ASUHAN KESEHATAN KOMUNITAS POPULASI RENTAN KECACATAN
D I S U S U N OLEH : KELOMPOK 4 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
EBI WULAN MANALU IRA WIDIA MANALU NAOMI CARLI OKTAVIS PRANDY ANDRE TINDAON PUSPITA ZEGA RANI HARIANJA TISEP FAZRYANTI TELAUMBANUA VINSENSIA FREDERIKA NDRURU
(032016055) (0320160) (032016075) (0320160) (0320160) (0320160) (032016088) (032016090)
PROGRAM STUDI NERS TAHAP AKADEMIK STIKES SANTA ELISABETH MEDAN TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia yang diberikan pada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Kesehatan Komunitas Populasi Rentan :Kecacatan” ini tepat waktu.Dalam penyusunan makalah ini kami tidak lupa untuk mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing kami yang telah memberikan kesempatan, saran serta masukan untuk kami dalam mengikuti dan menyelesaikan tugas makalah ini. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna baik dari teknik penulisan maupun materi.Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar kami dapat memperbaikinya.Akhir kata, kami mengucapkan banyak terimakasih dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan,30 Maret 2019 Penulis
Kelompok 4
DAFTAR ISI Kata Pengantar………………………………………………………………………………………… Daftar Isi…………………………………………………...…………………………………………... BAB 1 Pendahuluan……………………………………………………...…………………………… 1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………………. 1.2 Tujuan………………………………………………………………………………........................... BAB2 Pembahasan……………………………………………………………………………………. 2.1 Pengertian……………………………………….. ……………………………………….................. 2.2 jenis-jenis………….………………………………………………………………………………. 2.3 Kebijakan Publik…………………………………………………………………………………… 2.4 Strategi Pelaksanaan…………….………………………………………………...………………... 2.5 Pengkajian Dan Diagnosa Keperawatan........................................................................................... 2.6 Rencana keperawatan dan Intervensi keperawatan………………………………………………... BAB 3 Penutup………………………………………………………………………………………... 3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………....................... 3.2 Saran……………………………………………………………………………............................. Daftar Pustaka .. ……………………………........................................................................................
2 3 4 4 5 6 6 9 10 11 12 14 14 14 14 15
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Populasi berasal dari bahasa latin yaitu populous (rakyat, berarti penduduk). Didalam Pelajaran ekologi, populasi adalah sekelompok individu yang sejenis. Apabila kita membicarakan populasi, haruslah disebut jenis individu yang dibicarakan dengan menentukan batas –batas waktunya serta tempatnya. Jadi, populasi adalah Kumpulan individu sejenis yang hidup pada suatu daerah dan waktu tertentu. Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya di segala aspek kehidupan dan penghidupan. Pengertian penyandang cacat menurut PP no. 36 tahun 2009 adalah seseorang yang menurut ilmu kesehatan dinyatakan mempunyai kelainan tubuh, dan atau mental yang oleh karenanya dapat merupakan rintangan atau hambatan baginya untuk melakukan kegiatan selayaknya. Kriteria cacat tubuh antara lain: anggota tubuh tidak lengkap putus/amputasi tungkai, lengan atau kaki, cacat tulang/persendian, cacat sendi otot dan tungkai, lengan atau kaki, dan lumpuh. 2 Seseorang yang mengalami cacat pada masa pertumbuhan akan lebih banyak menunjukkan adanya gangguan emosi dan reaksi menolak pada kecacatan yang dideritanya sehingga akan lebih sulit dalam mengadakan penyesuaian di kehidupannya. Kartono (2007) mengemukakan penyandang cacat biasanya merasa malu dan menderita batinnya, selalu dibayangi ketakutan serta keraguraguan, sehingga timbullah rendah diri. Berdasarkan data WHO tahun 2010, 10 persen dari jumlah penduduk dunia merupakan penyandang cacat, kira-kira mencapai 600 juta jiwa. Data dari Kementrian Sosial, penyandang cacat di Indonesia sebanyak 7 Juta jiwa atau 3 persen dari populasi penduduk Indonesia 238 juta jiwa (tribunbekasi.com). Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004 mencatat, jumlah penderita tunadaksa atau cacat fisik di Indonesia mencapai 1.652.741 jiwa dan diperkirakan jumlahnya telah meningkat (wartajakarta.com). Kaum difabel di Indonesia sering kali diposisikan sebagai kaum minoritas, baik secara struktural maupun kultur. Lebih dari itu, mereka juga merupakan kelompok yang selama ini terpinggirkan di tengah kehidupan bermasyarakat. Mereka 2 terpinggirkan dalam berbagai dimensi mulai dari ekonomi, pendidikan, akses publik, akses pekerjaan, akses politik dan lainnya. Difabel (different abilility) lebih familier di masyarakat umum disebut penderita cacat fisik atau penyandang cacat. Istilah ini diberikan oleh almarhum Mansoer Fakih, seorang tokoh Indonesia yang berjasa memperjuangkan kaum difabel dengan melakukan perlawanan atas kuasa normalitas (republika.co.id). Kondisi sosial penyandang cacat pada umumnya dinilai dalam keadaan rentan. Secara ekstern, bahkan masih ada keluarga yang menyembunyikan anggota keluarganya yang cacat terutama dipedesaan, dan masih masyarakat yang memandang dengan sebelah mata terhadap keberadaan dan kemampuan para penyandang cacat. (Gemari, 2009).
1.2 Tujuan 1. Mampu menjelaskan Pengertian Kecacatan 2. Mampu menjelaskan Jenis-jenis Kecacatan 3. Mampu Menjelaskan strategi perawatan Penyandang Kecacatan 4. Mampu Menjelaskan Asuhan Kesehatan Komunitas Populasi Rentan Kecacatan
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Disabilitas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) penyandang diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. (Triutari, 2014) Disabilitas adalah suatu kehilangan atau ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis. Difabel merupakan seseorang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan suatu rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktifitas secara layak atau normal.( John C. Maxwell,2006) Anak dengan disabilitas dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu anak dengan penurunan fungsi tubuh, keterbatasan dalam beraktivitas dan pembatasan dalam berprestasi. Anak-anak disabilitas termasuk orang-orang dengan kondisi kesehatan seperti cerebral palsy, spina bifida, distrofi otot,cedera tulang belakang traumatik, down sindrom, dan anak-anak dengan gangguan pendengaran, visual, fisik,komunikasi dan gangguan intelektual (WHO, 2012) 2.2 Jenis-jenis Difabel Terdapat beberapa jenis orang dengan difabel. Ini berarti bahwa setiap penyandang difabel memiliki defenisi masing-masing yang mana ke semuanya memerlukan bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik. Jenis-jenis penyandang difabel: a. Disabilitas Mental. Kelainan mental ini terdiri dari: 1) Mental Tinggi : Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, dimana selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata individu juga memiliki kreativitas dan tanggung jawab terhadap tugas (Reefani, 2013). 2) Mental Rendah. Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ (Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus. 3) Berkesulitan Belajar Spesifik. Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achievment) yang diperoleh (Reefani, 2013).
Ciri-ciri atau tanda-tanda anak dengan disabilitas mental : - Ada tiga jenis anak dengan disabilitas intelektual yaitu ringan (mampu didik), sedang (mampu latih), dan berat (mampu rawat). - Wajah ceper, jarak kedua mata jauh, hidung pesek, mulut terbuka, lidah besar. Kepala kecil/besar/datar. - Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usianya atau semua harus dibantu orang lain. - Perkembangan bicara/bahasa terlambat atau tidak dapat bicara. Kurang atau tidak dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan. - Sering keluar ludah (cairan) dari mulut. b. Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu: 1) Kelainan Tubuh (Tuna Daksa). Tunadaksa adalah individu yang mengalami kerusakan di jaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, dan pada sistem musculus skeletal (Fitriana, 2013). Ciri-ciri atau tanda-tanda anak dengan disabilitas tubuh : - Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh. - Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali). - Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa. - Terdapat cacat pada alat gerak. - Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam. - Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal. 2) Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra). Tunanetra adalah orang yang memiliki ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada mata yang baik, walaupun dengan memakai kacamata, atau yang daerah penglihatannya sempit sedemikian kecil sehingga terbesar jarak sudutnya tidak lebih dari 20 derajat (Geniofam, 2010). Ciri-ciri atau tanda-tanda: - Mata tampak merah. - Bola mata tampak keruh (putih-putih ditengah), dan kadang-kadang seperti mata kucing (bersinar). - Bola mata bergerak sangat cepat. - Penglihatan hanya mampu merespon terhadap cahaya, benda ukuran besar dengan warna mencolok. - Memicingkan mata pada saat terkena sinar matahari. - Melihat obyek, menonton televisi, membaca buku atau melihat gambar di buku sangat dekat. - Menonton televisi sangat dekat. - Bila berjalan ditempat yang belum dikenal sering tersandung dan menabrak. - Pada saat matahari tenggelam tidak bisa melihat jelas (rabun senja). - Sering membentur-benturkan kepala ke tembok. Ciri-ciri atau tanda-tanda anak buta total: - Tidak mampu melihat cahaya. - Kerusakan nyata pada kedua bola mata. - Sering meraba-raba bila mencari sesuatu benda dan jika berjalan sering menabrak dan tersandung. - Bagian bola mata tampak jernih tetapi tidak bisa melihat cahaya maupun benda. - Sering menekan bola mata dengan jari 3) Kelainan Pendengaran (Tunarungu). Tunarungu adalah istilah umum yang digunakan untuk menyebut kondisi seseorang yang mengalami gangguan dalam indera pendengaran (Smart, 2010). Ciri-ciri atau tanda-tanda anak dengan disabilitas pendengaran: - Tidak menunjukkan reaksi terkejut terhadap bunyi-bunyian atau tepukan tangan yang keras pada jarak satu meter. - Tidak bisa dibuat tenang dengan suara ibunya atau pengasuh. - Tidak bereaksi bila dipanggil namanya atau acuh tak acuh terhadap suara sekitarnya. - Tidak mampu
menangkap maksud orang saat berbicara bila tidak bertatap muka. - Tidak mampu mengetahui arah bunyi. - Kemampuan bicara tidak berkembang. - Perbendaharaan kata tidak berkembang. - Sering mengalami infeksi di telinga. - Kalau bicara sukar dimengerti. - Tidak bisa memperhatikan sesuatu untuk jangka waktu tertentu. - Kelihatan seperti anak yang kurang menurut atau pembangkang. - Kelihatan seperti lamban atau sukar mengerti. 4) Kelainan Bicara (Tunawicara), adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat di mengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat di mengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat fungsional dimana kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara (Reefani, 2013).
2.3
Kebijakan Publik Difabel
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. 2. Kesamaan Kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat. 3. Diskriminasi adalah setiap pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas. 4. Penghormatan adalah sikap menghargai atau menerima keberadaan Penyandang Disabilitas dengan segala hak yang melekat tanpa berkurang. 5. Pelindungan adalah upaya yang dilakukan secara sadar untuk melindungi, mengayomi, dan memperkuat hak Penyandang Disabilitas. 6. Pemenuhan adalah upaya yang dilakukan untuk memenuhi, melaksanakan, dan mewujudkan hak Penyandang Disabilitas. 7. Pemberdayaan adalah upaya untuk menguatkan keberadaan Penyandang Disabilitas dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan potensi sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi individu atau kelompok Penyandang Disabilitas yang tangguh dan mandiri. 8. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk Penyandang Disabilitas guna mewujudkan Kesamaan Kesempatan. 9. Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat. Penyandang Disabilitas memiliki hak: 1. Hidup
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 2.4
Bebas Dari Stigma Privasi Keadilan Dan Perlindungan Hokum Pendidikan Pekerjaan, Kewirausahaan, Dan Koperasi Kesehatan Politik Keagamaan Kesejahteraan Social Pelayanan Publik,Habilitasi Dan Rehabilitasi
Strategi Perawatan Penyandang Difabel a. Membawa anak ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk diperiksa tenaga medis. b. Menindaklanjuti hasil pemeriksaan dari tenaga medis dengan mengikuti petunjuk dan saran yang diberikan. c. Memasukkan anak ke sekolah yang sesuai dan kembangkan potensi yang dimiliki anak. d. Mengajarkan sesuatu secara bertahap dan berulang ulang e. Memerlukan latihan rutin, dan menggunakan alat bantu untuk mencegah bertambahnya kecacatan dan memudahkan melakukan kegiatan sehari-hari. f. Pemakaian obat tidak menjadi satu-satunya cara penanganan, bisa menggunakan pendekatan kejiwaan dalam upaya perbaikan kondisi anak. g. Membangun suasana emosi positif dalam mendampingi anak, sehingga secara psikologis anak merasa dirinya lebih diterima. h. Memberi perhatian positif dan mengajak anak berperilaku baik. i. Memberi perintah yang efektif dan langsung ke tujuan. j. Memberikan penguatan positif (motivasi, pujian, penghargaan) dan negatif (tidak memberikan hak istimewa). k. Memberikan kegiatan-kegiatan yang nyata atau fungsional untuk kehidupan sehari hari. Program dilakukan secara terstruktur dan konsisten. Aktivitas pembelajaran dibagi menjadi beberapa tahapan dan dilakukan secara berulang-ulang. Pemberian program harus melalui tahapan yang dipecah/diurai, misalnya untuk mengajar cara menyikat gigi dimulai dari mengambil sikat gigi, mengambil pasta gigi, membuka tutup pasta gigi, menekan tube pasta gigi di penutup pasta gigi, menyikat gigi bagian depan, menyikat gigi bagian kiri, menyikat gigi bagian kanan, menyikat bagian dalam atas depan, dan seterusnya. l. Guna mengetahui perkembangan anak, orangtua, keluarga harus selalu berkomunikasi dan melakukan evaluasi bersama-sama dengan guru, konselor, dan pihak-pihak profesional yang menangani anak.
Laporan Kasus Pada hari minggu Tanggal 03 maret 2019, kami mengunjungi SLB Kota B, Hasil pengamatan terhadap perilaku anak tuna netra dan cara bimbingan guru SLB terhadap siswa dengan tunanetra. Pada saat berkunjung sedang di adakan kegiatan membuat sate dan cara memanggang sate. Asuhan keperawatan yang dilakukan pada anak dengan tunanetra, meliputi: pengkajian, diagnose keperawatan, rencana tindakan, implementasi dan evaluasi. 2.5
Pengkajian dan Diagnosa a. Identitas klien: Umur: 13 tahun, jenis kelamin: laki-laki kelas: 5 SD. b. Riwayat kesehatan: menurut cerita klien ini seperti yang dituturkan oleh ibunya, dia menderita kelainan mata dimana kedua kelopak matanya tidak bisa membuka dan bola mata kecil dari sejak lahir, mejelang besar anak tidak mampu mnelihat apa-apa. c. Keadaan umum: tampak berpenampilan gempal, tinggi 90 cm dengan berat badan 40 kg dan berpakaian bersih. d. Riwayat sosial: Kedua orang tua masih hidup dan hidup bersama dengan kedua orang tuanya. Saat kesekolah di antar jemput oleh ibunya. Sejak kecil selalu di bantu ibunya untuk melakukan aktifitas sehari hari, saat ini klien mampu mengganti pakaian sendiri, dan mandiri terhadap kebutuhan eliminasi. Kebutuhan makan disediakan oleh ibunya, klien mampu makan dan minum sendiri. e. Kemampuan kemandirian: Ketersedian baju ganti oleh orang tuanya, klien bisa memakai baju sendiri. Klien masih minta bantuan untuk mengenali tempat eliminasi yang ada di samping kelas. klien mampu mengganti pakaian sendiri, dan mandiri terhadap kebutuhan eliminasi. f. Pada pemeriksaan berfocus pada mata: tampak kedua bola mata kecil, kelopak mata atas tidak bisa di buka hanya ada kernyitan,kedua kornea mata tampak keputihan, tidak bisa mengidentifikasi objek di depan matanya.
Data DS:Ibu pasien mengatakan adanya kelainan mata dimana kedua kelopak matanya tidak bisa membuka dan bola mata kecil dari sejak lahir menjelang besar anak tidak mampu melihat apaapa DO:Anak berumur 13 tahun, jenis kelamin laki-laki kelas 5 SD tampak kedua bola mata kecil, kelopak mata atas tidak bisa dibuka hanya ada keryitan kedua kornea mata tampak putih tidak bisa mengidentifikasi objek di depan matanya. DS:ibu pasien mengatakan sejak kecil selalu dibantu oleh ibunya untuk melakukan aktifitas sehari-hari.
Diagnosa Gangguan (persepsi sensori) penglihatan total berhubungan dengan cacat sejak lahir
Defisit kemandirian berhubungan dengan keterbatasan aktifitas fisik
Kebutuhan menuju tempat eliminasi masih dibantu. DO: pasien harus dibantu dalam mengenali tempat tempat tertentu 2.6 Rencana Asuhan keperawatan Diagnosa Keperawatan Gangguan persepsi sensori gangguan penglihatan cacat lahir
Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Vision compensation Pencapaian komunikasi: behavior Defisit penglihtan Kriteria hasil: 1. Kaji reaksi pasien 1.Memakai huruf braile terhadap gangguan 2.memakai penglihatan penyinaran/cahaya yang 2. Ajak pasien untuk sesuai menentukan tujuan dan belajar melihat dengan cara yang lain 3. Deskripsikan lingkungan sekitar paien 4. Jangan memindahkan sesuatu diruangan pasien tampa memberi informasi pada pasien 5. Sediakan huruf braile 6. Informasikan letak benda-benda yang selalu digunakan pasien Manajemen lingkungan 1. Ciptakan lingkungan yang aman pada pasien 2. Pindahkan bendabenda berbahaya bagi lingkungan pasien 3. Tempatkan benda benda yang dapat dijangkau oleh pasien. Defisit kemandirian Mandiri dalam self care: Self care Assistance : ADLs berhubungan dengan activity daily of living 1. Monitor kemampuan
keterbatasan aktifitas fisik
(ADLs): Kriteria hasil 1. Menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADLs 2. Dapat melakukan ADLs dengan bantuan.
2.
3.
4.
5.
klien untuk perawatan diri nyang mandiri Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu kebersihan diri, berpakaian berhias,toileting dan makan. Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self-care Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai kemampuan yang dimiliki Ajarkan klien atau keluarga untuk mendorong kemandirian utuk memberikan bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk melakukan-nya.
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan Penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya di segala aspek kehidupan dan penghidupan. Pengertian penyandang cacat menurut PP no. 36 tahun 2009 adalah seseorang yang menurut ilmu kesehatan dinyatakan mempunyai kelainan tubuh, dan atau mental yang oleh karenanya dapat merupakan rintangan atau hambatan baginya untuk melakukan kegiatan selayaknya. Kriteria cacat tubuh antara lain: anggota tubuh tidak lengkap putus/amputasi tungkai, lengan atau kaki, cacat tulang/persendian, cacat sendi otot dan tungkai, lengan atau kaki, dan lumpuh. 2 Seseorang yang mengalami cacat pada masa pertumbuhan akan lebih banyak menunjukkan adanya gangguan emosi dan reaksi menolak pada kecacatan yang dideritanya sehingga akan lebih sulit dalam mengadakan penyesuaian di kehidupannya. Kartono (2007) mengemukakan penyandang cacat biasanya merasa malu dan menderita batinnya, selalu dibayangi ketakutan serta keraguraguan, sehingga timbulah rendah diri. 3.2 Saran Semoga dengan adanya makalah kita ini,kita dapat lebih mudah dalam memahami apa itu Disabilitas dan dapat kita aplikasikan dalam praktek lapangan langsung dengan klien yang mengalami disabilitas.
DAFTAR PUSTAKA
Millati, Sofiana.(2016) Social-Relational Model Dalam Undang-Undang P Penyandang Disabilitas Sofiana Millati .Journal Of Disability Studies, Vol. 3, No. 2,Jakarta.
Salim, I. (2016). Perspektif Disabilitas Dalam Pemilu 2014 Dan Kontribusi Gerakan Difabel Indonesia Bagi Terbangunnya Pemilu Inklusif Di Indonesia. The Politics : Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 1(2), 127–156. Anne Marie W.H, Albert P. Chaki, Dan Ruth Mlay. Occupational Therapy Synergy B Between Comprehensive Community Based Rehabilitation Tanzania And Heifer I International To Reduce Poverty. Diakses 07 November 2015, Dari African Journal Of Disability.