Tugas Perpajakan II
PBB, BPHTB dan Bea Materai Dosen Pengampu: Drs. Sarwani M.Si.,Ak.
AULIA AGUSTINA 1710313320007
PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT TAHUN 2019
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Dasar Hukum PBB UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Asas PBB 1. 2. 3. 4.
Memberikan kemudahan dan kesederhanaan Adanya kepastian hukum Mudah dimengerti dan adil Menghindari pajak berganda
Pengertian-pengertian
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Yang termasuk pengertian bangunan adalah : a. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut b. Jalan tol c. Kolam renang d. Pagar mewah e. Tempat olah raga f. Galangan kapal, dermaga g. Taman mewah h. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak i. Fasilitas lain yang memberikan manfaat Surat pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data objek menurut ketentuan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada Wajib Pajak.
Nilai Jual Objek Pajak
Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti. Yang dimaksud dengan : 1. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain sejenis, yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya. 2. Nilai perolehan baru suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual dengan suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek pajak tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi objek tersebut. 3. Nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut. Objek PBB 1. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan. 2. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor letak, peruntukan, pemanfaatan, kondisi lingkungan, dan lain-lain. Klasifikasi bangunan ditentukan oleh bahan yang digunakan, rekayasa, letak, kondisi lingkungan, dan lain-lain. 3. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Objek PBB yang Di Kecualikan a. Digunakan semata –mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak di maksudkan untuk memperoleh keuntungan, seperti; masjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain. b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau sejenis dengan itu. c. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak. d. Dimiliki oleh Perwakilan Diplomatik, Konsulat berdasarkan asas timbal balik. e. Organisasi Internasional yang ditentuikan oleh Menteri Keuangan.
Nilai Jual Objek Pajakk Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Besarnya NJOPTKP ditetapkan untuk masing-masing kabupaten/kota dengan besar setinggi-tingginya Rp12.000.000 untuk setiap pajak. Apabila seorang wajib pajak mempunyai beberapa objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara pebuh tanpa dikurangi NJOPTKP. Subjek PBB Yang menjadi subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata : 1. 2. 3. 4.
Mempunyai hak atas bumi/tanah Memperoleh manfaat atas bumi/tanah Memiliki, menguasai atas bangunan Memperoleh manfaat atas bangunan
Tarif PBB Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah sebesar 0,5% dan jenis tarif ini disebut sebagai Tarif tunggal yang berlaku terhadap obyek pajak jenis apapun di seluruh wilayah Indonesia. Tarif efektif Pajak Bumi dan Bangunan adalah 0,1% untuk objek yang Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) kurang dari 1 milyar dan 0,2% untuk objek yang Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sama dan di atas 1 milyar. Dasar Pengenaan PBB a. Dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan yaitu Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). b. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap 3 tahun sekali, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun dengan perkembangan daerahnya. c. Dasar perhitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggitingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak. d. Besarnya persentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional. - Sebesar 40% dari NJOP untuk objek pajak perkebunan, kehutanan, dan objek pajak lain yang wajib pajaknya perorangan dengan NJOP atas bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari Rp1.000.000.000 - Sebesar 20% dari NJOP untuk objek pajak pertambangan, dan objek pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000 Cara Menghitung PBB Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif Pajak × NJKP = 0,5% × [ Persentase NJKP × (NJOP - NJOPTKP) ]
Contoh Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan 1. Tn. Sunan mempunyai sebidang tanah dan bangunan dengan NJOP Rp20.000.000 dan NJOPTKP untuk daerahnya Rp12.000.000, maka besarnya pajak yang terutang adalah : 0,5% × 20% × (Rp20.000.000 – Rp12.000.000) = Rp8.000 2. Tuan Bonco seorang mahasiswa DIII perpajakan Unibraw pada tahun 2007 hanya memiliki sebuah objek pajak berupa bumi di kawasan Soekarno-Hatta, Malang dan diketahui Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi tersebut sebesar Rp. 10.000.000. Berapakah Besar PBB yang terhutang pada tahun 2007 milik Tuan Bonco ! Jawab : Karena besarnya NJOP kurang dari Rp. 12.000.000,- maka objek pajak tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. 3. Tuan Ponco seorang pengusaha terkenal memiliki 2 buah rumah pada tahun 2007, objek pertama terletak di desa Wlingi, Blitar dan Objek kedua terletak di desa Bendo, Blitar. Diketahui bahwa untuk objek pertama NJOP Bumi sebesar Rp. 8.000.000 dan NJOP Bangunan sebesar Rp. 7.500.000. Untuk Objek yang kedua diketahui NJOP bumi sebesar Rp. 9.000.000 dan NJOP Bangunan sebesar Rp. 6.000.000. Hitung PBB terhutang tahun 2007 Tuan Ponco atas kedua objek tersebut ! Jawab: PBB Terhutang = 0,5% × [ Persentase NJKP × (NJOP - NJOPTKP) ] NJOP Di desa Wlingi NJOP Bumi
= Rp. 8.000.000
NJOP Bangunan = Rp. Total
7.500.000
Rp. 15.500.000
Merupakan NJOP terbesar
NJOP di desa Bendo NJOP Bumi
= Rp. 9.000.000
NJOP Bangunan = Rp. 6.000.000 Total
Rp. 15.000.000
Desa Wlingi : NJOP Bumi
=
Rp.
8.000.000
NJOP Bangunan = NJOP sbg dasar pengenaan PBB NJOPTKP NJOP utk Perhitungan PBB
Rp.
7.500.000
Rp. 15.500.000 (NJOP Terbesar) Rp. 12.000.000 – Rp. 3.500.000
Desa Bendo : NJOP Bumi NJOP Bangunan NJOP sbg dasar pengenaan PBB NJOPTKP NJOP utk Perhitungan PBB
= Rp. 9.000.000 = Rp. 6.000.000 Rp. 15.000.000 Rp.
0 (-)
Rp. 15.000.000,-
PBB Terhutang = Tarif x NJKP = 0,5% x 20% x Rp. 18.500.000 = Rp. 18.500 Tata Cara Pembayaran dan Penagihan PBB 1. Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak 2. Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambanya 1 bulansejak tanggal diterimanya SKP oleh Wajib Pajak 3. Pajak terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. 4. Denda administrasi sebgaimana dimaksud pada poin no 3, ditambah dengan utang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP) yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 bulan sejak tanggal diterimanya STP opleh Wajib Pajak. 5. Pajak terutang dapat dibayar di bank, kantor pos, dan giro, serta tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. 6. Tata cara pembayaran dan penagihan pajak diatur oleh Menteri Keuangan
7. Surat Pemberiitahuan Pajak Terutang (SPPT), Suray Ketetapan Pajak (SKP), dan Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak. 8. Jumlah pajak yangterutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa. Sanksi 1. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak. Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak adalah pokokpajak ditambah denda admonistrasi 25% dihitug dari pokok pajak. 2. Pajak terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi 2% sebulan, yang dihitung darii saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. 3. Karena kealpaannya, sehingga menimbulkan kerugian pada negara dalam hal: a. Tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak b. Menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap sam]n atau melampirkan keterangan yang tidak benar Sanksi berupa pidana kurungan selama-lamanya 6 bulan atau denda setinggi-tingginya 2 kali pajak terutang 4. Karena kesengajaannya, sehingga menimbulkan kerugian pada negara dalam hal: a. Tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak b. Menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap sam]n atau melampirkan keterangan yang tidak benar c. Memperlihatkan surat atau dokumen palsu d. Tidak memperihatkan surat atau dokumen lainnya e. Tidak menunjukkan data atau keterangan yang diperlukan Dipidana dengan penjara selama-lamanya 2 tahun atau denda setinggi-tingginya 5 kali pajak terutang.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang BPHTB adalah: 1. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan sistem self assessment, yaitu Wajib Pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya. 2. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena pajak (NKOPKP) 3. Agar pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat berlaku secara efektif, baik kepada Wajib Pajak maupun kepada pejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya, dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara yang sebagian besar diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai pembangunan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah. 5. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan di luar ketentuan ini tidak diperkenankan. Dasar Hukum BPHTB Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana yelah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Undang-undang ini menggantikan Ordonansi Bea Balik Nama dan Retribusi Staatsblad 1924 Nomor 291. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengertian-Pengertian
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dalam pembahasan ini, BPHTB selanjutnya disebut pajak. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk pengelolaan beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di pertanahan dan bangunan.
Objek Pajak BPHTB 1. Pemindahan hak karena: a. Jual beli b. Tukar menukar
c. Hibah dan hibah wasiat d. Waris e. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan g. Penunjukan pembeli dalam lelang h. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai hukum tetap i. Penggabungan usaha j. Peleburan usaha k. Pemekaran usaha l. Hadiah 2. Pemberian hak baru karena: a. Kelanjutan pelepasan hak b. Di luar pelepasan hak Tidak Termasuk Objek Pajak BPHTB 1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. 2. Negara untuk penyelanggaraan pemerintahan dan atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum. 3. Badana tau perwakilan organisasi internasioanl yang ditetpakan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut. 4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan adanya perubahan nama. 5. Orang pribadi atau badan karena wakaf. 6. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Subjek Pajak dan Wajib Pajak BPHTB Orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas tanah dan atau Bangunan. Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan atau Bangunan. Dasar Pengenaan Pajak Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang ditentukan sebesar: a. Harga transaksi, dalam hal jual beli b. Nilai pasar dari objek pajak c. Harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang, dalam hal penunjukkan pembeli dalam lelang
d. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB, apabila NOP sebagaimana dimaksud dalam poin a dan b tidak diketahui atau NPOP lebih rendah dari NJOP PBB Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional paling rendah Rp60.000.000, kecuali dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat ditetapkan paling rendah Rp30.000.000. besarnya NPOPTKP dietapkan dalam Peraturan Daerah. Tarif Pajak BPHTB Besarnya tarif paling tinggi sebesar 5%. Tarif BPHTB ditetapkan oleh Peraturan Daerah. Cara Menghitung BPHTB BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) × tarif pajak Contoh: Bapak Samsul membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp70.000.000. sedangkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang berlaku di daerahnya Rp60.000.000 dan tarif pajaknya 5%. Nilai Perolehan Objek Pajak
Rp70.000.000
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
Rp60.000.000 Rp10.000.000
BPHTB yang terutang (Rp10.000.000 × 5%) = Rp500.000 Saat Terutangnya Pajak 1. Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta yang berkaitan dengan objek pajak BPHTB. 2. Sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang (untuk lelang) 3. Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap 9untuk putusan hakim) 4. Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan (untuk waris) 5. Sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hal untuk pemberian hak barua tas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, dan pemberian hak baru dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak. BPHTB yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak.
Bea Materai Dasar Hukum Bea Materai Undang-Undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Materai. Selain itu, untuk pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominall yang dikenakan Bea Materai. Sebab-sebab dikeluarkannya UU No. 13 Tahun 1985 1. Agar lebih sempurna dan sederhana (terdiri dari 7 bab, 18 pasal). 2. Lebih mudah dilaksanakan karenahanya mengenal satu jenis Bea Materai tetap yaitu Rp6.000 dan Rp3.000. 3. Objek lebih luas. Prinsip Umum Pemungutan atau Pengenaan Bea Materai 1. Bea Materai dikenakan atas dokumen 2. Satu dokumen hanya terutang satu Bea Materai 3. Rangkap/tindasan (yang ikut ditandatangani) terutang Bea Materai sama dengan aslinya. Pengertian
Bea Materai adalah pajak atas dokumen. Dokumen yakni kertas yang berisikan goresan pena yang mengandung arti dan maksud perihal perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan. Benda materai yakni materai tempel dan kertas materai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Tandatangan yakni tandatangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tandatangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tandatangan. Pemateraian kemudian yakni suatu cara pelunasan Bea Materai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya. Pejabat Pos yakni Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro yang diserahi kiprah melayani permintaan pemeteraian kemudian.
Tarif Bea Materai 1. Tarif Bea Materai Rp. 6.000 untuk dokumen sebagai berikut :
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibentuk dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata. b. Akta-akta notaris termasuk salinannya c. Akta-akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkapnya d. Surat yang memuat jumlah dan mempunyai harga nominal lebih dari Rp1.000.000. e. Surat berharga seperti wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000 f. Efek dengan nama dan bentuk apa pun dengan harga nominal lebih dari Rp1.000.000 g. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu - Surat- surat biasa dan surat kerumahtanggaan - Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Materai berdasarkan tujuannya, kalau digunakan untuk tujuan lain atau digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dari tujuan semula. 2. Tarif Bea Materai Rp3.000 untuk dokumen sebagai berikut : a. Surat yang memuat jumlah uang dan mempunyai harga nominal lebih dari Rp250.000 tetapi tidak lebih dari Rp1.000.000. b. Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp250.000 tetapi tidak lebih dari Rp1.000.000 c. Efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun dengan harga nominal lebih dari Rp250.000 tetapi tidak lebih dari Rp1.000.000 d. Cek dan bilyet giro dengan harga nominal berapa pun Apabila suatu dokumen (kecuali cek dan bilyet giro) mempunyai nominal tidak lebih dari Rp250.000, maka atas dokumen tersebut tidak teruutang Bea Materai Bukan Objek Bea Materai 1. Dokumen yang berupa: surat penyimpanan barang konosemen surat angkutan penumpang dan barang keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan barang, konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim surat-surat lainnya yang sanggup disamakan dengan surat-surat di atas 2. Segala bentuk ijazah 3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang dukungan dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan kekerabatan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.
4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas Negara dan kas pemerintah daerah. 5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang sanggup disamakan dengan itu ke kas negara, kas pemerintah. 6. Tanda penerimaan uang yang dibentuk untuk keperluan intern organisasi. 7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut. 8. Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian. 9. Tanda pembagian laba atau bunga dari efek, dengan nama dan bentuk apapun. 10. Apabila suatu dokumen (kecuali cek dan bilyet giro) memiliki tidak lebih dari Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), maka atas dokumen tersebut tidak terutang Bea Materai. Saat dan Pihak yang Terutang Bea Materai 1. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak yakni pada saat dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa dokumen itu dibuat. Contohnya kuitansi dan cek 2. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak yakni pada saat dokumen tersebut telah selesai dibuat, yang ditutup dengan tanda tangan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Contohnya surat perjanjian jual beli. 3. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia. Pihak yang Terutang Bea Materai Bea materai terutang oleh pihak yang mendapatkan atau pihak yang menerima manfaat dari dokumen, kecuali pihak-pihak yang bersangkutan memilih lain. Cara Pelunasan Bea Materai 1. Dengan menggunakan benda materai, yaitu materai tempel dan kertas materai 2. Dengan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Cara Penggunaan Benda Materai 1. Materai Tempel a. Materai tempel harus direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan bea materai. b. Materai tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan c. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang homogen dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada di kertas dan sebagian lagi di atas materai tempel d. Jika digunakan lebih dari satu materai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua materai tempel dan sebagian di atas kertas. 2. Kertas Materai
a. Dokumen ditulis diatas kertas materai. Jika isi dokumen terlalu panjang untuk dimuatt seluruhnya siatas kertas materai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermaterai. b. Kertas materai yang sudah dapat digunakan tidak boleh digunakan lagi. Sanksi 1. Sanki Administrasi Apabila dokumen tidak atau kurang dilunasi bea materai sebagaimana mestinya, maka akan dikenakan denda administrasi 200% dari bea materai yang tidak atau kurang bayar. 2. Sanksi Pidana Apabila dengan sengaja melakukan pemalsuan materai tempel, kertas materai dan tanda tangan, serta menggunakan cara lain untuk pelunasan bea materai tanpa seizin Menteri Keuangan akan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 tahun. Daluwarsa Saluwarsa dari kewajiban memenuhi Bea Materai ditetapkan 5 tahun terhitung sejak tanggal dokumen dibuat.
Daftar Pustaka Prof. Dr. Mardiasmo, M. A. (2018). Perpajakan - Edisi Terbaru 2018. Yogyakarta: Penerbit Andi.