PRASEJARAH AUSTRONESIA DI INDONESIA Truman Simanjuntak Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Center for Prehistoric and Austronesian Studies Abstract Indonesia sangat penting dalam studi Austronesia global. Wilayahnya yang sangat luas di bagian tengah wilayah sebaran, penduduknya yang mencakup lebih dari 80 % dari keseluruhan penutur Austronesia, kekayaan tinggalan arkeologisnya, serta keberadaan kantong-kantong non-Austronesia, merupakan potensi-potensi yang memberikan pemahaman tentang kehadiran, persebaran, dan perkembangannya di masa lampau hingga sekarang. Kehadiran penutur Austronesia di Indonesia merupakan bagian dari Pan-Austronesia yang meliputi kawasan antara Madagaskar di ujung barat dan Pulau Paskah, Pasifik di ujung timur. Diperkirakan ras yang tergolong Mongoloid Selatan ini muncul di Indonesia sejak sekitar 4000 tahun yang lalu dan berkembang hingga sekarang. Pertanggalan radiometri dari berbagai situs neolitik menunjukkan Sulawesi sebagai hunian tertua di Indonesia dan semakin muda ke arah timur (Maluku dan Pasifik), selatan (Nusa Tenggara), dan barat (Jawa, Sumatra). Dari mana dan bagaimana kemunculan penutur Austronesia di Indonesia merupakan isu yang paling hangat diperdebatkan. Berbagai wilayah (Asia Tenggara Daratan, Taiwan, Asia Tenggara Kepulauan, dll) dikemukakan sebagai asal-usul, namun belum satu pun yang benar-benar diterima umum. Patut dicatat bahwa “Out of Taiwan” yang dikemukakan Peter Bellwood atas data arkeologi dan linguistik sejauh ini merupakan teori yang paling menonjol di antara teori-teori lainnya. Data arkeologi menggambarkan kehidupan Austronesia di Indonesia diawali dengan penghunian gua, sebagai proses adaptasi dengan populasi asli yang lebih dulu menghuni kepulauan. Dari gua mereka kemudian berpindah hunian ke bentang alam terbuka. Kehidupan menetap di perkampungan memacu perubahan-perubahan. Waktu yang tidak lagi terbuang dalam pengembaraan membuka peluang mengembangkan pertanian, peternakan, perbengkelan alat dengan teknik upam, pembuatan tembikar dan kain dari kulit kayu, dll. Patut dicatat pula, bahwa pelayaran merupakan teknologi unggulan yang memungkinkan mereka menyebar dan menghuni kawasan kepulauan yang sangat luas hingga sekarang. Kemampuan mengadaptasikan diri pada lingkungan yang berbeda-beda dan berinteraksi dengan pengaruh luar lambat laun menciptakan keragaman yang tinggi pada tampilan fisik penutur dan budaya Austronesia. Kondisi-kondisi inilah yang menjadikan studi Austronesia memiliki dimensi yang sangat luas. Selain mencakup dimensi masa lampau-sekarang- masa datang, studi ini juga mencakup dimensi bentuk berupa kekayaan dan keragaman budaya, serta dimensi ruang yang mencakup berbagai budaya bangsa di seluruh kawasan persebaran.
-----
What is Austronesia? Austronesia (austràlis=south; nêsos=island), sebuah terminologi yang enak didengar, diperkenalkan pertama kali oleh W. Schmidt (1899) untuk menyebut rumpun bahasa yang dituturkan oleh penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara dan Pasifik. Menurut ahli bahasa ini, di Asia daratan pernah berkembang bahasa yang disebut bahasa Austrik. Bahasa ini kemudian terpecah menjadi dua: yang satu merupakan bahasa Austroasiatik, dituturkan, antara lain oleh penduduk Mon-Khmer di wilayah Indocina, dan Munda di India Selatan. Bahasa lainnya merupakan bahasa Austronesia yang tersebar dan dituturkan oleh penduduk yang mendiami Indonesia dan Pasifik. Sebelumnya rumpun bahasa ini dikenal dengan sebutan “Malayo-Polinesia”, istilah yang diperkenalkan oleh Hendrik Kern, juga seorang linguist, sepuluh tahun sebelumnya. Schmidt - seperti halnya Kern - mengatakan nenek moyang penutur bahasa Austronesia kemungkinan sekali berasal dari Vietnam atau Annam. Walaupun istilah “Austronesia” pada hakekatnya mengacu pada bahasa, namun studi di bidang ini selalu mengkait erat dengan manusia penutur dan budayanya. Dalam konteks ini Austronesia merupakan sebuah fenomena besar dan unik dalam sejarah umat manusia. Dari dimensi ruang, penutur bahasa ini tersebar di kawasan yang sangat luas, mencapai sekitar 15.000 kilometer panjang atau mencakup lebih dari setengah keliling dunia. Pada umumnya kawasan sebaran merupakan wilayah kepulauan yang terbentang di antara Madagascar di ujung barat dan kepulauah Paskah di ujung timur Pasifik, serta antara Taiwan-Mikronesia di bagian utara dan Selandia Baru di selatan. Inilah bahasa yang memiliki kawasan sebaran terluas sebelum kolonisasi barat di berbagai bagian dunia. Dari dimensi bentuk, rumpun bahasa ini memiliki variasi yang sangat mencengangkan, meliputi 1,000 to 1,200 bahasa, tergantung kriteria yang dugunakan dakam membedakan bahasa dan dialek (Tanudirjo and Simanjuntak 2004; Bellwood et al. 1995). Jumlah penuturnya pun sangat bervariasi dari yang hanya dituturkan ratusan ribu orang, seperti di beberapa tempat di Pacific (Tryon 1995), hingga yang dituturkan puluhan juta populasi seperti di Malaysia dan Filipina, bahkan hingga ratusan juta seperti di Indonesia. Dari sudut karakter fisik, penutur bahasa ini pada hakekatnya termasuk ras Mongoloid Selatan (Bellwood et al. 1995), namun dalam perkembangannya menampakkan tampilan fisik yang sangat beragam. Dalam lingkup kawasan saja kita dapat melihat secara kasat mata perbedaan yang kontras pada warna kulit, rambut, dan perawakan di antara penutur Austronesia yang mendiami Asia Tenggara dan penduduk yang mendiami Pasifik. Variasi tampilan fisik juga dapat diamati pada para penutur dalam lingkup tertentu, seperti dalam satuan-satuan geografis tertentu, bahkan dalam satuan etnisitas. Keagaman itu dapat dipengaruhi oleh interaksi biologis yang bervariasi di antara komunitas atau dengan pihak-
2
pihak luar yang mengakibatkan terjadinya percampuran gena. Tentu faktor keanekaragaman lingkungan dan keletakan geografis dimana mereka berdiam turut mempengaruhi tampilan fisik. Kemampuan untuk mengadaptasikan diri pada lingkungan dan kebutuhan yang berbeda dari penutur bahasa ini telah pula menyebabkan keragaman subsistensi dalam mempertahankan hidup. Ada yang mengandalkan hidup dari berburu dan meramu seperti komunitas Funan di Kalimantan, menangkap ikan seperti orang laut di kepulauan Riau, bertani di berbagai wilayah, hingga perdagangan modern di wilayah pantai dan perkotaan sekarang. Karakter unik lainnya dari rumpun bahasa ini adalah persebarannya yang relatif cepat. Persebaran yang berlangsung dalam kurun 5000 – 1000 tahun yang lalu dalam kawasan yang sangat luas tadi merupakan sebuah raihan besar dalam sejarah sebaran manusia di dunia. Penguasaan teknologi maritim (kemampuan membuat perahu atau alat berlayar membuat mereka melakukan pelayaran mengharungi lautan luas), pengetahuan astronomi dan arah angin, kemampuan mengorganisasikan pelayaran jauh, dll. Antara lain merupakan faktorfaktor yang mendukung. Keberadaan koridor pelayaran (voyaging corridor) antara IndonesiaFilipina dan Melanesia (Irwin 1992) yang terlindung oleh pulau dari angin badai memudahkan pelayaran jarak jauh. Diperkirakan komunitas ini langsung berlayar ke pulaupulau yang jauh dengan cara melewati pulau-pulau yang dekat (leap-frogging process) (Allen and White 1989). Dengan membatasi wilayah pantai sebagai tempat persinggahan tanpa memasuki pedalaman mereka dapat bergerak lebih cepat dan mencapai wilayah yang jauh dengan cepat. Isu dan Kontroversi Studi Austronesia sudah dimulai pada abad ke-16 melalui rasa keheranan, ketika para pengembara barat mencatat kesamaan-kesamaan bahasa dan budaya di kawasan persebaran, khususnya di kepulauan Indonesia dan Pasifik (Tanudirjo & Simanjuntak 2004). Namun penelitian yang sungguh-sungguh dimulai sejak akhir abad ke-19 dan terus berlangsung hingga sekarang. Berbagai kemajuan telah dicapai, tetapi bersamaan dengan itu masih banyak permasalahan yang belum terpecahkan. Munculnya pandangan baru tidak serta merta menuntaskan permasalahan, tetapi justru membuka perspektif baru untuk penelitian yang lebih jauh. Isu yang paling kontroversial adalah mengenai asal-usul dan persebaran penutur Austronesia. Pendapat-pendapat terdahulu cenderung menunjuk kawasan India Belakang (Indo-China) sebagai asal usul (Heine Geldern 1945; Heekeren 1972). Adalah Hendrik Kern (1889), seorang ahli bahasa yang pertama-tama menyimpulkan bahwa leluhur penutur Austronesia berasal dari Asia, yakni Vietnam dan Annam. Studi yang dia dasarkan atas
3
kesamaan bahasa itu menambahkan bahasa-bahasa di kepulauan Nusantara dan Pasifik Barat berasal dari rumpun yang sama yang disebutnya bahasa Malayo-Polynesia. Di Indonesia Barat, bahasa-bahasa tersebut disebut “Malayo-Polynesia Barat”, sementara bahasa-bahasa yang dituturkan di Melanesia dan Polynesia disebut “Malayo-Polynesia Timur” (Anceaux 1965; Tanudirjo dan Simanjuntak 2004). Sepuluh tahun kemudian Walter Schmidt (1899), juga seorang linguist, menguatkan pendapat Kern yang mengatakan bahasa Austronesia memang berasal dari Asia Daratan. Menurutnya, semula di daratan Asia terdapat bahasa purba yang disebut Austrik. Bahasa ini lalu pecah menjadi bahasa Austroasiatik dan Austronesia. Rumpun Austroasiatik banyak dituturkan di daratan Asia (a.l. Mon-Khmer di Indocina dan Munda di India Selatan), sedangkan rumpun Austronesia menyebar ke kepulauan Indonesia dan Pasifik (Heine-Geldern 1945) Pendapat-pendapat yang lebih kemudian, lebih bervariasi dan berbeda dengan pendapat terdahulu. Teori Out of Taiwan yang dikemukakan oleh Peter Bellwood (2000) berdasarkan data arkeologi dan linguistik mengatakan Taiwan sebagai asal-usul penutur Austronesia. Nenek moyang penutur ini adalah komunitas neolitik yang hidup di Cina selatan dan YangZi, di antara 7,000-6,000 BP. Di sekitar 6,000—5,500 BP mereka bermigrasi ke Taiwan membawa biji-bijian dan budaya tanaman umbi-umbian, dan sedikit pengetahuantentang pelayaran. Di sekitar 5,000 BP, sebagian dari mereka menyebar ke selatan, ke Filipina utara membawa budaya pertanian, teknologi pelayaran yang lebih maju, dan teknologi tembikar polos/ slip merah. Kemudian di sekitar 5,000 - 4,000 BP, mereka bergerak ke selatan hingga mencapai Sulawesi dan Kalimantan. Dari kedua pulau ini ada yang kemudian menyebar ke Jawa dan Semenanjung Malaysia, sementara lainnya bermigrasi ke Maluku hingga kemudian menuju Pasifik (Bellwood 1995). Teori yang lain lebih memberikan peran yang besar kepada masyarakat di Paparan Sahul sebagai peletak dasar peradaban dunia. Stephen Oppenheimer (1998) yang mendasarkan teorinya atas data genetika, mitos, dan oseanografi di akhir jaman es menyatakan munculnya berbagai peradaban dunia didorong oleh para migran dari Paparan Sunda. Berawal ketika Paparan Sunda mulai digenangi oleh air bah sekitar 8.000 tahun lalu, sebagian para petani yang tinggal di sini mulai berpindah dan tersebar luas ke berbagai penjuru dunia. Di berbagai tempat, seperti Mesopotamia, India, China, dan Pasifik, mereka menjadi pendatang yang mendorong perkembangan budaya setempat hingga memunculkan peradaban di tempat-tempat tersebut. Hipotesis ini didukung juga oleh data genetika yang membuktikan bahwa penduduk kawasan Asia Tenggara adalah masyarakat pribumi (indigenous) yang sudah ada di kawasan itu paling tidak sejak akhir Plestosen dan tidak banyak mendapat masukan unsur genetika baru dari Daratan Asia. Jadi, menurut gagasan Oppenheimer, besar kemungkinan penduduk pribumi Taiwan justru datang dari Asia
4
Tenggara kepulauan, yang pada kurun waktu antara 30.000 – 17.000 tahun yang lalu menjadi pusat pangkal diaspora ke berbagai penjuru dunia. Masih banyak teori lain dikemukakan para ahli dengan argumentasi masing-masing. Tercatat misalnya W.G. Solheim II (1984-1985) yang mengatakan wilayah Indonesia Timurlaut-Flipina Selatan sebagai asal-usul penutur Austronesia. Menurutnya budaya Nusantao dan bahasa Austronesia merupakan perkembangan setempat dari masyarakat Paparan Sunda dari akhir masa glasial hingga 5000 SM. Penguasaan teknologi pelayaran seiring kenaikan muka laut di sekitar 5000 SM mendorong mereka menjelajahi kawasan Asia Tenggara-Pasifik, bahkan hingga Korea dan Jepang. Tidak jauh berbeda, W. Meacham (1984-1985), arkeolog yang berbasis di Hongkong mengatakan kawasan segitiga Taiwan, Sumatra-Jawa, dan Timor-Rote sebagai asal-usul penutur Austronesia. Nudaya tersebut merupakan hasil evolusi setempat dan interaksi regional sejak awal Holosen hingga sekitar 6000 SM akibat kenaikan air laut. Dari berbagai teori yang telah dikemukakan sejauh ini belum satu pun yang betul-betul diyakini kebenarannya. Hal ini menunjukkan studi Austronesia menuntut upaya pencarían yang berkelanjutan untuk mendapatkan data baru. Memang secara jujur dapat dikemukakan di sini bahwa sejauh ini data arkeologi tidak bertentangan dengan teori Out of Taiwan. Namun harus diketahui, bahwa persebaran dan interaksi manusia serta budayanya mungkin jauh lebih kompleks dari yang dibayangkan di masa lalu. Migrasi atau kontak budaya bisa terjadi dari berbagai arah dan bukan tidak mungkin pula adanya arus balik. Jika seandainya pun Out of Taiwan benar-benar terjadi, ada kemungkinan arus migrasi lain, misalnya dari Asia Tenggara Daratan ke Indonesia yang diikuti oleh arus balik pada masa sesudahnya. Kompleksitas inilah salah satu yang mendorong perlunya studi lintas negara di bidang Austronesia untuk dapat mensintesakan seluruh data yang diperoleh secara terbatas.
Studi Austronesia di Indonesia Suatu kenyataan bahwa Indonesia memegang peran kunci dalam studi Austronesia. Dari sudut geografi, Indonesia menduduki posisi yang strategis mengingat wilyahnya yang sangat luas dan terletak di bagian tengah kawasan diaspora Austronesia. Lebih dari 80% penutur Austronesia berdiam di wilayah ini dengan berbagai ragam budaya. Keberadaan kantongkantong penutur non-Austronesian di Maluku, Sunda Kecil dan Papua sangat penting untuk mengetahui proses interaksi dengan kelompok Austronesia. Kondisi-kondisi ini menjadikan studi Austronesia sangat menjanjikan dan menantang. Namun berlawanan dengan potensi itu, cukup mengherankan bahwa studi Austronesia di Indonesia belum banyak berkembang. Walaupun penelitian telah berlangsung sejak lebih dari dua abad, ternyata masih banyak sisi gelap yang belum terungkap. Potret tentang asal-usul, persebaran dan proses yang
5
mengikutinya, cara adaptasi, manusia penuturnya, budaya dan penyebab keragamannya, serta interaksi dengan komunitas lain cenderung dilihat dari perspektif disiplin tertentu, sehingga masih menimbulkan perdebatan tak berkesudahan. Berbagai kontroversi yang terjadi mendorong perlunya merubah pendekatan untuk studi Austronesia. Pendekatan yang paling tepat dan mutlak dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif adalah kajian lintas ilmu (cross-discipline approach). Selain arkeologi yang akhir-akhir ini sangat aktif dalam penelitian, linguistik, antropologi, paleoekologi, paleoantropologi, paleontologi, dan genetika berperan penting dalam memberi kontribusi bagi studi Austronesia (Simanjuntak 2004). Studi Austronesia di Indonesia mulai menggeliat ketika di sekitar tahun 2000-an sekelompok intelektual Indonesia mulai tertarik untuk mendalami bidang studi Austronesia, dalam upaya memahami lebih jauh tentang asal-usul dan identitas budaya manusia Indonesia. Tercatat di antaranya adalah Prof. Dr. Sangkot Marzuki, Kepala Lembaga Eijkman dengan kelompok penelitinya, yang tertarik mengembangkan analisis Mt DNA dalam melacak pertalian genealogi dan asal-usul manusia Indonesia. Salah satu hasil penelitiannya disampaikan pada orasi ilmiah memperingati hari ulang tahun LIPI yang ke-34 pada tahun 2001 dengan judul “Indonesia dan Revolusi Genom: Menelusuri Sejarah Manusia Indonesia dan Masa Depan Bangsa”. Semenjak itu kelompok peneliti Eijkman semakin giat mengembangkan analisis di laboratoriumnya dan mempresentasikan hasil-hasilnya di berbagai forum ilmiah (Marzuki 2002; Wuryantar 2001; Sudoyo et al. 2004; Setiadi et al. 2002; Tanudirjo 2005; 2006). Perkembangan penting lainnya dalam perkembangan studi asal-usul manusia Indonesia adalah Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNas VIII) yang diselenggarakan oleh LIPI pada tahun 2003 di Jakarta, dimana “Asal-usul penutur Austronesia” menjadi salah satu dari (hanya) 7 topik utama yang didiskusikan dalam kongres. Sebanyak 7 paper yang berlatar belakang disiplin arkeologi, linguistik, anthropologi, genetika, paleoanthropologi dan paleogeografi dipresentasikan di kala itu (Masinambow et al. 2004). Momentum ini mengawali rangkaian kegiatan berikutnya, dalam bentuk simposium internasional, workshop dan diskusi-diskusi ilmiah lainnya, peluncuran dan penerbitan buku, hingga rangkaian proses pembentukan lembaga yang secara khusus mengembangkan studi Austronesia. Lembaga tersebut sekarang bernama Center for Prehistoric and Austronesian Studies (CPAS). State of the Art Penelitian Menarik dicatat bahwa di lingkungan arkeologi, studi Austronesia di Indonesia selama ini tidak secara eksklusif menggunakan Austronesia. Para arkeolog yang meneliti bidang ini
6
umumnya tidak menyebut sebagai budaya prasejarah Austronesia, tetapi budaya Neolitik yang tanpa mengkaitkannya pada manusia pendukungnya yang diyakini para ahli sebagai budaya penutur Austronesia. Ketidaktahuan atau keraguan? Boleh jadi salah satu di antaranya. Kondisi ini menyebabkan nama Austronesia seolah-olah menghilang begitu lama dalam wacana keilmuan, lebih-lebih ketika ahli linguistik dan disiplin lain juga jarang mengekspose nama itu dalam penelitian dan publikasinya. Selama ini nama Austronesia lebih sering kita dengan lewat publikasi-publikasi peneliti asing (lihat Peter Bellwood dan yang lain misalnya). Kapan kemunculan penutur Austronesia di Indonesia merupakan isu yang aktual dipertanyakan. Hasil-hasil penelitian arkeologi menunjukkan kehadiran penutur Austronesia dan budayanya di Indonesia diperkirakan sejak sekitar 4000 tahun yang lalu. Pertanggalan tertua dan yang lebih meyakinkan berasal dari Sulawesi, antara lain situs Minanga Sipakko di Sulawesi Barat dari 3446 ± 51 BP (cal. 3834-3572 BP) (Wk-14651) (Simanjuntak 2008), Leang Tuwo Mane’e di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, sekitar 3600 BP (Tanudirjo 2001), serta Maros di Sulawesi Selatan, sekitar 3600 BP (Bulbeck 1996/1997). Pulau yang menempati bagian tengah kepulauan nusantara ini agaknya memegang peran penting dalam persebaran penutur dan budaya Austronesia, seperti terlihat dari data pertanggalan situs-situs Neolitik yang semakin muda ke arah selatan (kepulauan Sunda Kecil), barat (Jawa, Sumatra), dan timur (Maluku hingga Pasifik). Memang ada beberapa pertanggalan yang lebih tua, seperti Gua Braholo di Jawa Timur dari 4120±100 (Simanjuntak 2002); Pasir Angin di Jawa Barat dari 4370±1190 BP (Bronson and Glover 1984), namun belum bisa jadi patokan, mengingat hanya satu pertanggalan – dan tampaknya terlalu tua - sehingga masih dibutuhkan pertanggalan lain untuk lebih meyakinkan. Salah satu keunggulan penutur Austronesia adalah penguasaan teknologi pelayaran yang memungkinkan mereka dapat menyebar ke kawasan yang luas dalam waktu yang relatif singkat. Keterbatasan data karena bahan yang mudah hancur menyulitkan kita mengetahui jenis-jenis perahu yang mereka gunakan, namun jika melihat data etnografis, kemungkinan telah mengenal berbagai jenis transportasi air, mulai dari jenis rakit yang dibuat dari kayu atau bamboo, sampan atau perahu kecil, hingga perahu bercadik (Tanudirjo 2005). Hal yang penting diketahui bahwa sebelum kehadiran penutur Austronesia, Indonesia sudah dihuni ras Australo-Melanesia yang hidup dari berburu dan meramu. Mereka adalah pendukung budaya Preneolitik yang berkembang sejak awal Holosen. Mereka umumnya menghuni gua-gua di berbagai pelosok Nusantara dan jika dirunut ke masa yang lebih tua, nenek moyang mereka merupakan manusia anatomi modern yang bermigrasi pertama kali ke Indonesia di sekitar paruh kedua Plestosen Atas (Simanjuntak 2005). Kedatangan penutur Austronesia telah menimbulkan interaksi dan adaptasi di antara kedua populasi, bahkan memungkinkan perkawinan campur (Bellwood 1998). Penemuan tinggalan Neolitik (beliung 7
persegi, tembikar, dll) yang sering berasosiasi dengan budaya Pre-Neolithic (alat serpih, sisa fauna buruan, dll) di lapisan paling atas hunian gua-gua membuktikan adanya percampuran budaya. Tampaknya pada masa okupasi awal, penutur Austronesia melakukan adaptasi dengan populasi asli dan lingkungannya dengan menghuni gua-gua sambil menyerap budaya lokal. Namun lambat laun budaya Neolitik menjadi semakin dominan dan mereka kemudian meninggalkan gua-gua, berpindah ke tempat-tempat terbuka untuk mengembangkan domestikasi dan perbengkelan alat dan perhiasan dari batu (Simanjuntak 2002). Berdasarkan data etnografis, di bentang alam terbuka mereka diperkirakan telah tinggal di rumah-rumah bertiang sederhana yang terbuat kayu dan atap dari dedaunan (Soejono 1984). Kehidupan menetap ini semakin mengakselerasi perubahan-perubahan di berbagai bidang kehidupan. Berbeda dari kehidupan sebelumnya yang banyak menghabiskan waktu dalam pengembaraan, berdiam menetap dalam suatu lingkungan membuka peluang interaksi yang intensif di lingkungan komunitasnya, memungkinkan tumbuhnya hubungan dan kegiatan-kegiatan sosial hingga menciptakan pranata-pranata di dalam komunitas. Pembagian kerja pun sudah tercipta di dalam keluarga di mana kepala keluarga dan laki-laki lebih bertanggung jawab pada pekerjaan berat sedangkan wanita pada pekerjaan yang lebih ringan. Di bidang subsistensi, penutur Austronesia sudah mulai mengenal dan mempraktekkan domestikasi hewan dan tanaman. Hewan-hewan piaraan antara lain ayam, babi, anjing. Hewan-hewan ini disamping untuk konsumsi nutrisi, kemungkinan juga memiliki fungsifungsi lain. Kerbau dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dan anjing untuk menjaga rumah dan tanaman dari gangguan-gangguan. Tentu hewan tersebut juga memungkinkan digunakan untuk fungsi-fungsi ritual, seperti untuk bekal kubur bagi si mati, dan lain-lain. Domestikasi tanaman sudah mengarah pada pertanian basah disamping perladangan yang merupakan tradisi sebelumnya. Selain umbi-umbian seperti keladi dan talas, diduga mereka telah membudidayakan padi, jawawut, dll. Jenis-jenis tanaman apa yang sudah didomestikasikan sulit diketahui, mengingat keterbatasan data karena kondisinya yang mudah hancur. Data palinologi dari Sumatra dan Jawa memperlihatkan adanya pembukaan hutan di sekitar 2000 BC (Bellwood 2000), namun belum diketahui apakah mengkait dengan kegiatan pertanian. Indikasi pertanian diperlihatkan oleh penemuan biji padi pada tembikar di Gua Sireh, Sarawak dan domestikasi anjing dengan pertanggalan kalibrasi C-14 di sekitar 4835-4096 BP (Datan 1993; Doherty et al 2000), tetapi pertanggalan ini dipandang terlalu tua. Data yang lebih muda ditemukan dari Ulu Leang, Sulawesi Selatan berupa sisa biji padi dari sekitar 1500 BP (Glover 1985). Menarik dikemukakan penemuan Jejak padi (?) pada tembikar di Minanga Sipakko, West Sulawesi. Jika ini benar, maka penemuan ini mengindikasikan keberadaan padi di situs ini di sekitar 3500 BP (Simanjuntak 2008). Penemuan yang lebih muda berupa kulit biji padi di Sembiran, 8
Bali dari 2660 60 BP atau cal. 910 (818) 790 BC. Data yang diperkirakan lebih muda (setelah 1000 SM) memperlihatkan chesnut (Inocarpus), dan jewawut (foxtail) sudah didomestikasikan di Timor Leste (Glover 1977). Domestikasi hewan termasuk budaya khas penutur Austronesia. Diperkirakan sudah dipraktekkan sejalan dengan kegiatan pertanian. Temuan sisa-sisa hewan memperlihatkan selain masih melakukan kegiatan perburuan, mereka sudah mulai memelihara ternak, seperti babi, ayam, anjing, dan mungkin lebih kemudian kerba. Bukti-bukti sejauh ini masih sangat terbatas, namun memberikan gambaran tentang adanya kegiatan domestikasi. Salah satu penemuan penting berasal dari gua-gua di Timor Leste berupa tulang babi Sus scrofa dan Sus celebencis bersama pecahan-pecahan tembikar yang dipertanggal dari dari 25002000 SM (Glover 1977). Penemuan lainnya berupa tulang-tulang anjing, kerbau, kambing dari sebuah gua di wilayah ini dengan perkiraan pertanggalan sesudah 1000 SM. Babi dari jenis Sus scrofa dan Sus celebencis juga agaknya telah diternakkan di Maluku di sekitar 3300 tahun lalu berikut penemuan sisanya di Gua Uattamdi bersama tembikar slip merah (Bellwood 2000). Kehidupan menetap juga – terutama ketika tanaman baru ditanam dan menunggu panenakan menciptakan waktu yang banyak untuk memikirkan diri sendiri, lingkungan dan alam semesta, hingga mendorong semakin berkembangnya konsepsi kepercayaan yang kemudian memunculkan cerita-cerita atau mitos-mitos yang ditularkan turun temurun. Mitos atau cerrita merupakan awal tumbuhnya ilmu pengetahuan sebagai jawaban atas hal-hal yang sifatnya metafisis dan tidak dapat dijelaskan secara konkrit. Singkatnya kehidupan menetap mendasari terjadinya perubahan di berbagai aspek kehidupan dan perubahan itu membawa efek ganda hingga menjadikan ritme perkembangan budaya yang cepat, dari yang sebelumnya bersifat evolusi ke arah revolusi dan akan semakin cepat ke masa-masa berikutnya. Di bidang teknologi, penutur Austronesia menghasilkan produk-produk baru, seperti peralatan dan perhiasan litik (beliung, kapak, gelang, dll) yang dikerjakan dengan teknik upam hingga menciptakan permukaan yang rata, halus, dan mengkilap. Beliung dan kapak merupakan peralatan yang paling umum dari penutur Austronesia awal, tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh wilayah sebaran. Alat-alat ini kemungkinan digunakan untuk pembukaan lahan untuk pertanian dio samping keperluan yang lain. Beliung persegi sederhana dengan bentuk persegi dan penampang segi-empat merupakan jenis yang paling umum dan ditemukan diseluruh wilayah persebaran. Menarik dikemukakan bahwa di Indonesia bagian barat, termasuk Malaysia, berkembang beliung khas yang dikenal sebagai belincung. Alat ini dicirikan oleh penampang segitiga dengan tajaman menyerupai paruh burung. Di kawasan ini juga ditemukan jenis pahat, beliung persegi yang bentuknya sempit memanjang. 9
Di Indonesia timur kapak lonjong cukup menonjol. Kapak yang bentuknya lonjong dengan tajaman bifasial ini tidak ditemukan di Indonesia Barat. Keberadaannya di wilayah Filipina dan Pasifik mengindikasikan adanya jalur persebaran yang tidak melewati Indonesia Barat. Dalam kaitan Sulawesi memperlihatkan himpunan yang istimewa, karena semua jenis ada di sini. Selain belincung dan pahat, di pulau ini juga ditemukan kapak lonjong, bahkan berbagai jenis kapak dan beliung lain (kapak bahu, kapak biola, dan beliung tangga) yang umum ditemukan di kawasan utara (Filipina, Taiwan, Jepang). Kesamaan-kesamaan tersebut menguatkan adanya jalur migrasi utara selatan di kala itu. Inovasi teknologi yang sangat menonjol yang dibawa penutur Austronesia adalah tembikar yang sisa-sisanya selalu ditemukan di situs-situs Neolitik dan sesudahnya. Salah satu jenis tembikar tertua adalah yang berslip merah (red slipped pottery) dalam bentuk periuk, cawan, dll. Ditemukan dari periode ca.2500-1000 BC di Taiwan bagian timur, Filipina, Kalimantan Utara, Sulawesi, Talaud, Halmahera, dan Pasifik (Spriggs 1989). Menarik dikemukakan bahwa tembikar berhias pola tali (cord-marked) dan benda-benda khas Neolitik lainnya (beliung, lancipan, alat pemukul kulit kayu, bandul jala, dll) ditemukan dalam budaya T’a-P’en-K’eng di Taiwan dari 4000-2500 BC, Gua Rabel, Cagayan Valley (4800 BP); Central Philippines (c.4000 BP); Gua Sireh (4300 BP); dan Bukit Tengkorak (c.3000 BP). Di Indonesia sisa tembikar ditemukan di Liang Kawung, Kalimantan Barat (3030±180 BP); Gunung Sewu (4120±100 BP), Uattamdi, Kayoa island: tembikar, anjing, babi (3300 BP (Bellwood 1998); Pulau Ay: tembikar slip merah (3150 BP (Lape 2000), dan Lie Siri, Timor Leste: tembikar (3500 BP) (Glover 1986). Kendeng Lembu: red slippied dan beliung (Heekeren 1972). Tembikar hias tali lebih menonjol di situs-situs Neolitik di Jawa dan Sumatra, termasuk Malaysia. Penemuan di Situs Buni, pantai utara Jawa Barat memberikan pertanggalan sekitar 4370 ±1190 BP (Sutayasa 1979) dan Gua Silabe dari 2730±290 BP (Simanjuntak & Forstier 2004). Signifikasi Studi Austronesia Studi Austronesia mengandung dimensi yang jauh lebih luas dan menarik dibanding yang selama ini dibayangkan. Masalah Austronesia meliputi spektrum kepentingan nasional dan internasional. Dalam lingkup nasional, Austronesia identik dengan ethno-genesis bangsa Indonesia. Dari mana asal-usul bangsa Indonesia sekarang, bagaimana pertumbuhan dan persebarannya hingga pembentukan suku-suku seperti yang ada sekarang merupakan pertanyaan-pertanyaan yang menarik untuk dijawab. Pemahaman tentang Austronesia berarti pemahaman tentang keragaman suku-suku sekarang yang pada hakekatnya berasal dari satu rumpun dan yang kemudian berkembang dalam lingkup-lingkup geografis tertentu
10
membentuk karakter bahasa, dialek, dan budaya khas yang dipengaruhi oleh lingkungan, inovasi, dan pengaruh luar. Dalam lingkup internasional, permasalahan Austronesia merupakan permasalahan tentang asal-usul dan persebaran masyarakat dan bangsa yang mendiami kawasan luas, yang memanjang mencapai lebih dari setengah bola bumi. Permasalahan Austronesia dengan demikian menyangkut kepentingan bangsa-bangsa di kawasan yang sangat luas itu dalam mencari akar sejarah dan asal-usulnya.Dalam konteks kepentingan nasional dan internasional itu, Indonesia sebagai negara dan bangsa yang berada di zona sentral kawasan persebaran memegang peranan penting dalam studi Austronesia, perlu menjadi pelopor dan bahkan leading sector dalam penelusuran sejarah asal-usul dan diaspora penutur yang telah melahirkan keragaman dan suku-suku bangsa dalam kawasan yang sangat luas itu. Hasil-hasil penelitian sejauh ini menunjukkan kemunculan penutur Austronesia di kepulauan Nusantara menandai munculnya perubahan-perubahan di berbagai bidang. Kemampuan mengolah sumberdaya lingkungan setempat dan interaksi dengan pengaruh luar menjadi pemacu perubahan. Proses-proses adaptasi dan interaksi yang berbeda-beda di berbagai daerah atau lingkungan lambat laun menciptakan kekahasan dan karifan lokal baik di bidang budaya maupun biologis. Inilah yang melatarbelakangi sifat pluralism dan multikulturalisme atau kebhinneka-tunggal-ikaan penutur Austronesia sekarang. Atas dasar ini maka penutur Austronesia yang muncul di jaman prasejarah merupakan ethnogenesis Bangsa Indonesia sekarang. Kehidupan penutur Austronesia dan perkembangan budayanya tidak berhenti di masa prasejarah, tetapi berlanjut ke masa protosejarah dan sejarah. Semakin ke masa yang lebih kemudian ada kecenderungan pengaruh luar semakin meningkat seiring kemajuan di bidang komunikasi, informasi, dan transportasi. Hal itu yang terjadi pada masa sesudahnya di sekitar abad-abad menjelang Masehi. seiring dengan perkembangan budaya regional-global dengan pelayaran dan perdaganangan global yang semakin marak. Masyarakat Austronesia yang semakin kompleks pun siap merespons pengaruh luar. Diduga para pedagang Eropa, Indoia, dan Cina telah memasuki Nusantara dan berinteraksi dengan penduduk Nusantara. Mereka membawa barang-barang eksotis, seperti keramik, permata, dll untuk dipertukarkan dengan komoditi Indonesia, seperti rempah-rempah, kayu cendana, dan hasil bumi lainnya. Interaksi dengan Asia Tenggara Daratan tidask ketinggalan, bahkan perkembangan teknologi metalurgi, khususnya perunggu di kala itu di Vietnam telah membanjiri pasar Nusantara. Singkatnya penutur Austronesia telah terlibat dengan interaksi global. Faktor inilah sekaligus melatarbelakangi pentingnya studi Austronesia. Pemahaman atas penuturnya, bahasa serta budayanya adalah jawaban atas pertanyaan “siapa dari mana dan mau kemana kita”. Pemahaman Austronesia berarti pemahaman atas kejatidirian, penumbuhan kebanggaan, dan sumber inspirasi dalam mengikat dan mengkokohkan 11
persaudaraan tidak hanya antar-sesama manusia Indonesia, tetapi juga antar-sesama penutur Austronesia di kawasan yang meliputi lebih dari setengah bola dunia. Dengan kata lain berbicara Austronesia berarti berbicara tidak hanya dalam lingkup lokal atau nasional, tetapi juga lingkup regional dan bahkan global. Atas dasar itu maka studi Austronesia memiliki posisi yang sangat strategis ke depan. Bidang yang seolah-olah dilupakan ini merupakan sebuah asset yang tak ternilai harganya bagi sejarah kemanusiaan dan peradaban. Bangsa Indonesia yang menempati wilayah strategis dengan diversitas biologi dan budayanya sudah selayaknya memiliki pusat kajian spesial di bidang ini. Negara ini sudah selayaknya menjadi pemuka dalam studi Austronesia mengingat keletakan dan potensinya menyimpan data pemecahan masalah-masalah yang belum terungkap akan keindonesiaan kita di masa silam. Studi Austronesia akan membuka jalan bagi pemahaman akar sejarah dan budaya dari berbagai negara. Melalui studi ini kita diingatkan akan semangat kebersamaan dan persaudaraan lokal-regional-global.
12
Bibliografi Allen, J. and P. White. 1989. The lapita homeland: some new data and an interpretation. Journal of the Polynesian Society 98: 129-146 Anceaux, J.C. 1965. Linguistic theories about the Austronesian homeland. Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde van het Koninklijke Instituut, 121, 1965, hal. 417-432 Bellwood, P, J. Fox dan D. Tryon. 1995. The Austronesians in History : Common Origins and Diverse Transformations. Dalam Peter Bellwood, James J. Fox and Darrell Tryon (eds). The Austronesians. Canberra: ANU Printing Service, The Austronesians, historical and compartive perspectives. Canberra: The Australian National University, 1995. hal. 3 – 13. Bellwood, Peter. Early agriculture and the dispersal of the Southern Mongolids. Dalam T. Akazawa and E. Szathmary (eds), Prehistoric Mongolid dispersal, Oxford, Oxford University Press, 1996, hal. 287-302. Bellwood, Peter. 1998. The archaeology of Papua and Austronesian prehistory in the northern Moluccas, Eastern Indonesia. In Blench, Roger and Matthew Spriggs (eds.). Archaeology and Language II. Correlating archaeological and linguistic hypotheses. London: Routledge, hal. 128-140. Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, Edisi Revisi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Bulbeck, D. 1996/1997. The Bronze-Iron Age of South Sulawesi, Indonesia : mortuary traditions, metallurgy and trade. Dalam N. Barnard (ed.), Ancient Chinese and Southeast Asian Bronze Age culture, 1996/1997, hal. 1007-1076. Datan, I. 1993. Archaeological excavations at ua Sireh (Serian) and Lubang Angin (Gunung Mulu National Park), Sarawak, Malaysia. Sarawak Museum Journal. Special monograph no.6. Doherty, C., P. Beavitt, dan E. Kurui. 2000. Recent observations of rice temper from Niah and other sites in Sarawak. Bulletin of Indo-Pacific Prehistory Association no. 20, 2000, hal. 147-152. Glover, Ian. Prehistoric plant remains from Southeast Asia with special reference to rice. dalam M. Taddei (ed.), South Asian Archaeology, 1977. hal. 7-37.
13
Glover, I.C. 1985. Some problems relating to the domestication of rice in Asia. In V.N. Misra and P. Bellwood (eds.). Recent Advances in Indo-Pacific Prehistory. Leiden: E.J. Bill, hal. 265-274 Glover, I.C. 1986. Archaeology in East Timor, 1996-1997. Terra Australis 11. Department of Prehistory, Research School of Pacific Studies, The Australian National University. Heekeren, H.R, van. 1972. The Stone Age of Indonesia. Verhandelingen van het koninklijk, instituut voor Tall-, Land-en Volkenkunde 61, The Hague: Martinus Nijhoof. Heine-Geldern, R. von. 1945. Prehistoric Research in the Netherlands Indies. Dalam Peter Honig and Frans Verdoorn (eds.), Science and Scientist in the Netherlands Indies. New York: Board for Netherlands Indies, Surinam, and Curacao. 1945, hal. 129-162. Irwin G. 1992. The prehistoric exploration and colonizationof the Pacific. Cambridge: Cambridge University Press. Lape, Peter. 2000. Contact and conflict in the Banda Islands, Indonesia, 11 th – 17th Century. Disertasi PhD pada Department of Anthropology, Brown University, Rhodes Island. Marzuki, S. 2002. Menyelusuri asal-usul populasi manusia Indonesia dari jejak genetika molekul. Abstrak makalah disajikan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IX di Kediri, Juli 2002. Masinambow, E.K.M., Daud A. Tanudirjo, Harry Truman Simanjuntak, T. Jacob, Inyo Yos Fernandez, Harry Widianto, Bagyo Prasetyo. 2004. Polemik tentang masyarakat Austronesia. Fakta atau Fiksi? Jakarta: LIPI Meacham, W. 1984-1985. On the improbability of Austronesian origins in South China, Asian Perspectives 26, hal. 89-106 Oppenheimer, Stephen. 1998. Eden in the East: Drowned Continent of Southeast Asia. London: Weidenfeld and Nicolson. Setiadi, Wuryantari, Herawati Sudoyo, H.Truman Simanjuntak, dan Sangkot Marzuki. 2002. Mtdna analysis of 2000-years-old human remains from two archaeological sites in the Indonesian archipelago. Kertas kerja pada Human genome meeting. Bangkok Simanjuntak, Truman (ed.). 2002. Gunung Sewu in Prehistoric Times. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Simanjuntak, Truman & Hubert Forestier. 2004. Research progress on the Neolithique in Indonesia. Special reference to the Pondok Silabe cave, South Sumatra. Southeast Asian Archaeology. Quezon city: University of the Philippines.
14
Simanjuntak, Truman. 2004. Diaspora Austronesia. Sebuah Pengantar. Dalam Polemik tentang masyarakat Austronesia. Fakta atau Fiksi? Jakarta: LIPI Simanjuntak, Truman (ed.). 2008. Austronesian in Sulawesi. Jakarta: Center for Prehistoric and Austronesian Studies. Soejono, R.P. (ed.). 1984. Sejarah Nasional Indonesia I, Jakarta: Balai Pustaka. Solheim, W.G. II. 1984-1985. “The Nusantao hypothesis”, Asian Perspective 26, 1984-1985, hal. 77-88 Solheim, WG. II. 1996. The Nusantao and north-south dispersal, Bulletin of Indo-Pacific Prehistory Association 15. hal. 101-110 Spriggs, Matthew. 1989. The dating of the island Southeast Asian Neolithic, Antiquity 63, 1989, hal. 587-613. Sudoyo, Herawati, Helena Suryadi, Wuryantari Setiadi, Iskandar A.Adnan, Erwin Sentausa, Irawan Jusuf, Iswari Setyaningsih, Truman Simanjunta, Bagyo Prasetyo, Retno Handini, dan Sangkot Marzuki. 2004. Studi genetika molekul populasi Austroneia, Polemik tentang masyarakat Austronesia. Fakta atau fiksi? Jakarta: LIPI. hal. 103119. Sutayasa. I Md. 1979. Prehistory in West java, Indonesia. The Artefact (outh Yarra, Victoria, Australia). IV, hal. 61-75. Tanudirjo, D.A. 2001. Islands in Between, Prehistory of the Northeastern Indonesian Archipelago. PhD thesis, Canberra : The Australian National University, 2001 Tanudirjo, Daud Aris. 2005. Budaya bahari Austronesia. Makalah pada Workshop Prasimposium Internasional tentang Austronesia. LIPI, 21 Juni 2005. Tanudirjo, Daud Aris dan Truman Simanjuntak. 2004. Indonesia di tengah debat asal-usul masyarakat Austronesia. Dalam Polemik tentang masyarakat Austronesia. Fakta atau fiksi? Jakarta: LIPI. 2004, hal. 11-32 Tanudirjo, Daud Aris. 2006. The dispersal of Austronesian-speaking-people and the ethnogenesis of Indonesian people. Dalam Truman Simanjuntak, Ingrid Pojoh, dan Muh. Hisyam (eds), The Disperal of the Austronesian and the Ethnogeneses of people in Indonesian archipelago. LIPI – ICPAS. Tryon, Darrel. 1995. Proto-Austronesian and the major Austronesian sub-groups. Dalam Peter Bellwood, James J. Fox and Darrell Tryon (eds.). The Austronesians. Canberra:
15
ANU Printing Service, The Austronesians, historical and compartive perspectives. Canberra: The Australian National University, 1995. hal. 17-38. Wuryantari. 2001. Haplotipe DNA Mitokondria manusia prasejarah Jawa dan Bali (Berumur sekitar 2000 tahun): Sejarah populasi dan kekerabatannya. Tesis magister UI.
609-ts
16