Autisme Fixxx.docx

  • Uploaded by: Naufal Shafly Ramadhan
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Autisme Fixxx.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,007
  • Pages: 25
“AUTISME” Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Dosen Pengampu: Fatma Kusuma Mahanani, S.psi., M.psi.

Oleh: 1. Riska Hardiani

(1511416044)

2. Ridh Rizky Putri

(1511416070)

3. Naufal Shafly Ramadhan

(1511416075)

4. Alfi Rahman

(1511416067)

5. Muhammad Afif Rachmandito

(1511417057)

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2019

A. Definisi Autisme Penggunan kata autisme pertama kali diperkenalkan pada tahun 1943 oleh Leo Kanner. Kanner menulis makalah dan menjabarkan gejala-gejala “aneh” yang ia temukan pada 11 anak yang menjadi pasiennya. Kemudian Kanner melihat banyaknya persamaan gejala pada anak-anak tersebut, namun yang sangat menonjol adalah anak ini sangat asyik dengan dirinya sendiri, seolah-olah ia hidup dalam dunianya sendiri. Maka setelah itu ia menggunakan istilah autisme. Kata autisme sendiri berasal dari bahasa Yunani “auto” yang berarti sendiri, ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala “hidup dalam dunianya sendiri”. American Psychiatric Association disingkat APA (2013) menyebut pengertian autis / autisme pada DSM-5 sebagai Autism Spectrum Disorder (ASD), yaitu suatu gangguan perkembangan saraf (neurodevelopmental disorder) yang ditandai dengan hambatan komunikasi sosial dan interaksi sosial pada berbagai situasi (termasuk hambatan dalam timbal balik sosial, perilaku komunikatif nonverbal yang digunakan untuk interaksi sosial, dan keterampilan dalam mengembangkan, mempertahankan dan memahami hubungan) dan juga adanya pola perilaku, ketertarikan yang terbatas maupun aktivitas yang berulang. Menurut Kirk. Dkk (2009), gangguan spektrum autisme adalah variasi (atau spektrum) gangguan terkait yang memengaruhi perkembangan sosial dan kemampuan anak untuk berkomunikasi dan itu termasuk manifestasi perilaku yang tidak biasa seperti gerakan motorik berulang. Termasuk dalam kategori gangguan spektrum autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang tidak ditentukan secara spesifik (PDDNOS), sindrom Asperger (dapat diamati pada anak-anak yang berfungsi tinggi dengan gejala mirip autisme), dan gangguan disintegatif anak yang menyebabkan anak-anak mengalami kemunduran dalam perkembangan mereka ( misalnya, seorang anak yang pernah berbicara tetapi tidak lagi berkomunikasi; Lord, 2001). Autisme merupakan suatu spectrum disorders, yaitu suatu gangguan yang mempunyai rentangan lebar dan bergradasi mulai dari yang ringan sampai berat. Artinya, walaupun memiliki gejala yang sama, tetapi setiap

orang dengan autisme dipengaruhi oleh gangguannya tersebut dengan cara yang berbeda dan dapat berakibat berbeda pula pada perilakunya. Gejala dapat terjadi dengan kombinasi yang berbeda-beda dan dapat bergradasi dari sangat ringan ke sangat berat. Demikian pula dengan potensi kemampuan kognitifnya bervariasi dari diatas rata-rata sampai retardasi mental berat. Mangunsong (2009:169) menyatakan bahwa sejak tahun 1990 autisme sudah menjadi kategori terpisah dalam IDEA (Individuals With Disabilities Education Act), sehingga kelainan-kelainan lainnya yang sama seperi autis dikategorikan dalam satu istilah yaitu ASD (Autisme Spectrum Disorder)atau pervasive development disorders. Kelaian yang termasuk dalam kategori ASD memiliki karakteristik sesuai dengan tingkat keparahan tiga area yaitu kemampuan komunikasi, interaksi sosial dan pola perilaku yang repetitif dan stereotip (Hallahan & Kauffman. 2006 dalam Mangunsong, 2009). Berikut ada lima kelaian atau gangguan dalam ASD: 1. Autisme menurut Hallahan dan Kuffman (dalam Mangunsong. 2009), adalah penarikan diri yang ekstrem dari lingkungan sosial, adanya gangguan komunikasi, tingkah laku atau pola perilaku yang terbatas dan berulang (stereotip) yang muncul sebelum usia 3 tahun. Gangguan ini lebih banyak di alami oleh anak laki-laki daripada anak perempuan. 2. Asperger Syndrome Gangguan yang mirip dengan dengan autisme atau dapat disebut juga sebagai mild autism (autis tingkat ringan) tanpa gangguan signifikan dalam kognisi dan bahasa. Anak dengan gangguan AS ini memiliki tingkat intelegensi yang tinggi dan komunikasi yang lebih baik tetapi kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial. 3. Rett Syndrome Sindrom ini sering terjadi pada anak perempuan yang muncul di usia 7-24 bulan. Pada sindrom ini anak mengalami kemudunduran berupa hilangnya kemampuan gerakan tangan yang bertujuan serta keterampilan motorik yang telah terlatih seperti membahasi tangan yang berulang dengan air liur. 4. Childhood Disintegrative Disorder

Perkembangan anak di usia 2-10 tahun termasuk dalam normal. Namun di kemudian diikuti kehilangan kemampuan yang signifikan. Terjadi kehilangan keterampilan terlatih dalam bidang perkembangan setelah beberapa bulan gangguan tersebut terjadi. Munculnya gangguan fungsi sosial, komunikasi dan perilaku yang dapat bersifat progresif dan menetap. Sebagaian anak yang menderita gangguan ini disertai dengan gangguan retardasi mental. 5. Pervasive Developmen Disorder Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Individu yang memiliki perilaku autis yang termasuk dalam tingkatan yang lebih rendah atau baru muncul setelah usia tiga tahun atau lebih. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ASD atau Autism Spectrum Disorder merupakan gangguan yang mempengaruhi tiga area perkembangan anak yaitu kemampuan berkomunikasi, interaksi sosial dan pola pikiran dengan tingkat keparahan berbeda. ASD terbagi menjadi lima gangguan yaitu autisme, asperger syndrome, rett syndrome, childhood disintegrative disorder dan pervasive developmen disorder not otherwise specified.

B. Penyebab Autisme Menurut Ginanjar (2008:30-31). Menjelaskan bahwa ada 5 faktor yang memungkinkan menjadi penyebab autism pada anak. Walaupun begitu faktor penyebab autism sendiri masih dalam penelitian para ilmuan dan ahli. Beberapa teori terakhir mengatakan bahwa faktor genetika (keturunan memegang peranan penting dalam proses terjadinya autisme. Dikarenakan kompleksnya autism itu sendiri maka menurut para ahli penyebabnya adalah berbagai faktor yang saling berinteraksi, berikut ini adalah faktor yang di duga sebagai penyebab autism: 1. Faktor Genetik

Lebih kurang 20% dari kasus-kasus autisme disebabkan oleh faktor genetik. Selain itu dalam studi terkait anak kembar membuktikan bahwa genetic berperan sangat penting, di buktikan jika terlahir anak kembar

dengan salah satunya merupakan anak dengan autisme, maka kembaranya juga memiliki resiko tinggi untuk mengalami gangguan autisme pula. Beraitan juga dengan genetik, faktor yang terkait seperti usia ibu hami, usia ayah saat istri hamil serta masalah-masalah yang terjadi pada saat kehamilan walaupun begitu juga berpengaruh, kesimpulanya adalah bahwa ada kemungkinan terjadi nya autisme lebih besar pada anak, jika dalam anggota keluarga anak tersebut memiliki seorang dengan gangguan tersebut dan faktor-faktor eksternal dapat menjadi pemicunya. 2. Permasalahan Selama Masa Kehamilan dan Kelahiran

Resiko anak dengan autisme berhubungan dengan masalah-masalah yang terjadi pada masa delapan minggu kehamilan, selain itu ibu-ibu yang mengkonsumsi alkohol dan obat terlarang serta terjangkit Rubella juga mempertinggi resiko autism pada anak, seelain itu bayi premature juga memiliki kemungkinan mengalami gangguan pada otak di banding bayi normal

(Ginanjar,2008).

Menurut

Hadis

(2006:45)

komplikasi

prenatal,prenatal dan neonatal yang meningkat juga di temukan pada anak dengan autisme, komplikasi kelahiran seperti bayi yang terlambat menangis, mengalami gangguan pernapasan dan kekurangan darah juga di duga dapat menimbulkan gejala autisme. 3. Keracunan Logam Berat

Penelitian terhadap sejumlah anak dengan autisme menunjukan bahwa kadar timbal berat seperti merkuri, timbal, timah, dalam darah mereka lebih tinggi dari pada anak normal (Veskarisyanti, 2008:17). Keracunan logam berat merupakan salah satu kondisi yang sering di jumpai pada masa kehamilan, keracunan seperti merkuri, timbal, timah, cadmium ini umumnya di sebabkan oleh faktor lingkungan seperti polusi udara, paparan pupuk peptisida dan cat tembok serta makanan. Kadar timbal berat tersebut akan sangat mempengaruhi kesehatan janin. 4. Terinfeksi Virus

Anak dengan autisme juga diduga di sebabkan oleh berbagai macam virus seperti Toxoplasmosis, Rubella, Herpes. Selain itu juga di pengaruhi oleh nutrisi yang buruk, pendarahan dan keracunan makanan saat masa

kehamilan. Efek virus-virus tersebut berlangsung dapat terus menerus bahkan setelah anak di lahirkan dan terus merusak proses pembentukan sel otak, sehingga anak tidak terlihat mengalami kemajuan dan bahkan menunjukan kemunduran. Gangguan virus juga dapat mempengaruhi metabolisme,pendengaran dan pengheliatan dan juga diperkirakan menjadi penyebab lahirnya anak dengan autisme (Maulana, 2007:19). 5. Ganguan pada Sistem Syaraf

Beberapa penelitian melaporkan bahwa anak autis memiliki kelainan pada hampir semuastruktur otak namun, kelainan yang paling konsisten adalah pada otak kecil atau cerebellum. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel purkinje di otak kecil pada anak dengan

autisme.

Cerebellum berfungsi dalam mengatur fungsi moral dan kegiatan motorik, juga sebagai sirkuit yang berfungsi untuk mengatur atensi dan juga pengindraan. Jika bagian sirkuit ini mengalami kerusakan atau terganggu maka akan mengganggu fungsi bagian lain dari sistem saraf pusat, seperti misalnya sistem limbik yang mengatur emosi dan perilaku. 6. Ketidakseimbangan Kimiawi

Beberapa penelitian menemukan bahwa sejumlah kecil dari gejala autistismememiliki hubungan dengan makanan atau kekurangan zat kimiawi tertentu di dalam tubuh. Selanjutnya alergi dengan beberapa makanan , seperti makanan yang mengandung susu atau protein susu, tepung gandum, daging, gula, bahan pengawet, penyedap rasa, bahan pewarna, dan ragi. Untuk memastikan pernyataan tersebut, dalam tahun 2000 sampai 2001 telah dilakukan pemeriksaan terhadap 120 orang anak yang memenuhi kriteria gangguan autisme menurut DSM IV. Rentang umur antara 1 – 10tahun, dari 120 orang itu 97 adalah anak laki-laki dan 23 orang adalah anak perempuan. Dari hasil pemeriksaan diperoleh bahwa anak anak ini mengalami gangguan metabolisme yang kompleks, dan setelah dilakukan

pemeriksaan untuk alergi, ternyata dari 120

orang anak yang diperiksa: 100 anak (83,33%) menderita alergi susu sapi, gluten dan makanan lain, 18 anak (15%) alergi terhadap susu dan makanan lain, 2 orang anak (1,66 %) alergi terhadap gluten dan makanan

lain. (Dr. Melly

Budiman,

SpKJ,

2003).

menghubungkan autism dengan ketidakseimbangan

Penelitian

lain

hormonal,

peningkatan kadar dari bahan kimiawi tertentu di otak, seperti opioid, yang menurunkan persepsi nyeri dan motivasi. Berikut merupakan kemungkinan penyebab-peneyabab dari autisme, walaupun begitu sampai saat ini, ilmuwan belum secara pasti mengetahui apa yang salah pada otak individu dengan autisme,penyebab yang baru diyakini adalah adanya gangguan neurobiologis, bukan interpersonal (NationalResearch Council, 2001; Strock, 2004 dalam Hallahan & Kauffman, 2006). Ada bukti kuat bahwahereditas berperan besar dalam berbagai kasus, namun, tidak ada penyebab neurologis dan genetiktunggal dari kasus autisme.

C. Karakteristik Anak Autis Anak autis belum dapat dideteksi di tahun pertama dan kedua pada kehidupan anak. Orangtua akan menyadari keterlambatan kemampuan anak ketika anak berinteraksi dengan orang lain. Anak autis biasanya memiliki kemampuan respon yang lemah terhadap rangsangan yang diterima panca inderanya (sentuhan, pendengaran, pembauan, penglihatan dan pengecap). Mereka memberikan respon yang tidak sesuai terhadap informasi sensoris yang didapatkan. Hal ini diperkuat oleh Winarno (2013) yang menyatakan bahwa “Salah satu karakteristik anak autis adalah mencampuradukan atau memutarbalikan makna ucapan. Misalnya anak autis yang minta mangga akan mengatakan “Kamu mau mangga?””. Anak autis juga akan mengulangi gerakan-gerakan tertentu seperti menggerakan jari, menggoyangkan badan dan mengulang kata yang diucapkan (echolalia). Biasanya anak autis suka menirukan kata yang diucapkan orang lain. Namun beberapa anak atuis memiliki kemampuan rendah dalam mengingat sehingga ia akan kesulitan dalam mencerna sebuah pembicaraan. Selain itu, anak autis dapat bersikap agresif terhadap mereka sendiri atau orang lain bahkan terlalu pasif, sehingga mereka mengalami masalah dalam hubungan sosial.

Rahayu (2014) menyatakan bahwa karakteristik autis yang sering muncul pada masa anak-anak diantaranya adalah: 1.

Perkembangan terlambat Anak autis memiliki perkembangan motorik halus dan motorik kasar yang tidak seimbang. Misalnya anak autis dengan usia 5 tahun memiliki kemampuan motorik kasar yang baik, sangat aktif, suka berlari-lari, melompat dan memanjat. Namun ia memiliki kemampuan motorik halus yang buruk, misalnya tidak bias menggambar bangun sederhana, memegang sendok, melipat kertas dan sebagainya. Anak autis juga memiliki hambatan dalam mengikuti instruksi dan meniru. Ketika diberi instruksi anak autis seolah tidak mendengar apa-apa. Anak autis memiliki keterlambatan bicara dan bahasa sehingga mereka mengalami kesulitan untuk melakukan komunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Bahasa yang diucapkan anak autis biasanya tidak lazim atau aneh. Anak autis cenderung tidak tertatik dengan kehadiran orang lain. Biasanya pada hari pertama sekolah, anak autis lebih memilih untuk menyendiri dan tidak peduli dengan orang lain di sekitarnya. Anak autis akan lebih senang dengan dunianya sendiri.

2.

Memiliki ketertarikan pada benda yang berlebihan Temuan pada beberapa anak autis salah satunya adalah ketertarikan dengan suatu benda daripada orang di sekitarnya. Mereka dapat memperhatikan suatu benda dalam jangka waktu yang lama, dapat bermain dengan benda tersebut sepanjang waktu, bahkan anak autis dapat mencurahkan emosinya terhadap suatu benda.

3.

Menolak ketika dipeluk Anak autis akan memberikan reaksi penolakan atau berontak ketika ada orang lain yang ingin memeluknya. Ketika ada orang lain yang ingin memeluknya anak autis akan bereaksi dengan memukul-mukul, menangis atau berteriak.

4.

Memiliki kelainan sensoris

Anak autis cenderung memiliki kelainan sensoris, misalnya anak autis tidak peka terhadap sentuhan, ketika dipeluk anak autis menganggap itu sebagai ancaman. Anak autis akan menutup telinga apabila mendengar suara bising bahkan dapat bertetiak dan menangis. Ada pula anak autis yang suka mencium dan menjilat benda di sekitarnya. Anak autis juga tidak peka terhadap rasa sakit dan rasa takut, misalnya anak autis sering membenturkan kepalanya ketika keinginannya tidak dipenuhi dan anak tersebut tidak merasa kesakitan. 5.

Memiliki kecenderungan melakukan perilaku yang diulang-ulang Anak autis cenderung melakukan gerakan yang diulang-ulang seperti memutar tangan dan tepuk tangan. Hal ini menyebabkan anak autis sulit menyesuaikan diri ketika ganti kegiatan. Anak autis tidak akan merespon kegiatan baru yang seharusnya dilakukan. Anak autis sulit menerima perubahan tingkah laku, mereka akan marah apabila kegiatan rutinnya dirubah.

D. Mendiagnosis Autisme Anak dengan autis pada beberapa tahun terakhir ini dapat dipahami dengan

diagnosis

yang

lebih

spesifik.

Dimana

diagnosis

harus

mendeskripsikan kondisi anak tersebut dengan diagnosis lainnya. Misalkan, autisme dapat dibedakan dengan dilihat dari kondisi lain, seperti kelainan bahasa yang di alami anak. Diagnosis harus memberikan deskripsi yang jelas dan detail sebagaimana kriteria tersebut mempengaruhi anak sebagai seorang individu. Namun terkadang psikolog enggan memberikan diagnosis terlalu awal dan ada beberapa ahli yang memberikan pendapat bahwa autis tidak dapat di diagnosis sebelum usia 3 tahun. Tetapi , seharusnya autis sudah dapat di diagnosis secepat mungkin agar dapat dilakukan tindakan penanganan. Ketika pada ahli belum memberikan diagnosis awal, hal ini karena biasanya karena takut akan salah memberikan diagnosis. Mereka memaparkan bahwa seorang anak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi atau mengalami

keterlambatan pada perkembangannya, namun tidak yakin apakah anak tersebut mengalami autisme atau tidak. Dalam menentukan anak tersebut memiliki gangguan autis didapatkan beberapa kriteria yang mendasari suatu diagnosis yang mana diketahui autis dapat didiagnosis dengan menggunakan parameter triad of impairments, yaitu tiga area kesulitan belajar dan berkomunikasi pada anak yang terlhat dalam perkembangannya, sebelum anak tersebu berusia tiga tahun. namun, bukan semua anak didiagnosis sebelum tida tahun, tapi atas dasar observasi dengan orang tua dan observasi lainnya, akan tampak bahwa pola kesulitan yang dialamai seorang anak akan diawali sebelum usia tiga tahun. Area kesulitan tersebut meliputi : 

Kesulitan pada bahasa dan komunikasi.



Kesulitan berinteraksi sosial dan pemahaman terhadap lingkungan sekitar.



Kurangnya fleksibilitas dalam berpikir dan bertingkahlaku. Autisme dikenal sebagai pervasive development disorder yang dapat

diartikan suatu aspek kesulotan berdampak pda yang lain. 1. Kesulitan pada bahasa dan komunikasi Pada area ini diketahui memiliki kemmapuan untuk memahami segala bentuk bahasa dan komunikasi. Tidak hanya bhasa secara lisan yang terpengaruh namun bahasa secara bentuk tubuh (gesture), ekspresi wajah, dan segala bentuk bahasa tubuh lainnya. Building blocks komunikasi, yang dikenal sebagai pragmatis, secara biologis dimiliki oleh setiap individu dan berkembang secara alamiah pada anak yang normal. Pada tahun pertama seorang bayi melatih kemampuan ini agara mereka memiliki kerangka komunikasi yang dapat digunakan saat mereka memasuki tahap awal bicara. Kemampuan ini pula yang akan berkembang pada anak sehingga mereka mampu menggunakannya untuk berkomnikasi dengan orang lain. Anak dengan autis mereka memiliki kemmapuan pragmatis yang sangat rendah, dan pada saat mereka memasuki tahap awal bicara mereka hampir sellau memeberikan “label untuk apapun hal yang mereka lihat dan mereka dengar dari orang lain, sering tidak memiliki arti dan bukan melibatkan diri dalam berdialog.

2. Kesulitan berinteraksi sosial dan pemahaman terhadap lingkungan Anak dengan gangguan autisme biasanya dikaitkan dengan label “penyendiri” dan “hidup di dunianya sendiri”. Namun, deskripsi tersebut tidak berlaku untuk seluruh anak dengan gangguan autis. Banyak anak yang tampak aktif dalam bersosialisasi dalam situasi tertentu dan dengan orang yang mereka pula kenal, salah mendapatkan diagnosis karena kurangnya pemahaman terhadap autis. Kesulitan bersosialisasi pada anak autis lebih dikarenakan kurangnya “pemahaman sosial” dan bukan “ketertarikan sosial”. Beberapa anak bisa tertarik untuk berinteraksi dengan oranglain, terutama pada permainan kejarkejaran, atau permaianan lain yang menggunakan kontak sosial yang intens, namun pada mereka tidak mengetahui bagaimana cara melakukan permaianan tersebut dengan benar. Sulitnya anak berinteraksi dengan lingkungan berakar dari kurangnya empati sosial, dengan sulit untuk memahami apa yang di pikirkan dan dirasakan oleh orang lain. Seorang anak normalnya mampu mengikuti pola pemikiran pada orang lain dan mampu membaca mikik wajah orang lain sehingga mereka bisa paham yang di pikirkan dan tau apa yang akan terjadi. Misalnya ;Ada seorang anak diajak oleh ibunya untuk berbelanja di swalayan, setelah sampa di sana dia melihat ada sebuah balon milik anak lain, kemudian dia ingin mengambilnya lalu sang ibu memegang tangan anaknya seraya mengerutkan dahinya, dan si anak dapat memahami bahwa ibunya tidak memperbolehkannya melakukan itu dan dia dapat memprediksi apa yang akan terjadi jika ia tetap melakukan hal tersebut. anak ini dapat memahami pesan ibunya meskipun tidak tersampaikan lewat kata dan ia dapat berempati pada apa yang dipikirkan sang ibu, serta memprediksi apa yang di lakukan sang ibu. Salah satu pertanda kemampuan berempati anak adalah ketika seorang anak yang baru belajar membawa sesuatu bedna untuk di tunjukkan pada orang lain karena ia merasa orang lain akan tertarik olehkarenanya ia ingin membagi ketertarikan tersebut. 3. Kurangnya fleksibilitas dalam berpikir dan bertingkah laku

E. Strategi Pembelajaran Anak Autis Dalam menangani permasalahan anak autisme maka perlu diterapkan teknik dan pendekatan yang sesuai. Teknik-teknik bimbingan menurut Mortensen dan Schmuller(1984)ialah mencakup teknik observasi, pengetesan, studi kasus, wawancara, catatan kumulatif, otobiografi, pertemuan dengan orang tua, sosiometri, widiawisata, diskusi dan bermain peran, dan rekreasi. Pendekatan bimbingan konseling untuk anak autistik pada prinsipnya sama dengan pendekatan bimbingan konseling untuk anak normal pada umumnya. Hanya pendekatan bimbingan konseling tersebut disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan anak autistik, baik secara individual maupun kelompok. Beberapa diantaranya adalah pendekatan behavior (perilaku) dan pendekatan realitas. 1. Teknik dan pendekatan bimbingan konseling Dalam usaha untuk memahami masalah yang dialami oleh anak autistik dan membantu meringankan dan mengatasi masalah anak autistik, maka perlu diterapkan teknik dan pendekatan bimbingan dan konseling yang

sesuai.

Teknik-teknik

bimbingan

menurut

Mortensen

dan

Schmuller(1984)ialah mencakup teknik observasi, pengetesan, studi kasus, wawancara, catatan kumulatif, otobiografi, pertemuan dengan orang tua, sosiometri, widiawisata, diskusi dan bermain peran, dan rekreasi. Pendekatan bimbingan konseling untuk anak autistik pada prinsipnya sama dengan pendekatan bimbingan konseling untuk anak normal pada umumnya. Hanya pendekatan bimbingan konseling tersebut disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan anak autistik, baik secara individual maupun kelompok. Beberapa diantaranya adalah pendekatan behavior (perilaku) dan pendekatan realitas.

2. Peran Orang tua, Guru, dan Masyarakat a. Peran Orang Tua Menurut Puspita (2001) bahwa peranan orang tua anak autistik dalam

membantu

anak

untuk

mencapai

perkembangan

dan

pertumbuhan optimal sangat menentukkan. Tindakan awal yang perlu

dilakukan oleh para orang tua anak autistik ialah orang tua perlu teliti dalam mengamati berbagai gejala yang nampak pada diri anak yang autistik. Ketelitian orang dalam mengamati berbagai gejala tersebut akan menjadi bahan acuan bagi orang tua dalam mengambil keputusan yang tepat dalam memberikan penanganan secara dini kepada anak autistik. Namun, pada umumnya para orang tua berlindung dibalik harapan kosong dengan beranggapan bahwa “anak saya tergolong autisme ringan”, padahal autisme ringan, sedang, berat akan cenderung menjadikkan anak tidak dapat “mandiri” bilamana tidak di tangani secara dini. Tindakan lain yang perlu diperhatikan oleh para orang tua anak autistik adalah memberikan penanganan kepada anaknya berdasarkan masalah dan gejala perilaku yang nampak pada diri anak autistik. Masalah dan gejala perilaku yang ditunjukan oleh sesama anak yang autistik adalah tidak sama. Karena itu, penanganan yang diberikan kepada setiap anak juga tidak sama. Penanganan yang diberikan orang tua kepada anaknya yang autistik sebaiknya bersifat terpadu dan menyeluruh yang mencangkup aspek fisik dan psikis atau jasmani dan rohani. Pemberian pendidikan dan latihan secara intensif tanpa di barengi dengan upaya memperbaiki keseimbangan metabolisme atau perbaikan kondisi fisik pada diri anak yang autistik, maka akan memberikan hasil yang kurang optimal. Sebaliknya, jika para orang tua hanya menggantungkan harapan pada obat-obatan atau kontrol makanan tanpa ada usaha pemberian pendidikan dan latihan yang intensif, kontinyu, dan konsisten kepada anak yang autistik, tentu saja hasilnya juga kurang optimal. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan perlu dilakukan oleh para orang tua dalam menetapkan tatalaksana yang tepat bagi srtiap anak, yaitu orang tua harus mengenali kelebihan dan kekurangan anak, lengkap dengan ciri autisnya untuk mengetahui kebutuhan anak, mengenali kemungkinan penanganan yang dapat diberikan kepada anak, menetapkan beberapa jenis penanganan sesuai kebutuhan,

melakukan pemantauan secara terus menerus terhadap perkembangan anak, dan secara berkala kembali kepada langkah pertama, yaitu mengetahui kelebihan dan kekurangan pada diri anak yang autistik sesuai dengan proses perkembangan yang terjadi pada diri anak autistik. (puspita, 2001). Para orang tua tidak boleh lupa bahwa meskipun anaknya autistik, namun anaknya yang autistik tersebut terus mengalami perubahan atau perkembangan. Karena itu, para orangtua anak autistik harus juga selalu berkembang dengan cara para orang tua harus selalu berusaha dan belajar terus menerus untuk mempelajari berbagai hal yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan anak yang autistik. Greenspan (1998) mengemukakan bahwa peran orang tua anak autistik perlu meluangkan waktu sedikitnya 6-8 kali selama 20-30 menit secara terus menerus bersama anak dalam bentuk aneka kegiatan yang dilakukan anak bersama di lantai. Tujuan utama pendekatan ini adalah untuk menumbuhkan perhatian dan kedekatan anak kepada orang tua, memancing komunikasi dua arah antara anak dengan orang tua, mendorong ekspresi dan penggunaan perasaan dan pendapat, dan menumbuhkan kemampuan berpikir logis pada diri anak. Dalam memberikan penanganan kepada anak autis dirumah, beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para orang tua anak autistik ialah orang tua harus dapat mengenali keadaan anak apa adanya. Para orang tua perlu ingat bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang terjadi pada anak usia dibawah tiga tahun. Perwujudan gangguan perkembangan ini mencangkup tiga aspek utama, yaitu gangguan komunikasi, gangguan perilaku, dan gangguan interaksi (puspita, 2001). Setelah para orang tua mengenali keadaan anaknya apa adanya dan mengetahui ciri autisme yang dimiliki anak serta gejala autisme yang muncul pada setiap anak yang bersifat sangat individual dan unik, maka langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh para orang tua anak autistik adalah melakukan pendampingan yang intensif.

Pendampingan yang dimaksud adalah memastikan adanya interaksi aktif antara anak dengan orang tua atau pengasuhnya yang ada disekitar nya. Tujuan kegiatan pendampingan yang intensif ini ialah untuk membina kontak batin secara terus menerus dengan anak dan untuk meningkatkan pemahaman anak yang umumnya cenderung terbatas. Proses pendampingan dilaksanakan sejak anak autistik mulai membuka mata sampai saatnya anak autistik tersebut tertidur kembali di malam hari. Saat proses pendampingan terjadi anak ditemani untuk memberikan informasi dan pengalaman dalam berbagai bentuk kepada anak. Yang perlu diingat oleh para orang tua adalah jangan membiarkan anak sendirian tanpa melakukan sesuatu. Para orang tua harus selalu berusaha meningkatkan pemahaman anaknya dalam berbagai bidang, misalnya dalm bidang kemampuan berpikir dan kemandirian mengurus diri sendiri agar kemampuan anak autistik pada bidang tersebut mendekati kemampuan yang dimiliki oleh anak lain yang seusia dengan mereka. Peningkatan pemahaman anak dalam bidang kemampuan berpikir dan kemandirian mengurus diri sendiri tersebut dapat dilakukan oleh para orang tua dengan cara memberikan pengalaman sebanyak mungkin kepada anak yang disertai dengan pengarahan. Orang tua harus mengikuti anaknya kemana ia pergi, memeberi tahu terhadap apa yang dipegang dan dilihat anaknya, dan menjelaskan beberapa kejadian yang dialami anaknya, serta orang tua perlu memberi makna pada kehidupan anaknya (puspita 2001). Penanganan anak auitistik seharusnya tidak tertuju kepada keinginan agar anak mampu berbicra, tetapi memahami apapun yang dikatakan oleh orang lain. Perkenalkan kepada anak berbagai kegiatan untuk mengembangkan minat anak auitstik dalam dunia disekitarnya. Selain meningkatkan pemahaman anak autis, upaya selanjutnya adalah sedapat mungkin mengurangi atau menghilangkan ciri negatif yang ada pada anak. Misalnya anak autis yang cenderung membenturkan

kepala untuk mencari perhatian, peganglah kepala anak sambil diusapusap. Dengan cara seperti ini anak merasa diperhatikan. Para orang tua perlu menanamkan pemahaman kepada anak bhawa dalam kehidupan didunia ini ada aturan-aturan yang perlu ditaati. Aturan itu ada disekolah, dirumah, dan dalam kehidupan masyarakat. Misalnya mengajarkan anak untuk taat terhadap aturan waktu salat, maka orang tua perlu memberikan contoh keteladanan berupa salat lima waktu sesuai dengan waktu salat. Dalam proses pewarisan keteladanan tersebut, anak autistik sebagai sudah diikutkan dalam shalat berjamaah dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya pada setiap waktu shalat tiba. Pewarisan keteladanan seperti ini, juga dapat di lakukan pada bidang-bidang kehidupan yang lain, seperti pembiasaan cara berperilaku santun dan sopan kepada orang tua dan ke[ada orang yang lebih tua, anggota keluarga lainnya dalam satu rumah, kepada teman, dan orang lain disekitar rumah, dan lingkungan dimasyarakat. Para orang tua juga perlu mengenali pola perilaku yang ditampilkan oleh anak autistik, karena pola perilaku trsebut sering merupakan perwujudan dari kebutuhan fisik anak autistik akan sesuatu. Misalnya anak autistik senang melompat di tempat tidur dan kegiatan ini bisa dilakukan berjam-jam lamanya, maka tnidakan yang perlu dilakukan oleh para orang tua adalah memberikan fasilitas yang dapt mencegah anak mengalami kecelakaan. Biarkan anak melompat sesuka hatinya, selama tidak membahayakan bagi dirinya dan merusak barang miliknya dan barang-barang yang ada disekitar tempat tidur itu. Jika para orang tua anak yang autistik itu berhasrat mengajarkan konsep-konsep baru, misalnya konsep tentang warna, angka, bentuk, dan sebagainya, maka pastikan bahwa pada saat tersebut hanya ada satu aspek dari konsep baru tersebut yang ditargetkan dicapai oleh anak. Gunakan alat bantu yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pemahaman anak. Jika orang tua mengajarkan anak tentang benda-benda yang berbentuk balok, maka ambil ambil balok

yang berasal dari kayu (aslinya) lalu terangkan kepada anak tentang balok tersebut. Sesudah itu, anak autistik disuruh mengambil gambar balok tersebut dengan balok kayu asli untuk mengetahui apakah anak sudah memehami tentang konsep bentuk balok. Dalam melayani kebutuhan anak autistik anak autistik oloeh pihak orang tua, keluarga, guru, terapis, pembantu di rumah tangga, dan pihak lain yang menaruh minat dan peduli terhadap anak autistik, di butuhkan kesabaran, ketekunan, keikhlasan, dan sikap mau menerima keberadaan anak autistik apa adanya. Selain itu, dibutuhkan kerja sama yang sinergik kesemua pihak tersebut untuk menghindari rasa bosan dalam melayani kebutuhan anak autistik, seperti yang dikemukakan oleh lovaas, 1996 bahwa orang tua yang paling hangat dan penuh kasih sayang terhadap anaknya yang autistik dapat mengalami hilang akal dan bahkan berubah menjadi maniak (gila) yang selalu berteriak-teriak jika tertekan menghadapi anaknya. Jika para orang tua, guru, terapis, anggota keluarga lainya, dan pihak terkait lainnya melatih kemampuan motorik kasar dan halus anak autistik, maka latihan koordinasi visual motorik, keseimbangan, ketelitian, dan latihan konsentrasi sangat perlu diberikan kepada anak autistik. Dalam pemberian latihan tersebut, yang perlu diperhatikan ialah kesesuaian program dengan karakteristik, kemampuan, dan kondisi perkembangan anak autistik (puspita, 2001). Selain usaha tersebut diatas yang dapt dilakukan oleh para orang tua anak auitistik, orang tua juga perlu menerima bimbingan keluarga melalui kegiatan “home training”. Pelatihan yang diterima oleh para orang tua dirumah (home training) dapt berupa: para ahli yang terdiri dari dokter, psikolog, psikiater, dan pedagog menerangkan tentang apa, bagaimana, dan di apakan anak autisme itu; para guru dan pelatih memberikan latihan-latihan sederhana untuk dipraktekkan dirumah khusus nya untuk memberi stimulasi kepada anak nya dalam bidang latihan panca indera; orang perlu mendapatkan dan mempelajari isi video home training dari lembaga yang menangani anak autis.

Tujuan pemberian latihan kepada orang tua adalah agar orang tua dapt mempelajari dan mempraktekkan isi video home itu dirumah. Latihan-latihan tersebut dapat berupa latihan kontak mata dengan orang lain, latihan makan sendiri dengan nasi tidak berantakan, latihan konsentrasi terhadap permainan, latihan berpakaian, latihan sosialisasi dalm kelompok bermain, dan sebagainya. Usaha lain yang dapat dilakukan oleh para orang tua anak autis ialah membawa anaknya ke pusat-pusat terapi dan mengikuti programnya. Di pusat-pusat terpai tersebut dilakukan latihan-latihan perkembangan anak yang mengarah kepada domain kognitif, afektif, dan psikomotor (saragi, 2002). Hanafi (2002) juga mengemukakan bahwa ada bebrapa hal yang perlu dilakukan oleh para orang tua anak yang autistik, yaitu bersikap realistis

menerima

anaknya

dengan

segala

kelebihan

dan

kekurangannya, tidk hanya memindahkan beban dan tanggung jawab pendidikan kepada lembaga pendidikan autisme, tetapi lebih bersikap proaktif terlibat dalm proses pendidikan dan pemandirian anak autistik, misalnya mempelajari metode penanganan autistik yang tepat dan sesuai karakter putra nya, ikut aktif dalam penyusunan program pendidikan anaknya, melanjutkan dan menyelaraskan kegiatan dirumah dengan program disekolah. Selain itu, para orang tua secara bersama-sama dengan lembaga penyelengara pendidikan untuk anak autisme mempersiapkan dan mengupayakan kemandirian anak dan orang tua perlu memupuk kerja sama dan menanamkan pengertian kepada semua anggota keluarga lainnya di dalam satu rumah tangga untuk terlibat aktif dalam usaha memandirikan anaknya yang autistik.

b. Peran Guru Guru sebagai pengajar dan pendidik di sekolah memiliki peranan yang ganda. Yaitu membantu orang tua anak autistik disekolah dan membantu terapis atau pembimbing dan pelatih dalam program penata laksanaan gangguan autisme. Widyawati (2002) mengemukakan

bahwa tujuan terapi pada gangguan autistik adalah untuk mengurangi masalah perilaku, meningkatkan kemampuan dan perkembangan belajar anak autistik, terutama dalam hal penguasaan bahsa, dan membantu anak autistik agr mampu bersosialisasi dalm beradaptasi dilingkungan sosialnya. Tujuan tersebut diatas dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi yang menyeluruh dan bersifat individual, dimana pendidikan khusus dan terapi wicara meupakan kompenen yang penting. Namun yang tidak boleh dilakukan oleh pihak guru khususnya dan pihak lain yang terkait ialah bhwa masing-masing individu anak yang autistik adalah unik, sehingga jangan beranggapan bahwa satu metode berhasil untuk satu anak dan metode tersebut berhasil pula untuk anak autistik yang lain. Jadi suatu metode yang duterapkan disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan dari masing-masing anak yang autistik. Guru perlu memperhatikan kelemahan dan kekuatan anak sebagai basis dalam menyusun dan menerapkan pendidikan untuk anak autistik. Guru perlu memberikan pelatihan yang terstruktur yang memperkecil kesempatan anak untuk melepaskan diri dari temantemannya dan guru segera bertindak bila anak melakukan aktivitas sendiri. Anak perlu di iukt sertakan dalam proses penyusunan program pelatihan struktur ini dengan tujuan agar anak dapat mengatur sendiri pikiran dan tindakannya agar anak dapat bekerja atas dasar kemampuan sendiri (mandiri). Dalam

mebelajarkan

tetang

bahasa,

sebaiknya

materinya

membicarakan tentang hal-hal yang ada di dalam kehidupan seharihari anak. Dengan materi tersebut, anak lebih mudah mengembangkan kemampuannya dalam berkomunikasi. Pada bebrapa anak dapat dilatih bahasa isyarat dan keterampilan sosial yang ada sangkut pautnya dengan kehidupan sehari hari. Untuk anak autistik yang berusia remaja dan dewasa muda. Program pendidikan dan latihan yang perlu diberikan oleh guru

kerjasama dengan pihak yang terkait (orang tua, terapis, dan tenaga medis, ahli terapi wicara, psikolog, dan lainnya) ialah masalah yang berkenaan dengan kekurangan dalam interaksi sosial, hubungan timbal balik, memahami aturan-aturan sosial, memusatkan perhatian bila anak berada dalam suatu kelompok, dan kemampuan mengerjakan cara-cara yang di ajarkan oleh pembimbingnya (widyawati, 2002). Dalam menangani anak autistik yang agresif, peranan yang perlu dilakukan oleh guru adalah mengajari berkomunikasi bukan kata-kata dan tingkatan keterampilan sosial anak melalui peragaan. Guru perlu juga konsultasikan anak ke ahli endokrinologi untuk mengatasi agresivitas seksual anak dan konsultasi neurologi untuk mengatasi adanya serangan kejang lobus temporalis dan sindrom hipo talamik. Guru harus menciptakan lingjungan sekolah yang aman, teratur, dan responsif terhadap anak autistik. Guru harus berusaha untuk membangkitkan rasa percaya diri pada anak dan membantu orang tua untuk mengerti dan mempraktekkan teknik-teknik perilaku yang di ajarkan bersama-sama dengan anak autistik agar meningkatkan persepsi orang tua, sehingga para orang tua dapat membantu dengan efektif dan mengintrol perilaku anak mereka. Selain itu, guru perlu juga mengembangkan berbagai keterampilan sebagai pengganti agresivitas, seperti keterampilan sosial, keterampilan berkomunikasi, kerjasama,

menggunakan

waktu

senggang,

dan

keterampilan

berekreasi (widyawati, 2002). Ada beberapa teknik yang dapat digunakan oleh guru disekolah dan para orang tua dirumah untuk mencegah timbulnya perilaku agresivitas pada diri anak. Teknik-teknik tersebut, yaitu dengan : -

Membina hubungan yang kuat dengan anak, memastikan anak memiliki rutinitas yang teratur(terutama dirumah), meninjau kembali bermacam tuntunan terhadap anak autistis, mengatur perubahan rutinitas(sebelum/sesudah hari libur), menjelaskan dan menyiapkan anak terhadap perubahan, mengurangi suara dan keributan disekitar anak, membuat rencana untuk “hari-hari buruk”

dengan memilih suatu tempat yang tenang agar anak autistis dapat lebih tenang, pergunakan relaksasi dan kontrol diri sebagai cara untuk memberi lebih banyak keterampilan pada anak, pertemuan rutin dengan anggota tim terapis/pembimbing/pendidik/pelatih agar mereka menyadari anggota tim menyadari tanda-tanda agresivitas yang muncul pada anak autistis, dan supervisi dari ahli ilmu jiwa atau psikolog yang terlatih dalam perilaku kognitif anak autistik (widyawati, 2003). -

Guru perlu juga mengetahui gaya belajar anak autistik. Berupa: Rote Learner, yaitu anak cenderung mengafalkan informasi apa adanya tanpa memahami arti simbol yang dihapalkan itu; Gestalt Learner, yaitu anak dapat mengahafalkan kalimat-kalimat secara utuh tanpa mengerti arti kata perkata yang terdapat pada kalimat itu dan anak cenderung belajar menggunakan gaya gestalt, yaitu melihat sesuatu secara keseluruhan; Visual Learner, yaitu anak senang melihat buku, gambar-gambar dan tv dan mudah memahami sesuatu yang dilihat daripada yang mereka dengar; Hands on Learner, yaitu anak senang mencoba-coba dan mendapatkan pengetahuan dari pengalamannya mencoba-coba ini; dan Auditory Learner, yaitu anak autistik senang bicara dan lebih mudah memahami terhadap yang mereka dengar dari pada terhadap apa yang mereka lihat. Dengan mengetahui gaya belajar dari

setiap

anak

autistik,

maka

guru

diharapkan

dapat

menyesuaikan proses pendidikan, bimbingan, dan latihannya terhadap gaya belajar anak autistik tersebut. -

Guru perlu juga mengetahui masalah belajar yang dialami anak autistik. Ada empat masalah belajar yang mempengaruhi proses berpikir yang mempengaruhi proses belajar anak autistik disekolah menurut paull dan jordan (1999), yaitu: masalah persepsi, msalah kesadaran akan pengalaman, masalah daya ingat, dan masalah emosi. Anak autistik bermasalah persepsi karena tidak dapat mempersepsi stimulus dari lingkungan seperti dilingkungan anak

normal. Anak autistik bermasalah dalam hal kesadaran terhadap pengalaman karena anak autistik sulit memahami bahwa sesuatu itu telah dialaminya, anak autistik bermasalah dalam hal daya ingat karena anak autistik daya ingatnya lemah, sehingga anak autistik seulit mengaitkan ingatan dengan pengalaman mereka sebagai pribadi dan anak autistik bermasalah emosi karena emosi anak autistik tidak stabil dan cenderung subjektif. Puspita (2001) menyatakan peran dan tugas guru pendamping anak autistik sangat besar. Guru pendamping anak autistik memiliki peran ganda, yaitu membantu anak menguasai tugas akademis dan membantu anak berkembang sesuai tahapan perkembangan yang seharusnya. Greenspan (1998) mengemukakan bahwa tugas guru pendamping secara umum adalah: membantu anak mempersiapkan diri menghadapi tugas berikutnya, membantu anak mengerti bagaimana bekerja dikelas, tidak sekedar duduk dibelakang anak, dan membantu terlaksananya tugas anak tetapi menggunakan tugas sekolah sebagai kesempatan interaksi sehingga anak belajar dua keterampilan pada saat yang sama, dan menjembatani terjadinya interaksi antara yang satu dengan anak yang lain sehingga anak dapat memahami tentang bagaimana bergaul, berbagi, bergiliran, dan sebagainya. Untuk potensinya

dapat secara

membantu maksimal,

anak

autistik

ada

beberapa

mengaktualisasikan hal

yang

perlu

diprtimbangkan oleh guru, beberapa hal tersebut ialah berupa: guru perlu memahami bagaimana anak autis melihat dunia, guru perlu memanfaatkan gaya belajar anak, guru perlu membuat anak sadar akan makna setiap informasi, guru perlu mengaitkan informasi yang diterima anak didalam kelas dengan kehidupannya sehari-hari, dan guru perlu memulai bimbingannya dengan memulai dari minat anak. Selain itu, guru perlu pula memperhatikan perbedaaan individu, jangan membiarkan anak asik sendiri tetapi guru perlu mengupayakan adanya interaksi anak dengan orang lain, jangan terlalu mengarahkan anak, hindari gaya bertanya yang kaku, biarkan anak melakukan

berbagai hal secara mandiri, dan jangan pernah asumsi pada guru bahwa anak memahami perkataan anda.

c. Peran Masyarakat Keterlibatan masyarakat dalam usaha membantu anak autistik dalam berbagai hal, khususnya dalam masalah pemberian pendidikan, pelatihan, dan bimbingan dibidang pendidikan, sosial, karier, pribadi, dan keterampilan sensorik dan motorik sangat besar peranannya. Hanafi(2002) mengemukakan bahwa anak autistik yang menunjukan perbaikan gejala yang menggembirakan, memerlukan dukungan, bantuan dan kesempatan serta toleransi dari lingkungan diluar keluarga dan sekolah khusus atau klinik untuk anak autistik. Untuk mengembangkan potensi anak autistik sebagai makhluk sosial, maka masyarakat pendidikan dan masyarakat diluar sekolah sangan dibutuhkan kontribusinya. Kontribusi yang perlu dilakukan oleh masyarakat pendidikan ialah: memberikan kesempatan kepada anak autistik untuk bersosialisai atau diintegrasikan keseolah umum sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Selain itu, masyarakat juga perlu memberikan informasi secara jujur dan berimbang atau proporsional tentang dan hasil dan segala sesuatu yang berkenaan dengan penanganan pendidikan autisme, dan membantu usaha sosialisasi tentang autisme dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya bagi masyarakat luas melalui media cetak dan elektronik. Sedangkan kontribusi yang diharapkan dari masyarakat luas ialah berupa: membantu menciptakan situasi lingkungan yang kondusif atau mendukung bagi anak autistik. Selain itu, para orang tua “anak yang normal” diharapkan dapat memahami dan menerima kebutuhan pendidikan anak autistik untuk diintegrasikan kedalam lingkungan normal, dan masyarakat luas baik sebagai individu maupun sebagai pemilik fasilitas umum, bersedia memberikan kesempatan kepada anak autistik untuk menggunakan fasilitas umum yang dimilikinya sebagai

sarana belajar dan interaksi sosial bagi anak yang autistik. Misalnya pemilik pusat perbelanjaan atau swalayan dapat memberikan kesempatan kedapa anak autistik untu belajar berbelanja, belajar antri, belajar membayar sendiri harga barang yang dibeli, dan bahkan jika memungkinkan untuk membuka kasier khusus untuk anak yang autistik (hanafi 2002).

DAFTAR PUSTAKA

APA. 2013. Diagnostic And StatisticalManual OfMental DisordersFifth Edition DSM-5.Washington DC: American Psychiatric Publishing

Hallahan, P Daniel. 2011. Handbook of Special Education. New York: Taylor&Francis.

Kirk, S., Gallagher, J. J., Coleman, M. R., & Anastasiow, N. (2009). Educating Exceptional Children. New York: Houghton Mifflin Hartcourt Publishing Company.

Mangunsong, F., (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jilid 1. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.

Desiningrum, Dinie Ratri. 2016. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakatarta: Psikosain.

Ika Miftachur Rachma. 2016. Peran Orang Tua Untuk Meningkatkan Komunikasi Anak Autis: Universitas Islam Negeri Malik Ibrahim.Malang

Rahayu, S. M. (2014). Deteksi dan Intervensi Dini Pada Anak Autis. Jurnal Pendidikan Anak , 420-428.

Winarto, F. G. (2013). Autisme dan Peran Pangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Related Documents

Autisme
June 2020 21
Autisme
June 2020 22
Autisme
April 2020 16
Autisme Fixxx.docx
December 2019 23
Autisme Pp
November 2019 19

More Documents from "Vega Novita Andriyani"