with an arithmetic average algorithm (UPGMA) and the computational analysis was done by NTSYSpc program (Rohlf, 1993). Based on the constructed dendrogram using a 0.77 similarity level, the total thrips, C. claratris populations could be clustered into 15 groups (Fig. 1). Cluster A contained the most common genotype including most of the accessions from Northern, Central, North-Eastern and Western regions. Cluster B and K included only Northern region. Cluster C and J 314

Journal of Agricultural Technology 2011, Vol.7(3): 307-320

included only North-Eastern region. Cluster D, E, F, G, H, I, L, M, N and O included only Central region. Cluster E consisted of three regions that were Central, North-Eastern and Western regions. The cophenetic correlation (r) was 0.98408. The compositions of each group were described in Table 5.

315

A

61

70

B C D

75

E

71 71

Fig. 1. Phenetic dendrogram of genetic diversity of Ceratothripoides claratris based on the binary matrix of polymorphic bands, using the UPGMA algorithm and Jaccard’s similarity coefficient (NTSYS program). Bootstrap values above 50% from 1000 replicates are indicated for the corresponding branch.

316

Journal of Agricultural Technology 2011, Vol.7(3): 307-320

Table 5. Clustered of Ceratothripoides claratris collected from different locations in Thailand. Groups A

B C D E

Province Nong Khai, Sakon Nakhon, Mukdahan, Nakhon Sawan, Amnat Charoen, Lampang, Lamphun, Phayao, Ubon Ratchathani, Chiang Rai, Buri Ram, Prachuap Khiri Khan, Phetchaburi, Ratchaburi, Yasothon, Chiang Mai, Tak, Uthai Thani, Kamphaeng Phet, Phichit, Nakhon Pathom, Sing Buri, Nakhon Ratchasima, Ang Thong and Kanchanaburi Chiang Mai Amnat Charoen Buri Ram and Uthai Thani Buri Ram, Kanchanaburi, Phetchaburi, Ang Thong, Sing Buri, Chai Nat, Uthai Thani, Kamphaeng Phet, Phichit, Nakhon Pathom and Nakhon Ratchasima

F

Uthai Thani

G

Chai Nat

H

Uthai Thani

I

Uthai Thani

J

Buri Ram

K

Chiang Mai, Lampang and Lamphun

L

Phichit

M

Kamphaeng Phet

N O

Chai Nat Uthai Thani

Results from this study indicate that the thrips population in Thailand is highly homogenous with about 85% of all specimens assayed belonging to a single multilocus haplotype. Still some interesting patterns were observed. All individuals of the Pichit population had the alternate COI genotype, while this genotype also occurred at a low frequency in the surrounding populations and 317

in northeastern Thailand. Although very rare, 5 out of 6 individuals having the ARGK allele 2 were from northern Thailand (Chiangmai, Lamphun and Lampang) and allele 4 was found only in Chainat, UthaiThani and Kamphaengphet, three neighbouring provinces in central Thailand. In its evolutionary history, C. claratris was introduced to Thailand from abroad and may have dispersed forming new populations maintaining a high genetic similarity compared to the parental population. The two observed COI haplotypes may point to independent introductions. Factors such as availability of alternative host plants, agricultural practicing, geographic and climatic conditions in each location may contribute to conservation or loss of genetic variability among C. claratris populations in Thailand. We feel that evaluation in this cluster analysis is ambiguous. Therefore population characterization by detecting the variation at the level of DNA sequences may be more reliable. The results obtained in this study should be confirmed by repeating PCR-SSCP analysis on additional loci in which more polymorphism can be generated leading to better distinctions. Therefore, DNA based markers developed from nuclear and mitochondrial genes have the potential for use in population genetic studies in C. claratris and our data may form the basis for the future biotype identification of C. claratris populations in Thailand and thereby could provide useful information to broaden the scope of an effective and sustainable control strategy for C. claratris. Acknowledgements This research is supported by the Center of Excellence on Agricultural Biotechnology, Science and Technology Postgraduate Education and Research Development Office, Commission on Higher Education, Ministry of Education. (AG-BIO/PERDO-CHE) and The National Research Council of Thailand (NRCT) and the Deutsche Forschungsgemeinschaft (DFG, German Research Council) within framework of the joint research project on “Integrated Management of Tomato Pests under Protected Cultivation Using Biological Products”.

Referents Botstein, D., White, R.L., Skolnick, M. and Davis, R.W.. (1980). Construction of a genetic linkage map in man using restriction fragment length polymorphism. Amer. J. Hum. Genet. 32(3): 314-331. Hiss R.H., Norris, D.E., Dietrich, C.H., Whitcombe, R.F., West, D.F., Bosio, C.F., Kambhampati, S., Piesman, J., Antolin, M.F. and Black, W.C. (1994). Molecular taxonomy using single-strand conformation polymorphism (SSCP) analysis of mitochondrial ribosomal DNA genes. Insect Mol. Biol. 3: 171-182.

318

Journal of Agricultural Technology 2011, Vol.7(3): 307-320

Jangvitaya, P. (1993). Studies on the family Thripidae (Insecta: Thysanoptera) from Thailand. M.Sc. Dissertation, Tokyo University of Agriculture, Tokyo. Kazan, K., Manners, J.M. and Cameron, D.F. (1993). Genetic variation in agronomically important species of Stylosanthes determined using random amplified polymorphic DNA markers. Theor. Appl. Gent. 85: 882-888. Koekemoer L.L., Lochouarn, L., Hunt, R.H. and Coetzee, M. (1999). Single-strand conformation polymorphism analysis for identification of four members of the Anopheles funestus (Diptera: Culicidae) group. J. Med. Entomol. 36: 125-130. Murai, T., Kawai, S., Chongratanameteekul, W. and Nakasuji, F. (2000). Damage to tomato by Ceratothripoides claratris (Shumsher) (Thysanoptera: Thripidae) in central Thailand and a note of its parasitoid, Goethena Shakespearei Girault (Hymenoptera: Eulophidae). Appl. Entomol. Zool. 35: 505-507. Nakamura H., Kaneko, S., Yamaoka, Y. and Kakishima, M. (1998). PCR-SSCP analysis of the ribosomal DNA ITS regions of the willow rust fungi in Japan. Ann. Phytopathol. Soc. Jap. 64: 102-109. Ohsako T., Wang, G.Z. and Miyashita, N.T. (1996). Polymerase chain reaction-single strand conformational polymorphism analysis of intra- and interspecfic variations in organellar DNA regions of Aegilops mutica and related species. Genes Genet. Syst. 71: 281-292. Orita, M., Iwahana, H. and Sekiya, T. (1989). Detedtion of polymorphism of human DNA by gel electrophoresis as single strand conformation polymorphism. Proc. Natl. Acad. Sci. 86: 2766-2770. Premachandra, W.T.S.D., Borgemeister, C., Chabi-olaye, A. and Poehling, H.M. (2004). Influence of temperature on the development, reproduction and longevity of Ceratothripoides claratris (Thysanoptera: Thripidae) on tomatoes. Bull. Entomol. Res. 94: 377-384. Rodmui, P. (2002). Population dynamics and biological control of thrips, Ceratothripoides claratris (Shumsher) (Thysanoptera: Thripidae), on tomato under protected cultivation in Thailand. M.Sc. dissertation, Kasetsart University, Bangkok, Thailand. Rohlf, F.J. (1993). NTSYS-PC Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System. Exter Software, New York. 206 p. Ruman-Jones, P.F. (2006). Molecular Identification Key for Pest Species of Scirtothrips (Thysanoptera: Thripidae). Mol. Entomol. 99:1813-1819. Stothard J.R., Yamamoto, Y., Cherchi, A., Garcia, A.L., Valenta, S.A.S., Schofield, C.J. and Miles, M.A. (1998). A preliminary survey of mitochondrial sequence variation in Triatominae (Hemiptera: Reduviide) using polymerase chain reaction-based single strand conformational polymorphism (SSCP) analysis and direct sequencing. Bull. Entomol. Res. 88: 553-560. Travis, S.E. and Keim, P. (1995). Differentiating individuals and populations of mule deer using DNA. J. Wildl. Manag. 59: 824-831. Tokue, Y., Sugano, K., Noda, T., Saito, D., Shimosato, Y., Ohkura, H., Kakizoe, T. and Sekiya, T. (1995). Identification of mycobacteria by nonradioisotopic single-strand conformation polymorphism analysis. Diagn Microbiol. Infect. Dis. 23: 129-133. Vos, P., Hogers, R., Rrijans, M., Van de Lee, T., Hornes, M., Frijters, A., Pot, J., Peleman, J., Kuiper, M. and Zabeau, M. (1995). AFLP : a new technique for DNA fingerprinting. Nucl. Acids Res. 23: 4407-4414. Walsh, T.J., Francesconi, A., Kasai, M. and Chanock, S.J. (1995). PCR and single-strand conformational polymorphism for recognition of medically important opportunistic fungi. J. Clin. Microbiol. 33: 3216-3220. 319

Williams, J.G.K., Kubelik, A.R., Livak, K.J. and Tinay, J.A. (1990). DNA polymorphisms amplified by aribitrary primers are useful as genetic marker. Nucl. Acids Res. 18: 65316535. Yap, I. and Nelson, R. J. (1996). Winboot : A program for performing bootstrap analysis of binary data to determine the confidence limits of UPGMA-based dendrograms. IRRI Discussion paper Series 14. International Rice Research Institute, Manila, Philippines.

(Received 24 October 2010; accepted 4 March 2011)

320

View publication stats

Send Orders for Reprints to [email protected] 20

The Open Agriculture Journal, 2018, 12, 20-35

The Open Agriculture Journal Content list available at: www.benthamopen.com/TOASJ/ DOI: 10.2174/1874331501812010020

REVIEW ARTICLE

Managing Agricultural Research for Prosperity and Food Security in 2050: Comparison of Performance, Innovation Models and Prospects Jane G. Payumo1,*, Shireen Assem2, Neeru Bhooshan3, Hashini Galhena4, Ruth Mbabazi4 and Karim Maredia4 1

Center for Global Connections, College of Agriculture and Natural Resources, Michigan State University, East Lansing, MI, USA 48824 2 Agricultural Genetic Engineering Research Institute, Giza, Egypt 12619 3 Indian Agricultural Research Institute, New Delhi, India 110012 4 World Technology Access Program, Department of Entomology, College of Agriculture and Natural Resources, Michigan State University, Michigan, MI, USA 48824 Received: May 29, 2017

Revised: November 26, 2017

Accepted: January 11, 2018

Abstract: Background: Agriculture faces unprecedented developmental challenges globally. At the same time, rapid advances in agricultural research and innovation at the global, regional and national levels, offer unprecedented opportunities, improving performance across the entire agriculture product value chain. Objective: This paper highlights a multi-case study on six emerging economies in Asia and Africa and representative institutions, where opportunities for agricultural-led development are being explored to address pressing global challenges and transform agriculture into a vibrant and competitive sector. Methods: Drawing from secondary data and using a case study approach, this paper provides an overview and benchmarking of agricultural R&D indicators and policies at the country and institutional levels. Results: Findings reveal varying levels of agricultural development and successes of the six countries: Philippines, India, Sri Lanka, Egypt, Uganda, Kenya, in terms of agricultural performance, R&D investments and implementation of policies in managing modern agricultural innovations, intellectual property, technology transfer and public-private sector partnership in research and economic development. The paper presents some best practices and suggested measures that may be useful references for emerging economies and institutions with similar interests and initiatives to integrate agricultural research and technology transfer. Conclusion: Current successes and learning reveal changing and improving capacities in research and technology transfer in selected countries. However, sustaining success will require active policies to govern and promote investment in agricultural research and innovation, strategic partnerships for translating research to practice, and continuous capacity building and human resource development remain to be key ingredients for sustaining such success in addressing local and global problems in agriculture. * Address correspondence to this author at the Center for Global Connections, College of Agriculture and Natural Resources, Michigan State University, East Lansing, MI, USA 48824; Tel: +15174321639; E-mail: [email protected]

1874-3315/18

2018 Bentham Open

Managing Agricultural Research for Prosperity and Food

The Open Agriculture Journal, 2018, Volume 12 21

Keywords: Agricultural development, Agricultural research, Emerging economies, Innovation, Technology transfer, Research management.

1. INTRODUCTION Agriculture in the 21st century will continue to face multiple, inter-connected challenges all over the world. It must produce more food to feed a growing population [1] characterized by changing consumption patterns, and dietary and nutritional preferences. Food and Agriculture Organization (FAO) conservatively projected that if the global population reaches 9.1 billion by 2050, world production will need to rise by 70%, and food production especially in the developing world will need to double. In Africa, which will make up a greater share of the global population, demand may get tripled by 2050 [2]. The global food production can be affected by several factors, for example, limiting arable land base, rising input costs, aging irrigation infrastructure, postharvest management losses, etc [3, 4]. The increasing interdependence between agricultural and energy sectors is also expected to interfere with global food production targets and may lead to greater competition between production for human consumption and for energy utilization [5, 6]. Conversion of agricultural land for biofuels production is placing pressure on increasing productivity per unit of land and food prices, and has sparked large debate about global land use [7, 8]. There are also rising concerns about the impact of climate disruptions to agricultural productivity. The newest projections of the impacts of climate change suggest quite dramatic negative impacts on crop and livestock production in much of the developing world, from increased stress due to weeds, insect pests, and other climate change induced stresses [9 - 11]. Beyond addressing the challenges related to food and feed, nutrition and energy security, agriculture must also continue to be the key instrument to reducing poverty and overall growth and development of countries. World Bank’s latest data revealed that the agriculture sector contributes as much as 40 percent to gross domestic product (GDP), hence, contributing substantially to the national income in most developing countries [12]. About 70% of the poor in developing countries live in rural areas in Asia and Africa and derive significant parts of their livelihood and employment from agriculture and related activities. In response to growing global demand for agricultural and food products, agriculture sector in these countries is also playing an important role in the international and regional markets. African and South Asian countries, for instance, although in earlier stages, have been relatively successful in expanding production and exports of some commodities such as coffee, tea and rice in the world market [13, 14]. Developing countries or emerging economies have made great strides in promoting agriculture-led development to achieve the targets for Millennium Development Goals (MDGs) and improvement in the state of food insecurity [1, 15]. Despite being a large country, India, for instance, has secured self-sufficiency and food security but also positioned itself as an important exporter of agriculture commodities. Uneven progress and shortfalls in overall agricultural development, however, call for more work to eradicate global hunger and achieve food security; as defined in the expanded MDGs, now called 17 Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs now include targets for alleviating extreme poverty and hunger, improving health and education, promoting gender equality, reducing environmental degradation, cooperation for mitigating and addressing negative effects of climate change, and fostering economic growth and innovation. Over the years, public Agricultural Research and Development (R&D) from government, non-profit and higher education sectors has been a key component in addressing many of agricultural challenges and transforming global agriculture into a vibrant and productive sector. Public agriculture R&D created an impressive record in terms of contributions to generating discovery, innovation and policies. It also proved to be one of the most effective forms of public investment to modernize agriculture [16, 17]. The implementation of research-based technologies and agricultural methods such as improved crop varieties by public breeding institutions and integrated pest management contributed to incremental production that contributed in balancing the food demand-supply equation in many parts of Asia [18 - 21]. These innovations have been a cornerstone in the implementation of agriculture worldwide. Sustainable management of existing technologies and development of new, cost-effective agricultural innovations from the public sector and other sources (industry, non-governmental organizations and local farming groups) are also encouraged to meet the multi-faceted 21st century challenges of agriculture. The above scenarios, along with how emerging economies that depend on agriculture, especially in Asia and Africa have responded and are preparing for the current and emerging challenges of agriculture, triggered and guided this

22 The Open Agriculture Journal, 2018, Volume 12

Payumo et al.

research. This study, hence, aims to provide an overview and comparison of these countries in terms of designing policies for a path to long-term agricultural prosperity and sustainable food security. This research also aims to provide an overview and comparison on how these countries and representative institutions are strategically managing research to develop modern food and agriculture innovation. The presentation of selected institutions in this research aims to highlight the role of institutions in fostering, nurturing, promoting and facilitating effective public agricultural research to contribute in agriculture-led development objectives. Good institutions, good governance and good leadership, when they are available, accessible and when the outcomes can be utilized by the agricultural stakeholders, can lead to effective policies and initiatives to select right priorities for research and development, manage science and innovation through intellectual property mechanism for instance, and deliver the impact of agricultural development. Fig. (1) provides an illustration of this relationship. This aligns with the currently dominant view by many authors [22 - 24] that good institutions are the ultimate determinants of a more effective economic development of a country or a region. It is hoped that findings may facilitate deeper analysis of current trends in agricultural research investments and capacity, identification of gaps and setting of future investment priorities. Institutional best practices, key actions, and recommendations presented in this paper can also help inform research, policy and practice to help catalyze similar efforts in other emerging countries and expand overall development for global agriculture in the 21st century. Availability

AGRICULTURAL DEVELOPMENT OBJECTIVE (Dependent variable) CHALLENGES Climate change

Feed and fiber production decline

Regional scale

Access

AGRICULTURAL PROSPERITY AND FOOD SECURITY

Global hunger and poverty

Institutions, governance and policies - Research and development, Innovation and science - Intellectual property rights

National scale Utilization

Population growth

Global scale

POSSIBLE SOLUTIONS

- Public-private sector partnership

CONTRIBUTING FACTORS (Independent variables)

Fig. (1). Theoretical framework that guided the direction for the research and 
implementation of this study.

2. OBJECTIVES AND METHODOLOGY This research focused on mapping and benchmarking national agricultural performance and policies of six emerging economies in the world, namely: Southeast Asia (Philippines, India and Sri Lanka), Sub-Saharan African (Uganda and Kenya) and Middle East (Egypt). The approach adopted was to look for shared characteristics and common features of the six countries beginning with economy-wide agriculture performance and compare the countries using selected indicators that can help define the state of agricultural prosperity and food security in these countries (Table 1). Fig. (2) provides the framework that guided the comparative analysis of the six countries; the selection of the various quantitative and qualitative indicators was guided by the previous studies. Data for each of the indicators were collected from various secondary sources and agricultural data databases mainly provided by the World Bank and Food and Agriculture Organization. Table 1. Metrics and indicators used to compare the state of agricultural prosperity and food security in select countries. Metric

Definition

Growth in agriculture share of gross domestic product (agricultural GDP)

growth in the share of the country’s GDP derived from agriculture, measured in terms of purchasing power parity index

Agricultural production (cereals and pulses) Area harvested

total number of hectares of specific crop in a specific production season that are actually harvested for use

Yield

harvested production per unit of harvested area for crop products

Managing Agricultural Research for Prosperity and Food

The Open Agriculture Journal, 2018, Volume 12 23

(Table 1) contd.....

Metric

Definition

Agricultural R&D spending

research expenditure which includes remuneration-related, operating and program expenditures and capital investments

Agricultural R&D staffing Modern biotechnology

Yes if modern biotech research is active, otherwise No Yes is country is commercializing biotech crops, otherwise No Yes if country has a current biosafety policy, otherwise No

IP and technology transfer

Yes if the country has IP and TT laws and policies, otherwise No

Indicators and variables contributing to agricultural prosperity and food security Framework of Comparative Analysis

Agricultural GDP (%)

Pulses

Comparative analysis of Philippines, India, Sri Lanka, Ugands, Kenya and Egypt

Agricultural R&D Staffing (FTE and researchers: rural farmers)

Modern Biotechnology (presence or absence)

IP and Technology Transfer Policies (presence or absence)

Production

Agricultural production Cereals

Agricultural R&D Spenfing (PPP dollars)

Area Harvested

Yield

Research

Biosafety Policies Commercialization

Public-private sector partnership (presence or absence)

Fig. (2). Framework that guided the comparative analysis for the agricultural performance of Philippines, India, Sri Lanka, Uganda, Kenya and Egypt.

The purpose of the country overview and comparison was to simply see if the countries chosen for this research were similar or different in terms of socio-economic respects and national policy initiatives. For quantitative indicators, the growth, whether positive or negative, was determined and calculated using compound annual growth rate. Qualitative indicators indicated the presence or absence of research, policies and laws. This study did not attempt to establish causality or to quantify the relationship illustrated in our theoretical framework and between the various indicators and agricultural prosperity and food security. The country overview of the six countries was meant to inform the design and selection of institutional case studies that contributed to the success of the six countries, and can be used to support and illustrate the important roles of institutions in managing public agricultural research, agriculture-led development objectives, and overall economic development at the global, regional and national levels 3. BENCHMARKING AGRICULTURE PERFORMANCE OF THE SIX COUNTRIES: RESEARCH TO PRACTICE FOR SUSTAINABLE AGRICULTURAL DEVELOPMENT All countries except, Uganda, belong to lower middle-income groups and depend on agriculture for national income. The agricultural share of GDP of the six countries ranged from 9% (Sri Lanka) to 27.64% (Kenya). The relative importance of agriculture with the economy of countries, however, has changed over the years with a declining trend noted with half of the countries. Table 2 presents an overview of the share of agriculture in the economies of these countries, including growth in cereal and pulses production. The annual harvested area for staple foods namely, cereals and pulses, has increased across the countries except for India. Except Egypt, all countries had improvement in yield for

24 The Open Agriculture Journal, 2018, Volume 12

Payumo et al.

both cereals (total) and pulses. Egypt, however, has recorded the highest average yield across the countries for the tenyear period. Table 2. Share and growth of agricultural GDP and cereal and pulses production, 2006-2014. Country

Income Group1 Agricultural GDP2 (%)

Cereals (Total) Production Area Harvested (M ha)

Yield (t/ha)2

Pulses Production Area Harvested (M ha)

Yield (t/ha) 2

Philippines

LMI

12.09 (-)

7.13 (+)

3.75 (+)

0.08 (+)

0.87 (+)

India

LMI

18.25 (-)

99.53 (NC)

3.06 (+)

26.15 (-)

0.71 (+)

Sri Lanka

LMI

8.85 (NC)

1.05 (+)

4.11 (+)

0.02 (-)

1.24 (+)

Egypt

LMI

12.79 (-)

3.15 (+)

7.97 (NC)

0.10 (-)

3.40 (NC)

Uganda

LI

26.28 (NC)

1.69 (+)

2.13 (+)

0.97 (+)

0.93 (+)

Kenya

LMI

27.6 (+)

2.48 (+)

1.76 (+)

1.43 (-)

0.59 (+)

1

Income group classification based on classification by World Bank List of Economies (World Bank, 2016); LMI = Low Middle Income, LI = Lower Income. 2 The growth in agricultural GDP, cereal and pulses production were calculated using compound annual growth rate (CAGR). The (+/-) indicates the positive/negative growth trend of countries in various indicators; NC = not computed. Sources: Compiled by authors based on country-level data from secondary sources [12, 40].

Additionally, we analyzed the performance of countries in terms agricultural R&D investments, policies and regulations. This study considered the following variables: 1) public agricultural R&D spending and staffing; (2) modern agricultural innovations (e.g. modern biotechnology) to complement conventional plant breeding and seed production programs; (3) intellectual property (IP) and technology transfer (TT) management policies at national and institutional levels; and (4) public-private partnership in research and economic development. These indicators are some of the hotly debated topics affecting the management of agricultural research to support sustainable agricultural development in the developing countries. 3.1. Agricultural R&D Spending and Staffing Serious investment in the agricultural R&D sector will help ensure the development of technologies and practices to ensure food security and prosperity in the coming decades [25]. Sustained agricultural research funding and expertise will likewise ensure institutional growth, stability and efficacy. Table 3 presents Agricultural Science and Technology Indicators (ASTI) [26] used for analyzing research funding and expertise. Purchasing Power Parity (PPP) index, which converts current GDP prices in individual countries to a common currency, served as proxy for agricultural R&D spending. Agricultural spending relative to agricultural GDP also served as proxy for agricultural R&D spending. FullTime Equivalents (FTE) and the proportion of researchers per million rural farmers served as indicators for staffing for the six countries. FTE considers the proportion of time researchers spent on R&D activities [26]. Table 3. Agricultural R&D Spending and Staffing for the Six Countries, 2006-2014. Agricultural R&D Spending

Staffing

Total Spending (million 2011 PPP dollars)

Public Agricultural R&D Spending as a Share of Agricultural GDP (%)

Philippines

133.75 (+)

0.33 (+)

N/A *

N/A*

India

3947.20 (+)

0.41 (+)

11069 (-)

13 (-)

Sri Lanka

55.98 (-)

0.29 (-)

646 (+)

38 (+)

Egypt

513.57 (+)

0.40 (-)

8224 (+)

183 (+)

Uganda

123.75 (+)

1.18 (+)

350 (+)

12 (+)

Country

Total Researchers (FTE) Agricultural Researchers per Million Farmers (Economically Active Rural Population)

Kenya 254.36 (+) 0.98 (-) 1121 (+) 35 (+) The growth in agricultural R&D spending and staffing were calculated using CAGR. The (+/-) indicates the positive/negative growth trend of countries in these indicators. * N/A = not available, Philippines did not have panel data on total researchers; hence, not presented along with agricultural researchers per million farmers. Sources: Compiled by authors based on country-level data from ASTI indicators and secondary sources [12, 40].

During 2006-2014, total agricultural spending by the six countries has increased except for Sri Lanka. During this period, India had the highest expenditure, averaging 4 billion PPP dollars per year and growing at an average annual rate of 9%. Sri Lanka had the least level of investment at 55 million PPP dollars and its level of investment has declined over the years. Meanwhile, during the same period, agricultural research spending of the six countries relative to their country’s agricultural GDP, ranged from 0.29% to 1.18% on public agricultural R&D on average for every dollar of

Managing Agricultural Research for Prosperity and Food

The Open Agriculture Journal, 2018, Volume 12 25

agricultural GDP. Philippines, India and Uganda had an increasing trend of agricultural spending while Egypt, Sri Lanka and Kenya had a declining trend during the last ten years. Uganda had the highest research intensity ratio while Sri Lanka had the lowest. As shown in Table 3, the FTE researchers for all countries except India has increased during the period 2006-2014 and grew at an average annual rate of 1-5%. The countries employed about 300-12,000 FTE researchers during the last decade. The ratio of FTE researchers to economically active rural population for all countries, except for India has also increased over the years. Egypt employed the most number of researchers at 183 FTE researchers per million farmers while Sri Lanka had the least. 3.2. Modern Biotechnologies With the success and rapid rise of modern biotechnology in North American (e.g. U.S.) markets, various groups from government, non-government, and international organizations have recognized its potential benefit to help increase food production and meet the global food needs by 2050. Currently, biotechnology crop-based tools are being used to complement traditional breeding programs to develop a new generation of food crops that are resistant to droughts, floods, pests and diseases [27, 28]. These tools allow for the transfer of desirable genetic information from species, which can be unrelated to the plant, to develop a commercially viable new variety of crop. They are also being used to fortify crops to address vitamin A deficiency in undernourished populations [29, 30] and enhance crops to provide alternative sources of biofuels [31]. Over the last few years, Philippines, India, Sri Lanka, Egypt, Uganda and Kenya are among the countries that positively responded to benefit from modern biotechnology as a tool for national development. While India and Philippines are the only countries that are commercially growing genetically modified (GM) crops, the rest of the countries are using modern biotechnology tools in R&D to enhance crop productivity and diversity, reduce environmental impacts of agricultural production and promote market competitiveness. Now, research institutions and universities in the six countries apply modern biotechnology for selection and breeding of new varieties of plants, biofertilizers and bio pesticides, and production of GM crops with resistance to harmful pests and diseases. These institutions also use few biotechnologies, including microbial, cell biology, molecular marker, and genomics for many agricultural crops, and participate actively in educating the public on the safe and responsible use of these modern biotechnology tools. In 2015, the commercial planting of GM crops has steadily increased with more than 11 million hectares and 800,000 hectares planted to GM crops in India and Philippines (both considered “mega countries”), respectively [32]. Other GM traits are in the commercialization pipeline in these countries and in Egypt. Uganda and Kenya have approved the confined field trials of GM crops while Sri Lanka approved risk assessment laboratory tests for GM traits. The integration of modern biotechnology crops with precision agricultural technologies – a broad suite of technologies and practices that can help farmers use the right farm inputs, in the right amount at the right time for each field and crop, is also increasingly discussed as part of the countries’ (e.g. India and Philippines) objectives of agricultural prosperity, food security and sustainable agriculture. National policies and regulations on biotechnology and biosafety and membership of the six countries to international treaties (e.g. Cartagena Protocol on Biosafety) guide the adoption, commercialization and the safe use of GM crops in the six countries. The Philippines, which was one of the first Asian countries to establish a biotechnology R&D program, institutionalized modern biotechnology as a tool to modernize agriculture and fisheries sectors. The country enacted the Agriculture and Fisheries Modernization Act of 1997 and complemented with the Department of Agriculture’s (DA) Administrative Order (AO) No. 8, which further support the use and regulation of modern biotechnology research. This AO is for expansion to address risk assessment. Currently, the National Biosafety Frameworks of Kenya and Uganda are designed for enhancements. Capacity building efforts to exercise effective regulatory oversight are continuous in India, Egypt and Sri Lanka. India, realizing that biotechnology has the potential to be a globally transformative intellectual enterprise, has renewed its national biotechnology development strategy 2015-2020. The country’s national biotechnology development strategy aims to launch major, well-directed effort backed by significant investment for generation of biotech products, processes and technologies to enhance efficiency, productivity, safety and cost-effectiveness of agriculture, food and nutritional security, and biofuel. Table 4 provides an overview of the status and developments of modern biotechnology in the six countries.

26 The Open Agriculture Journal, 2018, Volume 12

Payumo et al.

Table 4. Status of Biotech R&D, Biosafety and IP/TT Policies in Philippines, India, Sri Lanka, Egypt, Uganda and Kenya. Biosafety Regulation

Modern Biotechnology Country

Type of Biotechnology Research

National Laws

National Laws

International Treaty Agreements c

88

Yes

Yes

Yes

Yes

11

Yes

Yes

Yes

Yes

-

-

No*

Yes

-

Yes

Global Area GM Traits in the of Biotech Crops 2015 Pipeline a

Philippines microbial, cell biology, molecular marker, 0.8 million genomics, diagnostic ha India

microbial, cell biology, molecular marker, 11.6 million genomics, diagnostic ha

Sri Lanka microbial, cell biology, molecular marker, genomics, diagnostic

IP/TT Policies

International Treaty Agreement b

Egypt

microbial, cell biology, molecular marker, genomics, diagnostic

-

1

No

Yes

Yes

Yes

Uganda

microbial, cell biology, molecular marker, genomics

-

-

No*

Yes

-

Yes

Kenya

microbial, cell biology, molecular marker, genomics

-

-

Yes

Yes

-

Yes**

a

Data on area of biotech crops and GM traits in the pipeline were obtained from GM approval database of the International Services for the Acquisition of Agri-Biotech Applications. b The Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity is currently the only international agreement that exist related to the safe handling, transport and use of Living Modified Organisms (LMOs) resulting from modern biotechnology that may have adverse effects on biological diversity, taking also into account risks to human health. c International agreements on IP include WIPO-administered treaties, WTO-TRIPS and ITPGRFA. * Sri Lanka and Uganda have pending biosafety laws and undergoing government review. ** Kenya is a member of UPOV and does not implement a sui generis protection system for plant varieties.

3.3. Intellectual Property Rights (IPR) and Technology Transfer (TT) Policies The development and deployment of modern tools such as agricultural biotechnology whether from the public sector or other sources (e.g. private sector) need a supportive environment to thrive; and IPR plays a key role in creating such an environment. Better understanding of IPR and TT is now essential for informed policy making in all areas of agricultural development. Effective IP and TT strategies at the national and institutional levels help accelerate the translation of agricultural research into practice for food and agriculture products. These circumstances are compelling countries and institutions to build a culture of IP and TT management and redefine their positions and priorities. Protection of IPR has a long history in Philippines, India, Sri Lanka, and Egypt while the application of IP regime is growing in Kenya and Uganda. These countries directly or indirectly made intellectual property (IP) a state policy by incorporating it in their constitution or civil procedures and supported several international and regional agreements that promote the effective use of IP (Table 4). The six countries are the members of major IP agreements, including the World Intellectual Property Organization (WIPO), Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) of the World Trade Organization (WTO) and Convention on Biological Diversity (CBD). Kenya, Philippines, Sri Lanka and Uganda are Contracting Parties to the International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (ITPGRFA). The accession and signing of ITPGRFA enable countries to harmonize CBD efforts for sustainable agriculture and food security, and multilateral access to PGRFA and benefit sharing. The six countries promulgated several national legislations parallel to the international treaties and updated their country’s IP law. For instance, the IP laws of Philippines, India, Sri Lanka, Egypt, Kenya, and Uganda which provide protection for inventors, trademark owners, authors and other IP creators through patent, utility model, industrial design, copyright and related rights, geographical indications and trademark, have been updated to comply with the TRIPS provisions. Except for Kenya, which is a member of Union Internationale Pour la Protection des Obtentions Végétales (UPOV), all countries covered in this research provide sui generis (of its own kind) system protection for plant varieties and give rights to breeders. Furthermore, the six countries also promulgated and reinforced national policies and IP ownership laws that aim to promote and speed up technology transfer and commercialization especially for public sector research. These policies and laws patterned after the provisions of U.S. Bayh Dole Act of 1980, make R&D institutions the default owner of IPR arising from the results of government-funded research. India’s Ministry of Science Technology, for instance, in 2000, issued a ruling that gave title to IP to those institutions that receive funding from the Ministry. This ruling shifted technology transfer activities away from the government to research institutions. The lead public agricultural research

Managing Agricultural Research for Prosperity and Food

The Open Agriculture Journal, 2018, Volume 12 27

organization of India, ICAR, allows copyright ownership by researchers while asserting title to all other IPRs. This IPR mechanism opened avenues for commercialization through licensing and public-private partnerships (ICAR, 2006). Public research institutions and universities in Kenya and Uganda are increasingly adopting institutional policies and capacities to assert IP ownership and meet the basic requirements of their national IP laws. Philippines, on the other hand, has enacted its Technology Transfer Law to give the ownership of inventions to universities or research institutes, effectively leaving them free to develop their own institutional IP ownership policies. 3.4. Public-Private Partnerships in Research and Economic Development Public-private partnerships are increasingly playing a role in the advancement of agricultural research. As a governance strategy, these partnerships help minimize transaction costs, and coordinate and enforce relations between partners engaged in the production of agricultural goods and services. They likewise optimize approach for social and economic development, bringing together mutual gains, efficiency, flexibility, and competence of the private sector with the accountability, long-term perspective and social interest of the public sector [33]. Commercialization of IPR enabled technologies and other expertise, through public-private partnership, which can lead to their accelerated and efficient transfer [34]. Yet a new frontier for global agriculture, public-private sector partnerships are growing and benefiting agriculture in the six countries. Many public-private partnerships take the form of collaborative research projects, either leveraging private sector investment in public research initiatives or conducting research in local varieties and landraces. In India, a new wheat variety HD 3086 licensed in 2014 had a record of 108 commercial licensees in one year. During 2007-2009, for commercialization of superfine, long grain aromatic rice hybrid Pusa RH 10, IARI established public-private sector partnership with Indian Foundation Seed and Services Association and several national and multinational companies. This partnership enhanced commercial seed availability of this hybrid to cover more than 50,000 hectares in rice area. In Kenya and Uganda, public-private sector partnership, through the facilitation of the African Agricultural Technology Foundation (AATF), also enabled farmers to access DroughtTEGOTM - WE1101, a high-yielding drought tolerant variety of maize. Egypt had similar benefit when AGERI collaborated with Pioneer Hi-Bred for the local strain of Bacillus thuringiensis (Bt). This partnership enabled AGERI to gain access to expertise to develop the local strain of Bt, educate its staff on modern biotechnology, while Pioneer Hi-Bred paid the legal costs of patenting the invention, and had access to the new Bt strain for use in markets outside Egypt [35]. In India and Philippines, Bt eggplant (brinjal) technology was donated directly to local researchers to help develop new crop varieties that are resistant to local pests, helping to speed up farmers’ access to improved varieties. Bangladesh commercially adopted Bt eggplant while India’s policy on GM food crops awaits more awareness and clearance for public release. 4. CASE STUDIES: COMPARISON OF INNOVATION MODELS AND SUCCESS STORIES The National Agricultural Research Systems or Institutions (NARS or NARI) are the main source of innovation in agricultural research of the six countries and now play an even larger role in increasing food production and contributing to economic growth [36, 37]. NARS are composed of relatively young institutions (except for India) from various national agricultural research institutes, agricultural universities, private-sector firms, NGOs and farmers’ organizations. These institutions are involved in developing and testing new crop varieties and cultivars, technologies for producing planting materials, irrigation technologies, farm machinery, agronomic and IPM technologies, and postharvest technologies. For many years, however, these institutions have traditionally treated their research outcomes as public goods because of directive principles of state policy, social obligations and welfare objectives. They disseminate technological information through traditional extension systems, which are becoming obsolete in the modern technological era. The new economic and scientific contexts now require new, more complex model(s) for transferring technology to benefit the agricultural sector. This section offers multi-case study on selected NARS in public universities and research institutions in the six countries and presents how these institutions are modernizing and embracing the research and innovation challenge for agriculture-led development to benefit the general public. It also features a long-time global partnership of NARS and how this collaboration has influenced NARS in pursuing development objectives and how the partnership became a win-win scenario for both the parties. 4.1. Managing Philippine Innovations through a Working Intellectual Property Policy: The PhilRice Case The Philippine Rice Research Institute (PhilRice), established in 1985 as a government corporate entity attached to the Philippine Department of Agriculture, is actively engaged in rice biotechnology R&D and IP management to support improvement of the country’s main staple. It embarks on a modest but organized effort to access and use

28 The Open Agriculture Journal, 2018, Volume 12

Payumo et al.

modern rice biotechnology tools for various applications. These include DNA marker technology to map agronomically important traits in rice such as yield components, seedling vigor, resistance to rice tungro virus, green leafhopper, brown planthopper, and blast; molecular marker aided selection techniques for tungro virus and bacterial leaf blight (BLB); and analyze genetic diversity of rice germplasm. The institute also employs in vitro techniques to improve grain quality and generate lines with tolerance to adverse conditions (cold, salinity, drought), and Agrobacterium with particle-gun bombardment -mediated transformations to produce GM rice plants with resistance to BLB, blast and sheath blight. PhilRice, like any other public research institution in the Philippines and across the globe, has initially evolved in a world without IPRs but sooner realized the importance of IP and TT in pushing the innovation decisions. Accordingly, the institute exerted major efforts post-TRIPS Agreement towards building its capacity to deal with IPR matters, starting in 1998 and going operational by 2003. In 2004, PhilRice was the first attached DA-agency to initiate an IPR policy, including setting up of an IP management office. The institute has also embarked on continuing IP education programs for its scientists and staff, especially issues that link modern biotechnology and IPR. Now, the institute has growing IPR interests, plus a portfolio with four patents to its credit including that for agricultural machinery for seeds, the Palayamanan model for rice farming integration, and rice wine Tapuy. The institute has more than 10 patents pending including four machines and processes, PVP protection for rice hybrid and tissue-cultured varieties, and copyright registration for more than 100 knowledge products deposited at the National Library. The institution also actively pursues licensing deals and negotiations with small and medium enterprises and regularly disburses royalty shares with its researchers and inventors. Recently, PhilRice was cited by the country’s Intellectual Property Office for filing the most number of patents and Patent Cooperation Treaty applications [38]. PhilRice Tapuy, a rice product produced through traditional biotechnology methods, is one of the institutional inventions, which benefited from the PhilRice IPR policy. PhilRice Tapuy is a clear, full-bodied wine with sweet alcoholic taste and roasted almond aroma. The patent application of this invention has helped document and improved the production efficiency and quality control of this product for commercial production. The new label design for the PhilRice Tapuy has a trademark protection. Trademark protection came about after a private company attempted to copy and register the same logo for their wine. The institute’s Tapuy production, sales and net income have been increasing since 2003. Now, this IP-protected product is conquering market outlets and distributors in the country like supermarkets, restaurants, canteens and coffee shops. 4.2. AGERI’s Commercialization of Biotech Product from Lab to Egyptian Market Established in 1992, the Agricultural Biotechnology and Genetic Engineering Research Institute (AGERI) is a premier, biotechnology research institute in Egypt and in the Middle East and North Africa (MENA). AGERI is under the umbrella of the Ministry of Agriculture and Land Reclamation and aims to promote agricultural sustainability for Egypt through the development and application of the most recent technologies for the improvement of agricultural crops for biotic and abiotic stresses and develop biotechnology products with certain traits that are value in business. AGERI also provides capacity building and training support on molecular biology technologies to researchers across Egypt and other countries in the MENA region. Two years after its establishment, AGERI established the Genetic Engineering Service Unit (GESU) in 1994 to be the commercial arm of the institute, which facilitates interaction of AGERI with private and public sector entities. GESU provides services to the research community and licenses biotechnology products to the private sector. Over the years, GESU and AGERI have made success in the commercialization of biotech product from laboratory to the market place. One great example is the commercialization of environment friendly Bt-based bio pesticide (AGERIN®). AGERIN, developed through many years of laboratory research in AGERI, has a triple activity against variety of pests affecting several crops, especially, cotton. AGERI is also now gearing up for the commercialization of its Bt-cotton (Giza-BOLLGARDII), an Egyptian cotton variety developed via crossing of Egyptian elite germplasm to Bollgard II (Monsanto). In the pipeline are improved crop varieties that can be produced by molecular breeding, genetic modification and/or genome editing technologies; with better productivity and tolerance to biotic and abiotic stresses, suitable to be cultivated in newly reclaimed lands and could be transferred from the lab to commercial seed producers and distributors. 4.3. Agri-preneurship and Technology Transfer in Sri Lanka’s University of Colombo Founded in 1921, the University of Colombo is a public research university located primarily in Colombo, Sri

Managing Agricultural Research for Prosperity and Food

The Open Agriculture Journal, 2018, Volume 12 29

Lanka. It is the oldest institution of modern higher education in Sri Lanka. One of the areas of research competence of the university is on banana R&D. Banana is an important food and cash crop for Sri Lanka traditionally propagated through suckers. While there is a high demand for banana suckers, their supply is limited. Banana R&D at the University of Colombo in Sri Lanka dates to mid-1990s, and focused on enhancing farmer- and consumer-preferred cultivars, evaluating improved varieties for trait stability, mass production of plants, and testing for diseases. The university in 1998 created Institute for Agro-Technology and Rural Sciences to enable scientists to interact with rural communities to introduce and transfer agricultural technologies, skills, and expertise to promote agro-industries and entrepreneurship. Equipped with two on-site tissue culture laboratories, this center can produce a maximum of 20,000 banana plants per month sufficient to meet the local demand. The institute also conducts regular field visits, conduct trainings, and awareness programs to assist farmers. Around 5000 farmers are currently benefiting from the cultivation of tissue-cultured bananas. A study carried out by the institute reveals that this technology has contributed to increasing farm income by 15 – 20 folds and has created employment and agribusiness opportunities in the region. 4.4. Benefiting from a Three-tier IP Management Mechanism at India’s Council of Agricultural Research (ICAR) ICAR is an apex body responsible for coordinating, guiding and managing research, higher education and extension in agriculture including horticulture, fisheries and animal sciences in India. It represents the largest NARS in the world with 101 ICAR institutes and 71 agricultural universities besides 660 farm science centers (Krishi Vigyan Kendras) and 8 zonal Agricultural Technology Application Research Institutes across the country. ICAR recognizes that research in frontier sciences, such as agro-biotechnology will require IP protection through patents, plant variety protection and other forms of IPR. In 2006, ICAR launched its key IP management policy elements together with well-versed guidelines for “Intellectual Property Management and Technology Transfer/ Commercialization”. These guidelines institutionalized a 3-tier IP management mechanism for the commercialization of products and transfer of skills: 1) Agro-Technology Management Center (ATMC) at ICAR level; 2) Zonal Technology Management Centers (ZTMC); and 3) Institute Technology Management Units (ITMU) in each of the institutes. This 3-tier mechanism ensures a decentralized and empowered system, especially for weaker institutes by the ZTMC; these institutes can request technical support for commercialization and strategic decisions on IP management and technology transfer. This mechanism also ensures that ICAR keeps all IP assets and other activities/records related to IP and TT activities in various ICAR institutes. ATMC serves as the apex unit that facilitates, coordinates and monitors the implementation of IPR and TT policies across the ICAR establishments. ZTMCs handle the pre-defined zones through their Business Planning and Development Unit (BPDU) and have regional roles in managing ICAR’s IP and TT activities. A director with support staff leads the IP and TT efforts of ITMUS in each ICAR institute. Researchers at ICAR institutions are encouraged to disclose their inventions to ITMU, which evaluates the novelty of research, patentability of the invention or respective criteria of other IPR protection (e.g. plant variety protection, trademark, design protection, etc.) and pursues IPR protection and maintenance accordingly. ICAR’s IP policy gives edge to IPR protection over publication. ITMU arranges to file IPR applications while PME Units oversee publication of the research results. “Indian Council of Agricultural Research” is the applicant for all IPR applications and the inventors assign their research results to ICAR. The patent/IPR applications contain all the names of all concerned ICAR scientists who contributed to the invention or the development of plant variety. ITMU facilitates commercialization of innovative technologies via licensing agreements. In 2011, ICAR took a step forward in partnership with the Department of Agricultural Research & Education (DARE) of the Ministry of Agriculture, to secure, sustain and promote agricultural development in the country and international collaborators. DARE set up a for profit company, the Agri-Innovate India Ltd., for technology transfer and acts as an effective interface between ICAR and the stakeholders of agricultural development at the national, regional and global levels. After the establishment of its IPR Unit in 2001 at the council headquarters, ICAR had piled up a huge IPR portfolio by 2015-16 that included a cumulative 980 patent applications filed by its 69 institutes, 170 granted patents, 167 titles granted to plant varieties, 21 registered trademarks, and 94 copyright applications filed. A patent for rapid detection of Bt cry toxin in cotton was granted in four countries: China, South Africa, Uzbekistan and Mexico. The four Bt-detection kits developed and commercialized became popular all over the country with sales of US $1,045,000. Bt-based biopesticide formulations developed by ICAR institutes were licensed to over three dozen licensees in four major cotton-growing states.

30 The Open Agriculture Journal, 2018, Volume 12

Payumo et al.

Recently, ICAR, to innovatively reach out through the large number of android mobile users in the country, launched a mobile application “Pusa Krishi” to promote its technologies for licensing to various stakeholders from corporates to individual farmers, all served by the three tiers. ICAR has commercialized around 500 agricultural technologies, including 300 agricultural engineering products through its 3-tier mechanism of managing IP and TT. Show-how, know–how clauses of licensing agreement and inventor’s involvement at all stages of product development have contributed to success in these licensing agreements. About 30% of ICARs licensed technologies, including neem-based agrochemicals and engineering products came from the Indian Agricultural Research Institute (IARI), one of the ICAR institutes and the country’s oldest, premier national Institute for agricultural research, education and extension. In the last six years, IARI through the ZTMC’s BPDU has successfully commercialized around 133 agricultural technologies to 365 agro-based companies ranging from crop varieties, bio-fertilizers, post-harvest technologies, agri-chemicals, farm implements and diagnostic tools to 365 agro-based companies. A portable Soil Testing and Fertilizer Recommendation meter (STFR meter) was designed by the institute’s inventors and commercialized to eight industry partners for providing the soil testing services at the farmer’s doorstep. Two startup companies took up this technology for manufacturing and marketing of STFR meter. This portable machine created many benefits to the farmers and created employment opportunities to the rural youth. Nano-biotechnology based biofertilizers and micronutrients are for test marketing by a licensee. PUSA varieties and Hydrogel are similarly meeting commercial success with huge benefits to user, farmers and agro-industry. With World Bank financed National Agricultural Innovation Project support, the ZTM & BPD Unit IARI executed end-to-end deals with Indian MNCs and other agro-companies, including the post NAIP R&D agreements. Currently, the Unit is implementing ‘Arise 2016- launch Pad for Agri Start up’ program in collaboration with the Central Ministry of Micro, Small and Medium-sized Enterprises to push agri-biotechnology and agribusiness. 4.5. International Collaborative Approach to Capacity Building, Training and Networking on Modern Innovations, IP Management, Technology Transfer for Agriculture-led Development Strategic partnerships are increasingly critical in agricultural research and technological development, especially as NARS expand international collaboration goals to respond to the opportunities and challenges of a globalizing agriculture sector. Governments, development agencies and partner institutions such as in the U.S. are keen in continuing to assist the NARS in their reorientation towards agri-biotech, IPR and TT, and improving their efficiency and effectiveness. Michigan State University (MSU), a premier land grant institution in the U.S established in 1855, and ranked among the top tier of American public institutions, has been a strategic global partner of many NARS institutions across the globe. Over the years, MSU has evolved from a single college of agriculture to a comprehensive public university with more than 15 colleges and units. As a land-grant university, MSU has a three-fold mission – research, education and outreach/extension. The outreach mission of MSU goes beyond the boundaries of Michigan and the Unites States to all over the world. MSU has a successful history of collaborative research, training and education of researchers, scientists, policy makers and others worldwide, especially in international agricultural development. Today, in Africa alone, the university has more than 60 active R&D projects in food, agriculture, health and education. In the past, partnerships between NARS in Asia and Africa and MSU resulted in the centers of research excellence, human resource development in technical disciplines, and access to technologies and innovation in key areas. Recent efforts focus on conducting joint collaborative research in addressing global agricultural challenges, furthering the partnerships, and pursuing advanced capacity building in creating an enabling environment to maximize the benefits of technology. Partnerships are also focused on helping NARS to govern home grown IP from setting up institutional IP policies to manage research and innovation, to filing patent applications and pursuing licensing agreements for economic development opportunities and addressing future challenges to agriculture sector. Exemplifying the approach of many departments at MSU, the College of Agriculture and Natural Resources through the World Technology Access Program (WorldTAP), emphasizes effective knowledge access, transfer and management of innovations to ensure agriculture-led development in developing countries. MSU-WorldTAP has a long history of providing capacity building and training to NARS institutions and providing them a common platform to discuss their existing programs and plans, and develop futuristic agri-biotech, IP and TT management frames for agricultural development opportunities. It trains next the generation of researchers and research management leaders from NARS in various agricultural research areas, including agricultural biotechnology, food safety and biosafety, IP management,

Managing Agricultural Research for Prosperity and Food

The Open Agriculture Journal, 2018, Volume 12 31

technology transfer and sustainable development. MSU-WorldTAP, in partnership with various units at MSU and funding groups, offers these programs both on campus and internationally. In spreading the importance of IP management and technology transfer to NARS institutions, MSU-WorldTAP promotes both; conventional technology and knowledge transfer (agricultural extension service) and modern information dissemination and communication approach (IPR-led commercialization and awareness generation), through licensing and commercialization agreements, which serve as a conduit for technology transfer process to local farmers and rural communities. MSU-WorldTAP program features best practices in research management and partnerships, technology transfer and delivery systems, especially that of MSU and its collaborators. MSU Technologies (MSU-T), established in 1992, handles mainly the second approach for MSU’s generated innovations and technologies. MSU-T is part of the recently established MSU Innovation Center, in collaboration with MSU Business Connect and Spartan Innovations. MSU Business Connect created in 2009 is MSU’s portal for engagement with the business community and industry while Spartan Innovations established in 2012 provides incubation support and helps convert MSU innovations into successful Michigan businesses. WorldTAP training participants understand MSU’s IT and TT operational processes, including enforcement of MSU’s IP policy, identifying which inventions belong to MSU, distribution of royalties to MSU inventors. NARS participants also obtained training on valuation and costs strategies, patent statistics (e.g. no. of inventions disclosed per year) and data monitoring (no. of patents and royalty income), and forms of technology transfer agreements (e.g. confidential disclosure, material transfer, option and licensing). Participants also get to access many resources on best practices, educational and training materials on safe and responsible use of modern biotechnology, biosafety, IP and TT; many of these materials became useful references for NARS as they revisit and redefine their research and innovation strategies. WorldTAP-MSU exposes its international IP and TT interns to various U.S. models of IPR and TT management e.g. WARF, USDA, Seed Companies, USPTOGIPA and USPVO. During the past 20 years, MSU-WorldTAP has trained more than 500 policy makers, administrators, researchers, lawyers, private sector personnel, and students from over 80 developing countries and NARS institutions in various aspects of IP management and technology transfer, and other areas related to technology commercialization. Many of these participants led the establishment of new institutional and national policies on IP management and the formation of new TT offices in their respective institutions. ICAR-IARI, for instance, has effectively used the learnings from international internship at WorldTAP to refine the commercialization processes at the institute and develop IP and TT management skills of ICAR scientists, MSMEs, technology incubators and young entrepreneurs. The enabling environment created through the capacity building, training and networking for IP and TT by WorldTAP created new avenues of strategic partnerships for NARS institutions especially on access and technology transfer of biological materials and other modern tools for research and plant improvement (e.g. Makerere University and National Biotechnology Development Agency for material transfer of GM soybean). Overall, the impact of WorldTAP’s international IP management and TT programs has been tremendous in terms of raising awareness, building human resources and institutional capacity of NARS in managing modern biotechnology and essential policies that support implementation. WorldTAP has also mutually benefited from these connections and has now advanced research collaborations with global NARS partners in various areas (e.g. biotech soybean R&D partnership with Indonesia and Bangladesh funded by US Agency for International Development). It has expanded its funding profile and established wider capacity building and regional collaboration in food and biosafety regulations (e.g. MSU, African Union NEPAD Agency and 15 African countries partnership funded by the Bill and Melinda Gates Foundation). It is also facilitating licensing of MSU technologies to private companies and public-private sector partnership in developing countries [39]. Recently, MSU signed an agreement with the Indian Council for Food and Agriculture to deliberate upon issues and set agenda for international agricultural development and food security. 5. DISCUSSION, SYNTHESIS AND WAY FORWARD The global agricultural development model remains challenged as poverty, hunger and food insecurity due to burgeoning population and natural, demographic and human resource constraints continue to strike the agriculture sector. As projected, the impact of global challenges will be large for developing countries or emerging economies, where agriculture is the mainstay of the population and backbone of the economy. Drawing from published reports, global databases and scholarly literature, this research adds to the existing literature on how selected emerging economies in Asia and Africa are placing themselves to address these global challenges in food security and tap

32 The Open Agriculture Journal, 2018, Volume 12

Payumo et al.

opportunities of the 21st century for long-term agricultural growth and prosperity. Specifically, this research features country-case studies on six developing countries: Philippines, India, Sri Lanka, Egypt, Uganda, Kenya, and comparison of the countries in terms of various indicators, including agricultural R&D performance, investments and policies that can help transform the agricultural sector. This paper also featured a couple of institutions that are among the early innovators in these countries and highlighted best practices and models in managing agricultural research and innovations to contribute to agricultural development objectives. The country and institutional case studies provide useful insights and aspiration for other emerging economies and their respective public R&D institutions. This research reveals the following points and implications: 1. Agricultural Growth and Development. Half of the emerging economies: Sri Lanka, Philippines, Egypt and India are transitioning and diversifying to other sources of income to support the national economy as evidenced by the declining contribution of agriculture to the country’s GDP. The agricultural production and productivity of the six countries have improved over the years as evidenced by the increasing harvested area for agricultural use and yield by and large. 2. R&D Investment. Increased R&D spending and staffing are noted for half of the countries studied, hence, increased commitment to agricultural R&D. R&D spending, however, remains an even smaller fraction of Gross National income; this must improve to stimulate agricultural growth and prosperity. All countries, except India are with increased number of research personnel critical to impactful R&D. Investments to agricultural research, technological development and critical infrastructure as well as human resource development are central to enhancing productivity. 3. New Innovations. All six countries are open to new and improved technologies and are at various stages of adopting modern biotechnology to complement conventional tools to help meet food security targets. Although in different stages of development, they are setting up policies and initiatives to facilitate safe use, research, education and deployment of modern research and innovation from modern biotechnology. New technologies such as modern biotechnology offers to make the agriculture sector more knowledge-intensive and competitive. 4. Innovation Policies. All six countries are institutionalizing IP and TT strategies to accelerate the translation of agricultural research into practice for food and agriculture products. They are building a culture of IP and TT to redefine their positions and research priorities in the global arena. Careful implementation of these policies will enable the creation of more public-private sector partnerships in agriculture, which already started in the six countries. 5. NARS as Cornerstone of Agricultural Research. This research highlighted positive developments in institutions included in this research. Information from the case studies include: 1) the importance of a working institutional IP policy to benefit the institutions and its researchers; and 2) the use of commercialization approach to complement the traditional extension services offered by NARS to deliver service and homegrown technologies and products to farmers and other stakeholders. It also highlighted effective institutional mechanisms to track, follow through and introduce new information technology in managing research and innovation in larger research council; and 4) leveraging capacity building connections to build impactful international research partnerships and economic development opportunities. Overall, the six emerging economies in terms of agricultural performance, R&D investments and implementation of policies are at varying levels of development and successes. These countries are setting up priorities and programs to address global challenges in agriculture and taking up the opportunities for an agriculture-led development to move to a better growth trajectory. The five institutional cases also provide evidence that the modern approach of managing and deploying the products of public agricultural research can be worthwhile and add value to fulfilling the mission of public research institutions. Managing agricultural research and modern agricultural innovations through the IPR, and technology incubators and start up mechanisms yet require institutional changes, and challenges, when implemented properly, are helpful in conjunction with the institution’s core purpose of disseminating knowledge and creating tangible contribution to society. This approach proves to be valuable tools for public research institutions to improve their networking and global partnership capabilities, increase sources of funds for research and future innovation efforts, promote economic development opportunities as well as incentivize researchers. These are all critical in delivering products and services to help transform the agricultural sector and make it more competitive in a globalizing economy. If successes are indications of future progress and with sustainable efforts, these countries and institutions highlighted in this paper may be well on the path to achieving their development goals on food security and long-term

Managing Agricultural Research for Prosperity and Food

The Open Agriculture Journal, 2018, Volume 12 33

agriculture-led prosperity. Additional measures are further recommended: 1. Maximize the use of information and communication (ICT) technology in managing research, innovation and agricultural development. ICT tools and decision support systems will facilitate exchanges across the broad spectrum of scientific and management disciplines. It will also facilitate integration of existing knowledge and technologies in the planning of research programs, dissemination of research results and technology adoption, data reporting, and identification of strategic global partners. 2. The globalization of science requires a next generation of agricultural research leaders that are competent and can work with multiple stakeholders and experts across disciplines, sectors and continents. A competitive workforce for the agriculture sector requires access to quality R&D faculty, facility and financial resources, capacity building and training programs particularly management development and executive development programs, and networking and collaboration opportunities. Continuing investment to improve and sustain infrastructures, operational research expenditures, and R&D workforce remain critical. 3. National and institutional policies and regulations (e.g. biotechnology, nanotechnology, precision agriculture, biosafety, IPR and TT) affecting agriculture help define priorities and targets but should be flexible to adjust with global developments and remain relevant. These policies and regulations should also be communicated to the public constantly to increase their awareness and acceptance of technologies and products affected by these policies and regulations. 4. Contribution of private sector to support research and innovation backed by policies and regulations to create an enabling environment that encourage public-private partnership. 5. The establishment of translational centers for agri-biotech in collaboration with state agricultural universities to take forward the production improvement research including transgenic products currently developed by public institutions, and support for business incubation infrastructure, technology validation and scale-up infrastructure for accelerated commercialization of agri-biotech products can be effective instruments for pursuing national biotechnology development strategy. All these initiatives will ensure effective regulatory oversight on GM crops, increased public confidence, effective technology transfer and increased adoption of the technology. 6. Internalization of good practices and voluntary codes of conduct in IPR and TT management matters helps the research institutions in effective and efficient implementation of national and institutional policies. International collaborations that include capacity building and internship opportunities can help improve access to relevant informational resources needed for refining good practices and institutional guidelines. CONSENT FOR PUBLICATION Not applicable. CONFLICT OF INTEREST The authors declare no conflict of interest, financial or otherwise. ACKNOWLEDGMENTS Declared none. REFERENCES [1]

United Nations The Millennium Development Goals Report 2015 [monograph on the internet] 2015. Available from: http://www.un.org/millenniumgoals/2015_MDG_Report/pdf/MDG%202015%20rev%20(July%201).pdf

[2]

Bodirsky BL, Rolinski S, Biewald A, Weindl I, Popp A, Lotze-Campen H. Global food demand scenarios for the 21st century. PLoS One 2015; 10(11): e0139201. [http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0139201] [PMID: 26536124]

[3]

Mottaleb KA, Mohanty S. Farm size and profitability of rice farming under rising input costs. J Land Use Sci 2015; 10(3): 243-55. [http://dx.doi.org/10.1080/1747423X.2014.919618]

[4]

Ognakossan E, Affognon H, Mutungi C, Sila D, Midingoyi S-K, Owino W. On-farm maize storage systems and rodent postharvest losses in six maize growing agro-ecological zones of Kenya. Food Secur 2016; 8(6): 1-21.

[5]

Fraiture C, Girodano M, Liao Y. Biofuels and implications for agricultural water use: Blue impacts of green energy. Water Policy 2008; 10(Suppl. 1): 67-81. [http://dx.doi.org/10.2166/wp.2008.054]

34 The Open Agriculture Journal, 2018, Volume 12

Payumo et al.

[6]

Pinzi S, Leiva D, Lopez-Garcia I, Redel-Macias M, Dorado M. Latest trends in feedstocks for biodiesel production. Biofuels Bioprod Biorefin 2014; 8(1): 126-43. [http://dx.doi.org/10.1002/bbb.1435]

[7]

Tomei J, Helliwell R. Food versus fuel? Going beyond biofuels. Land Use Policy 2016; (56): 320-6. [http://dx.doi.org/10.1016/j.landusepol.2015.11.015]

[8]

Castiblanco C, Etter A. Biofuels as a new energy paradigm: The key points of debate after a decade. Cuad Desarro Rural 2013; 10(70): 69-92.

[9]

D’Agostino A, Schlenker W. Recent weather fluctuations and agricultural yields: Implications for climate change. Agric Econ 2016; (47): 159-71. [http://dx.doi.org/10.1111/agec.12315]

[10]

Craparo A, Van Asten P, Läderach P, Jassogne L, Grab S. Coffee arabica yields decline in tanzania due to climate change. Agric For Meteorol 2015; (207): 1-10. [http://dx.doi.org/10.1016/j.agrformet.2015.03.005]

[11]

Gustafson DI. Climate change: A crop protection challenge for the twenty-first century. Pest Manag Sci 2011; 67(6): 691-6. [http://dx.doi.org/10.1002/ps.2109] [PMID: 21432984]

[12]

World Bank Open Data [homepage on the internet] 2016. Available from: http://data.worldbank.org/

[13]

International Monetary Fund (IMF) (2014) Sub-saharan Africa fostering durable and inclusive growth [monograph on the internet] 2014. Available from: https://www.imf.org/en/Publications/REO/SSA/Issues/2017/02/01/Fostering-Durable-and-Inclusive-Growth

[14]

International Trade Statistics - World Trade https://www.wto.org/english/res_e/statis_e/statis_e.htm

[15]

FAO, IFAD and WFP The state of food insecurity in the world 2015 Meeting the 2015 international hunger targets: Taking stock of uneven progress 2015. Available from: http://www.fao.org/3/a-i4646e.pdf

[16]

Hazell P, Haddad L. Agricultural research and poverty reduction IFPRI 2020. Washington, D.C.: International Food Policy Research Institute 2001.http://www.ifpri.org/publication/agricultural-research-and-poverty-reduction-0

[17]

Fan S, Rao N. Public spending in developing countries: Trends, determination, and impact. Washington, D.C: International Food Policy Research Institute 2003.https://ageconsearch.umn.edu/bitstream/16080/1/ep030099.pdf monograph on the internet [cited December 16, 2016]

[18]

Rosegrant M, Paisner M, Meijer S. The future of cereal yields and prices: Implications for research and policy. J Crop Prod 2003; 9(1-2): 661-90. [http://dx.doi.org/10.1300/J144v09n01_13]

[19]

Alam MZ, Crump AR, Haque MM, Islam MS, Hossain E, Hasan SB. Hasan Sb, Hossain MS. Effects of integrated pest management on pest damage and yield components in a rice agro-ecosystem. Front Environ Sci 2016; 22(4): 1-10.

[20]

World Bank World development report 2008: Agriculture for development 2007 [monograph on the internet]: 2007. Available from: https://siteresources.worldbank.org/INTWDR2008/Resources/WDR_00_book.pdf

[21]

Stevenson JR, Villoria N, Byerlee D, Kelley T, Maredia M. Green revolution research saved an estimated 18 to 27 million hectares from being brought into agricultural production. Proc Natl Acad Sci USA 2013; 110(21): 8363-8. [http://dx.doi.org/10.1073/pnas.1208065110] [PMID: 23671086]

[22]

Acemoglu D, Johnson S, Robinson J. Institutions as the fundamental cause of long-run growth handbook of economic growth. Amsterdam: North-Holland 2005; pp. 385-472.

[23]

Talmaciu M. Study on the relationships between institutions, governance, and leadership and regional development policy in Romania. Procedia Econ Finance 2014; (15): 1281-8. [http://dx.doi.org/10.1016/S2212-5671(14)00589-9]

[24]

Ali MS, Krammer SM. The role of institutions in economic development.economic development in the Middle East and North Africa. New York: Palgrave Macmillan 2016; pp. 1-25.

[25]

Akroyd S, Smith L. Review of public spending to agriculture: A Joint DFID /World Bank study main study and country case-studies. Oxford, England: Oxford Policy Management 1999.http://www1.worldbank.org/publicsector/pe/pfma07/OPMReview.pdf monograph on the internet [cited 2017 January 12]

[26]

Flaherty K, Stads G-J, Srinivasacharyulu A. Benchmarking agriclutural research indicators across Asia-Pacific. Bangkok, Thailand: International Food Policy Research Institute 2013.https://www.asti.cgiar.org/pdf/ASTI-Asia-Pacific-Regional-Synthesis.pdf monograph on the internet

[27]

Pray C, Nagarajan L, Li L, Huang J, Hu R, Selvaraj K. Napasintuwong, Ora, Chandra Babu R. Potential impact of biotechnology on adaption of agriculture to climate change: The case of drought tolerant rice breeding in Asia. Sustainability 2001; 3(10): 1723-41.

[28]

Hautea R, Escaler M. Plant biotechnology in asia. AgBioForum 2004; (7): 2-8.

[29]

Alós E, Rodrigo MJ, Zacarias L. Manipulation of carotenoid content in plants to improve human health. Subcell Biochem 2016; 79(1): 311-43. [http://dx.doi.org/10.1007/978-3-319-39126-7_12] [PMID: 27485228]

Organization

[homepage

on

the

internet

2017.

Available

from:

Managing Agricultural Research for Prosperity and Food

The Open Agriculture Journal, 2018, Volume 12 35

[30]

Beyer P, Al-Babili S, Ye X, et al. Golden Rice: introducing the β-carotene biosynthesis pathway into rice endosperm by genetic engineering to defeat vitamin A deficiency. J Nutr 2002; 132(3): 506S-10S. [http://dx.doi.org/10.1093/jn/132.3.506S] [PMID: 11880581]

[31]

Huang G, Chen F, Wei D, Zhang X, Chen G. Biodiesel production by microalgal biotechnology. Appl Energy 2010; 87(1): 38-46. [http://dx.doi.org/10.1016/j.apenergy.2009.06.016]

[32]

James C. Global status of commercialized biotech/gm crops: 2015 Manila, Philippines: The International Service for the Acquisition of Agribiotech Applications (ISAAA) 2016. Available from: http://isaaa.org/resources/publications/briefs/51/default.asp

[33]

Ayyappan S, Chandra P, Tandon S. ICAR-industry meet agricultural transformation through public-private partnership: An interface New Delhi. New Delhi: Indian Council of Agricultural Research 2007.http://www.icar.org.in/files/Public-Private-Partnership.pdf [cited 2017 February 1]

[34]

ICAR. ICAR guidelines for intellectual property management and technology transfer/ commercialization [monograph on the internet] 2006.http://www.icar.org.in/files/reports/other-reports/icar-ipmttcguide.pdf

[35]

Madkour M. Egypt.Agricultural biotechnology: Country case studies: A decade of development, london. UK: CABI Publishing 2001; pp. 129-34.

[36]

Food and Agriculture Organization Role of research in global food security and agricultural development [monograph on the internet] 1996. Available from: https://ec.europa.eu/jrc/sites/jrcsh/files/role-research-global-food-nutrition-security.pdf

[37]

Payumo J, Sebastian L. NARES capacity in relation to international treaties and conventions on intellectual property rights, agricultural biotechnology, and plant genetic resources management. Asian J Agric Dev 2008; 4(1): 92-114.

[38]

PhilRice [homepage on the Internet] 2017. Available from: http://www.philrice.gov.ph/ph-rice-institute-leads-patents-applications/

[39]

Maredia K, Rakhmatov C, Herlache T, Eds. Technology transfer and commercialization, experiences of india and USA WorldTAP. East Lansing, MI: Michigan State University 2013; p. 48824.

[40]

FAOSTAT Statistic Database [homepage on the internet] 2017. Available from: http://www.fao.org/faostat/en/#home

© 2018 Payumo et al. This is an open access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution 4.0 International Public License (CC-BY 4.0), a copy of which is available at: (https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/legalcode). This license permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original author and source are credited.

ANALISIS TINGKAT PENGETAHUAN PETANI TERHADAP MANFAAT LAHAN PADI SAWAH DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

JURNAL ILMIAH Oleh : EKA ULYTHA SORMIN 050304051 AGRIBISNIS Jurnal Ilmiah Diajukan Kepada Program Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Untuk Memenuhi Sebagaian Syarat Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012

ANALISIS TINGKAT PENGETAHUAN PETANI TERHADAP MANFAAT LAHAN PADI SAWAH DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ANALYSIS OF THE LEVEL KNOWLEDGE OF FARMER ON THE BENEFIT OF PADDY FIELD IN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI Oleh: 1)

1)

2)

3)

Eka Ulytha Sormin , Tavi Supriana2), Luhut Sihombing3) Mahasiswa fakultas pertanian Universitas Sumatera Utara Progran Studi Agribisnis Staf pengajar fakultas pertanian Universitas Sumatera Utara Progran Studi Agribisnis Staf pengajar fakultas pertanian Universitas Sumatera Utara Progran Studi Agribisnis

ABSTRAK Beberapa tahun belakangan ini terjadi fenomena alih fungsi lahan dari lahan yang produktif menjadi pemukiman. Hal ini didukung oleh petani yang menjual lahannya, petani yang menjual lahannya atau mengubah lahan dari padi sawah menjadi komoditi lain dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan petani mengenai manfaat lahan padi sawah. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Serdang Bedagai Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2011. Secara garis besar tujuan penelitian terdiri atas dua bagian yaitu, pertama untuk mengetahui tingkat pengetahuan petani terhadap manfaat lahan padi sawah dan kedua untuk mengetahui perkembangan luas lahan padi sawah di daerah penelitian. Data yang digunakan meliputi data sekunder dan data primer. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa petani di daerah penelitian mengetahui secara benar mengenai manfaat lahan padi sawah adalah sebagai penghasil bahan pangan, hal ini dapat dilihat melalui hasil kuesioner yaitu sebesar 100% petani menyetujui manfaat lahan padi sawah yaitu sebagai penghasil bahan pangan dan terjadi perkembangan luas lahan sebesar 11.27% pada tahun 2006 Kata kunci : pengetahuan petani, lahan padi sawah

ABSTRACT In recent years onccured the phenomenon of land conversion from productive land into resindental. Study was conducted in Kabupaten Serdang Bedagai in North Sumatera Province in 2011. Its supported by farmer who sell their land, farmers who sell their land or convert the land of paddy into other comodities being influence by the level of knowledge of farmer on the benefit of the paddy field. The research objectives consist one to determine the level of knowledge of farmers on the benefits of paddy fields. And the second, to determine the development of paddy land in the research area. The data used in this research include the secondary data and the

primary data. The analysis methode using is descriptive analysis. The result of the research showed that farmers in the research area are properly aware of the direct benefits of paddy fields is as producer of food. This can be seen from the result of the questionnaire, which is 100% directly benefit the farmers agreed to paddy fields is as producer of food. Key Words : knowledge of farmer, paddy field PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, dimana sebagian besar penduduknya merupakan petani. Tanaman yang banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia adalah padi. Padi yang menghasilkan beras merupakan bahan pangan pokok sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, padi sebagai penghasil beras harus mendapat perhatian baik mengenai lahan, benih, cara budidaya maupun pasca panen (Suparyono, 1997). Padi merupakan bahan makanan pokok sebagian besar rakyat Indonesia karena 95% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras. Tingginya kebutuhan konsumsi beras disebabkan oleh sebagian besar penduduk Indonesia beranggapan bahwa beras merupakan bahan makanan pokok yang belum dapat digantikan keberadaannya. Apabila kegiatan usahatani dikelola dengan baik dan benar seharusnya petani akan memiliki pendapatan yang cukup tinggi (Wijono, 2005). Padi adalah salah satu bahan makanan yang mengandung gizi yang cukup bagi tubuh manusia, sebab didalamnya terkandung bahan yang mudah diubah menjadi energi. Oleh karena itu padi disebut juga makanan energi. Menurut Collin Clark Papanek, nilai gizi yang diperlukan oleh setiap orang dewasa adalah 1821 kalori yang apabila disetarakan dengan beras maka setiap hari diperlukan beras sebanyak 0,88 kg. Beras mengandung berbagai zat makanan antara lain: karbohidrat, protein, lemak, serat kasar, abu dan vitamin. Disamping itu beras mengandung beberapa unsur mineral antara lain: kalsium, magnesium, sodium, fosphor dan lain sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari karbohidrat merupakan salah satu zat yang sangat penting bagi tubuh dan sangat mutlak diperlukan setiap hari. Karbohidrat merupakan senyawa organik karbon, hydrogen, dan oksigen, yang terdiri atas satu molekul gula sederhana atau lebih yang merupakan bahan makanan penting sebagai sumber energy atau tenaga. Karbohidrat kita peroleh dari makanan pokok sehari-hari seperti padi, jagung, ketela pohon, kentang, sagu, gandum, ubi jalar dan lain-lain. Dari sekian banyak sumber karbohidrat, padi ternyata merupakan ideal bagi kita. Itulah sebabnya padi

menjadi sangat penting bagi bangsa Indonesia. Bagi bangsa kita padi identik dengan hidup, sebab selain padi sebagai sumber penghidupan, ia juga yang telah menghidupi bangsa kita. Sejak ratusan tahun yang lalu padi sudah dikenal di Indonesia. Nenek moyang kita sudah sejak lama membudidayakan tanaman pangan yang utama. Mengingat keadaan iklim, struktur tanah dan air setiap daerah berbeda maka jenis tanaman padi di setiap daerah umumnya berbeda. Perbedaan jenis padi pada umumnya terletak pada : Usia tanaman, jumlah hasil, mutu beras, dan ketahanannya terhadap hama dan penyakit (Wijono, 2005). Lahan sawah dapat dianggap sebagai barang publik, karena selain memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan manfaat yang bersifat sosial. Lahan sawah memiliki fungsi yang sangat luas yang terkait dengan manfaat langsung, manfaat tidak langsung, dan manfaat bawaan. Manfaat langsung berhubungan dengan perihal penyediaan pangan, penyediaan kesempatan kerja, penyediaan sumber pendapatan bagi masyarakat dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana pelestarian kebudayaan tradisional, sarana pencegahan urbanisasi, serta sarana pariwisata. Manfaat tidak langsung terkait dengan fungsinya sebagai salah satu wahana pelestari lingkungan. Manfaat bawaan terkait dengan fungsinya sebagai sarana pendidikan, dan sarana untuk mempertahankan keragaman hayati (ilham, dkk, 2002). Di Kabupaten Serdang bedagai, luas lahan padi sawah mengalami pergerakan, terkadang mengalami kenaikan tapi terkadang mengalami penurunan. Penurunan yang terjadi di tahun tahun tertentu, diakibatkan karena ada beberapa lahan yang berubah fungsi seperti menjadi pemukiman atau lahan perkebunan. Petani menjual atau mengubah lahan padi sawahnya menjadi komoditi lain karena dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan petani. Dari keadaan tersebut di dapat identifikasi masalah yang akan dibahas pada penelitian ini, adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.

Bagaimana tingkat pengetahuan petani terhadap manfaat lahan padi sawah di daerah penelitian?

2.

Bagaimana perkembangan luas lahan sawah di Kabupaten Serdang Bedagai.

Tujuan Penelitian 1.

Untuk menganalis tingkat pengetahuan petani terhadap manfaat lahan padi sawah di daerah penelitian.

2.

Untuk menganalis perkembangan luas lahan sawah di Kabupaten Serdang Bedagai.

METODE PENELITIAN Metode Penentuan Daerah Penelitian Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive, yaitu secara sengaja, dengan memilih Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Serdang Bedagai dipilih dengan alasan bahwa Kabupaten ini adalah salah satu Kabupaten pemekaran di provinsi Sumatera Utara yang 5 (lima) tahun terakhir mengalami perkembangan luas padi sawah. Metode Pengambilan Sampel Di dalam penelitian ini metode penetuan sampel mengguakan metode Accidental (penelusuran). Metode accidental sample ini sample yang diambil dari sapa saja yang kebetulan ada. Pengambilan sampel penelitian melalui metode ini adalah dari petani padi sawah yang berada di Kabupaten Serdang Bedagai. Adapun jumlah petani yang dijadikan sampel dalam penelitian saya adalah 30 petani yang berada di Kabupaten Serdang Bedagai.( Gaspersz, 1991). Metode Analisis Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Dinas Pertanian Sumatera Utara, Badan Pusat Statistik Kota Medan dan Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Serdang Bedagai. Data primer diperoleh dari hasil dari wawancara langsung kepada petani yang berada didaerah penelitian Data yang didapat kemudian akan di analisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Melalui metode ini akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai perkembangan luas lahan padi sawah dan pengetahuan petani terhadap manfaat lahan padi sawah di daerah penelitian. Adapun isi kuesioner yang akan disampaikan adalah sebagai berikut:

no 1 2 3 4 5

Manfaat tidak langsung Mengurangi peluang banjir Mengurangi peluang pendangkalan sungai Mengurangi peluang tanah longsor Mengurangi pencemaran udara Mengurangi pencemaran lingkungan

Setuju

Tidak setuju

no 1 2 3 4 5 6

Setuju

Tidak setuju

7 8 9

Manfaat langsung Penghasil bahan pangan Menyediakan kesempatan kerja Sumber PAD melalui pajak tanah Sumber PAD melalui pajak lainnya Mencegah urbanisasi Sarana tumbuhnya rasa kebersamaan/ gotongroyong Sumber pendapatan masyarakat Sarana refreshing dan pemandangan Sarana pariwisata

no 1 2

Manfaat bawaan Sarana pendidikan sarana mempertahankan keanekaragaman hayati

Setuju

Tidak setuju

no 1 2

Manfaat tidak langsung Setuju Pencemaran udara melalui efek rumah kaca Pencemaran air melalui penggunaan bahan kimia Pencemaran tanah melalui penggunaan bahan kimia

Tidak setuju

3

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengetahuan petani mengenai manfaat langsung, tidak langsung, bawaan maupun fungsi negatif lahan sawah Motivasi petani dalam mempertahankan lahannya pada multifungsi penggunaan tidak terlepas oleh tingkat pengetahuan petani mengenai manfaat langsung, tidak langsung, bawaan maupun fungsi negatif lahan sawah. Menurut Wibowo (1996), tingginya motif petani mempertahankan lahan sawahnya dikarenakan persepsi tentang kerugian akibat alih fungsi lahan sawah yang berdampak negatif, dianggap sebagai suatu persoalan. Oleh karena pengetahuan petani atau persepsi petani terhadap manfaat lahannya menjadi motivasi petani dalam mempertahankan lahan.

Melalui gambar 1 dapat dilihat bahwa pengetahuan petani mengenai manfaat langsung lahan sawah menunjukkan 100 % petani mengetahui bahwa manfaat langsung lahan sawah adalah penghasil bahan pangan. Sebanyak 80 % petani juga mengetahui bahwa lahan sawah dapat menjadi sumber PAD melalui pajak tanah serta 86.67 % petani juga mengetahui bahwa lahan sawah bermanfaat langsung dalam menyediakan tenaga kerja. Sedangkan 46,67 % petani tidak mengetahui bahwa salah satu manfaat langsung lahan sawah adalah sebagai sumber PAD melalui pajak lainnya. Sebanyak 36.67 % petani juga mengetahui bahwa lahan sawah dapat menjadi alat untuk mencegah terjadinya urbanisasi serta 96.67 % petani juga mengetahui bahwa lahan sawah bermanfaat langsung dalam media memperat tali silahturahmi dengan cara bergotong royong. Sedangkan 90% petani tidak mengetahui bahwa salah satu manfaat langsung lahan sawah adalah sebagai sumber pendapatan masyarakat, Sebanyak 40 % petani juga mengetahui bahwa lahan sawah dapat dijadikan tempat refresing karena hamparan hijau yang luas dan 23.33 % petani juga mengetahui bahwa lahan sawah bermanfaat langsung sebagai temapat pariwisata. Dengan demikian terlihat bahwa petani mengetahui manfaat langsung sawah adalah sebagai penghasil bahan pangan. Melihat gambar 1 kita dapat menyimpulkan bahwa pengetahuan dari petani ini lah yang memacu semangat dari petani dalam mempertahankan lahannya. Petani juga memahami bahwa dengan menanam padi saja petani dapat memenuhi kebutuhan dan dapat menyumbang pendapatan daerah melalui pajak tanah.

Gambar 1. Pengetahuan petani mengenai manfaat langsung lahan sawah Keterangan

: 1. Penghasil bahan pangan, 2. Menyediakan kesempatan kerja, 3.

Sumber PAD melalui pajak tanah, 4. Sumber PAD melalui pajak lain,5. Mencegah

urbanisasi, 6. Sarana tumbuhnya rasa kebersamaan/gotongroyong, 7. Sumber pendapatan masyarakat, 8. Sarana refreshing dan pemandangan, 9. Sarana pariwisata.

Gambar 2. Pengetahuan petani mengenai manfaat tidak langsung lahan sawah keterangan :

1

Mengurangi peluang banjir

2

Mengurangi peluang pendangkalan sungai

3

Mengurangi peluang tanah longsor

4

Mengurangi pencemaran udara

5

Mengurangi pencemaran lingkungan

Gambar 2 memperlihatkan bahwa 80% petani mengetahui bahwa manfaat tidak langsung lahan sawah adalah mengurangi peluang banjir.

Sedangkan 60% dan

53.33% petani memahami bahwa manfaat tidak langsung lainnya dari lahan sawah adalah dapat mencegah pendangkalan sungai dan mencegah tanah longsor. Dan 66.67% memahami bahwa lahan sawah dapat mengurangi pencemaran udara dan lingkungan. Terlihat bahwa lebih dari 50% petani mengetahui manfaat tidak langsung sawah sebagai media yang mengurangi resiko banjir, tanah longsor serta pendangkalan sungai. Dengan demikian motivasi petani mempertahankan lahannya tidak terdorong oleh ketidaktahuan petani terhadap manfaat tidak langsung sawah.

Gambar 3. Pengetahuan petani mengenai manfaat bawaan lahan sawah Keterangan : 1. Sarana pendidikan 2. sarana mempertahankan keanekaragaman hayati Gambar

3

memperlihatkan bahwa 40 % petani tidak mengetahui manfaat bawaan lahan sawah sebagai sarana pendidikan dan 36.67% bawaan lahan sawah adalah memepertahankan keeneka ragaman hayati. Petani memiliki sudut pandang yang sempit terhadap lahan sawahnya.

Terlihat dari kurangnnya pengetahuan petani terhadap manfaat tidak

langsung sawah dan persepsi efek alih fungsi yang diabaikan, petani juga tidak menyadari fungsi bawaan lahannya sebagai media pendidikan. Sempitnya pengetahuan petani terhadap manfaat lahan sawah inilah yang terkadang membuat petani menjadi ragu terhadap lahannya, apakah mempertahankan lahan atau menjualnya. Disinilah peran para pemerintah khususnya di bidang pertanian dan para penyuluh pertanian untuk memberikan pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan oleh petani. Agar para petani juga memahami secara benar fungsi lahannya. Selain itu, lahan pertanian yang produktif dilarang untuk dijadikan lahan yang tidak produktif contohnya Pencemaran udara melalui efek rumah kaca

Gambar 4. Pengetahuan petani mengenai fungsi negatif lahan sawah Keterangan :

1. Pencemaran udara melalui efek rumah 2. Pencemaran air melalui penggunaan bahan kimia 3. Pencemaran tanah melalui penggunaan bahan kimia

Gambar 4 memperlihatkan bahwa diatas 90% petani mengetahui bahwa fungsi negatif lahan sawah adalah dapat menimbulkan pencemaran melalui penggunaan bahan kimia. Sedangkan 70% petani tidak memahami bahwa fungsi negatif lahan sawah dapat menimbulkan pencemaran udara melalui efek rumah kaca. Petani yang masih mempertahankan lahan sawahnya mengetahui bahwa sawah menimbulkan fungsi negatif melalui penggunaan bahan kimia. Namun petani tetap menggunakan bahan kimia tersebut demi kelangsungan usahanya disebabkan tidak ada alternatif lain atau justru petani tidak benar-benar mengetahui dosis optimal penggunaan bahan-bahan kimia tersebut sehingga tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Sebanyak 90% petani mengetahui penggunaan bahan kimia pada sawah menimbulkan efek negatif pada lingkungan tetapi petani berpendapat tidak ada alternatif lain selain penggunaan bahan tersebut untuk mempertahankan produksi usaha taninya. Hal ini juga di sebabkan banyaknya hama dan penyakit yang menyerang padi sawah, sehingga dengan terepaksa para petani menggunakan bahan kimia untuk memberantasnya. Ada sebagian responden petani menganggap sebenarnya dalam penggunanan bahan kimia hasil yang akan di produksi panen tidak berkualitas baik. Sehinggah harga jual padi di Indonesia pada umumnya kalah saing dengan produk luar. Disinalah dibutuhkan kerja sama dengan dinas pertanian khususnya di bidang penelitian untuk membuat inovasi – inovasi yang dapat mengurangi penggunaan bahan kimia. Sehingga petani juga dapat

memperbaikan mutu dari hasil usaha taninya, sehingga petani juga mempunya produk yang mempunyai daya saing di pasar international. Peningkatan luas lahan dan produksi di tiap tahun didukung oleh keputusan petani yang mempertahankan bahkan memperluas lahan padi sawahnya. Keputusan petani ini dipengaruhi oleh pengetahuan petani terhadap manfaat langsung, tidak langsung, bawaan dan fungsi negatif dari lahan padi sawah. Petani di Kabupaten Serdang bedagai sangat memahami secara benar mengenai manfaat langsung dari lahan padi sawah. Sebanyak 100% petani di Kabupaten Serdang Bedagai mengetahui bahwa lahan padi sawah merupakan penghasil bahan pangan, dan sebesar 90% petani di daerah penelitian mengetahui bahwa lahan padi sawah merupakn sumber pendapatan masyarakat. Hal ini juga yang emnjadi salah satu pertimbangan petani untuk tetap mempertahankan lahannya. Petani juga tidak memiliki pilihan lain karena lahan usaha taninya yang menjadi sumber pendapatan keluarga. Petani juga mengetahui manfaat tidak langsung dari lahan padi sawah, 80%menyadari dengan adanya lahan padi sawah dapat mencegah banjir, dan sebesar 60% petani memahami manfaat bawaan lahan padi sawah adalah sarana pendidikan. Karena pengetahuan petani mengenai betapa pentingnya lahan pada sawah ini memacu petani untuk tetap mempertahankan bahkan memperluas lahannya. Kerana manfaatnya bukan hanya untuk petani, tetapi untuk lingkungan sekitar bahkan pemerintah dari pajak yang petani bayarkan. Karena itulah lahan padi sawah akan meningkat, begitu juga dengan produksi padi sawah di tiap tahunnya. Hal ini terjadi karena petani semakin pintar dan didukung dengan peran pemerintah yang diharapkan akan selalu mendukung dan memberikan pengarahan dan bantuan kepada petani. 2. Perkembangan lahan dan produksi padi sawah di kabupaten serdang bedagai Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu kabupaten pemekaran yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Serdang bedagai ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Deli Serdang. Serdang Bedagai merupakan salah satu kabupaten yang merupakan lumbung padi di provinsi Sumatera Utara. Dalam waktu berdirinya 5 tahun terakhir ini daerah ini telah mengalami perkembangan lahan padi sawah. Hal ini terlihat pada Tabel 1 :

Tabel 1. Perkembangan Lahan Sawah per Tahun di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2005 – 2009 Luas Lahan

Tahun

Sawah

Perubahan Luas Lahan Sawah terhadap

Persentase*

(Ha)

tahun sebelumnya (Ha)

(%)

2005

64,699

0

0

2006

72,619

7920

11.27

2007

72,122

-497

-0.68

2008

73,010

888

1.23

2009

72,044

-966

-1.32

Sumber : BPS – Kabupaten Serdang bedagai berbagai tahun terbit Tabel 1 menunjukkan adanya penurunan luas lahan padi sawah yaitu dari tahun 2006 ke tahun 2007 yaitu sebesar 497 Ha dengan persentase 0.67%, penurunan luas lahan padi sawah terjadi kembali di tahun 2008 ke tahun 2009 dengan perubahan luas lahan padi sawah sebesar 966 Ha. Pada tabel 8 dapat dilihat peningkatan luas lahan padi sawah terjadi pada tahun 2006 dengan persentase perubahan sebesar 11,27% atau 7920 ha. Penurunan luas lahan di tahun tertentu terjadi karena ada nya beberapa isu mengenai prospek perkembangan tanaman perkebunan contohnya Kelapa Sawit. Sehingga, membuat beberapa petani melakukan alih fungsi lahan dari komditi padi sawah menjadi tanaman perkebunan. Karena hal ini lah, di tahun tertentu terjadi penurunan luas lahan dan produksi padi sawah. Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu daerah lumbung padi karena merupakan salah satu daerah penghasil padi yang besar. Pada tahun 2007 Kabupaten Serdang Bedagai sudah mencapai swasembada beras, dengan surplus produksi beras sebesar 128.660 ton. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Serdang bedagai ini sudah menjadi derah swasembada beras dan lumbung padi. Hal ini juga dapat dilihat dari hasil produksi beras yang secara terus menurs di tahunnya meningkat. Keadaan hal ini terjadi karena dukungan dari pemerintahan daerah Kabupaten Serdang Bedagai yang terus melakukan perbaikan-perbaikan dalam bidang pertanian. Banyak bantuan yang telah di berikan kepada petani, guna mendorong semangat petani untuk melakukan usahataninya. Misalnya, bantuan sarana produksi (penggilingan padi) kepada setiap kelompok tani yang produktif.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Tingkat pengetahuan ini meliputi apakah petani mengetahui manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat bawaan dan fungsi negatif, 100% petani sampel memahami betul bahwa manfaat langsung dari lahan padi sawah adalah sebagai bahan pangan, 80% petani menyadari bahwa manfaat tidak langsung padi sawah adalah mencegah peluang banjir, dan 96.67% petani menyadari dengan menanam padi sawah dapat merusak lingkungan dan tanah akibat penggunaan bahan kimia. 2. Perubahan luas lahan terbesar periode tahun 2005-2009 terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 11.27%. Saran Dari hasil penelitian ini dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut : Kepada pemerintah : 1. Diharapkan pemerintah terus memberikan motivasi dan dukungan kepada para petani dengan memberikan bantuan-bantuan yang di perlukan oleh petani. 2. Diharapkan kepada pemerintah untuk mendukung petani dengan memberikan kebijakan pembangunan infrastruktur dan layanan masyarakat dengan dibangun di areal pertanian sehingga makin terjadinya perluasan lahan padi sawah.

DAFTAR PUSTAKA BPS,

Sumatera Utara Dalam Angka, Kabupaten/Kota. BPS, Medan.

2006.

Jumlah

Penduduk

Menurut

BPS, Sumatera Dalam Angka, 2006. Luas Areal Tanaman Pangan Menurut Kabupaten/Kota. BPS, Medan. Gaspersz, V, 1991. Teknik Penarikan Contoh untuk Penelitian Survei. Tarsito, Bandung. Ilham, dkk, 2003. Perkembangan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Serta Dampak Ekonominya. IPB Press. Jamal, E, 2000. Beberapa Permasalahan Dalam Pelaksanaan Reformasi Agraria di Indonesia. FAE,Vol 18. No. 1,2 : 16-24.

Soekartawi, 2005. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Suparyono, 1997, Mengatasi Permasalahan Budi Daya Padi. Jakarta : Penebar Swadaya

Dalam peta daya dukung sebagaimana Gambar 1, tingkatan kemampuan penyedia pangan diklasifikasikan menjadi 5 kelas mulai dari sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, hingga sangat tinggi. Setiap kelas dipresentasikan dengan simbol warna: merah, merah muda, kuning, hijau dan hijau tua.

Areal dengan Potensi Penyediaan Pangan Tinggi dan Sangat Tinggi berdasarkan analisis Peta Daya Dukung Jasa Ekosistem Penyediaan Pangan Oleh :

Belinda Duhita Puspita Staf Sub Bidang Pertambangan, Energi, Pertanian dan Kelautan, Bidang Inventarisasi Daya Dukung dan Daya Tampung Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup

Jasa ekosistem merupakan manfaat yang diperoleh manusia dari berbagai sumberdaya dan proses alam yang secara bersama-sama diberikan oleh suatu ekosistem.. Berdasarkan Millenium Ecosystem Assesment (2005), jasa ekosistem diklasifikasikan menjadi empat kelompok besar yakni: 1. Jasa penyediaan (provisioning) berupa produksi pangan, air bersih, serat, energy dan sumberdaya genetik. 2. Jasa pengaturan (regulating) berupa pengaturan pengendalian iklim, tata aliran air dan banjir, pencegahan dan perlindungan dari bencana, pemurnian air, pengolahan dan penguraian limbah, pemeliharaan kualitas udara, pengaturan penyerbukan alami, serta pengendalian hama dan penyakit. 3. Jasa pendukung (supporting), seperti pendukung siklus nutrient, produksi primer, biodiversitas serta pembentukan lapisan tanah dan pemeliharaan kesuburan. 4. Jasa kultural (cultural), yaitu manfaat spiritual dan rekreasional. Kemampuan dukungan lingkungan hidup untuk menyediakan atau memberikan jasa-jasa tersebut di atas disebut sebagai daya dukung jasa ekosistem. Indikasi dari kemampuan penyediaan jasa-jasa ekosistem dari lingkungan hidup dapat disajikan dalam bentuk grafis seperti peta daya dukung. Tahun 2015 dan 2016, Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Kalimantan (P3EK) telah menyusun Peta Daya Dukung Ekoregion Kalimantan Skala 1:250.000 untuk 20 jasa ekosistem. Salah satu peta tersebut adalah Peta Daya Dukung Penyediaan Pangan Ekoregion Kalimantan (Gambar 1). Maksud dari jasa ekosistem penyediaan pangan dalam peta tersebut di atas ialah kemampuan lingkungan Ekoregion Kalimantan, yang direpresentasikan oleh bentuk lahan dan penutupan lahan, dalam memberikan manfaat penyediaan bahan pangan. Bahan pangan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati (tanaman dan hewan) dan air (ikan), baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia.

Gambar 1. Peta Daya Dukung Lingkungan Hidup Jasa Ekosistem Penyediaan Pangan Ekoregion Kalimantan

Areal dengan penyediaan pangan tinggi di luar areal berpenutupan hutan dan sawah Tulisan ini mencoba mengidentifikasi dan memberikan gambaran tentang areal-areal yang secara eksisting bukan lahan pertanian (tanaman semusim lahan basah/sawah dan tanaman semusim lahan kering) dan tidak berpenutupan hutan, tetapi memiliki potensi penyediaan pangan tinggi dan sangat tinggi. Informasi tentang areal-areal seperti itu penting agar pengembangan/ ekstensifikasi lahan pertanian tidak melulu mengandalkan kawasan hutan atau areal berhutan. Dengan demikian, orientasi penyediaan lahan pertanian, khususnya pangan, tidak memprioritaskan pembukaan hutan melalui mekanisme alih fungsi lahan. Informasi ini nantinya juga diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam perencanaan pengembangan pertanian khususnya pencetakan sawah. Dengan informasi ini diharapkan rencana lokasi pencetakan sawah merupakan daerah yang memang mempunyai potensi pangan tinggi dan sangat tinggi sehingga produktifitas sawah tersebut juga akan tinggi. Selain itu rencana lokasi tersebut juga tidak mengurangi kawasan hutan, karena kawasan hutan secara ekosistem juga mempunyai

fungsi dalam tata aliran air dan penyedia air sehingga mendukung dalam produktifitas sawah yang akan di cetak. Untuk mengidentifikasi areal-areal yang secara eksisting bukan sawah dan tidak berpenutupan hutan, tetapi memiliki potensi penyediaan pangan tinggi dan sangat tinggi, penulis melakukan analisis tumpang susun dengan menggunakan perangkat Sistem Informasi Geografis (GIS). Hasilnya adalah sebagaimana tersaji dalam Gambar 2 dan Tabel 1.

Tabel 1 memperlihatkan bahwa ada tiga jenis penutupan lahan yang diindikasikan memiliki kemampuan penyediaan jasa pangan yang tinggi dan sangat tinggi sekaligus memiliki luasan yang besar yakni: 1) kebun & tanaman campuran, 2) semak dan belukar, dan 3) perkebunan. Dari ketiganya, yang paling potensial untuk diubah menjadi sawah adalah lahan semak belukar (472,861.68 ha). Jenis penutupan lahan ini bisa menjadi prioritas dalam usaha pencetakan sawah ke depan karena tidak mengganggu produktifitas pangan lain seperti halnya penutup lahan kebun dan tanaman campuran. Dari lahan seluas 472,861.68 ha tersebut dapat di kaji lagi lebih dalam terkait kesesuaiannya secara teknis untuk di cetak menjadi sawah. Untuk jenis penutulan kebun & tanaman campuran atau perkebunan, meskipun berpotensi tinggi, ketika tutupan ini diubah menjadi sawah hal itu akan mengurangi produksi pangan komoditas lain. Begitu pula yang terjadi pada tutupan perkebunan yang cukup besar seluas 348,943.39 ha. Hasil pangan dari kebun dan tanaman campuran (tahunan dan semusim) serta perkebunan ialah komoditas umbiumbian, kacang-kacangan, biji-bijian berlemak, sayur-sayuran, buah-buahan, gula, daging, telur, susu, dan minyak. Tabel 1. Distribusi Luasan Penutup Lahan per provinsi pada Jasa Ekosistem Penyedia Pangan kelas tinggi dan sangat tinggi Jenis PL

Luas (ha) Kalbar

Kalsel

Kalteng

Kaltim

Kaltara

Total

Bangunan permukiman/Campuran

602.33

30.00

990.17

480.98

597.21

2,700.69

Danau/Telaga

53,434.28

21.27

372.55

161.28

53,989.38

Kebun & Tanaman Campuran (Tahunan & Semusim)

1,150,751.81

88,839.77

119,934.58

32,750.94

1,520,138.37

Kolam Air Asin/ Payau

2,012.87

9,432.99

11,326.68

3,714.73

26,487.26

Lahan Terbuka Diusahakan

Gambar 2. Peta persebaran areal bukan hutan dan sawah yang memiliki jasa ekosistem penyediaan pangan kelas tinggi dan sangat Tinggi

Poligon-poligon dengan warna ungu dalam peta pada Gambar 2 adalah areal-areal di Ekoregion Kalimantan yang memiliki jasa ekosistem penyediaan pangan kelas tinggi dan sangat tinggi, tetapi tidak berpenutupan hutan (non hutan) atau bukan lahan pertanian eksisting. Provinsi yang memiliki areal-areal seperti itu dengan luasan yang besar adalah Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kalimantan Tengah. Selain karena wilayahnya yang memang luas, kedua provinsi ini didominasi oleh kebun dan tanaman campuran, perkebunan serta semak belukar . Sementara provinsi yang memiliki areal-areal bukan hutan dan sawah tetapi memiliki jasa ekosistem penyediaan pangan kelas tinggi dan sangat tinggi dengan luasan kecil adalah Provinsi Kalimantan Timur.

127,861.27

10.00

10.00

Perkebunan

165,371.04

62,990.68

79,147.52

39,752.90

1,681.25

348,943.39

Rawa Pedalaman

1,887.48

2,314.95

35,949.31

23,833.05

340.39

64,325.19

Rawa Pesisir

174.96

305.29

Semak dan Belukar

135,043.38

116.71

156,894.53

135,377.10

45,429.97

472,861.68

Sungai

12,573.78

1,746.36

9,260.35

7,966.15

8,604.04

40,150.69

Grand Total

1,521,851.93

165,808.03

410,103.15

339,193.98

93,279.82

2,530,236.90

150.00

630.25

Jenis tutupan lahan lain seperti rawa pedalaman (64,325.19 ha), rawa peisisir (630,25 ha). danau/ telaga (53,989.38 ha), sungai (40,150.69 ha) dan kolam air asin/payau (26,487.26) ha, walaupun pada peta daya dukung berada pada kategori penyediaan jasa ekosistem pangan tinggi, kita tidak boleh memandangnya sebagai lahan yang potensial untuk diubah menjadi lahan persawahan. Lahan-lahan dengan penutupan semacam itu sebaiknya dipertahankan sesuai karakteristiknya aslinya yakni sebagai penghasil pangan selain beras yakni ikan dan jenis-jenis komoditas perairan lainnya. Sementara tutupan berupa bangunan permukiman/campuran yang

luasnya hanya 2,700.69 ha dapat dioptimalkan untuk menghasilkan komoditas pangan melalui metode hidroponik dan peternakan. Hidroponik di lahan permukiman menghasilkan komoditas sayur-sayuran dan buah-buahan. Sedangkan usaha peternakan dilakukan di pekarangan rumah menghasilkan pangan berupa daging dan telur. Biasanya usaha peternakan rumah tangga memproduksi dalam jumlah terbatas yang hanya digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga sendiri dan rumah sekitarnya. Berdasarkan RPJMN 2015 – 2019 target pencetakan sawah adalah 1 juta ha di luar Pulau Jawa dan Bali. Untuk memenuhi target itu, maka akan sangat baik apabila rencana pencetakan sawah baru di Pulau Kalimantan diarahkan pada areal seluas 472,861.68 ha yang berpenutupan semak belukar sebagaimana Tabel 1 yang memenuhi kriteria kesesuaian lahan dan kriterika teknis lain untuk komoditas padi sawah. Info brief ini diharapkan memberikan input kepada sektor pertanian dalam perencanaan pencetakan sawah dengan mempertimbangkan jasa ekosistem sehingga akan menghasilkan lahan yang sesuai bagi pertanian dan sekaligus melindungi dan mempertahankan areal-areal hutan tersisa di Ekoregion Kalimantan.

h 5t ara 2 s gg su Ten u Kh sia i s i A Ed AF R IC

ISSN: 2089-2500

World Agroforestry Centre (ICRAF) Indonesia

3

Dua puluh lima tahun perubahan menuju dampak yang lebih nyata di Asia Tenggara

5

Definisi agroforestri dalam konteks bioekonomi, bentang lahan dan kebijakan: dinamika konsep agroforestri

7

Agroforestri sistem yang sehat

9

Nurseries of Excellence: mengintegrasikan peningkatan kapasitas petani dalam budidaya dan wirausaha

10 Pembayaran Jasa Lingkungan:

Investasi bersama untuk konservasi DAS berbasis kinerja di DAS Rejoso

13 Sumatra Selatan: Menuju

Pertumbuhan Ekonomi Hijau

Volume 10 No. 2 - Agustus 2017

Edisi Kiprah Agroforestri kali ini adalah dalam rangka memperingati dua puluh lima tahun World Agroforestry Centre (ICRAF) Asia Tenggara, dengan mengusung tema perubahan untuk menuju dampak yang lebih nyata di Asia Tenggara, yang diselenggarakan tanggal 24 Mei 2017. Melalui Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (BLI) Lingkungan dan Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Indonesia menjadi tuan rumah bagi ICRAF Asia Tenggara. Dalam kesempatan ini Direktur Jeneral BLI Lingkungan dan Kehutanan Henry Bastaman menyampaikan bahwa staf ahli di ICRAF dalam membuat Penelitian menjadi aksi yang memberikan pemahaman dan keuntungan dari agroforestry. Salah satu program pemerintah dengan mengalokasikan 12.7 hektar hutan negara agar dapat dikelola oleh masyarakat melalui system agroforestri. Dalam kesempatan yang sama diresmikan Memorandum of Understanding yang baru antara Pemerintah Indonesia dan ICRAF Asia Tenggara. Mari kita melihat ke masa yang lalu, sebelum konsep agroforestri lahir, pertanian dan kehutanan dipandang sebagai dua sektor yang terpisah, dan empat puluh tahun lalu barulah konsep agroforestri terlahir yang merupakan penghubung bagi pertanian dan kehutanan, dan selanjutnya menyatukan keduanya dalam konteks bentang lahan dan kebijakan. Agroforestri juga merupakan praktik pengelolaan lahan yang sudah lama diterapkan oleh masyarakat Indonesia untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan. Keterbatasan pengetahuan masyarakat, khususnya petani perlu terus ditingkatkan. Hal ini disebabkan keterbatasan akses terhadap tiga hal utama yaitu: bibit pohon yang berkualitas, bantuan teknis, dan pasar. ICRAF sebagai lembaga yang bergerak di bidang penelitian agroforestri mempromosikan pendekatan nurseries of excellence atau pembibitan berkualitas unggul untuk membuka akses petani terhadap bibit pohon yang berkualitas. Selain itu ICRAF juga mempelopori skema Pembayaran jasa Lingkungan (PJL) yang sudah berjalan hampir dua dekade dan kini telah menjadi alat pendukung konservasi daerah aliran sungai (DAS). Skema PJL merupakan mekanisme insentif sukarela berbasis kinerja, diberikan kepada pengelola lahan pertanian dan hutan. Ada enam tahapan dalam PJL, diantaranya adalah mengidentifikasi, memahami dan solusi, mengembangkan strategi, pembuatan Perencanaan, pelaksanaan juga pemantauan dan evaluasi. Skema ini juga mengutamakan prinsip dalam mempertahankan ketersediaan dan menghasilkan aliran jasa lingkungan bagi seluruh masyarakat. Selain skema PJL, ICRAF dengan agroforestrinya juga mengusung Visi Pertumbuhan Ekonomi Hijau yang telah dilakukan di Sumatera Selatan bersamaan dengan Pemerintah Provinsi SumSel. Ekonomi hijau adalah perekonomian berbasis lahan seperti agroforestri, pertanian, kehutanan beserta turunannya. Dokumen Rencana Induk dan Peta Jalan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Provinsi Sumatera Selatan telah ditandatangani dan diluncurkan oleh Gubernur Sumatera Selatan pada Bulan Mei 2017 di Palembang dalam forum Bonn Challenge Wilayah Asia. Pada forum tersebut, pemerintah Sumatera Selatan telah berhasil mengajak seluruh provinsi lain di Pulau Sumatera untuk menyusun strategi Pertumbuhan Ekonomi Hijau. Tikah Atikah

1

Sereh sebagai salah satu produk agroforestri yang penting sebagai sumber pendapatan petani di Desa Onto, Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. (Foto: World Agroforestry Centre/ Endri Martini)

Redaksional Kontributor Andree Ekadinata, Aulia Perdana, Beria Leimona, Betha Lusiana, Eka Purnamasari, Endri Martini, Fainta S Negoro, Kurniatun Hairiah, Lisa Tanika, Meine van Noordwijk, Ni'matul Khasanah, Noviana Khususiyah, Robert Finlayson, Sacha Amaruzaman, Sonya Dewi, Suyanto Editor

Subekti Rahayu, Endri Martini, Betha Lusiana, Tikah Atikah

Desain dan Tata Letak

Tikah Atikah

Foto Sampul

Kurniatun Hairiah/Universitas Brawijaya

2

World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program Jl. CIFOR, Situ Gede Sindang Barang, Bogor 16115 PO Box 161 Bogor 16001, Indonesia 0251 8625415; fax: 0251 8625416 [email protected] blog.worldagroforestry.org www.worldagroforestry.org/region/southeast-asia Agroforestri adalah sistem pemanfaatan lahan yang memadukan pohon dengan tanaman lain dan/atau ternak

Kami mengajak pembaca untuk berbagi cerita dan pendapat mengenai agroforestri. Silahkan kirim naskah tulisan (500-1000 kata) disertai foto beresolusi besar. Saran dan kritik juga dapat ditulis di dalam blog KIPRAH di http://kiprahagroforestri.blogspot.com

Dua puluh lima tahun perubahan menuju dampak yang lebih nyata di Asia Tenggara Oleh Robert Finlayson Sumber: http://blog.worldagroforestry.org/index.php/2017/07/16/twenty-five-years-of-transformations-for-impact-insoutheast-asia/

World Agroforestry Cetre yang sebelumnya bernama ICRAF, di Asia Tenggara telah berusia 25 tahun. Perayakan ulang tahun ICRAF Asia Tenggara ke-25 yang diselenggarakan di Bogor, Indonesia diisi dengan acara berbagi pengetahuan melalui seminar sehari The World Agroforestry Centre Asia Tenggara yang berdiri sejak tahun 1993 adalah kantor regional terbesar dari ICRAF. Sejak didirikannya, the World Agroforestry Centre Asia Tenggara bekerja untuk mendukung negaranegara di wilayahnya dalam mencapai target pembangunan nasional, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam dan bentang lahan secara berkelanjutan pada sektor pertanian dan kehutanan. Dukungan sumber daya manusianya yang terampil dalam mengatasi tantangan kritis melalui penelitian

pengembangan merupakan keuntungan bagi the World Agroforestry Centre Asia Tenggara. Dalam perayaan ulang tahun ke-25 yang diselenggarakan tanggal 24 Mei 2017, sebanyak 150 tamu undangan hadir dalam acara berbagi pengalaman mengenai topik-topik penelitian pengembangan pada masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang serta mempelajari lebih lanjut mengenai pencapaian ICRAF, khususnya di Indonesia yang merupakan negara terbesar di Asia Tenggara. Melalui Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (BLI) Lingkungan dan Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maka Pemerintah Indonesia menjadi tuan rumah bagi ICRAF Asia Tenggara. Direktur Jeneral BLI Lingkungan dan Kehutanan, Henry Bastaman, mengatakan melalui wakilnya, Agus Tampubolon, bahwa

staf ICRAF adalah 'ahlinya dalam membuat penelitian menjadi aksi'. Beliau memberikan catatan penting bahwa ICRAF membedakan antara 'mempertahankan sebidang lahan' dan 'berbagi tempat dalam sebidang lahan', dengan demikian maka hasilhasil penelitian yang disediakan oleh ICRAF menunjukkan keterpaduan. ICRAF memandang bahwa lebih baik memanfaatkan bentang lahan untuk berbagai fungsi dalam mencapai berbagai tujuan antara lain konservasi hutan, meningkatkan produktivitas pertanian dan meningkatkan penghidupan bagi petani daripada mempertahankan bentang lahan sekedar untuk melestarikan sumber daya alam. Selanjutnya, beliau mengatakan bahwa ICRAF telah memberikan pemahaman kepada BLI Lingkungan dan Kehutanan bahwa keuntungan dari agroforestri jauh lebih besar daripada biaya untuk membangun. Besarnya keuntungan

3

agroforestri menjadikannya sebagai salah satu program pemerintah, yaitu mengalokasikan lahan sebesar 12.7 juta hektar hutan negara agar dapat dikelola oleh masyarakat. Beliau juga menghargai kemitraan aktif yang dijalin antara BLI Lingkungan dan Kehutanan dengan ICRAF pada Proyek Pengembangan Produk Kehutanan Kayu dan Bukan Kayu dan Strategi Pemasaran untuk Pengembangan Mata Pencaharian Petani Kecil di Indonesia yang didanai oleh Australian Centre for Agricultural Research dan berlokasi di Sumbawa, Timor Barat dan Jawa Tengah. 'Kita harus bekerja dan belajar bersama melalui proses yang tepadu', kutip Tampubolon. 'Melalui kebersamaan kita dapat mencapai lebih banyak'. ICRAF telah mendukung pengembangan kebijakan penelitian agroforestri di tingkat nasional, kajian-kajian mengenai lahan, dan analisis spasial multiskala, perangkat pendukung negosiasi, pembayaran jasa lingkungan, adaptasi perubahan iklim, penelitian bioenergi dan perbaikan fungsi daerah aliran sungai’. Memorandum of Understanding (MoU) yang baru antara Pemerintah Indonesia dan ICRAF secara resmi diserahkan kepada Ravi Prabhu, Wakil Direktur bidang penelitian ICRAF. MoU tersebut ditandatangani oleh Direktur Jeneral ICRAF, Tony Simons. Seminar sehari yang diselenggarakan dalam rangka ulang tahun ke-25 ICRAF ini dibagi menjadi tiga bagian tetapi ketiganya saling berhubungan sesuai dengan paradigma dari agroforestri, yaitu: 1) Meningkatkan produktivitas

Kiri ke Kanan: Ingrid Öborn, Ravi Prabhu dan Agus Tampubolon dengan Momerandum of Understanding yang baru antara Pemerintah Indonesia dan World Agroforestry Centre. Foto: World Agroforestry Centre/Riky Mulya Hilmansyah

4

lahan dan manfaat agroforestri bagi penghidupan; 2) Bentang lahan dan jasa ekosistem; dan 3) Kebijakan. Pada masing-masing bagian dimulai dengan presentasi tentang topik-topik terkait oleh para peneliti yang dilanjutkan dengan diskusi panel. Sesi satu dalam seminar ini memaparkan mengenai topik pemeliharaan kesehatan tanah dan peningkatan produktivitas sistem agroforestri oleh Kurniatun Hairiah dari Universitas Brawijaya, Malang; model simulasi untuk menilai interaksi dalam sistem agroforestri oleh Rachmat Mulia dari ICRAF Viet Nam; meningkatkan kapasitas petani agroforestri melalui pembibitan unggul dan kewiraswastaan oleh Aulia Perdana dari ICRAF Indonesia; dan agroforestri petani kecil untuk mata pencaharian dan pasar oleh Delia Catacutan dari ICRAF Viet Nam. Sesi ini diakhiri dengan peluncuran buku tentang 'Agroforestri dalam bentang lahan sawah: sebuah petunjuk praktis', yang diterbitkan bersama oleh FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan ICRAF. Diskusi panel dilanjutkan dengan topik 'meningkatkan produktivitas lahan dan manfaat agroforestri bagi penghidupan' oleh Achmad Muzakir Fagi, mantan direktur Lembaga Penelitian Tanaman Pangan dan Kemitraan ASB untuk Tropical Forest Margins Indonesia, Didik Suprayogo dari Universitas Brawijaya, dan Gede Wibawa, Direktur penelitian di Lembaga Riset Perkebunan Nusantara. Sesi kedua yang memaparkan mengenai bentang lahan dan jasa ekosistem menampilkan presentasi tentang indikator fungsi daerah aliran sungai oleh Lisa Tanika dari ICRAF Indonesia; jejak karbon biofuel dari sistem penggunaan lahan berbasis kelapa sawit oleh Ni' matul Khasanah, juga dari ICRAF Indonesia; restorasi lahan gambut dan paludikultur oleh Hesti Tata Lestari dari Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; dan tata ruang lahan untuk berbagai jasa lingkungan oleh Andree Ekadinata, ICRAF Indonesia. Sesi ini diikuti dengan diskusi panel mengenai topik 'Kebijakan agroforestri', yang menampilkan NP Rahadian dari Rekonvasi Bhumi, Desi Kusumadewi dari IDH Sustainable Trade Initiative,

Cover dari Buku Agroforestry in Riceproduction Landscapes

Fainta Negoro dari Danone, dan Medrilzam dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Sesi ketiga membahas kebijakan, dengan presentasi mengenai topik perhutanan sosial untuk resolusi konflik oleh Gamma Galudra, ICRAF Indonesia; Penilaian lingkungan strategis oleh Laksmi Wijayanti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Co-investasi dalam jasa ekosistem dan pembelajaran mengenai bentang lahan oleh Peter Minang, Kemitraan ASB for The Tropical Forest Margins; dan pembelajaran dari perencanaan pertumbuhan hijau di Sumatera Selatan oleh Sonya Dewi, Koordinator ICRAF Indonesia Sebagai penutup, diskusi hari itu dirangkum oleh Meine van Noordwijk, Chief Science Advisor untuk ICRAF global, diikuti dengan diskusi penutup yang membahas kontribusi agroforestri terhadap agenda SDG 2030. dengan Wiratno dan Sagita Arhidani dari Kelompok Kerja Perhutanan Sosial, Steven Lawry dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), Edi Purwanto dari Tropenbos Indonesia, Bustanul Arifin dari Universitas Lampung dan Retno Maryani dari Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Lingkungan dan Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Definisi agroforestri dalam konteks bioekonomi, bentang lahan dan kebijakan: dinamika konsep agroforestri Oleh Meine van Noordwijk

Sistem agroforestri telah ada sejak awal peradaban manusia. Bentuknya hampir tidak berubah hingga saat ini. Tetapi agroforestri sebagai suatu konsep keilmuan berubah dengan berjalannya waktu. Tulisan ini memaparkan bagaimana konsep dan makna agroforestri berevolusi dan berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan relevansinya bagi pengelolaan sumber daya alam.

Dinamika konsep agroforestri Sebelum konsep agroforestri lahir, pertanian dan kehutanan dipandang sebagai dua sektor yang terpisah dalam konteks biologi, ekonomi dan kebijakan meskipun keduanya berada dalam satu bentang lahan (Af0)1. Empat puluh tahun lalu, konsep 'agroforestri' terlahir sebagai 'anak' dari pertanian dan kehutanan (AF1). Konsep ini memandang bahwa agroforestri merupakan bagian dari pertanian dan kehutanan, khususnya dalam hal konsep bio-ekonomi. Seiring berjalannya waktu, anak akan tumbuh menjadi dewasa, demikian juga konsep agroforestri semakin berkembang dan menjadi penghubung antara sektor pertanian dan kehutanan (AF2). Konsep ini muncul karena pada kenyataannya banyak pohon tumbuh di lahan pertanian dan banyak juga tanaman pertanian tumbuh di kawasan hutan. Saat ini, agroforestri dapat menyatukan sektor pertanian dan kehutanan dalam konteks bentang lahan dan kebijakan (AF 3). * Sebagai contoh, data yang dikeluarkan oleh FAO memisahkan dengan jelas sektor pertanian dan kehutanan. Data produksi serta data statistik lainnya tarkait lahan hanya dikelompokkan berdasarkan kedua sektor tersebut tanpa adanya pengelompokan pengelolaan dan pemanfaatan lahan lainnya.

Agroforestri dari sudut pandang bio-ekonomi

Agroforestri dalam konteks bentang alam

Konsep agroforestri mulai dikembangkan pada tahun 1970an. Pada periode tahun 1970 – 1980 konsep agroforestri adalah praktik penggunaan lahan oleh petani dengan mengkombinasi pohon (tanaman tahunan) dengan tanaman semusim dengan atau tanpa ternak di lahan pertanian. Beragam pengelolaan agroforestri yang dilakukan oleh petani, salah satu contohnya adalah kebun kopi. Berbagai jenis tanaman memungkinkan tumbuh dalam kebun kopi antara lain pohon dadap sebagai penaung, pohon buah-buahan seperti nangka dan pisang, pohon medang sebagai sumber kayu, glirisidia sebagai penghasil pakan ternak dan tanaman semusim seperti cabe, jahe, tomat yang bisa dimanfaatkan sebagai sayuran dan obat-obatan. Konsep AF1 menyoroti kinerja dari sistem agroforestri secara ekologi dan ekonomi yang berupaya menjawab tantangan 'Adakah sistem agroforestri yang produktif, menguntungkan dan efisien meskipun ada kompetisi secara ekologis antara pohon dan tanaman semusim dan ada peningkatan penggunaan tenaga kerja, modal, air dan sumber daya lainnya?

Dengan berjalannya waktu, disadari bahwa hanya menyoroti permasalahan agroforestri, khususnya interaksi antara tanaman semusim, pepohonan dan tanah di tingkat tapak dan usaha tani tidaklah cukup. Kegiatan agroforestri sebagai bentuk pengelolaan lahan yang lestari mendapat banyak tantangan seiring dengan kemajuan ekonomi dan beralihnya petani ke sistem monokultur yang lebih menguntungkan secara ekonomi. Pada periode tahun 1990an – 2000an pemahaman tentang manfaat agroforestri multistrata dalam menggantikan fungsi hutan, khususnya dalam melindungi tanah dan air. Adanya tarik ulur kepentingan (trade off) antara ekologi dan ekonomi. Konsep AF2 yang mencoba memahami keterkaitan agroforestri dengan fungsi lingkungan di tingkat lansekap muncul untuk menjawab pertanyaan “Sejauh mana agroforestri dapat menggantikan fungsi hutan?” Sasaran kegiatan dalam konsep AF2 adalah (i) mempertahankan tegakan pohon yang ada, baik yang tumbuh sendiri secara alami maupun yang ditanam oleh masyarakat dalam suatu bentang lahan, dan (ii) mencari bentuk agroforestri yang memungkinkan dikembangkan oleh petani pada lahan pertanian sehingga fungsi lingkungan

5

Gambar 1. Skema perubahan konsep agroforestri (AF1…AF3), dimulai dari sebelum lahirnya agroforestri (AF0) yang memandang bahwa pertanian (A) dan kehutanan (F) adalah dua hal yang sepenuhnya terpisah, hingga kondisi sekarang (AF3) yang melihat pertanian, kehutanan dan agroforestry dalam satu kesatuan bentang lahan.

terjaga dan kebutuhan ekonomi petani tercukupi. Kondisi dan lingkungan menyerupai hutan di daerah tropis menjadi bentuk yang ideal.

Agroforestri sebagai bagian dari kebijakan pengelolaan sumber daya alam Perkembangan konsep AF2 juga dipicu oleh pemanfaatan agroforestri untuk menyelesaikan konflik antara pengelola hutan dan petani. Di Indonesia, dan mungkin juga di negara berkembang lainnya, adanya pertanian di lahan peruntukan hutan dan adanya pohon di lahan pertanian menyulut pertentangan karena adanya kebijakan yang berbeda. Namun agroforestri kurang mendapat pengakuan secara legal. Kebijakan yang ada di tingkat lokal, nasional, dan internasional masih terkesan 'kaku'-terbelenggu oleh kelembagaan, antara lain pemisahan sektor pertanian dan kehutanan. Untuk itu, perlu dilakukan perumusan kebijakan yang memayungi 'semua penggunaan lahan' yang ada, yaitu A (pertanian), AF (agroforestri) dan F (kehutanan), dalam konsep AF3. Pada tahun 2010an konsep agroforestri berkembang sesuai dengan kebijakan untuk bersinergi dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

Apa konsekuensi dari penerapan ketiga konsep agroforestri? Definisi agroforestri yang digunakan akan membedakan jawaban bagi pertanyaan berikut: "Ada berapa banyak bentuk sistem agroforestri di dunia dan berapa luasnya?" dan "Apakah jumlah dan luasannya meningkat atau menurun?"

6

Gambar 2. Sejarah pergembangan tiga konsep agroforestri dari era 1970 an hingga sekarang dengan fokus yang berbeda antar fase

Definisi Agroforestri dalam konsep AF1: "Agroforestri adalah sistem penggunaan

lahan dan teknologi yang menggabungkan tanaman tahunan (pohon, belukar, palma, bambu, dll.) dengan tanaman semusim dengan atau tanpa ternak pada unit pengelolaan lahan (plot) yang sama pada waktu yang sama maupun secara sekuen. Dalam sistem agroforestri selalu ada interaksi antar komponennya, di tingkat ekologi dan ekonomi.”

Definisi Agroforestri dalam konsep AF2: "Agroforestri adalah sistem pengelolaan

sumber daya alam yang dinamis yang mengintegrasikan pepohonan dengan tanaman semusim di lahan pertanian yang merupakan bagian dari bentang alam, dan beragam produk yang dihasilkannya memberikan manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan bagi pengelola lahan secara berkelanjutan,”

Definisi Agroforestri dalam konsep AF3: "Agroforestri adalah sistem pengelolaan

lahan yang bisa menjembatani antara sistem pertanian dan kehutanan, yang menggabungkan aspek keduanya, termasuk penanaman pohon terencana dalam lahan pertanian.”

Ketiga definisi agroforestri yang berkembang saat ini, dapat digunakan sesuai dengan tujuan. Apabila tujuannya untuk menyoroti permasalahan kebijakan pada perundingan di tingkat internasional, penggunaan definisi AF3 lebih relevan untuk digunakan. Untuk memperkenalkan agroforestri di mata awam, definisi AF2 lebih sesuai karena dapat menjawab permasalahan lingkungan yang dijumpai sehari-hari dan 'membuka mata dan pikiran' masyarakat. Sementara untuk tujuan penelitian yang bertujuan mencari bentuk pengelolan sistem agroforestri yang optimal, definisi AF1 lebih tepat untuk digunakan. Masing-masing konsep agroforestri memiliki paradigma yang berbeda yang merefleksikan cara pandang kita dalam mengaitkan kebijakan yang ada dengan realita yang dihadapi petani di lapangan. Namun demikian, ketiga tingkatan paradigma tersebut harus seiring. Di

bidang penelitian dan pendidikan, ketiga paradigma dan definisi agroforestri ini harus mendapat perhatian yang seimbang. Daftar Pustaka: Singh VP, Sinha RB, Nayak D, Neufeldt H, van Noordwijk M, Rizvi J. 2016. The national agroforestry policy of India: experiential learning in development and delivery phases. World Agroforestry Centre (ICRAF). Working paper 240 New Delhi (India) DOI: http:// dx.doi.org/10.5716/WP16143.PDF van Noordwijk M, Coe R, Sinclair F. 2016. Central hypotheses for the third agroforestry paradigm within a common definition. Working paper 233, Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. DOI: http://dx.doi. org/10.5716/WP16079.PDF van Noordwijk M. 2017. Bunga rampai dari kebun lindung: Anthology of blogs and grams in the 25th year of ICRAF Southeast Asia. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. http://www.worldagroforestry.org/region/sea/ publications/detail?pubID=4147

Agroforestri sistem yang sehat oleh: Kurniatun Hairiah dan Eka Purnamasari (Universitas Brawijaya, Fakultas Pertanian, Malang)

“Lahan ini dulu sawah. Karena saya semakin tua, maka saya ganti jadi sistem campuran (agroforestri). Sistem ini bersifat ‘lumintu’, artinya hasilnya terus-menerus ada, seperti air mengalir”, demikian penjelasan Pak Wasito, petani agroforestri kopi dari Desa Sumber Agung, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang kepada peserta pelatihan agroforestri dari Timor Leste pada Bulan Maret lalu. Lebih jauh Pak Wasito menambahkan: “Cara tanam sawah umumnya kaku, bila waktu memupuk, mengairi atau memanen tiba maka harus dilakukan sesuai dengan jadwal. Semakin tua saya memiliki keterbatasan waktu dan tenaga, sehingga saya memutuskan untuk mengganti tanaman di lahan ini. Selain hasilnya ‘lumintu’ karena kesehatan tanahnya terjaga, kebun campur ‘agroforestri’ sepert ini tidak menyita banyak waktu. Kegiatan di kebun masih bisa ditunda ketika belum sempat mengerjakan. Tingkat resiko gagal panennya juga kecil kecil. Sebagai contoh, tahun ini pohon durian gagal berbuah karena terlalu banyak hujan, tetapi saya masih dapat hasil lumayan dari pohon kopi dan alpukat. Bahkan, kebutuhan sehari-hari bisa dipenuhi dari lahan ini tanpa harus menguras banyak tenaga. Jadi sistem agroforestri ini adalah sistem pensiun bagi saya”.

Mana yang lebih dulu, tanah sehat atau lahan agroforestri sehat? Pengelolaan lahan pertanian dengan beraneka macam tanaman yang membentuk tajuk bertingkat berpengaruh terhadap struktur dan fungsi ekosistem tanah dalam hal penyediaan air, unsur hara, total bahan organik, habitat biota dan pertumbuhan tanaman (Gambar 1). Ekosistem yang berfungsi baik akan memberikan layanan (manfaat) bagi kesejahteraan pengelola lahan khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dengan terciptanya kondisi lingkungan yang sehat. Hal ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Oleh karena itu, pemahaman mengenai hubungan antara pengelolaan lahanstruktur dan fungsi ekosistem beserta menfaatnya bagi masyarakat sangat dibutuhkan. Berbicara mengenai kesehatan tanah dan kesehatan lahan serta bentang lahan agroforestri, sama halnya dengan berdebat-- Mana yang lebih dulu, ayam atau telur? Tanah yang sehat selain ditentukan oleh sifat geomorfologinya, juga sangat ditentukan oleh pengelolaan lahan oleh pemiliknya baik dilakukan

secara terencana maupun tidak (misalnya terkena letusan gunung berapi, longsor, dsb). Pembentukan tanah dipengaruhi oleh iklim, organisma tanah, bahan induk, topografi (termasuk lingkungan dan vegetasi) dan waktu. Adanya intervensi manusia dalam mengelola sumber daya alam akan berpengaruh pula terhadap pembentukan dan

perkembangan tanah yang telah ada sebelumnya. Sistem agroforestri umumnya memiliki tutupan tajuk bertingkat, sehingga dapat mengurangi jumlah sinar matahari yang masuk ke tanah dan menyebabkan suhu udara dan suhu tanah lebih sejuk. Berbagai jenis seresah gugur (daun, cabang, ranting, bunga dan buah)

Gambar 1. Hubungan pengelolaan lahan agroforestri dengan fungsi ekosistem tanah dan layanan ekosistem yang dibutuhkan oleh masyarakat luas (Van Noordwijk et al., 2015)

7

Gambar 2. Produksi kascing (kotoran cacing) di permukaan tanah adalah indikator kesehatan tanah yang mudah diamati di lapangan. Semakin aktif cacing penggali tanah biasanya diikuti oleh peningkatan produksi kascing yang menunjukkan kondisi lebih subur daripada kondisi tanah di sekelilingnya

siklus air, hara dan emisi karbon dalam tanah (Gambar 3).

Agroforestri adalah ‘rumah sehat’ bagi organisma tanah

Gambar 3. Pori makro dalam tanah berfungsi sebagai jalan masuk air ke dalam tanah yang ditunjukkan oleh warna biru dari rembesan larutan methylene biru (A), akar pohon meningkatkan stabilitas tebing dan bila akar mati akan menambah bahan organik ke dalam tanah

menutup permukaan tanah menyebabkan kondisi tanah tetap lembab, gembur sehingga berbagai macam organisma tanah hidup dan akar tanaman dapat berkembang dengan baik; hal tersebut merupakan penciri dari tanah sehat. Menurut FAO (2015), tanah sehat adalah tanah yang mempunyai kapasitas untuk mempertahankan keanekaragaman organisma tanah, menjaga kondisi fisik dan kimia tanah untuk mendukung produksi tanaman, serta mengurangi emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Secara umum, indikator tanah sehat adalah: lembab dan gembur, umumnya berwarna gelap karena mengandung bahan organik (karbon) tinggi antara 2-4%, banyak hidup cacing tanah dan organisma lainnya, akar dapat berkembang dengan baik dan tanah tidak mengandung unsur beracun yang membahayakan kesehatan (Gambar 2). Tanah sehat memberikan layanan (manfaat) lingkungan bagi masyarakat, khususnya pengelola lahan antara lain dalam hal: (a) penyediaan bahan organik tanah sebagai sumber energi penting bagi aneka organisma tanah, (b) menurunkan tingkat gangguan hama dan penyakit tanaman, (c) mendukung siklus karbon dalam tanah, (d) mempertahankan struktur tanah yang stabil, (e) meregulasi

8

Tingkat kesehatan tanah beragam antar lahan, tergantung pada jenis tanaman yang ditanam karena akan menentukan jumlah dan kualitas seresah yang gugur dan akar tanaman yang mati. Jumlah seresah gugur di lahan agroforestri berkisar antara 5 sampai 10 ton/ha/tahun. Nilai tersebut hampir sama dengan hutan alami yang menghasilkan antara 11 sampai 12 ton/ha/tahun, tetapi jauh belih banyak bila dibandingkan dengan lahan singkong monokultur yang menghasilkan seresah rata-rata 0.5 ton/ha/tahun. Jumlah seresah akan berkurang bila ada penggunaan lain misalnya untuk pakan ternak, atau pembakaran seresah di lahan. Sementara, untuk mempertahankan kadar bahan organik tanah (karbon) sekitar 2-4% memerlukan masukan seresah antara 8-10 ton/ha/tahun.Tingkat ketebalan tutupan tanah oleh lapisan seresah juga bervariasi antar lahan, tergantung pada kecepatan penguraian (dekomposisi) seresah yang dihasilkan. Produksi seresah yang ada di permukaan tanah di lahan agroforestri rata-rata antara 2-3 ton/ha. Seresah yang cepat terurai (kaya unsur nitrogen) bermanfaat untuk

penyediaan hara, tetapi menyebabkan permukaan tanah cepat terbuka sehingga cepat kering. Menjaga keanekaragaman kualitas seresah dengan menanam jenis tanaman yang menghasilkan seresah cepat dan lambat terurai pada lahan yang samapenting untuk memberikan tutupan tanah dan menjaga kesehatan tanah di daerah tropis. Lahan agroforestri adalah habitat ideal bagi organisma tanah yangditunjukkan olehtingginya populasi organisma tanah bila dibandingkan lahan tanaman semusim monokultur (Gambar 4). Semakin tinggi keanekaragaman tanaman dalam suatu lahan, umumnya keanekaragaman biota tanah dan fungsi ekologinya juga semakin tinggi, sehingga populasi organisma yang menguntungkan dan merugikan berada pada kondisi seimbang. Keseimbangan fungsi ekologi ini merupakan modal dasar dari sistem pertanian berkelanjutan. Namun demikian, implementasinya di lapangan membutuhkan pendekatan yang holistik dengan mempertimbangkan berbagai aspek, tidak hanya aspek biofisik, tetapi juga aspek sosial ekonomi termasuk dukungan kebijakan pemerintah, adanya pasar yang sehat dan keindahan bentang lahan sebagai nilai budaya. (KHR/ Juli/2017).

Gambar 4. Perbandingan jumlah biota tanah di agroforestri dan di lahan tanaman semusim monokultur: (A) Makrofauna tanah dan (B) Meso dan mikrofauna tanah (Sumber: Barrios et al, 2012)

Nurseries of Excellence: mengintegrasikan peningkatan kapasitas petani dalam budidaya dan wirausaha Oleh Aulia Perdana dan Endri Martini

Kegiatan penyuluhan pemeliharaan tanaman coklat oleh penyuluh swadaya di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Foto: World Agroforestry Centre/Tim AgFor Sulawesi - Kendari

A

groforestri merupakan praktik pengelolaan lahan yang sudah lama diterapkan oleh masyarakat di Indonesia. Sistem pengelolaan lahan yang merupakan perpaduan antara ilmu kehutanan dan pertanian ini dikembangkan untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan. Meskipun berbagai jenis pohon telah lama diintegrasikan dalam sistem agroforestri oleh petani, tetapi belum mampu memberikan peningkatan penghasilan bagi petani secara optimal. Hal tersebut terjadi karena keterbatasan pengetahuan petani mengenai hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan agroforestri mulai dari pembibitan hingga pemasaran produk yang dihasilkan. Peningkatan kapasitas petani dalam pengelolaan agroforestri yang mengintegrasikan aspek budidaya dengan kewirausahaan diharapkan dapat memperbaiki kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan. Secara umum, dalam meningkatkan produktivitas kebunnya, petani agroforestri di Indonesia memiliki keterbatasan akses terhadap tiga hal utama yaitu: bibit pohon yang berkualitas, bantuan teknis, dan pasar. World Agroforestry Centre (ICRAF)

sebagai lembaga yang bergerak di bidang penelitian agroforestri mempromosikan pendekatan nurseries of excellence atau pembibitan berkualitas unggul untuk membuka akses petani terhadap bibit pohon yang berkualitas. Pendekatan ini telah diujicobakan di beberapa lokasi di Indonesia, antara lain di Aceh dan Sulawesi. Melalui pendekatan nurseries of excellence, kapasitas petani dapat ditingkatkan melalui pelatihanpelatihan dan fasilitasi rutin tentang cara-cara untuk menghasilkan bibit yang berkualitas, seperti penyemaian dan perbanyakan bibit tanaman secara vegetatif. Selain itu, pelatihan penilaian pasar dan kewirausahaan juga diberikan bagi petani pembuat bibit untuk tujuan komersial. Petani-petani yang sudah mampu menghasilkan bibit berkualitas dilatih untuk meningkatkan kapasitasnya sebagai penyuluh dengan harapan dapat menularkan keahlian yang dimilikinya ke petani lain, sehingga dapat meningkatkan jumlah petani yang dapat mengakses bibit berkualitas. Integrasi pengetahuan di bidang budidaya dengan kewirausahaan dalam nurseries of excellence telah berhasil dilakukan di Aceh. Dalam waktu 18

bulan implementasi, kapasitas petani dalam menghasilkan bibit berkualitas meningkat secara meyakinkan dan sebanyak 50 pembibitan berkualitas unggul terbentuk berdasarkan jenis bibit tanaman yang diprioritaskan oleh petani di masing-masing wilayah. Pendekatan ini diterapkan di Aceh dengan tujuan untuk meningkatkan penghidupan petani agroforestri melalui perbaikan akses terhadap bibit berkualitas dan diversifikasi pendapatan petani melalui pemasaran bibit berkualitas. Mengacu pada keberhasilan penerapan nurseries of excellence di Aceh tersebut maka pendekatan ini juga direkomendasikan dalam kegiatan rehabilitasi lahan untuk memperperbaiki kualitas penghidupan masyarakat. Selain di Aceh, pendekatan nurseries of excellence juga telah berhasil diterapkan di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo dalam program Agroforestry and Forestry (AgFor) yang bertujuan meningkatkan penghidupan petani melalui perbaikan sistem agroforestri dan kehutanan. Dalam jangka waktu lima tahun, program AgFor dengan pendekatan nurseries of excellence telah membentuk 348 pembibitan kelompok tani dan individu yang menghasilkan lebih dari 2.3 juta bibit pohon berkualitas unggul untuk ditanam dan dipasarkan. Petani umumnya memiliki dua tujuan utama dalam menghasilkan bibit berkualitas unggul, yaitu untuk ditanam dan dipasarkan. Bibit berkualitas unggul yang dihasilkan dari pendekatan nurseries of excellence saja tidak cukup mampu untuk meningkatan pendapatan petani bila usaha tersebut bertujuan

Bersambung ke halaman 15

9

Pembayaran Jasa Lingkungan: Investasi bersama untuk konservasi DAS berbasis kinerja di DAS Rejoso Oleh Beria Leimona, Betha Lusiana, Ni'matul Khasanah, Lisa Tanika, Fainta S. Negoro, Noviana Khususiyah, Sacha Amaruzaman

Pembayaran Jasa Lingkungan sebagai alat pendukung konservasi DAS Hampir dua dekade berlalu, sejak skema Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) ini pertama kali diperkenalkan dan dipelopori oleh the World Agroforestry Centre (ICRAF) di Indonesia, kini telah menjadi alat pendukung konservasi daerah aliran sungai (DAS). Skema PJL merupakan mekanisme insentif sukarela berbasis kinerja, diberikan kepada pengelola lahan pertanian dan hutan yang terlibat dalam penyediaan jasa lingkungan1 (Gambar 1). Skema ini menjadi salah satu mekanisme kebijakan pelestarian lingkungan yang bertujuan untuk menjaga pasokan dan ketersediaan jasa lingkungan secara berkelanjutan. Hingga saat ini, konservasi lingkungan dan ekosistem di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan sehingga pasokan jasa lingkungan yang semestinya disediakan terus tergerus dan laju ketersediaannya mengalami penurunan pada taraf yang mengkhawatirkan. Air contohnya. Air merupakan komoditas dan jasa lingkungan mendasar bagi kehidupan manusia. Kerusakan DAS akan mengurangi fungsi ekosistem dari DAS tersebut, termasuk pasokan serta aliran jasa lingkungan yang disediakan, dan pada akhirnya memimbulkan masalah kekurangan air, banjir, longsor dan bencana alam lainnya yang mengancam kesejahteraan manusia. Skema PJL terbukti berhasil meningkatkan partisipasi parapihak dalam menjaga kelestarian DAS. Di Indonesia, skema PJL sudah diterapkan pada lebih dari 20 lokasi dalam bentuk inisiatif skala percontohan. Salah satu inisiasi awal PJL yang dilakukan oleh ICRAF adalah kegiatan pengurangan 1

10

Jasa lingkungan, atau biasa juga disebut jasa ekosistem (ecosystem services), adalah manfaat yang diberikan ekosistem secara langsung atau tidak langsung untuk kesejahteraan manusia (human well-being).

Gambar 1: Skema sederhana konsep Pembayaran Jasa Lingkungan

sedimentasi di DAS Way Besai, Sumberjaya, Lampung2. Contoh sukses skema PJL lainnya adalah di Cidanau, Banten yang diprakarsai oleh Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) dan didukung oleh ICRAF sebagai penyedia informasi teknis ilmiah. Skema PJL di Cidanau berhasil menciptakan kerjasama berupa perjanjian konservasi lahan antara petani agroforestri dengan PT. Krakatau Tirta Industri dan perusahaan lainnya di Serang sejak awal tahun 20003. Setelah berhasil di berbagai lokasi, saat ini ICRAF sedang mengembangkan skema PJL di DAS Rejoso, Kabupaten Pasuruan, Propinsi Jawa Timur. Artikel ini memaparkan pengalaman ICRAF dalam merancang PJL yang Menyulap lumpur menjadi listrik. http://www. worldagroforestry.org/sea/Publications/files/magazine/ MA0037-10.pdf 3 Seleksi imbal jasa lingkungan DAS Cidanau: Menumbuhkan kesadaran konservasi dan meningkatkan keterlibatan petani dalam skema imbal jasa lingkungan. http://www.worldagroforestry.org/ downloads/Publications/PDFS/MA15130.pdf 2

berkelanjutan, termasuk prinsip dasar dan pembelajaran yang dilakukan di DAS Rejoso.

Pengembangan skema PJL Secara umum, pengembangan skema PJL mencakup enam tahapan seperti disajikan pada Gambar 2, yaitu: (1) identifikasi permasalahan jasa lingkungan dari semua 'stakeholder' yang terlibat, (2) pemahaman permasalahan dan solusi, (3) pengembangan strategi, (4) membuat rencana kerja dan model bisnis yang memungkinkan, (5) pelaksanaan kegiatan ko-investasi jasa lingkungan dan (6) pemantauan dan evaluasi. Tahap 1 dan 2 merupakan kegiatan penelitian untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi DAS yang diperoleh dari masyarakat petani, data sekunder dan pengukuran langsung di lapangan. Kegiatan dalam tahap 1 dan 2 meliputi:



training for trainee untuk ornop dan institusi perantara yang akan melaksanakan skema PJL (Tahap 5) dan memantau serta mengevaluasi PJL (Tahap 6).

Rancangan PJL di DAS Rejoso, Kabupaten Pasuruan DAS Rejoso memiliki fungsi yang sangat strategis dalam penyediaan air bersih bagi Kabupaten Pasuruan dan wilayah sekitarnya, seperti Kabupaten Sidoarjo dan Kota Surabaya. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan desakan kebutuhan ekonomi, para pihak menyadari bahwa kondisi lingkungan di DAS Rejoso mulai mengalami degradasi.

Gambar 2: Tahap dalam mengembangkan skema PJL



pemetaan tutupan lahan;



pengukuran laju infiltrasi, limpasan permukaan dan erosi pada setiap tipe tutupan lahan pertanian;







utama pelaksana PJL. Kegiatan dalam tahap 3 dan 4 meliputi:

Berdasarkan hasil kajian pada tahap 1 diperoleh informasi mengenai permasalahan sumber daya air di hulu dan hilir DAS Rejoso berupa: (a) perubahan penggunaan lahan mengganggu kapasitas daerah tangkapan air, (b) Potensi polusi air tanah akibat pemakaian pupuk berlebihan dan keruhnya air permukaan akibat erosi lahan pertanian, dan (c) pengelolaan dan penggunaan air di hilir tidak efisien. Selanjutnya, kajian tahap 2 menghasilkan informasi perlunya jasa lingkungan di hulu dan tengah



diskusi bersama petani untuk mengetahui komponen kontrak PJL;

diskusi kelompok terfokus untuk menggali informasi mengenai karakteristik sosial ekonomi masyarakat petani, baik laki-laki maupun perempuan di daerah hulu maupun hilir, termasuk informasi mengenai praktek pertanian, kriteria dan preferensi petani dalam menanam pohon, pengelolaan sumber daya air, dll.;



lelang konservasi untuk menentukan nilai kontrak berdasarkan 'willingness to accept' dari masyarakat dalam melaksanakan PJL;

Tujuan utama

Stabilisasi tanah dan struktur tanah untuk meningkatkan laju infiltrasi, mengurangi limpasan permukaan, sedimentasi dan longsor

Peningkatan kerapatan pohon dalam sistem agroforestri untuk meningkatkan infiltrasi dan cadangan karbon di masa yang akan datang

diskusi kelompok terfokus untuk menggali kekuatan-kelemahan yang dimiliki dan peluang-ancaman yang dihadapi oleh petani dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga lingkungan;

Penyedia jasa lingkungan

Petani kentang di bagian hulu

Petani lahan agroforestri di bagian tengah

Lokasi Desa

• Sedaeng • Wonokitri • Keduwung Atas

• Galih • Keduwung Bawah

Aktivitas

• Penanaman pohon cemara gunung di lahan kentang/hortikultur dengan jarak tanam 4x6 meter • Penanaman strip rumput

Rehabilitasi/penambahan pohon berkayu di lahan agroforestri

Indikator evaluasi skema PJL

• Laju erosi • Laju infiltrasi • Jumlah pohon cemara

• Basal area • Jumlah pohon tiap tipe spesies • Kepadatan kanopi pohon • Laju infiltrasi • Potensi stok karbon

survei rumah tangga untuk menggali informasi rinci mengenai tingkat pendapatan, aset dan arus-kas pertanian, serta tingkat pengetahuannya mengenai konservasi.

Tahap 3 dan 4 adalah mengumpulkan masukan dari para-pihak, termasuk organisasi non pemerintah (ornop) sebagai pelaksana dan perantara pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi skema PJL; pemerintah daerah sebagai pendukung skema agar berkelanjutan; pihak korporasi swasta sebagai pemanfaat utama jasa lingkungan; dan petani sebagai penyedia dan target

Bagian Hulu DAS

Foto: Beria Leimona

Hortikultur kentang dengan pohon pembatas lahan di Sadaeng

Bagian Tengah DAS

Foto: Beria Leimona

Agroforestri di lahan dengan batu-batu dipermukaan tanah di Galih

11

Berkaitan dengan dinamika konsep agroforestri, skema PJL merupakan salah satu instrumen yang menerapkan konsep 'agroforestri skala bentang lahan' (AF-2), yaitu sistem agroforestri dipandang sebagai “sistem pengelolaan sumber daya alam yang dinamis dan berbasis ekologi, melalui integrasi pohon-pohonan di lahan pertanian dan di bentang lahan, dengan aneka macam dan manfaat produk baik manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan bagi pengguna lahan di semua tingkat secara berkelanjutan”5. Dengan skema PJL yang menerapkan konsep agroforestri di tingkat bentang lahan, fungsi DAS di Indonesia dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Foto: Beria Leimona

DAS sebagai solusi dari permasalahan sumber air yaitu: (a) peningkatan laju infiltrasi lahan dan (b) pengurangan sedimentasi dan polusi air oleh bahan kimia akibat praktek pertanian. Dari identifikasi permasalahan dan solusinya tersebut, diperoleh dua rancangan skema PJL yang sedang diujicobakan untuk melindungi DAS terutama di daerah hulu dan tengah. Namun, pemanfaat jasa lingkungan dari dua rancangan skema PJL ini adalah sama, yaitu: (1) masyarakat pengguna air untuk kebutuhan domestik dan komersial, dan (2) industri pengguna air untuk kepentingan komersial yang menjadi pemanfaat utama. Forum DAS Rejoso di tingkat kabupaten merupakan alternatif perantara jasa lingkungan. Rancana skema PJL di hulu dan tengah DAS Rejoso mencakup tujuan utama, penyedia jasa lingkungan, lokasi desa, kegiatan dan indikator evaluasi skema PJL pada tabel dibawah.

Masa depan skema PJL Skema PJL berpotensi sebagai pendukung kebijakan dalam mempertahankan dan meningkatkan pasokan dan aliran jasa ekosistem. Tahapan perancangan PJL perlu dilakukan secara sistematis, dimulai dari skala bentang lahan (landscape) hingga skala plot. Interaksi dengan masyarakat petani dan kunjungan lapang yang intensif diperlukan untuk mengenal karakteristik dan preferensi masyarakat demi keberlanjutan skema.

12

Keberhasilan dan keberlanjutan skema sangat tergantung pada motivasi penghidupan masyarakat, preferensi, dan tujuan akhir bersama. Skema PJL bersifat sukarela, namun bukan berarti tidak memerlukan payung hukum. Di Indonesia, PJL dicantumkan sebagai salah satu alat pendukung kebijakan pada UU 32/2009 tentang pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup. PJL juga berbasis kinerja, berbeda dengan kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility) atau penggelontoran dana lingkungan tanpa kontrak konservasi dan indikator pemantauan yang terukur terhadap kegiatan maupun nilai jasa lingkungan. Dalam pelaksanaannya di lapang, ICRAF mengusung PJL dengan konsep ko-investasi jasa lingkungan. Skema ko-investasi jasa lingkungan mengutamakan prinsip dalam mempertahankan ketersediaan dan menghasilkan aliran jasa lingkungan bagi seluruh masyarakat; investasi bersama dalam hal finansial dan nonfinansial yang dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat dan pemerintah yang terlibat menjadi tonggak utama. Integritas dan modal sosial yang kuat menjadi landasan utama. Skema koinvestasi terbaru sudah diujicobakan di Buol, Sulawesi Tengah4.

4

Kabupaten Buol Pilot Project Pengembangan Ko-Investasi Jasa Lingkungan https:// litbangbappedapmbuol.wordpress.com/2015/05/11/ kabupaten-buol-pilot-project-pengembangan-koinvestasi-jasa-lingkungan/

Informasi lebih lanjut tentang pembayaran jasa lingkungan dapat di baca pada: Amaruzaman S, Leimona B, Rahadian NP. 2017. Role of intermediaries in the Payment for Environmental Services Scheme: Lessons learnt in the Cidanau watershed, Indonesia. Braat LC, de Groot R. 2012. The ecosystem services agenda:bridging the worlds of natural science and economics, conservation and development, and public and private policy. Ecosystem Services 1: 4-15. Leimona B, Lusiana B, van Noordwijk M, Mulyoutami E, Ekadinata A, Amaruzaman S. 2015. Boundary work: Knowledge coproduction for negotiating payment for watershed services in Indonesia. Ecosystem Services 15: 45-62. Leimona B, Pasha R, Rahadian N. 2010. The livelihood impacts of incentive payments for watershed management in Cidanau watershed, West Java, Indonesia. In: Tacconi L, Mahanty S, Suich H, eds. Payments for Environmental Services, Forest Conservation and Climate Change: Livelihoods in the REDD? Edward Elgar Publishing Limited, Cheltenham, UK, pp. 106-129. Lusiana B, Tanika L, Amaruzaman S, Leimona B. 2017. Potensi dan tantangan dalam pengembangan skema ko-investasi jasa lingkungan di Kabupaten Buol, Indonesia. Working Paper 254. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Programme. TEEB. 2010. The Economic of Ecosystems and Biodiversity (TEEB): Ecological and Economic Foundations. In: Kumar P. Ed., The Economic of Ecosystems and Biodiversity (TEEB). Earthscan, London.

5

Artikel berjudul “Definisi agroforestri dalam konteks bioekonomi, bentang lahan dan kebijakan: dinamika konsep agroforestri” oleh Meine van Noordwijk, pada terbitan Kiprah Agroforestri edisi ini.

Sumatra Selatan: Menuju Pertumbuhan Ekonomi Hijau Oleh Sonya Dewi, Andree Ekadinata, Beria Leimona, Suyanto

Ekonomi hijau adalah perekonomian berbasis lahan seperti agroforestri, pertanian, kehutanan beserta turunannya. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan telah berkomitmen untuk mengambil peranan terdepan dalam mencapai Pertumbuhan Ekonomi Hijau. Pada tahun 2013, kontribusi sektor berbasis lahan di Sumatera Selatan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah sebesar 17.28% dan telah menopang kehidupan 1.33 juta rumah tangga. Pada prinsipnya, Pertumbuhan Ekonomi Hijau memungkinkan untuk dicapai melalui peningkatan produksi sektor pertanian dan kehutanan secara berkelanjutan untuk memenuhi permintaan konsumen dengan tetap melindungi dan memulihkan hutan serta lahan gambut sebagai penyedia jasa lingkungan. Prinsip tersebut hanya dapat diwujudkan melalui penguatan kemitraan antara pemerintah, sektor swasta, pemerhati konservasi dan masyarakat umum. Dalam rangka mewujudkan komitmen untuk mencapai ekonomi hijau Sumatra Selatan, ICRAF ikut berperan dalam penyusunan dokumen Rencana Induk yang berisi pendekatan, strategi dan Peta Jalan untuk mencapai Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Provinsi Sumatera Selatan periode 2017-2030. Ruang lingkup Pertumbuhan Ekonomi Hijau Sumatera Selatan adalah sektor sumber daya terbarukan yang memfokuskan pada peningkatan kontribusi komoditas unggulan yaitu: kopi, karet, kelapa sawit, padi dan kayu pulp sebagai bahan baku kertas.Dengan mengacu pada kelima capaian yang diinginkan dari Pertumbuhan Ekonomi Hijau Sumatera Selatan tersebut, maka dihasilkan 17 indikator Pertumbuhan Ekonomi Hijau pada tingkat provinsi.

Visi dan ruang lingkup Pertumbuhan Ekonomi Hijau Sumatera Selatan Visi Pertumbuhan Ekonomi Hijau Sumatera Selatan mencakup lima capaian yang diadopsi dari capaian nasional yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.

Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan Pertumbuhan yang inklusif dan merata Ketahanan sosial, ekonomi dan lingkungan Ekosistem sehat dan produktif dalam menyediakan jasa lingkungan Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Pendekatan Penyusunan Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau merupakan titik temu antara rencana tata ruang dan tata guna lahan dengan rencana pembangunan yang berdampak lingkungan rendah, pertumbuhan ekonomi sesuai target capaian, dan keterlibatan para pihak. Pendekatan yang diambil dalam menyusun Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau Sumatera Selatan didasarkan pada tiga prinsip yaitu: (1) inklusivitas (melibatkan berbagai pihak), (2) integrasi (keterpaduan) dan sinkronisasi (keselarasan), dan (3) berlandaskan data yang sah. Prinsip inklusivitas diterapkan ketika parapihak terkait terlibat secara aktif dalam proses pembuatan dan negosiasi skenario Pertumbuhan Ekonomi Hijau sehingga aspirasi, kekhawatiran maupun hambatan dapat dikenali sejak awal. Prinsip integrasi dan sinkronisasi dilakukan dengan memadukan dan menyelaraskan antar program maupun kegiatan secara keruangan, waktu, penganggaran dan kelembagaan. Data, informasi dan pemodelan yang sah mutlak diperlukan agar proyeksi dampak yang dihasilkan dari sebuah skenario pembangunan dapat dipakai sebagai dasar dalam pengambilan keputusan.

Perangkat LUMENS (Land Use Planning for Environmental Services) yang dibangun oleh ICRAF adalah pemodelan yang digunakan untuk memproyeksi dampak tersebut.

Strategi dan Peta Jalan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Sumatera Selatan Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau Sumatera Selatan terdiri dari tujuh strategi, yaitu: Strategi 1: Alokasi dan tataguna lahan berkelanjutan yang merupakan penyelarasan antara kebutuhan lahan dengan ketersediaan lahan; Strategi 2: Peningkatan akses masyarakat terhadap modal yang berhubungan dengan penghidupan; Strategi 3: Peningkatan produktivitas dan diversifikasi; Strategi 4: Perbaikan rantai nilai dengan pembagian manfaat yang adil; Strategi 5: Peningkatan konektivitas dan skala ekonomi; Strategi 6: Restorasi lahan dan hutan terdegradasi; dan Strategi 7: Insentif jasa lingkungan dan pendanaan inovatif komoditas berkelanjutan.

13

Strategi 1 menguraikan dan mempertajam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sumatera Selatan agar mampu memberikan indikasi lokasi untuk pelaksanaan keenam strategi lainnya. Strategi ini berusaha menyeimbangkan antara pemenuhan kebutuhan akan lahan dengan perbaikan kualitas lingkungan. Ekspansi lahan dialokasikan pada area yang sesuai dan berdampak lingkungan kecil dengan memperhatikan area yang harus dilindungi untuk menghindari kerusakan lingkungan dan peningkatan emisi GRK. Strategi 2 dan 3 menargetkan petani sebagai kelompok utama penerima manfaat. Tujuan kedua strategi ini adalah meningkatkan pendapatan dan penghidupan melalui perbaikan prasarana, sarana dan modal penghidupan. Kedua strategi ini berkontribusi terhadap capaian Pertumbuhan Ekonomi Hijau dalam meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan ketahanan (resilience) petani terhadap fluktuasi harga dan musim, tetapi mampu menurunkan emisi GRK. Strategi 4 dan 5 pada dasarnya mendorong adanya rantai pasar maupun rantai nilai yang lebih efektif dan adil dalam pembagian manfaat antara petani, pedagang dan industri hilir. Keberadaan industri hilir ini berdampak pada ketahanan terhadap fluktuasi harga bahan mentah meningkat. Kedua strategi tersebut juga memfokuskan pada penambahan nilai bagi penghasil bahan baku sehingga manfaatnya dapat dinikmati di tingkat lokal; dan memacu pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan PDRB serta pemerataan. Strategi 6 berupaya untuk memulihkan fungsi ekologis dan ekonomis suatu ekosistem tertentu yang telah dialokasikan pada suatu area. Strategi ini tidak terbatas pada pengembalian struktur dan fungsi ekologis hutan dari suatu area yang terdegradasi, tetapi juga mencakup revitalisasi penghidupan. Strategi 7 merupakan strategi inovatif, karena mekanisme insentif jasa lingkungan belum banyak dipraktikkan. Strategi ini bertujuan untuk menurunkan emisi GRK sekaligus menjaga kualitas jasa lingkungan. Peta Jalan untuk mencapai Pertumbuhan Ekonomi Hijau Sumatera Selatan memetakan ketujuh strategi di atas

14

menjadi 52 butir intervensi. Intervensi tersebut kemudian dipetakan secara spasial, disertai dengan kebijakan dan kondisi pendukung lainnya. Selanjutnya, intervensi dirinci menjadi rencana kerja pada rentang waktu antara tahun 2017-2030 sesuai dengan periode rencana pembangunan hijau Sumatera Selatan. Selain itu, Peta Jalan ini juga memberikan gambaran tentang indikator, para pihak yang terlibat dalam setiap kegiatan dan estimasi biayanya.

Proyeksi Dampak Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau Sumatera Selatan Dampak Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau Sumatera Selatan memang belum dapat diketahui, tetapi memungkinkan untuk diproyeksikan. Dua skenario, yaitu: (1) berdasarkan skenario business as usual (BAU) dan (2) Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau dikembangkan di Sumatera Selatan untuk memproyeksikan dampaknya. Indikator yang digunakan dalam memproyeksikan dampak Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau ini adalah emisi dan PDRB. Berdasarkan skenario BAU, hutan produksi masih menjadi sumber emisi terbesar hingga tahun 2030. Namun, berdasarkan skenario Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau, Sumatera Selatan diproyeksikan mampu menurunkan emisi GRK sebesar 22%, tanpa memperhitungkan emisi dari kebakaran. Hingga tahun 2030, emisi bersih di hutan produksi diproyeksikan negatif atau terjadi sequestrasi karbon lebih besar dari emisinya. Melalui Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau ini, keanekaragaman hayati di tingkat bentang lahan dapat terjaga dengan mempertahankan konektivitas antara hutan lahan kering dan mangrove dengan bentang lahan di sekitarnya. Dalam hal PDRB, strategi alokasi ekspansi area komoditi dengan mempertimbangkan ketersediaan dan status lahan, termasuk HCV (High Conservation Value) dan HCS (High Conservation Status), perijinan, regulasi, kesesuaian lahan dan lainnya seperti dalam skenario Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau proyeksi PDRB lebih rendah dari BAU selama dua periode, tetapi pada tahun 2030 proyeksi PDRB setara dengan BAU.

Apabila strategi ekspansi disandingkan dengan strategi peningkatan produktivitas dan manfaat per unit area, misalnya dengan intensifikasi, praktik pertanian yang baik dan agroforestri, maka akan dicapai peningkatan PDRB sebesar 3% dari BAU pada akhir periode 2030. Jika rantai nilai diperbaiki melalui akses pasar, peningkatan skala ekonomi dan pembangunan fasilitas pengolahan (industri hilir), PDRB diproyeksikan meningkat 6.4% dari BAU, karena adanya efek pengganda (multiplier effect). Peningkatan tersebut berdasarkan pada skenario dengan intervensi industri hilir untuk tiga komoditi utama Sumatera Selatan yaitu: kopi, karet dan kelapa sawit.

Langkah ke depan Secara global, sosialisasi dan komunikasi mengenai Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau sangat penting untuk mewujudkan visi bersama para pihak, mendapatkan dukungan dari luar maupun dari dalam serta menggalang kemitraan dengan berbagai pihak. Oleh karena itu, Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau ini merupakan prioritas jangka panjang yang selayaknya dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) dan diarusutamakan ke dalam RPJM maupun RTRW. Dokumen Rencana Induk ini dapat menjadi bagian integral dalam penyusunan RPJM berikutnya. Di Sumatera Selatan, Peraturan Gubernur No. 16 tahun 2017 tentang kelembagaan Rencana Pertumbuhan Ekonomi Hijau dan kelembagaan kemitraan pengelolaan bentang lahan menjadi landasan pelaksanaan Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau. Dokumen Rencana Induk dan Peta Jalan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Provinsi Sumatera Selatan telah ditandatangani dan diluncurkan oleh Gubernur Sumatera Selatan pada Bulan Mei 2017 di Palembang dalam forum Bonn Challenge Wilayah Asia. Pada forum tersebut, pemerintah Sumatera Selatan telah berhasil mengajak seluruh provinsi lain di Pulau Sumatera untuk menyusun strategi Pertumbuhan Ekonomi Hijau.

untuk pemasaran, tetapi petani harus dibekali dengan peningkatan kapasitas kewirausahaan. Berdasarkan observasi, petani di Indonesia secara umum memiliki pemahaman terbatas dalam hal kewirausahaan. Petani identik dengan orang yang mengusahakan kegiatan pertanian dan lebih menekankan kegiatan produksi, tetapi hanya sedikit mempertimbangkan aspek kewirausahaan, sehingga seringkali mendapatkan keuntungan yang rendah dari kegiatan pertanian yang dilakukannya. Melalui pendekatan nurseries of excellence, kapasitas kewirausahaan petani ditingkatkan melalui pelatihan pemasaran dasar yang dapat membuka wawasan tentang pemasaran produk lebih dari sekedar penjualan, dan pelatihan kewirausahaan yang menuntut perubahan orientasi petani untuk menanam dan menghasilkan produk yang laku di pasar. Menumbuhkan

jiwa kewirausahaan petani diharapkan dapat mengubah orientasi usaha tani dari sekedar produksi menjadi sebuah bisnis. Integrasi peningkatan kapasitas petani dalam aspek budidaya dan kewirausahaan seperti yang diusung di pendekatan nurseries of excellence tidak hanya dapat diterapkan untuk menghasilkan bibit berkualitas unggul, tapi juga untuk menghasilkan produk agroforestri yang berkualitas unggul dan berorientasi pasar. Dengan menghasilkan produk yang berkualitas unggul dan sesuai dengan spesifikasi pasar, diharapkan petani akan mendapatkan nilai tambah yang dapat meningkatkan penghasilan keluarga. Pendekatan ini dapat diterapkan dan dimodifikasi baik oleh lembaga pemerintah maupun praktisi-praktisi agroforestri lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan penghidupan petani agroforestri melalui perbaikan hasil yang berorientasi pasar.

Pengepakan pupuk organik Bokashi hasil pendampingan petani AgFor Sulawesi dan BP4K Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Foto: World Agroforestry Centre/Tim AgFor Sulawesi - Kendari

pojok publikasi Exploring the potential of bioenergy in Indonesia for multiple benefits Atiek Widayati, Ingrid Öborn, Semida Silveira, Himlal Baral, Verina Wargadalam, Fumi Harahap and Gustan Pari Indonesia sudah berkomitmen untuk menyediakan energi untuk masyarakat melalui Kebijakan Energi Nasional. Kebijakan ini menyoroti pentingnya diversifikasi, lingkungan yang berkelanjutan, dan peningkatan penyebaran dari sumber daya energi rumah tangga. Diversifikasi pasokan energi harus meliputi minyak, batu bara, gas, dan energi baru dan terbarukan (NRE). Kontribusi dari NRE kepada pasokan energy kepada negara ini diharuskan mencapai 23% pada tahun 2025. Indonesia juga berkomitmen dengan dunia internasional agar selaras dan berkelanjutan dalam penyediaan energi, seperti yang sudah disebutkan oleh Presiden Indonesia pada COP 21 UNFCCC pada tahun 2015, bersamaan dengan komitmen yang lebih lanjut dalam mengurangi emisi rumah kaca. Bioenergi adalah alternatif yang paling bagus untuk energi terbarukan. Hal ini dipertegas dengan produksi energi dari biomasa dan residu tanaman serta kotoran (Souza et al 2015). Bioenergi modern antara lain bahan bakar gas cair – seperti bioethanol dan biodiesel-beserta bahan bakar padat, biogas dan bioelectricity (http://www.ebtke.esdm.go.id/). Sumber bioenergi meliputi hutan, tanaman, peternakan, sampah industri dan perkotaan. Penggunaan sumber daya biomasa membutuhkan integrasi dengan kegiatan-kegiatan di daerah pedesaan dan perkotaan.

Kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman masyarakat di DAS Rejoso: Profil site penelitian proyek Rejoso Kita di DAS Rejoso, Pasuruan Sacha Amaruzaman, Ni'matul Khasanah, Lisa Tanika, Betha Lusiana, Beria Leimona dan Noviana Khususiyah Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman (KKPA) adalah suatu kerangka analisis terhadap lima modal dasar yaitu: modal finansial, sumber daya alam, sumber daya manusia, sosial dan infrastruktur. Analisis KKPA dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Rejoso, Pasuruan mulai dari klaster desa di daerah hulu (Desa Puspa dan Tosari), tengah (Lumbang, Pasrepan 1 dan Pasrepan 2), dan hilir (Gondang Wetan, Grati dan Winongan). Hasil analisis dari KKPA ini digunakan sebagai rekomendasi dalam pelestarian DAS dan lingkungan serta membangun model penghidupan masyarakat.

Melangkah Maju Menuju Pembangunan Sumatera Selatan yang Lestari. Masterplan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Berbasis Sumber Daya Alam Terbarukan 2017-2030 The Government of South Sumatra Province

MELANGKAH MAJU MENUJU PEMBANGUNAN SUMATERA SELATAN YANG LESTARI Masterplan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Berbasis Sumber Daya Alam Terbaharukan 2017-2030

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan telah berkomitmen untuk mengambil peranan terdepan dalam mencapai Pertumbuhan Ekonomi Hijau yang bertumpu pada sektor berbasis lahan seperti pertanian, agroforestri, kehutanan beserta seluruh turunannya. Pada tahun 2014, kontribusi sektor berbasis lahan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 17,28% dan telah menopang kehidupan 1,33 juta rumah tangga. Prinsip tercapainya Pertumbuhan Ekonomi Hijau adalah peningkatan produksi sektor pertanian dan kehutanan yang berkelanjutan untuk memenuhi permintaan konsumen dengan tetap melindungi dan memulihkan hutan serta lahan gambut sebagai penyedia jasa lingkungan. Prinsip ini hanya bisa diwujudkan melalui penguatan kemitraan antara pemerintah, sektor swasta, pemerhati konservasi dan masyarakat sipil. Dokumen ini memaparkan Rencana Induk yang mencakup pendekatan, strategi dan Peta Jalan untuk mencapai Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Provinsi Sumatera Selatan untuk periode 2017- 2030.

15

a g e n d a » Konferensi Tenurial 2017 25-27 Oktober 2017 Jakarta, Indonesia Konferensi Tenurial 2017 diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (KLHK), Kantor Staf Presiden RI (KSP) dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Tenurial (Pemrakarsa) sebagai bagian mewujudkan cita-cita menuju Pembangunan yang Berkeadilan. Dalam Konferensi Tenurial 2017 akan diadakan 11 tema diskusi panel. Subtansi tiap-tiap panel disiapkan para pelapor bersama penyelenggara. Konferensi akan dihadiri sekitar 350 peserta dari dalam dan luar negeri, sedikitnya 50 narasumber akan berbicara pada 11 pertemuan panel dan 2 pertemuan pleno. Peserta dari Indonesia mencakup pejabat pemerintah, pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, pimpinan komunitas lokal, institusi pembangunan kebijakan di negara-negara Asia, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dunia usaha, dan institusi pembangunan lainnya.

Informasi lebih lanjut: Sisilia Nurmala Dewi Hp 0821-1005-6308 Asep Yunan Firdaus 0815-8791-019 Email: [email protected] Website: https://www.tenureconference.id/

» The 27th session of the Asia-Pacific Forestry Commission (APFC) 23-27 Oktober 2017 Colombo, Sri Lanka 27th session of the Asia-Pacific Forestry Commission (APFC) akan diadakan di Sri Lanka di Colombo, Sri Lanka dari tanggal 23 – 27 Oktober 2017, oleh Departemen Kehutanan Sri Lanka. APFC adalah satu dari enam komisi regional kehutanan yang didirikan oleh FAO untuk menyediakan forum kebijakan dan teknik yang dapat digunakan oleh ilmuwan dari berbagai negara untuk berdiskusi dan menyelesaikan isu-isu kehutanan pada skala regional. FAO mendorong partisipasi yang luas dari pejabat pemerintah baik dari sektor kehutanan maupun sektor lainnya begitu juga perwakilan dari organisasi internasional, regional, dan sub-regional yang bekerja pada isu-isu yang berhubungan dengan kehutanan pada skala regional, termasuk organisasi nonpemerintah, akademisi, dan perusahaan swasta.

Informasi lebih lanjut: Email: [email protected] Website: http://www.fao.org/asiapacific/events/detail-events/en/c/1448/

» COP 23 6-17 November 2017 Bonn, Germany Pada konferensi UN Climate Change tahun ini (COP 23, dari tanggal 6 – 17 November), seluruh perwakilan negara dari seluruh dunia akan bertemu untuk membahas tujuan dan ambisi dari Paris Agreement dan mencapai kemajuan dalam pedoman pelaksanaannya. Konferensi ini, yang lebih dikenal dengan sebutan COP 23 /CMP 13/CMA 1-2, yang akan diadakan di Bonn, Jerman, oleh secretariat UN Fraework Climate Change (UNFCCC), dan dipimpin oleh Fiji. Sekretariat UNFCCC dan pemerintah Fiji bekerja sama dengan pemerintah Jerman, Negara Bagian North RhineWestphalia dan pemerintah kota Bonn untuk memastikan konferensi berjalan dengan dinamis dan sukses. Pada tanggal 27 Juli 2017, sekertaris eksekutif UNFCCC Patricia Espinosa memberikan penjelasan kepada para keduataan besar di Belin tentang pentingnya kerjasama dalam persiapan konferensi COP 23. “Kerjasama yang membuat COP 23 akan berhasil. Hal ini juga meningkatkan kesadaran akan kerentanan pulau-pulau dan semua bangsa. Dan hal ini akan membuka pintu lebih lebar untuk kolaborasi dan dukungan – untuk membentuk komunitas yang tangguh dan transisi menuju pertumbuhan yang didukung oleh energi bersih”, begitulah himbauan dari Patricia dalam acara tersebut.

Informasi lebih lanjut: The secretariat of the United Nations Framework Convention on Climate Change is located in Bonn, Germany. Email: [email protected] Website: http://newsroom.unfccc.int/cop23bonninformationhub/cop23information-hub-overview/

16

pojok publikasi Analisis Tapak Mata Air Umbulan, Pasuruan, Jawa Timur. Kajian elemen biofisik dan persepsi masyarakat TVera D Damayanti, Balqis Nailufar, Priambudi Trie Putra, Ray March Syahadat, Rizki Alfian dan Beria Leimona

Mata Air Umbulan (MAU) di Kabupaten Pasuruan merupakan salah satu potensi sumber air bersih yang penting di Jawa Timur. Namun eksploitasi MAU telah menimbulkan dampak yang mengancam kelestariannya. Studi ini secara garis besar bertujuan untuk menganalisis kondisi tapak dengan mengkaji interaksi antara elemen biofisik dan pengguna MAU serta pengaruhnya terhadap perubahan tapak. Hasil yang diperoleh kemudian menjadi pertimbangan dalam penyusunan rekomendasi pengembangan MAU agar nantinya berkelanjutan baik secara ekologis maupun budaya. Analisis elemen biofisik menggunakan metode spasial terhadap aspek kerentanan tata ruang hidrologis, penutupan lahan, serta intensitas aktivitias masyarakat di tapak. Sementara itu pengguna tapak, dalam hal ini penduduk dan pengunjung, dianalisis untuk mengetahui makna tapak bagi pengguna, pengaruh pengguna terhadap tapak, serta harapan mereka. Untuk itu dilakukan penggalian persepsi terhadap responden yang kemudian dianalisis disecara kualitatif dengan pendekatan Cultural Value Model.

Dampak Perubahan Tutupan Lahan terhadap Kondisi Hidrologi di DAS Buol, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah: Simulasi dengan Model Genriver Lisa Tanika dan Betha Lusiana Konversi hutan menjadi lahan pertanian sangat berpengaruh terhadap fkondisi hidrologis suatu daerah aliran sungai (DAS), yang selanjutnya akan berdampak terhadap kelangsungan hidup masyarakat yang tinggal di DAS tersebut. Model simulasi seperti model Genriver dapat digunakan untuk memproyeksikan bagaimana dampak perubahan lahan terhadap kondisi hidrologis DAS. Hasil proyeksi model Genriver di DAS Buol, Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa selama 20 tahun terakhir neraca air di DAS Buol sebagain besar (42%) dimanfaatkan untuk transpirasi tanaman dan aliran permukaan (run off ) sebesar 22%. Dengan kondisi tutupan lahan seperti sekarang, yaitu 67% hutan, 0.5% pemukiman, 0.7% lahan terbuka serta sisanya lahan yang dikelola masyarakat; maka dalam dalam 20 tahun ke depan, infiltrasi akan sebesar 41% dan aliran permukaan sebesar 28%. Konversi hutan menjadi area agroforestri, perkebunan kelapa sawit atau pertanian lahan kering di masa depan akan semakin memicu kenaikan aliran permukaan, namun dengan tingkatan berbeda. Perencanaan dan perhitungan pengelolaan lahan yang tepat di DAS Buol perlu diperhatikan untuk mempertahankan fungsi DAS Buol sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal didalamnya.

Petani Menjadi Penyuluh, Mungkinkah? Sebuah Pendekatan Penyuluhan dari Petani ke Petani di Kabupaten Sumba Timur R. Riyandoko, Elok Mulyoutami, Pratiknyo Purnomosidhi, Asep Suryadi, Iskak Nugky Ismawan, dan Nikolas Hanggawali Penyebarluasan inovasi agroforestri di Kecamatan Haharu, Sumba Timur terkendala jauhnya jarak ke ibukota kabupaten (Waingapu). Selain itu sarana transportasi dan jumlah penyuluh pemerintah yang terbatas menghambat petani dalam mengakses informasi, teknologi, pasar, dan finansial. Penyuluhan dari petani ke petani (farmer to farmers) merupakan satu pendekatan penyuluhan yang dapat merespon tantangan jarak, keterbatasan jumlah penyuluh dan kondisi wilayah dalam penyebarluasan inovasi. Guna mendukung penyuluhan farmer to farmers perlu disiapkan petani penyuluh atau petani pelatih untuk melatih petani lainnya. Pelatihan bagi petani penyuluh (training of trainer) diadakan oleh ICRAF melalui proyek IRED di Kecamatan Haharu. Pelatihan ini bertujuan memperkuat kemampuan dasar bagi petani dalam menyebarluaskan inovasi agroforestri melalui penyuluhan kepada petani lain. Peserta pelatihan diseleksi dari sembilan desa dampingan Program IRED di Kecamatan Haharu, Sumba Timur. Sebanyak 76 petani mengikuti pelatihan, dengan komposisi petani perempuan sebesar 53,9%, dan didominasi oleh petani muda dengan rentang usia (19 – 49 tahun). Pelatihan dinilai memberikan kontribusi terhadap meningkatnya kemampuan petani penyuluh merencanakan penyuluhan sehingga mereka merasa percaya diri dalam menjalankan kegiatan penyuluhan farmer to farmers di desa.

Koleksi publikasi dapat diakses melalui: www.worldagroforestry.org/region/sea/publications

Informasi lebih lanjut: Melinda Firds (Amel) Telp: (0251) 8625415 ext. 756; Fax: (0251) 8625416 email: [email protected]

PROSPEK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN Efriyani Sumastuti Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Farming Semarang Email: [email protected]

ABSTRACT Agribusiness sector has an important role in the process of economic development. The contribution of this sector in economic development, are to increase the food production for domestic consumption, become the largest provider of employment, enlarge the market for industries, increase the supply of money for saving and increase the income. Up to now, the role of the agricultural sector in Indonesia is sogreatin supporting the food full fill mentand providing an employment for farm house holds. The great role and potency of agribusiness sector in realizing the food sustainability still have to face many challenges and complex issues. There should be many efforts for the existance of agribusiness sector. This study will discuss the agribussiness potency, prospects, problems and the efforts that should be done for the food sustainability. Keywords: prospect, development, agribussiness, food security ABSTRAK Sektor agribisnis mempunyai peranan penting dalam proses pembangunan ekonomi. Kontribusi sektor ini dalam pembangunan ekonomi antara lain meningkatkan produksi pangan untuk konsumsi domestik, sebagai penyedia tenaga kerja terbesar, memperbesar pasar untuk industri, meningkatkan supply uang tabungan dan meningkatkan devisa. Sampai saat ini, peranan sektor pertanian di Indonesia begitu besar dalam mendukung pemenuhan pangan dan memberikan lapangan kerja bagi rumah tangga petani. Peran dan potensi sektor agribisnis yang demikian besar dalam mewujudkan ketahanan pangan di masa yang akan datang masih harus menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan kompleks. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk tetap eksis. Studi ini akan membahas tentang potensi, prospek, permasalahan serta upaya yang perlu dilakukan sektor agribisnis dalam mewujudkan ketahanan pangan. Kata kunci : prospek, pengembangan, agribisnis, ketahanan pangan PENDAHULUAN

5. Sebagai penyedia pangan utama

Sektor pertanian, khususnya agribisnis diprediksi akan sangat berperan dalam pembangunan ekonomi kerakyatan di masa yang akan datang. Prediksi ini didasarkan pada beberapa hal, yaitu : 1. Sektor pertanian menampung sebagian besar tenaga kerja (75%) dan terbukti relatif mapan dalam menghadapi krisis ekonomi 2. Industri yang tepat untuk dikembangkan adalah industri pengolahan hasil pertanian 3. Komoditas pertanian masih dapat bersaing untuk menjadi komoditas unggulan dibandingkan komoditas non-pertanian 4. Merupakan ekonomi produktif yang berbasis masyarakat

Agribisnis, menurut Suryanto (2004) merupakan sistem yang mencakup lima subsistem yaitu sarana produksi, subsistem produksi, subsistem pengolahan hasil, subsistem pemasaran dan subsistem kelembagaan. Masing-masing subsistem tidak dapat terlepas satu sama lain.

154

Indonesia dengan jumlah penduduk yang diperkirakan mencapai 278 juta jiwa pada tahun 2030, menimbulkan tantangan yang kompleks dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Usaha untuk memenuhi kebutuhan pangan antara lain adalah dengan peningkatan produksi dan diversifikasi. Dua hal tersebut termasuk dalam kegiatan agribisnis. Dengan demikian, agribisnis perlu dikembangkan untuk men-

Prospek Pengembangan Agribisnis (Sumastuti: 154 – 161)

dukung proses pembangunan dan terwujudnya ketahanan pangan. Dalam kehidupan manusia, pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus terpenuhi.

basis yang melaksanakan fungsi-fungsi dari masingmasing subsistem. Agribisnis tidak hanya mencakup bisnis pertanian yang besar, tetapi juga skala kecil dan lemah (pertanian rakyat). Bentuk usaha dalam agribisnis dapat berupa PT, CV, Perum, Koperasi, dan lain-lain. Sifat usahanya adalah homogen/ heterogen, berteknologi tinggi atau tradisional, komersial atau subsisten, padat modal atau padat tenaga kerja.

Pada kenyataannya, pengembangan agribisnis dalam mewujudkan ketahanan pangan menghadapi banyak kendala, baik internal maupun eksternal. Tetapi kita tetap harus mencari upaya dan alternatif pemecahannya. Indonesia, yang merupakan negara agraris, pendekatan agribisnis dapat dijadikan terobosan dalam menciptakan ketahanan pangan dan memberikan percepatan pembangunan.

Perkembangan ekonomi bidang pangan dan agribisnis Indonesia pada tahun 2010 sebenarnya cukup cerah, karena tanda-tanda kelesuan ekonomi global telah berangsur menghilang. Kebutuhan pangan dari waktu ke waktu selalu mengalami kenaikan sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia 1,49% per tahun. Produksi pangan (khusus padi dan palawija serta tanaman hortikultura) telah menunjukkan peningkatan, seperti pada Tabel 1 dan 2.

PEMBAHASAN 1. Prospek, Potensi dan Peran Agribisnis Agribisnis secara sederhana adalah suatu konsep yang utuh, mulai dari proses produksi, mengolah hasil, pemasaran dan aktivitas lain yang berkaitan dengan kegiatan pertanian. Pengertian fungsional agribisnis adalah rangkaian fungsi-fungsi kegiatan untuk memenuhi kegiatan manusia. Pengertian struktural agribisnis adalah kumpulan unit usaha atau

Berdasarkan Tabel 1 dan 2 diketahui bahwa produksi tanaman hortikultura secara keseluruhan (rata-rata) pada tahun 2007-2011 mengalami pening-

Tabel 1. Perkembangan Produksi Komoditas Hortikultura, 2007- 2011 No 1. 2. 3.

4.

Produksi

Kelompok Komoditas Buah-buahan (Ton) Sayuran (Ton) Tanaman hias : - Tanaman Hias Potong (Tangkai) - Dracaena (Batang) - Melati (Kg) - Palem (Pohon) Tanaman Biofarmaka (Kg) Rata-rata

2007 17.116.622 9.455.464

2008

2009

18.241.248 10.393.407

2010

19.335.723 10.445.374

26.078.195 10.699.420

2011 27.725.821 10.774.203

Peningkatan per tahun (%) 12,4 3,5 31,1

190.189.976 212.037.463 335.568.955 2.041.962 2.355.403 2.449.619 15.775.751 16.597.668 18.423.411 1.171.768 1.304.178 1.460.679

378.925.785 485.583.204 4.625.925 2.449.898 21.600.442 22.545.084 1.098.197 1.251.895

474.911.940 489.702.035 465.216.933

399.312.009 372.436.510

(4,8) 10,7 1,7 (5,4) 7,03

Sumber : BPS (2012) diolah Keterangan : angka dalam kurung pada kolom 4 merupakan nilai minus

Tabel 2. Perkembangan Produksi Padi dan Palawija 2007- 2011 No Komoditas 1. 2. 3.

Padi Jagung Kedelai

2007 57.157.435 13.287.527 592.534

2008

Produksi (ton) 2009 2010

60.325.925 63.342.221 16.317.252 17.459.460 775.710 868.795

2011

66.469.394 65.756.904 18.327.636 17.643.250 907.031 851.286

Rata-rata

Peningkatan per tahun (%) 3,76 8,20 10,92 7,63

Sumber : BPS (2012) diolah

JEJAK, Volume 4, Nomor 2, September 2011

155

katan sebesar 7,03%, sedangkan produksi padi dan palawija 7,63%. Di Indonesia, sektor agribisnis merupakan sektor yang strategis, karena menyediakan kebutuhan pangan masyarakat; menyediakan bahan baku bagi sektor industri (agroindustri); memberikan kontribusi bagi devisa negara melalui komoditas yang diekspor; menyediakan kesempatan kerja bagi tenaga kerja pedesaan dan perlu dipertahankan untuk keseimbangan ekosistem (lingkungan). Nilai PDB sektor pertanian mengalami pertumbuhan yang semakin membaik dari tahun ke tahun. Apabila diperhatikan dan dikelola secara profesional, sumbangan sektor pertanian masih dapat ditingkatkan. Secara tidak langsung peningkatan tersebut akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani di Indonesia. Secara empirik, keunggulan dan peranan pertanian/agribisnis tersebut dapat dilihat dari besarnya sumbangan atau pangsa realtif terhadap nilai tambah industri non-migas dan ekspor nonmigas), yang relatif tinggi. Sektor ini diharapkan mampu menjadi sumber pertumbuhan perekonomian, terutama negara-negara berkembang yang perekonomiannya masih 60 persen bertumpu pada sektor pertanian. Dilihat dari sisi produksi, pembangunan agribisnis mampu menunjukkan peningkatan produktivitas, perbaikan kualitas, perbaikan teknologi dan peningkatan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian. 2. Ketahanan Pangan Di Indonesia, sistem ketahanan pangan terdiri dari empat subsistem yang tidak dapat dipisahkan dan terintegrasi satu dengan yang lain, yaitu : a. Ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk b. Distribusi pangan yang lancar dan merata c. Konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang d. Status gizi masyarakat Dengan demikian, sistem ketahanan pangan tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan tetapi juga menyangkut akses pangan di tingkat rumah tangga. Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan pangan dari aspek masukan yaitu produk156

si dan penyediaan pangan. Seperti diketahui, bahwa ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan yang luas bertlak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat kesejahteraan manusia Tujuan ketahanan pangan harus diorentasikan untuk pencapaian pemenuhan hak atas pangan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan ketahanan pangan nasional. Berjalannya sistem ketahanan pangan sangat tergantung pada kebijakan dan kinerja sektor ekonomi, sosial dan politik. Agribisnis dapat dijadikan sebagai cara atau solusi dalam meningkatkan ketahanan pangan. Hal ini sesuai dengan teori bahwa fokus dari sistem agribisnis adalah keberlanjutan (sustainable), sedangkan ketahanan pangan pada stabilitas (stability). Subsistem Ketersediaan pangan (food availability) pada ketahanan pangan dapat dintegrasikan dengan subsistem usahatani (On-farm) pada sistem agribisnis. Para pelaku agribisnis dapat mengusahakan atau melakukan budidaya berbagai macam tanaman pangan yang bisa dijadikan sebagai alternatif diversifikasi pangan. Dengan demikian ketersediaan pangan dalam negeri akan benar-benar tercapai dan tidak hanya bertumpu pada satu komoditas pangan saja (iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/11532/ 2/I09ehe.pdf). Subsistem penyerapan pangan (food utilization) dapat diintegrasikan dengan subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness). Integrasi tersebut dilakukan pada kegiatan pengolahan produk pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk antara maupun produk akhir. Industri pengolahan produk harus mengutamakan keamanan pangan. Dengan adanya pengolahan tersebut akan dihasilkan produk siap konsumsi yang mempunyai nilai tambah, baik secara ekonomi maupun dari kandungan gizi. Subsistem akses pangan (food access) dapat diintegrasikan dengan subsistem agribisnis hilir (downstream agribusiness). Integrasi tersebut dilakukan dengan kegiatan distribusi atau kegiatan perdagangan di pasar domestik maupun di pasar internasional. Dengan adanya kegiatan distribusi, konsumen dapat mengakses produk-produk yang dibutuhkan untuk dikonsumsi. Hubungan integrasi, secara sistematis dapat dilihat pada Gambar 1.

Prospek Pengembangan Agribisnis (Sumastuti: 154 – 161)

Ketersediaan Pangan (Food Availibility)

Subsistem Agribisnis hulu

Akses Pangan (Food Acces)

Penyerapan Pangan (Food Utilization)

Subsistem Usahatani

Status Gizi (Nutritional Status)

Subsistem Agribisnis hilir

Subsistem Penunjang Sumber : Rahman (2010)

Gambar 1. Integrasi Sistem Agribisnis dengan Sistem Ketahanan Pangan

Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan di masa yang akan datang, tentu tidak semudah yang kita bayangkan. Berbagai masalah dan tantangan yang perlu diantisipasi antara lain adalah: a. Pertambahan jumlah penduduk b. Konsumsi pangan utama masih didominasi oleh beras c. Diversifikasi pangan belum dapat terlaksana Sumber : Rahman (2010) secara optimal

tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi dan potensi suatu wilayah. keberhasilan pembangunan ekonomi melalui pengembangan sektor agribisnis, perlu diidentifikasi terlebih dahulu kondisi dan tantangan yang dihadapi sektor agribisnis. Dengan dasar tersebut, dapat dirumuskan strategi untuk menghadapi dan mempercepat pembangunan sektor agribisnis dalam mewujudkan ketahanan pangan.

Pengembangan agribisnis tidak dapat dilakukan tanpa dukungan dari perusahaan agribisnis, karena d. Tingginya kompetisi/ alih fungsi pemanfaatan perusahaan agribisnislah yang memiliki rencana, Gambar 1. Integrasi Sistem Agribisnis dengan Ketahanan Pangan lahan desainSistem dan implementasi aktivitas agribisnis dalam sistem ekonomi kerakyatan. Untuk keperluan tersee. Penurunan kapasitas dan kualitas sumber daya but maka pemerintah perlu mendorong pengemalam karena eksploitasi besar-besaran bangan sistem dan usaha agribisnis di bidang usaha f. Dampak perubahan iklim yang mengakibatkan industri rumah tangga, koperasi, kelompok usaha penurunan produksi pangan berskala kecil, menengah dan besar. Dengan demikian pengembangan agribisnis komoditas unggulan 3. Upaya Pengembangan Agribisnis dalam akan berdampak pada ketahanan pangan yang hanMewujudkan Ketahanan Pangan dal dan pembangunan daerah yang terarah dan berkelanjutan. Pembangunan pertanian tidak terlepas dari pengembangan kawasan pedesaan yang menemUpaya mewujudkan ketahanan pangan nasional patkan pertanian sebagai penggerak utama perekotidak terlepas dari kebijakan umum pembangunan nomian. Lahan, potensi tenaga kerja, dan basis pertanian dalam mendukung penyediaan pangan ekonomi lokal pedesaan menjadi faktor utama terutama dari produksi domestik. Dalam mewujudkan pengembangan pertanian. Saat ini, pembangunan ketahanan pangan dan stabilitasnya (penyediaan pertanian tidak saja bertumpu di desa tetapi juga dari produksi domestik) identik pula dengan upaya diperlukan integrasi dengan kawasan dan dukungan peningkatan kapasitas produksi pangan nasional sarana serta prasarana. Struktur perekonomian dalam pembangunan pertanian beserta kebijakan wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan pendukung lain yang terkait (http://www.ipb.ac.id/id/ suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Perbedaan ?b=1545).

JEJAK, Volume 4, Nomor 2, September 2011

157

Sektor pangan dan agribisnis, ke depan sangat memerlukan suatu strategi kebijakan dan langkah konkrit berupa pemberian insentif pajak, akses permodalan dan informasi bagi pelaku agribisnis yang akan melakukan investasi pada sektor pengolahan dan pemasaran di hilir. Peningkatan nilai tambah (added value) komoditas pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan akan sejalan dengan upaya peningkatan keunggulan kompetitif. Investasi di sektor hilir tersebut pasti akan menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja terampil dan berpendidikan tinggi. Operasionalisasi pembangunan sistem dan usaha-usaha agribisnis dilaksanakan melalui pengembangan kawasan dan pusat-pusat pertumbuhan berbasis komoditas sesuai dengan keunggulan masing-masing daerah. Di samping itu juga mempertimbangkan kondisi agro-ekologi dan permintaan masyarakat daerah, serta kondisi sosial ekonomi dan pasar. Setiap daerah perlu mencermati jenis komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif (comparative advantage) untuk dikembangkan secara berkesinambungan. Ini berarti mulai meletakkan dasar kebijakan peningkatan produksi yang didasarkan pada potensi alam, penguasaan teknologi, kemampuan manajerial dan konservasi sumber daya alam. Efisiensi dapat terjadi apabila dalam penentuan wilayah untuk industri pengolahan dan pemasaran harus sinkron dengan wilayah produksi. Sinkronisasi ini akan mendorong terciptanya efektivitas dalam perdagangan suatu komoditas. Karena suatu komoditas yang hanya unggul secara komparatif dapat didorong keunggulan kompetitifnya melalui pewilayahan industri pengolahan dan pemasaran yang tepat. Pembangunan sektor pertanian sebagai basis kegiatan ekonomi utama, pengembangannya tidak dapat hanya mengandalkan kegiatan pada on-farm saja. Tetapi diperlukan adanya terobosan pengintegrasian sistem agribisnis yang memungkinkan terciptanya nilai tambah (value added) yang berarti bagi setiap komoditas sektor pertanian. Pengembangan sistem agribisnis regional secara umum harus menghasilkan produk yang lebih beragam bukan hanya didominasi oleh produk-produk primer sehingga struktur perekonomian regional tidak hanya berbasis pertanian. 158

Pengembangan sistem agribisnis dapat dilakukan dengan pendalaman struktur agro-industri sebagai suatu subsistem dalam agribisnis. Pendalaman agro-industri lebih ditekankan pada industri hilir pengolahan hasil pertanian dengan mempertimbangkan pengembangan industri hulu. Setelah itu dilakukan daya dorong inovasi (creative innovationdriven). Inovasi kreatif menekankan pada peningkatan kemajuan teknologi pada setiap subsistem agribisnis. Tuntutan sumber daya manusia yang semakin berkualitas sangat diperlukan guna mengimbangi kemajuan teknologi yang ada. Tahapan pengembangan sistem agribisnis di setiap wilayah tidak sama, karena sangat ditentukan oleh karakteristik dan keragaman antar daerah, baik secara fisik maupun sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Pada umumnya, pembangunan agribisnis dilakukan berdasarkan pada persebaran sumber daya fisik, sosial dan ekonomi yang mencakup beberapa wilayah administrasi pemerintahan maupun beberapa wilayah pelayanan Departemen/Dinas. Oleh karena itu, diperlukan adanya koordinasi harmonis antar-Departemen / Lembaga, antar-Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten demi membangun suatu sistem (agribisnis) yang efektif dan efisien. Pembangunan ekonomi lokal yang berbasis pada pertanian merupakan sebuah proses orientasi. Proses tersebut berkaitan dengan banyak faktor, antara lain adalah : a. Terbentuknya institusi/ lembaga baru b. Pengembangan industri alternatif c. Peningkatan kemampuan manajerial pelaku usaha d. Identifikasi pasar e. Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi f. Mendorong terbentuknya perusahaan baru g. Peningkatan entrepreneurship Dengan pembangunan ekonomi lokal, diharapkan kegiatan pertanian akan berorientasi pada pasar (konsumen). Orientasi pasar menunjukkan bahwa setiap lokasi dapat menghasilkan komoditas pertanian yang spesifik. Dengan demikian akan terjadi spesialisasi produksi. Kebijakan Nasional pembangunan pertanian pertanian di suatu negara tentunya tidak lepas dari pengaruh faktor-faktor eksternal.

Prospek Pengembangan Agribisnis (Sumastuti: 154 – 161)

Faktor-faktor eksternal tersebut antara lain adalah (Suradisastra, 2006): a. Kesepakatan-kesepakatan internasional, seperti WTO, APEC dan AFTA b. Kebijakan perdagangan komoditas pertanian di negara mitra c. Lembaga-lembaga internasional yang memberikan bantuan kepada Indonesia tertutama dalam masa krisis Saat ini dan masa yang akan datang, orientasi sektor agribisnis telah berubah kepada orientasi pasar. Dengan berlangsungnya perubahan preferensi konsumen yang semakin menuntut atribut produk yang lebih rinci dan lengkap, maka motor penggerak sektor agribisnis harus berubah dari usahatani kepada industri pengolahan (agroindustri). Untuk mengembangkan sektor agribisnis yang modern dan berdaya saing, agroindustri menjadi penentu kegiatan pada subsistem usahatani dan selanjutnya akan menentukan subsistem agribisnis hulu. Di samping konsep pembangunan pertanian di atas, khususnya di negara-negara berkembang, masih banyak permasalahan yang dihadapi sektor pertanian. Permasalahan tersebut antara lain adalah: a. Kemiskinan b. Rendahnya produktivitas SDA dan SDM c. Lemahnya posisi tawar petani d. Lemahnya sistem pasar Struktur agribisnis, untuk hampir semua komoditas, dewasa ini masih tersekat-sekat, yang dicirikan oleh beberapa hal, yaitu: a. Agribisnis merupakan konsep dari suatu sistem yang integratif dan terdiri atas beberapa subsistem, yaitu: subsistem pertanian hulu, subsistem budidaya pertanian, subsistem pengolahan hasil pertanian, subsistem pemasaran dan subsistem jasa penunjang pertanian. Lima subsitem tersebut di atas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Apabila salah satu subsistem tidak dapat berjalan secara efisien akan mempengaruhi proses yang lain dan akibatnya potensi agribisnis tidak dapat dimaksimalkan b. Agribisnis merupakan suatu konsep yang menempatkan kegiatan pertanian sebagai suatu

kegiatan utuh yang komprehensif. Untuk keperluan tersebut diperlukan dukungan semua pihak yang terkait agar tujuan dapat tercapai. Upaya pengembangan potensi agribisnis secara efisien dan efektif dalam mewujudkan ketahanan pangan memerlukan suatu strategi. Strategi tersebut adalah sebagai berikut : a. Peningkatan produksi pangan secara berkelanjutan Pening produksi dapat dilakukan melalui berbagai macam cara antara lain dengan intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi. b. Revitalisasi industri hulu Industri hulu yang dimaksud di sini berkaitan dengan sarana dan prasarana produksi, seperti benih, pupuk, pestisida serta alat dan mesin pertanian. c. Revitalisasi industri pasca panen dan pengolahan pangan Optimalisasi manfaat sektor pertanian dan meningkatkan pendapatan pengelola agribisnis, perlu dilakukan proses pasca panen dan pengolahan. Seperti diketahui bahwa bahan hasil pertanian akan mudah rusak setelah dipanen apabila tidak ditangani secara serius. Proses pasca panen dan pengolahan ini tentunya didasarkan pada modernisasi dengan tidak meninggalkan potensi daerah masing-masing d. Revitalisasi dan restrukturisasi kelembagaan Pengembangan kelembagaan hendaknya mencerminkan jati diri bangsa serta didasarkan pada pertimbangan modernisasi sektor pertanian. Untuk keperluan tersebut masih diperlukan peran pemerintah sebagai fasilitator, tanpa meninggalkan kearifan lokal dan perundang-undangan yang berlaku. Kelembagaan dalam hal ini adalah kelembagaan yang berkaitan dengan proses produksi pangan, seperti: koperasi, UKM dan lumbung desa e. Pengembangan kebijakan yang kondusif Kebijakan yang diberlakukan hendaknya yang dapat melindungi pelaku bisnis pangan dari hulu hingga hilir. Kebijakan tersebut berkaitan dengan penerapan technical barrier for Trade (TBT) pada produk pangan, insentif, alokasi kredit, dan

JEJAK, Volume 4, Nomor 2, September 2011

159

harmonisasi tarif bea masuk, pajak resmi dan tidak resmi. Secara rinci, strategi untuk mencapai ketahanan pangan dapat dilihat pada Gambar 2. Ketahanan pangan, berdasarkan pada Gambar 2 diwujudkan oleh hasil kerja sistem ekonomi pangan. Sistem tersebut terdiri dari subsistem ketersediaan produksi, pasca panen dan pengolahan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan. Ketiga subsistem tersebut merupakan satu kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya alam, kelembagaan, budaya, dan teknologi. Proses ini akan berjalan secara efisien oleh adanya partisipasi masyarakat dan fasilitasi pemerintah. Partisipasi masyarakat (petani, nelayan, dan lain-lain) dimulai dari proses produksi, pengolahan, distribusi dan pemasaran serta jasa pelayanan di bidang pangan. Fasilitasi pemerintah diimplementasikan dalam bentuk kebijakan ekonomi makro dan mikro di bidang

perdagangan, pelayanan dan pengaturan serta intervensi untuk mendorong terciptanya kemandirian pangan. Output dari pengembangan pangan adalah terpenuhinya pangan, SDM berkualitas, ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional. PENUTUP Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan di atas maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Di Indonesia, Agribisnis mempunyai peran dan potensi yang sangat strategis dalam mewujudkan ketahanan pangan 2. Dalam proses pengembangannya, untuk mewujudkan ketahanan pangan, agribisnis menghadapi berbagai macam tantangan, yaitu : a. Pertambahan jumlah penduduk yang lebih besar dari peningkatan produksi

Sumber : Suryana (2004)

Gambar 2. Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan 160

Prospek Pengembangan Agribisnis (Sumastuti: 154 – 161)

b. Konsumsi pangan masih didominasi oleh satu komoditas, yaitu beras c. Diversifikasi pangan belum berjalan secara optimal d. Tingginya alih fungsi lahan produktif untuk pertanian ke non pertanian e. Penurunan kapasitas dan kualitas sumber daya alam serta manusia f. Dampak perubahan iklim Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, khususnya yang berkaitan dengan bidang agribisnis, disarankan:

Feryanto W.K. (2010) Peranan Agribisnis dalam Pembangunan Pertanian dan Ekonomi. Feryanto.wk’s blog. Herdiana, E. (2009) Analisis jalur Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/ 11532/2/i09ehe.pdf Rachmawati, K.D. (2010) Peran Profesi Ekonomi Pertanian Spesialisasi Agribisnis dalam Pembangunan Pertanian di Indonesia, IPB, Bogor.

1. Adanya kebijakan yang berpihak pada sektor pertanian

Rahman, A.Z. (2010) Kaitan Pembangunan Pertanian melalui Agribisnis dengan Ketahanan Pangan Indonesia. IPB, Bogor.

2. Perlunya penyusunan strategi yang melibatkan semua pihak yang terkait secara terintegrasi dan berkelanjutan pada lima subsistem dalam agribisnis

Saragih, B. (2010) Refleksi kritis Pengembangan Dan Kontribusi Pemikiran Agribisnis Terhadap Pembangunan Pertanian Indonesia. http://www. ipb.ac.id/id/?b=1545

DAFTAR PUSTAKA

Suradisastra, K. (2006) “Revitalisasi Kelembagaan Untuk Percepatan Pembangunan Sektor Pertanian Dalam Otonomi Daerah”, Analisis Kebijakan Pertanian . Vol. 4, No 4.

Badan Pusat Statistik (2009) Indonesia dalam Angka, Jakarta. Departemen Pertanian (2009) Kinerja Pembangunan Sektor Pertanian 2008, Jakarta. Ditjen Hortikultura (2009) Gambaran Kinerja Makro Hortikultura, Jakarta.

Suryana, A. (2004) Ketahanan Pangan. lemlit.ugm. ac.id/Agro/download/white_paper.doc. Suryanto (2004) Peran Usahatani Ternak Ruminansia dalam Pembangunan Agribisnis Berwawasan Lingkungan. Pidato Pengukuhan Guru Besar, 6 Oktober 2004. UNDIP, Semarang.

JEJAK, Volume 4, Nomor 2, September 2011

161

Related Documents

Iqbal
May 2020 12
Akbar Priambodo.docx
June 2020 13
Kenyataan Akbar
June 2020 16
Tabib Akbar
July 2020 11
Allahu Akbar
November 2019 23

More Documents from ""