Aulia Innayahsari-skripsi Hal_isi.docx

  • Uploaded by: Aulia Innayahsari Datunsolang
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Aulia Innayahsari-skripsi Hal_isi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,674
  • Pages: 51
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sistem kekebalan tubuh sangat penting untuk bertahan hidup, karena melindungi tubuh dari patogen, virus, bakteri dan parasit yang menyebabkan penyakit (David et al 2013, h.3). Respon imun sangat tergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenali molekul asing (antigen) yang terdapat pada patogen potensial dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menghilangkan sumber antigen tertentu (Kresno 2010, h.5). Jika sistem imun tubuh menurun maka tubuh akan mudah terserang berbagai penyakit yang berbahaya. Dalam studi pada tahun 2015 didapatkan data bahwa insiden dan prevalensi penyakit autoimun telah meningkat selama 30 tahun terakhir. Frekuensi penyakit autoimun meningkat secara signifikan di bagian Barat dan Utara jika dibandingkan dengan bagian Timur dan Selatan (Aaron 2015, h.151). Upaya mempertahankan sistem imun agar tetap maksimal sangatlah penting

sehingga

mampu

menghadapi

serangan

zat

asing

seperti

mikroorganisme patogen. Salah satu cara mempertahankan sistem imun adalah dengan pemberian imunomodulator

(Kusmardi et al, 2007).

Imunomodulator merupakan senyawa yang mampu menormalkan kembali sistem kekebalan pada keadaan tertentu dimana tubuh tidak berhasil menormalkan sistem kekebalannya (Abbas, Litchman, dan Pillai, 2012).

1

Universitas Muslim Indonesia

2

Islam mengajarkan kesehatan bagi individu maupun masyarakat. Islam juga telah mengajarkan bahwa dalam mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit tertentu haruslah selalu mengingat Allah swt. karna Allah tidak akan menimpahkan suatu musibah melebihi kemampuan hambanya..

Allah swt.

berfirman dalam Qur’an Surah Yunus ayat 57 :

Terjemahnya : “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakitpenyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Yunus : 57)

Salah satu tumbuhan yang bermanfaat dalam penyembuhan penyakit adalah tanaman kulit pisang Raja Bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum). Tanaman pisang banyak berkembang di indonesia dan memiliki keragaman jenis dan bentuknya serta kandungan manfaat didalamnya seperti senyawasenyawa fenolik (Dita et al 2014, h.108). Flavonoid dan senyawa fenolik merupakan senyawa bioaktif yang menunjukkan berbagai aktivitas yang berguna, seperti antioksidan, antidermatosis, kemopreventif, antikanker, maupun antiviral (Sri et al 2007, h.83). Penelitian ini menggunakan sampel kulit pisang Raja Bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum) segar berwarna kuning

yang

memiliki

aktivitas

antioksidan

yang

tinggi

yang

bisa

Universitas Muslim Indonesia

3

dimanfaatkan sebagai immunomodulator. Pada penelitian oleh Eva (2012), pengujian aktivitas antioksidan ekstrak metanolik kulit pisang raja bulu yaitu 97,85%. Pada penelitian oleh Shian (2012) pelarut etanol 70% adalah pelarut yang paling baik, aman dan paling sering digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan untuk semua jenis pisang. Pada penelitian sebelumnya oleh Irda (2014) bahwa ekstrak etanol kulit pisang raja bulu memiliki nilai IC50 yaitu 0,03612 mg/ml. Adapun parameter pendukung pada penelitian ini adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat atau dikenal dengan Delayed Type Hypersensitivity yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpapar dengan antigen. Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian uji efek immunomodulator kulit pisang Raja Bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum) terhadap tikus (Rattus Norvegicus) jantan dengan parameter delayed type hypersensitivity (DTH). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah pada penelitian ini yaitu : 1. Apakah ekstrak etanol kulit pisang raja bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum) memiliki efek sebagai immunomodulator pada tikus (Rattus Norvegicus) jantan dengan parameter delayed type hypersensitivity? 2. Berapakah dosis ekstrak etanol kulit pisang raja bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum) yang efektif berkhasiat sebagai immunomodulator pada

Universitas Muslim Indonesia

4

tikus (Rattus Norvegicus) jantan dengan parameter delayed type hypersensitivity? C. Maksud Dan Tujuan Penelitian 1. Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk melakukan uji efek imunomodulator ekstrak etanol kulit pisang raja bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum) pada tikus (Rattus norvegicus) jantan dengan parameter delayed type hypersensitivity. 2. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk membuktikan aktivitas imunomodulator ekstrak etanol kulit pisang raja bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum) pada tikus (Rattus Norvegicus) jantan dengan parameter delayed type hypersensitivity. 3. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : a. Untuk menguji efek imunomodulator ekstrak etanol kulit pisang raja bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum)

pada tikus (Rattus

norvegicus) jantan dengan parameter delayed type hypersensitivity. b. Menentukan dosis efektif dari ekstrak etanol kulit pisang raja bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum) sebagai immunomodulator pada tikus (Rattus norvegicus) jantan dengan parameter delayed type hypersensitivity.

Universitas Muslim Indonesia

5

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian lanjutan tentang aktivitas immunomodulator pada tanaman kulit pisang raja bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum). 2. Manfaat Praktis a. Pengembangan limbah kulit pisang raja bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum) menjadi suatu sediaan herbal terstandar dengan efek imunomodulator. b. Menambah

inventaris

tanaman

obat

yang

berkhasiat

sebagai

immunomodulator bagi masyarakat.

Universitas Muslim Indonesia

6

E. Kerangka Pikir Sistem kekebalan tubuh menurun

Gangguan sistem imun

Immunomodulator

Kulit pisang

Dita (2014) senyawasenyawa fenolik dan flavonoid.  Uji efek imunomodulator ekstrak etanol kulit pisang raja bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum.) pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dengan parameter delayed type hypersensitivity (DTH)

Eva (2012) aktivitas antioksidan 97,85% dan Irda (2014) nilai IC50 0,03612 mg/ml

F. Hipotesis Ekstrak etanol kulit pisang raja bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum) memiliki efek sebagai immunomodulator pada tikus (Rattus Norvegicus) jantan.

Universitas Muslim Indonesia

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Sistem Pertahanan Tubuh Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel molekul-molekul dan bahan lainnya terhadap mikroba disebut respon imun (Baratawidjaja dan Rengganis 2013, h.29). Dua jenis sel darah putih yang memegang peran penting dalam sistem imunitas adalah makrofag dan limfosit. Respons imun terhadap suatu antigen pada awalnya dimulai dengan penyerapannya oleh makrofag, yang kemudian menyajikan antigen tersebut pada limfosit untuk dimusnahkan (Tjay, 2015). 1. Pembagian Sistem Imun a) Sistem Imun Nonspesifik Imunitas nonspesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh, selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkannya. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi, misalnya jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada banyak penyakit. Disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas terhadap bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak pathogen

7

Universitas Muslim Indonesia

8

potensial. Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung (Baratawidjaja dan Rengganis 2013, h.32). b) Sistem Imun Spesifik Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi selsel sistem imun tersebut. Benda asing yang sama, bila terpajan ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem itu disebut spesifik (Baratawidjaja dan Rengganis 2013, h.39) Imunitas Humoral Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limposit B atau sel B. Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel asal multipoten di sumsum tulang. Sel B yang dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi ialah pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralkan toksinnya (Baratawidjaja dan Rengganis 2013, h.40).

Universitas Muslim Indonesia

9

Imunitas Seluler Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik seluler. Limfosit T dibentuk di dalam sumsum tulang belakang tetapi poliferasi

dan

diferensiasinya

terjadi

di

dalam

kelenjar

timus

(Baratawidjaja dan Rengganis 2013, h.40). Peran sel T dapat dibagi menjadi dua fungsi utama: fungsi regulator dan fungsi efektor. Fungsi regulator terutama dilakukan oleh salah satu subset sel T, sel T penolong (juga dikenal sebagai sel CD4 karena petanda cluster of differentiation di permukaan sel diberi nomor 4). Sel-sel CD4 mengeluarkan molekul yang dikenal dengan nama sitokin (protein berberat molekul rendah yang disekresikan oleh sel-sel sistem imun) untuk melaksanakan fungsi regulatornya. Sitokin-sitokin dari sel CD4 mengendalikan proses-proses imun seperti pembentukan immunoglobulin oleh sel B, pengaktivan sel T lain, dan pengaktivan makrofag. Fungsi efektor dilakukan oleh sel T sitotoksik (dahulu dikenal sebagai sel T pembunuh tetapi jangan dikacaukan dengan sel NK; saat ini dikenal sebagai sel CD8 karena cluster of differentiation diberi nomor 8). Sel-sel CD8 mampu mematikan sel yang terinfeksi oleh virus, sel tumor, dan jaringan transplantasi dengan menyuntikkan zat kimia yang disebut perforin ke dalam sasaran “asing” (Sylvia dan Lorraine 2005, h.88).

Universitas Muslim Indonesia

10

2. Antigen Antigen merupakan suatu substansi yang berperan penting dalam sistem respon imun. Antigen yang seringkali juga disebut dengan imunogen dapat merangsang terbentuknya suatu antibody yang spesifik. Pada umumnya antigen terdiri dari protein dan polisakarida. Lipid dan asam nukleat juga dapat bersifat antigenik apabila terikat dengan protein dan polisakarida. Senyawa yang bersifat antigenik ini seringkali berasal dari komponen mikroorganisme misalnya dinding sel, selubung sel bakteri atau virus, flagel, fimbria, toksin bakteri dan mikroba yang bersifat sebagai antigen antara lain serbuk dari tumbuhan, zat putih telru, molekul sel darah merah, protein serum dan molekul yang terdapat pada permukaan organ atau jaringan yang akan ditransplantasi (Maksum 2015, hh.30-31). 3. Antibodi Antibodi merupakan suatu protein (imunoglobulin) yang dibuat oleh tubuh sebagai respon terhadap masuknya antigen, dapat mengenali dan mengikat antigen secara spesifik. Oleh sebab itu antibodi dapat membantu proses perusakan dan pemusnahan antigen. Antibodi bersifat sangat spesifik dalam mengenali determinan antigenik dari suatu antigen sehingga apabila suatu mikroorganisme mempunyai beberapa determinan antigenic maka tubuh akan memproduksi beberapa antibodi sesuai dengan jenis epitop yang dimiliki oleh setiap mikroorganisme (Maksum 2015, hh.32-33). Ikatan antibodi pada tempat antigen spesifik yang telah dikenal

dan

mengaktifkan

komplemen

melalui

jalur

klasik

dan

Universitas Muslim Indonesia

11

memfagositnya melalui reseptor Fc. Rute ini sampai pada reaksi akut inflamasi yang ditingkatkan oleh antibodi IgE yang peka terhadap sel mast dan komplemen, polimorf (neutrofil, esosinofil, dan basophil) dan sel mast (MC) memberikan pertahanan melawan organisme yang paling luar, sementara sel T, sitokin yang larut, sel dendritic (DC), makrofag, dan sel natular killer (NK) mengatasi infeksi intraseluler (Peter 2017, hh.67-68). 4. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi Respons imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi hipersensitivitas. Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya (Baratawidjaja dan Rengganis 2013, h.371). Berdasarkan mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, Gell & Coomb membagi reaksi hipersensitifitas menjadi 4 golongan yaitu (Maksum 2015, hh.49-54): a. Tipe I (reaksi anafilaktik) Reaksi hipersensitifitas tipe I atau reaksi anafilaktik terjadi dalam waktu cepat antara 2-30 menit setelah seseorang terpapar kembali dengan antigen yang sama untuk kedua kali atau yang berikutnya. Reaksi hipersensitifitas dapat terjadi bila jumlah antigen

Universitas Muslim Indonesia

12

yang masuk cukup banyak atau bila status imunologik seseorang baik selular maupun humoral meningkat. b. Tipe II (reaksi sitotoksik) Reaksi hipersensitifitas tipe II atau reaksi sitotoksik pada umumnya terjadi akibat adanya aktifasi dari sistem komplemen setelah mendapat rangsangan dari adanya kompleks antigen antibody. Kompleks antigen antibody pada permukaan sel sasaran akan dihancurkan karena adanya aktifasi komplemen juga oleh sel efektor lain misalnya sel makrofag, sel limfosit T-sitotoksik dan sel NK. Beberapa contoh hipersensitifitas tipe II adalah reaksi yang terjadi pada transfuse darah dimana sel-sel darah merah dirusak oleh antibodi, reaksi hemolitik pada bayi baru lahir akibat faktor rhesus, anemia hemolitik akibat obat, dan reaksi penolakan jaringan transplantasi. c. Tipe III (reaksi kompleks imun) Reaksi

hipersensitifitas

tipe

III

merupakan

reaksi

yang

melibatkan antibodi terhadap antigen yang larut dan bersirkulasi dalam serum. Hal ini berbeda dengan reaksi hipersensitivitas tipe II yang ditujukan kepada antigen yang berbeda pada sel atau permukaan sel. Pemaparan

antigen

dalam

jangka

panjang

dapat

merangsang

pembentukan antibodi terutama golongan IgG. d. Tipe IV (reaksi hipersensitifitas tipe lambat) Reaksi hipersensitifitas tipe IV atau hipersensitifitas tipe lambat merupakan reaksi yang melibatkan respon imun selular khususnya oleh

Universitas Muslim Indonesia

13

sel T. Reaksi ini berlangsung lambat, umumnya baru timbul lebih dari 12 jam setelah pemaparan dengan antigen. Hal ini disebabkan karena migrasi sel T dan makrofag ke tempat adanya antigen memerlukan waktu yang berkisar antara 12-24 jam. B. Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV (Baratawidjaja, 2013) Reaksi tipe IV merupakan hipersensitivitas granulomatosis. Biasanya terjadi terhadap bahan yang tidak dapat disingkirkan dari rongga tubuh seperti talcum dalam rongga peritoneum dan kolagen sapi dari bawah kulit. Ada beberapa fase pada respons Tipe IV yang dimulai dengan fase sensitasi yang membutuhkan 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Dalam fase itu, Th diaktifkan oleh APC melalui MHC-II. Reaksi khas DTH seperti respons imun lainnya mempunyai fase yang dapat dibedakan yaitu fase sensitasi dan fase efektor. Berbagai APC seperti sel Langerhans (SD di kulit) dan makrofag yang menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan ke sel T. Sel T yang diaktifkan pada umumnya adalah sel CD4+ terutama Th1, tetapi pada beberapa hal sel CD8 + dapat juga diaktifkan. Pajanan ulang dengan antigen menginduksi sel efektor. Pada fase efektor, sel Th1 melepas berbagai sitokin yang mengerahkan dan mengaktifkan makrofag dan sel inflamasi nonspesifik lain. Gejala biasanya baru Nampak 24 jam sesudah kontak kedua dengan antigen. Makrofag merupakan efektor utama respons DTH. Sitokin yang dilepas sel Th1 menginduksi monosit

Universitas Muslim Indonesia

14

menempel ke endotel vaskular, bermigrasi dari sirkulasi darah ke jaringan sekitar.

Gambar 1. Reaksi Delayed Type Hypersensitivity (DTH)

Gambar 2. Patogenesis Hipersensitivitas Tipe IV  Fase sensitisasi merupakan fase setelah kontak awal dengan antigen (misalnya, Peptida berasal dari bakteri intraselular), sel TH berkembang biak dan berdiferensiasi menjadi sel TH1.  Fase efektor merupakan fase setelah pembukaan berikutnya dari sensitisasi sel TH1 terhadap antigen, sel TH1 mengeluarkan berbagai sitokin dan kemokin. Faktor - faktor ini menarik dan mengaktifkan makrofag dan sel inflamasi nonspesifik lainnya. Makrofag yang teraktivasi lebih efektif dalam menghadirkan antigen, sehingga memperlama respon

Universitas Muslim Indonesia

15

DTH dan berfungsi sebagai sel efektor utama dalam reaksi ini. (Shen & Louie, 2005). C. Immunomodulator Immunomodulator adalah zat yang mampu berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh untuk mengatur menurunkan atau meningkatkan aspek spesifik dari respon tubuh (Stanilove et al., 2005; Utoh-Nedosa et al., 2009). Imunomodulator juga disebut Biological Response Modifiers, adalah zat-zat yang memengaruhi reaksi biologis tubuh terhadap zat-zat asing (Tjay 2015, h.794). Terdapat tiga jenis immunomodulator (Baratawidjaya 2013, hh.518528) : 1. Imunorestorasi Immunorestorasi ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun,

seperti

immunoglobulin

dalam

bentuk

ISG,

HSG,

plasma,

plasmaferesis, leukoferesis, transplantasi sumsum tulang, hati dan timus. 2. Imunostimulan Imunostimulan atau imunopotensiasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan imunostimulan yaitu bahan yang merangsang sistem imun. 3. Imunosupresan Imunosupresan merupakan suatu tindakan untuk menekan respons imun. Kegunaannya di klinik terutama pada transplantasi dalam usaha

Universitas Muslim Indonesia

16

mencegah reaksi penolakan dan berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan. Fungsi sistem imun dapat distimulasi (imunostimulator) maupun disupresi

(imunosupresiva).

Imunostimulator

secara

tidak

langsung

mereaktivasi sistem imun yang lemah dengan meningkatkan sistem imun tak spesifik. Imunosupresiva adalah zat-zat yang justru menekan aktivitas sistem imun melalui interaksi di berbagai titik dari sistem tersebut. Cara kerjanya dalam proses imun berupa penghambatan transkripsi dari sitokin, sehingga mata rantai penting dalam respons imun diperlemah (Tjay, 2015). Immunomodulator dapat berasal dari beberapa produk bakteri, limfokin, dan derifat tumbuhan. Tidak seperti vaksin, kebanyakan agen-agen imunomodulator tidak sebagai antigen nyata tetapi sebagai antigenomimetik atau disebut juga mitogen. Karena tindakannya sebagai antigen spesifik dan non-spesifik, imunomodulator tidak distimulasi dan ditangani oleh sel memori limfosit. Dengan demikian efek imunomodulator terhadap sistem kekebalan tubuh spesifik akan berkurang setelah jangka waktu yang singkat (Wagner, 1999). D. Sel Darah Merah Domba (SDMD) Eritrosit dalam bahasa yunani Eritro yang berarti darah dan Sit yang berarti sel (Prima, 2009). Fungsi utama sel darah merah adalah untuk mentranspor hemoglobin, yang selanjutnya membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan. Selain itu berfungsi mengkatalisis reaksi antara karbon dioksida

Universitas Muslim Indonesia

17

dengan air (Guyton, 1990). Pembentukan sel-sel darah merah pada hewan dewasa secara normal terjadi di dalam sumsum tulang (Prima, 2009). SDMD adalah antigen polivalen yang mempunyai lebih dari satu determinan (Alam, dkk. 2011). Butir darah merah pada domba adalah 8 -10 juta per mm3 darah hal itu menunjukan darah yang normal pada darah domba. Sel darah merah pada domba memilki diameter 4,8 µm untuk pengangkutan oksigen. Sel ini berbentuk cakram (disk) bikonkaf, dengan pinggiran sirkuler . Rata-rata lama hidup hidup sel darah merah dalam 100 hari (Prima, 2009). Menurut (Baratawidjaja, 2006) determinan antigen atau epitop merupakan bagian antigen yang dapat membuat kontak dengan reseptor antibodi, dan menginduksi pembentukan antibodi yang diikat dengan spesifik oleh reseptor antibodi. Antigen yang telah diinduksikan ke dalam tubuh hewan coba tikus akan dikenal oleh sistem imun spesifik dengan membentuk sel B memori. Antigen akan merangsang sel B untuk berubah menjadi sel plasma dan mensekresi antibodi spesifik (Hendarsula, 2011). E. Uraian Sampel Uji Uraian Pisang Raja Bulu (Musa Paradisiaca L. var sapientum) 1) Klasifikasi tanaman (Tjitrosoepomo, 2001) Kerajaan

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Kelas

: Monocotyledoneae

Ordo

: Zingiberales

Universitas Muslim Indonesia

18

Famili

: Musaceae

Genus

: Musa

Spesies

: Musa paradisiaca L. Var Sapientum

2) Deskripsi Sampel

Gambar 3. Foto Kulit Pisang Raja Bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum) (Dokumentasi pribadi) Pisang raja termasuk jenis pisang buah. Menurut ahli sejarah dan botani secara umum pisang raja berasal dari kawasan Asia Tenggara dan pulau-pulau pasifik barat. Selanjutnya menyebar ke berbagai negara baik negara tropis maupun negara subtropis. Akhirnya buah pisang dikenal di seluruh dunia. Jadi pisang raja dan kultivar-kultivarnya termasuk tanaman asli Indonesia (Zuhairini, 1997). Pisang (Musa sp.) menurut jenisnya bisa dibagi menjadi lima bagian, yaitu Musa paradisiaca var sapientum (banana), yaitu pisang yang bisa dimakan langsung setelah buahnya masak seperti pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang susu dan barangan. Musa paradisiaca forma typical, yaitu pisang yang dimakan setelah direbus atau digoreng seperti pisang tanduk, oli, nangka, kapas, dan kapok. Musa brachycarpa, yaitu

Universitas Muslim Indonesia

19

jenis pisang yang berbiji seperti pisang batu, disebut juga pisang klutuk atau pisang biji. Musa texilis, yaitu pisang penghasil serat seperti pisang manila. Dan pisang hias seperti pisang kipas, pisang superba (Musa superba), bisang basjoo (Musa basjoo) (Dalimartha 2003, hh.99-100). Pisang raja bulu daging buahnya agak tebal, rasanya manis, dan aromanya kuat. Pada waktu matang, warna kulit buahnya kuning berbintikbintik cokelat. Sementara warna daging buahnya putih kemerahan. Berap setiap tandannya 7-10 kg dan terdiri dari 6-7 sisir. Setiap sisirnya berisi sekitar 10-15 buah. Panjang buahnya 25-35 cm dengan diameter 6-6,5 cm (Suyanti 2008, h.33). 3) Kandungan Kimia Kulit mengandung alkaloid, saponin, tanin, berbagai senyawa fenolik, flavonoid, dan triterpenoid (Alamsyah, 2016). Akar mengandung serotonin, norepinefrin, tannin, hidroksitriptamin, dopamine, vitamin A, B dan C. Buah mengandung flavonoid, glukosa, fruktosa, sukrosa, tepung, protein, lemak, minyak menguap, kaya akan vitamin (A, B, C, dan E), mineral (kalium, kalsium, fosfor, Fe), pectin, serotonin, 5-hidroksi triptamin, dopamin, dan noradrenalin. Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai obat adalah akar, buah, kulit buah, bonggol, hati batang pisang, bunga, dan daunnya (Dalimartha 2003, h.106). 4) Khasiat Buah pisang rasanya manis, sifatnya dingin, astringen. Melumas (lubricates) usus, penawar racun, penurun panas (antipiretik), antiradang,

Universitas Muslim Indonesia

20

peluruh kencing (diuretik), laksatif ringan. Akar berkhasiat sebagai penawar racun, pereda demam (antipiretik), mendinginkan darah, antiradang, dan peluruh kencing. Hati batang pisang berkhasiat penurun panas dan untuk perawatan rambut. Cairan dari bonggol mengatasi infeksi saluran kencing, menghentikan perdarahan (hemostatik), penurun panas (antipiretik), serta penghitam dan mencegah rambut rontok. Buah muda dan

akar

berkhasiat

astringen.

Buah

muda

berkhasiat

antidiare,

antidisentri, dan untuk pengobatan tukak lambung (Dalimartha 2003, h.107). Kulit pisang dapat berkhasiat sebagai immunomodulator (Singhal, 2013). F. Ekstraksi Tanaman 1) Defenisi Ekstraksi Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang disari mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam minyak atsiri, alkaloid, flavanoid dan lan-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia, akan mempermudah pemilihan pelarut dan ekstraksi yang cepat (Dirjen POM, 2000).

Universitas Muslim Indonesia

21

2) Metode ekstraksi secara maserasi Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara memasukkan satu bagian serbuk kering bagian simplisia ke dalam maserator, tambahkan 10 bagian pelarut yang sesuai. Rendam selama 6 jam pertama sambil sekalikali diaduk, kemudian diamkan selama 18 jam. Pisahkan maserat dengan cara penguapan, sentrifugasi, dekantasi atau filtrasi. Ulangi proses penyarian sekurang-kurangnya dua kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Kumpulkan semua maserat, kemudian uapkan dengan penguap vakum atau penguap tekanan rendah hingga diperoleh ekstrak kental (Depkes RI, 2010). G. Uraian Hewan Uji 1) Karakteristik Hewan Coba (Krinke, GJ 2000) Tikus (Rattus norvegicus) adalah hewan mamalia yang paling banyak dijadikan sebagai hewan percobaan atau hewan laboratorium. Penggunaan tikus sebagai hewan percobaan untuk penelitian banyak dilakukan di bidang biomedik, seperti penelitian penyakit jantung, gangguan metabolic, gangguan saraf, transplantasi organ, gangguan autoimun, gangguan ginjal, dan kanker. Tikus juga digunakan dalam mengembangkan agen terapeutik baru. Tikus putih

memiliki

beberapa

keunggulan

antara

lain

penanganan

dan

pemeliharaan yang mudah karena tubuhnya kecil, sehat dan bersih, kemampuan reproduksi tinggi serta memiliki karakteristik produksi dan reproduksi yang mirip dengan mamalia lainnya.

Universitas Muslim Indonesia

22

2) Klasifikasi Hewan Uji (Integrated Taxonomic Information System, 2017). Kingdom

: Animalia

Phylum

: Chordata

Class

: Mammalia

Order

: Rodentia

Family

: Muridae

Genus

: Rattus

Spesies

: Rattus norvegicus

Universitas Muslim Indonesia

23

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian Pelaksanan penelitian ini dilakukan mulai bulan November 2017 sampai bulan April 2018. Lokasi pelaksanaan penelitian ini bertempat di Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Muslim Indonesia Makassar. B. Populasi dan Sampel Populasi yang digunakan adalah pisang raja (Musa Paradisiaca) dan sampel yang digunakan adalah kulit pisang raja bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum) C. Metode Kerja Penelitian ini dilakukan secara ekperimental laboratorium dengan menggunakan metode Delayed Type Hypersensitivity (DTH). Pada metode ini digunakan tikus putih jantan sebanyak 15 ekor yang dibagi dalam 5 kelompok uji. Untuk kelompok I (kontrol normal) dibiarkan tanpa perlakuan, kelompok II diberi Na CMC 1% b/v (kontrol SDMD), kelompok III, IV dan V diberikan ekstrak etanol kulit pisang raja bulu

dengan dosis

100mg/kgBB,

300mg/kgBB, dan 500mg/kgBB. Sediaan ekstrak uji diberikan selama tujuh hari secara peroral sesuai dengan volume pemberiannya. Penginduksian dengan antigen SDMD 10% v/v dilakukan pada hari ketiga secara

23

Universitas Muslim Indonesia

24

intraperitonial dan hari ketujuh secara intraplantar untuk semua kelompok perlakuan kecuali kelompok kontrol normal. Pengukuran edema kaki belakang tikus dilakukan pada jam ke-4, -24, dan-48 setelah induksi antigen SDMD 10% v/v dengan menggunakan pletismometer (Faradila, 2013). D. Alat dan Bahan 1. Alat-alat yang digunakan Alat-alat yang digunakan adalah batang pengaduk, gelas kimia (pyrex), gelas ukur (pyrex), kanula, spoit (disposable syringe), mikropipet (uawei),

pletismometer

(panlab),

timbangan

analitik

(ohaus),

dan

timbangan hewan (ohaus). 2. Bahan-bahan yang digunakan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air suling, kertas saring, sel darah merah domba (SDMD) 10% v/v, Na-CMC 1%, etanol, dan ekstrak kulit pisang Raja Bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum) 3. Hewan Uji Adapun hewan uji yang digunakan adalah tikus galur wistar putih (Rattus Norvegicus) jantan sebanyak 15 ekor dengan berat 150-200 gr. E. Prosedur Kerja 1. Pengambilan dan Pengolahan Sampel Sampel yang digunakan diperoleh dari Kota Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan. Kulit pisang Raja Bulu

(Musa Paradisiaca L. Var

Universitas Muslim Indonesia

25

Sapientum) pertama-tama dibersihkan dari kotoran dengan menggunakan air bersih yang mengalir, setelah itu kulit pisang raja bulu yang telah dicuci bersih dipotong-potong kecil kemudian dikeringkan dengan cara dianginanginkan kemudian dihaluskan dengan cara diblender, setelah itu tiriskan. 2. Pembuatan Ekstrak Kulit Pisang Raja Bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum) Sampel kulit pisang raja bulu

(Musa Paradisiaca L. Var Sapientum)

yang telah dihaluskan kemudian ditimbang sebanyak 500 gram dan dimasukkan dalam wadah maserasi. Dimasukkan pelarut etanol 70% sebanyak satu liter ke dalam wadah maserasi sehingga sampel terbasahi dan terendam. Didiamkan selama 1 x 24 jam, sambil sekali-sekali diaduk kemudian didiamkan selama 18 jam. Dipisahkan maserat dengan cara disaring, kemudian ampasnya dimaserasi kembali sekurang-kurangnya 2 kali dengan pelarut yang sama. Hasil maserasi dikumpulkan dan diuapkan dengan menggunakan rotavapor untuk mendapatkan ekstrak kental. 3. Pembuatan Bahan Penelitian a) Pembuatan Sediaan Uji Ekstrak etanol kulit pisang raja bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum) yang telah diperoleh dari hasil ekstraksi, dibuat dalam tiga variasi dosis yaitu 100 mg/kg BB, 300 mg/kg BB dan 500 mg/kg BB. Untuk pembuatan ekstrak dengan dosis 100 mg/kg BB ditimbang sebanyak 200 mg ekstrak dan dilarutkan kedalam 20 mL Na-CMC 1% b/v. Untuk pembuatan ekstrak dengan dosis 300 mg/kg BB ditimbang

Universitas Muslim Indonesia

26

ekstrak sebanyak 600 mg dan dilarutkan kedalam 20 mL Na-CMC 1% b/v. Dan untuk pembuatan ekstrak dengan dosis 500 mg/kg BB ditimbang ektrak sebanyak 1000 mg dan dilarutkan kedalam 20 mL NaCMC 1% b/v. b) Pembuatan Suspensi Sel Darah Merah Domba (SDMD) 10% v/v Sebanyak 1 mL sel darah merah domba ditampung dalam tabung yang bersih dan telah dikeringkan yang berisi dengan 1 mg EDTA sebagai antikoagulan. Kemudian disentrifus pada kecepatan 1500 rpm untuk memisahkan sel darah merah domba (SDMD) dari plasmanya. Sel darah merah domba yang didapatkan dicuci dengan PBS dalam tabung, lalu tabung tersebut dibolak-balik beberapa kali, kemudian disentrifus kembali. Pencucian dilakukan paling sedikit 3 kali. Setelah disentrifus, PBS dipisahkan sehingga yang tertinggal adalah SDMD 100%, lalu ditambahkan lagi PBS dengan jumlah yang sama hingga diperoleh suspensi SDMD 50%, kemudian dipipet 2 mL, diencerkan dan dicukupkan dengan 8 mL PBS hingga diperoleh suspensi antigen dengan konsentrasi SDMD 10 % v/v (Manggau 2011, hh.99-104). 4. Pemilihan Dan Penyiapan Hewan Uji Hewan uji yang digunakan sebelumnya sudah diadaptasikan selama + 2 minggu dan telah diberi makan dan minum secukupnya. Sebanyak 15 ekor tikus (Rattus Norvegicus) jantan dibagi dalam 5 kelompok perlakuan, untuk masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor tikus jantan. Kelompok I

Universitas Muslim Indonesia

27

kontrol normal, kelompok II pembanding diberi antigen SDMD, kelompok III diberi ekstrak etanol kulit pisang raja bulu dengan dosis 100 mg/kg BB, kelompok IV diberi ekstrak etanol kulit pisang raja bulu dengan dosis 300 mg/kg BB, dan kelompok V diberi ekstrak kulit pisang raja bulu dengan dosis 500 mg/kg BB. 5. Perlakuan Terhadap Hewan Uji Hewan Uji yang telah diadaptasikan diberi perlakuan sebagai berikut : a) Hewan uji kelompok I (kontrol normal) dibiarkan tanpa perlakuan. b) Hewan uji kelompok II diberi Na.CMC 1% (sebagai kontrol SDMD 10% v/v) c) Hewan uji kelompok III diberi ekstrak etanol kulit pisang raja bulu dengan dosis 100 mg/kg BB d) Hewan uji kelompok IV diberi ekstrak etanol kulit pisang raja bulu dengan dosis 300 mg/kg BB e) Hewan uji kelompok V diberi ekstrak etanol kulit pisang raja bulu dengan dosis 500 mg/kg BB. Sediaan diberikan secara oral selama tujuh hari. Pada hari ke-3 hewan uji diinduksi dengan antigen SDMD sebanyak 1 mL secara intraperitonial dan pada hari ke-7 hewan uji diinduksi dengan antigen SDMD sebanyak 0,5 mL secara inraplantar. Penginduksian antigen SDMD dilakukan pada semua kelompok hewan uji kecuali kelompok normal. Setelah dilakukan penginduksian dengan antigen SDMD pada kaki belakang tikus kemudian

Universitas Muslim Indonesia

28

dilakukan pengukuran edema dengan menggunakan pletismometer pada jam ke-4, -24 dan jam ke-48 (Faradila, 2013). F. Analisis Data Data hasil pengukuran perubahan volume kaki tikus pada jam ke-48 dianalisis secara statistik pada uji distribusi normal (uji Saphiro-Wilk). Hasil analisis menyatakan data tidak terdistribusi normal (p<0,05) (Tabel 2.) maka data tersebut dianalisis statistik secara Kruskal-Wallis dan uji lanjutan MannWhitney.

Universitas Muslim Indonesia

29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem imun merupakan mekanisme perlindungan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk melindungi tubuh dari serangan berbagai patogen berbahaya seperti bakteri, virus, dan berbagai mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit. Sistem imun tubuh dapat dipertahankan dengan pemberian senyawa imunomodulator yang dapat memodulasi sistem imun sehingga dapat bekerja lebih baik. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan aktivitas imunomodulator dari ekstrak etanol kulit pisang raja bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum) dengan parameter delayed type hypersensitivity (DTH). Dosis dari ekstrak yang digunakan merupakan acuan dosis dari penelitian yang dilakukan oleh Singhal (2013) tentang uji efek imunomodulator ekstrak metanol dan n-heksan kulit pisang raja dengan parameter delayed type hypersensitivity (DTH) pada tikus. Dosis penelitian yang digunakan adalah 100 mg/kg BB, 300 mg/kg BB dan 500 mg/kg BB. Ekstrak diberikan secara oral selama tujuh hari berturut-turut dimana pada hari ketiga hewan coba diinjeksi dengan antigen SDMD 10% v/v secara intraperitoneal dan pada hari ketujuh secara intraplantar untuk semua kelompok uji hewan coba kecuali kelompok normal. Setelah pemberian antigen secara intraplantar pada hari ketujuh, perubahan volume kaki hewan coba kemudian diukur pada jam ke-4, jam ke-24 dan jam ke-48.

29

Universitas Muslim Indonesia

30

Parameter yang digunakan pada penelitian ini adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat atau biasa dikenal dengan delayed type hypersensitivity (DTH) yang akan muncul 24 jam setelah tubuh terpapar dengan antigen. Reaksi hipersensitifitas tipe lambat ini terjadi akibat paparan antigen asing, khususnya pada jaringan tubuh yang ditangkap oleh sel fagosit yaitu makrofag yang kemudian disajikan pada sel T. Terikatnya antigen melalui reseptor pada sel T dengan determinan antigenik merangsang sel T untuk berproliferasi dan berdiferensiasi membentuk sel T yang matang dan sel T memori. Apabila seseorang terpapar kembali dengan antigen yang sama, maka reaksi hipersensitifitas tipe lambat ini akan terjadi. Sel memori akan mengaktifkan sel T untuk melepaskan senyawa limfokin yang dapat merusak antigen yang berinteraksi dengan sel T. Selain itu beberapa sitokin dapat merangsang reaksi inflamasi dan menarik makrofag untuk bermigrasi dan menangkap serta melisiskan sel yang terinfeksi. Efek fagositosis oleh makrofag terhadap sel yang terinfeksi dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Adapun alasan menggunakan parameter DTH karena metode ini lebih sederhana, tidak membutuhkan waktu yang lama dan perubahan sistem imun dapat dideteksi dengan mudah (Maksum, 2015). Dalam penelitian ini digunakan sel darah merah domba (SDMD) 10% v/v sebagai antigen yang bersifat imunogen, yaitu antigen yang berasal dari gen spesies lain. Alasan penggunaan antigen SDMD karena merupakan antigen polivalen yang merupakan protein dengan determinan potensial yang lebih besar dibandingkan dengan antigen monovalen. Antigen SDMD lebih

Universitas Muslim Indonesia

31

mudah dibuat dan serta lebih aman jika dibandingkan dengan bakteri bila digunakan sebagai antigen. Semakin asing antigen yang digunakan maka respon imun yang ditimbulkan akan lebih efektif. Injeksi antigen SDMD dilakukan sebanyak dua kali. Injeksi pertama secara intraperitoneal dimana merupakan tahap pengenalan sistem imun tubuh hewan coba terhadap antigen atau merupakan fase sensitasi yang bertujuan untuk mengaktifkan sel T untuk dapat menghasilkan respon imun yang lebih cepat dan spesifik, dan injeksi kedua secara intraplantar atau merupakan fase efektor yaitu sebagai paparan ulang antigen dengan tujuan untuk melihat adanya respon imun berupa reaksi inflamasi lokal (Kannan, Singh, Kumar, Jegatheswari and Subburayalu, 2007). Reaksi inflamasi termasuk dalam karakteristik reaksi DTH dimana semakin bengkak kaki tikus, maka semakin meningkat respon DTH yang terjadi. Respon DTH tersebut yang dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk mengukur seberapa bagus respon imun tubuh yang bekerja.

Universitas Muslim Indonesia

32

Data hasil penelitian efek imunomodulator ekstrak etanol kulit pisang raja bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum) dengan menggunakan parameter Delayed Type Hypersensitivity adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Hasil pengukuran rata-rata perubahan volume kaki tikus setelah pemberian antigen SDMD 10% v/v

Rata-rata volume kaki tikus + SD pada waktu Kelompok T0 I (Na CMC 1% b/v) II (SDMD 10% v/v) III (EEKPRB 100 mg/kgBB) IV (EEKPRB 300 mg/kgBB) V (EEKPRB 500 mg/kgBB)

T4

T24

T48

0,99+0,006

0,99+0,006 0,99+0,006 0,99+0,006

1,05+0,05

1,33+0,01

1,32+0,06

1,26+0,06

1,02+0,02

1,55+0,09

1,15+0,04

1,03+0,02

0,99+0,006

1,25+0,07

1,17+0,02

1,02+0,02

0,98+0,03

1,30+0,06

1,18+0,01

1,00+0,02

Keterangan : Kelompok I diberikan larutan Na-CMC 1% b/v, kelompok II diberikan SDMD 10 % v/v, kelompok III diberikan EEKPRB dosis 100 mg/kg BB, kelompok IV diberikan EEKPRB dosis 300 mg/kg BB, dan kelompok V diberikan EEKPRB dosis 500 mg/kg BB; Nilai p<0,05 Signifikan (berbeda nyata); Nilai p>0,05 Tidak Signifikan (tidak berbeda nyata). EEKPRB (Ekstrak Etanol Kulit Pisang Raja Bulu).

Universitas Muslim Indonesia

33

Data hasil pengukuran rata-rata perubahan volume kaki tikus pada waktu T0, T-4, T-24 dan T-48 untuk setiap kelompok perlakuan setelah pemberian

antigen

diplot

menggunakan

grafik

dibawah

ini

:

1.8 1.6 1.4 1.2 T0

1

T4

0.8

T24

0.6

T48

0.4 0.2 0 Normal

SDMD 10% v/v EEKPRB 100 mg/kg BB

EEKPRB 300 mg/kg BB

EEKPRB 500 mg/kg BB

Gambar 4 : Grafik pengukuran rata-rata perubahan volume kaki pada waktu T0, T-4, T-24, dan T-48 untuk setiap kelompok perlakuan setelah pemberian antigen.

Berdasarkan hasil penelitian uji efek imunomodulator ekstrak etanol kulit pisang raja bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum) dapat dilihat dari grafik diatas rata-rata penurunan volume kaki tikus (Rattus norvegicus) pada semua kelompok uji mengalami perubahan sebelum dan sesudah diinduksi dengan antigen yaitu dengan ditandai terjadinya proses inflamasi yang berlangsung sampai antigen dapat dieliminasi. Kelompok EEKPRB dosis 100 mg/kg BB memperlihatkan peningkatan sistem imun jika dibandingkan dengan kelompok uji yang lain. Peningkatan ini disebabkan oleh aktivasi

Universitas Muslim Indonesia

34

makrofag oleh IL-2 dan sitokin proinflamasi lain seperti IL-12 yang menginduksi reaksi inflfamasi pada telapak kaki hewan coba tikus akibat paparan ulang antigen SDMD yang sudah dikenal oleh sistem imun hewan coba (Baratawidjaja, 2012). Perubahan volume kaki yang terjadi pada jam ke-24 menunjukkan reaksi hipersensitivitas yang berlangsung lambat. Dilihat pada hasil penelitian tabel 1. menunjukkan peningkatan volume kaki pada jam ke-24 lebih rendah dari jam ke-4. Peningkatan volume kaki pada jam ke-24 kelompok ekstrak lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok yang diberikan SDMD 10% v/v dimana dilihat bahwa kondisi kaki hewan coba mulai kembali seperti normal. Respon inflamasi dikontrol oleh sitokin anti-inflamasi yaitu IL-4 yang mencegah aktivasi makrofag dan TGF-β yang mencegah proliferasi dan aktivasi makrofag (Baratawidjaja, 2012). Perubahan volume kaki yang terjadi pada jam ke-48 menunjukkan penurunan yang paling besar jika dibandingkan dengan volume kaki hewan coba pada jam ke-4 dan jam ke-24. Hal ini mungkin disebabkan oleh penetralan antigen oleh sistem imun dari dalam tubuh hewan coba. Selain itu efek IL-4 dan TGF- β mendorong penurunan volume kaki pada jam ke-48 terjadi lebih cepat. Berdasarkan teori reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV), peningkatan volume kaki tidak terjadi selama 6-12 jam dan mencapai intensitas maksimal sesudah 24-72 jam (Bellanti, 1989). Berdasarkan uji normalitas dan homogenitas hasil pengukuran ratarata perubahan volume kaki pada waktu T-48 di analisis statistik

Universitas Muslim Indonesia

35

menggunakan uji Kruskal-Wallis yang bisa dilihat pada tabel. 3. Dari hasil statistik tersebut menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan sehingga dilanjutkan dengan uji analisis Mann-Whitney yang bisa dilihat pada tabel 4. Hasil uji untuk kelompok kontrol SDMD 10% v/v terhadap kelompok ekstrak kulit pisang raja bulu dosis 100 mg/kg BB, 300 mg/kg BB dan 500 mg/kg BB menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05). Hal ini membuktikan bahwa ekstrak etanol kulit pisang raja bulu dapat memodulasi sistem imun hewan coba. Sedangkan antara masing-masing kelompok ekstrak, kelompok esktrak dengan dosis 100 mg/kg BB dan 500 mg/kg BB menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Namun pada kelompok ekstrak dengan dosis 100 mg/kg BB dan 300 mg/kg BB menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik ada perbedaan antara masing-masing dosis ekstrak. Jika dilihat dari grafik pada gambar 4. bahwa kelompok yang memiliki penurunan volume kaki yang paling besar adalah kelompok EEKPRB 100 mg/kg BB sehingga dosis EEKPRB 100 mg/kg merupakan dosis yang lebih efektif dalam meningkatkan respon imun. Adapun peningkatan dosis yang tidak disertai dengan peningkatan respon imun mungkin disebabkan karena reseptor limfosit T telah diduduki oleh senyawa aktif dalam ekstrak. Sehingga dosis ekstrak yang terlalu besar memungkinkan banyaknya senyawa aktif yang bebas dan tidak berikatan dengan reseptor, dimana dapat berpotensi mengganggu

Universitas Muslim Indonesia

36

senyawa yang telah berikatan dengan reseptor karena ikatan obat reseptor merupakan ikatan yang lemah sehingga mudah digeser akibatnya efek imun yang dihasilkan tidak maksimal (Rahma A., 2011). Ekstrak etanol kulit pisang raja bulu dapat berefek meningkatkan sistem imun diduga karena kandungan senyawa flavonoid yang berdasarkan penelitian oleh Dita (2014) bahwa pada kulit pisang raja bulu ditemukan kandungan senyawa flavonoid. Menurut Chiang, Ng, Chiang, Chang dan Lin (2013) salah satu senyawa yang digunakan sebagai imunomodulator antara lain adalah flavonoid. Mekanisme flavonoid sebagai imunomodulator yaitu dengan meningkatkan aktivitas IL-2 dan proliferasi limfosit. Sel CD4+ akan mempengaruhi

proliferasi

limfosit

kemudian

menyebabkan

sel

Th-1

teraktivasi. Sel Th-1 yang teraktivasi akan mempengaruhi IFN- Ɣ yang dapat mengaktifkan makrofag yang ditandai dengan meningkatnya aktivitas fagositosis secara cepat dan lebih efisien dalam membunuh antigen (Patroni, 2003).

Universitas Muslim Indonesia

37

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data statistik, maka dapat di simpulkan bahwa : 1.

Ekstrak etanol kulit pisang raja bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum) dapat memberikan efek sebagai imunomodulator.

2.

Ekstrak etanol kulit pisang raja bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum) dosis 100 mg/kgBB, 300 mg/kgBB, dan 500 mg/kgBB efektif sebagai imunomodulator. B. Saran

Disarankan agar penelitian ini dapat dikembangkan untuk melakukan uji efek imunostimulan ekstrak etanol kulit pisang raja bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum)

37

Universitas Muslim Indonesia

38

DAFTAR PUSTAKA Abbas, AK, Lichtman, AH, & Pillai, S, 2012, Cellular and Molecular Immunology, 7th Edition, Saunders Elsevier, Philadelphia. Alam, N, dkk, 2010. Mycelial Growth Condition and Molecular Phylogenetic Relationship of Pleurotus ostreatus, World Applied Sciences Journal 9 (8). ISSN 1818-4952. Aaron, L, Patricia J, & Torsten M, 2015. World Incidence and Prevalence of Autoimun Disease is Increasing, International Journal of Celiac Disease, Vol.3 No.4. Bratawidjaja, KG, 2006. Imunologi Dasar, edisi VII. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Baratawidjaja, GK, dan Rengganis, I, 2010. Imunologi Dasar. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Baratawidjaja, GK, dan Rengganis, I, 2012. Imunologi Dasar, Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Baratawidjaja, GK, dan Rengganis, I, 2013. Imunologi Dasar, Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Bellanti, A.J. (1989). Imunologi III. Jakarta : Gajah Mada University Press. Chiang, L.C., Ng, L.T., Chiang, W., Chang, M.Y., & Lin, C.C., 2003, Immunomodulatory activities of flavonoids, monoterpenoids, triterpenoids, iridoid glycosides and phenolic compounds of Plantago spesies, Planta Med, 69: 600-604. David, M, Jonathan, B, David, BR, dan Ivan, MR, 2013. Immunology Eighth Edition, Library of Congress Catalouguing. Dalimartha, S, 2003. Atlas Tumbuhan Obat Jilid 3, Puspa Swara: Jakarta. Depkes RI, 2010. Farmakope Herbal. Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta.

Universitas Muslim Indonesia

39

Dita, FA, Edi, S, & Defny, SW, 2013. Aktifitas Antioksidan dan Tabir Surya Pada Ekstrak Kulit Buah Pisang Goroho (Musa acuminate L.). Jurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT, Vol. 3. No 2. Dirjen POM, 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Ekstrak Tumbuhan Obat, Depkes RI : Jakarta. Eva, N, Hayat, S, & Wiwi, S, 2012. Aktivitas Antioksidan Kulit Pisang Raja Bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum) Dan Produk Olahannya, Jurnal Sains dan Teknologi Kimia, Vol 4. No 1. Faradilla, M, 2013, Efek Imunomodulator Polisakarida Rimpang Temu Putih [Curcuma zedoaria(Chrtetm.) Roscoe)], Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, 12:273-278 Guyton, AC, 1990. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hendarsula, AR. 2011. Uji Aktivitas Immunostimulan Ekstrak Etanol Sarang Semut pada Tikus Putih Jantan. Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Integrated Taxonomic Information System. 2017. Rattus norvegicus (Online).(https://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic= TSN&search_value=180363. Diakses tanggal 23 November 2017). Irda, F, Kiki RR, Insanu, M, 2014. In Vitro Antioxidant Activities From Various Extracts of Banana Peels Using ABTS, DPPH Assays and Corelation With Phenolic, Flavonoid, Carotenoid Content, School of Pharmacy, Bandung Intstitute of Technology, Indonesia. Int Jpharm Sci, Vol 6, Issue 8, 299-303. Kresno, BS, 2010. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Krinke, GJ (ed), 2000. The Handbook of Experimental Animals, London: Academic Press.

Universitas Muslim Indonesia

40

Kusmardi, Shirly, K, dan Enif, ET, 2007. Efek Imunomodulator Ekstrak Daun Ketepeng Cina (Cassia alata. L) Terhadap Aktivitas dan Kapasitas Fagositosis Makrofag, Makara Kesehatan Vol 11. No 2. Maksum, R, 2015. Imunologi dan Virologi. Penerbit PT. ISFI Penerbitan: Jakarta. Manggau, MA, Lantapi, NC, & Alam, A, 2011. Uji Efek Buah Mengkudu (Morinda citrifolia Linn.) Terhadap Aktivitas Imunoglobulin M (IgM) dan Imunoglbulin G (IgG) pada mencit (Mus Musculus). Majalah Farmasi dan Farmakologi Vol. 15 No.2 Hal. 99-104. Universitas Hasanuddin : Makassar. Patroni, R., Yuniarti, Afrizal, 2003. Pengaruh pemberian ekstrak etanol umbi bidara upas (Merremia mammosa) terhadap fagositosis makrofag dan produksi NO makrofag studi eksperimental Infeksi Salmonella Typhimurium pada mencit Balb/C. Universitas Diponegoro. Semarang. Peter, JD, Seamus, JM, Dennis, RB, dan Ivan, MR, 2011, Roitt’s Essential Immunology Thirteenth Edition, UK. Prima, H, 2009. Gambaran eritrosit domba setelah divaksin ekstrak caplak Rhipicephalus sanguineus, IPB : Jakarta Rahma, A., 2011. Uji Aktifitas Imunostimulan Ekstrak Etanol Umbi Sarang Semut (Myrmecodia archboldiana Merr. & L.M Perry) Pad Tikus Putih Jantan. Universitas Indonesia : Jakarta. Shian, TE, Aminah, A, Khalid, HM, 2012. Antioxidant Properties of Three Banana Cultivars (Musa acuminate ‘Berangan’,’Mas,’Raja’) Extracts, Sains Malaysiana 41(3)(2012): 319-324. Shen, W, Louie, SG, 2005. Immunology for Pharmacy Student, 17, Harwood Academic Publisher, Perancis. Singhal, M, Purnima, R, 2013. Investigation of Immunomodulatory Potential of Metahnolic and Hexane Extract of Musa acuminate Peel (Plantain) Extracts, School of Pharmaceutical Sciences, Jaipur National University India, Global Journal of Pharmacology 7(1):69-74 ISSN 1992-0075.

Universitas Muslim Indonesia

41

Sylvia, AP, dan Lorraine, MW, 2012. Patofisiologi Konsep Klinis dan ProsesProses Penyakit Edisi 6 Volume 1, Penerbit Buku Kedokteran EGC Jakarta. Sri, A, Retno, A, Sri, H, Rudyansah, and Mary, G, 2007. Identification and Antioxidant Activity Test Of Some Compounds From Methanol Extract Peel Of Banana (Musa Paradisiaca Linn.), Indo J. Chem. Stanilove, SA, ZG, Dobreva, ES. Slavov dan LD, Mitera, 2005. C3 binding glycoprotein from Cuscuta Europea induced different cytokine profiles from human PBMC compared to other plant and bacterial immunomodulators. Int. Immunopharmacol, 5: 723. PMID: 15710341 Suyanti, A, Supriyadi, 2008. Pisang Budidaya, Pengolahan, dan Prospek Pasar Edisi Revisi, Penerbit Swadaya, Jakarta. Tjay, TH, dan Kirana, R, 2015. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, Dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi ke-7 Cetakan Pertama, Penerbit PT Gramedia, Jakarta. Tjitrosoepomo, 2001. Morfologi Tumbuhan, Gadjah mada university Press. United States Department of Health and Human Services. 2002. Autoimmune Disease Coordinating Committee, National Institute of Health. Pp. 1. Wagner, H, 1999. Immunomodulatory Agents from Plants. 1st Edn, Birkhauser, Germany, ISBN: 3764358483, pp: 365. Zuhairini, E, 1997. Budidaya Pisang Raja. Jakarta: Trubus Agrisarana.

Universitas Muslim Indonesia

42

LAMPIRAN Lampiran 1. Skema kerja Pembuatan Ekstrak Etanol Kulit Pisang Raja Bulu (Musa paradisiaca L. var sapientum) Kulit Pisang Raja Bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum  Dibersihkan dengan air mengalir dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan  Dipotong-potong kecil  Diblender  Ditiriskan & ditimbang

Maserasi dengan pelarut etanol 70% hingga terendam

Residu  Dimaserasi dengan pelarut etanol 70% sebanyak 2 kali

Ekstrak Cair Kulit Pisang Raja Bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum)

Ekstrak Cair Kulit Pisang Raja Bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum) Diuapkan

Ekstrak Kental Kulit Pisang Raja Bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum)

Universitas Muslim Indonesia

43

LAMPIRAN 2. Skema kerja Uji Immunomodulator Terhadap Hewan Coba 15 ekor Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan

Esktrak kulit pisang raja bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum) (EEKPRB)

 Diadaptasikan ± 7 hari serta diberi makan dan minum  Ditimbang berat masing-masing tikus dan ditentukan dosisnya  Dibagi kedalam 5 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 3 ekor tikus

Perlakuan terhadap hewan coba

Klp.1 Kontrol Normal

Klp. 2 Kontrol NaCMC 1% b/v

Klp. 3 EEKPRB 100 mg/Kg BB

Klp. 4 EEKPRB 300 mg/Kg BB

Klp. 5 EEKPRB 500 mg/Kg BB

 Diberikan sediaan uji pada kelompok 3, 4 dan 5 selama 7 hari secara oral.  Diinduksi antigen SDMD 10% v/v pada kelompok 2, 3, 4 dan 5 pada hari ke-3 secara intraperitoneal

 Diinduksi antigen SDMD 10% v/v pada kelompok 2, 3, 4 dan 5 pada hari ke-7 secara intraplantar

Pengukuran volume kaki pada jam ke4, -24, dan -48  Diukur volume kaki dengan pletismometer

Data dan Analisis

Pembahasan

Kesimpulan

Universitas Muslim Indonesia

44

Lampiran 3. Perhitungan Dosis Esktrak Etanol Kulit Pisang Raja Bulu (Musa Paradisiaca L. Var Sapientum)

Dosis 100 mg/kgBB Dosis tikus 200 g

=

100 𝑚𝑔 1000 𝑔

x 200 g

= 20 mg Larutan stok

=

20 𝑚𝐿 2 𝑚𝐿

x 20 mg

= 200 mg/20 mL Dosis 300 mg/kgBB Dosis tikus 200 g

=

300 𝑚𝑔 1000 𝑔

x 200 g

= 60 mg Larutan stok

=

20 𝑚𝐿 2 𝑚𝐿

x 60 mg

= 600 mg/20 mL Dosis 500 mg/kgBB Dosis tikus 200 g

=

500 𝑚𝑔 1000 𝑔

x 200 g

= 100 mg Larutan stok

=

20 𝑚𝐿 2 𝑚𝐿

x 100 mg

= 1000 mg/20 mL

Universitas Muslim Indonesia

45

Lampiran 4. Pisang Raja Bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum)

(a)

(b)

Gambar 5. Foto buah pisang raja bulu dan kulit pisang raja bulu (Musa paradisica L. Var Sapientum) (sumber: dokumen pribadi)

Keterangan : a. Foto buah pisang raja bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum) b. Foto kulit pisang raja bulu (Musa paradisiaca L. Var Sapientum)

Universitas Muslim Indonesia

46

Lampiran 5. Perlakuan terhadap hewan coba

(a)

(b)

(c)

Gambar 6. Pemberian SDMD 10%, kaki tikus jam ke-4 dan ke-24 Keterangan : a. Pemberian SDMD 10% v/v secara intraplantar pada hari ke-7 b. Kaki tikus 4 jam setelah pemberian SDMD 10% c. Kaki tikus 24 jam setelah pemberian SDMD 10%

Universitas Muslim Indonesia

47

Lampiran 6. Alat Pletismometer

Gambar 7. Seperangkat alat pletismometer (Type The Digital Water Plethysmometer Panlab) (sumber: dokumen pribadi)

Universitas Muslim Indonesia

48

Lampiran 7. Uji normalitas perubahan volume kaki tikus pada jam ke-48 Kelompok Imunomodulator

Shapiro Wilk Sig

Sig.

Normal ,000 SDMD 10% v/v ,000 EEKPRB 100 mg/kgBB ,000 P > 0,05 EEKPRB 300 mg/kgBB ,000 EEKPRB 500 mg/kgBB ,000 Ket : p<0,05 Signifikan (berbeda nyata) Ket : p>0,05 Tidak Signifikan (tidak berbeda nyata)

Universitas Muslim Indonesia

49

Lampiran 8. Rata-rata perubahan volume kaki pada waktu T-48 di analisis statistik menggunakan uji analisis Kruskal-Wallis.

Kelompok

Nilai p

Na CMC 1% b/v SDMD 10% v/v EEKPRB 100 mg/kgBB

0.027

EEKPRB 300 mg/kgBB EEKPRB 500 mg/kgBB Ket : p<0,05 Signifikan (berbeda nyata) Ket : p>0,05 Tidak Signifikan (tidak berbeda nyata)

Universitas Muslim Indonesia

50

Lampiran 9. Hasil pengukuran statistik perubahan volume kaki pada waktu T-48 di analisis statistik menggunakan uji analisis MannWhitney. Kelompok perlakuan

Nilai p

Keterangan

Kelompok I – kelompok II

0.043

Berbeda nyata

Kelompok I – kelompok III

0.043

Berbeda nyata

Kelompok I – kelompok IV

0.239

Tidak Berbeda nyata

Kelompok I – kelompok V

0.796

Tidak Berbeda nyata

Kelompok II – kelompok III

0.043

Berbeda nyata

Kelompok II – kelompok IV

0.043

Berbeda nyata

Kelompok II – kelompok V

0.043

Berbeda nyata

Kelompok III – kelompok IV

0.043

Berbeda nyata

Kelompok III – kelompok V

0.261

Tidak berbeda nyata

Kelompok IV – kelompok V

0.456

Tidak Berbeda nyata

Keterangan : Kelompok I diberikan larutan Na-CMC 1% b/v, kelompok II diberikan SDMD 10 % v/v, kelompok III diberikan EEKPRB dosis 100 mg/kg BB, kelompok IV diberikan EEKPRB dosis 300 mg/kg BB, dan kelompok V diberikan EEKPRB dosis 500 mg/kg BB; Nilai p<0,05 Signifikan (berbeda nyata); Nilai p>0,05 Tidak Signifikan (tidak berbeda nyata).

Universitas Muslim Indonesia

51

Universitas Muslim Indonesia

Related Documents


More Documents from ""